Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS PELAYANAN GIZI RUMAH SAKIT RSUD MUARA ENIM

DENGAN HEALTHTECHNOLOGY ASSESSEMENT (HTA)

PENDAHULUAN

Pelayanan gizi baik berupa layanan Asuhan gizi maupun penyelenggaraan makanan
bagi pasien di rumah sakit merupakan faktor yang sangat berperan dala`m membantu proses
penyembuhan penyakit. Jika pasien mendapat asupan gizi yang tepat selama menjalani
perawatan di rumah sakit maka dapat membantu proses penyembuhan, mencegah terjadinya
komplikasi, menurunkan mobilitas dan mortalitas. Dengan demikian dapat memperpendek
lama hari rawat inap dan menekan biaya pengobatan. Saat ini banyak pasien yang menjalani
rawat inap di rumah sakit Indonesia terjadi penurunan status gizi menjadi malnutrisi
khususnya gizi kurang. penelitian yang dilakukan dibebrapa rumah sakit di kota besar juga
menunjukkan hal yang sama. Kondisi ini disebabkan karena penyakit yang diderita pasien
sudah dalam Fase kritis dan itu juga disebabkan karena kondisi internal pasien serta
pelayanan gizi yang belum memadai. Factor yang diduga memberi kontribusi dalam
permasalahan malnutrisi di rumah sakit adalah pihak manajemen dan dokter rumah sakit
masih memandang bahwa terapi gizi bukan merupakan bagian dari terapi penyakit faktor
penyebab lainnya yang memberi kontribusi adalah kurangnya kapasitas dari tim asuhan gizi
dan penyelenggara makanan.
Sampai saat ini masih sedikit pendekatan kebijakan pelayanan gizi di rumah sakit
yang menggunakan kebijakan pedoman pelayanan gizi rumah sakit yang dikeluarkan oleh
Kementrian Kesehatan. Teori yang digunakan dalam melakukan asesmen adalah dengan
pendekatan HTA. HTA merupakan suatu cara yang paling tepat untuk melakukan penilaian
baik dari sisi manajemen, teknologi, pasien, serta kerugian ekonomi. Hasil penelitian HTA
dapat digunakan pihak rumah sakit untuk melakukan perbaikan dalam mengatasi
permasalahan malnutrisi Rumah Sakit. Penelitian yang dilakukan oleh lesson dkk
menunjukkan bahwa perbaikan pelayanan gizi dapat dilaksanakan jika manajemen rumah
sakit menjadikan pelayanan gizi sebagai masalah prioritas pihak profesional. 
Tulisan ini melakukan asesmen terhadap pelayanan gizi di rumah sakit umum Muara Enim
dengan pendekatan HTA meliputi peran manajemen rumah sakit dalam pelayanan gizi,
teknologi asuhan gizi dan penyelenggaraan makanan, pandangan pasien terhadap mutu
pelayanan gizi, kerugian ekonomi serta mengetahui asupan dan kebutuhan nutrisi pasien.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
HTA atau HealthTechnology Assessement atau penilaian teknologi kesehatan dewasa
ini telah makin populer di kalangan kedokteran dan Kesehatan. Secara umum dimaksud
sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, dari aspek promosi,
Preferensi, penegakan diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, serta perawatan jangka panjang.
Dengan maraknya program jaminan kesehatan secara menyeluruh seperti dianjurkan oleh
WHO maka HTA dewasa ini telah menjadi keharusan di semua negara, sesuatu yang yang
beberapa dasawarsa yang lalu masih merupakan anjuran.
Definisi HPA adalah sebagai suatu aktivitas riset, sebagian lain menganggapnya
sebagai Metode dan sebagian lainnya lagi memandang nya hanya sebagai suatu proses saja.
Secara umum dikatakan suatu evaluasi sistemik yang bersifat multidisiplin yang mencakup
aspek keamanan efikasi, efektivitas sosial ekonomi, organisasi, manajemen, etika, hukum
budaya dan agama

Peran HPA Dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan


Teknologi kesehatan terus selalu berkembang dari waktu ke waktu kecepatan yang
makin tinggi. Upaya perkembangan tersebut didasari oleh rasa tidak puas terhadap apa yang
ada sekarang sehingga orang berupaya memperbaiki nya, dengan kata lain ingin
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Seringkali dalam penelitian untuk memecahkan
masalah para peneliti menggunakan biaya yang besar, fasilitas canggih termasuk
menggunakan pakar yang tidak tersedia dalam praktek sehari-hari. Mungkin pula suatu
penelitian berskala kecil tidak menemukan efek samping yang jarang terjadi namun potensial
berbahaya, atau solusi yang ditawarkan tidak banyak berbeda dengan yang sudah ada. Untuk
mengkaji berbagai aspek tersebut diperlukan proses penilaian teknologi kesehatan yang
melakukan telaah secara komprehensif sistematis dan bersifat transparan terhadap semua
aspek penggunaan teknologi yang telah ditawarkan oleh para peneliti tersebut. Hasil kajian
tersebut setelah disesuaikan dengan kondisi lokal dapat dimanfaatkan untuk menyusun dan
merevisi panduan praktis klinis di berbagai tingkat fasilitas pelayanan Kesehatan. Akhirnya
diperlukan proses lain untuk memastikan apakah para pemberi pelayanan telah melakukan
apa yang harus dilakukan yaitu prosedur audit klinis. Dengan demikian maka jelaslah bahwa
penilaian teknologi kesehatan menduduki tempat yang amat penting dalam peningkatan
kualitas pelayanan berbasis bukti yang berorientasi pada pasien dengan salah dengan selalu
memperhatikan semua aspek akibat distribusi serta penerapan teknologi kesehatan.

Metode penilaian teknologi kesehatan 


Pelaksanaan penilaian teknologi kesehatan dapat dilakukan dengan cara
mengumpulkan data primer, melakukan kajian integratif terhadap data skunder atau
gabungan kedua cara tersebut.
Yang dimaksud data primer adalah data yang dikumpulkan oleh Tim yang berupa peninjauan
on the spot ke lokasi pelayanan Kesehatan untuk memastikan apakah alat berfungsi dengan
baik, apakah keamanan terjaga dan seterusnya. Data primer dapat pula dikumpulkan dari
berbagai sumber misalnya rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Bisa juga dilakukan
dengan melakukan penelitian formal dengan berbagai design. Data primer harus diperoleh
secara lokal atau nasional untuk keperluan analisis ekonomi.
Data skunder dikenal dengan metode integrasi atau Sintesis yakni merangkum informasi atau
data yang ada. Integratif literatur terdiri atas tinjauan pustaka sistemik review atau meta
analisa untuk keperluan Penilaian teknologi Kesehatan. Tinjauan pustaka hendaknya
dihindarkan yang dianjurkan adalah sistematik review atau Meta analisis.

Langkah langkah dalam Penilaian teknoligi Kesehatan


Penilaian teknologi kesehatan yang formal telah dimulai jauh sebelum EBM. Dewasa ini
PTK harus dilaksanakan dengan paradigma EBM. Merujuk pada paradigma tersebut secara
keseluruhan Langkah-langkah dalam penilaian teknologi kesehatan dapat disusun sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi topik yang akan dilakukan penilaian.
2. Membuat pernyataan masalah atau pertanyaan penilaian teknologi kesehatan secara
spesifik dengan format PICO.
3. Menentukan metode yang digunakan apakah hanya integratif atau perlu data primer.
4. Mengumpulkan data primer yang diperlukan.
5. Melakukan penelusuran bukti melalui internet.
6. Melakukan telaah kritis terhadap bukti.
7. Melakukan Sintesis hasil telaah.
8. Menyusun simpulan dan rekomendasi.
9. Melakukan Diseminasi hasil PTK.
10. Melakukan pemantauan implementasi rekomendasi
PEMBAHASAN

Peran manajemen rumah sakit umum daerah Muara Enim dalam pemberian pelayanan
gizi sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari telah dibentuknya Tim Asuhan Gizi yang terdiri
dari dokter, dietisien, perawat dan farmasi. Rumah sakit belum memiliki unit pelayanan
fungsional spesialis gizi karena belum memiliki dokter spesialis gizi. Pihak rumah sakit telah
melakukan peningkatan sumber daya manusia yang ada di instalasi gizi. Manajemen rumah
sakit merasakan bahwa pelayanan gizi merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung
kesembuhan pasien.
Teknologi pelayanan gizi ada dua hal yaitu meliputi pelayanan asuhan gizi dan
penyelenggaraan makan. Pelayanan Asuhan gizi pada pasien yang menjalani Rawat inap di
rumah sakit umum Muara Enim telah mengikuti standar pelayanan gizi PAGT yang dibuat
kementrian kesehatan, namun belum seluruh pasien mendapatkan PAGT. Adapun instrumen
yang digunakan adalah ADIME (asesmen, diagnose, intervensi, monitoring dan evaluasi).
Setiap pasien yang menjalani Rawat inap dilakukan screening gizi terlebih dahulu oleh
Perawat untuk mendeteksi apakah pasien beresiko atau tidak beresiko menjadi malnutrisi.
Adapun waktunya paling lama satu kali 24 jam sejak pasien masuk rumah sakit. Penanganan
pasien beresiko menutrisi dilakukan oleh dietisien, tahap selanjutnya adalah dilakukan
pengkajian status gizi dan diagnose gizi oleh diatisien. Setelah itu dilakukan intervensi
melalui pembuatan resep oleh dokter penanggung jawab pasien (DPJP). DPJP menulis resep
diet pasien dan diberikan kepada diatisien. Diatisien menerjemahkan resep DPJP dalam
bentuk menu makanan sesuai kebutuhan pasien. Selanjutnya Tim pelayanan Rawat inap yang
terdiri dari Perawat dan diatisien akan menulis daftar permintaan makanan pasien
berdasarkan resep dokter yang dikirim ke bagian penyelenggara makanan yang berada di
instalasi gizi. Beberapa dokter tidak terlalu paham dalam membuat resep awal hal tersebut
dapat menimbulkan pemberian diet yang tidak tepat. Tahap selanjutnya adalah monitoring
nafsu makan dan asupan makan pasien tahap akhir adalah evaluasi untuk menentukan
keberlanjutan dari pelayanan Asuhan gizi monitoring dan evaluasi belum berjalan dengan
baik karena belum ada program dan jadwal kegiatan instalasi gizi telah membuat standar
operating prosedur untuk layanan Asuhan gizi penyusun nan menu pengelolaan produksi dan
distribusi penanganan makanan dan alat maupun makan untuk pasien dengan penyakit
menular penyimpanan dan penanganan bahan makanan.
Penyelenggaraan makan di rumah sakit umum daerah dilakukan secara swakelola dan
semi outsourching. Adapun mekanisme penyelenggaraan makan dimulai dari perencanaan,
pengadaan makanan dan bahan makanan. Penyimpanan bahan makanan, pengolahan dan
distribusi, perencanaan makan menggunakan siklus pendek yaitu sekitar 10 hari. Pada proses
pelayanan makanan petugas pemberi makan sering memberikan porsi makanan tidak sesuai
standar. Makanan yang diberikan kepada pasien lebih banyak daripada kebutuhan pasien.
Petugas penyaji makanan telah bekerja sesuai protap karena pada saat mengantar makanan
selalu melakukan pengecekan identitas pasien sehingga kesalahan pemain menu dapat
dihindari.
Persepsi pasien di rumah sakit umum terhadap mutu pelayanan makan secara
keseluruhan belum optimal. Terutama dalam hal variasi dan Cita rasa makanan. Pasien
menginginkan peningkatan layanan makanan, variasi makanan yang monoton dan cita rasa
yang kurang enak menyebabkan sisa makanan cukup banyak karena pasien kehilangan selera
makan dan nafsu makan. Pada umumnya pasien memilih membeli makanan dari luar rumah
sakit akibatnya petugas tidak dapat mengontrol asupan makan pasien. Namun demikian
dalam hal waktu penyajian makan tepat waktu, alat makan memadai, petugas penyaji sopan
dan perhatian kepada pasien serta penampilan makan bagus dan bersih.
Makanan yang disajikan untuk pasien Rawat inap meliputi makan pagi, makan
selingan antar pagi dan siang, makan siang, makan selingan antar siang dan malam, serta
makan malam. Rata rata biaya yang dibutuhkan untuk pasien perhari di rumah sakit umum
sekitar 15000 Rupiah. Pada umumnya makanan selingan tidak bersisa. Untuk makan pagi,
siang dan malam makanan selalu ber sisa. Sisa makanan paling banyak terdapat pada makan
pagi dibandingkan makan siang dan malam. Berdasarkan estimasi rata rata kerugian ekonomi
akibat sisa makanan pada pasien yang mengalami Rawat inap di rumah sakit umum sebesar
2000 per pasien perhari atau sekitar 15% dari biaya makan pasien. Saat ini diperkirakan
jumlah total kunjungan Rawat inap di rumah sakit sebesar 18.000 pasien/tahun jika sisa
makanan seluruh pasien dianggap sama maka rumah sakit akan mengalami kerugian ekonomi
sebesar Rp. 40.000.000 per tahun.
Tabel 1. Teknologi pelayanan gizi di Rumah Sakit Umum Daerah Muara Enim

NO Teknologi Pelayanan Gizi Pelayanan RSUD Muara Enim


LAYANAN ASUHAN GIZI
1 Skrining 1x24 jam oleh perawat ada form
2 ADIME (asesmen, Diagnosis, Belum semua pasien dilakukan
Intervensi dan Monitoring) asesmen diagnosis dan intervensi,
kegiatan monev sudah berjalan namun
belum rutin.
3 Koordinasi Tim Sudah berjalan, tetapi belum optimal.
4 Komunikasi tim Sudah berjalan tetapi belum efektif
5 SOP Lengkap
PENYELENGGARA MAKAN
1 Sistem Pengelolaan Swakelola dan semi outsourcing
2 Pengolahan menu makanan Menu berbeda dengan pasien lain
3 Distribusi System desentralisasi, pemorsi belum
sesuai standar, penyaji selalu
mengecek identitas pasien.
KESIMPULAN DAN SARAN

Rumah sakit umum daerah Muara Enim telah berupaya menjalankan kebijakan dari
kementerian Kesehatan, namun masih banyak hambatan dan kendala yang dialami dalam
menjalankan kebijakan pelayanan gizi. Rumah sakit nampaknya membutuhkan kebijakan
teknis, hal ini penting dibuat agar pelayanan gizi di rumah sakit dapat berjalan lebih baik
karena ada komitmen dari pihak manajemen dan seluruh stakeholder rumah sakit. Peran
manajemen dalam pelayanan gizi di rumah sakit belum optimal terutama dalam hal
penyediaan UPF dokter spesialis gizi, teknologi pelayanan gizi belum berjalan optimal baik
dalam layanan Asuhan gizi maupun penyelenggaraan makanan. DPJP kurang tepat dalam
membuat persepsi pasien, menu diet pasien belum bersifat individu dan sesuai dengan kasus
penyakit pasien.  Kerugian akibat sisa makan cukup besar, implementasi kebijakan dapat
berjalan dengan baik jika ada dukungan kebijakan yang lebih teknis dari pelaksana kebijakan.
Rumah sakit segera menyusun kebijakan teknis tentang pelayanan gizi di mana di dalamnya
membahas tentang Tim Asuhan gizi dan Tim penyelenggara makan, baik kapasitas maupun
kewajiban dan peran nya. Mekanisme teknologi pelayanan gizi juga merupakan hal yang
penting untuk dibahas. Peran manajemen rumah sakit perlu ditingkatkan terutama dalam hal
pengawasan internal mutu pelayanan gizi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pelayanan gizi rumah sakit.


Jakarta. 2013
2. Budiningsari RD, Hadi H. Pengaruh perubahan status gizi pasien dewasa terhadap
3. lama rawat inap dan biaya rumah sakit. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2004; 1 (1): 35-
45.
4. Wahyuni S, Julia M, Budiningsari RD. Pengukuran status gizi pasien anak
5. menggunakan metode Subjective Global Nutrition Assessment (SGNA) sebagai
6. prediktor lama rawat inap, status pulang dan kejadian malnutrisi di rumah sakit. Jurnal
Gizi Klinik Indonesia. 2005: 2 (1):1-5.
7. Kristensen FB, Sigmund H (Ed). Health technology assessment handbook. National
board of health Denmark.2008.
8. Lassen KO, Olsen J, Grinderslev E, Kruse F, Bjerrum M. Nutritional care of medical
9. inpatients: a health technology assessment. BMC Health Services Research. 2006;
6:7.
10. Brockis E, Marsden G, Cole A, Devlin N. A review of NICE methods across health
technology assessment programmes: differences, justifications and implications.
Office of Health Economics –National Clinical Guidelines Centre, Royal College of
Physicians. London2016
11. Chaikledkaew U, Kittrongsiri K. Guidelines for health technology assessment in
Thailand. 2nded. The development process. J Med Assoc Thai 2014; 97 (Suppl.
5):S4-S9
12. Eddy D. Health technology assessment and evidence-based medicine: What are we
talking about? Value in Health 12 (Supplement 2), 56-7, 2009
13. European Coordination Committee of the Radiological, Electro-medical and
Healthcare in Industry. COCIR position paper: Assessing the value of Medical
Imaging and Health ICT The role of Health Technology Assessment (HTA). October
2014
14. Djamaluddin M, Prawirohartono EP, Paramastri I. Analisis zat gizi dan biaya sisa
makanan pada pasien dengan makanan biasa. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2005;1:
108-12.

Anda mungkin juga menyukai