Anda di halaman 1dari 19

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA SECARA

BERKEADILAN SETELAH PERKAWINAN


DITINJAU DARI UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN
KOMPILASI HUKUM ISLAM

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh
ELLY PURNOMOWATI
201810115082

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2021
PEMBAGIAN HARTA BERSAMA SECARA BERKEADILAN
SETELAH PERKAWINAN DITINJAU DARI UU NO. 1
TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Latar Belakang

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 Tentang Perkawinan j.o Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan tercantum di dalam pasal 1 yang menyatakan bahwa “perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.1

Dalam kehidupan dimanusia perkawinan merupakan kebutuhan hidup


seluruh umat manusia untuk melanjutkan keturunan sejak zaman dahulu
hingga kini. Karena prerkawinan merupakan masalah yang aktual untuk
dibicarakan di dalam maupun diluar peraturan hukum. Dari perkawinaan akan
timbul hubungan hukum antara suami-istri dan kemudian dengan lahirnya
anak-anak akan menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-
anak.

Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum. Perkawinan


menimbulkan hak dan kewajiban kepada para pihak yang mengikatkan diri
pada suatu perkawinan. Dalam suatu perrkawinan tidak cukup hanya dengan
adanya ikatan lahir saja atau ikatan batin saja. Akan tetapi hal tersebut harus
ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan batin yang
merupakan pondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang
bahagia dan kekal.2

1
Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1.
2
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta: PT Bina Aksara, hal 4

1
Tidak selama nya dalam perkawinan akan bahagia selalu banyak hal
perbedaan yang sulit disatukan, fakta membuktikan banyak faktor yang
memicu keretakan bangunan rumah tangga sampai akhirnya timbul
perceraian. Akibat hukum perkawinan dalam hubungan kekeluargaan diatur
oleh hukum keluarga, sedangkan akibat hukum dalam bidang harta kekayaan
diatur oleh hukum benda perkawinan.3

Pembagian harta bersama, menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 dalam Pasal 37 telah disebutkan bahwa “Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing”. Yang
dimaksud dengan hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, hukum
adat, atau hukum yang berlaku lainnya.

Ketentuan – ketentuan tersebut di atas sekaligus memberikan pengakuan


adanya harta gono gini dan sekaligus memberikan legalitas terhadap
berlakunya hukum dari para justifiable (pencari keadilan) yakni suami istri
dalam mendapatkan penyelesaian hukum, atas pembagian harta gono-gini
sebagai salah satu akibat adanya perceraian bagi para pencari keadilan yang
beragama Islam. Maka dari itu hukum Islam merupakan rujukan yang harus
dipatuhi dalam penyelesaian pembagian harta gono-gini. Pengajuan gugatan
atas harta bersama bisa dilakukan di Pengadilan Agama (Jika suami-istri
sama-sama bergama Islam) atau di Pengadilan Negeri (Jika suami-istri tidak
beragama islam, atau perkawinan yang dilakukan tidak secara islam).4

Dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut tidak ditetapkan secara


tegas mengenai berapa bagian masing-masing dari suami-isteri terhadap harta
bersama tersebut. Rupanya dalam Undang-Undang Perkawinan ini
memberikan kelonggaran dengan menyerahkan kepada pihak suami-isteri
yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan diberlakukan
dalam menyelesaikan sengketa pembagian harta bersama tersebut dan jika
ternyata tidak ada kesepakatan,

3
J.Andy Hartanto. 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Yogyakarta, Laksbang
Grafika,
4
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, hal
189.

2
maka Hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang
sewajarnya.4

Terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat tanggal


terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan bubar, seluruh harta
tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama, apabila
tidak ditentukan lain.5

Pembagian harta bersama antara suami istri pasca perceraian menjadi


persoalan yang rumit, sehingga tidak heran banyaknya gugatan harta bersama
pasca terjadinya perceraian. Harta yang dapat disengketakan ketika terjadi
perceraian adalah harta yang diperoleh selama perkawinan (harta bersama)
saja, sedangkan harta bawaan tidak dapat disengketakan atau dibagi dan tetap
berada di bawah kekuasaan masing-masing pihak.

Pada awalnya perkawinan ditujukan untuk mencapai kebahagiaan yang


kekal bagi pasangan suami isteri, namun pada kenyataannya banyak faktor
penyebab yang memicu masalah dalam kehidupan perkawinan sehingga
pasangan tersebut memutuskan jalan yang terakhir dan terbaik adalah dengan
cara perceraian.6

Setelah terjadi perceraian bukan berarti masalah keluarga tersebut telah


selesai semuanya, tapi masih meninggalkan sisa masalah perkawinan seperti
anak (jika punya anak) dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan,
harta yang diperoleh selama masih terikat perkawinan itulah yang disebut
harta bersama atau lebih dikenal harta seuharkat, hal ini sangat penting untuk
diselesaikan oleh kedua belah pihak demi kebaikan bersama.7

5
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), h. 2kerja72.
6
Syaikhul Hakim, 2015, “Reaktualisasi Pembagian Harta Bersama Dalam Mazhab Syafii
Dan Kompilasi Hukum
7
Sri Hariati dan Musakir Salat, 2013, Ketidakadilan Pembagian Harta Gono Gini Pada
Kasus Perceraian The Injustice Of Distributing Marital Property, Jurnal IUS Kajian
Hukum Dan Keadilan, Vol. 1, No. 3, hlm. 2

3
Menurut ketentuan pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan
dapat putus karena: (a) kematian, (b) perceraian, (c) atas keputusan
Pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian sering disebut oleh
masyarakat dengan istilah “cerai mati”. Sedangkan putusnya perkawinan
karena perceraian ada dua sebutan yaitu “cerai gugat” dan “cerai talak”.
Putusnya perkawinan karena atas keputusan Pengadilan disebut “cerai
batal”.8

KUH Perdata tidak memberikan definisi atau pengertian perkawinan.


Undang-Undang ini hanya memandang soal perkawinana dalam hubungan-
hubungan keperdataannya saja. Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa
KUH Perdata memandang perkawinan semata-mata hanya merupakan
perjanjian perdata. Hal tersebut terdapat dalam pasal 26 KUH Perdata.

Salah satu permasalahan yang muncul akibat perceraian antara lain


mengenai pembagian harta bersama yang pengaturannya menurut hukumnya
masing-masing yakni hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya,
artinya harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Hal ini
mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang
diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur dengan
menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat
atau hukum lain diluar hukum adat.9

Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta
yang dimiliki seseorang. Dalam kehidupan sehari-hari harta mempunyai arti
penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dapat memenuhi
kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam
masyarakat. Namun harta bersama tersebut akan menjadi harta yang tidak lagi
dapat disebut sebagai harta bersama ketika telah terjadi cerai mati atau
perceraian.

8
Sukardi, 2016, “Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”,
Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies, Vol. 6, No. 1, hlm. 65.
9
Evi Djuniarti, 2017, Hukum Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang
Perkawinan Dan KUHPerdata, Jurnal Penelitian Hukum DE JURE,Vol. 17 No. 4,hlm.8

4
Pembagian harta bersama pembagian tidak dilakukan secara
sembarangan, tetapi memiliki aturan-aturan yang diatur dalam Undang-
Undang Perkawinan, serta diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam, di mana
pembagian harta bersama itu dilakukan melalui proses sidang di Pengadilan
Agama yang harus dihadiri oleh kedua belah pihak yang bersangkutan
(Suami-Istri).10 yang beragama islam dan Pengadilan Negeri untuk yang Non
islam.

Pembagian harta bersama akibat dari adanya perceraian, cara


pembagiannya biasanya adalah dengan membagi rata, masing-masing (suami
dan istri) mendapat ½ (setengah) bagian dari harta gonogini tersebut. Hal ini
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 97 KHI dan selaras dengan ketentuan
dalam KUH Perdata.11 Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh
activa (harta atau kekayaan baik berupa uang atau benda lain yang dapat
dinilai dengan uang) dan passiva (saham atau kekayaan yang tidak
memberikan keuntungan). Percampuran ini bisa mencakup harta bawaan
dan/atau harta perolehan ke dalam perkawinan yang akhirnya menjadi harta
bersama. Sesungguhnya percampuran kekayaan ini bukanlah masalah selama
menjadi kesepakatan antara suami istri.12

Biasanya sengketa harta bersama ini akan timbul jika terjadi perselisihan
antara suami istri atau perceraian. Terlebih bila tidak ada perjanjian
pemisahan harta dalam perkawinan. Kadangkala, masing-masing pihak
mengklaim atas harta bersama menjadi harta bawaan atau harta perolehan.
Atau, pihak istri dirugikan dan mengalami ketidakadilan dalam pembagian
harta bersama berdasarkan putusan pengadilan. Inilah cikal bakal terjadinya
perselisihan harta bersama.13

10
ibid hlm.2
11
Eni C. Singal, 2017, Pembagian Harta Gono-Gini Dan Penetapan Hak Asuh Anak
Akibat Perceraian Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Lex Crimen, Vol.
6, No. 5, hlm. 2
12
Sri Hariati dan Musakir Salat, Op. Cit, hlm 2.
13
ibid

5
Pembagian harta bersama sebaiknya dilakukan secara adil, sehingga
tidak menimbulkan ketidakadilan antara mana yang merupakan hak suami
dan mana hak isteri. Menurut Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati
menjelaskan bahwa cara mendapatkan harta bersama, sebagai berikut:
Pembagian harta bersama dapat diajukan bersamaan dengan saat mengajukan
gugat cerai dengan menyebutkan harta bersama dan bukti-bukti bahwa harta
tersebut diperoleh selama perkawinan dalam “posita” (alasan mengajukan
gugatan). Permintaan pembagian harta disebutkan dalam petitum (gugatan).

Harta bersama diajukan setelah adanya putusan perceraian, artinya


mengajukan gugatan atas harta bersama. Bagi yang beragama Islam gugatan
atas harta bersama diajukan ke pengadilan agama di wilayah tempat tinggal
isteri. Untuk non-Islam gugatan pembagian harta bersama diajukan ke
pengadilan negeri tempat tinggal termohon.14

Mengingat pembagian harta bersama atau gono gini ini masih


berdasarkan kepada ijtihad para Hakim Pengadilan Agama, maka masalah
pembagian harta gono gini ini penulis angkat dalam pembahasan skripsi
dengan judul Pembagian Harta Bersama Setelah Perkawinan di Era
Globalisasi Secara Berkeadilan Ditinjau Dari UU No. 1 Tahun 1974, Hukum
Islam Dan Kompilasi Hukum Islam.

B. Identifikasi Masalah

Konsepsi harta bersama dalam pandangan yuridis terlebih dahulu. Pasal


35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
menyatakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Sedangkan, harta bawaan masing-masing suami isteri sebagai
hadiah atau warisan ada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak menentukan lain.

14
Bernadus Nagara, 2016, Pembagian Harta Gono-Gini atau Harta Bersama Setelah
Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Lex Crimen, Vol. 5, No. 7,
hlm. 2.
15
Departemen Agama RI, Kelembagaan Agama Islam, Jakarta: 1990, hlm. 23

6
Salah satu lembaga peradilan negara yang melaksanakan sebagai
kekuasaan kehakiman adalah Pengadilan Agama. Sedangkan tugas
Pengadilan Agama adalah seperti ditentukan dalam pasal 49 ayat 1 dan 2 UU
No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah menjadi UU No.3 Tahun 2006. Dalam
hal ini pokok penentuan bahwa Pengadilan Agama mempunyai tugas dan
kewenangan memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan dalam tingkat
pertama terhadap perkara-perkara antara lain di bidang perkawinan termasuk
di dalamnya masalah pembagian harta gono gini menurut hukum Islam
khususnya yang beragama Islam.15

Sedangkan harta bersama atau gonogini dalam Kompilasi Hukum Islam


dalam Pasal 97 disebutkan: “Janda atau duda cerai masing masing berhak
seperdua atas harta peninggalan bersama selama tidak ditentukan lain dalam
perjanjian pernikahan.” Ketentuan yang lebih jelas dimuat dalam Kompilasi
Hukum Islam (“KHI”). Pasal 1 huruf f KHI menyatakan harta kekayaan
dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama-sama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun kemudian
dalam Pasal 128-129 KUHPerdata, dinyatakan bahwa apabila putusnya tali
perkawinan antara suami dan istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara
suami istri.

Di Masa era globalisasi banyak wanita - wanita yang mandiri dan banyak
pula wanita yang lebih maju dari kaum pria. Dengan perbandingan laki laki
dengan wanita yang mana jumlah nya laki laki secara signifikan lebih
banyak dari wanita, memandang perlu adanya kepastian hukum dalam
melindungi Hak2 wanita sebagai mahluk yang lemah dan patut di lindungi,
namun kenyataan dalam kehidupan berkeluarga banyak sekali wanita yang
teraniaya, direnggut kebahagiaan hidupnya dan masih juga harus menghidupi
keluarganya. Dengan banyaknya ketidak cocokan dalam membina hubungan
keluarga maka perceraian lah jalan satu satunya penyelesaian , namun tidak
sampai di situ masih banyak lagi masalah2 lain nya , salah satunya adalah
pembagian harta bersama.
15
Departemen Agama RI, Kelembagaan Agama Islam, Jakarta: 1990, hlm. 23

7
Lantas pilihan hukum mana yang harus dipilih oleh mantan istri dengan
adanya pilihan hukum dalam menyelesaikan permasalahan pembagian harta
bersama memberikan kebebasan kepada suami atau istri bersama
(persetujuan bersama) kepada kedua belah pihak untuk melakukan tindakan
terhadap harta bersama. Serta Upaya hukum apa yang dapat dilakukan bila
pembagian harta bersama ada satu pihak yang di rugikan?

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah


dalam penelitian ini adalah:

1. bagaimana pembagian harta bersama berdasarkan kontribusi suami


istri dalam perkawinan dari perspektif berkeadilan secara Yuridis
ditinjau dari Undang Undang No. 1 Tahun1974, Hukum Islam dan
Kompilasi Hukum Islam
2. Upaya Hukum apa yang dapat di lakukan untuk bisa mendapat
pembagian harta Bersama setelah terjadi perceraian secara Adil

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian


Mengacu pada tujuan memperoleh Keadilan dalam pembagian harta
Bersama adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis Peran Hakim dan Konsep


Hukum Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian, agar Wanita
bisat memperoleh keadilan dalam pembagian hak atas harta yang
dimiliki dalam sebuah keluarga dimana pada masa era globalisasi ini
banyak Wanita yang berkarir atau bekerja serta mendapat pendapatan
yang besar serta lebih ber peran ganda memikul kewajiban.
2. Untuk mengetahui konsep pembagian harta bersama berdasarkan
kontribusi suami istri dalam perkawinan dari perspektif keadilan.

Adapun kegunaan dari tulisan ini adalah dapat memperkaya khazanah


pengetahuan hukum khususnya terkait dengan perkembangan konsep
pembagian harta Bersama setelah perkawinan di Indonesia.

8
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan


pengetahuan dibidang hukum khususnya hukum perkawinan, hukum perdata
serta dalam Kompilasi hukum Islam tentang bagaimana kedudukan dan peran
hukum dan apa saja serta akibat hukum yang timbul dari pasangan suami istri
yang menikah secara sah menurut hukum ketika bercerai, pasangan tersebut
menuntut pembagian harta Bersama sesuai hak dan kewajibannya dalam
menjalankan kehidupan berkeluarga secara Yuridis.

2. Manfaat Praktis
- Sebagai syarat menyelesaikan Study S1
- Bisa memberikan inovasi yang baru mengenai topik yang diangkat
- Memanfaatkan berbagai teknologi, informasi, alat dan apapun
disekitar untuk menciptakan sebuah apapun itu yang bermanfaat.
- Memberikan berbagai pengetahuan yang lebih kepada pembaca hasil
tulisan secara luas tentang manfaat dari topik yang kita angkat.
- Karena karya tulis ilmiah ini memiliki banyak jenisnya, maka dengan
ini sangat banyak manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan ini.
- Penelitian ini diharapkan dijadikan sumber wawasan, pengetahuan
dan memberikan manfaat khususnya bagi Wanita, seorang ibu yang
bekerja atau berkarir dalam memenuhi kebetuhan keluarga dan
masyarakat umumnya maupun pembaca sehingga dapat dipraktikan
untuk bisa mendapatkan Hak secara adil sesuai atas harta bersama
setelah perkawinan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
- Selain itu penelitian ini diharapkan dapat pula memberikan kontribusi,
referensi dan bahan baca tambahan bagi mahasiswa fakultas hukum
maupun masyarakat luas.

9
F. Kerangka Teoritis, Kerangka Konseptual Dan Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teor-teori yang bertujuan
meninjau masalah yang ada. Adapun terori-teori yang digunakan yaitu:
a) Teori Kepastian Hukum
Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi
pedoman bagi individu bertingkah laku dalam masyarakat, baik dalam
hubungannya dengan sesama individu maupun dengan masyarakat. Aturan-
aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum16
Itu artinya setiap perbuatan yang dilakukan harus menimbulkan kepastian
hukumnya. Begitu juga dalam pembagian harta bersama harus di bagi adil
seuai hak dan tanggung jawabnya dalam memenuhi kehidupan berkeluarga,
semua harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar
menimbulkan suatu kepastian hukum. Apabila keduanya tidak dilakuakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku, maka hal
tersebut tidak menimbulkan kepastian hukum, sehingga Rasa keadilan tidak
dapat terwujud.
b) Teori Negara Hukum
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “ Negara Indonesia
adalah negara hukum” ini artinya negara dalam melaksanakan harus
dilandasi oleh hukum atau dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.
Sedangkan salah satu ciri dari negara hukum diantaranya adalah diakuinya
hak asasi manusia.17

16
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (Jakarta: kencana, 2016) hlm. 159.
17
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 58.

10
c) Teori Kemanfaatan Hukum

Dalam teori ulitarianisme, yakni merupakan aliran yang meletakkan


kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan
hukum yaitu kebahagiaan yang sebesar besarnya bagi orang-orang.

Artinya dalam teori ini hukum harus memberikan manfaat yang sebesar
besarnya bagi masyarakat. Termasuk dalam hal ini Undang- Undang
Perkawinan dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang mengatur tentang
perkawinan dimana menurut Undang-Undang tersebut perceraian melalui
sidang pengadilan dapat memberikan banyak manfaat diantaranya adalah
bahwa perceraian tersebut sah secara hukum dan secara agama.

2. Kerangka Konseptual

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pokok permasalahan, dan


untuk memberikan batasan dari kata, istilah dan konsep yang digunakan
dalam penelitian ini, maka dibutuhkan kerangka konseptual. Pembatasan ini
diharapakan dapat menjawab permasalahan yang terkait dalam penelitian ini.

- Legalitas adalah sah atau keabsahan.


- Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu
tindakan subjek hukum.
- Talak/Cerai adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya
hubungan perkawinan
- Harta Bersama adalah harta yang didapat bersama selama perkawinan
3. Kerangka Pemikiran

Pembagian harta Bersama secara yuridis Berkeadilan sebagai akibat


hukum yang timbul dari perceraian di tinjau dari:

a. UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan mengunakan asas


- Teori Kepastian hukum
- Teori Negara Hukum
- Teori kemanfaatan hukum
b. Hukum islam
c. Kompilasi hukum islam

11
G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah tata cara bagaimana melakukan penelitian.


Metode merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja
untuk memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai upaya untuk
menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
termasuk keabsahannya. Sedangkan penelitian menurut Soerjono Soekanto
adalah suatu sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat,
membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.18

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang penulis gundakan dalam penulisan skripsi ini


adalah yuridis empiris yaitu penelitian yang memberikan gambaran
menegenai fakta-fakta yang ada (empiris), serta analisis yang akurat
mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta dihubungkan
dengan teori aturan hukum yang ada.19 Dalam penelitian metode yuridis
empiris ini menjelaskan fakta-fakta yang ada mengenai terdapat beberapa
masyarakat yang ada di Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi yang
melakukan perceraian tanpa melalui sidang pengadilan dimana hal tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai penulis dalam peneltian ini adalah pendekatan


perundang-undangan dan pendekatan sosiologis. Pendekatan perundang-
undangan yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu dan permasalahan
permasalahan hukum yang sedang ditangani.20

18
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakrta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2005), hlm. 32.
20
Zulfi Diane Zain, “ Impleementasi Pendekatan Yuridis Normatif Dan Pendekatan
Yuridis Sosiologis Dalam Penelitian Hukum”, Pranata Hukum, 6/ No 2 /2011, Hlm. 129.

12
Sedangkan pendekatan sosiologis adalah pendekatan yang dilakukan
dengan mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi dalam
kenyataannya di masyarakat.21

Artinya pendekatan penelitian ini meneliti fakta yang ada


dilingkungan masyarakat tentang perceraian diluar pengadilan kemudian hal
tersebut di analisis sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.

3. Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan dua jenis data
yaitu data primer dan data sekunder.

a. Sumber data primer

Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian lapangan.
Penelitian lapangan adalah penelitian yang bersumber data dan peroses
pnelitiannya menggunakan lokasi tertentu.22

Dalam hal ini data primer yang dimaksud adalah tentang apa saja yang
menjadi faktor dari suami istri yang menikah secara sah namun ketika
bercerai langsung ingn memperoleh sebagian atau keseluruhan dari harta
yang ada, sehingga bagaiamna legalitas hukumnya dan apasaja akibat
hukumnya. Adapun data yang diperoleh dari responden dalam penelitian ini
adalah dengan cara bertanya dan wawancara dengan pihak- pihak yang
berkaitan langsung dengan penelitian mengenai pembagian harta bersama
setelah perceraian pengadilan.

b. Sumber data sekunder

Yakni berupa:

- Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang diperoleh dengan cara
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini:
i. Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ii. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

13
iii. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
iv. Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
v. Kompilasi hukum islam
vi. KUHP Perdata

- Bahan hukum sekunder yaitu, bahan yang diperoleh dari berbagai


literatur yang ada dan pendapat para ahli, buku-buku hukum yang
berhubungan dengan penelitian ini dan jurnal-jurnal hukum yang
berhubungan dengan penelitian ini.
- Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh
dari: Kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesia, artikel-artikel.

4. Metode pengumpulan bahan hukum


a. Dokumentasi

Metode ini dapat diartikan sebagai cara pengumpulan data dengan cara
memanfaatkan data-data berupa buku, catatan, dan lain sebagainya.
Sebagaimana sumber informasinya berupa bahan-bahan tertulis atau tercatat.
Pada metode ini, peneliti hanya mentransfer bahan-bahan tertulis yang
relevan pada lembaran-lembaran yang telah disiapkan untuk mereka
sebagaimana mestinya.

b. Wawancara / interview

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang


berlangsung secara lisan, dimana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-
keterangan. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat setempat dan pihak
pihak yang terkait dengan penelitian ini. Serta mendapatkan informasi
langsung dari Kantor Urusan Agama (KUA).

14
c. Observasi

Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakuakan


melalui suatu pengamatan, dengan disertai dengan pencatatan-pencatatan
terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran. Dalam hal ini peneliti
mengamati secara langsung ke lokasi penelitian guna mendapatkan gambaran
umum mengenai fakta-fakta tentang pembagian harta Bersama setelah
perkawinan .perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan.

5. Metode analisis bahan hukum

Berdasarkan data yang akan digunakan sudah terkumpul, akan dianalisis


dengan metode deskriptif kualitatif yakni suatu analisa penelitian yang
dimaksudkan untuk mendeskripsikan situasi tertentu yang bersifat faktual
secara sistematis dan akurat. Data tersebut diperoleh dari hasil wawancara,
observasi, dan dokumentasi.

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat utama yang mendukung penelitian ini


untuk mendapatkan data-data yang diperlukan selama penelitian berlangsung.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulis dan pembaca memahami isi dari materi,


maka penulis menyusun berdasarkan pedoman penulisan skripsi di Fakultas
Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah,


identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat. penelitian,
kerangka teoritis, kerangka konseptual dan kerangka pemikiran, metode
penelitian dan yang terakhir sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka. Bab ini menguraikan tentang pengertian


perkawinan, dasar hukum perkawinan, tujuan perkawinan, syarat
perkawinan, akibat hukum perkawinanan, pengertian perceraian, dasar
hukum perceraian, syarat-sayarat perceraian, akibat hukum perceraian. Serta

15
bahan pustaka secara sistematis yang berhubungan langsung dengan
keperluan penelitian.

Bab III Metode Penelitian. Dalam bab ini menjelaskan tentang jenis
penelitian, pendekatan penelitian, sumber bahan hukum, metode
pengumpulan bahan hukum, metode analisis bahan hukum dan lokasi
penelitian.

Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan. Dalam bab ini penulis akan
analisis fakta-fakta dan hasil penelitian di lapangan, untuk memecahkan
permasalahan sesuai metode penelitian.

Bab V Penutup. Dalam bab ini penulis memeberikan kesimpulan yang


berupa rangkuman dari pembahasan dan juga menyampaikan pendapat yang
berupa saran dari permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan, Pasal 1.
2. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas Hukum Perkawinan
di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, hal 4
3. J.Andy Hartanto. 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan,
Yogyakarta, Laksbang Grafika,
4. Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung:
Mandar Maju, hal 189.
5. M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 2kerja72.
6. Syaikhul Hakim, 2015, “Reaktualisasi Pembagian Harta Bersama Dalam
Mazhab Syafii Dan Kompilasi Hukum
7. Sri Hariati dan Musakir Salat, 2013, Ketidakadilan Pembagian Harta
Gono Gini Pada Kasus Perceraian The Injustice Of Distributing Marital
Property, Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan, Vol. 1, No. 3, hlm. 2.
8. Sukardi, 2016, “Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic
Studies, Vol. 6, No. 1, hlm. 65.
9. Evi Djuniarti, 2017, Hukum Harta Bersama Ditinjau Dari Perspektif
Undang-Undang Perkawinan Dan KUHPerdata, Jurnal Penelitian
Hukum DE JURE,Vol. 17 No. 4,hlm.8
10. ibid hlm.2
11. Eni C. Singal, 2017, Pembagian Harta Gono-Gini Dan Penetapan Hak
Asuh Anak Akibat Perceraian Berdasarkan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, Lex Crimen, Vol. 6, No. 5, hlm. 2
12. Sri Hariati dan Musakir Salat, Op. Cit, hlm 2.
13. Ibid

17
14. Bernadus Nagara, 2016, Pembagian Harta Gono-Gini atau Harta
Bersama Setelah Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, Lex Crimen, Vol. 5, No. 7, hlm. 2.
15. Departemen Agama RI, Kelembagaan Agama Islam, Jakarta: 1990, hlm.
23
16. Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, (Jakarta: kencana, 2016) hlm. 159.
17. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 58.
18. Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakrta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.
19. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,
2005), hlm. 32.
20. Zulfi Diane Zain, “ Impleementasi Pendekatan Yuridis Normatif Dan
Pendekatan Yuridis Sosiologis Dalam Penelitian Hukum”, Pranata
Hukum, 6/ No 2 /2011, Hlm. 129.

18

Anda mungkin juga menyukai