Anda di halaman 1dari 6

JUDUL

PERSEKONGKOLAN TENDER

                                               

DI SUSUN OLEH
Nama :     Akhmad Ricky Saefullah
                                                        Kelas   :     6B-HUKUM
           Nim     :    12011900066

UNIVERSITAS BINA BANGSA


FAKULTAS HUKUM
KOTA SERANG - BANTEN
1. Pengertian Persekongkolan Tender
Undang-undang no. 5 tahun 1999 melarang perbuatan pelaku usaha yang bertujuan menghambat
atau bertentangan dengan pri nsip persaingan usaha yang sehat, antara lain yang bertujuan untuk
menghilangkan persaingan. Tindakan lain yang dapat berakibat kepada terjadinya persaingan
usaha tidak sehat adalah tindakan persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang
tender sebagaimana diatur oleh Pasal 22 UU No. 5/1999.
2. Ruang Lingkup
Pengaturan pemenang tender tersebut banyak ditemukan pada pelaksanaan pengadaan barang
atau jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah, BUMN dan perusahaan
swasta. Untuk itu pasal 22 UU No. 5/1999 tidak hanya mencangkup kegiatan pengadaan yang
dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga kegiatan pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan
(BUMN/BUMD) dan perusahaan swasta.
Berdasarkan penjelasan pasal 22 UU No. 5/1999 tender adalah tawaran mengajukan harga untuk
memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa.
Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukannpenawaran (oleh beberapa atau oleh satu
pelaku usaha dalam hal mengajukan/pemilihan langsung).
Pengertian tender tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk:
1. memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.
2. mengadakan barang dan jasa. 
3. membeli suatu barang atau jasa.
4. menjual barang atau jasa.
Berdasarkan definisi tersebut maka cakupan dasar penerapan pasal 22 UU No. 5/1999 adalah
tender atau tawaran mengajukan harga yangdapan dilakukan melalui:
a. tender terbuka
b. tender terbatas
c. pelelangan umum dan
d. pelelangan terbatas. 
3. Pengaturan
Beberapa ahli yang concern terhadap hukum persaingan usaha
Indonesia yang mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
terdapat prinsip rule of reason dan per se illegal. Namun pendapat tersebut
tidak mempunyai landasan normatif dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 karena memang Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak secara
eksplisit menyinggung prinsip rule of reason dan per se illegal. Berbagai
literatur tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of
reason dan per se illegal tersebut. Dalam literatur tersebut rule of reason dan
per se illegal dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan
perbandingan hukum persaingan usaha (competition law) yang berlaku di
Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa kedua prinsip tersebut
merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbuatanperbuatan
yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade
Commission Act Antitrust Law. Hal ini juga dimplikasikan pada pelaksanaan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 yang merupakan peraturan untuk
mengatur bisnis yang berasal dar Amerika Serikat
Baik pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama
diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha
melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pendekatan rule of reason
adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha
untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat
menghambat atau mendukung persaingan  Sebaliknya pendekatan per seillegal menyatakan
setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu ilegal tanpa
pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau
kegiatan usaha tersebut. Kedua metode pendekatan yang memiliki perbedaan
ekstrim tersebut juga digunakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,
hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya yakni pencantuman katakata
“yang dapat mengakibatkan” dan/atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut
menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu
tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat
persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya
digunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak
kalimat “yang dapat mengakibatkan” (A.M. Tri Anggraini, 2005: 5-6). 
Dalam hal kebijakan persaingan usaha, istilah persekongkolan
hampir di semua kegiatan masyarakat senantiasa berkonotasi buruk atau
negatif karena pada hakekatnya persekongkolan bertentangan dengan rasa
keadilan. Prinsip fair atau keadilan adalah apabila orang atau perusahaan
tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti halnya penawar lain dalam
penawaran untuk mendapatkan obyek barang atau jasa tertentu yang
ditawarkan oleh penyelenggara atau panitia tender Ketentuan Pasal 22 dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 lebih mencakup konspirasi atau
persekongkolan tender daripada sekedar membatasi persaingan usaha atau
apakah kegiatan persekongkolan tender ibaratnya akan mampu membatasi
adanya persaingan usaha. Apabila hasil pengumuman tender menguntungkan
para peserta yang mengambil bagian dalam tender tersebut, maka secara
tersirat dalam konteks kebijakan persaingan usaha setidak-tidaknya
mengandung pembatasan terhadap persaingan harga. Pendekatan rule of reason dalam
persaingan usaha merupakan
kebalikan dan lebih luas cakupannya jika dibandingkan pendekatan per se
illegal. Pendekatan rule of reason ini cenderung pada prinsip efisiensi dan
pada sisi lain dapat melakukan interpretasi terhadap Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 tersebut. Sepeti yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang
menetapkan rule of reason sebagai standar bagi pengadilan
untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif serta menetapkan layak
tidaknya suatu hambatan dan hambatan tersebut bersifat mencampuri,
mempengaruhi atau bahkan mengganggu proses persaingan atau tidak.
Keputusan pengadilan telah berkembang menjadi dikotomi antara pendekatan
per se illegal dan rule of reason, artinya bahwa pengadilan membagi praktek
bisnis ke dalam 2 (dua) bagian yaitu meletakkan perjanjian yang masuk
dalam kategori per se illegal dan perjanjian tertentu ke dalam wilayah rule of
reason. Salah satu contohnya adalah pernyataan Hakim White mengenai penggunaan rule of
reason dalam perkara Standar Oil mengandung tiga
pengujian, yaitu :
1. adanya konsep per se illegal;
2. adanya maksud para pihak; dan
3. akibat dari suatu perjanjian.
4. Jenis Persekongkolan Tender 
Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada tiga jenis,
yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan
persekongkolan vertikal dan horizontal. Berikut penjelasan atas ketiga
jenis persekongkolan tersebut.
1. Persekongkolan Horizontal
Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha
atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau
penyedia barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat
dikategorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan
persaingan semu di antara peserta tender. Berikut bagan
persekongkolan tersebut.
2. Persekongkolan Vertikal
Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah
satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa
dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang
dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan
ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia
lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi
pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta
tender. Berikut bagan persekongkolan tersebut.
3. Persekongkolan Horizontal dan Vertikal
Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau
panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau
pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan
jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang
terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan
ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi
pekerjaan, maupun para pelaku usaha melakukan suatu proses
tender hanya secara administratif dan tertutup. Berikut bagan
kedua persekongkolan tersebut.
5. Indikasi Persekongkolan  Tender
Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat
atau menghambat persaingan usaha adalah:
1. Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak
diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku
usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat
mengikutinya;
2. Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua
pelaku usaha dengan kompetensi yang sama;
3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku
usaha tertentu sehingga menghambat
pelaku usaha lain untuk ikut.
Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya suatu persekongkolan
dalam tender, berikut dijelaskan berbagai indikasi persekongkolan yang
sering dijumpai pada pelaksanaan tender. Perlu diperhatikan bahwa, halhal
berikut ini merupakan indikasi persekongkolan, sedangkan bentuk atau perilaku persekongkolan
maupun ada tidaknya persekongkolan
tersebut harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa atau
Majelis KPPU.
1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, antara lain meliputi:
a. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan
tender/lelang secara terbuka.
b. Pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu, dan/atau
waktu penyerahan barang yang akan ditawarkan atau dijual
atau dilelang yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku
usaha tertentu.
c. Tender/lelang dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua
peserta tertentu yang dapat mengikuti/melaksanakannya 
d. Ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/
jasa
e. Nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi dari
pada nilai dasar lelang.
f. Penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan
diikuti.
6. Dampak Persekongkolan Tender
Dilihat dari sisi konsumen atau pemberi kerja, persekongkolan
dalam tender dapat merugikan dalam bentuk antara lain;
1. Konsumen atau pemberi kerja membayar harga yang lebih mahal
dari pada yang sesungguhnya.
2. Barang atau jasa yang diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah, waktu,
maupun nilai) seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh
apabila tender dilakukan secara jujur.
3. Terjadi hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak
memperoleh kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan
tender.
4. Nilai proyek (untuk tender pengadaan jasa) menjadi lebih
tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek
Pemerintah yang pembiayaannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka
persekongkolan tersebut berpotensi
menimbulkan ekonomi biaya tinggi
7. Peraturan Mengenai Pengadaan Barang dan Jasa
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Tetapkan Presiden Joko Widodo
pada tanggal2 Februari 2021 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Pada Tanggal 2 Februari 2021.
Pertimbangan penerbitas Perpres 12 tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah untuk penyesuaian pengaturan penggunaan
produk/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi, dan pengaturan pengadaan jasa
konstruksi yang membiayaannya bersumber dari APBN/APBD dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah untuk kemudahan berusaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja dan Penyesuaian ketentuan Sumber Daya Manusia Pengadaan Barang/Jasa,
perlu menetapkan peraturan Presiden tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 16
Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai