Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUHAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

NI KETUT KARYAWATI
20089142200

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUHAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR

I. Laporan Pendahuluan (Tinjauan Teori)


A. Definisi
a. Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (NANDA, 2015).
b. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau jaringan
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Arif Mansjoer,
2010).
c. Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang
(Linda Juall.C, 2010).
Jadi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
jaringan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa atau
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.

B. Anatomi Fisiologi
Sistem musculoskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot dan struktur pendukung
lainnya (tendon, ligament, fasia dan bursae). Pertumbuhan dan perkembangan
struktur ini terjadi selama masa kanak-kanak dan remaja (Apley.A, 2010).
1. Tulang
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan dan
otot menyusun kurang lebih 50%. Kesahatan dan fungsi sistem
musculoskeletal sangat bergantung pada sistem tubuh lain. Struktur tulang
memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung dan paru-
paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga
struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak.
Jenis tulang, yaitu:
a. Tulang Panjang
Tulang panjang (missal: femur, humerus) bentuknya silindris dan
berukuran panjang seperti batang (diafisis) tersusun atas tulang kompakta,
dengan kedua ujungnya berbentuk bulat (epifisis) tersusun atas tulang
kanselus. Tulang diafisis memiliki lapisan luar berupa tulang kompakta
yang melindungi sebuah rongga tengah yang disebut kanal medulla yang
mengandung sumsum kuning. Sumsum kuning terdiri dari lemak dan
pembuluh darah, tetapi suplai darah atau eritrositnya tidak banyak. Tulang
epifisis terdiri dari tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah
yang isinya sama seperti sumsum kuning dan dibungkus oleh selapis tipis
tulang kompakta. Bagian luar tulang panjang dilapisi jaringan fibrosa kuat
yang disebut periosteum. Lapisan ini kaya dengan pembuluh darah yang
menembus tulang.
Periostenum memberi nutrisi tulang dibawahnya melalui pembuluh
darah. Jika periostenum robek, tulang di bawahnya akan mati.
Periostenum berperan untuk pertambahan kekebalan tulang melalui kerja
osteoblas. Periostenum berfungsi protektif dan merupakan tempat
pelekatan tendon.Periostenum tidak ditemukan pada permukaan sendi.
b. Tulang Pendek
Tulang pendek (misal: ruas-ruas tulang belakang, tulang pergelangan
tangan, tulang pergelangan kaki) bentuknya hampir sama dengan tulang
panjang, tetapi bagian distal lebih kecil dari pada bagian proksimal, serta
berukuran pendek dan kecil. Berfungsi sebagai tempat pembentukan sel
darah merah dan sel darah putih.
c. Tulang Pipih
Tulang pipih (misal: sternum, kepala, scapula, panggul, tulang dada,
tulang belikat) bentuknya gepeng, berisi sel-sel pembentuk darah merah
dan putih, dan melindungi organ vital dan lunak dibawahnya. Tulang pipih
terdiri dari 2 lapis tulang kompakta dan di bagian tengahnya terdapat
lapisan spongiosa. Tulang ini juga dilapisi oleh periostenum yang dilewati
oleh dua kelompok pembuluh darah menembus tulang untuk menyuplai
tulang kompakta dan tulang spongiosa.
d. Tulang Tidak Beraturan
Tulang tidak beraturan (misal: vertebra, telinga tengah) mempunyai
bentuk yang unik sesuai fungsinya. Tulang tidak beraturan terdiri dari
tulang spongiosa yang dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta.
Tulang ini diselubungi periostenum kecuali pada permukaan sendinya
seperti tulang pipih. Periostenum ini memberi dua kelompok pembuluh
darah untuk menyuplai tulang kompakta dan spongiosa.
e. Tulang Sesamoid
Tulang sesamoid (misal: patella) merupakan tulang kecil yang terletak
disekitar tulang yang berdekatan dengan persendian, berkembang bersama
tendon dan jaringan fasia.
f. Tulang Pipa
Tulang pipa bentuknya bulat, panjang, dan tengahnya berongga.
Contoh tulang pipa yaitu: tulang paha, tulang lengan atas, tulang jari
tangan. Fungsi tulang ini adalah sebai tempat pembentukan sel darah
merah.

Struktur Tulang
Tersusun oleh jaringan tulang kompakta (kortikal) dan kanselus
(trabekular atau spongiosa). Tulang kompakta terlihat padat. Akan tetapi jika
diperiksa dengan makroskop terdiri dari system havers. System havers terdiri
dari kanal havers. Sebuah kanal havers mengandung pembuluh darah, saraf,
dan pembuluh limfe, lamela (lempengan tulang yang mengelilingi kanal
sentral), kaluna (ruang diantara lamella yang mengandung sel-sel tulang atau
osteosit dan saluran limfe), dan kanalikuli (saluran kecil yang
menghubungkan lacuna dan kanal sentral). Saluran ini mengandung pembuluh
limfe yang membawa nutrient dan oksigen ke osteosit.
Sel – sel penyusun tulang terdiri dari:
a. Osteoblas berfungsi menghasilkan jarinagan osteosid dan menyekresi
sejumlah besar fosfatase alkali yang berperan penting dalam pengendapan
kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang.
b. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai lintasan
untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
c. Osteoklas adalah sel-sel berinti banyak yang memungkinkan mineral dan
matriks tulang dapat diabsorbsi. Sel-sel ini menghasilkan enzim
proteolitik yang memecah matriks dan beberapa asam yang melarutkan
mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam darah.
2. Sendi
Pergerakan tidak mungkin terjadi jika kelenturan dalam rangka tulang
tidak ada. Kelenturan dimungkinkan oleh adanya persendian. Sendi adalah
suatu ruangan, tempat satu atau dua tulang berada saling berdekatan.
Fungsi utama sendi adalah memberikan pergerakan dan fleksibilitas dalam
tubuh. Bentuk persendian ditetapkan berdasarkan jumlah dan tipe
pergerakannya, sedangkan klasifikasi sendi berdasarkan pada jumlah
pergerakan yang dilakukan.
Menurut klasifikasinya, sendi terdiri dari:
a. Sendi sinartrosis (sendi yang tidak bergerak sama sekali). Contohnya
satura tulang tengkorak.
b. Sendi amfriartosis (sendi bergerak terbatas) contohnya pelvik,
simfisis, dan tibia.
c. Sendi diartrosis/sinoval (sendi bergerak bebas). Contohnya siku, lutut,
dan pergelangan tangan.
Berdasarkan strukturnya, sendi dibedakan atas:
a. Fibrosa
Sendi ini tidak memiliki lapisan tulang rawan, dan tulang yang satu
dengan yang lainnya dihubungkan oleh jaringan penyambung pibrosa.
Contohnya, sutura tulang tengkorak perlekatan tulang tibia dan fibula
bagian distal.
b. Kartilago
Sendi yang ujung-ujung tulungnya terbungkus oleh tulang rawan hialin,
disokong oleh ligament dan hanya dapat sedikit bergerak. Sendi ini terbagi
menjadi 2, yaitu:
1) Sinkondrosissendi-sendi yang seluruh persendiannya diliputi oleh
tulang rawan hialin. Contohnya, sendi-sendi kostokondral.
2) Simfisissendi yang tulang-tulangnya memiliki suatu hubungan
fibrokartilago dan selapis tipis tulang rawan hialin yang menyelimuti
permukaan sendi. Contohnya, simfisis pubis dan sendi tulang
punggung.
c. Sendi synovial
Sendi tubuh yang dapat digerakan serta memiliki rongga sendi dan
permukaan sendi yang dilapisi tulang rawan hialin. Sendi ini adalah jenis
sendi yang paling umum dalam tubuh dan berasal dari kata sinovium yang
merupakan membran yang menyekresi cairan synovial untuk lumbrikasi
dan absorpsi syok.
Kondrosit merupakan satu-satunya sel hidup di dalam tulang rawan
sendi. Kondrosit ini dipengaruhi oleh faktor anabolik dan faktor katabolik
dalam mempertahankan keseimbangan sintesis dan degradasi. Faktor
katabolik utama diperankan oleh sitoksin interkeukin 1 beta, dan tumor
nekrosis faktor alfa. Sedangkan faktor anabolik diperankan oleh
transforming growth factor (TGF beta) dan insulin-like growth factor 1
(IGF 1). Dalam menjaga keseimbangan atau homeostasis apabila terjadi
osteoarthritis kondrosit akan meningkatkan aktivitas sitokinin yang
menyebabkan dikeluarkannya mediator inflamasi dan matriks
metalloproteinase (MMP).
3. Otot
Otot skeletal secara volunter dikendalikan oleh system syaraf pusat dan
perifer. Penghubung antara saraf motorik perifer dan sel-sel otot dikenal
sebagai motor end-plate.
Otot dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Otot rangka (lurik)
Diliputi oleh kapsul jaringan ikat. Lapisan jaringan ikat yang
membungkus otot disebut fasia otot atau episium. Otot ini terdiri dari
berkas-berkas sel otot kecil yang dibungkus lapisan jaringan ikat yang
disebut perimisium. Sel otot ini dilapisi jaringan ikat yang disebut
endomisium.
b. Otot visceral (polos)
Terdapat pada saluran pencernaan, saluran perkemihan, dan pembuluh
darah. Otot ini dipersarafi oleh sistem saraf otonom dan kontraksinya
tidak dibawah kontrol keinginan.
c. Otot jantung
Ditemukan hanya pada jantung dan kontraksinya diluar kontrol atau diluar
keinginan. Otot berkontraksi jika ada rangsangan dari adenosine trifosfat
(ATP) dan kalsium.
Fungsi Otot Skeletal
Fungsi otot skeletal adalah mengontrol pergerakan, mempertahankan postur
tubuh dan menghasilkan panas.
a. Eksitabilitas adalah kesanggupan sel untuk menerima dan merespons
stimulus. Stimulus biasanya dihantarkan oleh nuerotransmiter yang
dikeluarkan oleh neuron dan respons yang distransmisikan dan dihasilkan
oleh potensial aksi pada membran plasma dari sel otot.
b. Kontraktibilitas adalah kesanggupan sel untuk merespons stimulus dengan
memendek secara paksa.
c. Ekstensibilitas adalah kesanggupan sel untuk merespons stimulus dengan
memperpanjang dan memperpendek serat otot saat relaksasi ketika
berkontraksi dan memanjang jika rileks.
Elastisitas adalah kesanggupan sel untuk menghasilkan waktu istirahat
yang lama setelah memendek dan memanjang (Dudley, 2013).

C. Etiologi/ Predisposisi
Menurut Barbara. C (2012), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Cedera traumatic
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
a. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang
dan kerusakan pada kulit diatasnya.
b. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat
2. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
3. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas dikemiliteran.

D. Manifestasi Klinis/ Tanda dan Gejala


Menurut Henderson (2012) manifestasi klinis fraktur diantaranya:
1. Deformitas
Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti:
a. Rotasi pemendekan tulang
b. Penekanan tulang
2. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
4. Tenderness/keempukan
5. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya
dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
6. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan)
7. Pergerakan abnormal
8. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
9. Krepitasi
E. Patofisiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh Traumatik (jatuh), patologis (osteoporosis,tumor
tulang, infeksi) sehingga dapat mengakibatkan terputusnya kontinuitas tulang dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya atau disebut fraktur. Fraktur dapat
mengakibtan terjadi beberapa gangguan seperti dapat mengakibatkan cidera pada
sel yang dapat mengakibatkan degranulasi selt mast sehingga terjadi pelepasan
mediator kimia dari sel yang akan mempengaruhi medula spinalis dan korteks
serebri sehingga dapat mengakibatkan timbulnya rasa nyeri. Cedera juga
mengakibatkan terjadinya gangguan mobilitas fisik pada pasien. Fraktur juga
mengakibatkan terjadinya diskontinuitas fragmen tulang yang mengakibatkan
lebasnya lipid pada sumsum tulang sehingga terabsorpsi masuk ke pembuluh
darah sehingga dapat menimbulkan terjadinya emboli yang mengakibatkan oklusi
jaringan paru yang mengakibatkan nekrosis jaringan paru sehingga luas
permukaan paru berkurang yang mengakibatkan penurunan laju difusi sehingga
terjadi gangguan pertukaran gas. Apabila fraktur mengakibatkan terjadinya luka
terbuka dapat menimbulkan gangguan integritas kulit dan dapat juga
menimbulkan terjadinya infeksi atau resiko terjadi infeksi. Selain itu juga dapat
menimbulkan peradangan atau reaksi peradagangan yang mengakibatkan
terjadinya udema sehingga terjadi penekanan jaringan vaskuler sehingga aliran
darah menurun sehingga timbul masalah keperawatan resiko disfungsi
neurovaskuler (Donna D, 2012).
F. Pathway

Trauma Langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri Akut

Perubahan jaringan
sekitar Kerusakan frakmen tulang
Pergeseran fragmen tulang Tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari
Deformitas
Spasme otot kapiler
Melepaskan katekolamin
Gangguan fungsi
Peningkatan tekanan
ekstremitas Metabolisme asam lemak
kapiler

Hambatan mobilitas Pelepasan histamin Bergabung dengan trombosit


fisik
Protein plasma hilang Emboli
Laserasi kulit Menyumbat pembuluh darah
Edema
Penekanan pembuluh
Ketidakefektifan perfusi
Resiko darah
jaringan perifer
Infeksi
Kerusakan integritas
kulit
G. Pemeriksaan Penunjang/ Diagnostik
1. X-ray: menentukan lokasi/ luasnya fraktur
2. Scan tulang: memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
3. Arteriogram: dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
4. Hitung darah lengkap: hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan; peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan
5. Kretinin: trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
atau cedera hati. (NANDA, 2015)

H. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa tujuan penatalaksanaan fraktur menurut Reksoprodjo (2012)
yaitu: Mengembalikan/ memperbaiki bagian-bagian yang patah kedalam bentuk
semula (anatomis), imobilisasi untuk mempertahankan bentuk dan memperbaiki
fungsi bagian tulang yang rusak.
1. Fraktur Reduction
Manipulasi atau penurunan tertutup, manipulasi non bedah penyusunan
kembali secara manual dari fragmen-fragmen tulang terhadap posisi otonomi
sebelumnya. Penurunan terbuka merupakan perbaikan tulang terusan
penjajaran insisi pembedahan, seringkali memasukkan internal viksasi
terhadap fraktur dengan kawat, sekrup peniti plates batang intramedulasi, dan
paku. Type lokasi fraktur tergantung umur klien.
Jenis-jenis fraktur reduction yaitu :
a. Manipulasi/ close red
Adalah tindakan non bedah untuk mengembalikan posisi, panjang dan
bentuk. Close reduksi dilakukan dengan local anesthesia ataupun umum.
b. Open reduksi
Adalah perbaikan bentuk tulang dengan tindakan pembedahan sering
dilakukan dengan internal fiksasi menggunakan kawat, screlus, pins, plate,
intermedullary rods atau nail. Kelemahan tindakan ini adalah
kemungkinan infeksi dan komplikasi berhubungan dengan ansesthesia.
Jika dilakukan open reduksi internal fiksasi pada tulang(termasuk sendi)
maka akan ada indikasi untuk melakukan ROM.
c. Traksi
Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur
untuk meluruskan bentuk tulang.
Ada 3 macam yaitu :
1) Skin traksi : adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempel
plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu
menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya
digunakan untuk jangka pendek(48-72 jam).
2) Skeletal Traksi: adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang
yang cedera dan sendi panjang untuk mempertahankan traksi,
memutuskan pins (kawat) kedalam tulang.
3) Maintenance traksi: merupakan lanjutan dari traksi, kekuatan lanjutan
dapat diberika secara langsung pada tulang dengan kawat.
2. Fraktur Immobilisasi
a. Eksternal Fiksasi
b. Internal Fiksasi
c. Pemilihan Fraksi
3. Fraksi terbuka
a. Pembedahan debridement dan irigrasi
b. Imunisasi tetanus
c. Terapi antibiotic prophylactic
d. Immobilisasi

Cara operatif / pembedahan:


Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan
reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami
cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang
mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen-fragmen tulang yang telah
mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar
menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen
tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan
paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain :
1. Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
2. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada
didekatnya
3. Dapat mencapai stabilitas fiksasi yang cukup memadai
4. Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yang lain
5. Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-
kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi
sendi dan fungsi otot hampir normal selama penatalaksanaan dijalankan.
II. Asuhan Keperawatan Secara Teoritis
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bias diketahui luka
kecelakaan yang lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit Paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 2012).
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 2012).
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak (Ignatavicius, Donna D, 2012).
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius,
Donna D, 2012).
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 2012).
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 2012).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 2012).

i) Pola Reproduksi Seksual


Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bias melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius,
Donna D, 2012).
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

8) Pemeriksaan Fisik
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya
seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

B. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


1. Pre Op
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot, gerakan
fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi
b. Gangguan mobilitas fisik
c. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut terhadap tindakan operasi
d. Gangguan integritas kulit
2. Intra Op
a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka,
pemasangan traksi (pen kawat, sekrup), insisi pembedahan
b. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma, imunitas tubuh primer
menurun, prosedur invasive (pemasangan traksi)
c. Risiko hipovolemia
3. Post Op
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, pembedahan
b. Risiko infeksi
c. Defisit Pengetahuan
Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA
NO SLKI SIKI
KEPERAWATAN
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan Manajemen nyeri
tingkat nyeri dapat menurun dengan Kriteria Hasil : Observasi
 Keluhan nyeri menurun.  Identifikasi lokasi, karakterisitik, durasi, frekuensi, kualitas,
 Meringis menurun intensitas nyeri
 Sikap protektif menurun.  Identifikasi skala nyeri
 Gelisah menurun  Identifikasi respons nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkaan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2 Risiko Hipovolemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Status cairan Manajemen hypovolemia
berhubungan dengan membaik dengan Kriteria Hasil : Observasi
kehilangan cairan  Kekuatan nadi meningkat.  Periksa tanda dan gejala hipovolemia.
secara aktif  Membrane mukosa lembap.  Monitor intake dan output cairan.
 Frekuensi nadi membaik. Terapeutik
 Tekanan darah membaik.  Berikan asupan cairan oral
 Turgor kulit membaik. Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral.
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak.
Kolaborasi :
 Kolaborasi peberian cairan IV.

3 Defisit Pengetahuan Setelah dilakukan tindakan keprawatan diaharapkan Eedukasi Kesehatan


pengetahuan dapat terpenuhi dank lien mampu Observasi :
memahami tentang kesehatan dengan kriteria hasil :  Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
 Perilaku sesuai enjuran meningkat  Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
 Verbalisasi minat dalam belajar meningkat motivasi perilaku hidup bersih dan sehat.
 Kemampuan menjelaskan pengetahuan Terapeutik :
tentang suatu topik meningkat  Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
 Kemampuan menggambarkan pengalaman  Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
sebelumnya yang sesuai topik meningkat  Berikan kesempatan untuk bertanya
 Perilaku sesuai dengan pengetahuan Edukasi :
 Pertanyaan tentang masalah yang di hadapi  Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
menurun  Ajarkan perilaku hidup bersih sehat
 Peresepsi yang keliru terhadap masalah  Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku
menurun hidup bersih dan sehat
 Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat
menurun Edukasi Pola Perilaku Kesehatan
 Perilaku membaik Observasi :
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
 Identifikasi kemampuan menjaga kebersihan diri dan lingkungan
 Monitor kemampuan melakukan dan mempertahankan kebersihan
diri dan lingkungan
Terapeutik :
 Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
 Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
 Berikan kesempatan untuk bertanya
 Peraktekan bersama keluarga cara menjaga kebersihan diri dan
lingkungan
Edukasi :
 Jelaskan masalah yang dapat timbul akibat tidak menjaga kebersihan
diri dan lingkungan
 Ajarkan cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan
4 Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat Reduksi ansietas
dengan kurang ansietas menurun dengan Kriteria Hasil : Observasi
terpapar informasi  Verbalisasi kebingungan menurun.  Identivikasi saat tingkat ansietas berubah.
 Verbalisasi khawatir akibat menurun.  Monitor tanda tanda ansietas verbal non verbal.
 Prilaku gelisah menurun.  Temani klien untuk mengurangi kecemasan jika perlu.
 Prilaku tegang menurun. Terapeutik
 Dengarkan dengan penuh perhatian.
 Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami.
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama klien, jika perlu.
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi.
 Latih teknik relaksasi.
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat antiansietas jika perlu.

4 Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan maka Observasi


berhubungan dengan integritas kulit meningkat dengan Kriteria Hasil • Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik.
efek prosedur invasif • Nyeri menurun Terapeutik
• Kemerahan menurun • Batasi jumlah pengunjung.
• Bengkak menurun • Berikan perawatan kulit pada area edema.
• Perfusi jaringan meningkat • Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
• Kerusakan jaringan menurun lingkungan pasien
• Kerusakan lapisan kulit menurun • Pemberian teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi.
• Nyeri menurun Edukasi
• Suhu kulit membaik • Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
• Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
• Ajarkan etika batuk.
• Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi.
• Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
• Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu.
5 Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan maka Observasi
Fisik mobilitas fisik meninggkat dengan Kriteria Hasil • Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian.(fraktur).
 Pergerakan eksremitas meningkat • Monitor bagian distal area cidera.
 Nyeri menurun • Monitor adanya adanya pedarahan pada daerah cidera.
 Kecemasan menurun Terapeutik
 Gerakan terbatas menurun • Identifikasi material bidai yang sesuai.
• Tutup luka terbuka dengan balutan.
• Atasi perdarahan sebalum bidai di pasang.
• Berikan bantalan pada bidai.
• Imobilisasi sendi di atas dan di bawah area cidera.
• Topang kaki mengunakan penyangga kaki.
• Tempatkan eksremitas yang cidera dalam posisi fungsional.
• Pasang bidai pada posisi tubuh seperti saat di temukan
• Gunakan kedua tanagan untuk menopang area cedera.
• Gunakan kain gendong secara tepat
Edukasi
• Jelaskan tujuan dan langkah langkah prosedur sebelum pemasangan
bidai
• Anjurkan membatasi gerak pada area cedera
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham. 2010. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya
Medika: Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall, 2010. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,


EGC:Jakarta.

Doenges M.E. 2012. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed
). Philadelpia, F.A. Davis Company

Dudley, Hugh AF, 2013. Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. Sistem Kesehatan Nasional,


Jakarta.

Henderson, M.A, 2012. Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika,
Yogyakarta.

Huda Nurarif, Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis NANDA NIC NOC. Mediaction Publishing:Yogyakarta

Ignatavicius, Donna D, 2012. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process


Approach, W.B. Saunder Company.

Keliat, Budi Anna.2014. Proses Perawatan. EGC: Jakarta.

Long, Barbara C.2012. Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3. EGC:Jakarta.

Mansjoer, Arif, et al. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius
FKUI: Jakarta,.

Oswari, E. 2013. Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Price, Evelyn C, 2011. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia: Jakarta.

Reksoprodjo, Soelarto, 2012 Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa


Aksara: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai