DENGAN HIPERTENSI
A. Konsep Lansia
1. Pengertian Usia Lanjut
Menurut Constantinides yang dikutip oleh Maryam dkk (2012) penuaan
adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri atau mempertahankan struktur serta fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir
perkembangan pada daur kehidupan manusia. Menurut UU No. 13 tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun(Dewi & Sofia, 2014).
Lanjut usia merupakan suatu bagian dari proses tumbuh kembang.
Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi melalui proses tahapan atau
perkembangan dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan akhirnya menjadi tua.
Lansia merupakan proses alami yang diikuti dengan perubahan fisik dan perilaku.
Semua individu akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan
masa hidup tahap akhir dari manusia, dimana mengalami kemunduran fisik,
mental dan sosial secara bertahap (Artinawati, 2014)
1
2
biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi.
2) Immunology slow theory
Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif
dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat
menyebabkan kerusakan organ tubuh.
3) Teori stres
Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel
yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat
mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan
stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
4) Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya
radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-
bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan
sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.
5) Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel
yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen.
Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan, dan hilangnya
fungsi sel.
b. Teori psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan
keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya penurunan
dan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan
belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan
berinteraksi. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.
Dengan adanya penurunan fungsi sistem sensorik, maka akan terjadi pula
penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespons stimulus
sehingga terkadang akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang
ada.
3
c. Teori sosial
Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu
teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri
(disengagement theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan
(continuity theory), teori perkembangan (development theory), dan teori
stratifikasi usia (age stratification theory).
d. Teori interaksi sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu
situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada lansia,
kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi sosial
mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan
mereka untuk mengikuti perintah.
e. Teori penarikan diri
Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan
menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-
lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya.
f. Teori aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas
serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas
dan aktivitas yang dilakukan.
g. Teori kesinambungan
Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus
kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan
gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa
gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun
ia telah menjadi lansia.
h. Teori perkembangan
Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua
merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai
tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi,
4
teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau
yang seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut.
i. Teori stratifikasi usia
Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan yang
dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari
sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat
ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok
usia lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk
menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat
kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok
etnik.
j. Teori spiritual
Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian
hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti
kehidupan.
3. Klasifikasi Lansia
Menurut Depkes RI (2003) dalam Dewi & Sofia (2014)
mengklasifikasikan lansia dalam kategori berikut :
a. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
b. Lansia yaitu seseorang yang berusaia 60 tahun atau lebih
c. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
d. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan da atau
kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa
e. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.
Sedangkan klasifikasi lansia menurut WHO dalam Dewi & Sofia (2014)
yaitu :
a. Elderly : 60-74 tahun
b. Old : 75-89 tahun
5
3) Sistem pendengaran.
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran.
Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan.
4) Sistem penglihatan.
Timbul sklerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respon terhadap
sinar, kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram
(keruh) dapat menyebabkan katarak, hilangnya daya akomodasi,
menurunnya lapang pandang, dan menurunnya daya untuk membedakan
antara warna biru dengan hijau pada skala pemeriksaan.
5) Kardiovaskular.
Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah
menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah
menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga
tekanan darah meningkat.
6) Sistem pernapasan.
Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan manjadi kaku,
menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga
kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas
pernapasan maksimum menurun, dan kedalaman napas menurun. Alveoli
melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi
penyempitan pada bronkus.
7) Sistem muskuloskeletal.
Tulang kehilangan kepedatannya (density) dan semakin rapuh,
kifosis, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan
mengalami sklerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi
lambat, otot-otot kram dan menjadi tremor.
8) Gastrointestinal.
Esophagus melebar, asam lambung menurun, peristaltik menurun
sehingga daya absorpsi juga menurun. Ukuran lambung mengecil serta
fungsi organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya
produksi hormon dan enzim pencernaan.
7
9) Sistem genitourinaria.
Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di
glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan
ginjal untuk mengonsentrasikan urin juga menurun. Otot-otot kandung
kemih melemah, kapasitasnya menurun hingga 200 ml dan menyebabkan
frekuensi buang air kecil meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan
sehingga meningkatkan retensi urin.
10) Sistem endokrin.
Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid,
BMR, daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta sekresi hormon
kelamin seperti progesterone, esterogen, dan testosterone.
11) Sistem integumen.
Kulit menjadi keriput, kulit kepala dan rambut menipis, rambut
dalam hidung dan telinga menebal, elastisitas menurun, vaskularisasi
menurun, rambut memutih, kelenjar keringat menurun, kuku keras dan
rapuh.
b. Perubahan mental
Kemampuan belajar pada lansia masih ada tetapi relatif menurun.
Faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik,
kesehatan umum, tingkat pendidikan, hereditas, lingkungan, tingkat
kecerdasan, dan kenangan (memori).
c. Perubahan psikososial
Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory,
frustrasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian,
perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan. Pada masa pensiun lansia akan
kehilangan sumber finansial, kehilangan status, relasi, dan pekerjaan, dan
merasakan atau kesadaran akan kematian.
2. Etiologi Hipertensi
Menurut Mansjoer (2001), berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat
dikelompokkan dalam dua kategori besar, yaitu:
a. Hipertensi primer
Hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan jelas. Berbagai
faktor yang diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer seperti
bertambahnya umur, stress psikologis, dan hereditas (keturunan). Sekitar 90 %
pasien hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini. Pengobatan hipertensi
primer sering dilakukan adalah membatasi konsumsi kalori bagi mereka yang
kegemukan (obes), membatasi konsumsi garam, dan olahraga. Obat antihipertensi
mungkin pula digunakan tetapi kadang-kadang menimbulkan efek samping seperti
meningkatnya kadar kolesterol, menurunnya kadar natrium (Na) dan kalium (K)
didalam tubuh dan dehidrasi.
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
Penyebab boleh dikatakan telah pasti yaitu hipertensi yang diakibatkan
oleh kerusakan suatu organ. Yang termasuk hipertensi sekunder seperti :
hipertensi jantung, hipertensi penyakit ginjal, hipertensi penyakit jantung dan
ginjal, hipertensi diabetes melitus, dan hipertensi sekunder lain yang tidak
spesifik. Penyebab spesifik dari hipertensi renal yaitu penggunaan estrogen,
penyakit ginjal, hipertensi vaskuler renal, hiperaldosteronisme primer, sindrom
chusing, feokromositoma, koarktasioaorta, hipertnsi yang berhubungan dengan
kehamilan, dan lain-lain.
Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7 dalam Pudiastui (2011) dapat
dilihat sebagai berikut :
10
rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah sistolik. Pria dan wanita
menapouse mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi. Wanita
lebih banyak yang menderita hipertensi dibanding pria, hal ini disebabkan karena
terdapatnya hormon estrogen pada wanita.
3) Riwayat keluarga
Orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi lebih
sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi
(faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada
hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung
meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Dari data statistik terbukti bahwa
seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi
jika orang tuanya menderita hipertensi. Menurut Sheps dalam (Dalimartha, 2008),
hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua
kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25%
kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai
hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan penyakit tersebut 60%.
4) Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot
(satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang
mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara
alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan
hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda
dan gejala.
b. Faktor yang dapat diubah atau dikontrol.
1) Kebiasaan merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan
peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan.6 Selain dari lamanya,
risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari.
Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi
dari pada mereka yang tidak merokok.
13
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap
melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.
Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah
segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin
diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan
diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai
otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal
untuk melepas epinefrin (adrenalin).
Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa
jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah
merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan
meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30
menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan
menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada
perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari.
2) Konsumsi garam
Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam
dengan hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme
timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui
peningkatan volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan
diikuti oleh peningkatan ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan
hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial
mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh.
Reaksi orang terhadap natrium berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang
sehat maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi
natrium tanpa batas, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau
bahkan tidak ada. Pada kelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan
kenaikan darah yang juga memicu terjadinya hipertensi.
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan
14
garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan
prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram
perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan
terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah
jantung dan tekanan darah.
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan
diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan
darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan
tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan
darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari
6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.
Adanya kaitan antara asupan natrium dengan hipertensi pada beberapa
individu. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan
yang meningkatkan volume darah.
3) Konsumsi lemak jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan peningkatan berat
badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemak jenuh juga
meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan
darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang
bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya
yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber
dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
4) Penggunaan jelantah
Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali dipakai untuk
menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak yang telah rusak. Bahan
dasar minyak goreng bisa bermacam-macam seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung
dan lain-lain. Meskipun beragam, secara kimia isi kendungannya sebetulnya tidak
jauh berbeda, yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam lemak
tidak jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil terdapat lesitin, cephalin, fosfatida,
sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen larut lemak, karbohidrat dan protein. Hal
yang menyebabkan berbeda adalah komposisinya, minyak sawit mengandung
15
sekitar 45,5% ALJ yang didominasi oleh lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang
didominasi asam lemak oleat sering juga disebut omega-9. minyak kelapa
mengadung 80% ALJ dan 20% ALTJ, sementara minyak zaitun dan minyak biji
bunga matahari hampir 90% komposisinya adalah ALTJ.
Penggunaan minyak goreng sebagai media penggorengan bisa menjadi rusak
karena minyak goreng tidak tahan terhadap panas. Minyak goreng yang tinggi
kandungan ALTJ-nya pun memiliki nilai tambah hanya pada gorengan pertama
saja, selebihnya minyak tersebut menjadi rusak. Bahan makanan kaya omega-3
yang diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol darah, akan tidak berkasiat bila
dipanaskan dan diberi kesempatan untuk dingin kemudian dipakai untuk
menggoreng kembali, karena komposisi ikatan rangkapnya telah rusak.
5) Kebiasaan konsumsi minuman beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol berat
cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi belum diketahui
secara pasti Orangorangyang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu
banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada individuyang tidak minum
atau minum sedikit. Menurut Khomsan (2003) konsumsi alkohol harus
diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan
dengan konsumsi alkohol. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol
masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan
volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan
tekanan darah. Diperkirakan konsumsi alkohol berlebihan menjadi penyebab
sekitar 5-20% dari semua kasus hipertensi. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih
minuman berakohol perhari meningkatkan risiko mendapat hipertensi sebesar
duakali. Bagaimana dan mengapa alkohol meningkatkan tekanan darah belum
diketahui dengan jelas. Namun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam jangka
panjang, minum minuman beralkohol berlebihan akan merusak jantung dan
organ-organ lain.
16
5. Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf
pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin,
2009).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi
epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol
dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh
darah.
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler Semua faktor tersebut cenderung mencetus
keadaan hipertensi (Corwin, 2011).
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
17
a. Nonmediokamentosa
Olahraga teratur, restrikasi natrium, pembatasan natrium (garam dapur)
terbukti efektif menurunkan tekanan darah pada 60% pasien, Pendekatan diet,
yaitu mengonsumsi makanan yang kaya akan buah, rendah lemak atau bebas
lemak hewani. Pola diet ini cukup efektif menangani hipertensi berdasarkan riset
National Institute of Health (NIH) di Amerika Selatan, penghentian konsumsi
alkohol dan rokok, menghindari stress (Agoes, 2008).
b. Terapi dengan obat-obatan
1) Hipertensi tanpa komplikasi diuretic, beta bloker
2) Indikasi tertentu enhibitor ACE, penghambat reseptor angiotensin II, Alfa
bloker, alfa-beta bloker, antagonisca, diuretic.
3) Indikasi yang disesuaikan: diabetes mellitus tipe I dengan protein nuria
inhibitor ACE, gagal jantung inhibitor ACE diuretic, hipertensi sistolik
terisolasi, infark miokard beta bloker (non ISA) inihibitor ACE (dengan
disfungsi sistolik) (Mansjoer, 2003).
Bila tekanan darah tidak dapat diturunkan dalam satu bulan, dosis obat
dapat disesuaikan sampai dosis maksimal atau menambahkan obat golongan lain
atau mengganti obat pertama dengan obat golongan lain. Sasaran penurunan
tekanan darah adalah kurang dari 140/90 dengan efek samping minimal
penurunan dosis obat dapat dilakukan pada golongan hipertensi ringan yang sudah
terkontrol dengan baik selama satu tahun. Pilihan obat dalam mengatasi hipertensi
diantaranya :
1) Diuretik
Diuretik adalah obat yang memperbanyak kencing, mempertinggi
pengeluaran garam (NaCl) dengan turunya kadar Na+ makan tekanan darah akan
turun dan efek hipotensifnya kurang kuat. Obat yang sering digunakan adalah obat
yang daya kerjanya panjang sehingga dapat digunakan dosis tunggal, diutamakan
diuretic yang hemat kalium seperti spironolacture, HCT, Cholotalidore, dan
indopanide.
19
2) Alfa-Bloker
Alfa blocker adalah obat yang dapat memblokir reseptor alfa dan
menyebabkan vasodilatasi perifer serta turunya tekanan darah karena efek
hipotensinya ringan sedangkan efek sampingnya agak kuat misalnya hipotensi
ostotatik dan tachikardia maka jarang digunakan. Seperti prognosin dan terazosin.
3) Beta-Blocker
Mekanisme kerja obat beta-blocker belum diketahui dengan pasti diduga
kerjanya berdasarkan beta blocker pada jantung sehingga mengurangi daya dan
frekuensi kontrasi jantung. Dengan demikian tekanan darah akan menurun dan
daya hipotensinya baik. Seperti : propanolol, alterolol, pindolol.
4) Obat yang bekerja sentral
Obat yang bekerja sentral dapat mengurangi pelepasan non adrenalin
sehingga menurunkan aktifitas saraf adretergik perifer dan turunya tekanan darah,
penggunaan obat ini perlu memperhatikan efek hipotensi ostatik seperti uonidire,
euanfacire dan netelopa.
5) Vasodilator
Obat vasodilator dapat langsung mengembangkan dinding osteriole
sehingga daya tahan pembuluh perifer berkurang dan tekanan darah menurun
seperti hidralazine dan tecrazine.
6) Antagonis Kalsium
Mekanisme obat antagonis kalisum adalah menghambat pemasukan ion
kalsium ke dalam sel otot polos pembuluh dengan efek vasodilatasi dari turunya
tekanan darah seperti : nipedipin dan verapamil.
7) Penghambat ACE
Obat penghambat ACE ini menurunkan tekanan darah dengan cara
menghambat angiotensin converting enzyme yang berdaya vasokontriksi kuat
seperti coptopril. (capoten) dan enalprit..
20
9. Pathways Hipertensi
tidak ada .
2) Dada
Adanya pernafasan dispnoe, apnoe atau normal serta obstruksi jalan
nafas, kelumpuhan otot pernafasan penggunaan otot-otot bantu
pernafasan, terdapat suara nafas ronchi dan whezzing.
3) Jantung
Bila penderita tidak sadar dapat terjadi hipertensi atau hipotensi,
tekanan intrakranial meningkat serta tromboflebitis, nadi bradikardi,
takikardi atau normal .
4) Abdomen
Adanya distensi perut, pengerasan feses, penurunan peristaltik usus,
gangguan BAB baik konstipasi atau diare .
5) Ekstrimitas
Adanya kelemahan pada ekstremitas tertentu penyebab gangguan
mobilisasi. Adanya kelemahan otot, kontraktur sendi dengan nilai
ROM : 2, serta kelumpuhan.
6) Pemeriksaan urologis
Pada penderita dapat terjadi retensi urine, incontinensia infeksi
kandung kencing, serta didapatkannya nyeri tekan kandung kencing.
7) Pemeriksaan fungsi sensorik
Ada atau tidak gangguan penglihatan, pendengaran atau pembicaraan.
h. Pengkajian Keseimbangan Lansia
1) Perubahan posisi atau gerakan keseimbangan
Bangun dari kursi ( dimasukan dalam analisis )*
Tidak bangun dari duduk dengan satu kali gerakan, tetapi mendorong
tubuhnya ke atas dengan tangan atau bergerak ke bagian depan
kursiterlebih dahulu, tidak stabil pada saat berdiri pertama kali.
Duduk ke kursi ( dimasukan dalam analisis )*
Menjatuhkan diri di kursi, tidak duduk di tengah kursi
Keterangan ( )* : kursi yang keras dan tanpa lengan
24
Mata Tertutup
Sama seperti di atas (periksa kepercayaan pasien tentang input
penglihatan untuk keseimbangannya)
Perputaran leher
Menggerakan kaki, menggenggam obyek untuk dukungan, kaki tidak
menyentuh sisi-sisinya, keluhan vertigo, pusing, atau keadaan tidak
stabil.
Membungkuk
Tidak mampu untuk membungkuk, untuk mengambil obyek-obyek
kecil (misal : pulpen) dari lantai, memegang suatu obyek untuk bisa
berdiri lagi, memerlukan usaha-usaha multiple untuk bangun.
Berbalik
Berhenti sebelum mulai berbalik, jalan sempoyongan memegang
obyek untuk dukungan.
i. Pengkajian Psikosoial
Hubungan dengan orang lain dalam wisma :
(1) Tidak dikenal
(2) Sebatas kenal
(3) Mampu berinteraksi
(4) Mampu kejasama
Hubungan dengan orang lain diluar wisma didalam panti
(1) Tidak dikenal
(2) Sebatas kenal
(3) Mampu berinteraksi
(4) Mampu kejasama
Kebiasaan lansia berinteraksi ke wisma lainnya dalam panti
(1) Selalu
(2) Sering
(3) Jarang
(4) Tidak pernah
26
Stabilitas emosi
(1) Labil
(2) Stabil
(3) Iritabel
(4) Datar
Jelaskan : ……………………………………………………..
Motivasi penghuni panti
(1) Kemampuan sendiri
(2) Terpaksa
Frekwensi kunjungan keluarga
(1) 1 kali/bulan
(2) 2 kali/bulan
(3) Tidak pernah
j. Masalah emosional
Pertanyaan tahap 1
(1) Apakah klien mengalami susah tidur
(2) Ada masalah atau banyak pikiran
(3) Apakah klien murung atau menangis sendiri
(4) Apakah klien sering was-was atau kuatir
Pertanyaan tahap 2
(1) Keluhan lebih dari 3 bulan atau lebih dari 1 bulan 1 kali dalam satu
bulan
(2) Ada masalah atau banyak pikiran
(3) Ada gangguan atau masalah dengan orang lain
(4) Menggunakan obat tidur atau penenang atas anjuran dokter
27
l. Mini Mental State Exam (MMSE) (Menguji Aspek-Aspek Kognitif Dari Fungsi
Mental )
Penilaian pada pemeriksaan ini berfungsi untuk emngakji status kognitif
lansia dengan kateori
28
BAHASA
29
Skor Total ( )
□ Ya □ Tidak
4 Apakah anda sering merasa bosan ?
□ Ya □ Tidak
5 Apakah anda biasanya bersemangat / gembira ?
□ Ya □ Tidak
6 Apakah anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada
anda ?
30
□ Ya □ Tidak
7 Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup
anda ?
□ Ya □ Tidak
8 Apakah anda sering merasa tidak berdaya ?
□ Ya □ Tidak
9 Apakah anda lebih senang tinggal di rumah dari pada
keluar dan
mengerjakan sesuatu yang baru ?
□ Ya □ Tidak
10 Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan
daya
ingat anda dibanding kebanyakan orang ?
□ Ya □ Tidak
11 Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini
menyenangkan ?
□ Ya □ Tidak
12 Apakah anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda
saat ini ?
□ Ya □ Tidak
13 Apakah anda merasa anda penuh semangat ?
□ Ya □ Tidak
14 Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada
harapan ?
□ Ya □ Tidak
15 Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik
keadaannya dari
pada anda ?
□ Ya □ Tidak
Skor : Hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal
- Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1.
- Skor antara 5 – 9 menunjukkan kemungkinan besar depresi.
- Skor 10 atau lebih merupakan depresi.
Pola BAK
Frekwensi BAK
(1) 1 – 3 kali sehari
(2) 4 – 6 kali sehari
(3) > 6 kali sehari
Warna urine
(1) Kuning jernih
(2) Putih jernih
(3) Kuning keruh
Gangguan BAK
(1) Inkontinensia urine
(2) Retensi urine
(3) Lainnya, …………………………………
Pola aktifitas
Kegiatan produktif lansia yang sering dilakukan
(1) Membantu kegiatan dapur
(2) Berkebun
(3) Pekerjaan rumah tangga
(4) Ketrampilan tangan
33
p. Indeks Barthel
Indeks barthel mempunyai fungsi penilaian yang sama dengan indeks
KATZ yaitu menilai kemandirian lansia dengan kategori sebagai
berikut :
NO AKTIVITAS NILAI
BANTUAN MANDIRI
1. Makan 5 10
2. Berpindah dari kursi roda ke tempat 5 -10 15
tidur dan sebaliknya, termasuk duduk
di tempat tidur
3. Kebersian diri, mencuci muka, 0 5
menyisir, mencukur dan mengosok
gigi
4. Aktivitas toilet 5 10
34
5. Mandi 0 5
6. Berjalan di jalan yang datar ( jika 10 15
tidak mampu berjalan lakukan dengan
kursi roda )
7. Naik turun tangga 5 10
8. Berpakaian termasuk mengenakan 5 10
sepatu
9. Mengontrol defekasi 5 10
10. Mengontrol berkemih 5 10
JUMLAH 100
Keterangan Jumlah :
0-20 = ketergantungan penuh
21-61 = ketergantungan berat (sangat tergantung)
62-90 = ketergantungan moderat
91-99 = ketergantungan ringan
100 = mandiri
q. Indeks KATZ
Indeks KATZ digunakan untuk melihat tingkat kemandiria atau
ketergantung pada lansia dengan kategori sebagai berikut :
Skore Criteria
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke
kamar kecil, berpakaiandan mandi
B Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari,
kecuali satu dari fungsi tersebut
C Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari,
kecuali mandi dan satu fungsi tambahan
D Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari,
kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari
kecuali mandi, berpakaian, ke kamar kecil dan satu fungsi
tambahan
F Kemandirian dalam semua aktivitas hidup sehari-hari
kecuali mandi, berpakaian, ke kamar kecil, berpindah dan
satu fungsi tambahan
G Ketergantungan pada ke enam fungsi tersebut
35
Keterangan: Total 5
36
Selalu = 2,
Kadang-kadang = 1,
Hampir tidak pernah = 0
r. Asessmen Geriatri
Tanggal pemeriksaan :
Nama Pasien : L/ P
Nama Pemeriksa :
Nomor RM :
Ruang :
Umur : tahun
Lantai
(1) semen (2) tegel (3) keramik (4) tanah (5) lainnya, …
Kebersihan lantai
(1) baik (2) kurang
Ventilasi
(1) < 15 % luas lantai (2) 15 % luas lantai
Pencahayaan
(1) Baik (2) kurang Jelaskan, ………………………
Pengaturan penataan perabot
(1) baik (2) kurang
Kelengkapan alat rumah tangga
(1) lengkap (2) tidak lengkap Jelaskan, ………………………
SANITASI
Penyediaan air bersih (MCK) :
(1) PDAM (2) Sumur (3) Mata air (4) sungai (5) lainnya, …
Penyediaan air minum
(1) air rebus sendiri (2) Beli (aqua) (3) air biasa tanpa rebus
Pengelolaan jamban
(1) bersama (2) kelompok (3) pribadi (4) lainnya, ……………
Jenis jamban :
(1) Leher angsa (2) cemplung terbuka (3) Cemplung tertutup (4) Lainnya
Jarak dengan sumber air
(1) < 10 meter (2) > 10 meter
Sarana pembuangan air limbah (SPAL) :
(1) Lancar (2) Tidak lancar
Petugas sampah
(1) ditimbun (2) dibakar (3) daur ulang
(4) dibuang sembarang tempat (5) dikelola dinas
Polusi udara
39
(1) Pabrik (2) Rumah tangga (3) industri (4) Lainnya, ………
Pengelolaan binatang pengerat
(1) tidak (2) ya, (*) dengan racun (*) dengan alat (*) lainnya, …
FASILITAS
Peternakan
(1) ada (2) tidak Jenis, ……………………………
Perikanan
(1) ada (2) tidak Jenis, …………………………..
Sarana olah raga
(1) ada (2) Jenis, ……………………………
Taman
( 1) ada (2) tidak Luasnya, …………………………….
Ruang pertemuan
(1) ada (2) tidak Luasnya, ………………………………
Sarana hiburan
(1) ada (2) tidak Jenis, …………………………………….
Sarana ibadah
(1) ada (2) tidak Jenis, …………………………………….
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon
individu, keluarga, dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses
kehidupan ataupun kerentanan respon terkait masalah kesehatan (Herdman &
Kamitsuru, 2014). Diagnosa keperawatan menjadi dasar untuk pemilihan
intervensi keperawatan untuk mencapai kriteria hasil yang diharapkan
selama proses perawatan. Pada lansia terdapat beberapa diagnosis
keperawatan terkait masalah peradangan sendi yaitu Nyeri, (Miller, 2012).
Diagnose keperawatan yang kemungkinan muncul pada pasien dengan Gout
artritis yaitu :
a. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi jaringan
3. Rencana Keperawatan
Rencana Keperawatan pada lansia dengan gout artritis menurut SDKI
(2018) yaitu :
Diagnosa Tujaun dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
Nyeri akut Setelah diberikan asuhan 1) Pemberian Analgesik
keperawatan selama 2 x 24 jam Observasi
diharapkan nyeri menurun a. Identifikasi
dengan kriteria hasil : riwayat alergi
Keluhan nyeri menurun obat
Tampak meringis menurun b. Monitor tanda-
Sikap protektif menurun tanda vital
Gelisah menurun sebelum dan
Kesulitan tidur menurun sesudah
Frekuensi nadi membaik pemberian
Tekanan darah membaik analgetik
41
Edukasi
Jelaskan efek terapi
dan efek samping
obat
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian dosis dan
jenis analgetik sesuai
terapi
2) Manajemen Nyeri
Observasi
a. Identifikasi
lokasi,
karakteristik,
durasi, frekuensi,
kualitas,
intensitas nyeri
b. Identifikasi skala
nyeri Identifikasi
respons nyeri non
verbal
c. Identifikasi faktor
yang
memperberat dan
memperingan
nyeri
Terapeutik
• Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
• Kontrol
lingkungan yang
memperberat rasa
nyeri (misalnya,
suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
• Fasilitasi istirahat
dan tidur
Gangguan Pola Setelah dilakukan tindakan Dukungan Tidur
42
menghindari
makanan/minuman
yang mengganggu
tidur
Anjurkan
penggunaan obat
tidur yang tidak
mengandung
supresor terhadap
tidur REM
Ajarkan relaksasi otot
autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya
Ansietas Tujuan : a. Identivikasi saat
Setelah dilakukan tindakan tingkat ansietas
keperawatan tingkat ansietas berubah.
menurun b. Monitor tanda tanda
Kriteria Hasil : ansietas verbal non
a. Verbalisasi kebingungan verbal.
menurun. c. Temani klien untuk
b. Verbalisasi khawatir mengurangi
akibat menurun. kecemasan jika perlu.
c. Prilaku gelisah menurun. d. Dengarkan dengan
d. Prilaku tegang menurun penuh perhatian.
e. Gunakan pendekatan
yang tenang dan
meyakinkan.
f. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi
yang mungkin
dialami.
g. Anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
klien, jika perlu.
h. Anjurkan
mengungkapkan
perasaan dan
persepsi.
i. Latih teknik relaksasi.
j. Kolaborasi pemberian
obat antiansietas jika
perlu
Defisit Tujuan: 1. Identivikasi kesiapan
Pengetahuan Setelah dilakukan tindakan dan kemampuan
perawatan diharapkan menerima informasi.
tingkat pengetahuan klien 2. Sediakan materi dan
meningkat. media pendidikan
kriteria hasil : kesehatan.
1. Perilaku sesuai anjuran, 3. Berikan kesempatan
verbalisasi minat dan belajar untuk bertanya.
44
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, yaitu
kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang
dilakukan dan diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan
keperawatan mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan (Potter
& Perry, 2011). Memberikan posisi yang nyaman untuk klien. Posisi yang
nyaman diberikan kepada klien untuk meningkatkan rasa nyaman, mengurangi
nyeri, mengurangi stress spikis dan . Posisi nyaman untuk klien yaitu posisi
terlentang atau supine (Istianah, 2011). Pelaksanaan implementasi keperawatan
disesuaikan dengan perencanaan yang telah di susun pada intevensi keperawatan
pada lansia dengan gout artritis.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi asuhan keperawatan pada klien hambatan mobilitas fisik
berdasarkan riteria hasil setiap tujuan keperawatan menurut Nurarif (2015) yaitu :
1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5) Tanda vital dalam rentang normal
6) Mobilitas sudah cukup baik
45
Nama : Tn. S
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku / Bangsa : Jawa/ Indonesia
Alamat : Ngijingan
Agama : Islam
Pendidikan : SLTA
Status : Kawin
Pekerjaan : Swasta
Tgl. Pengkajian : 22-05-2021
Jam : 10.00 WIB
Diagnosa Medis : Hipertensi
f) Istirahat tidur Tidur siang : 11.00-12.00 WIB, pola tidur tidak teratur
Tidur malam : 20.00-04.00 WIB, kualitas tidur baik.
Terkadang terbangun saat tengah malam untuk berkemih
dan karena nyeri
g. Leher Kaku leher tidak terjadi, nyeri tekan tidak ada, tidak
ada pembesaran vena jugularis
5 4
5 4
F. Terapi
Captopril 25 Mg 1 x 1
49
G. Analisa Data
DATA ETIOLOGI MASALAH
Ds: Peningkatan tekanan Nyeri Akut
Pasien mengatakan nyeri
vaskuler
pada kepala bagian belakang
sebelah kanan
Do :
1. Klien tampak gelisah
2. Nyeri Perubahan struktur
P : Nyeri kepala
Q : Nyeri seperti
ditusuk-tusuk
R : Nyeri pada daerah
kepala belakang Vasokonstriksi
S: Skala nyeri 7
T : Nyeri hilang timbul
3. Wajah tampak
menyeringai Nyeri
4. Klien tampak
memegangi kepala dan
tampak menghindar
ketika akan disentuh
5. TD : 160/90 mmHg
6. N : 84 x/mnt
7. RR : 24 x/mnt
8. S : 36 0C
Ds: Peningkatan tekanan Gangguan Pola Tidur
Pasien mengatakan tidur
vaskuler
tergannggu kadang
terbangun karena nyeri
Do :
1. Klien tampak gelisah Perubahan struktur
2. Nyeri
P : Nyeri kepala
Q : Nyeri seperti Vasokonstriksi
ditusuk-tusuk
R : Nyeri pada daerah
kepala belakang Nyeri
S: Skala nyeri 7
T : Nyeri hilang timbul
3. Wajah tampak Gangnguan Pola Tidur
menyeringai
4. Klien tampak
memegangi kepala dan
tampak menghindar
50
I. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Rencana Intervensi
Keperawatan Kriteria Hasil
J. Implementasi Keperawatan
Diagnosa Tgl 22 Mei 2021 Tgl 23 Mei 2021 Tgl 24 Mei 2021
Keperawata
n
Nyeri akut Jam 08.00 Jam 08.00 Jam 08.00
1. Mengobservas 1. Mengobservasi 1. Mengobservasi
i Skala nyeri Skala nyeri Skala nyeri
(numeric (numeric (numeric
verbal) verbal) verbal) pasien
pasien : skala pasien : skala : skala nyeri 3
nyeri 7 nyeri 6 2. Mengobservasi
2. Mengatur 2. Mengobservasi karakteristik
posisi yang karakteristik nyeri pasien :
nyaman untuk nyeri pasien : nyeri
pasien : posisi nyeri seperti berkurang
supinasi ditusuk-tusuk 3. Melakukan
3. Melakukan 3. Melakukan kompres
kompres kompres dingin pada
dingin pada dingin pada pasien selama
pasien selama pasien selama 15 menit :
15 menit : 15 menit : pasien
pasien pasien bersedia dan
bersedia dan bersedia dan mau dilakukan
mau dilakukan mau dilakukan kompres
kompres kompres dingin
dingin dingin 4. Mencatat
4. Mencatat 4. Mencatat keluhan nyeri
keluhan nyeri keluhan nyeri pasien : : nyeri
pasien : nyeri pasien : : nyeri sudah tidak
seperti seperti terasa
ditusuk-tusuk ditusuk-tusuk 5. Memberikan
5. Memberikan 5. Memberikan terapi obat
terapi obat terapi obat Captopril 1 x
Captopril 1 x Captopril 1 x 25 Mg
25 Mg 25 Mg
54
K. Evaluasi
Diagnosa Tgl 22 Mei 2021 Tgl 23 Mei 2021 Tgl 24 Mei 2021
Keperawatan
Nyeri akut. S: pasien mengeluh S: pasien mengeluh S: pasien mengeluh
nyeri di ulu hati nyeri di ulu hati nyeri hilang
yang masih hilang timbul timbul di ulu hati
hilang timbul dan dan seperti tapi sudah jarang
seperti ditusuk- ditusuk-tusuk terasa
tusuk O:
O: O: 1. Kesadaran :
1. Kesadaran : 1. Kesadaran : composmentis
composmentis composmentis 2. /Wajah sudah
2. Wajah tampak 2. /Wajah tidak
menyeringai tampak menyeringai
3. pasien : skala menyeringai 3. Skala nyeri 3
nyeri 7 3. Skala nyeri 5 4. Pasien dapat
4. Pasien dapat 4. Pasien dapat menyebutkan
menyebutkan menyebutkan nyeri
nyeri nyeri karakteristik
karakteristik karakteristik nyeri yang
nyeri yang nyeri yang dirasakan
dirasakan dirasakan A: Masalah teratasi
A: Masalah teratasi A: Masalah teratasi P: intervensi
sebagian sebagian dihentikan
P: Intervensi P: Intervensi 1. Berikan HE
dilanjutkan nomer dilanjutkan nomer penatalaksanaa
1,2,3,5 1,2,3,5 n nyeri seperti
menggunakan
teknik relaksasi
kompres dingin,
serta anjurkan
keluarga dan
pasien untuk
pasien dapat
istirahat dan
menjaga dietnya
DAFTAR PUSTAKA
55
Corwin. E.J, (2011), Patofisiologi, Alih Bahasa Brahm U, Pandit Jakarta : EGC.
Judha, M., Sudarti, Fauziah, A. (2012). Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri
Persalinan. Nuha Medika: Yogyakarta
Smeltzer, S.C & Bare, B.G, (2012), Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2,
Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, Jakarta : EGC.
Sudoyo. (2011). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : FKUI IPD
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI