Anda di halaman 1dari 8

TUGAS HAM UNTUK PENDERITA HIV/AIDS

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 11

1. ENGENITA MANIFANDU
2. FERNADES M. AYER
3. SESELIA INA BAREK
4. WATINI
5. SIGIT P. IRIANTO

YAYASAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PAPUA (YPMP)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PAPUA

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

SORONG 2020/2021
A. HAM dan ODHA

Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS tidak dapat


dipisahkan dari aspek hukum dan hak Asasi manusia (HAM). Permasalahan pokok
yang menyangkut hukum berkaitan dengan maraknya kasus HIV/ AIDS adalah
bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan kepentingan masyarakat dan 
kepentingan individu pengidap HIV dan penderita AIDS (Indar, 2010).

Aspek hukum dan HAM merupakan dua komponen yang sangat penting dan
ikut berpengaruh terhadap berhasil tidaknya program penanggulangan yang
dilaksanakan. Telah diketahui bahwa salah satu sifat utama dari fenomena HIV &
AIDS terletak pada keunikan dalam penularan dan pencegahannya. Berbeda dengan
beberapa penyakit menular lainnya yang penularannya dibantu serta dipengaruhi oleh
alam sekitar, pada HIV & AIDS justeru penularan dan pencegahannya berhubungan
dengan dan atau tergantung pada perilaku manusia.

Terdapat dua hak asasi fundamental yang berkaitan dengan epidemi HIV/
AIDS yaitu : hak terhadap kesehatan dan hak untuk bebas dari diskriminasi.
Dibandingkan dengan hak terhadap kesehatan, jalan keluar dari masalah diskriminasi
terhadap penderita HIV/AIDS ini jauh lebih kompleks dan sulit.Perlakuan yang
diskriminatif dan pelanggaran HAM yang sering dialami Odha antara lain penolakan
di rumah sakit, pengucilan, PHK, penolakan klaim asuransi, pemulangan pekerja seks
ke daerah asalnya, pelacakan pekerja seks yang positif HIV, dan pemaksaan tes HIV
tanpa prosedur standar operasi, serta skrining terhadap calon karyawan dan karyawati
secara terselubung.

Berikut adalah beberapa peraturan kebijakan yang mengatur tentang


HIV/AIDS antara lain :

1. Deklarasi universal HAM PBB

2. UUD 1945 Pasal 28H ayat 2 : Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan
3. Pasal 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia larangan
diskriminasi terhadap seseorang yang merupakan salah satu tindakan pelanggaran
hak asasi manusia

4. Strategi Nasional Penanggulangan HIV AIDS

5. Keputusan Menakertrans No 68/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan


HIV/AIDS di Tempat Kerja.

6. UU No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.

7. Perda tentang penanggulangan HIV/AIDS di tiap provinsi  Jateng Perda


Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2009.

Dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, telah diatur


hal-hal pokok berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, diantaranya Hak atas layanan
kesehatan, Hak atas akses informasi, Hak atas kerahasiaan, Hak atas perlakuan yang
adil

1. Hak atas pelayanan kesehatan


Undang-Undang Kesehatan mewajibkan perawatan diberlakukan kepada seluruh
masyarakat tanpa kecuali termasuk penderita HIV AIDS. Dalam Pasal 5 UU
Kesehatan  dinyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam
mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu dan terjangkau.Tugas pemerintah dalam hal ini untuk
menyediakan tenaga medis, paramedik dan tenaga kesehatan lainnya yang cukup
dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS dan menjamin
ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan sehingga tercapai derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya. Penyediaan obat dan perbekalan kesehatan serta jaminan
ketersediaan obat dan alat kesehatan diatur dalam UU Kesehatan dan berlaku juga
bagi penderita HIV/AIDS.
2. Hak atas informasi
Pasal 7 UU Kesehatan secara tegas mengatakan bahwa setiap orang berhak
mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan serta informasi tentang data
kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan atas dirinya pada pasal 8.
Peningkatan pendidikan untuk menangani HIV dan AIDS termasuk metode
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta peningkatan pemahaman
masyarakat mengenai pentingnya pencegahan dan penyebaran HIV dan AIDS,
misalnya melalui penyuluhan dan sosialisasi merupakan upaya dalam memberikan
informasi mengenaiHIV/AIDS. 
3. Hak atas kerahasiaan
Hak atas kerahasiaan dalam UU Kesehatan diatur dalam Pasal 57 dimana setiap
orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya. Selain itu UUPK No. 29/2004
juga mengatur mengenai rahasia medis dan rekam medis ini pada paragraph 3 dan
4 tentang rekam medis dan rahasia kedokteran. Rahasia Medis itu bersifat pribadi,
hubungannya hanya antara dokter - pasien.  Ini berarti seorang dokter tidak boleh
mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang dipercayakannya kepada
orang lain, tanpa seizin si pasien. Masalah HIV / AIDS banyak sangkut pautnya
dengan Rahasia Medis sehingga kita harus berhati hati dalam menanganinya.
Dalam mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat dilema antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus dipertimbangkan
kepentingan mana yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi, hak asasi
seseorang harus diindahkan, namun hak asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak.
Pembatasan dari hak asasi seseorang adalah hak asasi orang lain didalam
masyarakat itu. Jika ada pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus
mengalah terhadap kepentingan masyarakat banyak.
4. Hak atas persetujuan tindakan medis
Dalam pasal 56 UU Kesehatan diatur tentang persetujuan tindakan medis atau
informed consent. Masalah AIDS juga ada erat kaitannya dengan Informed
Consent. Merupakan tugas dan kewajiban seorang dokter untuk memberikan
informasi tentang penyakit-penyakit yang diderita pasien dan tindakan apa yang
hendak dilakukan, disamping wajib merahasiakannya. Pada pihak lain
kepentingan masyarakat juga harus dilindungi. Semua tes HIV harus mendapatkan
informed consent dari pasien setelah pasien diberikan informasi yang cukup
tentang tes, tujuan tes,implikasi hasil tes positif ataupun negatif yang berupa
konseling prates.

Tercatat bahwa pertama kali peraturan daerah tentang HIV & AIDS terbit
pada tahun 2003. Daerah yang pertama kali menerbitkannya adalah Kabupaten
Merauke (Perda No 5 Tahun 2003). Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, paling
tidak tercatat sudah ada 55 peraturan daerah tentang penanggulangan HIV & AIDS.
Perda tersebut terdiri dari 17 perda tingkat propinsi, 11 perda tingkat kota dan 27
perda tingkat kabupaten. Dari sejumlah perda tersebut, Perda Kota Jayapura telah
mengalami revisi yaitu dari Perda No 7 Tahun 2006 menjadi Perda No 16 Tahun
2011. Di Jawa Tengah sendiri, perda yang mengatur tentang penanggulangan HIV
dan AIDS adalah Perda Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2009.

Sedangkan dalam Perda Pengendalian Hiv dan Aids Jawa Tengah, pasal yang
bersentuhan dengan HAMyaitu pasal 10 tentang Perlindungan terhadap ODHA dan
Masyarakat, pada poin :

a. Pemerintah Daerah melindungi hak asasi manusia yang terinfeksi HIV dan
AIDS termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIV dan AIDS.
b. Pemerintah Daerah mencegah dan menangani risiko guncangan dan kerentanan
sosial ODHA, OHIDHA dan masyarakat melalui perlindungan sosial.
c. Perlindungan sosial bagi ODHA dari stigma dan diskriminasi dilaksanakan
melalui :
1) bantuan sosial;
2) advokasi sosial;
3) bantuan hukum.

Pasal 11 juga menyebutkan “Pemerintah daerah memfasilitasi orang yang


berperilaku resiko tinggi dan yang terinfeksi HIV dan AIDS untuk memperoleh hak-
hak layanan kesehatan di Rumah Sakit atau Puskesmas setempat dan layanan
kesehatan lainnya.”
Selain itu, pasal 12 juga mempunyai beberapa poin yang menyinggung tentang
hak asasi manusia, yaitu :
a. Setiap orang yang karena pekerjaan dan atau jabatannya mengetahui dan
memilikim informasi status HIV dan AIDS seseorang, wajib merahasiakannya.
b. Penyedia layanan kesehatan wajib memberikan pelayanan kepada ODHA tanpa
diskriminasi.

Pasal 13, poin :


a. Setiap orang dilarang melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun kepada
orang yang terduga atau disangka atau telah terinfeksi HIV dan AIDS.
b. Setiap orang atau badan/lembaga dilarang mempublikasikan status HIV dan
AIDS seseorang kecuali dengan persetujuan yang bersangkutan.

Pasal 14, poin :


a. Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan
penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan
OHIDHA dengan cara :
1) berperilaku hidup sehat;
2) meningkatkan ketahanan keluarga;
3) mencegah terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, OHIDHA,
dan keluarganya;
4) aktif dalam kegiatan promosi, pencegahan, perawatan, dukungan,
pengobatan, dan pendampingan terhadap ODHA.
b. Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat berperan serta dalam kegiatan
penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan
OHIDHA dengan cara aktif dalam kegiatan sosialisasi penanggulangan HIV
dan AIDS.

B. HAM & Orang yang Berisiko HIV AIDS


Para pekerja seks, lesbian, gay, biseksual, dan transgender serta pengguna
narkotik secara umum 10 sampai 20 kali lebih mudah terinfeksi HIV sementara hanya
8% dari mereka yang mendapatkan akses ke layanan HIV. Pengingkaran hak asasi
manusia memiliki dampak negatif pada kesehatan mereka. Hak untuk menjalani hidup
sehat dan sejahtera bersifat global tetapi tidak semua orang dapat mengaksesnya.
Penggunaan narkotik, kerja seks, dan orientasi seksual dibanyak negara distigma dan
bahkan dikriminalisasi. Akibatnya, pencegahan HIV, pengobatan, perawatan,dan
dukungan layanan kurang dapat diakses oleh populasi kunci.Hal ini menyebabkan
mereka terdampak HIV dan AIDS secara tak sebanding.
HAM tidak hanya selalu diperhatikan untuk ODHA saja, namun focus
perspektif HAM terhadap mereka yang rentan terhadap HIV juga sangat diperlukan
untuk menanggulangi semakin tingginya angka HIV AIDS di Indonesia.
Tahun 2006, epidemi HIV/AIDS di Indonesia paling banyak terdapat di
kalangan pengguna narkoba suntik. Maka, penanganan utama saat itu adalah
bagaimana mengurangi dampak buruk pada pengguna narkoba suntik (Penasun).
Untuk itu, mulai awal tahun 2007 dilaksanakan pengurangan dampak buruk penularan
melalui jarum suntik atau harm reduction. Program dilakukan melalui pemberian alat
suntik steril, sebagai cara untuk memutus rantai penularan di antara penasun. Pada
saat sama, diselaraskan dengan pemberian layanan Methadone agar secara perlahan,
para penasun tersebut terbebas dari jeratan obat-obatan terlarang. Ini merupakan suatu
terobosan yang luar biasa, karena inovasi tersebut mengubah cara pandang
masyarakat yang semula kriminalisasi penasun menjadi upaya pencegahan penularan.
Selanjutnya, tahun 2010 prevalensi penasun sudah mulai menurun secara
bermakna, namun mulai muncul kasus HIV pada ibu rumah tangga sehingga mulai
diintensifkan upaya pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS).
Upaya tersebut diiintegrasikan dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014
(integrasi dalam RPJMN) dengan fokus pada populasi kunci di 141 Kab/Kota
prioritas.
Sementara itu, tahun 2011, penularan kepada ibu rumah tangga dan mulai
terjadi peningkatan  penularan dari Ibu positif HIV kepada bayi-bayi yang dilahirkan.
Oleh karena itu, Kemenkes melakukan akselerasi peningkatan cakupan dan layanan
Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), dengan tujuan utama untuk memutus
rantai penularan dari orang tua ke bayinya. Hingga akhir tahun 2013, telah terdapat
layanan PPIA di 91 RS dan di 23 Puskesmas.
Tahun 2012, mulai ditegaskan agar penanggulangan HIV/AIDS tidak boleh
dipisahkan dari prioritas nasional pencapaian Millenium Development Goals ke-6
(MDGs-6). Sejak itulah, mulai dikembangkan Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB) ditingkat Puskesmas. Dimana pelayanan HIV/AIDS mulai
dari upaya pencegahan, tes HIV sedini mungkin, sampai kepada pengobatan dapat
dilaksanakan di tingkat Puskesmas.
Akhirnya, terobosan paling anyar diperkenalkan pada pertengahan 2013,
dinamakan Strategic use of ARV (SUFA). Merupakan kebijakan baru, yaitu setiap
orang yang rentan atau berisiko, ditawarkan untuk melakukan tes. Dan bila hasilnya
positif, akan langsung ditawari pemberian obat Antiretroviral (ARV).
Selain itu, dalam memberikan perlindungan terhadap orang rentan lainnya,
Departemen Kesehatan juga mengeluarkan kebijakan baru yaitu Mobile VCT. Mobile
VCT ini adalah kegiatan atau layanan pemeriksaan HIV AIDS pada kelompok resiko
yakni, untuk pekerja seks, pelanggan pekerja seks dan sopir-sopir, dengan mendatangi
langsung lokasi atau tempat-tempat seperti kafe-kafe yang ada di kawasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Gaghenggang, Agyta. September 2013. “Diskriminasi terhadap Penderita HIV/AIDS


Menurut Hak Asasi Manusia”.Lex et Societatis, Vol. I No. 5.

UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.


Perda Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2009tentang penanggulangan HIV dan AIDS.
http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/artikel/artikel-tematik/146-satu-dekade-peraturan-
daerah-penanggulangan-hiv-aids-di-indonesia. Diakses pada 27 September 2015 pukul
08.09 WIB

http://kpaprovsulteng.or.id/2014/12/16/aspek-ham-dalam-pengendalian-hiv-aids/. Diakses
pada 27 September 2015 pukul 08.45 WIB

http://health.kompas.com/read/2011/12/01/0646401/antara.ham.dan.hiv. Diakses pada 27


September 2015 pukul 10.32 WIB
http://www.depkes.go.id/article/print/201408140002/inilah-terobosan-selama-8-tahun-
pengendalian-hiv-aids-di-indonesia.html. Diakses pada 27 September 2015 pukul
10.44 WIB

http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/berita-media/790-dinkes-muba-lakukan-tes-hiv-
aids-kepada-pekerja-seks. Diakses pada 27 September 2015 pukul 11.33 WIB

Anda mungkin juga menyukai