Anda di halaman 1dari 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA)

1. Pengertian ISPA

ISPA adalah Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau

lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk

adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura) dengan gejala

demam atau demam ≥ 38 °C dan batuk tidak lebih dari 10 hari sejak

timbul gejala dan memerlukan perawatan rumah sakit. (Mohammad

Subuh, 2016).

Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri.

Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala:

tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak.

ISPA selalu menduduki peringkat pertama dari10 penyakit terbanyak

di Indonesia (Kemenkes RI, 2014).

2. Patofisiologi ISPA

Patofisiologi lSPA Patogenesa saluran pernapasan selama hidup

selalu terpapar dengan dunia luar sehingga dibutuhkan suatu sistem

pertahanan yang efektif dan efisien dari sisitem saluran pernapasan

ini. Ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi maupun partikel

dan gas yang ada di udara sangat tergantung pada 3 unsur alamiah

yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu: utuhnya epitel mukosa

dan gerak moksila, makrofag alveoli, dan antibodi setempat. Sudah

8
9

menjadi suatu kecendrungan, bahwa terjadinya infeksi bakterial,

mudah terjadi pada saluran napas yang telah rusak sel-sel epitel

mukosanya, yang disebabkan oleh infeksi-infeksi terdahulu.

Keutuhan gerak lapisan mukosa dan silia dapat terganggu oleh

karena:

a. Asap rokok dan gas S02, polutan utama adalah pencemaran udara

b. Sindroma imotil.

c. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih).

Makrofag biasanya banyak terdapat di alveolidan baru akan

dimobilisasi ke tempat-tempat dimana terjadiinfeksi. Asap rokok

menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan

alkohol, menurunkan mobilitas sel-sel ini. Antibodi setempat pada

saluran napas, adalah Imunoglobulin A (Ig A) yang banyak terdapat di

mukosa. Kurangnya antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi

saluran pernapasan, seperti pada keadaan defisiensi Ig A pada anak.

Mereka dengan keadaan-keadaan imunodefisiensi juga akan

mengalami hal yang serupa, seperti halnya penderita-penderita yang

mendapat terapi situastik, radiasi, penderita dengan neoplasma yang

ganas, dan lain-lain. Gambaran klinik radang oleh karena infeksi

sangat tergantung pada karateristik inokulum, daya tahan tubuh

seseorang, dan umur seseorang. Karateristik inokulum sendiri, terdiri

dari besarnya aerosol, tingkat virulensi jasad renik dan banyaknya

(jumlah) jasad renik yang masuk. Daya tahan tubuh, terdiri dari
10

utuhnya sel epitel mukosadan gerak mukosilia, makrofag alveoli dan

Ig A (Amin, 2011).

ISPA akibat polusi adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor risiko

polusi udara seperti asap rokok, asap pembakaran di rumah tangga,

gas buang saranatransportasi dan industri, kebakaran hutan dan lain

lain (Mohammad Subuh, 2016).

Umur mempunyai pengaruh besar terutama pada ISPA saluran

pernapasan bawah anak dan bayi, akan memberikan gambaran klinik

yang lebih jelek bila dibandingkan dengan orang dewasa. Terutama

penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi pertama karena

virus,terutama penyakit-penyakit yang disebabkan oleh infeksi

pertama karena virus, pada mereka ini tampak lebih berat karena

belum diperoleh kekebalan alamiah. Pada orang dewasa, mereka

memberikan gambaran klinik yang ringan sebab telah terjadi

kekebalan yang diberikan oleh infeksinya terdahulunya. Pada ISPA

dikenal 3 cara penyebaran infeksi ini:

a. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk-batuk.

b. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk-batuk

dan bersin-bersin.

c. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah di

cemari jasad renik (hand to hand transmisssion).

Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus,

melalui bahan sekresi hidung. Virus ISPA terdapat 10-100 kali lebih
11

banyak dalam mukosa hidung daripada faring. Dari beberapa klinik,

laboratorium, maupun dilapangan, diperoleh kesimpulan

bahwasebenarnya kontak hand to hand merupakkan modus yang

terbesar bila dibandingkan dengan cara penularan aerogen yang

semula banyak diduga (Amin, 2011).

3. Etiologi

ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteri, maupun riketsia. Infeksi

bakterial merupakan penyulitISPA oleh karena virus, terutama bila

ada apidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai

keradangan parenkim. ISPA oleh virus, merupakan penyebab terbesar

dari angka kejadian ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100

jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik

yang khas untuk masing-masing jenis virus, sebaliknya beberapa jenis

virus bersama-sama pula memberikan gambaran klinik yang hampir

sama (Amin, 2011).

Klasifikasi ISPA Membuat klasifikasi berarti membuat sebuah

keputusan mengenai kemungkinan tingkat keparahan. Klasifikasi

merupakkan suatu katagori untuk menentukan tindakan yang akan

diambil oleh tenaga kesehatan dan bukan sebagai diagnosis spesifik

penyakit. Klasifikasi ini memungkinkan seseorang dengan cepat

menentukan apakah kasus yang dihadapi adalah suatu penyakit serius

atau bukan, apakah perlu dirujuk segera atau tidak (Depkes RI, 2010).
12

Kriteria atau entry untuk menggunakan pola tata laksana penderita

ISPA adalah balita, dengan gejala batuk atau kesukaranbernapas. Pola

tata laksana penderita ini terdiri dari 4 bagian yaitu, pemeriksaan,

penentuan ada tidaknya tanda bahaya, penentuan klasifikasi penyakit,

dan pengobatan dan tindakan (Utomo, 2012).

4. Faktor Resiko ISPA

Menurut WHO terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut

beberapa faktor, yaitu antara lain:

a. Kondisi lingkungan (misalnya polutan udara, kepadatan hunian

rumah, kelembaban, kebersihan, musim, temperatur). Keadaan

lingkungan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat.

Banyak aspek kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh lingkungan

dan banyak penyakit dapat dimulai, didukung, ditopang, atau

dirangsang oleh faktor-faktor lingkungan (Mulia, 2005).

Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan nonfisik. Secara

umum lingkungan fisik terdiri dari keadaan geografis, kelembaban

udara, temperatur dan lingkungan tempat tinggal. Lingkungan

nonfisik meliputi sosial (pendidikan, pekerjaan), budaya (adat,

kebiasaan turun-temurun), ekonomi (kebijakan mikro dan lokal),

dan politik (Widoyono, 2008).

Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan

langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran


13

(misalnya vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan,

kapasitas ruang isolasi).

b. Faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan

pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi

sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen

lain, kondisi kesehatan umum.

c. Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor

virulensi (misalnya gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis

mikroba (ukuran inokulum) (Asriati, 2012).

5. Gejala ISPA

Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran bernapas dapat berupa:

batuk, kesukaran bernapas, sakit tenggorok, pilek, sakit telinga dan

demam. Anak dengan batuk atau sukar bernapas mungkin menderita

pnemonia atau infeksi saluran pernapasan yang berat lainnya. Akan

tetapi sebagian besar anak batuk yang datang ke puskesmas atau

fasilitas kesehatan lainnya hanya menderita infeksi saluran pemapasan

yang ringan (Depkes RI, 2010). Gejala ISPA dibagi atas 3 yaitu:

a. Gejala ISPA Ringan

Jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala seperti batuk,

serak yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

(misalnya pada waktu berbicara atau menangis), pilek yaitu

mengeluarkan lendir/ingus dari hidung, panas atau demam dengan

suhu badan lebih dari 37°C atau jika dahi anak diraba dengan
14

tangan terasa panas, perlu berhati -hati karena jika anak menderita

ISPA ringan sedangkan ia mengalami panas badannya lebih dari

39°C gizinya kurang maka anak tersebut menderita ISPA sedang.

b. Gejala ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika

dijumpai gejala-gejala ISPA ringan disertai satu atau gejala-gejala

seperti pemapasan seperti pemapasan lebih dari 50x/menit pada

anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari

40x/menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih dan cara

menghitung pemapasan adalah dengan menghitung jumlah

tarikkan napas dalam satu menit. Untuk dapat menghitung

gunakan arloji, suhu lebih dari 39°C (diukur dengan termometer),

tenggorokkan bewama merah, timbul bercak-bercak pada kulit

menyerupai bercak campak, telinga sakit, atau mengeluarkan

nanah dari lubang telinga, pernapasan berbunyi seperti mengorok

(mendengkur) pernapasan berbunyi menciut-ciut.

c. Gejala ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika

dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu

atau lebih gejala-gejala seperti bibir atau kulit membiru, lubang

hidung kembang-kempis (dengan cukup lebar) pada waktu

bernapas, anak tidak sadar atau kesadarannya menurun,

pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah,


15

sela iga tertarik kedalam pada waktu bernapas, nadi cepat lebih

dari 160 kali per menit atau tak teraba, tenggorokan bewarna

merah.

6. Pencegahan ISPA

Salah satu unsur penting dalam pencegahan kejadian ISPA adalah

pengendalian faktor risiko, yang meliputi antara lain (Mohammad

Subuh, 2016).:

a. Pemberian ASI eksklusif,

b. Kekurangan gizi pada balita,

c. Pencegahan terjadinya berat badan lahir rendah,

d. Pengurangan polusi udara dalam ruangan, dan paparan polusi di

luar ruangan

e. Imunisasi

f. Kepadatan Penduduk

7. Tantangan Pencegahan dan Pengendalian ISPA

Belum efektifnya upaya-upaya penemuan dan tatalaksana kasus

pneumonia balita. Cakupan penemuan kasus pneumonia balita secara

nasional masih rendah, bahkan masih jauh dari target yang telah

ditetapkan, namun belum ada kajiankomprehensif yang dilakukan

untuk menjawab permasalahan ini yaitu (Mohammad Subuh, 2016) :

a. Masih banyak anggota masyarakat yang belum mengenal gejala-

gejala pneumonia pada balita sehingga tidak membawa ke fasilitas

pelayanan kesehatan
16

b. Petugas kesehatan belum maksimal melakukan sosialisasi tentang

gejala-gejala pneumonia

c. Ketrampilan petugas yang belum standar dalam melakukan deteksi

dini kasus balita batuk dan sesak napas.

d. Motivasi dan kepatuhan petugas dalam melaksanakan Tatalaksana

standar.

e. Sarana prasarana yang belum memadai dalam pelaksanan program

didaerah.

f. Rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan pneumonia.

Bila kondisi ini terus terjadi, maka hal ini dapat menjadi

penghambat upaya pemerintah dan masyarakat dalam percepatan

penurunan angka kematian balita. Hal ini mengindikasikan bahwa

upaya-upaya intensifikasi penemuan kasus perlu dilakukan dan upaya

inovatif perlu terus dikembangkan (Mohammad Subuh, 2016).

8. Penemuan dan Tata Laksana Kasus Pneumonia Balita

Secara global, dalam kerangka strategi pencegahan dan

pengendalian pneumonia balita, upaya-upaya dikelompokkan menjadi

3 misi, yaitu (Mohammad Subuh, 2016) :

a. Melindungi (to protect) balita dengan menciptakan lingkungan

yang mempunyai risiko kecil untuk kejadian pneumonia. Upaya

dalam kategori ini meliputi pemberi an ASI eksklusif, pemberian

gizi seimbang, pencegahan berat badan lahir rendah, pegurangan

polusi udara dalam ruangan serta perilaku cuci tangan pakai sabun.
17

b. Mencegah (to prevent) balita terkena pneumonia. Upaya yang

dilakukan dalam kategori ini adalah pemberian vaksinasi batuk

rejan (pertusis), campak, Haemophilus Influenzae B (Hib) dan

pneumokokus (untuk Indonesia belum diberlakukan.

c. Mengobati (to treat) balita yang terkena pneumonia melalui tata-

laksana kasus baikdi fasilitas pelayanan kesehatan pratama

maupun di Rumah Sakit.

Langkah-langkah penemuan kasus (Mohammad Subuh, 2016) :

a. Menanyakan balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas.

b. Melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur < 2

bulan dan 2 bulan sampai 59 bulan.

c. Melakukan pemeriksaan dengan melihat Tarikan Dinding Dada

Bagian Bawah Kedalam (TDDK) dan hitung napas.

d. Melakukan klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernapas;

pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia.

Kasus pneumonia balita yang ditemukan segera ditindak lanjuti

dengan tatalaksana kasus yang efektif, melalui upaya-upaya sebagai

berikut (Mohammad Subuh, 2016) :

a. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: amoksisilin dosis

tinggi selama 3 hari dan obat simptomatis yang diperlukan seperti

parasetamol, salbutamol (dosis dapat dilihat pada bagan

Tatalaksana ISPA).
18

b. Kunjungan ulang bagi penderita pneumonia setelah 2 hari

mendapat antibiotik di fasilitas pelayanan kesehatan.

c. Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat

berat.

B. Tinjauan Khusus Tentang Faktor-faktor Penyebab Kejadian ISPA

Banyak faktor yang mempengaruhi penyakit saluran pernapasan

khususnya pada faktor individu dari suatu pekerjaan dan faktor

lingkungan. Penurunan fungsi pernapasan ini dapat terjadi secara bertahap

dan bersifat kronis sebagai frekuensi lama individu dari suatu pekerjaan

tertentu, menurut segitiga Epidemiologi adapun faktornya sebagai berikut:

1. Faktor Host

a. Umur

Usia merupakan faktor yang secara alamiah menurunkan

kapasitas fungsi paru. Sistem pernapasan akan berubah secara

anatomi dan imunologi sesuai bertambahnya usia. Daya

pengembangan paru, kekuatan otot pernapasan, kapasitas vital,

FEV1, FVC, dan cairan antioksidan epiteal akan menurun sesuai

peningkatan usia (Sharma & Goodwin, 2006).

Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan

meningkatnya umur. Seiring dengan perkembangan usia semakin

banyak permasalahan dan tingkat stressor yang di hadapi dapat

mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Individu yang telah

memasuki usia dewasa atau lanjut usia sering dihadapkan dengan


19

kondisi seperti perubahan fisik yang semakin lemah dan berbagai

penyakit mengancam sehingga menyebabkan ketidakberdayaan

dan dapat mempengaruhi kualitas hidupnya (Hamzah, 2016).

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian, dilaporkan

bahwa faktor risiko meningkatnya kejadian ISPA adalah dengan

jenis kelamin laki-laki. Pada anak laki-laki dan perempuan, ketika

berusia 15-24 tahun, memiliki risiko ISPA tidak terlalu jauh. Hal

ini berhubungan dengan kebutuhan oksigen dimana laki-laki lebih

membutuhkan oksigen lebih banyak dibandingkan dengan

perempuan. Akan tetapi, risiko tersebut akan menjadi dua kali lipat

pada laki-laki setelah berumur 25 tahun. Hal ini terkait dengan

aktivitas di luar rumah, perilaku merokok dan nikotin (Nelson dan

Williams, 2014).

c. Riwayat Penyakit

Terdapat riwayat pekerjaan yang menghadapi debu akan

mengakibatkan pneumonokiosis dan salah satu pencegahnya dapat

dilakukan dengan menghindari diri dari debu dengan cara memakai

masker saat bekerja (Suma’mur, 2014).

d. Kebiasaan Merokok

Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Agung Putu

Mahendrayasa dan Farapti (2018) tentang “Hubungan antara

kondisi fisik rumah dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan


20

pada Balita di Surabaya”. Hasil analisis hubungan antara perilaku

merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA menyatakan

terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku merokok

keluarga dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini disebabkan

oleh sebagian besar anggota keluarga dari responden terutama ayah

mereka merupakan perokok aktif dan mereka merokok didalam

rumah atau ruangan, secara tidak langsung anggota keluarga

mereka menjadi perokok pasif. Perokok pasif memiliki risiko lebih

besar daripada perokok aktif. Balita khususnya sangatlah rentan

terhadap paparan asap rokok karena masih lemahhya sistem

pertahanan tubuh mereka.

Asap rokok mengandung sekitar 4.000 zat kimia seperti

karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO), asam sianida

(HCN), amonia (NH4OH), acrolein, acetilen, benzaldehyde,

urethane, benzene, methanol, coumarin, etilkatehol-4, dan

ortokresol.Selain komponen gas ada komponen padat atau partikel

yang terdiri dari nikotin dan tar (TSCS, 2010).

Paparan asap rokok baik yang diterima oleh perokok aktif

maupun perokok pasif dapat menimbulkan berbagai macam

gangguan kesehatan, salah satunya yaitu peningkatan tekanan

darah atau yang lebih sering dikenal dengan istilah hipertensi.

Beberapa penelitian telah menyebutkan bahwa seseorang yang

merokok kronis atau dalam jangka waktu yang lama menunjukkan


21

terjadinya peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah

tersebut berhubungan dengan efek racun yang dihasilkan dari asap

rokok yaitu berupa nikotin dan karbonmonoksida (CO). Pada

perokok peningkatan tekanan darah tergantung pada lama dan jenis

paparan asap rokok yang diterima dari lingkungan (Pandora, 2014).

Menghirup asap rokok orang lain (perokok pasif)

berbahaya bagi kesehatan. Asap aliran samping adalah asap rokok

yang berasal dari ujung rokok yang terbakar, sedangkan asap aliran

utama adalah asap rokok yang telah dihisap oleh perokok lalu

kemudian dihembuskan kembali ke udara. Asap rokok orang lain

(AROL) adalah asap yang keluar dari ujung rokok yang menyala

atau produk tembakau lainnya, yang biasanya merupakan

gabungan dengan asap rokok yang dikeluarkan oleh perokok

(Sjaiful. dkk, 2013)

Asap rokok terdiri dari asap utama (main stream) yang

mengandung 25% kadar bahan berbahaya dan asap sampingan

(side stream) yang mengandung 75% kadar bahan berbahaya.

Perokok pasif mengisap 75% bahan berbahaya ditambah separuh

dari asap yang dihembuskan keluar oleh perokok (WHO). Salah

satu hasil penelitian menyebutkan kejadian paparan asap rokok di

angkutan umum 87,2 %. Kejadian paparan asap rokok yang

mengenai orang lain di tempat kerja 68,4 %. Sedangkan paparan

asap rokok yang mengenai orang lain di rumah 61,6 %. Dari hasil
22

survey dapat disimpulkan resiko paparan asap rokok di tempat

umum masih sangat tinggi. Ini menunjukan masih perlunya

sosialisasi aturan merokok di tempat umum, dan kesadaran akan

pengaruh asap rokok yang dapat membawa resiko buruk bagi

lingkungan terdekat (keluarga) bisa menjadi motivasi kepatuhan

terhadap aturan merokok. Kejelasan aturan, serta kedisiplinan

penerapan aturan juga dapat menekan resiko paparan asap rokok

kepada perokok pasif (Sjaiful. dkk, 2013)

Efek merokok pada setiap orang berbeda-beda tergantung

pada usia kapan orang tersebut pertama kali merokok, kerentanan

seseorang terhadap bahan kimia dalam asap tembakau, jumlah

rokok yang dihisap per hari, dan lamanya seseorang merokok.

Selain itu asap rokok yang dihasilkan dapat mempengaruhi sistem

escalator mukosiliar, yang dapat mempermudah sampainya debu

ke saluran napas bawah sehingga dapat memperparah keadaan

(Elizabeth J. Corwin, 2009).

e. Jenis Pekerjaan

Tempat kerja merupakan kawasan (wilayah) bagian dari

kewenangan dan tanggung jawab manajemen perusahaan. Kategori

atau pembagian manajemen penyakit infeksi dapat dikategorikan

menjadi “penyakit infeksi” yang merupakan “akibat kerja”, yakni

dari jenis pekerjaannya atau penyakit infeksi yang berhubungan

dengan pekerjaannya (Fahmi, 2005).


23

Penelitian yang dilakukan oleh Ariano, dkk (2019) tentang

hubungan faktor lingkungan dan perilaku terhadap kejadian Infeksi

Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Desa Talok Kecamatan Kresek,

berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa faktor

lingkungan memiliki hubungan dengan kejadian ISPA dan perilaku

tidak memiliki hubungan dengan kejadian ISPA. Banyak faktor

lain yang tidak masuk ke dalam analisa seperti usia, pengetahuan,

tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan jenis pekerjaan yang

mempengaruhi kejadian ISPA.

Berdasarkan KEPPRES RI No. 22 Tahun 1993, jenis-jenis

pekerjaan tertentu dapat menyebabkan terjadinya masalah

kesehatan khususnya gangguan saluran pernapasan (ISPA). Jenis

pekerjaan tersebut berasal dari pekerja yang bekerja di area debu,

debu organik, debu logam keras, debu kapas, vlas, henep dan sisal.

f. Masa Kerja

Semakin lama manusia terpapar debu di tempat kerja yang

bisa dilihat dari lama bekerja maka debu kemungkinan besar akan

tertimbun di paru-paru. Hal ini merupakan hasil akumulasi dari

inhalasi selama bekerja. Lama bekerja bertahun-tahun dapat

mempengaruhi kondisi kesehatan pekerja karena frekuensi pajanan

yang sering (Basti, 2014).


24

g. Lama paparan

Lama paparan debu berisiko mempengaruhi keparahan

gangguan pernapasan yang diderita oleh pekerja, karena semakin

lama paparan maka debu yang menumpuk semakin banyak.

Pekerja yang mengalami lama pajanan debu >8 jam mengalami

ISPA lebih tinggi (Basti, 2014).

h. Kebiasaan menggunakan alat pelindung diri

Menurut penelitian Yusnabeti (2010) tentang PM10

(Partikulat) partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10

mikron (mikrometer) dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada

Pekerja Industri Mebel membuktikan bahwa dari 43 orang pekerja

sebanyak 53% yang tidak menggunakan APD berupa masker

terkena ISPA sedangkan dari 43 orang pekerja yang rutin

menggunakan masker kejadian ataupun keluhan ISPA pada pekerja

menjadi turun menjadi 5,6% atau sama dengan 1 orang pekerja

saja.

Penelitian lain yang mendukung hasil dari penelitian ini

yang menyatakan adanya pengaruh penggunaan masker terhadap

penurunan gangguan pernafasan atau ISPA adalah penelitian dari

Basti (2014), Berdasarkan pengamatan dan observasi pekerja di

pemintalan PT.Unitex sebagian besar tidak menggunakan masker,

padahal pemintalan merupakan daerah kerja yang berdebu.

Penggunaan masker dapat mengurangi resiko paparan debu


25

terhadap gangguan pernapasan. Hal ini diperkuat oleh data

penelitian dari Department Of Preventive And Social Medicine dari

Basti (2014) pada pekerja tekstil di kota Baroda yang menyatakan,

dari 11 responden yang tidak disiplin mengenakan masker 8 orang

mengalami penurunan fungsi paru. Sedangkan dari 11 responden

yang disiplin menggunakan masker terdapat dua orang yang

mengalami penurunan fungsi paru.

2. Faktor Lingkungan

a. Suhu

Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja yang nyaman di

tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan

kepanasan bagi tenaga kerja berkisar antara 18º C sampai dengan

30º C dengan tinggi langit-langit dari lantai minimal 2,5 m. Bila

suhu udara > 30ºC perlu menggunakan alat penata udara seperti air

conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu 32 udara luar < 18º

C perlu menggunakan alat pemanas ruangan (Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2011).

Pada suhu dan kelembaban tertentu memungkinkan

pertumbuhannya terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau

mati. Tapi pada suhu dan kelembapan tertentu dapat tumbuh dan

berkembangbiak dengan sangat cepat. Hal inilah yang

membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan

dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka
26

anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang

anak untuk terjangkit ISPA. Hal ini juga didukung dengan

Permenkes RI 1077/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara

dalam Ruang Rumah yang menyatakan bahwa suhu udara adalah

salah satu indikator yang menentukan kualitas udara di dalam

rumah, kualitas udara yang kurang baik dapat memicu berbagai

penyakit yang berhubungan dengan pernapasan, sepert ISPA.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, agar dapat mencegah terjadinya

ISPA pada balita di Desa Kalianget Timur maka masyarakat perlu

menjaga suhu udara di dalam rumah agar tetap stabil, yang dapat

dilakukan dengan menambahkan ventilasi alami maupun buatan

apabila suhu di atas 30ºC dan menggunakan pemanas ruangan

apabila suhu kurang dari 18 ºC.

b. Kelembaban

Kelembaban udara tergantung berapa banyak uap air

(dalam %) yang terkandung di udara. Saat udara dipenuhi uap air

dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti

kelembaban tinggi dan segala sesuatu menjadi basah. Kelembaban

lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada

kesehatan pekerja berkisar antara 65% - 95%. Kelembaban sangat

erat kaitannya dengan suhu dan keduanya merupakan pemicu

pertumbuhan jamur dan bakteri. Bila kelembaban udara ruang kerja

> 95% perlu menggunakan alat dehumifider dan bila kelembaban


27

udara ruang kerja < 65% perlu menggunakan humifider, misalnya

mesin pembentuk aerosol, menurut Permenkes RI 1077/ 2011,

kelembapan yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah dapat

mendukunng suburnya pertumbuhan dari mikroorganisme penyakit

seperti ISPA. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Asyari (2014) yang memperlihatkan hubungan yang signifikan

antara kelembapan ruangan dengan kejadian ISPA.

c. Ventilasi

Ventilasi sangat penting untuk suatu tempat tinggal karena

ventilasi mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama sebagai lubang

masuk dan keluar angin sekaligus udara dari luar ke dalam dan

sebaliknya. Dengan adanya jendela sebagai lubang ventilasi, maka

ruangan tidak akan terasa pengap asalkan jendela selalu dibuka.

Suatu ruangan yang tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik

akan menimbulkan beberapa keadaan seperti berkurangnya kadar

oksigen, bertambahnya kadar karbon dioksida, bau pengap, suhu

dan kelembaban udara meningkat (KEMENKES RI Nomor

1405/MENKES/SK/XI/2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Isti’anah dkk (2019).

Dengan judul “hubungan sanitasi dasar rumah dengan kejadian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di wilayah kerja

Puskesmas Dukun Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik Tahun

2019” bahwa ventilasi yang kurang baik,pencahayaan kurang,


28

jendela kamar tidur dan ruang keluarga yang jarang dibuka, kondisi

lantai yang berdebu, langit-langit yang mudah menimbulkan debu

dan sulit untuk dibersihkah, dinding rumah yang lembap dan faktor

perilaku penghuni hal tersebut dapat mempengaruhi karena jika

ventilasi maupun jendela tidak dibuka maka sirkulasi udara tidak

dapat berjalan dengan baik dan akan mengakibatkankelembapan

yang menimbulkan patogen yang menyebabkan ISPA.

d. Jenis dan Luas Lantai

Lantai yang baik seharusnya terbuat dari ubin atau semen,

tetapi hal ini tidak cocok untuk ekonomi pedesaan. Syarat yang

paling penting di sini adalah tidak berdebu pada musim kemarau

dan tidak basah pada musim hujan. Berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan

Kesehatan Perumahan, lantai rumah harus kedap air dan mudah

diberikan. Seperti diketahui bahwa lantai yang tidak rapat air dan

tidak didukung dengan ventilasi yang baik dapat menimbulkan

peningkatan kelembaban dan kepengapan yang akan memudahkan

penularan penyakit.

Luas lantai ruangan yang sehat harus cukup untuk penghuni

di dalamnya. Artinya, luas lantai ruangan tersebut harus disesuaikan

dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan keberadaan

penghuni rumah yang padat. Terlebih lagi keberadaan barang-

barang yang ada di dalam ruangan. Jika terlalu banyak barang-


29

barang di dalam ruangan memungkinkan terjadi kepengapan akibat

tidak ada sirkulasi udara yang baik di dalam ruangan. Hal ini dapat

menyebabkan kurangnya oksigen di dalam ruangan sehingga

memungkinkan terjadi masalah kesehatan.

3. Faktor Agent

Penyebab ISPA adalah virus atau bakteri. Virus yang utama

penyebab terjadinya ISPA adalah Rhinovirus dan Coronavirus. Virus

lain yang juga menjadi penyebab ISPA adalah virus Parainfluenza,

Respiratory syncytial virus, dan Adenovirus (Maulina, 2013).

C. Tinjauan Tentang Pembahasan Artikel

Penulis
No Judul Hasil pemikiran/Hasil penelitian
/Tahun Terbit
Faktor-faktor yang (Syahidi, Hasil menunjukkan bahwa dari 11
Mempengaruhi Kejadian Gayatri and variabel yang dilakukan uji bivariat,
Infeksi Saluran Bantas, 2016) variabel yang diketahui memiliki
Pernapasan Akut (ISPA) hubungan yang bermakna (P value <
pada Anak Berumur 12- 0,05) dengan kejadian ISPA pada
1
59 Bulan di Puskesmas anak berusia 12 – 59 bulan adalah
Kelurahan Tebet Barat, pendidikan dan pengetahuan
Kecamatan Tebet, pengawas anak, pendapatan
Jakarta Selatan keluarga, kepadatan hunian, dan
perilaku merokok anggota keluarga.
2 Faktor–Faktor Yang (Herlinda Dari penelitian ini dapat
Berhubungan Dengan Christi, 2015) disimpulkan bahwa faktor-faktor
Kejadian Ispa Pada Bayi yang berhubungan dengan kejadian
Usia 6 – 12 Bulan Yang ISPA pada bayi usia 6-12 yang
Memiliki Status Gizi memiliki status gizi normal di
Normal wilayah kerja Puskesmas Candilama
meliputi jenis kelamin bayi (faktor
intrinsik) dan status ekonomi
keluarga (faktor ekstrinsik).
Disarankan agar petugas puskesmas
secara intensif dapat memberikan
penyuluhan dan informasi terbaru
kepada masyarakat sekitarnya dalam
hal penyuluhan tentang ISPA pada
30

bayi.
Faktor-faktor yang (Juwita, 2015) Hasil Penelitian menunjukkan
berhubungan dengan pekerja panglong kayu sangat
terjadinya Infeksi rentang dengan kejadian penyakit
Saluran Pernapasan ISPA karena Lamanya bekerja dan
3 Akut (ISPA) Pada kurangnya kesadaran Masyarakat
Pekerja Panglong Kayu untuk membersihkan tempat bekerja
Kabupaten Aceh Jaya setelah melakukan pemotongan
Tahun 2014 Kayu sehingga terjadinya Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Faktor-faktor yang (Oktaviani, Terdapat hubungan antara BBLR
berhubungan dengan Hayati and dan imunisasi terhadap kejadian
kejadian Infeksi Saluran Supriatin, ISPA, serta tidak terdapat hubungan
Pernafasan Akut (ISPA) 2014) antara status gizi, kepadatan tempat
Pada Balita di tinggal dan lingkungan fisik ventilasi
4 Puskesmas Garuda Kota terhadap kejadian ISPA. Dan saran
Bandung kepada puskesmas supaya lebih
mensosialisasikan pentingnya
imunisasi dan pencegahan terjadinya
kelahiran bayi yang BBLR agar
mengurangi resiko terjadinya ISPA.
Faktor-faktor yang (Sudirman and Dari hasil penelitian yang telah
berhubungan dengan Yani, 2019) dilakukan pada penderita penyakit
kerjadian Penyakit ISPA ISPA kategori anak-anak dapat di
pada anak dan Balita temukan sebagian besar akibat dari
penggunaan bedak tabur yang
diberikan pada bayi yang masih
5 berumur 0-12 bulan, terkena paparan
dari pencemaran udara dan
lingkungan serta kurangnya
pengatahuan pada Anggota keluarga
mengenai factor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit
ISPA
Faktor-faktor yang (Putri and Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berhubungan dengan Fakultas, terdapat tiga faktor yang
kejadian ISPA Pada 2017) berhubungan dengan ISPA yaitu
6 Orang Dewasa di Desa keberadaan debu ruang (p=0,006),
Besuk Kecamatan frekuensi menyapu rumah
Bantaran Kabupaten (p=0,083), dan penggunaan masker
Probolinggo saat keluar rumah (p=0,099).
7 Hubungan Faktor (Ariano and Dari hasil analisis didapatkan nilai
Lingkungan dan Bashirah, P=0,007 terhadap lingkungan, dan
Perilaku Terhadap 2019) p=0,03 terhadap perilaku risiko.
Kejadian Infeksi Saluran terdapat hubungan signifikan faktor
Pernafasan Akut (ISPA) lingkungan dan perilaku terhadap
31

di Desa Talok Kejadian ISPA.


Kecamatan Kresek
Analisis faktor yang (Jangga and Hasil menunjukkan bahwa ada
berhubungan dengan Mawar, 2018)hubungan antara pengetahuan,
kerjadian Infeksi Saluran kebiasaan merokok, jumlah
Pernapasan Akut pada penghuni rumah dan status gizi
8 Pasien di Rumah Sakit dengan kejadian ISPA pada pasien
Umum Daerah di Rumah Sakit Umum Daerah
Kabupaten Pangkep Kabupaten Pangkep, dan variabel
yang paling berhubungan adalah
kebiasaan merokok.
Faktor-faktor yang (Oktaviani, Terdapat hubungan antara BBLR
berhubungan dengan Hayati and dan imunisasi terhadap kejadian
kejadian Infeksi Saluran Supriatin, ISPA, serta tidak terdapat hubungan
Pernafasan Akut (ISPA) 2014) antara status gizi, kepadatan tempat
Pada Balita Di tinggal dan lingkungan fisik ventilasi
9 Puskesmas Garuda Kota terhadap kejadian ISPA. Dan saran
Bandung kepada puskesmas supaya lebih
mensosialisasikan pentingnya
imunisasi dan pencegahan terjadinya
kelahiran bayi yang BBLR agar
mengurangi resiko terjadinya ISPA.
Hubungan antara kondisi (Mahendra and Penelitian ini menunjukan bahwa
fisik rumah dengan Farapti, 2018) ada hubungan antara pencahayaan
kejadian Infeksi Saluran (PR = 3,35; p = 0,01), ventilasi
Pernafasan Atas pada (PR = 5,75; p = 0,01), lubang asap
Balita di Surabaya dapur (PR = 4,05; p = 0,01), atap
10 rumah (PR = 3,07; p = 0,02),
perilaku merokok (PR = 5,63; p =
0,01) dengan kejadian ISPA dan
tidak ada hubungan antara dinding
rumah (PR = 0,64; p = 0,68) dengan
kejadian ISPA.
11 Faktor-faktor yang (Agus Salim, Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berhubungan dengan Novia Ade ternyata balita yang tidak ASI
kejadian ISPA Non Betaningrum, Eksklusif lebih banyak untuk terjadi
Pneumonia Di Uptd 2016) ISPA Non Peumonia yaitu sebesar
Yankes Cikancung (77,1 %), berdasarkan uji Chi-square
Kabupaten Bandung terdapat hubungan yang bermakna
(p<0,05), begitupun dengan balita
yang tidak mendapatkan imunisasi
lengkap cenderung lebih banyak
untuk terjadi ISPA Non Peumonia
yaitu 57,6% hubungan statistiknya
terdapat hubungan yang bermakna
(p<0,05) demikian juga dengan
32

balita yang lahir dengan BBLR


cenderung sering terjadi ISPA non
pneumonia (84,3%), hubungan
statistiknya terdapat hubungan yang
bermakna (p<0,05).
Hubungan Infeksi (Himawati and Kejadian ISPA berhubungan dengan
Saluran Pernapasan Atas Fitria, 2020) stunting (p = 0.029) dengan OR
dengan Kejadian 3.115 (95%CI 1.079-8.994). Namun
Stunting pada Anak Usia setelah dikontrol dengan status gizi
di Bawah 5 Tahun di ibu saat hamil, riwayat berat bayi
Sampang lahir, kelengkapan imunisasi anak,
riwayat diare dan sumber air minum
12
maka ISPA tidak berhubungan
bermakna dengan stunting (p >
0.05), meskipun nilai OR tinggi,
masing-masing ISPA 3.148 (95%CI
0.592-16.740), untuk diare OR 2.296
(95%CI 0.602-8.759) dan BBLR
2.851 (95%CI 0.772-10.528).
Faktor risiko (Dongky and Hasil pengukuran diperoleh terdapat
lingkungan fisik rumah Kadrianti, hubungan antara kepadatan hunian
dengan kejadian ISPA 2016) dengan kejadian ISPA pada balita.
Balita di Kelurahan Kesimpulan penelitian ini adalah
13
Takatidung Polewali kepadatan hunian dalam rumah
Mandar memberikan kontribusi terhadap
kejadian ISPA pada balita di
Kabupaten Polewali Mandar.
14 Pajanan Asap dalam (Hugo, Emilia Hasil wawancara mendalam pajanan
rumah terhadap kejadian and Sitaresmi, asap dalam rumah yang bersumber
ISPA Nonpneumonia 2014) dari perilaku; 1) penggunaan kayu
pada anak Balita di bakar dikarenakan; kepraktisan dan
Kabupaten Kapuas kemudahan dalam mencari bahan
kayu bakar dan
Mahalnya harga minyak tanah;
2) perilaku merokok dikarenakan
kurangnya pemahaman keluarga
tentang bahaya asap terhadap anak,
walaupun tahu kalau efek dari asap
rokok tidak baik untuk kesehatan,
tetapi mereka tidak tahu jika
merokok di dalam rumah juga
berpengaruh terhadap kesehatan
anak; 4) kebiasaan terhadap
penggunaan obat nyamuk bakar
dikarenakan efektif dalam mengusir
nyamuk dan harganya
33

yangterjangkau. 5) belum pernah


diberikan penyuluhan tentang
dampak pencemaran udara dalam
rumah oleh petugas kesehatan.
Infeksi Saluran (Wahyuningsih Berdasarkan hasil penelitian di
Pernafasan Akut (ISPA) , Raodhah and Wilayah pesisir Desa Kore
pada Balita di Wilayah Basri, 2017) Kecamatan Sanggar Kabupaten
Pesisir Desa Kore Bima tahun 2014 dan pengolahan
Kecamatan Sanggar data dengan menggunakan analisis
Kabupaten Bima statistik dapat disimpulkan terdapat
hubungan Penggunaan Jenis Bahan
bakar Biomassa, luas ventilasi dan
kepadatan hunian dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
15
(ISPA) pada Balita di wilayah
Pesisir Desa Kore Kecamatan
Sanggar Kabupaten Bima tahun
2014. Tidak Ada hubungan antara
Perilaku merokok dengan Kejadian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) pada Balita dengan nilai p =
0,084 di Wilayah pesisir Deas kore
Kecamatan Sanggar Kabupaten
Bima tahun 2014
Analisis faktor resiko (Ijana, Eka and Hasil penelitian membuktikan
terjadinya Infeksi Lasri, 2017) bahwa faktor resiko terjadinya ISPA
Saluran Pernapasan pada balita meliputi faktor
Akut (ISPA) pada Balita lingkungan yang tidak sehat
di Lingkungan Pabrik (83,3%), faktor resiko pemberian
Keramik Wilayah ASI non eksklusif 73,3%, faktor
Puskesmas Dinoyo, resiko status ekonomi 66,7%, faktor
Kota Malang resiko pendidikan orang tua 65%,
faktor resiko umur anak 26,7%,
faktor resiko status gizi 3,3%, faktor
resiko status imunisasi 3,3%. Faktor
16
resiko yang paling dominan sebagai
resiko ISPA pada balita di
Puskesmas Dinoyo Kota Malang
adalah faktor lingkungan yang tidak
sehat dengan nilai OR sebesar
11,35. Hal ini berarti faktor
lingkungan khususnya keadaan
tempat tinggal yang tidak sehat lebih
beresiko 11,35 kali lipat terhadap
kejadian ISPA.
34

Faktor yang (Lebuan and Hasil penelitian menggunakan uji


berhubungan dengan Somia, 2017) chi-square menyatakan bahwa
Infeksi Saluran terdapat hubungan antara status gizi
Pernapasan Akut pada ( p < 0,0001; RP = 1,593; IK 95%
Siswa Taman Kanak- 1,314; 1,930), paparan terhadap asap
Kanak rokok (p < 0,0001; RP = 1,758; IK
95% 1,359; 2,274), pola pemberian
ASI (p < 0,0001; RP = 1,592; IK
95% 1,184; 2,141) dan kepadatan
hunian (p < 0,0001; RP = 1,708; IK
95% 1,379; 2,116) dengan kejadian
17 ISPA. Sedangkan status imunisasi
dasar, berat, dan tingkat pendidikan
ibu tidak terdapat hubungan yang
bermakna dengan kejadian ISPA.
Prevalensi ISPA pada siswa taman
kanak-kanak cukup tinggi (63%)
dan terdapat hubungan yang
bermakna antara status gizi, paparan
asap rokok, pola pemberian ASI,
dan kepadatan hunian dengan
kejadian ISPA pada siswa taman
kanak-kanak.
Faktor-faktor yang (Jalil, Yasnani Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berhubungan Dengan and Sety, terdapat hubungan antara pemberian
kejadian ISPA pada 2018) ASI Ekslusif dengan kejadian
Balita di Wilayah Kerja ISPAPvalue =0,002, lingkungan
Puskesmas Kabangka fisik rumah denganPvalue = 0,354,
Kecamatan kebiasaan merokok dengan Pvalue =
Kabangkakabupaten 0,014, dan pengetahuan ibu dengan
Muna Tahun 2018 Pvalue = 0,029. Terdapat hubungan
18 antara pemberian ASI Ekslusif
dengan kejadian ISPA, tidak
terdapat hubungan antara lingkungan
fisik rumah dengan kejadian ISPA,
terdapat hubungan antara paparan
asap rokok dengan kejadian ISPA,
dan terdapat hubungan antara
pengetahuan ibu dengan kejadian
ISPA pada balita.
19 Hubungan pemberian (Rahman and Hasil penelitian menunjukkan
Asi Eksklusif dengan Nur, 2015) sebagian besar anak mengalami
kejadian penyakit penyakit ISPA yaitu 33 (55%),
Infeksi Saluran sebagian besar anak balita tidak
Pernafasan Akut pada diberikan ASI secara Eksklusif yaitu
Anak Balita di Wilayah sebesar 41 (68,3%), sebagian besar
35

Kerja Puskesmas Ibu mempunyai pengetahuan baik


Managaisaki yaitu berjumlah 54 Ibu (90%),
dansebagian besar anak
mendapatkan imunisasi secara
lengkap yaitu berjumlah 45 Anak
(76,3%) hasil uji statistic variable
pemberian ASI eksklusif dan status
imunisasi berhubungan dengan
kejadian penyakit ISPA sementara
pengetahuan ibu tidak berhubungan
dengan kejadian penyakit ISPA.
Profil Balita Penderita (Maharani, Kejadian ISPA atas terbanyak
Infeksi Saluran Nafas Yani and adalah laki-laki, pada kelompok
Akut Atas di Poliklinik Lestari, 2017) balita, dengan status gizi baik, dan
Anak RSUP DR. M. umumnya bertempat tinggal di
Djamil Padang Tahun daerah rural. Kejadian ISPA atas
2012-2013 ditemukan hampir setiap bulan pada
tahun 2012-2013. Berdasarkan hal
20 tersebut, diperlukan peningkatan
pemberian informasi kepada ibu
yang mempunyai bayi dan balita
mengenai penyakit ISPA serta
faktor-faktor yang
mempengaruhinya agar angka
morbiditas akibat ISPA dapat
berkurang.
Analisis Faktor Risiko (Wulandhani Hasil penelitian menunjukkan
Kejadian Infeksi Saluran and bahwa ada hubungan yang
Pernapasan Akut Purnamasari, bermakna antara kepadatan hunian
ditinjau dari Lingkungan 2019) (OR=2.030, RR=0.635, 95% CI :
Fisik 0.673-6.128), ventilasi (OR=0.814,
RR=1.138, 95% CI : 0.280-2.369),
jenis lantai (OR=0.768, RR=1.173,
95% CI : 0.155-3.802), jenis dinding
21
(OR=5.294, RR=0.324, 95% CI :
1.499-18.695) jarak antara rumah
dengan jalan raya (OR=1.167,
RR=0.909, 95% CI : 0.351-3.881)
dan kebiasaan membersihkan debu
dalam rumah (OR=1.228,
RR=0.879, 95% CI : 0.422-3.572)
dengan kejadian ISPA
22 Faktor Yang (Syamsi, 2019) Hasil penelitian, ada hubungan
Berhubungan Dengan antara status gizi, kebiasan merokok,
Kejadian Infeksi Saluran kepadatan penghuni rumah,
Pernafasan Atas Pada pendidikan ibu dan status imunisasi
36

Balita terhadap kejadian Infeksi Saluran


Pernafasan Atas pada balita.
Faktor-faktor yang (Aisah, 2019) Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berhubungan dengan dari 4 variabel yang diteliti
Penyakit Ispa pada menunjukkan tidak ada hubungan
Anak Balita yang bermakna antara ventilasi, jenis
Desatinombo lantai, kepadatan hunian terhadap
23
Kecamatan Tinombo penyakit ISPA pada anak balita,
Kabupaten Parigi akan tetapi menunjukkan ada
Moutong hubungan antara paparan asap rokok
terhadap kejadian ISPA pada anak
balita.
Analisis faktor yang (Yanti and Hasil uji multivariat didapatkan
berhubungan dengan Sari, 2019) faktor yang paling dominan
kejadian Infeksi Saluran berhubungan dengan kejadian ISPA
Pernafasan Akut (ISPA) adalah status gizi (OR=9,8) setelah
Pada Anak Balita Usia dikontrol variabel lainnya. Status
1- 5 Tahun di Wilayah gizi dipengaruhi oleh berbagai
24 Kerja Puskesmas faktor sehingga ibu disarankan
Sukaraja Nuban untuk dapat memberikan makanan
Kabupaten Lampung dengan menu sederhana tapi
Timur bervariasi yang mengandung gizi
seimbang dan didukung dengan
pemberian ASI esklusif serta
imunisasi lengkap.
Faktor-faktor yang (Anggraini, Faktor yang mempengaruhi kejadian
mempengaruhi kejadian Amelia Sintha ISPA di Puskesmas Alalak Selatan
ISPA pada Balita di and Suaka Banjarmasin adalah Status gizi
25
Puskesmas Alalak Insan dengan Imunisasi.
Selatan Banjarmasin Banjarmasin,
2013)
26 Faktor Risiko kejadian (Ardianti, Hasil penelitian diperoleh Balita
ISPA Non Pneumonia Lapau and yang menderita ISPA non
pada Anak Balita di Dewi, 2018) pneumonia dalam sampel adalah
Wilayah Kerja 60.44%. Dan dalam populasi adalah
Puskesmas Harapan 60.44% ± 5%=55.44%-65.44%.
Raya Kota Pekanbaru Variabel yang berhubungan sebab
akibat yaitu obat nyamuk bakar,
keberadaan perokok dan suhu
ruangan. Variabel berhubungan
terbalik yaitu variabel penerangan
alami. Variabel Counfounding yaitu
variabel ventilasi terhadap variabel
penerangan alami. Variabel yang
tidak berhubungan yaitu kelembaban
udara, ventilasi, dinding rumah,
37

kepadatan hunian rumah,


penggunaan bahan bakar memasak,
umur, dan jenis kelamin.
Hubungan Perilaku (Pratiwi and Terdapat hubungan antara perilaku
Kesehatan dan Rahmawati, kesehatan dan kebersihan
Kebersihan Lingkungan 2018) lingkungan (p value=0,007) dengan
Dengan Kejadian ISPA kejadian ISPA pada balita di
27
Pada Balita di Wilayah Wilayah Kerja Puskesmas
Kerja Puskesmas Bambanglipuro Bantul Yogyakarta.
Bambanglipuro
Bantulyogyakarta
Penggunaan Bahan (Singga and Hasil penelitian menunjukan bahwa
Bakar dan Faktor Risiko Maran, 2013) jenis-jenis bahan bakar yang paling
Kejadian ISPA pada banyak digunakan pada rumah
Balita di Kelurahan penderita ISPA adalah minyak tanah
Sikumana dan kayu api. Rata-rata jumlah
bahan bakar yang dalam rumah
tangga adalah minyak tanah
sebanyak 5 l/minggu dan kayu api
28
sebanyak 10 ikat/minggu. Faktor
risiko kejadian ISPA yang paling
dominan adalah letak dapur yang
dekat dengan ruang sebesar 100%,
diikuti oleh kebiasaan ibu membawa
anak saat memasak sebesar 96% dan
terdapat asap dalam rumah ketika
memasak sebesar 74%.
29 Pencegahan Penularan (Mardiah, Hasil FGD dengan kader kesehatan
Infeksi Saluran Mediawati and dan petugas kesehatan Puskesmas
Pernafasan Akut dan Setyorini, Pangandaran didapatkan beberapa
Perawatannya pada 2017) metode pencegahan dan perawatan
Balita dirumah di balita dengan ISPA di rumah yaitu
Kabupaten Pangandaran pengunaan tanaman obat tradisional
digunakan secara turun temurun
untuk mengatasi batuk pilek dan
penurunan daya tahan tubuh,
melakukan kebiasaan hidup sehat
seperti selalu mencuci tangan
setelah merawat pasien ISPA,
mengunakan masker saat terkena
ISPA serta mendeteksi gejala ISPA
sejak dini. Saran untuk
mempertahankan dengan terus
memeliharan kesehatan dan selalu
melakukan deteksi dini Infeksi
Saluran Pernafasan Akut pada kader
38

kesehatan dan orangtua balita


dilakukan secara rutin.
Profil Balita Penderita (Maharani, Kejadian ISPA atas terbanyak
Infeksi Saluran Nafas Yani and adalah laki-laki, pada kelompok
Akut Atas di Poliklinik Lestari, 2017) balita, dengan status gizi baik, dan
Anak RSUP DR. M. umumnya bertempat tinggal di
Djamil Padang Tahun daerah rural. Kejadian ISPA atas
2012-2013 ditemukan hampir setiap bulan pada
tahun 2012-2013. Berdasarkan hal
30 tersebut, diperlukan peningkatan
pemberian informasi kepada ibu
yang mempunyai bayi dan balita
mengenai penyakit ISPA serta
faktor-faktor yang
mempengaruhinya agar angka
morbiditas akibat ISPA dapat
berkurang.
BAB III
PEMBAHASAN ARTIKEL

Hasil Sintesis

Dari tiga kategori perilaku keluarga, variabel yang mempunyai hubungan

bermakna adalah perilaku merokok dalam rumah (OR=8,02; 95% CI 2,42-

26,57%). Sedangkan penggunaan obat nyamuk dan bahan bakar masak tidak

memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada anak berusia 12-

59 bulan yang melakukan kunjungan di Puskesmas Kelurahan Tebet Barat,

Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan Tahun 2013. Perlu adanya sosialisasi program

belajar Sembilan tahun untuk meningkatkan pendidikan masyarakat di wilayah

kerja Puskesmas Kelurahan Tebet. Sosialisasi pendewasaan usia nikah, agar

pasangan suami istri dapat memiliki visi memiliki keluarga sehat dengan tinggal

di lingkungan yang sehat. Peneliti lain diharapkan dapat melanjutkan penelitian

ini dengan meneliti faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian ISPA selain

yang ada di dalam penelitian ini (Syahidi, Gayatri and Bantas, 2016).

Faktor intrinsik dan ekstrinsik yang berhubungan dengan kejadian ISPA

pada Bayi usia 6 – 12 bulan yang memiliki status gizi normal dapat disimpulkan :

1. Distribusi frekuensi bayi ISPA yaitu sebanyak 43 bayi (63,2%) sedangkan bayi

tidak ISPA yaitu sebanyak 25 bayi (36,8%). 2. Sebagian besar bayi usia 6 – 12

bulan yang memiliki status gizi normal berada dalam kategori jenis kelamin

perempuan, berat badan lahir rendah, status imunisasi belum lengkap, riwayat

pemberian ASI non eksklusif, dan belum mendapat vitamin A. 3. Sebagian besar

ibu dari bayi usia 6 – 12 bulan yang memiliki status gizi normal berada dalam

8
9

kategori tingkat pendidikan lanjutan, pengetahuan baik, tidak bekerja/ IRT, dan

status ekonomi keluarga rendah. 4. Dari 5 faktor intrinsik, hanya ada 1 variabel

yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada bayi yaitu

variabel jenis kelamin (pvalue = 0,023). 5. Dari 4 faktor ekstrinsik, hanya ada 1

variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada bayi

yaitu status ekonomi keluarga (pvalue = 0,002) (Herlinda Christi, 2015).

Lingkungan kerja sangat mempengaruhi terjadinya penyakit Infeksi

Saluran Pernapasan Akut (ISPA). karena penyebab penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA). terjadi merupakan faktor debu yang berterbangan pada

waktu mengetam kayu, menggergaji kayu dan pada waktu membelah kayu

sehingga debu yang sangat kecil terhidup dan masuk kehidung melalui pernapasan

sehingga terjadilah penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pemakaian

masker pada waktu melakukan pekerjaan di panglong kayu sangatlah baik untuk

menghindari bahaya debu dalam waktu yang lama, karena pemakaian masker

untuk menghindari penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Bukan pada

waktu sekarang melainkan waktu yang lama. Sebab efek dari debu hasil

mengetam, memotong kayu di pangglong bukan tidak timbul langsung melainkan

waktu yang lama baru akan timbul penyakit. Pekerja yang sudah lama bekerja

dipanglong kayu sangat memungkinkan terjadinya penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA).karena debu yang masuk kedalam hidung melalui

pernapasan sudah sangat banyak sehingga menimbulkan penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) (Juwita, 2015).


10

Penelitian ini menjelaskan untuk faktor lingkungan fisik pada kriteria tidak

baik lebih besar tetapi ada faktor lain yang memungkinkan lebih besar

kontribusinya seperti pada status gizi, 13 balita dengan gizi baik dan hal ini

menunjukan bahwa salah satu faktor lain mungkin lebih besar kontribusinya

terhadap ISPA (Oktaviani, Hayati and Supriatin, 2014).

Pencemaran lingkungan menjadi salah satu faktor tertinggi dalam

peningkatan penyakit infeksi (ISPA). Lingkungan adalah suatu tempat dimana

masyarakat selalu melakakan aktifitas, dengan kondisi lingkungan yang tidak

memadai akan menjadi sumber utama dalam penularan penyakit. Sehingga tidak

menutup kemungkinan penyakit ISPA bisa terjadi disemua tingkat umur. Faktor

lingkungan yang buruk tidak terlepas dari adanya dorongan dari faktor perilaku

yang sering dilakukan masyarakat kondisi fisik rumah juga sangat berpengaruh

terhadap peningkatan penyakit ISPA karena pencemaran dan keterbatasan fasilitas

rumah merupakan suatu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya

penyakit infeksi maupun non infeksi (Sudirman and Yani, 2019).

Dari enam faktor, terdapat tiga faktor yang berhubungan dengan kejadian

ISPA, yaitu keberadaan debu di dalam ruang, frekuensi menyapu rumah, dan

penggunaan masker saat keluar rumah, sedangkan tiga faktor lain, yaitu kepadatan

hunian tempat tidur, luas ventilasi dapur, dan jenis lantai rumah tidak

berhubungan dengan kejadian ISPA (Putri and Fakultas, 2017).

Terdapat hubungan perilaku kesehatan dan kebersihan lingkungan

terhadap kejadian ISPA pada balita, semakin banyak kejadian ISPA. Tingginya

prevalensi kejadian ISPA pada anak dinawah usia 5 tahun disebabkan oleh
11

perilaku kurangnya kesadaran akan kebersihan tangan dan tindakan kebersihan

lainnya yang meningkatkan risiko terkena pathogen melalui kontak fisik. Anak-

anak dapat menularkan virus penyebab ISPA dalam jangka waktu yang lebih lama

dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga hal ini menyebabkan peningkatan

paparan pathogen ke anakanak lainnya lebih tinggi (Ariano and Bashirah, 2019).

Ada hubungan antara pengetahuan, kebiasaan merokok, jumlah penghuni

rumah dan status gizi dengan kejadian ISPA pada pasien di Rumah Sakit Umum

Daerah Kabupaten Pangkep, serta zariabel yang paling berhubungan adalah

kebiasaan merokok (Jangga and Mawar, 2018).

Ada hubungan yang bermakna antara BBLR dengan kejadian ISPA pada

balita. Ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA

pada balita. Ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan

kejadian ISPA pada balita, tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan

tempat tinggal dengan kejadian ISPA pada balita dan tidak ada hubungan yang

bermakna antara lingkungan fisik ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita

(Oktaviani, Hayati and Supriatin, 2014).

Faktor kondisi fisik rumah yang berhubungan secara signifikan dengan

kejadian ISPA adalah faktor pencahayaan, ventilasi, lubang asap dapur, atap

rumah dan perilaku merokok anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut merupakan

faktor risiko penyebab terjadinya ISPA pada balita. Faktor risiko penyebab

terjadinya ISPA dapat dicegah dengan upaya kerjasama lintas sektor untuk lebih

menggiatkan penyuluhan-penyuluhan kesehatan serta upaya modifikasi

lingkungan yang ramah untuk kesehatan (Mahendra and Farapti, 2018).


12

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta

mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan yang

dibuat manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi . Bayi yang mendapat ASI

Ekslusif lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam

air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA. Pemberian

imunisasi yang tidak lengkap dapat menyebabkan kekebalan tubuh anak

berkurang. ISPA adalah salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi.

BBLR berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir yang bernafas

cepat > 60 kali/menit, lambat < 30 kali/menit dapat disertai sianosis pada mulut,

bibir, mata dengan/ tanpa retraksi dinding dada/ epigastrik serta merintih, selain

itu juga bayi yang BBLR daya tahan tubuhnya masih sangat rentan dengan

demikian BBLR sangat berisiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan

BBLR (Agus Salim, Novia Ade Betaningrum, 2016).

Riwayat penyakit ISPA berhubungan signifikan dengan kejadian stunting

sebelum dikontrol dengan variabel kovariat. Variabel diare dan BBLR berperan

sebagai perancu antara hubungan ISPA dengan kejadian stunting yang sifatnya

melemahkan sehingga ISPA tidak berhubungan signifikan dengan kejadian

stunting. Dengan demikian, anak dengan riwayat ISPA berisiko mengalami

stunting 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak tanpa riwayat ISPA.

Adapun variabel perancu yang menjadi faktor risiko lain adalah BBLR dan

imunisasi. Anak dengan riwayat BBLR lebih berisiko mengalami stunting 2.8

kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan BBL normal. Sedangkan anak
13

dengan riwayat diare lebih berisiko mengalami stunting sebanyak 2.2 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai riwayat diare (Himawati

and Fitria, 2020).

Faktor kepadatan penghuni, ventilasi, suhu dan pencahayaan ikut

berpengaruh pada kejadian penyakit ISPA dalam suatu keluarga. Faktor

lingkungan fisik yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai kondisi

ventilasi dan kepadatan hunian (Dongky and Kadrianti, 2016).

Balita yang terpajan oleh pencemaran dari hasil pemakaian kayu bakar

untuk memasak. Kebiasaan membawa balita ke dapur dapat menyebabkan balita

terkena resiko 2,3 kali lebih besar mengalami penyakit ISPA dibandingkan balita

yang tidak selalu dibawa kedapur menerima resiko 1,5 kali dibandingkan dengan

yang tidak terkena pajanan asap dari kegiatan memasak didapur. Polusi udara

dalam ruangan yang disebabkan paparan asap dari kegiatan memasak dengan

pemakaian bahan bakar biomassa (kayu, kotoran hewan, jerami) mempunyai

hubungan yang signifikan dengan prevalensi ISPA pada balita (Hugo, Emilia and

Sitaresmi, 2014).

Asap adalah partikel zat karbon yang ukurannya kurang dari 0,5 πm,

sebagai akibat dari pembakaran yang tidak sempurna yang menghasilkan karbon

yang dapat menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita.

Efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan

pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku sehingga tidak dapat

membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi

lendir akan meningkat menyebabkan penyempitan dan rusaknya sel pembunuh


14

bakteri di saluran pernafasan yang menyebabkan kesulitan bernafas akibat benda

asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan,

keadaan tersebut akan memudahkan terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan.

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi, salah satu untuk menjaga

keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut. Kurangnya

ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen dalam rumah yang berarti kadar

karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya meningkat. Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) pada umumnya di sebabkan oleh bakteri dan virus,

dimana proses penularannya melalui udara, dengan adanya ventilasi yang baik

maka udara yang telah terkontaminasi kuman akan mudah di gantikan dengan

udara yang segar (Wahyuningsih, Raodhah and Basri, 2017).

Faktor sosial ekonomi beresiko 7,98 kali lipat terhadap kejadian ISPA.

Balita mengalami ISPA kemungkinan 3,3 kali lebih tinggi pada anak dengan

status sosial ekonomi rendah. Anak yang berasal dari keluarga dengan status

sosial ekonomi rendah mempunyai resiko lebih besar mengalami episode anak.

Kondisi ekonomi yang kurang berhubungan erat dengan faktor kondisi tempat

tinggal yang tidak layak dihuni balita yang meliputi kurangnya ventilasi, tinggal

dilingkungan yang padat, serta kesibukan orang tua sehingga tidak

memperhatikan kesehatan balita (Ijana, Eka and Lasri, 2017).

Proporsi siswa taman kanak-kanak yang menderita ISPA (63 %) lebih

banyak dibandingkan dengan yang tidak menderita ISPA (37 %). Analisis bivariat

variabel dependen dan independen menggunakan uji chi-square menyatakan

bahwa dari tujuh variabel dependen terdapat empat variabel dependen yang
15

berhubungan dengan variabel independen (kejadian ISPA), yaitu status gizi,

paparan terhadap asap rokok, pola pemberian ASI, dan kepadatan hunian.

Terdapat tiga variabel dependen yang tidak berhubungan dengan variabel

independen, yaitu status imunisasi dasar, berat lahir, dan tingkat pendidikan ibu

(Lebuan and Somia, 2017).

Faktor risiko terjadinya ISPA terdiri dari 3 (tiga) faktor yaitu faktor

lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.Faktor lingkungan meliputi

pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian

rumah.Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi,

vitamin A, dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku hubungan dengan

pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada balita dalam hal ini adalah

praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang di lakukan oleh ibu ataupun

anggota keluarga lainnya. Usia balita lebih sering terkena penyakit dibandingkan

orang dewasa. Hal ini disebabkan sistempertahanan tubuh pada balita terhadap

penyakit infeksi masih dalam tahap perkembangan.Salah satu penyakit infeksi

yang paling sering diderita oleh balita adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) (Jalil, Yasnani and Sety, 2018).

Faktor risiko terjadinya ISPA di negara sedang berkembang adalah

pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif yang tidak memadai. Kematian

bayi yang disebabkan oleh diare dan ISPA dapat dicegah dengan pemberian ASI

eksklusif dimana yang menjadi responden adalah anak yang berusia <12 bulan.

ASI yang diberikan secara eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan selain

sebagai bahan makanan bayi juga mengandung kolostrum yang merupakan zat
16

kekebalan alami yang berfungsi melindungi dari infeksi karena dapat mencegah

invasi saluran pernapasan oleh bakteri atau virus (Rahman and Nur, 2015).

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya ISPA. Menurut

Wantania, et al., kejadian ISPA dipengaruhi oleh agen penyebab seperti virus dan

bakteri, faktor pejamu (usia anak, jenis kelamin, status gizi) serta keadaan

lingkungan (polusi udara dan ventilasi). Usia anak merupakan faktor predisposisi

utama yang menentukan tingkat keparahan serta luasnya infeksi saluran nafas.

Selain itu, status gizi juga berperan dalam terjadinya suatu penyakit. Hal ini

berhubungan dengan respon imunitas seorang anak. Penyakit ISPA sering

dikaitkan dengan kejadian malnutrisi dan stunting pada anak. Keadaan lingkungan

tempat tinggal juga mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA. Polutan lingkungan

dapat mengiritasi mukosa saluran nafas sehingga memudahkan terjadinya infeksi

di saluran nafas. Pada anak-anak yang tinggal di rumah berventilasi baik, insiden

ISPA lebih rendah dibanding anak-anak yang tinggal di rumah berventilasi buruk.

Selain itu, pajanan suhu dingin juga menjadi salah satu faktor resiko ISPA. Curah

hujan yang berlebihan akan membuat rumah menjadi lembab yang menjadi faktor

untuk peningkatan penyakit ISPA (Maharani, Yani and Lestari, 2017).

Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan

merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit. Penyakit

infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan tuberkolusis yang erat kaitannya

dengan kondisi perumahan. Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan

angka kejadian penyakit menular, terutama ISPA. Beberapa hal yang dapat

mempengaruhi kejadian penyakit ISPA adalah kondisi fisik rumah, kebersihan


17

rumah, kepadatan penghuni dan pencemaran udara dalam rumah.Sehingga

dapatdisimpulkan bahwa ada pengaruh antara status rumah yakni kepadatan

hunian, ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, jarak rumah dengan jalan raya,

kebiasaan membersihkan rumah dari debu terhadap kejadian ISPA. Kejadian

ISPA yang disebabkan oleh kondisi lingkungan rumah yang tidak sesuai dengan

standar kesehatan dapat terjadi tentunya tidak lepas dari perilaku dan pengetahuan

masyarakat dalam membangun rumah yang masih jauh dari standar rumah sehat.

Kurangnya pengetahuan masyarakat menyebabkan masyarakat lebih memilih

bangunan yang menggunakan bahan yang lebih murah tanpa memperhatikan efek

samping dari bahan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi dari pihak

terkait sehingga masyarakat dapat memahami secara baik dan benar tentang

membangun rumah yang sesuai dengan standar kesehatan karena rumah yang

tidak sesuai standar kesehatan sangat berisiko menimbulkan penyakit ISPA pada

penghuni rumah (Wulandhani and Purnamasari, 2019).

Dari segi kesehatan kepadatan hunian sangat bermakna pengaruhnya yang

mana akan memudahkan terjadinya penularan penyakit seperti ISPA dan penyakit

lainnya yang menyebar melalui udara. Disamping itu semakin banyak orang yang

menempati suatu rumah akan semakin banyak pula menghasilkan (CO2) yang

kurang bermanfaat terhadap kesehatan manusia. Suatu lingkungan perumahan

dikatakan baik bila anggota keluarganya tinggal di dalam suatu ruangan dengan

ukuran standar tingkat kepadatan penghuni dalam satu keluarga yaitu setiap

penghuni pertama mendiami 105 ft m2 (14 m2) dan 100 ft2 (9m2) bagi setiap
18

penghuni tambahan sehingga rata-rata luas lantai per penghuni adalah 11 m2 atau

minimal 10 m2 per jiwa (Syamsi, 2019).

Keterpaparan asap rokok, khususnya anak balita dapat meningkatkan

resiko untuk mengalami ISPA dan gangguan paruparu di masa mendatang. Anak

balita dan anggota keluarga dari perokok lebih mudah dan lebih sering menderita

gangguan pernapasan dibandingkan anak balita dan anggota keluarga yang bukan

perokok. Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar

resiko anggota keluarga menderita sakit gangguan pernapasan khususnya pada

anak balita (Aisah, 2019).

Pada umumnya tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat virus atau bakteri

pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada yang mengemukakan bahwa

terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki. Pada

dekade yang lalu, hasil Pada umumnya tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat

virus atau bakteri pada lakilaki dan perempuan. Akan tetapi ada yang

mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada

anak laki-laki. Pada dekade yang lalu, hasil penelitian menunjukkan bahwa

proporsi balita berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan antara laki – laki

dan perempuan yaitu 59% pada balita laki – laki dan 41% pada balita perempuan,

dan penelitian tersebut menyatakan bahwa, ISPA lebih sering terjadi pada balita

laki – laki dibandingkan pada balita perempuan (Yanti and Sari, 2019).

Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk

dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan

bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak
19

mekanisme pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan

pernafasan (Anggraini, Amelia Sintha and Suaka Insan Banjarmasin, 2013).

Variabel yang berhubungan sebab akibat dengan kejadian ISPA non

Pneumonia adalah obat nyamuk bakar, keberadaan perokok dan suhu ruangan.

Variabel berhubungan terbalik yaitu variabel penerangan alami. Variabel

Counfounding yaitu variabel ventilasi terhadap variabel penerangan

alami.Variabel yang tidak berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA non

Pneumonia pada balita adalah kelembaban udara, ventilasi, dinding rumah,

kepadatan hunian rumah, penggunaan bahan bakar memasak, umur, dan jenis

kelamin (Ardianti, Lapau and Dewi, 2018).

Perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada lebih

efektif dilakukan oleh keluarga baik yang dilakukan oleh ibu atau keluarga yang

tinggal dalam satu rumah. Keluarga sangat mempengaruhi munculnya penyakit

didalam rumah. Bila salah satu keluarga mengalami gangguan kesehatan yang

bersifat menular maka akan mempengaruhi anggota keluarga lainya. Keberadaan

anggota keluarga yang terkena ISPA juga sangat mempengaruhi anggota keluarga

yang lain. Penyebaran ISPA ditularkan kepada orang lain melalui udara

pernafasan atau percikan air ludah. Prinsipnya kuman ISPA yang ada diudara

terhisap oleh penjamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernafasan. Oleh sebab

itu salah satu upaya pencegahan ISPA dilakukan dengan menutup mulut pada

waktu bersin untuk menghindari penyebaran kuman melalui udara, membuang

dahak pada tempat yang seharusnya (Pratiwi and Rahmawati, 2018).


20

Pencemaran udara dalam rumah yang berasal dari aktivitas penghuninya,

pengguna bahan bakar biomassa untuk. Dari hasil penelitian menunjukan rumah

tangga penderita ISPA di Kelurahan Sikumana pada umumnya yang

menggunakan bahan bakar minyak tanah dan kayu api dimana kedua bahan bakar

tersebut mudah di untuk dapat. Kedua jenis bahan bakar tersebut ada yang

digunakan secara terpisah, namun paling banyak rumah tangga yang

menggunakan secara bersamaan atau kombinasi. Kejadian ISPA lebih banyak

diderita oleh balita pada rumah tangga yang menggunakan bahan bakar dengan

emisi asap yang banyak (kayu api dan minyak tanah) dibandingkan rumah yang

menggunakan bahan bakar yang sedikit asapnya (LPG). Hal ini dikarenakan asap

merupakan salah satu agen atau penyebab terjadinya ISPA pada balita (Singga

and Maran, 2013).

Perawatan penyakit ISPA pada balita di rumah yang melibatkan keluarga

(orang tua balita) karena keluarga (orang tua) merupakan orang yang pertama

mengetahui tanda dan gejala ISPA, demikian pula petugas puskesmas seperti

perawat dan bidan yang merupakan tenaga kesehatan di daerah tersebut. Peran

serta orang tua, kader kesehatan dan perawat serta bidan puskesmas sangat

diperlukan untuk pencegahan dan perawatan penyakit ISPA pada balita tersebut

agar balita dapat beraktifitas kembali sehingga tumbuh kembang tidak mengalami

hambatan berjalan secara optimal dan jika ini berhasil angkakesakitan dan

kematian pada balita juga menurun. Jika sudah terkena ISPA yang lebih berat,

anak balita harus mendapat perawatan di Rumah Sakit dengan biaya yang cukup

besar. Selain ditempatkan di unit perawatan intensif (ICU), pasien mendapat obat
21

penunjang di luar anti virus flu, termasuk antibiotik guna mencegah infeksi

sekunder oleh bakteri (Mardiah, Mediawati and Setyorini, 2017).


BAB IV
PEMBAHASAN ARTIKEL

Hasil pemikiran atau hasil penelitian dengan menganalisis artikel-artikel yang

berfokus dengan judul penelitian yaitu Faktor yang berhubungan dengan penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di wilayah kerja Puskesmas Empagae

Kabupaten Sidenreng Rappang.

No Penulis Tujuan Metode Sampel Temuan Kes


1 (Syahidi, Penelitian ini Metode 104 anak Dari penelitian ini 1. Meto
Gayatri bertujuan penelitian berusia 12- dapat disimpulkan pene
and untuk ini 59 bulan bahwa yang yang
Bantas, mengetahui menggunak yang mempengaruhi yaitu
2016) faktor-faktor an studi pernah kejadian ISPA pada kuan
apa saja yang kuantitatif melakukan balita di wilayah deng
mempengaru dengan kunjungan Puskesmas Tebet pend
hi kejadian pendekatan di Barat adalah cross
ISPA anak cross Puskesmas pendidikan dan sectio
berumur 12- sectional pengetahuan 2. Men
59 bulan pengawas anak, n var
pendapatan beba
keluarga, kepadatan (inde
hunian, dan perilaku lebih
merokok anggota satu.
keluarga. 3. Men
n ana
data
sama
Mult
atau
simu
2 (Herlinda Untuk Metode Sampel Faktor-faktor yang 1. Meto
Christi, mengetahui penelitian penelitian berhubungan pene
2015) faktor-faktor ini berjumlah dengan kejadian yang
yang menggunak 68 ISPA pada bayi usia yaitu
berhubungan an studi responden 6-12 yang memiliki kuan
dengan kuantitatif status gizi normal di deng
kejadian dengan wilayah kerja pend
ISPA pada pendekatan Puskesmas cross
bayi usia 6-12 cross Candilama meliputi sectio

8
9

bulan yang sectional jenis kelamin bayi 2. Men


memiliki (faktor intrinsik) dan n var
status gizi status ekonomi beba
normal keluarga (faktor (inde
ekstrinsik). lebih
Disarankan agar satu.
petugas puskesmas 3. Men
secara intensif dapat n ana
memberikan data
penyuluhan dan sama
informasi terbaru Mult
kepada masyarakat atau
sekitarnya dalam hal simu
penyuluhan tentang
ISPA pada bayi.

3 (Himawati Untuk Metode 170 dan Kejadian ISPA, 1. Men


and Fitria, menganalisis Studi disesuaika diare dan BBLR n var
2020) hubungan potong n dengan pada anak beba
kejadian lintang data berkontribusi (inde
ISPA dengan Riskesdas terhadap kejadian lebih
stunting 2018 stunting, masing- satu.
sehingga masing sebesar 3, 2.8 2. Men
jumlah dan 2.2 kali. n ana
sampel data
penelitian sama
keseluruha Mult
n dalah 207 atau
simu
3. Mem
poko
perm
yang
yaitu

4 (Ijana, Eka Tujuan Desain Sampel Faktor resiko yang 1. Men


and Lasri, penelitian ini penelitian sebanyak paling dominan n var
2017) untuk yaitu 20 balita sebagai resiko ISPA beba
mengetahui penelitian dengan pada balita adalah (inde
berbagai deskriptif ISPA faktor lingkungan lebih
faktor resiko yang tidak sehat satu.
terjadinya dengan nilai OR 2. Men
10

ISPA pada sebesar 11,35. Hal ini n ana


balita di berarti faktor data
lingkungan lingkungan sama
pabrik khususnya keadaan Mult
keramik tempat tinggal yang atau
tidak sehat lebih simu
beresiko 11,35 kali 3. Mem
lipat terhadap poko
kejadian ISPA. perm
yang
yaitu
5 (Mardiah, Untuk Penyuluha Sebanyak Hasil FGD dengan 1. Mem
Mediawati mengidentifik n dan 41 orang kader kesehatan dan poko
and asi Focus petugas kesehatan perm
Setyorini, pengetahuan Group Puskesmas yang
2017) orang tua dan Discustion. Pangandaran yaitu
kader didapatkan
kesehatan, beberapa metode
mengidentifik pencegahan dan
asi kejadian perawatan balita
Infeksi dengan ISPA di
Saluran rumah yaitu
Pernafasan pengunaan tanaman
Akut dan obat tradisional
mengidentifik digunakan secara
asi target turun temurun
capaian untuk mengatasi
imunisasi batuk pilek dan
pentabio penurunan daya
tahan tubuh,
melakukan
kebiasaan hidup
sehat seperti selalu
mencuci tangan
setelah merawat
pasien ISPA,
mengunakan masker
saat terkena ISPA
serta mendeteksi
gejala ISPA sejak
dini. Saran untuk
mempertahankan
dengan terus
memeliharan
kesehatan dan selalu
melakukan deteksi
11

dini Infeksi Saluran


Pernafasan Akut
pada kader
kesehatan dan
orangtua balita
dilakukan secara
rutin.
BAB V
KESMIPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah membuat review terhadap isi dari berbagai kajian yang ada

dalam literatur, penulis mencatat informasi penting dari kajian-kajian

tersebut untuk menulis sebuah kajian literaturereview yang berkaitan

dengan Faktor yang berhubungan dengan penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) di wilayah kerja Puskesmas Empagae Kabupaten

Sidenreng Rappang. Berikut kesimpulan yang peneliti ringkas :

1. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah radang akut saluran

pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad

renik atau bakteri, virus, tanpa atau disertai parenkim paru.

2. Salah satu yang berisiko tinggi terkena ISPA adalah anak-anak berusia

di bawah dua tahun, karena dapat mengalami penurunan daya

tahan tubuh. Komplikasi terberat terjadi jika infeksi mencapai

paru-paru. Halhal yang bisa terjadi antara lain perdarahan paru-paru,

gagal napas akut (acute respiratory distress syndrome/ ARDS), hingga

kematian.

3. Faktor risiko yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada

umumnya adalah faktor sosio-demografi, biologis, perumahan dan

kepadatan serta polusi. Faktor sosio-demografi meliputi usia, jenis

kelamin, pendidikan orang tua, dan penghasilan keluarga. Faktor

biologi meliputi status gizi, pemberian ASI eksklusif. Faktor polusi

8
9

dalam ruangan meliputi tidak adanya cerobong asap, kebiasaan ayah

merokok dan adanya perokok selain ayah. Faktor perumahan dan

kepadatan meliputi keadaan lantai, dinding, jumlah penghuni kamar

yang melebihi 2 orang, dan ventilasi rumah.

4. Pencegah penularan ISPA dapat dilakukan dengan imunisasi, ada

vaksin tiga jenis virus utama flu yang formulanya berganti tiap tahun

untuk menghindari risiko virus kebal pada vaksin. Cara lain yang

utama adalah menjaga daya tahan tubuh lewat perilaku hidup sehat,

termasuk mengkonsumsi makanan bergizi seimbang dan cukup

istirahat.

B. Saran

Berdasarkan tinjauan kasus dan pembahasan kasus, penulis

memberikan masukan atau saran yang diharapkan dapat bermanfaat:

1. Puskesmas

Disarankan kepada puskesmas supaya lebih mensosialisasikan

pentingnya imunisasi dan pencegahan terjadinya kelahiran bayi yang

BBLR agar mengurangi resiko terjadinya ISPA.

2. Keperawatan Disarankan untuk program keperawatan komunitas baik

melalui penyuluhan, pelatihan kader, atau sosialisasi tentang ISPA dan

faktor-faktor yang berhubungannya.


10

3. Peneliti Selanjutnya

Untuk peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian disarankan

untuk meneliti faktor lain mengenai ISPA seperti mengenai asap

rokok, pengetahuan, pendidikan ibu dll.


DAFTAR PUSTAKA

Agus Salim, Novia Ade Betaningrum, R. P. (2016) ‘Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Ispa Non Pneumonia Di Uptd Yankes Cikancung
Kabupaten Bandung’, X.

Aisah, S. (no date) ‘FAktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyakit Ispa


Pada Anak Balita Desatinombo Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi Moutong’,
pp. 629–641.

Anggraini, S., Amelia Sintha, K. and Suaka Insan Banjarmasin, S. (2013) ‘Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Alalak
Selatan Banjarmasin’.

Ardianti, W., Lapau, B. and Dewi, O. (2018) ‘Faktor Risiko Kejadian Ispa Non
Pneumonia Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kota
Pekanbaru’, Photon, 9(1), pp. 1–8. Available at:
http://ejurnal.umri.ac.id/index.php/photon/article/view/1057/612.

Ariano, A. and Bashirah, A. R. (2019) ‘Hubungan Faktor Lingkungan dan


Perilaku Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) di Desa
Talok Kecamatan Kresek The Correlation Between Environmental Factors and
Behavior to the incidence of Acute Respiratory Infections ( ARI ) in in Tal’,
27(2), pp. 76–83.
Dongky, P. and Kadrianti, K. (2016) ‘Faktor Risiko Lingkungan Fisik Rumah
Dengan Kejadian Ispa Balita Di Kelurahan Takatidung Polewali Mandar’, Unnes
Journal of Public Health, 5(4), p. 324. doi: 10.15294/ujph.v5i4.13962.

Herlinda Christi, D. R. (2015) ‘Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Ispa Pada Bayi Usia 6 – 12 Bulan Yang Memiliki Status Gizi Normal’,
3(April).

Himawati, E. H. and Fitria, L. (2020) ‘Hubungan Infeksi Saluran Pernapasan Atas


dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia di Bawah 5 Tahun di Sampang’,
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 15(1), p. 1. doi:
10.26714/jkmi.15.1.2020.1-5.

Hugo, M., Emilia, O. and Sitaresmi, M. N. (2014) ‘Pajanan Asap Dalam Rumah
Terhadap Kejadian Ispa Nonpneumonia Pada Anak Balita Di Kabupaten Kapuas’,
Jurnal Kesehatan Reproduksi, 1(1), pp. 80–89. doi: 10.22146/jkr.4916.

Ijana, Eka, N. L. P. and Lasri (2017) ‘Analisis Faktor Risiko Terjadinya Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Lingkungan Pabrik Keramik
Wilayah Puskesmas Dinoyo, Kota Malang’, Journal Nursing News, 2(3), pp. 352–
359. doi: 10.1021/BC049898Y.

8
9

Jalil, R., Yasnani and Sety, L. O. M. (2018) ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan


Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kabangka
Kecamatan Kabangka Kabupaten Muna’, Fkm Uho, 3(4), pp. 1–8.

Jangga, J. and Mawar, M. (2018) ‘Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kerjadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pasien Di Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Pangkep’, Jurnal Media Analis Kesehatan, 9(2). doi:
10.32382/mak.v9i2.220.

Juwita, C. N. (2015) ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya


Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Pekerja Panglong Kayu Kabupaten
Aceh Jaya Tahun 2014’, pp. 54–65.

Lebuan, A. W. and Somia, A. (2017) ‘Faktor Yang Berhubungan Dengan Infeksi


Saluran Pernapasan Akut Pada Siswa Taman Kanak-Kanak Di Kelurahan Dangin
Puri Kecamatan Denpasar Timur Tahun 2014’, E-Jurnal Medika Udayana, 6(6),
pp. 1–8. Available at: ttp://ojs.unud.ac.id/index.php/eum.

Maharani, D., Yani, F. F. and Lestari, Y. (2017) ‘Profil Balita Penderita Infeksi
Saluran Nafas Akut Atas di Poliklinik Anak RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun
2012-2013’, Jurnal Kesehatan Andalas, 6(1), p. 152. doi: 10.25077/jka.v6i1.662.

Mahendra, I. G. A. P. and Farapti, F. (2018) ‘Hubungan Antara Kondisi Fisik


Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas Pada Balita Di
Surabaya’, Jurnal Berkala Epidemiologi, 6(3), p. 227. doi:
10.20473/jbe.v6i32018.227-235.

Mardiah, W., Mediawati, A. S. and Setyorini, D. (2017) ‘Pencegahan Penularan


Infeksi Saluran Pernapasan Akut dan Perawataannya pada Balita dirumah di
Kabupaten Pangandaran’, Aplikasi Iptek untuk Masyarakat, 6(3), pp. 258–261.

Oktaviani, I., Hayati, S. and Supriatin, E. (2014) ‘Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Puskesmas Garuda Kota
Bandung’, J u r n a l I l m u K e p e r a w a t a n, 1(2), pp. 108–122.

Pratiwi, O. D. and Rahmawati, A. (2018) ‘Hubungan Perilaku Kesehatan Dan


Kebersihan Lingkungan Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bambanglipuro Bantulyogyakarta’.

Putri, A. E. and Fakultas (2017) ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Ispa Pada Orang Dewasa Di Desa Besuk Kecamatan Bantaran
Kabupaten Probolinggo’, Jurnal Ilmiah Kesehatan, 16(1), pp. 4–13.

Rahman, A. and Nur, A. F. (2015) ‘Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan


Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Anak Balita Di Wilayah
10

Kerja Puskesmas Managaisaki’33.

Singga, S. and Maran, A. A. (2013) ‘Penggunaan bahan bakar dan faktor risiko
kejadian ispa pada balita di kelurahan sikumana’, Kesehatan Lingkungan –
Poltekkes Kemenkes Kupang, 11(1), pp. 348–355.

Sudirman, S. and Yani, A. (2019) ‘Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Penyakit Ispa Pada Anak Dan Balita’. doi: 10.31227/osf.io/d6pmq.

Syahidi, M. H., Gayatri, D. and Bantas, K. (2016) ‘Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak
Berumur 12-59 Bulan di Puskesmas Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet,
Jakarta Selatan, Tahun 2013’, Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 1(1), pp.
23–27. doi: 10.7454/epidkes.v1i1.1313.

Syamsi, N. (2019) ‘Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran


Pernafasan Atas Pada Balita’, Jiksh, 10, pp. 57–62. doi: 10.35816/jiskh.v10i2.108.
Wahyuningsih, S., Raodhah, S. and Basri, S. (2017) ‘Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Pesisir Desa Kore Kecamatan Sanggar
Kabupaten Bima’, Higiene, 3(2), pp. 97–105.

Wulandhani, S. and Purnamasari, A. B. (2019) ‘Analisis Faktor Risiko Kejadian


Infeksi Saluran Pernapasan Akut ditinjau dari Lingkungan Fisik’, Sainsmat :
Jurnal Ilmiah Ilmu Pengetahuan Alam, 8(2), p. 70. doi:
10.35580/sainsmat82107212019.

Yanti, D. E. and Sari, N. (2019) ‘Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Anak Balita Usia 1- 5
Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaraja Nuban Kabupaten Lampung
Timur’, Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), pp. 1689–1699.
doi: 10.1017/CBO9781107415324.004.

Anda mungkin juga menyukai