TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian ISPA
ISPA adalah Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau
demam atau demam ≥ 38 °C dan batuk tidak lebih dari 10 hari sejak
Subuh, 2016).
Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala:
tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak.
2. Patofisiologi ISPA
dan gas yang ada di udara sangat tergantung pada 3 unsur alamiah
yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu: utuhnya epitel mukosa
8
9
mudah terjadi pada saluran napas yang telah rusak sel-sel epitel
karena:
a. Asap rokok dan gas S02, polutan utama adalah pencemaran udara
b. Sindroma imotil.
(jumlah) jasad renik yang masuk. Daya tahan tubuh, terdiri dari
10
Ig A (Amin, 2011).
ISPA akibat polusi adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor risiko
pertama karena virus, pada mereka ini tampak lebih berat karena
dan bersin-bersin.
melalui bahan sekresi hidung. Virus ISPA terdapat 10-100 kali lebih
11
3. Etiologi
dari angka kejadian ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100
atau bukan, apakah perlu dirujuk segera atau tidak (Depkes RI, 2010).
12
5. Gejala ISPA
yang ringan (Depkes RI, 2010). Gejala ISPA dibagi atas 3 yaitu:
suhu badan lebih dari 37°C atau jika dahi anak diraba dengan
14
tangan terasa panas, perlu berhati -hati karena jika anak menderita
anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari
40x/menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih dan cara
sela iga tertarik kedalam pada waktu bernapas, nadi cepat lebih
dari 160 kali per menit atau tak teraba, tenggorokan bewarna
merah.
6. Pencegahan ISPA
Subuh, 2016).:
luar ruangan
e. Imunisasi
f. Kepadatan Penduduk
nasional masih rendah, bahkan masih jauh dari target yang telah
pelayanan kesehatan
16
gejala-gejala pneumonia
standar.
didaerah.
Bila kondisi ini terus terjadi, maka hal ini dapat menjadi
polusi udara dalam ruangan serta perilaku cuci tangan pakai sabun.
17
Tatalaksana ISPA).
18
berat.
dan bersifat kronis sebagai frekuensi lama individu dari suatu pekerjaan
1. Faktor Host
a. Umur
b. Jenis Kelamin
berusia 15-24 tahun, memiliki risiko ISPA tidak terlalu jauh. Hal
perempuan. Akan tetapi, risiko tersebut akan menjadi dua kali lipat
Williams, 2014).
c. Riwayat Penyakit
d. Kebiasaan Merokok
yang berasal dari ujung rokok yang terbakar, sedangkan asap aliran
utama adalah asap rokok yang telah dihisap oleh perokok lalu
(AROL) adalah asap yang keluar dari ujung rokok yang menyala
asap rokok yang mengenai orang lain di rumah 61,6 %. Dari hasil
22
e. Jenis Pekerjaan
debu organik, debu logam keras, debu kapas, vlas, henep dan sisal.
f. Masa Kerja
bisa dilihat dari lama bekerja maka debu kemungkinan besar akan
g. Lama paparan
saja.
2. Faktor Lingkungan
a. Suhu
tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan
suhu udara > 30ºC perlu menggunakan alat penata udara seperti air
conditioner, kipas angin dan lain-lain. Bila suhu 32 udara luar < 18º
mati. Tapi pada suhu dan kelembapan tertentu dapat tumbuh dan
dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka
26
menjaga suhu udara di dalam rumah agar tetap stabil, yang dapat
b. Kelembaban
dapat dikatakan bahwa udara berada dalam kondisi jenuh dalam arti
seperti ISPA. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan
c. Ventilasi
masuk dan keluar angin sekaligus udara dari luar ke dalam dan
1405/MENKES/SK/XI/2002).
jendela kamar tidur dan ruang keluarga yang jarang dibuka, kondisi
dan sulit untuk dibersihkah, dinding rumah yang lembap dan faktor
tetapi hal ini tidak cocok untuk ekonomi pedesaan. Syarat yang
diberikan. Seperti diketahui bahwa lantai yang tidak rapat air dan
penularan penyakit.
tidak ada sirkulasi udara yang baik di dalam ruangan. Hal ini dapat
3. Faktor Agent
Penulis
No Judul Hasil pemikiran/Hasil penelitian
/Tahun Terbit
Faktor-faktor yang (Syahidi, Hasil menunjukkan bahwa dari 11
Mempengaruhi Kejadian Gayatri and variabel yang dilakukan uji bivariat,
Infeksi Saluran Bantas, 2016) variabel yang diketahui memiliki
Pernapasan Akut (ISPA) hubungan yang bermakna (P value <
pada Anak Berumur 12- 0,05) dengan kejadian ISPA pada
1
59 Bulan di Puskesmas anak berusia 12 – 59 bulan adalah
Kelurahan Tebet Barat, pendidikan dan pengetahuan
Kecamatan Tebet, pengawas anak, pendapatan
Jakarta Selatan keluarga, kepadatan hunian, dan
perilaku merokok anggota keluarga.
2 Faktor–Faktor Yang (Herlinda Dari penelitian ini dapat
Berhubungan Dengan Christi, 2015) disimpulkan bahwa faktor-faktor
Kejadian Ispa Pada Bayi yang berhubungan dengan kejadian
Usia 6 – 12 Bulan Yang ISPA pada bayi usia 6-12 yang
Memiliki Status Gizi memiliki status gizi normal di
Normal wilayah kerja Puskesmas Candilama
meliputi jenis kelamin bayi (faktor
intrinsik) dan status ekonomi
keluarga (faktor ekstrinsik).
Disarankan agar petugas puskesmas
secara intensif dapat memberikan
penyuluhan dan informasi terbaru
kepada masyarakat sekitarnya dalam
hal penyuluhan tentang ISPA pada
30
bayi.
Faktor-faktor yang (Juwita, 2015) Hasil Penelitian menunjukkan
berhubungan dengan pekerja panglong kayu sangat
terjadinya Infeksi rentang dengan kejadian penyakit
Saluran Pernapasan ISPA karena Lamanya bekerja dan
3 Akut (ISPA) Pada kurangnya kesadaran Masyarakat
Pekerja Panglong Kayu untuk membersihkan tempat bekerja
Kabupaten Aceh Jaya setelah melakukan pemotongan
Tahun 2014 Kayu sehingga terjadinya Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Faktor-faktor yang (Oktaviani, Terdapat hubungan antara BBLR
berhubungan dengan Hayati and dan imunisasi terhadap kejadian
kejadian Infeksi Saluran Supriatin, ISPA, serta tidak terdapat hubungan
Pernafasan Akut (ISPA) 2014) antara status gizi, kepadatan tempat
Pada Balita di tinggal dan lingkungan fisik ventilasi
4 Puskesmas Garuda Kota terhadap kejadian ISPA. Dan saran
Bandung kepada puskesmas supaya lebih
mensosialisasikan pentingnya
imunisasi dan pencegahan terjadinya
kelahiran bayi yang BBLR agar
mengurangi resiko terjadinya ISPA.
Faktor-faktor yang (Sudirman and Dari hasil penelitian yang telah
berhubungan dengan Yani, 2019) dilakukan pada penderita penyakit
kerjadian Penyakit ISPA ISPA kategori anak-anak dapat di
pada anak dan Balita temukan sebagian besar akibat dari
penggunaan bedak tabur yang
diberikan pada bayi yang masih
5 berumur 0-12 bulan, terkena paparan
dari pencemaran udara dan
lingkungan serta kurangnya
pengatahuan pada Anggota keluarga
mengenai factor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit
ISPA
Faktor-faktor yang (Putri and Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berhubungan dengan Fakultas, terdapat tiga faktor yang
kejadian ISPA Pada 2017) berhubungan dengan ISPA yaitu
6 Orang Dewasa di Desa keberadaan debu ruang (p=0,006),
Besuk Kecamatan frekuensi menyapu rumah
Bantaran Kabupaten (p=0,083), dan penggunaan masker
Probolinggo saat keluar rumah (p=0,099).
7 Hubungan Faktor (Ariano and Dari hasil analisis didapatkan nilai
Lingkungan dan Bashirah, P=0,007 terhadap lingkungan, dan
Perilaku Terhadap 2019) p=0,03 terhadap perilaku risiko.
Kejadian Infeksi Saluran terdapat hubungan signifikan faktor
Pernafasan Akut (ISPA) lingkungan dan perilaku terhadap
31
Hasil Sintesis
26,57%). Sedangkan penggunaan obat nyamuk dan bahan bakar masak tidak
memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada anak berusia 12-
Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan Tahun 2013. Perlu adanya sosialisasi program
pasangan suami istri dapat memiliki visi memiliki keluarga sehat dengan tinggal
ini dengan meneliti faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian ISPA selain
yang ada di dalam penelitian ini (Syahidi, Gayatri and Bantas, 2016).
pada Bayi usia 6 – 12 bulan yang memiliki status gizi normal dapat disimpulkan :
1. Distribusi frekuensi bayi ISPA yaitu sebanyak 43 bayi (63,2%) sedangkan bayi
tidak ISPA yaitu sebanyak 25 bayi (36,8%). 2. Sebagian besar bayi usia 6 – 12
bulan yang memiliki status gizi normal berada dalam kategori jenis kelamin
perempuan, berat badan lahir rendah, status imunisasi belum lengkap, riwayat
pemberian ASI non eksklusif, dan belum mendapat vitamin A. 3. Sebagian besar
ibu dari bayi usia 6 – 12 bulan yang memiliki status gizi normal berada dalam
8
9
kategori tingkat pendidikan lanjutan, pengetahuan baik, tidak bekerja/ IRT, dan
status ekonomi keluarga rendah. 4. Dari 5 faktor intrinsik, hanya ada 1 variabel
yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada bayi yaitu
variabel jenis kelamin (pvalue = 0,023). 5. Dari 4 faktor ekstrinsik, hanya ada 1
variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada bayi
Pernapasan Akut (ISPA). terjadi merupakan faktor debu yang berterbangan pada
waktu mengetam kayu, menggergaji kayu dan pada waktu membelah kayu
sehingga debu yang sangat kecil terhidup dan masuk kehidung melalui pernapasan
masker pada waktu melakukan pekerjaan di panglong kayu sangatlah baik untuk
menghindari bahaya debu dalam waktu yang lama, karena pemakaian masker
untuk menghindari penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Bukan pada
waktu sekarang melainkan waktu yang lama. Sebab efek dari debu hasil
waktu yang lama baru akan timbul penyakit. Pekerja yang sudah lama bekerja
Penelitian ini menjelaskan untuk faktor lingkungan fisik pada kriteria tidak
baik lebih besar tetapi ada faktor lain yang memungkinkan lebih besar
kontribusinya seperti pada status gizi, 13 balita dengan gizi baik dan hal ini
menunjukan bahwa salah satu faktor lain mungkin lebih besar kontribusinya
memadai akan menjadi sumber utama dalam penularan penyakit. Sehingga tidak
menutup kemungkinan penyakit ISPA bisa terjadi disemua tingkat umur. Faktor
lingkungan yang buruk tidak terlepas dari adanya dorongan dari faktor perilaku
yang sering dilakukan masyarakat kondisi fisik rumah juga sangat berpengaruh
Dari enam faktor, terdapat tiga faktor yang berhubungan dengan kejadian
ISPA, yaitu keberadaan debu di dalam ruang, frekuensi menyapu rumah, dan
penggunaan masker saat keluar rumah, sedangkan tiga faktor lain, yaitu kepadatan
hunian tempat tidur, luas ventilasi dapur, dan jenis lantai rumah tidak
terhadap kejadian ISPA pada balita, semakin banyak kejadian ISPA. Tingginya
prevalensi kejadian ISPA pada anak dinawah usia 5 tahun disebabkan oleh
11
lainnya yang meningkatkan risiko terkena pathogen melalui kontak fisik. Anak-
anak dapat menularkan virus penyebab ISPA dalam jangka waktu yang lebih lama
paparan pathogen ke anakanak lainnya lebih tinggi (Ariano and Bashirah, 2019).
rumah dan status gizi dengan kejadian ISPA pada pasien di Rumah Sakit Umum
Ada hubungan yang bermakna antara BBLR dengan kejadian ISPA pada
balita. Ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA
pada balita. Ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan
kejadian ISPA pada balita, tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan
tempat tinggal dengan kejadian ISPA pada balita dan tidak ada hubungan yang
bermakna antara lingkungan fisik ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita
kejadian ISPA adalah faktor pencahayaan, ventilasi, lubang asap dapur, atap
faktor risiko penyebab terjadinya ISPA pada balita. Faktor risiko penyebab
terjadinya ISPA dapat dicegah dengan upaya kerjasama lintas sektor untuk lebih
Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta
mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan yang
dibuat manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi . Bayi yang mendapat ASI
Ekslusif lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam
air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA. Pemberian
berkurang. ISPA adalah salah satu jenis penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi, penyakit yang tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi.
BBLR berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir yang bernafas
cepat > 60 kali/menit, lambat < 30 kali/menit dapat disertai sianosis pada mulut,
bibir, mata dengan/ tanpa retraksi dinding dada/ epigastrik serta merintih, selain
itu juga bayi yang BBLR daya tahan tubuhnya masih sangat rentan dengan
demikian BBLR sangat berisiko untuk terkena ISPA dibandingkan bayi bukan
sebelum dikontrol dengan variabel kovariat. Variabel diare dan BBLR berperan
sebagai perancu antara hubungan ISPA dengan kejadian stunting yang sifatnya
stunting 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak tanpa riwayat ISPA.
Adapun variabel perancu yang menjadi faktor risiko lain adalah BBLR dan
imunisasi. Anak dengan riwayat BBLR lebih berisiko mengalami stunting 2.8
kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak dengan BBL normal. Sedangkan anak
13
dengan riwayat diare lebih berisiko mengalami stunting sebanyak 2.2 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak mempunyai riwayat diare (Himawati
lingkungan fisik yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai kondisi
Balita yang terpajan oleh pencemaran dari hasil pemakaian kayu bakar
terkena resiko 2,3 kali lebih besar mengalami penyakit ISPA dibandingkan balita
yang tidak selalu dibawa kedapur menerima resiko 1,5 kali dibandingkan dengan
yang tidak terkena pajanan asap dari kegiatan memasak didapur. Polusi udara
dalam ruangan yang disebabkan paparan asap dari kegiatan memasak dengan
hubungan yang signifikan dengan prevalensi ISPA pada balita (Hugo, Emilia and
Sitaresmi, 2014).
Asap adalah partikel zat karbon yang ukurannya kurang dari 0,5 πm,
sebagai akibat dari pembakaran yang tidak sempurna yang menghasilkan karbon
yang dapat menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita.
pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku sehingga tidak dapat
asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan,
ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen dalam rumah yang berarti kadar
Pernafasan Akut (ISPA) pada umumnya di sebabkan oleh bakteri dan virus,
dimana proses penularannya melalui udara, dengan adanya ventilasi yang baik
maka udara yang telah terkontaminasi kuman akan mudah di gantikan dengan
Faktor sosial ekonomi beresiko 7,98 kali lipat terhadap kejadian ISPA.
Balita mengalami ISPA kemungkinan 3,3 kali lebih tinggi pada anak dengan
status sosial ekonomi rendah. Anak yang berasal dari keluarga dengan status
sosial ekonomi rendah mempunyai resiko lebih besar mengalami episode anak.
Kondisi ekonomi yang kurang berhubungan erat dengan faktor kondisi tempat
tinggal yang tidak layak dihuni balita yang meliputi kurangnya ventilasi, tinggal
banyak dibandingkan dengan yang tidak menderita ISPA (37 %). Analisis bivariat
bahwa dari tujuh variabel dependen terdapat empat variabel dependen yang
15
paparan terhadap asap rokok, pola pemberian ASI, dan kepadatan hunian.
independen, yaitu status imunisasi dasar, berat lahir, dan tingkat pendidikan ibu
Faktor risiko terjadinya ISPA terdiri dari 3 (tiga) faktor yaitu faktor
pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian
rumah.Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi,
pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada balita dalam hal ini adalah
praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang di lakukan oleh ibu ataupun
anggota keluarga lainnya. Usia balita lebih sering terkena penyakit dibandingkan
orang dewasa. Hal ini disebabkan sistempertahanan tubuh pada balita terhadap
yang paling sering diderita oleh balita adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut
pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif yang tidak memadai. Kematian
bayi yang disebabkan oleh diare dan ISPA dapat dicegah dengan pemberian ASI
eksklusif dimana yang menjadi responden adalah anak yang berusia <12 bulan.
ASI yang diberikan secara eksklusif kepada bayi hingga usia 6 bulan selain
sebagai bahan makanan bayi juga mengandung kolostrum yang merupakan zat
16
kekebalan alami yang berfungsi melindungi dari infeksi karena dapat mencegah
invasi saluran pernapasan oleh bakteri atau virus (Rahman and Nur, 2015).
Wantania, et al., kejadian ISPA dipengaruhi oleh agen penyebab seperti virus dan
bakteri, faktor pejamu (usia anak, jenis kelamin, status gizi) serta keadaan
lingkungan (polusi udara dan ventilasi). Usia anak merupakan faktor predisposisi
utama yang menentukan tingkat keparahan serta luasnya infeksi saluran nafas.
Selain itu, status gizi juga berperan dalam terjadinya suatu penyakit. Hal ini
dikaitkan dengan kejadian malnutrisi dan stunting pada anak. Keadaan lingkungan
di saluran nafas. Pada anak-anak yang tinggal di rumah berventilasi baik, insiden
ISPA lebih rendah dibanding anak-anak yang tinggal di rumah berventilasi buruk.
Selain itu, pajanan suhu dingin juga menjadi salah satu faktor resiko ISPA. Curah
hujan yang berlebihan akan membuat rumah menjadi lembab yang menjadi faktor
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan tuberkolusis yang erat kaitannya
dengan kondisi perumahan. Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan
angka kejadian penyakit menular, terutama ISPA. Beberapa hal yang dapat
hunian, ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, jarak rumah dengan jalan raya,
ISPA yang disebabkan oleh kondisi lingkungan rumah yang tidak sesuai dengan
standar kesehatan dapat terjadi tentunya tidak lepas dari perilaku dan pengetahuan
masyarakat dalam membangun rumah yang masih jauh dari standar rumah sehat.
bangunan yang menggunakan bahan yang lebih murah tanpa memperhatikan efek
samping dari bahan tersebut. Oleh karena itu perlu adanya sosialisasi dari pihak
terkait sehingga masyarakat dapat memahami secara baik dan benar tentang
membangun rumah yang sesuai dengan standar kesehatan karena rumah yang
tidak sesuai standar kesehatan sangat berisiko menimbulkan penyakit ISPA pada
mana akan memudahkan terjadinya penularan penyakit seperti ISPA dan penyakit
lainnya yang menyebar melalui udara. Disamping itu semakin banyak orang yang
menempati suatu rumah akan semakin banyak pula menghasilkan (CO2) yang
dikatakan baik bila anggota keluarganya tinggal di dalam suatu ruangan dengan
ukuran standar tingkat kepadatan penghuni dalam satu keluarga yaitu setiap
penghuni pertama mendiami 105 ft m2 (14 m2) dan 100 ft2 (9m2) bagi setiap
18
penghuni tambahan sehingga rata-rata luas lantai per penghuni adalah 11 m2 atau
resiko untuk mengalami ISPA dan gangguan paruparu di masa mendatang. Anak
balita dan anggota keluarga dari perokok lebih mudah dan lebih sering menderita
gangguan pernapasan dibandingkan anak balita dan anggota keluarga yang bukan
perokok. Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar
Pada umumnya tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat virus atau bakteri
pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada yang mengemukakan bahwa
terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki. Pada
dekade yang lalu, hasil Pada umumnya tidak ada perbedaan insiden ISPA akibat
virus atau bakteri pada lakilaki dan perempuan. Akan tetapi ada yang
mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada
anak laki-laki. Pada dekade yang lalu, hasil penelitian menunjukkan bahwa
proporsi balita berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan antara laki – laki
dan perempuan yaitu 59% pada balita laki – laki dan 41% pada balita perempuan,
dan penelitian tersebut menyatakan bahwa, ISPA lebih sering terjadi pada balita
laki – laki dibandingkan pada balita perempuan (Yanti and Sari, 2019).
bau tidak sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak
19
Pneumonia adalah obat nyamuk bakar, keberadaan perokok dan suhu ruangan.
kepadatan hunian rumah, penggunaan bahan bakar memasak, umur, dan jenis
efektif dilakukan oleh keluarga baik yang dilakukan oleh ibu atau keluarga yang
didalam rumah. Bila salah satu keluarga mengalami gangguan kesehatan yang
anggota keluarga yang terkena ISPA juga sangat mempengaruhi anggota keluarga
yang lain. Penyebaran ISPA ditularkan kepada orang lain melalui udara
pernafasan atau percikan air ludah. Prinsipnya kuman ISPA yang ada diudara
terhisap oleh penjamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernafasan. Oleh sebab
itu salah satu upaya pencegahan ISPA dilakukan dengan menutup mulut pada
pengguna bahan bakar biomassa untuk. Dari hasil penelitian menunjukan rumah
menggunakan bahan bakar minyak tanah dan kayu api dimana kedua bahan bakar
tersebut mudah di untuk dapat. Kedua jenis bahan bakar tersebut ada yang
diderita oleh balita pada rumah tangga yang menggunakan bahan bakar dengan
emisi asap yang banyak (kayu api dan minyak tanah) dibandingkan rumah yang
menggunakan bahan bakar yang sedikit asapnya (LPG). Hal ini dikarenakan asap
merupakan salah satu agen atau penyebab terjadinya ISPA pada balita (Singga
(orang tua balita) karena keluarga (orang tua) merupakan orang yang pertama
mengetahui tanda dan gejala ISPA, demikian pula petugas puskesmas seperti
perawat dan bidan yang merupakan tenaga kesehatan di daerah tersebut. Peran
serta orang tua, kader kesehatan dan perawat serta bidan puskesmas sangat
diperlukan untuk pencegahan dan perawatan penyakit ISPA pada balita tersebut
agar balita dapat beraktifitas kembali sehingga tumbuh kembang tidak mengalami
hambatan berjalan secara optimal dan jika ini berhasil angkakesakitan dan
kematian pada balita juga menurun. Jika sudah terkena ISPA yang lebih berat,
anak balita harus mendapat perawatan di Rumah Sakit dengan biaya yang cukup
besar. Selain ditempatkan di unit perawatan intensif (ICU), pasien mendapat obat
21
penunjang di luar anti virus flu, termasuk antibiotik guna mencegah infeksi
berfokus dengan judul penelitian yaitu Faktor yang berhubungan dengan penyakit
8
9
A. Kesimpulan
Setelah membuat review terhadap isi dari berbagai kajian yang ada
2. Salah satu yang berisiko tinggi terkena ISPA adalah anak-anak berusia
kematian.
8
9
vaksin tiga jenis virus utama flu yang formulanya berganti tiap tahun
untuk menghindari risiko virus kebal pada vaksin. Cara lain yang
utama adalah menjaga daya tahan tubuh lewat perilaku hidup sehat,
istirahat.
B. Saran
1. Puskesmas
3. Peneliti Selanjutnya
Anggraini, S., Amelia Sintha, K. and Suaka Insan Banjarmasin, S. (2013) ‘Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Alalak
Selatan Banjarmasin’.
Ardianti, W., Lapau, B. and Dewi, O. (2018) ‘Faktor Risiko Kejadian Ispa Non
Pneumonia Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Harapan Raya Kota
Pekanbaru’, Photon, 9(1), pp. 1–8. Available at:
http://ejurnal.umri.ac.id/index.php/photon/article/view/1057/612.
Hugo, M., Emilia, O. and Sitaresmi, M. N. (2014) ‘Pajanan Asap Dalam Rumah
Terhadap Kejadian Ispa Nonpneumonia Pada Anak Balita Di Kabupaten Kapuas’,
Jurnal Kesehatan Reproduksi, 1(1), pp. 80–89. doi: 10.22146/jkr.4916.
Ijana, Eka, N. L. P. and Lasri (2017) ‘Analisis Faktor Risiko Terjadinya Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Lingkungan Pabrik Keramik
Wilayah Puskesmas Dinoyo, Kota Malang’, Journal Nursing News, 2(3), pp. 352–
359. doi: 10.1021/BC049898Y.
8
9
Maharani, D., Yani, F. F. and Lestari, Y. (2017) ‘Profil Balita Penderita Infeksi
Saluran Nafas Akut Atas di Poliklinik Anak RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun
2012-2013’, Jurnal Kesehatan Andalas, 6(1), p. 152. doi: 10.25077/jka.v6i1.662.
Singga, S. and Maran, A. A. (2013) ‘Penggunaan bahan bakar dan faktor risiko
kejadian ispa pada balita di kelurahan sikumana’, Kesehatan Lingkungan –
Poltekkes Kemenkes Kupang, 11(1), pp. 348–355.