Anda di halaman 1dari 27

1

Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII

Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencintai, antara sepasang
suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian
dan perceraian. Ikatan pernikahan yang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah
yang dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga
disebabkan oleh perceraian. Bagaimanakah Islam mengatur masalah perceraian ini? Kemudian,
apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika perpisahan itu terjadi?

Ketika Harus Berpisah

Perpisahan yang diakibatkan oleh perceraian memiliki ruang lingkup bahasan yang lebih luas
daripada perpisahan yang diakibatkan oleh kematian. Untuk itu, kita harus mengetahui beberapa
masalah yang dibahas dalam ruang lingkup perceraian terlebih dulu, sebelum kita membahas hal-
hal apa saja yang harus dilakukan oleh seorang wanita setelah terjadinya perpisahan.

A. Definisi dan Hukum Talak


Talak ( ‫ )اﻟﻄ ق‬menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil

dari lafazh ‫ﻃ ق‬ yang maknanya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan talak
menurut istilah hukum syara’ adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan. [Lihat Terj.
Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus Salam (III/12)]
Pada talak berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu: [Lihat uraiannya
dalam Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383-385)]
1. Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami
istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai dari kedua
belah pihak untuk mendamaikan keadaan keduanya. Namun, setelah juru damai melihat
keadaan keduanya, mereka berpendapat bahwa perceraian adalah jalan terbaik bagi
keduanya. Maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya. Dan keadaan ini hampir sama
seperti seorang suami yang menjatuhkan iila’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya
setelah masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
2. Talak hukumnya menjadi sunnah (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak
Allah seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki
kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga
dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
3. Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan.
Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya.
Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini berkaitan
dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan
dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
4. Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak
karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin
Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya
berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia
berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr
bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa’id bin Manshur (no.
1099) dengan sanad yang shahih]
5. Talak hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan
haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak bid’ah/talak
bid’i, sebagaimana akan datang penjelasannya.

B. Hukum Talak tanpa Sebab

Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda:


“Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang
paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Diantara mereka ada yang lapor: Saya
telah melakukan godaan ini. Iblis berkomentar: Kamu belum melakukan apa-apa. Datang yang lain
melaporkan: Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah
(talak) dengan istrinya. Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata: Sebaik-baik
setan adalah kamu.” (HR. Muslim 2813)
2
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Dalam hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah berhasil
menggoda manusia, sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam syariat. Ini
menunjukkan bahwa perceraian suami istri termasuk diantara perbuatan yang disukai iblis. Iblis
menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah ta’ala, yang berada di atas air
dan di atas langit ketujuh.

Pada dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis,
karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Terutama
terkait dengan anak dan keturunan. Oleh karena itu, salah satu diantara dampak negatif sihir yang

َ َ ْ َْ ََْ َ ُ ّ َ ُ َ َ ُ ْ َ ُ ‫َ َ َ َﱠ‬
Allah sebutkan dalam al-Qur’an adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman:
ْ
‫ﻓ)ﺘﻌﻠﻤﻮن ِﻣﻨﻬﻤﺎ ﻣﺎ ﻳﻔ ِﺮﻗﻮن ِﺑ ِﻪ ﺑ اﻟﻤﺮ ِء وزو ِﺟﻪ‬
Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan
seseorang dengan istrinya. (QS. Al-Baqarah: 102)

C. Pembagian Talak

1. Dilihat dari ketegasan kalimatnya

Dari segi kalimatnya, talak dibagi menjadi dua, yaitu talak shariih (tegas) dan talak
kinaayah (kiasan).

a. Talak sharih adalah talak yang kalimatnya dapat langsung difahami ketika diucapkan dan tidak
mengandung kemungkinan makna yang lain.

Misalkan: “Anti thaaliq” (engkau telah tertalak) atau “Muthallaqah” (engkau wanita yang tertalak),
atau Kamu saya cerai. Dan semua kalimat yang semisal dengan kata-kata talak atau cerai.

Seorang suami yang mengatakan kalimat demikian kepada istrinya, maka jatuhlah talaknya.
Meskipun dilakukan dalam keadaan bercanda atau tanpa niat untuk menjatuhkan talak.

ُ َ ْ َّ َ ُ َ َّ َ ُ َ ّ ٌّ َّ ‫ـﺰ ُﻟ ُﻬ‬ ٌ َ َ
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,

‫اﻟﺮﺟﻌﺔ‬ ‫ و‬،‫ واﻟﻄ ق‬،‫ح‬./01‫ا‬ : ‫ﺪ‬ 5 ‫ﻦ‬ ْ ‫ َو َﻫ‬،‫ ٌّﺪ‬5 ‫ ُّﺪ ُﻫ َّﻦ‬5 ‫ث‬ ‫ﺛ‬
ِ ِ ِ ِ
“Tiga hal yang apabila dikatakan dengan sungguh-sungguh maka dia menjadi serius dan bila dikatakan
dengan main-main, akan jadi serius pula, yaitu nikah, talak, dan rujuk.” [Hadits hasan. Riwayat Abu
Dawud dalam “Aunul Ma”bud (VI/262 no. 2180), Tirmidzi (II/328 no. 1195), Ibnu Majah (I/658 no.
2039), Ibnul Jarud (no. 712), Al-Hakim (II/198) dan Al-Baghawi (no. 2356), dari Abu
Hurairah radhiyallahu “anhu]

Maka talak yang lafazhnya jelas diucapkan oleh suami meski dalam keadaan bercanda, talaknya
jatuh dan dianggap sebagai talak satu. [Lihat Syarhus Sunnah (IX/220), Zaadul
Ma”ad (V/204), Ensiklopedi Larangan (III/80-81)]

b. Talak kinayah adalah talak yang redaksinya mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa
bermakna talak atau selainnya. Misalkan: “Alhiqi bi ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan
yang semisalnya.

Jika seorang suami mengatakan kalimat seperti itu, maka talaknya tidak jatuh kecuali perkataan
tersebut disertai dengan niat talak. Jadi apabila suami mengatakannya dengan niat untuk
mentalak istrinya, maka jatuhlah talaknya. Tetapi apabila suami tidak berniat mentalak istrinya,
maka talaknya tidak jatuh.

Contoh lafazh talak kinaayah yang disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang disebutkan
dalam sebuah riwayat dari “Aisyah radhiyallahu “anha, dia berkata, “Tatkala putri Al-Jaun
dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia
(putri Al-Jaun) mengatakan, “A”uudzu billahi minka” (Aku berlindung kepada Allah darimu). Maka beliau

ْ َ َْ َ
ْ ‫ ْﺬت ﺑ َﻌﻈ‬Jُ ‫ﻟ َﻘ ْﺪ‬
shallallahu “alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

‫ﻚ‬ = ‫ﻫ‬ ‫ﺄ‬ ‫ﺑ‬ ? @ A B


ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ‫إ‬ ، ‫ـﻢ‬ ‫ﻴ‬
“Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, kembalilah engkau kepada
keluargamu.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5254) dan An-Nasa”i (VI/150)]
3
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Hadits ini merupakan dalil bahwa ucapan “Kembalilah engkau kepada keluargamu,” yang diucapkan
seorang suami kepada istrinya adalah ungkapan talak. Sehingga apabila ucapan tersebut
diniatkan sebagai talak, maka jatuhlah talaknya. Dan talaknya dihukumi sebagai talak satu,
sebagaimana disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Sunan Al-Kubra (VII/342).

Sedangkan contoh lafazh talak kinaayah tanpa disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang
disebutkan dalam riwayat Ka”ab bin Malik radhiyallahu “anhu, tatkala ia bersama dengan dua
orang Shahabat (yakni Murarah bin Ar-Rabi” Al-“Amri dan Hilal bin Umayaah Al-Waqifi) yang
dihajr (diboikot) oleh Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam karena tidak mengikuti Perang Tabuk
bersama dengan beliau. Maka Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk
menyampaikan kabar kepadanya,
ُ َ َ
َ‫ أ َﻃ َّﻠ ُﻘـﻬﺎ‬: ‫ﺖ‬
ُ ْ ُ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َْ ْ َ ُ ُ َ
‫ ﻓـﻘـﻠ‬: ‫ ﻗﺎل‬، ‫ـﺰل اﻣـﺮأﺗـﻚ‬ ‫ـﺘ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ‫ك‬ ‫ﺮ‬ ‫ـﺄﻣ‬ ‫ﻳ‬ ‫وﺳﻠﻢ‬ ‫ﻪ‬RSJ ‫اﷲ‬ UV‫ﺻ‬
َ ُ َ ْ
‫ﻮل‬ ‫ِإن رﺳ‬
ِ ِ‫اﷲ‬
َ َ َ
َ َ ْ َّ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ُ َ ْ َ َ ْ
‫ ِﺑ ِﻤﺜ ِﻞ ذ ِ_ﻚ‬ab‫ ﺻﺎ ِﺣ‬de‫ ﻓﺄر ﺳﻞ ِإ‬: ‫ ﻗﺎل‬، ‫ـﺰﻟﻬﺎ ﻓـ ﺗـﻘـﺮ ﺑﻨﻬﺎ‬ ِ ‫ ﺑ ِﻞ اﻋـﺘ‬، ^ :‫أم ﻣﺎذا أﻓـﻌـﻞ ؟ ﻗﺎل‬
َ
ْ َ ْ َ َ
ُ َ ْ َ َّ َ ْ ُ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ
َ ْ ُ ْ ُ َ َ َ
‫ﻣ ِﺮ‬n ‫ ﻫـﺬا ا‬fgِ ‫ اﷲ‬ah‫ـ‬ ِ ‫ ﻳﻘ‬ij‫ ِﻋـﻨﺪﻫـﻢ ﺣ‬dk‫ـﻚ ﻓﻜ ِﻮ‬ ِ ‫ـﻠ‬
ِ ‫ ِ@? ِﺑﺄﻫ‬AB ِ ‫ ا‬: fmِ‫ ﻓـﻘـﻠﺖ ِ ﻣﺮأ‬: ‫ ﻗﺎل‬، .

“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi istrimu.” Aku (Ka”ab) bertanya, “Aku ceraikan atau
apa yang harus aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Sekedar menjauhinya saja dan jangan sekali-kali
engkau mendekatinya.” Maka kemudian aku (Ka”ab) berkata kepada istriku, “Kembalilah engkau
kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah menetapkan putusan dalam masalah
ini.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4418), Muslim (no. 2769), Abu Dawud dalam “Aunul
Ma”bud (VI/285 no. 2187) dan An-Nasa”i (VI/152)]

Dalam riwayat ini, Ka”ab bin Malik menyuruh istrinya untuk kembali kepada keluarganya karena
perintah dari Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam dan bukan karena niat Ka”ab untuk
menceraikan istrinya. Sehingga dengan demikian, perkataan Ka”ab tersebut hanyalah dihukumi
sebagai kiasan saja dan tidak mengakibatkan jatuhnya talak.

2. Dilihat dari waktu jatuhnya talak

Ditinjau dari waktu jatuh temponya, talak dibagi tiga


yaitu: munjazah (langsung), mu”allaq (menggantung), dan mudhaf (dikaitkan waktu tertentu).

a. talak munjazah adalah pernyataan talak yang oleh pengucapnya diniatkan agar talaknya jatuh
saat itu juga. Misalkan seorang suami yang berkata kepada istrinya, “Anti thaaliq” (engkau
tertalak) dan perkataan yang semisalnya, maka talaknya jatuh pada saat itu juga. Hukum talak
munjazah terjadi sejak saat suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.

b. talak mu”allaq adalah pernyataan talak yang diucapkan suami kepada istrinya yang diiringi
dengan syarat. Misalkan, suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau pergi ke rumah A, maka
engkau telah tertalak,” dan perkataan yang semisalnya.

Ada dua kemungkinan yang diniatkan suami ketika mengucapkan semacam ini:

1. Suami berniat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri melaksanakan
apa yang disyaratkan dalam talak tersebut maka talak terjadi.

2. Suami hanya bermaksud untuk memperingati istrinya agar tidak berbuat hal yang demikian,
namun bukan dalam rangka mentalak. Untuk kasus ini hukumnya sebagaimana sumpah. Artinya,
apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa, namun jika syaratnya
tersebut terpenuhi, dimana istri melanggar apa yang disampaikan suaminya maka suami wajib
membayar kafarat sumpah. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Majmu” Al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).

c. talak Mudhaf adalah talak yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya seorang suami
mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan depan kamu tertalak”. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi semacam ini terlaksana jika waktu jatuh temponya
sudah datang. Sehingga sang istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat
talak. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaithiyah, XXIX/37)
4
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
3. Dilihat dari sifatnya

Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak sunni dan talak bid”i.
Talak sunni adalah talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah
dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh
dan pada masa itu dia belum mencampurinya. Jadi, suami menjatuhkan talak ketika istrinya dalam
keadaan suci dari haidh dan belum pernah dicampuri sejak masa haidh terakhir istrinya berakhir.
َ
ْ ٌ َْ ْ َ َّ َ ُ َ َّ
Allah Ta”ala berfirman,
َ ُ ْ َ ٌ َ ْ َ
‫ـﻦ‬
ٍ ‫ﻳﺢ ِﺑ ِﺈﺣﺴ‬sِ tu ‫وف أو‬
ٍ ‫ﺎنۖ ﻓ ِﺈﻣـﺴﺎك ِﺑﻤﻌﺮ‬
ِ ‫…ۗاﻟﻄﻠﻖ ﻣﺮﺗ‬
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau

َ‫ـﺂء َﻓ َﻄ ّﻠ ُﻘﻮ ُﻫ َّﻦ ﻟﻌ َّﺪ ﺗﻬ ّﻦ‬ ّ ُ ُ ْ َّ َ َ ُّ َّ َ ُّ َ َ


melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)
َ ‫اﻟ| َﺴ‬
ِِ ِِ ِ ِ ‫ ِإذا ﻃﻠﻘـﺘـﻢ‬abِ ‫… ﻳـﺄﻳـﻬﺎ اﻟﻨ‬
“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) “iddahnya (yang wajar)…” (Qs. Ath-Thalaq: 1)

Nabi shallallahu “alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu “Umar radhiyallahu
“anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian “Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
“anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam, maka beliau
َ ُ ُ ُ ُ ْ َ َ
َ ْ َ َ ْ َ َّ َ َ َ ْ َّ ُ َ َ
َ‫ ُﺛ َّﻢ أ َﻃ ّﻠ ّﻘﻬﺎ‬،‫ َﺗ ْﻄ ُﻬ َﺮ‬ijَّ ‫ ُﺛ َّﻢ أ ْﻣﻬ َﻠ َﻬﺎ َﺣ‬،‫ﻀ ٌﺔ أ ْﺧ َﺮى‬
bersabda,

‫ﻴﺾ ﺣ ﻴ‬A• َ َ َ
ِ ِ ِ ij‫ ﺛﻢ أﻣ ِﺴﻜﻬﺎ ﺣ‬،‫ أن أرا ِﺟﻌﻬﺎ‬fkِ‫أﻣﺮ‬
َ َ َ َ َ َ
َ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ْ َ َّ َ َ ْ َ َ ْ َ َ ً َ َ َ َ ْ َّ َ َ ْ َّ َ َ َّ َ ْ َ ْ َ
.‫ ﻓﻘـﺪ ﻋﺼ)ﺖ رﺑـﻚ ِﻓﻴﻤـ† أﻣﺮك ِﻣﻦ ﻃ ِق اﻣﺮأ ِﺗﻚ‬،‫ وأﻣﺎ أﻧﺖ ﻃﻠﻘﺘﻬﺎ ﺛ ﺛﺎ‬،‫ﻗﺒﻞ أن أﻣﺴﻬﺎ‬
“Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa
haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya menjadi istri atau bila ia
menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa “iddah yang
diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5332), Muslim
(no. 1471), Abu Dawud dalam “Aunul Ma”bud (VI/227 no. 2165) dan An-Nasa”i (VI/138)]

Sedangkan talak bid”i adalah talak yang menyelisihi ketentuan syari”at, sehingga hukum talak ini
adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Keadaan ini berlaku manakala seorang
suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampuri
istrinya, atau seorang suami yang melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam
satu majelis.

Misal, perkataan suami, “Engkau saya talak tiga,” atau suami mengatakan : “Engkau tertalak, engkau
tertalak, engkau tertalak,” (diulang tiga kali), maka ucapannya itu dihukumi sebagai talak satu.
[Lihat pembahasan mengenai masalah ini dalam I”laamul Muwaqqi”iin (IV/377-426), Al-Jaami” fii
Ahkaamith Thalaaq wa Fiqhihi wa Adillatihi (hal. 79-85), dan Al-Mughni (VII/98)]

4. Dilihat dari boleh dan tidaknya rujuk

Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak raj”i dan talak ba-‘in. Talak ba-‘in terbagi lagi
menjadi dua, yaitu: talak ba-‘in shughra dan talak ba-‘in kubra.
a. Talak raj’i adalah seorang suami yang mentalak istrinya yang sudah dicampuri tanpa menerima
pengembalian mahar dari pihak istri dan belum didahului dengan talak sama sekali atau baru
didahulu dengan talak satu kali.
َ
ْ ٌ َْ ْ َ َّ َ ُ َ َّ
Allah Ta”ala berfirman,
َ ٌ َ ْ َ
ُ ‫ﺎك ﺑ َﻤ ْﻌ‬
ۗ…‫ـﻦ‬
ٍ ‫ﺴ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺈ‬ ‫ﺑ‬
ِِ ‫ﻳﺢ‬ sِ t u ‫و‬ ‫أ‬ ‫وف‬
ٍ ‫ﺮ‬ ِ ‫ـﺴ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺈ‬ِ ِ ‫اﻟﻄﻠﻖ ﻣﺮ‬
‫ﻓ‬ ۖ
‫ﺎن‬ ‫ﺗ‬
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau
melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)

Seorang wanita yang mendapat talak raj”i, maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih
berada dalam masa “iddah (menunggu) dan suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja
suaminya berkehendak selama dia masih berada dalam masa “iddahnya, dan tidak disyaratkan
adanya keridhaan istri atau izin dari walinya.
5
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII

َ َ ُ ْ َ َ ْ َّ َ َ َ ُ َ ًّ َ ُ ْ َ
َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َّ ُ َ ُّ َ َ َ ُ َ َ َ َ َّ
Allah Ta’ala berfirman,
َ ْ ُ ُ
‫ﺎ‬Œ‫ أر‬dgِ ‫ﻞ ﻟﻬﻦ أن ﻳﻜﺘـﻤﻦ ﻣﺎ ‡ﻠـﻖ اﷲ‬Aˆ ِ ^ ‫وءۚو‬
ٍ ‫ـﺴ ِﻬـﻦ ﺛﻠـﺜﺔ ﻗـﺮ‬ ِ ‫ﺑﺼﻦ ِﺑﺄﻧﻔ‬Š‹‫واﻟﻤـﻄﻠـﻘـﺖ ﻳ‬
َ َ ُ
ً َ ْ ُ َ ْ َ َ ّ َ ُّ َ َّ ُ ُ َ ُ ُ َ َ ْ ْ
ُ ‫ﻣﻬ َّﻦ إ ْن ﻛ َّﻦ‬
ۚ…‫ ذا ِ_ﻚ ِإن أرادوا ِإﺻﻠـﺤﺎ‬dgِ ‫ ِﺧ ِﺮۚ وﺑﻌﻮ ﻟﺘﻬﻦ أﺣﻖ ِﺑﺮ ِد ِﻫﻦ‬n ‫ﺆﻣ َﻦ ِﺑﺎﷲِ َواﻟ َﻴ ْﻮ ِم ا‬
ّ َ
ِ ‫ﻳ‬ ِ ِ ِ

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Tidak boleh
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami)
menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)

b. Talak ba-‘in adalah talak yang terjadi setelah masa “iddah istri karena talak raj”i telah selesai.
Dan hal ini menjadikan suami tidak dapat merujuk istrinya lagi.

Talak ba-‘in terbagi lagi menjadi dua, yaitu:


a. Talak ba-‘in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk
kembali dengan istrinya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta dengan keridhaan
istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan berikut:
1. Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj”i hingga masa “iddah selesai;
2. Suami mentalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru)
3. Istri minta cerai (khulu”) pada suaminya. Jika telah terjadi cerai maka perceraian tersebut
dianggap sebagai talak ba-‘in, sehingga apabila suami ingin merujuknya maka suami harus
menikahinya lagi dengan akad dan mahar yang baru setelah istri ridha untuk menikah lagi
dengan mantan suaminya tersebut. [Lihat uraian mengenai hal ini dalam Shahiih Fiqhis
Sunnah (III/274-278)]

َ َ
ُ ُ ُ ْ َ َ َّ ْ ُ ُ ْ َ ْ ْ ُ َ ُّ َ َ َ ْ ٌ ْ َْ ْ ٌ َ ْ َ َ َّ َ ُ َ َّ
b. Talak ba-‘in kubra, yaitu talak yang ketiga kalinya. Allah Ta”ala berfirman,
ّ‫ﻮﻫ َﻦ‬ ‫ﻞ _ﻜﻢ أن ﺗﺄ‡ﺬوا ِﳑﺂ ءاﺗ)ﺘﻤ‬Aˆ َ
ِ ^ ‫ﻳﺢ ِﺑ ِﺈﺣﺴ ٍﻦۗ و‬sِ tu ‫وف أو‬ ‫ﺮ‬ ُ ‫ﺎك ﺑ َﻤ ْﻌ‬
ٍ ِ ‫ﺎنۖ ﻓ ِﺈﻣﺴ‬ ِ ‫اﻟﻄﻠﻖ ﻣﺮﺗ‬
َ َ َ
َ ََْ َ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ ْ ُ َّ ْ ُ ْ ْ َ َ ُ ُ َ ْ ُ َّ َ َ َ ْ َّ ً ْ َ
‫ﻠﻴ ِﻬﻤﺎ‬J ‫ﺪوداﷲِ ﻓ ﺟﻨﺎح‬Œ ‫ﺪوداﷲِۖ ﻓ ِﺈن ِﺧﻔﺘﻢ أ ^ ﻳ ِﻘﻴﻤﺎ‬Œ ‫ﺷ)ﺌﺎ ِإ “ أن ˆ’ﺎﻓﺂ أ ^ ﻳ ِﻘﻴﻤﺎ‬
َ ُ َّ ُ ُ َ َ ْ ُ َ َ ُ ُ َّ َ َ َ ُ َ َْ َ َ ُ ُ َ ْ ْ َ َ ْ َ
‫ ِ–ﻚ ﻫﻢ اﻟﻈ ِﻠﻤﻮن۝‬1‫ﺪوداﷲِ ﻓﺄو‬Œ ‫ﺪوداﷲِ ِﻓ ﺗﻌﺘﺪوﻫﺎۚ َو َﻣ ْﻦ َﻳﺘﻌﺪ‬Œ ‫ِﻓ ْﻴﻤﺎ اﻓﺘﺪت ِﺑ ِﻪۗ ِﺗ=ﻚ‬
ْ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َّ َ ْ َ ُ َ ْ َ ً ْ َ َ َ َّ َ ُ ْ َ ْ ُ َ ُّ َ َ َ َ َ َّ َ َ
َ
‫ﻠﻴ ِﻬﻤﺂ‬J ‫هۗ ﻓ ِﺈن ﻃﻠﻘﻬﺎ ﻓ ﺟﻨﺎح‬Š › ‫ﺎ‬5‫ﻨﻜﺢ زو‬ ‫ﺗ‬ i j ‫ﺣ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ، ˜ ™ ‫ﻞ‬ A •
ِ ‫ﻓ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻘ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﻃ‬ ‫ن‬ ‫ﺈ‬ ‫ﻓ‬
ِ ِ ِ
َ َ
َ َ ْ َ ُ َ َ ُ ُ َ ْ َ ُ ُ َ ْ َّ َ ْ َ َ ََ ْ
‫ﺪوداﷲِ َﻳ• ِّﻴﻨ َﻬﺎ ِﻟﻘ ْﻮ ٍم َﻳﻌﻠ ُﻤﻮن۝‬Œ ‫ﺪوداﷲِۗ َو ِﺗ=ﻚ‬Œ ‫أ ﺟﻌﺂ ِإن ﻇﻨﺂ أن ُﻳ ِﻘ ْﻴﻤﺎ‬Š‹‫أن َﻳ‬
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau
melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum
Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar
hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim. Kemudian jika dia menceraikannya (setelah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami
pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang
yang berpengetahuan.” (Qs. Al-Baqarah: 229-230)

Setelah talak ba‘in kubro, mantan suami tidak lagi memiliki hak untuk rujuk dengan mantan
istrinya, baik ketika dalam masa “iddah maupun sesudahnya. Kecuali syarat berikut:

a. Istri telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah tahlil adalah
pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga, dengan maksud untuk
diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya
ada konspirasi antara suami pertama dengan suami kedua maupun tidak.

b. Dilaksanakan dengan akad nikah baru, mahar baru, dan atas keridhaan sang istri. [Lihat Shahiih
Fiqhis Sunnah (III/278-279)]

Adapun perbedaan antara talak ba-‘in sughra dan talak ba-‘in kubra adalah ketentuan dalam proses
rujuk antara mantan suami dan mantan istri. Untuk talak ba-‘in kubra, mantan istri bisa kembali
6
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
kepada mantan suami, jika dia telah dinikahi laki-laki lain dan sudah terjadi hubungan badan.
Sementara talak ba-‘in sughra, mantan istri dapat dirujuk kembali mantan suami yang telah
menceraikannya, tanpa harus menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain.

Catatan:

َ ُ ْ ّ ْ َ ْ َ ُ َْ
Hendaknya talak itu disaksikan oleh dua orang saksi, berdasarkan firman Allah Ta”ala,
َ َ َ َّ
ِ ِ ‫ﺪ ٍل ِﻣﻨﻜ ْﻢ َوا ِﻗ ْﻴ ُﻤﻮااﻟﺸﻬـ†دة‬J ‫… َّواﺷ ِﻬﺪ ْوا ذ َوي‬
ۗ‫ﷲ‬
“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
menegakkan kesaksian itu karena Allah…” (Qs. Ath-Thalaq: 2)

D. Sebab-Sebab Terjadinya Perpisahan

Hampir tidak kita dapati sebuah kehidupan rumah tangga yang terbebas dari masalah dan konflik.
Namun bukan berarti, ketika terjadi masalah boleh dibiarkan, tanpa ada upaya perbaikan. Islam
sangat menganjurkan kepada suami dan istri untuk mengatasi berbagai macam masalah yang
muncul dalam kehidupan rumah tangga. Disamping itu, islam juga mengajarkan berbagai solusi
yang terbaik di saat benih-benih perpecahan mulai muncul. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 607)]

Ada banyak hal yang dapat memicu terjadinya perceraian, meskipun pada akhirnya perceraian
tidak sampai terjadi, akan tetapi hal-hal tersebut patut untuk diketahui agar kelak kita dapat
mengantisipasi. Di antara sebab yang bisa memicu perceraian antara lain:
1. Nusyuz ( ‫)اﻟ|ﺸﻮز‬
Nuzyuz menurut bahasa adalah tempat yang tinggi. Sedangkan nusyuz menurut istilah adalah
pembangkangan (kedurhakaan) yang dilakukan seorang istri kepada suami, terkait dengan
kewajiban istri kepada suaminya. Seakan-akan si istri merasa lebih tinggi dan menyombongkan
diri kepada suaminya. [Lihat Al-Misbaahul Muniir (II/605), Mughni Al-Muhtaaj (III/259), Al-
Mughni (VII/46), Shahiih Fiqh Sunnah (III/223), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/368), dan Panduan
Keluarga Sakinah (hal. 291)]

Seorang wanita diharamkan melakukan nusyuz kepada suaminya. Allah Ta’ala telah menetapkan
beberapa hukuman bagi seorang wanita yang berbuat nusyuz kepada suaminya:

َ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َ َّ ُ ُ ْ َ ¥ َْ ُ ُ َ َّ ُ َ ُ ُ َ ُ َ َ َّ َ
Allah Ta’ala berfirman,
ُ ُ ُ ْ
َّ ‫وﻫ‬ َّ ‫ﻮﻫ‬
‫ﺑﻮﻫﻦۖ ﻓ ِﺈن أﻃﻌﻨﻜﻢ ﻓ‬sِ £‫ﺎﺟ ِﻊ وا‬ ِ ‫ﻀ‬ ‫ﻤ‬ ‫اﻟ‬ d g
ِ ‫ﻦ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺠ‬ ‫واﻫ‬ ‫ﻦ‬ ‫¡ﻮز ﻫﻦ ﻓ ِﻌﻈ‬¢ ‫ •’ﺎﻓﻮن‬ijِ ‫…واﻟ‬
َ َ َ َ َ َّ ً َّ َ َ ُ َ
‫ا۝‬Šً ْ ‫ ِﻠ ًّﻴﺎ ﻛ ِﺒ‬J ‫ن‬.§ ‫اﷲ‬ ‫ﻠ ْ َﺳ ِ• ْﻴ ۗ ِإن‬J ‫ﺗ ْﺒﻐﻮا‬
“… Wanita-wanita yang kamu khawatirkan berbuat nusyuz, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar.” (Qs. An-Nisaa’: 34)

Diantara bentuk-bentuk sikap nusyuz seorang istri kepada suami adalah tidak berhijab di depan
laki-laki yang bukan mahramnya, melalaikan hak Allah Ta’ala, bermuka masam ketika bertemu
dengan suami, berkata-kata kasar kepada suami, menolak ajakan suami untuk
berjima’ (bersetubuh) tanpa alasan yang syar’i, dan sikap-sikap lain yang bertentangan
dengan akhlakul karimah.

Hendaklah para istri yang beriman kepada Allah Ta’ala betul-betul menaruh perhatian yang besar
terhadap hak-hak suaminya, karena suaminya merupakan pintu surga dan nerakanya. Hendaknya
sang istri berusaha mencari keridhaan sang suami. Sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada bibinya Hushain bin Mihshan ketika beliau bertanya kepadanya, “Apakah
engkau telah bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu kepada
suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi (hak)nya kecuali yang aku tidak mampu
mengerjakannya.”

َ َ
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
ُ َ ُ َّ َ َ ُ َ َّ َ ُ ْ ْ َْ ْ ُْ َ
‫ﻚ و ﻧﺎر ِك‬
ِ ‫ ﻓ ِﺈﻧﻤﺎ ﻫﻮﺟ|ﺘ‬،‫ﺖ ِﻣﻨﻪ‬ ِ ‫ﻓﺎﻧﻄ ِﺮي أﻳﻦ أﻧ‬
7
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
“Perhatikanlah, kedudukanmu di sisinya, karena sesungguhnya dia (suamimu itu) adalah
Surgamu dan Nerakamu.“ [Hadits shahih. Riwayat Ahmad (IV/341), al-Hakim (II/189), An-Nasa’i
dalam ‘Isyratin Nisaa’ (no. 76-83), Ibnu Abi Syaibah (VI/233 no. 17293), dan Al-Baihaqi (VII/291)]
Namun, apabila suami melihat tanda-tanda nuzyuz dari istrinya, maka hendaklah dia
mengobatinya dengan cara berikut:
a. Menasehati istrinya
Pengobatan pertama yang dapat dilakukan dengan perkataan yang lemah lembut,
mengingatkan istrinya bahwa Allah Ta’ala mewajibkan dirinya untuk mentaati suami
dalam hal kebaikan dan tidak menyelisihinya, memotivasi istrinya untuk meraih pahala
dengan mentaati suami, dan menakuti-nakutinya dengan siksa dan adzab Allah Ta’ala yang
akan menimpa dirinya apabila dia bersikap durhaka kepada suami.

ْ َ َُ ْ َ َ ّ َ َ َ ْ َ َّ َ َ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

‫ ﻓ ِﺈن‬، ‫اﻟﻀﻠ ٍﻊ أﻋ ه‬ f g ‫ء‬ fْ © ‫ج‬ ‫ـﻮ‬ ‫ﻋ‬ ‫أ‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ‫و‬ ، ‫ﻊ‬ ْ َ ْ ُ َّ ُ َّ َ ّ
ً ْ َ ‫ﺎﻟ| َﺴ‬ ْ ُ َ ْ َ
ِ ِ ٍ ِ ٍ ‫ ﻓ ِﺈﻧـﻬـﻦ ‡ ِﻠﻘـﻦ ِﻣﻦ ِﺿ‬، ‫ا‬Š ‡ ‫ﺎء‬
‫ﻠ‬ ِ ِ ‫واﺳﺘﻮ ﺻﻮا ِﺑ‬
َ
ّ
ً‫ﺎﻟ| َﺴﺎء َﺧ ْﻴـﺮا‬ ُ ْ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ َ ْ َ ُ َ ْ ََ ْ َ ُ َ ْ َ َ ُ ُْ ُ َ ْ َ َ
ِ ِ ‫ ﻓﺎﺳﺘـﻮﺻﻮا ِﺑ‬، ‫ و ِإن ﺗﺮﻛﺘﻪ ﻟـﻢ ﻳـﺰل أﻋـﻮج‬، ‫ﺗﻪ‬s¬‫ـﻘﻴﻤﻪ ﻛـ‬ ِ ‫ذﻫـ•ﺖ ﺗ‬
“Berwasiatlah dengan baik terhadap wanita. Sebab wanita diciptakan dari tulang rusuk dan
tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau (memaksa untuk)
meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya (tetap
dalam keadaan bengkok), maka ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah dengan
baik terhadap wanita.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5186) dan Muslim (no. 1468
(60)), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

َ ْ َ َ َ َ َ َ َ
َ ْ َ َْ َ ْ َ ُ َ ْ َ ْ َّ
Dalam riwayat lain juga disebutkan,
َ َْ َْ ْ َ ْ
‫ ﻓ ِﺈ ِن اﺳـﺘﻤـﺘﻌـﺖ‬، ‫ـﺔ‬ ٍ ‫ ﻃ ِﺮﻳـﻘ‬UV‫ـﻘﻴـﻢ ﻟـﻚ ﻋـ‬ ِ ‫ ﻟﻦ ﺗـﺴﺘ‬، ‫ِإن اﻟﻤـﺮأة ‡ ِﻠـﻘـﺖ ِﻣﻦ ِﺿﻠ ٍﻊ‬
َُ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ
ُ ‫ﺖ ُﺗـﻘ ْﻴ‬ ٌ َ َ َ َ َ َ َْ َْ ْ َ
‫ﻫﺎ ﻃ ﻗ َﻬﺎ‬sُ ¬‫ ﺗ َﻬﺎ َوﻛـ‬sْ ¬‫ـﻤ َﻬﺎ ﻛـ‬ ِ •‫ و ِإن ذﻫـ‬، ‫ـﻮج‬ ‫ِﺑﻬﺎ ِاﺳـﺘﻤـﺘﻌـﺖ ِﺑﻬﺎ و ِﺑﻬﺎ ﻋ‬
“Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dia tidak akan pernah
berlaku lurus terhadapmu di atas satu jalan. Jika engkau bersenang-senang dengannya, engkau
dapat bersenang-senang dengannya, tetapi padanya terdapat kebengkokan. Jika engkau
berusaha untuk meluruskannya, berarti engkau mematahkannya, dan mematahkannya itu
berarti (engkau) menceraikannya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5184) dan Muslim
(no. 1468 (61)), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarah
Riyaadhush Shaalihiin (III/117), “Seseorang dapat bersenang-senang dengan seorang
wanita (yakni istrinya), meski padanya terdapat kebengkokan. Dan manakala suami
hendak meluruskannya, maka dikhawatirkan ia akan mematahkannya, dan
mematahkannya berarti ia menceraikan istrinya. Karena suami tidak dapat mengusahakan
istrinya untuk berlaku lurus dalam menuruti semua nasihatnya. Maka ketika itulah suami
akan merasa bosan dalam menasihati istrinya sehingga dia akan menceraikan istrinya.
Padahal, seorang suami tidak mungkin akan mendapatkan wanita yang seratus persen
selamat dari kekurangan, bagaimana pun juga keadaannya.”

Apabila dengan cara ini, istri dapat langsung memahami dan kembali mentaati suami, maka
janganlah suami mengacuhkannya dan memukulnya. Namun, apabila istri masih tetap
berlaku nusyuz, maka suami dianjurkan untuk mencoba cara kedua, yaitu:

b. Pisah ranjang

َّ َ َ َ ْ َ ً ْ َ َّ ُ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ٌ َ َ َّ ُ َ َّ َ ً ْ َ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

^ ‫ ِإ‬،‫ ذ ِ_ﻚ‬Š › ‫ ﻟ)ﺲ ﺗﻤ ِ=ﻜﻮن ِﻣﻨﻬﻦ ﺷ)ﺌﺎ‬،‫ا ﻓ ِﺈﻧﻤﺎ ﻫﻦ ﻋﻮان ِﻋﻨﺪﻛﻢ‬Š ‡ ‫ﺎء‬ َ ّ ‫اﺳ َﺘ ْﻮ ُﺻ ْﻮا ﺑ‬
ْ
ِ ‫ﺎﻟ|ﺴ‬ِ ِ
ّ َ ُ َ ْ َ ً ْ َ َّ ُ ْ ُ ْ َ ْ ¥ َ ْ ّ َ ُ ْ ُ ُ ْ َ َْ َ َ ْ َ َ َّ ُ َ َ َ ْ َْ ْ َ
‫ ٍح‬Šِ ®‫ﻣ‬Š › ‫ﺑﺎ‬s£ ‫ﺑﻮﻫﻦ‬sِ £‫ وا‬،‫ﺎﺟﻊ‬ ِ ‫ اﻟﻤﻀ‬fgِ ‫ ﻓ ِﺈن ﻓﻌﻠﻦ ﻓﺎﻫﺠﺮوﻫﻦ‬،‫ﺎﺣﺸ ٍﺔ ﻣ• ِﻴﻨ ٍﺔ‬ ِ ‫أن ﻳﺄ ِﺗ ِﺑﻔ‬

“Berilah wasiat kepada istri dengan cara yang baik, sebab mereka itu (ibarat) tahanan di sisi
kalian. Kalian tidak berkuasa atas mereka sedikit pun selain itu (wasiat di atas kebaikan), kecuali
jika mereka melakukan perbuatan keji secara terang-terangan. Jika mereka melakukannya,
maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak
menyakiti.” [Hadits hasan li ghairihi. Riwayat Tirmidzi (no. 1163) dan Ibnu Majah (no. 1851)
dengan syahid (penguat) dari riwayat Ahmad (V/72), dari ‘Amr bin Al-Ahwash radhiyallahu
‘anhu]
8
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Hendaklah suami memperingatkan istrinya yang tetap berlaku nusyuz bahwa dia akan
mengacuhkannya (hajr), tidak menggaulinya, dan tidak akan bersanding di dekatnya.
Sehingga apabila wanita tersebut termasuk istri yang tidak tahan apabila ditinggal oleh
suaminya, maka dia akan cepat merubah sikapnya, dan itulah yang diharapkan. Namun,
apabila istri mengabaikan peringatan suaminya ini, maka hendaklah suaminya benar-
benar menjauhi istrinya dengan cara apa saja yang disukainya dan disesuaikan dengan
keadaan istri yang dapat membuat istrinya jera dari kedurhakaannya. Misalkan, dengan
tidak mencampuri istri, tidak mengajaknya bicara, tidak tidur disampingnya, dan hal-hal
lain yang semisal dengannya. [Lihat Al-Badaa’i (II/334), Manhul Jaliil (II/176), Mughni Al-
Muhtaaj (III/259), Al-Mughni (VII/46), Ahkaamul Mu’aasyarah Al-Jauziyah (hal. 292), Shahiih
Fiqh Sunnah (III/225), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/370), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal.
293)]

Seorang suami dapat mengacuhkan istrinya tersebut selama yang dia inginkan sampai
istrinya menyadari kesalahannya dan mau bertaubat. Namun, janganlah seorang suami
memboikot istrinya kecuali di dalam rumahnya. Supaya hukuman yang diberikan kepada
istri tidak diketahui orang lain. Karena hal ini dapat menimbulkan penghinaan bagi istri
dengan merasa direndahkan harga dirinya. Bahkan bisa jadi membuat sang istri semakin
durhaka. Jangan pula menunjukkannya di hadapan anak-anaknya, karena hal tersebut
dapat menimbulkan kerusakan pada jiwa mereka. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 610), Shahiih
Fiqh Sunnah (III/225) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/371)]

Apabila cara kedua ini tidak juga efektif untuk menyadarkan istri yang durhaka, maka
suami dapat melakukan cara yang ketiga, yaitu:

c. Memukul istrinya
Ini adalah langkah ‘pamungkas’ yang dapat dilakukan oleh suami demi mengobati
kedurhakaan istrinya, jika nasihat dan pemboikotan tidak membuahkan hasil. Akan tetapi
perlu diperhatikan, islam menetapkan beberapa persyaratan bagi suami yang hendak
menerapkan cara ini kepada istrinya, agar tidak disalahgunakan.

Diantara persyaratannya adalah sebagai berikut:


- Pukulan tersebut bukanlah pukulan yang menyakitkan, seperti pukulan yang dapat
mematahkan tulang, membuat cacat, atau meninggalkan bekas. Karena tujuan utama
pukulan ini adalah untuk mendidik, bukan untuk menyakiti dan melukai. Sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ُ ُ ْ َ
َّ ‫ـﻮﻫ‬
ۖ…‫ـﻦ‬ ‫ـﺮﺑ‬
ِ ‫…واﺿ‬
“… dan (kalau perlu) pukullah mereka…” (Qs. An-Nisaa’: 34)

Pukulan yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah pukulan yang tidak melukai
fisik. Karena tujuan utama dilakukannya pukulan ini adalah memberikan hukuman
yang diharapkan dapat ‘mematahkan jiwa’ sehingga membuatnya menyadari
kesalahannya.

Catatan penting:
Sebagian suami yang masih awam akan ilmu agama tentang adab bergaul antara suami
istri, menjadikan metode perbaikan ini (pukulan) sebagai kebiasaan. Mereka tidak
menjadikan metode ini sebagai sarana perbaikan, melainkan mereka merubah tujuan
hakikinya menjadi suatu kezhaliman. Bukan pukulan mendidik yang mereka berikan,
melainkan siksaan yang membabi buta, yang dimaksudkan sebagai ajang balas
dendam atau pelampiasan emosi. Selayaknya bagi para suami untuk menghindari
pukulan sebagai metode pendidikan dalam keluarganya, terlebih metode yang
diterapkan tersebut sudah jauh menyimpang dari apa yang dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Tidak memukulnya lebih dari sepuluh kali. Sebagaimana disabdakan oleh
َ َ
َّ َ َ َ ْ َ ٌ َ َُ ْ ُ َ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُ ُ ْ ّ َ َ ْ َ
ِ‫ود اﷲ‬
ِ ‫ﺪ‬Œ ‫ ٍﺪ ِﻣﻦ‬Œ fgِ ^ ‫اط ِإ‬
ٍ ‫ ِة أﺳﻮ‬s¯‫ﺪﻓﻮق ﻋ‬Œ‫ أ‬°±²ˆ^
“Tidaklah seseorang dipukul lebih dari sepuluh pukulan kecuali ketika menegakkan hadd
(hukuman) yang ditentukan Allah.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 6848) dan
Muslim (no. 1708), dari Abu Burdah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu]
9
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
- Tidak memukul wajah istri (menampar dan sejenisnya) dan bagian-bagian yang dapat
mematikan, karena itu merupakan hak istri atas suaminya. Sebagaimana sabda

َ ْ َ ْ ُ ْ َ ََ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ُ ْ ََ َ ْ َ َ َ َ َ ْ ُ َْ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hak istri atas suaminya,

‫ب اﻟﻮﺟﻪ‬sِ µ‫ﺃن ﺗﻄ ِﻌﻤﻬﺎ ِإذا ﻃﻌﻤﺖ وﺗﻜﺴﻮﻫﺎ ِإذا اﻛ¶ﺴ)ﺖ و ^ ﺗ‬


ْ َْ َّ ُ ْ َ َ َ ْ ّ َ ُ َ َ
ْ
‫ﺖ‬ِ ‫ﻴ‬ • ‫اﻟ‬ f g
ِ ‫و ^ ﺗﻘ ِﺒﺢ و ^ ﺗﻬﺠﺮ ِإ‬
^
“Diantara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya
makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian,
dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula
meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah.” [Hadits shahih. Riwayat Abu
Dawud (VI/180 no. 2128), Ibnu Majah (I/593 no. 1850), dan Ahmad (IV/447), dari
Mu’awiyah bin Hairah radhiyallahu ‘anhu]

Melanggar larangan dalam hadits di atas merupakan tindakan kedzliman dan


pelecehan terhadap seorang wanita. Selain itu, hal tersebut dapat menyakiti dan
merusak badan dan jiwanya. Jika seorang suami melakukannya, maka dia telah
melakukan suatu tindakan kriminal, yang karenanya si istri boleh meminta talak
dan qishash (hukuman setimpal). [Lihat Shahiih Fiqh Sunnah (III/227) dan Ensiklopedi
Fiqh Wanita (II/374)]

- Suami harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa pukulannya terhadap sang istri
dapat membuat istrinya jera. Karena pukulan tersebut hanyalah merupakan sarana
untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Sebaliknya, pukulan ini tidaklah
disyari’atkan ketika suami berkeyakinan bahwa tujuan untuk memperbaiki akhlak istri
tidak akan tercapai dengan cara ini. Dalam kondisi semacam ini, dimana pukulan justru
dikhawatirkan akan berpengaruh buruk terhadap kehidupan rumah tangganya,
maka janganlah suami tersebut memukul istrinya. [Lihat Manhul Jaliil (II/176), Mughni
Al-Muhtaaj (III/260), Shahiih Fiqh Sunnah (III/227), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/374),
dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 294)]

- Suami harus menghentikan pukulan ketika si istri telah mentaatinya. Berdasarkan

َ َ َ َ َ َّ ً ْ َ َّ ْ َ َ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ ْ َ َّ ُ ُ ْ َ
firman Allah Ta’ala,
ً ْ ّ ً
‫ا۝‬Š ‫ ِﻠﻴﺎ ﻛ ِﺒ‬J ‫ن‬.§ ‫ﻠﻴ ِﻬﻦ ﺳ ِ•ﻴ ۗ ِإن اﷲ‬J ‫ﺑﻮﻫﻦۖ ﻓ ِﺈن أﻃﻌﻨﻜﻢ ﻓ ﺗﺒﻐﻮا‬sِ £‫…وا‬
“…dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Qs.
An-Nisaa’: 34)

Nusyuz juga terkadang terjadi pada pihak suami, sebagaimana disebutkan dalam firman

ََ َ َ ُ َ َ ً ْ َ ً ُُ ْ َ َ ٌَ
Allah Ta’ala,
ْ
‫ﻠ ْﻴ ِﻬ َﻤﺂ‬J ‫¡ ْﻮزا ا ْو ِإﻋ َﺮاﺿﺎ ﻓ ﺟﻨﺎح‬¢ ‫َو ِإ ِن ْاﻣ َﺮاة ‡ﺎﻓﺖ ِﻣ ْﻦ َﺑﻌ ِﻠ َﻬﺎ‬
َ ُ ْ ُّ ً ْ ُ َ َْ َ ْ ْ َ
…ۗŠٌ ْ ‡ ‫ان ُّﻳﺼ ِﻠﺤﺎ َﺑ)ﻨ ُﻬﻤﺎ ﺻﻠﺤﺎۗ َواﻟﺼﻠﺢ‬
“Dan jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka
keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka)....” (Qs. An-Nisaa’: 128)

Sesungguhnya hati dan perasaan manusia ibarat perkiraan cuaca yang selalu berubah-
ubah. Sementara islam merupakan manhajul hayah (pedoman hidup) yang dapat
diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam masalah
hati dan cinta.
Ketika seorang istri merasa khawatir akan kehilangan perhatian dan kasih sayang dari
suaminya yang dapat membawanya kepada perceraian. Atau dia merasa ditinggalkan
oleh suaminya begitu saja tanpa ada kepastian, sehingga posisinya terkatung-katung,
apakah masih menjadi istrinya atau sudah diceraikan, maka hendaklah seorang istri
memberi toleransi kepada suami dengan merelakan sebagian hak-haknya atas suami.
Seperti kesediaannya jika nafkahnya dikurangi atau kesediaannya mengurangi giliran
bermalam suami, jika suami beristri lebih dari satu. Apabila seorang istri melihat hal ini
dengan hati nuraninya, maka dia akan mengetahui dengan pengetahuan yang yakin
bahwa inilah jalan yang lebih baik dan lebih mulia baginya daripada harus diceraikan
oleh suaminya.
10
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII

Namun, apabila sikap nusyuz suami adalah berupa kemaksiatan kepada Allah, seperti
tidak melaksanakan shalat, meminum khamr (minuman keras), menjadi pecandu
narkoba, berjudi, dan semisalnya. Sementara istri sudah tidak mampu lagi untuk
bersamanya dan dia mengkhawatirkan akan kehormatan dan kesucian dirinya, maka
dia boleh meminta cerai pada suaminya dengan jalur khulu‘.

2. Khulu’ ( ‫’ﻠﻮع‬B‫)ا‬

Khulu’ diambil dari ungkapan ‫ ‡ﻠﻊ اﻟﺜﻮب‬yang artinya, melepas baju. Karena secara kiasan, istri

َّ َ
ُ ْ َ ْ ُ َّ ٌ َ َّ ُ
adalah pakaian suami. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ّ َ ُ ٌ َ ْ
…ۗ‫ﺎس ﻟﻬﻦ‬¹1ِ ‫ﺎس _ﻜﻢ وأﻧﺘﻢ‬¹1ِ ‫… ﻫﻦ‬
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Qs. Al-Baqarah:
187)

Sedangkan definisinya menurut syari’at adalah: berpisahnya suami dengan istrinya dengan
tebusan harta yang diberikan oleh istri kepada suaminya. [Lihat Fiqhus Sunnah (II/253), Manaarus
Sabiil (II/226), Fat-hul Baari (IX/395), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 297), Terj. Al-Wajiz (hal. 637),
dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/422)]

Masalah ini sering sekali terlontar dari bibir kaum wanita. Tidak sedikit dari mereka yang protes
kepada suaminya karena berbagai masalah yang menimpa rumah tangganya, sehingga muncullah
benih-benih kedurhakaan yang jika dibiarkan maka dia akan tumbuh dan berkembang menjadi
penyakit mematikan yang dapat mengancam keutuhan rumah tangga keduanya.
Kita juga sering melihat fenomena di mana para wanita dituntut untuk balik menuntut suami agar
mau mengikuti segala kemauannya, sehingga kita mengenal istilah ‘suami-suami takut istri’.
Bahkan tidak jarang dari fenomena ini berakibat kepada banyaknya kisah cinta yang dirajut
selama bertahun-tahun harus berakhir di pengadilan agama.

ُ َ َ ُ ْ َّ ُ ُ َ َ ْ ُ ْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

‫اﻟﻤﺨﺘ ِﻠﻌﺎت ﻫﻦ اﻟﻤﻨ ِﺎﻓﻘﺎت‬


“Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.” [Hadits shahih. Riwayat
Tirmidzi (no. 1186) dan Abu Dawud (no. 9094), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah
Ash-Shahiihah (no. 632) dan Shahih Jaami’ush Shaghiir (no. 6681)]

ْ َ َ َ
َّ َ ُ َ َ َ ْ َ َ ٌ َ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ُّ
Dan dalam riwayat lain disebutkan juga,
َ َ ْ َ
‫ﻨ ِﺔ‬²B‫ﺔ ا‬A»‫ﻠﻴﻬﺎ ر ِا‬J ‫ ﻣﺎ ﺑﺄ ٍس ﻓﺤﺮام‬Šِ › fgِ ‫أﻳﻤﺎ اﻣﺮأ ٍة ﺳﺄﻟﺖ زوﺟﻬﺎ اﻟﻄ ق‬
“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh
syar’i), maka haram baginya mencium wangi Surga.” [Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud (no. 2226),
Tirmidzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), Ad-Daarimi (II/162), Ibnul Jarud (no. 748), Ibnu Hibban
(no. 4172 – At-Ta’liiqaatul Hisaan), Al-Hakim (II/200), Al-Baihaqi (VII/136), dari
Tsauban radhiyallahu ‘anhu. Lihat Irwa’ Al-Ghaliil (VII/100)]

Makna kata: ‘alasan‘ yang tercantum dalam hadits di atas adalah alasan yang dibenarkan oleh
syar’i, yaitu segala yang dapat mengakibatkan keduanya sudah tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah.

Apabila seorang istri sudah tidak sanggup lagi hidup berdampingan dengan suaminya, karena
suaminya sering melakukan dosa dan maksiat, meskipun sudah diingatkan berulang kali, maka
seorang istri boleh menuntut cerai terhadap suaminya tersebut dengan mengeluarkan pengganti
berupa harta (disebut juga fidyah dan iftida) sebagai tebusan untuk dirinya dari kekuasaan suami.
[Lihat ‘Aunul Ma’bud (VI/306), Syarah Al-Arba’un Al-Uswah (no. 27), Panduan Keluarga Sakinah (hal.
297) dan Terj. Al-Wajiz (hal. 637)]

َ ُ ُ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ُّ َ َ َ
َ ُ ُ َ ْ ُ َّ َ َ َ ْ َّ ً ْ َ َّ ُ ُ ُ ْ َ َ َّ
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

…ِۖ‫ﺪود اﷲ‬Œ ‫ﻞ _ﻜﻢ أن ﺗﺄ ‡ﺬوا ِﳑﺂ ءاﺗ)ﺘﻤﻮ ﻫﻦ ﺷ)ﺌﺎ ِإ “ أن ˆ’ﺎﻓﺂ أ ^ ﻳ ِﻘﻴﻤﺎ‬Aˆ ِ ^ ‫…و‬
11
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
“… dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah,” (Qs. Al-
Baqarah: 229)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas

ُ ُ َ َ َ َ ُْ ُ َ َ ّ َ َّ ُ ُ َ َ ْ َ َ َ ُ َْ َ ُ ُ َ َ
datang dan menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
َ
UV‫ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻ‬،‫ أ‡ﺎف ا_ﻜﻔﺮ‬fkِ‫ ِدﻳ ٍﻦ و ^ ‡ﻠ ٍﻖ ِإ ^ أ‬i¼‫ﺖ ِﻓ‬ْ ‫ﺎﺑ‬ ‫ﺛ‬ U V J ‫ﻢ‬ ‫ﻘ‬ ‫ﻧ‬ ‫أ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻣ‬ ،‫اﷲ‬ ‫ﻮل‬ ‫ﻳـ† رﺳ‬
ٍ ِ ِ
َ
ْ َ َ َ ُ َ َْ َ ََْ َْ ّ َُ
َ‫ﻪ َوأ َﻣ َﺮ ُه َﻓ َﻔ َﺎر َﻗﻬﺎ‬Rْ Sَ Jَ ‫ َﻓ َﺮ َّد ْت‬. ‫ َﻧ َﻌ ْﻢ‬: ‫ﺖ‬
ِ ‫ ِﺪﻳﻘـﺘﻪ ﻓﻘﺎﻟ‬Œ ‫ ِﻪ‬RSJ ‫ ﺗﺮ ِدﻳﻦ‬: ‫ﻪ و ﺳﻠﻢ‬RSJ ‫اﷲ‬
“Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, akan tetapi aku takut
akan (menjadi) kufur.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau mau
mengembalikan kebun kepadanya?” Ia menjawab, “Ya.” Maka kemudian kebun itu dikembalikan kepada
Tsabit bin Qais dan (beliau) menyuruhnya untuk menceraikan istrinya. [Hadits shahih. Riwayat
Bukhari (no. 5276)]

Sedangkan alasan yang banyak dikemukakan oleh para wanita yang menuntut cerai dari suaminya
pada zaman sekarang ini, datang dari hawa nafsunya sendiri. Karena kurangnya pemahaman
terhadap agama dan tidak adanya rasa qana’ah (merasa puas) terhadap suami, sehingga
mengakibatkan timbulnya konflik di dalam rumah tangga. Dan seorang istri yang bertakwa
kepada Allah Ta’ala, sekali-kali tidak akan meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang
dibenarkan oleh syari’at, meskipun orang tuanya memerintahkan hal itu kepadanya.

Karena suami memiliki hak yang lebih besar atas dirinya melebihi orang tuanya sendiri. Dengan
demikian, apabila wanita tersebut lebih memilih untuk mengabulkan keinginan kedua orang
tuanya dan merelakan kehancuran rumah tangganya, maka dia telah bermaksiat kepada
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/423-424)
dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 101-102)]

ْ َ َ َ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

‫وف‬ ُ ‫ اﻟ َﻤ ْﻌ‬fg ‫ﺎﻋ ُﺔ‬


‫ﺮ‬
َ َ َ َّ
‫اﻟﻄ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻧ‬ ‫إ‬ ، ِ‫اﷲ‬ ‫ﺔ‬ َ ‫ َﻣ ْﻌﺼ‬fg s¯َ •َ ‫ﺎﻋ َﺔ ﻟ‬
‫ﻴ‬
ِ ِ ‫^ﻃ‬
ِ ِ ِ ِ ٍ ِ
“Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam hal kemaksiatan terhadap Allah. Sesungguhnya ketaatan
itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf (baik).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4340, 7257),
Muslim (no. 1840), An-Nasa’i (VII/159-160 no. 4205), Abu Dawud (no. 2625) dan Ahmad (I/94 no.
623), dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu]

Adapun dalam Islam, pemberlakuan khulu’ dinilai sebagai fasakh (pembatalan nikah). Artinya,
perceraian karena khulu’ bukan termasuk talak. Demikianlah yang difahami oleh Ibnu
َ
ْ َ َ ْ َ ْ َ ََْ َ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ ُ َّ ْ ُ ْ ْ َ
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika mentafsirkan firman Allah Ta’ala,

ۗ…‫ﻠﻴ ِﻬﻤﺎ ِﻓﻴﻤﺎ اﻓﺘـﺪت ِﺑ ِﻪ‬J ‫ﻓ ِﺈن ِﺧﻔﺘﻢ أ ^ ﻳ ِﻘﻴﻤﺎ ﺣـﺪود اﷲِ ﻓ ﺟﻨﺎح‬
“… Jika kamu (wali) merasa khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah,
maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus
dirinya…” (Qs. Al-Baqarah: 229)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat di atas, bahwa adanya kata “” menunjukkan
bahwa khulu’ bukanlah talak. [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (no. 11765)
dengan sanad yang shahih, dari Thawus radhiyallahu ‘anhu].

Meskipun khulu’ menggunakan lafazh talak, akan tetapi berlaku sebagai khulu’, selama dilakukan
dengan cara ada penebusan dari seorang istri agar dirinya bisa lepas dari ikatan pernikahan
dengan suaminya. Oleh karena itu, apabila istri mengajukan khulu’ dalam masa ‘iddahnya, setelah
suami menjatuhkan talak kedua , kemudian suami menerima pengajuan khulu’ tersebut, maka
status talak yang ketiga ini adalah talak ba-‘in shugra dan bukan talak ba-‘inkubro. Karena talak
yang terakhir tidak dihitung sebagai talak, tetapi fasakh.

Dengan demikian, jika dua mantan suami-istri ini hendak menikah lagi maka tidak disyaratkan
sang istri harus dinikahi laki-laki lain terlebih dahulu. Karena talaknya baru dua kali dan bukan
tiga kali. Hanya saja, proses pernikahannya harus dilakukan dengan akad nikah yang baru, mahar
yang baru pula, dan tentunya setelah istri ridha untuk menikah lagi dengannya.
[lihat Zaadul Ma’ad (V/197 dan 199), Al-Mughni (VII/52-56), Al-Inshaaf (VIII/392), Raudhah Ath-
Thaalibiin (VII/375), Al-Muhallaa (X/238), Majmuu’ Al-Fataawaa (XXXII/289 dan 309), Jaami’
12
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Ahkaamin Nisaa’ (IV/160), Shahiih Fiqh Sunnah (III/340-348), Terj. Al-Wajiz (hal. 640-
641), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/425-428), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 317-319), Ensiklopedi
Larangan (III/72-73)]

3. Ila’ ( ‫)إ ^ء‬


Iila’ menurut bahasa adalah bersumpah melarang diri dari sesuatu hal. Sedangkan menurut istilah
syar’i adalah seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu
tertentu. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 620), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/437), dan Terj. Subulus
Salam (III/55)]

‫ْ َ َ ُّ ُ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َّ َﱠ‬
ٌ ‫اﷲ َﻏ ُﻔ‬ َ ُ ْ ُ َ َّ
Dalil pokok tentang ila’ adalah firman Allah:
ٌ‫ﻮر َرﺣﻴﻢ‬ ‫ن‬ ‫ﺈ‬ ‫ﻓ‬ ‫وا‬ ‫ﺎء‬ ‫ﻓ‬ ‫ن‬ ‫ﺈ‬ ‫ﻓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺷ‬ ‫أ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ر‬ ‫أ‬ ‫ﺺ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺗ‬ ¾ ¿ À‫ﺎ‬ Áَ ¢ ‫ﻦ‬ْ ‫ﻮن ﻣ‬ ‫ ﻳﺆﻟ‬ÂÃÄِ ±_ِ
ِ ِ ِ ٍ ِ ِِ ِ ِ
“Orang-orang yang meng-ilaa para istrinya, mereka diberi kesempatan untuk berpisah maksimal selama
empat bulan. Jika dia kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 226)

Berdasarkan ayat di atas, Iila’ ada dua macam, yaitu:


1. Suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu kurang dari empat bulan.
Dalam keadaan seperti ini, maka seorang suami lebih diutamakan untuk menggauli istrinya
dan membayar kaffarat atas sumpahnya tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah
َ َ
ْ َ ْ َ ْ ّ َ َُْ َ َ ْ َ َ ْ ً ْ َ َ َ َْ ْ َ َ َ ََ َ ْ َ
riwayat,

‫ـﻔـﺮ ﻋـﻦ ﻳ ِﻤ) ِﻨ ِﻪ‬ َ


ِ ‫ﻜ‬R1‫ ﻓـﻠﻴ ِﺄﺗﻬﺎ و‬،‫ا ِﻣﻨﻬﺎ‬Š ‡ ‫ﻫﺎ‬Š › ‫ ﻳ ِﻤ ٍ ﻓـﺮأى‬UVJ ‫ﻠﻒ‬Œ ‫ﻣﻦ‬
“Barang siapa bersumpah terhadap suatu hal kemudian dia melihat hal lain yang lebih baik darinya,
maka lakukanlah sesuatu yang lebih baik (dari hal yang dia bersumpah atasnya), lalu bayarlah
kaffarat sumpahnya itu.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1650), Ibnu Majah (no. 2108),
dan an-Nasa’i (VII/11), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Jika ia tidak membayar kaffaratnya dan tetap pada sumpahnya, maka istrinya harus bersabar
sampai habis waktu iila’ yang dinyatakan oleh suaminya, dan istri tidak berhak untuk
menuntut cerai. Hal tersebut juga pernah dialami oleh sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak mencampuri sebagian
istrinya dan beliau menetap di sebuah kamar selama satu bulan (dalam riwayat disebutkan
bahwa sebulan yang dimaksudkan itu adalah selama 29 hari). [Hadits shahih. Riwayat Bukhari
(no. 5289), an-Nasa’i (VI/166), dan Tirmidzi (no. 685), dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu]

2. Suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu lebih dari empat bulan.
Dalam kondisi semacam ini, seorang suami lebih diutamakan untuk menggauli istrinya dan
membayar kafarat atas sumpahnya tersebut, sebagaimana halnya keadaan pertama di atas.
Namun, apabila suami tidak juga menggauli istrinya yang telah bersabar menunggunya
sehingga berlalu waktu empat bulan, maka istri boleh menuntut kepastian dari si suami
dengan jima’ (persetubuhan) sebagai tanda kembali bersatunya (fai’ah) suami dan istri, atau
dengan talak sebagai tanda berpisahnya suami dengan istri.

Dengan demikian, seorang suami yang meng-iila’ istrinya sangat dianjurkan bahkan
diutamakan untuk kembali kepada istrinya dan membayar kaffarat atas sumpah yang telah

َ َ َ ُ ُ َ َ َّ َ ْ َ َ
diucapkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
َ َ َ ْ ُ ُ َ ْ ْ َ ْ َ
de†‫ ِ˜ آﺛـﻢ ™˜ ِﻋـﻨـﺪ اﷲِ ﺗـﻌـ‬±ِ ‫ أﻫـ‬fgِ ‫ـﻨ ِﻪ‬
ِ ‫ ﻳ ِﻤﻴ‬fgِ ‫ن ﻳﻠﺞ أﺣـﺪﻛـﻢ‬n
َ
ْ َ َ ُ َ َ َ َّ ُ َ َ َّ َ َ ُْ ْ ْ
‫ ﻓـﺮض اﷲ ﻋـﻠﻴ ِﻪ‬ajِ ‫ـﻄـﻲ ﻛـﻔـ†رﺗـﻪ اﻟ‬ ِ ‫ِﻣﻦ أن ﻳﻌ‬
“Sungguh dosa seseorang yang bersikukuh mempertahankan sumpahnya (untuk tidak
mencampuri) keluarganya itu lebih besar disisi Allah daripada ia membayar kaffarat atas
sumpahnya yang Allah wajibkan kepadanya.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1655), dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah berkata, “Membatalkan sumpah nilainya lebih
utama dari pada mempertahankan sumpah jika dalam pembatalannya tersebut mengandung
kemaslahatan yang kuat (besar).” [Lihat Terj. Syarah Riyadhush Shalihin (V/351) dan lihat juga
penjelasan Syaikh Salim dalam Ensiklopedi Larangan (III/83-85)]
13
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Namun, jika masa iila’ tersebut telah habis, maka si suami diberikan pilihan untuk kembali
pada istrinya atau menceraikannya. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-
Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fat-hul Baari (IX/428), bahwa diriwayatkan dari Abu
Shalih, ia berkata,
“Aku bertanya pada dua belas Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-
laki yang melakukan iila’. Mereka menjawab, “Tidak apa-apa baginya sampai berlalunya waktu
empat bulan, setelah itu dia boleh memilih untuk kembali pada istrinya atau menceraikannya.”
[Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/438)]

4. Li’an ( ‫)ا_ﻠﻌﺎن‬

Istilah li’an diambil dari kata la’n ( ‫ )ﻟﻌـﻦ‬yang berarti laknat atau kutukan. Sedangkan menurut
syari’at, li’an adalah kesaksian yang diperkuat dengan sumpah antara suami-istri yang disertai
dengan menyebutkan laknat dan kemurkaan Allah. [Lihat Taisirul Alam Syarah ‘Umdatul
Ahkaam (II/211]

Hukum li’an dibolehkan apabila suami memiliki dugaan kuat istrinya telah berselingkuh dengan
lelaki lain, atau dia mengetahui istrinya berselingkuh. Namun jika suami mendapati istrinya hamil
sedangkan dirinya tidak pernah menggauli istrinya atau dia yakin kehamilannya itu bukan dari
hasil hubungan dengannya maka hukum li’an menjadi wajib. [Subulus Salam (II/278)]

َ َ َ َ
َ ُ َ َ َ َ ْ ُ ُ ُ ْ َّ ُ َ َ ُ ْ ُ َّ ْ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َّ
Allah Ta’ala berfirman,
َ َ َ َُ ْ ْ
ِ‫ـﺪ ِﻫـﻢ أرﺑﻊ ﺷﻬـﺪ ِت ِﺑﺎﷲ‬ ِ ‫ ﻳﺮﻣﻮن أزوﺟﻬـﻢ وﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟ ﻬـﻢ ﺷﻬـﺪآء ِإ “ أﻧﻔـﺴﻬـﻢ ﻓـﺸﻬـﺪة أﺣ‬ÂÃÄِ ™‫َا‬Ë‫ﻭ‬
َ ْ َ
َ َْ َ ْ َ ُ َ ْ ََ َ َ َ ْ ََ َ َ ْ َ َّ ُ َْ َ َّ َ ‫ َﻟﻤ‬، ‫إ َﻧّ ُﻪ‬
َ ‫ـﺬ‬
‫اب‬ ‫ن ِﻣ َﻦ ا_ﻜ ِﺬ ِﺑ ۝ وﻳـﺪ رؤا ﻋـﻨﻬﺎ اﻟﻌ‬.§ ‫ ِﻪ ِإن‬Rْ SJ ِ‫’ ِﻤ َﺴﺔ أن ﻟﻌـ|ﺖ اﷲ‬B‫ـﺪ ِﻗ ۝ َوا‬ ِ ‫اﻟﺼ‬ ‫ﻦ‬ ِ ِ
َ َ ْ َ َ َّ ََ ْ َ ْ َ َ َ َ
َ ‫ﻠ‬Jَ َ َ َ َ ُ َّ َ َ َ ََ ْ َ َ ْ ْ
‫ن ِﻣ َﻦ‬.§ ‫ﻴﻬﺂ ِإن‬ ِ‫ﺐ اﷲ‬ َ ‫ـﻀ‬ ‫’ ِﻤ َﺴﺔ أن ﻏ‬B‫ـﺬ ِﺑ ۝ َوا‬ ِ ‫¡ﻬـﺪ أرﺑﻊ ﺷﻬـﺪ ِت ِﺑﺎﷲِ ِإﻧﻪ ﻟ ِﻤﻦ ا_ﻜ‬u ‫أن‬
َ ٌ َّ َ َ َّ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َ َّ
‫ ِﻜـﻴﻢ ۝‬Œ ‫ﺘﻪ وأن اﷲ ﺗﻮاب‬ÎÏ‫ﻜﻢ ور‬RSJ ِ‫ـﺪ ِﻗ ۝ ﻓـﻀﻞ َوﻟ ْﻮ ^ اﷲ‬
ٌ
ِ ‫اﻟﺼ‬
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak memiliki saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, maka persaksikanlah masing-masing dari mereka (dengan) empat kali sumpah dengan
(nama) Allah, bahwa sesungguhnya ia termasuk orang yang berkata benar. Dan (sumpah) yang kelima
bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika ia termasuk orang yang berdusta. Dan istri itu terhindar dari
hukumam apabila ia bersumpak empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar
termasuk orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan
menimpanya (istri), jika ia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar. Dan sekiranya bukan
karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan menemui kesulitan). Dan
sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Mahabijaksana.” (Qs. An-Nuur: 6-10)
Kasus li’an ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana

َ َ َ َ ُ َّ َ
َّ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
َ َ ْ َ ْ َ ّ
‫ ﻓﻘﺎل‬، ‫ﻳﻚ اﺑ ِﻦ ﺳﺤﻤﺎء‬ ِ sِ ¯‫ﻪ وﺳﻠﻢ ِﺑـ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ ﺻ‬aِ bِ ‫أن ِﻫـ ل ﺑﻦ أﻣﻴﺔ ﻗـﺬف اﻣﺮأﺗﻪ ِﻋﻨﺪ اﻟﻨ‬
َ َ َ
َ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ ْ َ ٌ َ ْ َ َ َّ َ ْ ّ b‫اﻟﻨ‬ َّ
‫ﺪﻧﺎ‬Œ‫ ِإذا رأى أ‬، ِ‫ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ‬: ‫ ﻓﻘﺎل‬، ‫ـﺮك‬ ِ ‫ﻬ‬ ‫ﻇ‬ f g ِ ‫ﺪ‬ Œ ‫و‬ ‫أ‬ ‫ﺔ‬ ‫ﻨ‬ ‫ﻴ‬ • ‫اﻟ‬ : ‫وﺳﻠﻢ‬ ‫ﻪ‬RSJ ‫اﷲ‬ UV‫ﺻ‬ a
َ َ ِ ِ
َ َ َ ْ ُ ُ َّ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ً ُ َ َ
‫ﻪ وﺳﻠﻢ َﻳﻘﻮل اﻟ• ِّﻴﻨﺔ أ ْو‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ ﺻ‬aُّ b‫ َﻳﻨﻄ ِﻠﻖ َﻳﻠﺘ ِﻤ ُّﺲ اﻟ• ِّﻴﻨﺔ ؟ ﻓﺠـﻌـﻞ اﻟﻨ‬5‫ ْاﻣ َﺮأ ِﺗ ِﻪ َر‬UVJ
ِ
َ َ ٌ ¥ َّ ّ َ ْ َ َ َ َ
َ َّ
‫ـﺮي‬ ‫ﻬ‬ ْ ‫ﻇ‬
َ ُ ََّ َ ُ
‫ئ‬ Š ® ‫ﻳ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻣ‬ ‫اﷲ‬ ‫ﻦ‬ّ َ ‫ﻟ‬ Ñ
ْ ُ
Ò ‫ﻴ‬ ‫ﻠ‬
َ
‫ﻓ‬ ‫ق‬ ‫ﺎد‬ ‫ﺼ‬ ‫ﻟ‬ f k ‫إ‬ ‫ﻖ‬ A B‫ﺎ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻚ‬ ‫ـﺜ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺑ‬ ‫ي‬ Ä ™‫ا‬ ‫و‬ َ : ‫ َﻓ َﻘ َﺎل ﻫـ َ ٌل‬، ‫ َﻇ ْﻬـﺮ َك‬fg ‫ ٌﺪ‬Œَ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ ّ َ َ ْ
َ َ َّ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ ُ َْ َْ َ ََ َ َْ ُ ْ َ ََ َ ّ َ
– ‫ َﺑﻠﻎ‬ij‫ـﻢ – ﻓﻘ َﺮأ ﺣ‬ ‫ ﻳﺮﻣﻮن أزوﺟﻬ‬ÂÃÄِ ™‫ )وا‬، ‫ﻪ‬R ِ SJ ‫ﻪ ﺳﻠﻢ َوأﻧﺰل‬RSJ ‫ﻳﻞ‬Šِ ®5ِ ‫ل‬ÑÒ‫ ﻓ‬، ‫ ِﺪ‬AB‫ِﻣﻦ ا‬
َ
َ
َ َ َ ٌَ َ َ َ َْ َ َ ْ َ َّ َ ¥ ْ َ َ َّ َ َ ْ
َ
‫ﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﺄرﺳﻞ ِإﻟﻴﻬﺎ ﻓﺠﺎء ِﻫـ ل ﻓﺸ ِﻬﺪ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ ﺻ‬aّ b‫ف اﻟﻨ‬sَ Õ‫ـﺪ ِﻗ ( ﻓﺎﻧ‬ ِ ‫ن ِﻣ َﻦ اﻟﺼ‬.§ ‫ِإن‬
َ َّ َ َ ِ ِ
َ ُ ُ ْ َ َ ُ ُ َُ
ْ َ َّ
‫ﺎﻣﺖ‬ ‫ ﺛﻢ ﻗ‬، ‫ﺐ‬ ٌ ‫ذ ٌب ﻓ َﻬﻞ ﻣ ْﻨﻜ َﻤﺎ َﺗﺎﺋ‬.§ ‫ َﺪﻛ َﻤﺎ‬Œَ ‫اﷲ َﻳ ْﻌـﻠ ُﻢ أن أ‬ َ ‫ إ َّن‬: ‫ﻮل‬ ‫ﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ ﺻ‬aّ b‫َواﻟﻨ‬
َّ
ِ ِ ِ ِ
َ َّ َ َ ِ ِ
َ ُ ْ َ َ
ْ
‫×ت‬/=‫ﺎس ﻓﺘ‬
َ
‫ـﺒ‬
َ
َّ ‫ ﻗﺎل ْاﺑ ُﻦ ﻋ‬، ‫ﻮﺟ َﺒﺔ‬ َ ٌ َ ُ َ َّ
‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻧ‬ ‫إ‬ : ‫ﻮا‬ ‫ﺎﻟ‬ ‫ﻗ‬
َ
‫و‬
َ ُ ّ َ
َ ‫’ﺎﻣ َﺴﺔ َوﻗﻔﻮﻫﺎ‬B‫ﺖ ﻋ ْﻨ َﺪ ا‬
ِ
َ ْ َ
‫ﻧ‬. § ‫ﺎ‬ ‫ﻤ‬َّ ‫ ﻓﻠ‬، ‫َﻓ َﺸﻬ َﺪ ْت‬
َ
ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َ َ
ّ َّ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ْ َ ْ َ َّ ُ ُ َ ْ َ َ َّ َّ َ َ َّ َ ْ َ َ َ َ
َ
UV‫ ﺻ‬ab‫ ﻓﻘﺎل اﻟﻨ‬، ‫ﻮم ﻓﻤﻀﺖ‬ ِ ‫ ﺳ ِﺎﺋﺮ اﻟﻴ‬fÙِ ‫ ^ أﻓـﻀﺢ ﻗﻮ‬: ‫ ﻇ|ﻨﺎ أﻧﻬﺎﺗﺮﺟﻊ ﺛﻢ ﻗﺎﻟﺖ‬ij‫ﻜﺼﺖ ﺣ‬Ø‫و‬
ِ ِ
14

ْ َ َ
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
َّ َْ ْ
َّ ‫ﻟ َ) َﺘ ْ َ‡ َﺪﻟ َﺞ‬n ‫ﺎء ْت ﺑ ِﻪ أﻛ َﺤ َﻞ اﻟ َﻌ ْ) َﻨ ْ َﺳﺎﺑ َﻎ ا‬
َ‫اﻟﺴ َﺎﻗ ْ َﻓ ُﻬﻮ‬ َ 5َ ‫وﻫﺎ َﻓﺈ ْن‬
َ ُ ْ

ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ أﺑ‬: ‫ﻪ وﺳﻠﻢ‬RSJ ‫اﷲ‬
َّ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ
ّ
: ‫ﻪ وﺳﻠﻢ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ ﺻ‬ab‫ﺎءت ِﺑ ِﻪ ﻛﺬ ِ_ﻚ ﻓﻘﺎل اﻟﻨ‬ ‫ﻚ اﺑ ِﻦ ﺳﺤﻤﺎء ﻓﺠ‬ ِ ‫ ْﻳ‬sِ ¯‫ِﻟ‬
ِ ِ
ٌ ْ َ َ ََ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َ َ َْ
‫ وﻟﻬﺎ ﺷﺄن‬feِ ‫ن‬./_ ِ‫ ِﻣﻦ ِﻛﺘﺎب اﷲ‬ih‫ﻟﻮ ^ ﻣﺎ ﻣ‬
“Bahwasanya Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya melakukan zina dihadapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan Syarik bin Sahma’, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Buktikanlah
(dengan mendatangkan saksi), atau hadd (hukuman) akan menimpamu.’ Kemudian ia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, jika salah seorang dari kita melihat seorang laki-laki di atas istrinya (berselingkuh), apakah
wajib kepadanya pergi untuk mencari bukti?’ Lalu Nabi pun berkata, ‘Buktikanlah atau hadd yang akan
menimpamu.’ Hilal berkata, ‘Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan haq (kebenaran), sesungguhnya
aku berkata benar, dan semoga Allah menurunkan sesuatu yang dapat membebaskanku dari
hadd.’Kemudian Jibril ‘alaihis salam turun dan menurunkan kepadanya (firman Allah Ta’ala): ‘Dan
orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)… -ia membacanya sampai- …jika dia (suaminya) itu
termasuk orang yang benar.’ Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pergi dan mengutus
seseorang kepadanya (si wanita), kemudian Hilal datang dan bersaksi sementara Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, ‘Sesungguhnya Allah Mahatahu bahwa salah seorang diantara kalian telah berdusta,
apakah diantara kalian berdua ada yang mau bertaubat?’ Lalu wanita itu berdiri dan bersaksi. Tatkala
sampai pada kesaksian yang kelima kalinya, mereka semua menghentikannya. Mereka berkata,
‘Sesungguhnya ia yang berhak (mendapatkan siksa),’
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Lalu ia berhenti sehingga kami menyangka bahwa ia akan
mengambil kembali ucapannya (mengaku).’ Akhirnya ia berkata, ‘Aku tidak akan mempermalukan
kaumku selamanya.’ Akhirnya dia terus saja (mengucapkannya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, ‘Perhatikanlah ia (si wanita), jika ia melahirkan seorang anak yang hitam kedua
matanya, besar kedua pantatnya, dan besar kedua betisnya, maka anak itu milik Syarik bin Sahma’.’
Akhirnya ia (wanita itu) melahirkan anak yang demikian (seperti dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam), kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya tidak berlalu keputusan
Kitabullah kepadaku, niscaya aku akan menegakkan hadd kepadanya.'” [Hadits shahih. Riwayat
Bukhari (no. 4747), Abu Dawud (no. 2237), Tirmidzi (no. 3229), dan Ibnu Majah (no. 2067)]

Diriwayatkan juga dari jalur Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,beliau menceritakan:

َ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ ُ َ ْ َ َ ُ َّ َ
ُ‫ ﻛ ْﻴ َﻒ َﻳ ْﺼ َﻨﻊ‬، ‫ َﻓﺎ ﺣ َﺸﺔ‬UVَ Jَ ‫ ُﺪ َﻧﺎ ْاﻣ َﺮأ َﺗ ُﻪ‬Œَ ‫ َﺪ أ‬5َ ‫ﺖ َﻟ ْﻮ َو‬ َ ْ َ
‫ أرأﻳ‬، ِ‫ ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ‬: ‫أن ﻓ ن اﺑﻦ ﻓ ٍن ﻗﺎل‬
ٍ ِ
ُ ّ َّ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َّ َ َ ْ
‫ اﷲ‬UV‫ ﺻ‬ab‫ ﻓﺴﻜﺖ اﻟﻨ‬: ‫ ﻗﺎل‬.‫ ِﻣﺜ ِﻞ ذ ِ_ﻚ‬UVJ ‫ و ِإن ﺳﻜﺖ ﺳﻜﺖ‬، ‫ﻢ ِﺑﺄﻣ ٍﺮ ﻋ ِﻈﻴ ٍﻢ‬Ú/‫ﻢ ﺗ‬Ú/‫؟ ِإن ﺗ‬
ِ
ّ‫اﷲ َﻋ َﺰ‬ َ
ُ ‫)ﺖ ﺑ ِﻪ ﻓﺄ ْﻧ َﺰل‬
َ َ ُ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ُ ْ َ َ ْ َّ ًّ َ َ َ ُ ََ َ َ َ َْ َ َ َ َ ُ ْ ُ
ِ ‫ﻚ ﻋﻨﻪ ﻗ ِﺪاﺑﺘ ِﻠ‬Û1‫ي ﺳﺄ‬Äِ ™‫ ِإن ا‬: ‫ن ﺑﻌﺪ ذ ِ_ﻚ أﺗﺎه ﻓﻘﺎل‬.§ ‫ ﻓﻠ َّﻤﺎ‬،‫ﺒﻪ‬²ˆِ ‫ﻪ وﺳﻠﻢ‬RSJ
َ
َّ
ُ‫ﻪ َو َو َﻋ َﻈ ُﻪ َو َذﻛ َﺮه‬Rْ Sَ Jَ ‫اﺟ ُﻬ ْﻢ( َﻓ َﺘ َ ُﻫ َّﻦ‬ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َّ َ ُّ َ ‫ ُﺳ‬fg ‫“ﻳﺎت‬ َ ْ ‫ َّﻞ َﻫ ُﺆ َ^ء ا‬5َ ‫َو‬
ِ ‫ ﻳﺮﻣﻮن أزو‬ÂÃÄِ ™‫ )وا‬: ‫ﻮر‬ ِ ‫اﻟﻨ‬ ‫ة‬
ِ ‫ﻮر‬ ِ ِ ِ
َ‫ ّﻖ َﻧ• ًّﻴﺎ ﻣﺎ‬Aَ B‫ﻚ ﺑﺎ‬
ْ َ َ ََ ْ ّ َ
َ َ َ َ َ
َ
ْ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ ُّ َ َ َ َّ َ ُ َ َ ْ َ َ
َ
ِ ِ ِ ‫ي ﺑﻌﺜ‬Äِ ™‫ وا‬،^ : ‫ ﻓﻘﺎل‬، ‫“ﺧﺮ ِة‬ ِ ‫اب ا‬ ِ ‫ﺬ‬J ‫ﺎ أﻫﻮن ِﻣﻦ‬ÜÝ°™‫ﺬاب ا‬J ‫ أن‬: ‫ه‬Š®‡‫وأ‬
ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُّ َ َ َ َّ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َّ ُ َ ْ َ َ ُ ْ َ َ
: ‫ ﻓﻘﺎﻟﺖ‬،‫“ﺧﺮ ِة‬ ِ ‫اب ا‬ ِ ‫ﺬ‬J ‫ﺎ أﻫﻮن ِﻣﻦ‬ÜÝ°™‫ﺬاب ا‬J ‫ أن‬: ‫ﻫﺎ‬Š®‡‫ﺎﻫﺎ وو ﻋﻈﻬﺎ وأ‬J‫ﻠﻴﻬﺎ ﺛﻢ د‬J ‫ﻛﺬﺑﺖ‬
َ ُ َّ َ َ َ َ َ ُ َّ ّ َ ْ َ َ َ َ ْ َّ َ َ
َْ َّ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َّ َ َ ٌ
‫ﺎد ِﻗ‬ِ ‫ات ِﺑﺎﷲِ ِإﻧﻪ ﻟ ِﻤﻦ اﻟﺼ‬ ٍ ‫ ِﻞ ﻓﺸ ِﻬﺪ أرﺑﻊ ﺷﻬﺎد‬5‫ ﻓﺒﺪأ ِﺑﺎﻟﺮ‬،‫ذب‬.ِ /_ ‫ ِﻖ ِإﻧﻪ‬AB‫ي ﺑﻌﺜﻚ ِﺑﺎ‬Äِ ™‫ وا‬،^
َ َ َ
ُ َّ َ َ َ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ ْ َّ َ َّ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ َ ُ َ ْ َ َّ َ َ َ ْ َ
‫ات ِﺑﺎﷲِ ِإﻧﻪ‬ ٍ ‫ ِﺑﺎﻟﻤﺮأ ِة ﻓﺸ ِﻬﺪت أرﺑﻊ ﺷﻬﺎد‬iÞ‫د ِﺑ ﺛﻢ ﺛ‬.ِ /_‫ن ِﻣﻦ ا‬.§ ‫ ِﻪ ِإن‬RSJ ِ‫’ ِﺎﻣﺴﺔ أن ﻟﻌ|ﺖ اﷲ‬B‫وا‬
َ
ُ‫ اﷲ‬: ‫ ُﺛ َّﻢ َﻗ َﺎل‬،‫ ُﺛ َّﻢ َﻓ َّﺮ َق َﺑ ْ) َﻨ ُﻬ َﻤﺎ‬، َ ْ ‫اﻟﺼﺎدﻗ‬ َّ َ‫ن ﻣﻦ‬. َ َ ْ َ ََ َ َ َ َّ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ
ِِ ِ § ‫ﻠ ِﻴﻬﺎ ِإن‬J ِ‫ﺎﻣﺴﺔ أﻧﻐﻀﺐ اﷲ‬ ِ ’B‫ذ ِﺑ وا‬.ِ /_‫ﻟ ِﻤﻦ ا‬
َ َ
ًَ َ ٌ َ َ ُ ْ ْ َ َ ٌ َ َ ُ َ َ َّ ُ َ ْ َ َ َ َ َ ََْ َ َ َ ْ َ َ َْ َ
‫ ﻓﻬﻞ ِﻣﻨﻜﻤﺎﺗ ِﺎﺋﺐ؟ – ﺛ ﺛﺎ‬،‫ذب‬.ِ § ‫ﺪﻛﻤﺎ‬Œ‫ ﻳﻌﻠﻢ أن أ‬: ‫ ﻓﻘﺎل‬،‫ﻠﻴﻬﺎ‬J ‫ ^ ﺳ ِ•ﻴﻞ _ﻚ‬: ‫ ﻟﻔ ٍﻆ‬fgِ ‫و‬
َ ْ َ ْ َ َْ ْ َ ْ َ َ ُ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َ
،‫ﻠﻴﻬﺎ ﻓﻬﻮ ِﺑﻤﺎ اﺳﺘﺤ=ﻠﺖ ِﻣﻦ ﻓﺮ ِﺟﻬﺎ‬J ‫ ِإن ﻛ|ﺖ ﺻﺪﻗﺖ‬،‫ ^ ﻣﺎل _ﻚ‬: ‫؟ ﻗﺎل‬de‫ ﻣ ِﺎ‬، ِ‫ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ‬
َ
َ‫ﻚ ﻣ ْﻨﻬﺎ‬ َ َ ُ َْ َ ُ َ َ ََْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ ْ َ
ِ _ ‫ﻠﻴﻬﺎﻓﻬﻮ أﺑﻌﺪ‬J ‫و ِإن ﻛ|ﺖ ﻛﺬﺑﺖ‬
“Bahwa fulan bin fulan berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut pendapatmu jika salah
seorang diantara kami mendapati istrinya berbuat zina, apakah yang seharusnya ia lakukan?’ Jika Nabi
15
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara, maka dia berbicara untuk suatu perkara yang besar. Sedangkan
jika dia diam, maka dia diam untuk perkara yang besar. Ibnu ‘Umar menuturkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam diam dan tidak menjawabnya.
Setelah itu, orang tersebut mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi dan mengatakan,
‘Sesungguhnya permasalahan yang aku tanyakan kepadamu itu telah menimpaku.’ Oleh karena itu,
Allah Ta’ala menurunkan banyak ayat dalam surat An-Nuur yang berbunyi, ‘Orang-orang yang
menuduh istri-istri mereka melakukan perbuatan zina..’ Nabi membacakan ayat-ayat tersebut pada
orang tadi. Beliau memberikan nasihat kepadanya, mengingatkannya dan memberitahu kepadanya
bahwa siksa di dunia itu lebih ringan daripada siksa di akhirat. Orang tadi mengatakan, ‘Tidak, demi
Dzat yang telah mengutusmu sebagai seorang Nabi, aku tidaklah berdusta dalam tuduhan itu.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil istri orang tersebut. Beliau memberinya nasihat,
mengingatkannya, memberitahu bahwa siksa di dunia itu lebih ringan daripada siksa di akhirat. Wanita
tersebut lantas berkata, ‘Tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran,
sesungguhnya suamiku telah berdusta.’ Nabi memulai dari orang tersebut. Orang tersebut lantas
memberikan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali bahwa dirinya adalah orang yang benar.
Yang kelima adalah bahwa laknat Allah akan menimpanya sekiranya dirinya berdusta.
Berikutnya adalah sang istri, wanita tersebut lantas bersaksi atas nama Allah sebanyak empat kali
bahwa suaminya telah berdusta. Yang kelima adalah bahwa dirinya akan mendapatkan kemurkaan
Allah, jika ternyata suaminyalah yang benar. Setelah itu, Nabi menceraikan pasangan suami istri
tersebut.’ ‘Allah mengetahui bahwa salah satu diantara kalian telah berdusta. Apakah ada diantara
kalian yang hendak bertaubat?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian sebanyak tiga kali.

Dalam lafazh lain disebutkan, ‘Engkau tidak boleh bersamanya untuk selamanya.’
‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan mas kawinku?’ kata orang tersebut. Nabi menjawab, ‘Mas kawin
itu tidak lagi menjadi milikmu. Jika kamu memang benar, maka maskawin itu adalah sebagai ganti
engkau telah menggaulinya. Namun, jika engkau berdusta, maka amat sangat tidak mungkin harta itu
kembali kepadamu darinya.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1493). Si fulan yang disebutkan
dalam riwayat di atas adalah Uwaimir Al-‘Ajlani]

Dari kedua hadits di atas, maka dapat diketahui bahwa praktik li’an memiliki beberapa langkah
yang harus ditempuh, yaitu:
1. Seorang hakim memulai dengan mengingatkan pasangan suami istri agar bertaubat
sebelum melakukan li’an, lalu jika mereka berdua bersikeras untuk tetap melakukan li’an,
selanjutnya;
2. Seorang hakim memulai dengan memerintahkan suami untuk berdiri dan hakim berkata,
“Katakanlah empat kali, ‘Aku bersaksi kepada Allah bahwa sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berkata benar dalam tuduhan zina yang aku lemparkan kepada istriku.'”
3. Kemudian suami berkata seperti apa yang diperintahkan oleh hakim di atas.
4. Sebelum suami mengatakan kalimat la’nat (yang kelilma), hakim memerintahkan
seseorang untuk meletakkan tangan di mulut suami, kemudian hakim berkata kepada
suami, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ucapan tersebut menetapkan adanya
siksa yang pedih.” Sehingga ia tidak terburu-buru untuk mengucapkan perkataan sumpah
yang kelima kalinya sebelum mendapatkan nasihat, karena siksa dunia lebih ringan dari
siksa akhirat.
5. Jika suami bersikeras untuk li’an, maka ia mengucapkan, “Laknat Allah ditimpakan
kepadaku jika aku termasuk kepada orang-orang yang berdusta.” Jika ia mengatakan hal
ini maka tidak berlaku hadd qadzaf (hukuman akibat menuduh orang lain berzina). Jika ia
menarik perkataannya, maka ia dihukum dengan hukumam menuduh orang lain
melakukan zina (hadd qadzaf), yaitu dicambuk sebanyak 80 kali.
6. Hakim berkata kepada istri, “Kamu pun harus mengucapkan perkataan seperti itu. Jika
kamu tidak mau mengucapkannya maka kamu akan dihukum dengan hukuman zina (yakni
dirajam).”
7. Lalu si istri berkata, “Demi Allah, sesungguhnya dia (suami) termasuk orang-orang yang
berdusta.” Sebanyak empat kali.
8. Kemudian hakim memerintahkan seseorang untuk menghentikannya, agar memberikan
nasihat dan memberitakan kepadanya bahwa hal itu akan menetapkan murka Allah
sebelum dia bersaksi untuk yang kelima kalinya.
9. Jika ia menarik kembali ucapannya dan mengakui perbuatannya, maka ia dihukum dengan
hukuman zina, yaitu dirajam.
10. Namun jika ia terus saja mengingkari tuduhan tersebut, maka ia diperintahkan untuk
berkata, “Murka Allah kepadaku jika ia (suami) termasuk orang-orang yang benar.” Maka
jika istri telah mengucapkannya, gugurlah hukuman rajam kepadanya. [Lihat Ensiklopedi
Fiqh Wanita (II/432-433]
16
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Apabila pasangan suami-istri telah melakukan li’an maka keduanya dipisahkan. Sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaksanakan li’an antara seorang laki-laki dan wanita dari kalangan Anshar, kemudian
beliau memisahkan keduanya. Namun, para ‘ulama berselisih pendapat mengenai hukum
perpisahan karena li’an, apakah dia dihukumi sebagai talak ataukah fasakh (rusaknya akad nikah).
[Lihat uraiannya dalam Terj. Subulus Salam (III/88-90)]

Catatan:
 Bila seorang suami menuduh istrinya berselingkuh (berzina), tetapi keduanya tidak
mengadukan masalah tersebut pada seorang hakim, maka wanita tersebut masih
berstatus istrinya, sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim An-Nakha’i dalam Mushannaf
‘Abdurrazzaq (no. 12911) dengan sanad yang shahih.
 Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Aku tidak mendapati keperawanan darimu,”
namun tidak bermaksud menuduhnya berzina, maka tidak
berlaku hadd atau li’an kepadanya. Karena hilangnya keperawanan seorang wanita tidak
selalu diakibatkan karena senggama. Adapun jika suami berkata demikian dengan maksud
menuduh istrinya telah berzina, maka hukum yang berlaku adalah wanita tersebut masih
berstatus sebagai istrinya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/436]

5. Zhihar ( ‫)ﻇﻬﺎر‬
Zhihar menurut bahasa berarti punggung. Sedangkan menurut istilah syar’i, kata zhihar berarti
pernyataan suami kepada istrinya, “Bagiku engkau seperti punggung Ibuku,’ di mana suami
memaksudkan perkataannya itu dengan mengharamkan istrinya bagi dirinya. Para “ulama
sepakat untuk mengharamkan perbuatan ini dan pelakunya dianggap telah melakukan perbuatan
dosa. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 622), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/439-440), dan Terj. Subulus
Salam (III/70-73)]

Sehingga apabila suami mengatakan, “Bagiku kamu seperti punggung Ibuku,” atau ungkapan
penyerupaan istri dengan anggota tubuh Ibunya yang lain, maka istrinya menjadi haram untuknya.
Suami diharamkan untuk menggauli atau mencumbu istrinya, hingga suami membayar kaffarat
atas ucapannya tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
َ
ُ
ْ‫ﺂﺳﺎۚ َذا _ﻜﻢ‬ َّ ‫ﺮ َر َﻗ َﺒﺔ ّﻣﻦ َﻗ ْﺒـﻞ أن َﻳ َﺘ َﻤ‬àُ ْ َ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ َّ ُ ْ َ ّ ْ َ
ُ َ ُ َ ْ َّ َ
ِ ِ ِ ٍ ‫ﺂﺋ ِﻬـﻢ ﺛﻢ ﻳﻌﻮدون ِﻟﻤﺎ ﻗﺎﻟﻮا ﻓﺘﺤ ِﺮ‬ ِ Á¢ِ ‫ ﻳﻈ ِﻬـﺮون ِﻣﻦ‬ÂÃÄِ ™‫وا‬
َ
‫ـﻞ أن‬ ْ ‫ـﺮ ْﻳﻦ ُﻣ َ¶ َﺘﺎ ﺑ َﻌ ْ ﻣﻦ َﻗ‬
‫ﺒ‬ َ ‫ﻬ‬ ُ ‫ ْﺪ َﻓﺼ َﻴ‬²ˆَ ‫۝ َﻓ َﻤﻦ َّﻟ ْﻢ‬Šٌ ‫ﻮن َﺧﺒ‬
ْ ‫ﺎم َﺷ‬ َ َُ َْ َ ُ َ
‫ﻤ‬ ‫ﻠ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺑ‬ ‫اﷲ‬ ‫و‬ ۚ ‫ﻪ‬ ‫ﺑ‬
َ ُ َ ُ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ﺗﻮﻋﻈ‬
‫ﻮن‬
ُ ُ ُ َ ْ ُ ُْ َ َ ً َ ّ ُ َ ْ َ ْ َ ْ َ ْ َّ َ َ َّ َ َ َ
ِۗ‫ﺪود اﷲ‬Œ ‫ﻮا ِﺑﺎﷲِ َو َر ُﺳﻮ™ِ ِ˜ۚ َو ِﺗ=ﻚ‬0‫ﺎم ِﺳ ِﺘ ِﻣ ْﺴ ِﻜ)ﻨﺎۚ ذا ِ_ﻚ ِﻟﺘﺆ ِﻣ‬ ‫ﺘ ِﻄﻊ ﻓ ِﺈﻃﻌ‬Áá ‫ﻳﺘﻤﺂﺳﺎۖ ﻓﻤﻦ ﻟﻢ‬
َ َ َ َ َ ْ
ٌ ٌ
‫ﺬاب أ ِﻟﻴﻢ ۝‬J ‫ـﺮﻳﻦ‬ َ
ِ ‫و ِ_=ﻜ ِﻔ‬

“Dan mereka yang menzhihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan,
maka mereka (diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Maka
barang siapa tidak mampu (memerdekakan hamba sahaya), (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-
turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barang siapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan
enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-
hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat adzab yang pedih.” (Qs. Al-
Mujaadilah: 3-4)

َ َ ْ َ ْ َ ُ
ُ ْ َ َ َ ًَ َْ َ ْ ٌ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ ¥ َ َ َ َ َ
Diriwayatkan pula dari Salamah bin Shakhr radhiyallahu “anhu, bahwasanya dia berkata,
َ ْ َ ْ ُ
‫ ﻓﻮ ﻗﻌﺖ‬â±‫ء ِﻣﻨﻬﺎ ﻟﻴ‬f© feِ ‫ﻜﺸﻒ‬Ø‫ ﻓﺎ‬،‫ ﻓـﻈﺎﻫﺮت ِﻣﻨﻬﺎ‬،dmِ‫ ﻓ ِﺠﻔﺖ أن أ ِﺻ)ﺐ اﻣﺮأ‬،‫د‡ﻞ رﻣﻀﺎن‬
َ َ َ َ َّ ُ ْ َ َ ُ ْ ُ ً َ َ َ ْ ّ َ ُ َ َ َ ََ
: ‫ ﻗﺎل‬،ajِ ‫ ﻣﺎ أﻣ ِ=ﻚ ِإ ^ رﻗﺒ‬: ‫ ﻗﻠﺖ‬،‫ ﺣ ِﺮر رﻗﺒﺔ‬: ‫ﻪ وﺳﻠﻢ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ َر ُﺳﻮل اﷲِ ﺻ‬feِ ‫ ﻓﻘﺎل‬،‫ﻠ ْﻴ َﻬﺎ‬J
َ
ً َ َ ْ َْ َ َ َ ّ َ َّ ُ ْ َ َ ْ َّ ُ ْ َ َ ْ َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ُ
َ ْ َ ْ ُ َ
‫ أﻃ ِﻌﻢ ﻋﺮﻗﺎ‬: ‫ﺎم؟ ﻗﺎل‬ ِ ‫اﻟﺼﻴ‬ِ ‫ي أﺻ•ﺖ ِإ ^ ِﻣﻦ‬Äِ ™‫ وﻫﻞ أﺻ•ﺖ ا‬: ‫ ﻗﻠﺖ‬، ِ ‫ﻓـﺼﻢ ﺷﻬـﺮ ِﻳ ِﻦ ﻣ¶ﺘﺎ ِﺑﻌ‬
ًْ َ ّ َ َ
‫ِﻣ ْﻦ ﺗ ْﻤ ٍﺮ َﺑ ْ ِﺳ ِﺘ ْ ِﻣ ْﺴ ِﻜ)ﻨﺎ‬
“Telah datang bulan suci Ramadhan, lalu aku cemas bila sampai berhubungan intim dengan istriku,
maka aku pun menzhiharnya. Ternyata pada suatu malam, bagian (tubuh)nya tersingkap olehku,
17
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
sehingga aku pun bersetubuh dengannya. Maka, Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam berkata
kepadaku, “Bebaskan budak,’ Lalu kukatakan, “Aku tidak punya budak selain budakku,’ Beliau berkata
lagi, “Kalau begitu, berpuasalah dua bulan berturut-turut,’ Kukatakan lagi, “Tidakkah aku melanggar hal
ini melainkan karena puasa?’ Beliau berkata lagi, “Berilah makan 60 orang miskin dengan sekeranjang
kurma.'” [Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud dalam Shahihnya (no. 2213). Lihat juga Terj. Subulus
Salam (III/67, no. 1015)]

Dengan demikian, pelaksanaan kaffarat zhihar dilakukan sesuai urutan yang disebutkan dalam
ayat, berdasarkan kemampuan sang suami. Jadi, apabila seseorang mampu memerdekakan
hamba sahaya, maka itulah kaffarat yang wajib dibayarnya. Namun jika suami tidak mampu
memerdekakan hamba sahaya, maka diberlakukan baginya puasa selama dua bulan berturut-
turut. Jika kaffarat ini juga tidak mampu dipenuhi suami, maka kewajibannya adalah memberi
makan kepada enam puluh orang fakir miskin. [Lihat penjelasannya dalam Terj. Subulus
Salam (III/75-81 dan Ensiklopedi Larangan (III/88)]

Dan jika suami menzhihar istrinya dalam waktu tertentu maka dia tidak boleh menggauli istrinya
selama waktu tersebut sehingga dia membayar kaffarat seperti yang telah dijelaskan di atas.
[Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 622-625), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/440-443), Ensiklopedi
Larangan (III/88) dan Terj. Subulus Salam (III/82)]

Apabila suami meniatkan talak dengan lafazh zhihar, maka talaknya tidak jatuh, tetapi hal itu
menjadi zhihar. Demikianlah pendapat Imam Ahmad, Imam asy-Syafi’i dan ulama selain
mereka rahimahumullah. Maka tidak boleh menjadikan zhihar sebagai kinayah (ungkapan) atas
penjatuhan talak. [Lihat Terj. Subulus Salam (III/83]

Seorang wanita yang telah berpisah dengan suaminya, baik karena suaminya telah
meninggal dunia atau karena suaminya telah menceraikannya, maka dia akan
menjadi seorang janda. Wanita yang baru saja berpisah dengan suaminya harus
melewati masa ‘iddah, yaitu masa di mana seorang wanita menunggu untuk dibolehkan menikah
lagi setelah habis waktunya, baik dengan hitungan quru’ (masa haidh) atau dengan hitungan bulan.
[Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (VII/265), Terj. Al-Wajiz (hal. 642), Ensiklopedi Fiqh
Wanita (II/418), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 321)]

Adapun hikmah disyari’atkannya ‘iddah adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui terbebasnya rahim, dan sehingga tidak bersatu air mani dari dua laki-laki atau
lebih yang telah menggauli wanita tersebut pada rahimnya. Sehingga nasab anak yang
mungkin dilahirkan tidak menjadi kacau.
2. Menunjukkan keagungan, kemulian masalah pernikahan dan hubungan badan.
3. Memberi kesempatan bagi sang suami yang telah mentalak istrinya untuk rujuk kembali.
Karena bisa jadi ada suami yang menyesal setelah mentalak istrinya.
4. Memuliakan kedudukan sang suami di mata sang istri. Sehingga dengan adanya masa
iddah akan semakin menampakkan pengaruh perpisahan antara pasangan suami-istri.
Karena itu, di masa iddah karena ditinggal mati, wanita dilarang untuk berhias dan
mempercantik diri, sebagai bentuk berkabung atas meninggalkan sang kekasih.
5. Berhati-hati dalam menjaga hak suami, kemaslahatan istri dan hak anak-anak, serta
melaksanakan hak Allah yang telah mewajibkannya. [Lihat I’laamul Muwaqqi’iin (II/85)]

Masa ‘iddah setiap wanita dapat berbeda-beda, berdasarkan keadaannya dan sebab
perpisahannya. Berikut beberapa rinciannya:

1. Wanita yang ditinggal mati suaminya, baik dia sudah dicampuri ataupun belum, maka
masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

ْ َ َْ َ َ َُْ ْ ََ ً ْ َ َ ُ ْ َ ْ ‫ﱠ ْ َ َ َﱠ‬
…ۚ‫ا‬sً ¯‫ﱠﺑﺼ َﻦ ِﺑﺄﻧﻔ ِﺴ ِﻬﱠﻦ ْار َﺑﻌﺔ اﺷ ُﻬ ٍﺮ ﱠوﻋ‬Š‹‫ﺎﱠﻳ‬5‫ـﻮن ِﻣﻨﻜ ْﻢ َو َﻳﺬ ُر ْون از َوا‬ ‫ ُﻳﺘﻮﻓ‬ÂÃÄِ ™‫َو ا‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah
para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah selama) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. Al-
Baqarah: 234)
2. Wanita yang ditalak dan sudah dicampuri suami, serta masih dalam usia haid maka
masa ‘iddahnya adalah selama tiga kali haid. Setelah masuk masa suci yang ketiga maka
masa ‘iddahnya telah habis. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
18

ُ َ َ َ َ ‫ْ ُ َ َّ َ ُ َ َ َﱠ ْ َ َ ْ ُ ﱠ‬
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII

ْ ُ
ۗ‫ﺑﺼﻦ ِﺑﺄﻧﻔ ِﺴ ِﻬﻦ ﺛـﻠـﺜـﺔ ﻗﺮو ٍء‬Š‹‫… واﻟﻤﻄـﻠﻘـﺖ ﻳ‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Qs. Al-
Baqarah: 228)

Dan lafazh quru’ ( ‫ )ﻗﺮوء‬pada ayat di atas maknanya adalah haidh. [Lihat penjelasan
mengenai hal ini dalam Terj. Subulus Salam (III/126-132) dan kitab lainnya]

3. Wanita yang ditalak dan tidak mengalami haid, misalnya karena masih kecil atau sudah tua

ْ َ ْ َ ْ ‫ْ َ ْ ُ ْ َ ﱠ ُ ُﱠ َ َ َ ُ َ ْ ُ ﱠ ﱠ‬ ُ ْ َ َ َ
(menopause), maka masa ‘iddahnya adalah 3 bulan. Allah berfirman :
َ‫ﻀﻦ‬ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ
ۗ Aˆِ ‫ ﻟﻢ‬aäِ ‫ـﺮ واﻟ‬
ٍ ‫ﺂﺋﻜﻢ ِإ ِن ارﺗ•ﺘﻢ ﻓ ِﻌـﺪﺗﻬﻦ ﺛﻠـﺜﺔ اﺷﻬ‬ٍ Á¢ِ ‫ﺴﻦ ِﻣﻦ اﻟﻤ ِﺤﻴ ِﺾ ِﻣﻦ‬ãِ ‫ ﻳ‬aäِ ‫واﻟ‬
“Wanita-wanita yang tidak haidh lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haidh.” (Qs. Ath-Thalaaq: 4)
4. Wanita yang ditalak oleh suaminya dan belum dicampuri, maka tidak ada ‘iddah baginya.

ُ َ َ ْ ُ َ ‫ﱠ‬
ْ‫ـﻢ َﻃﱠﻠ ْﻘ ُﺘ ُﻤ ْﻮ ُﻫﱠﻦ ﻣ ْﻦ َﻗ ْﺒﻞ ا ْن َﺗ َﻤ ﱡﺴ ْﻮ ُﻫﱠﻦ َﻓ َﻤﺎ_ﻜﻢ‬
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
‫َﻜ ْﺤ ُﺘ ُﻢ اﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣ َ|ﺖ ُﺛ ﱠ‬Ø ‫ ْﻮآ ا َذا‬0ُ ‫ ا َﻣ‬Âَ ْÃÄ™‫ـﻬﺎا‬
َ ‫َﻳـ† ﱡَﻳ‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫ﱠ َْ َ ﱡ‬ ََ
ۚ‫ﺪ ٍة ﺗﻌﺘـﺪ ْو ﻧ َﻬﺎ‬Jِ ‫ﻠ ْﻴ ِﻬﱠﻦ ِﻣ ْﻦ‬J …
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita mukmin, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa ‘iddah atas mereka
yang perlu kamu perhitungkan..” (Qs. Al-Ahzaab: 49)
5. Wanita yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka

َ َ ْ َ ْ َ ُ َ َ ُ ََُ
َ Ïْ ^َ ْ ‫^ت ا‬
masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

ۗ‫ﻠ ُﻬﱠﻦ‬Îْ Ï ‫ﻠ ُﻬﱠﻦ انﱠﻳﻀﻌ َﻦ‬5‫ﺎل ا‬ِ Î ‫… وا‬


“Dan wanita-wanita yang hamil, (waktu ‘iddah mereka itu) adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya.” (Qs. Ath-Thalaq: 4)

Catatan:
o Wanita hamil yang berpisah dengan suaminya, diperbolehkan untuk menikah lagi,
setelah dia melahirkan, meskipun masa nifasnya belum selesai. Namun suami yang
barunya tidak boleh mencampurinya hingga wanita tersebut suci dari darah
nifasnya. [Lihat Umdatul Ahkaam Kitab Ath-Thalaq bab ‘Iddah (no. 325) dan Terj.
Subulus Salam (III/108-109)]
o Wanita hamil yang mengalami keguguran sehingga mengakibatkan luruhnya janin
dari rahimnya maka masa ‘iddahnya selesai bersamaan dengan gugurnya janin.
[Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam Al-Majmu’ Al-Kamilah
Limu’allafatisy Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di (VII/384-385) dan Fatwa-Fatwa
Tentang Wanita (II/224-225). Lihat juga Terj. Subulus Salam (III/109)]
o
6. Wanita al-Murtaabah. Wanita murtabah adalah wanita yang siklus haidnya tidak teratur.
Wanita dalam kondisi ini ada dua keadaan:
o Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah
karena sebab yang diketahui, seperti menyusui, cacat atau sakit yang masih ada
harapan untuk sembuh. Dalam kondisi ini, wanita diwajibkan untuk bersabar
sampai siklus haidnya kembali normal, meskipun waktunya panjang. Setelah siklus
haid kembali normal maka dia menjalani masa iddahnya dengan
hitungan quru’ (menjalani 3 kali haid). Ini adalah pendapat Utsman bin Affan, Ali bin
Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum.
o Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah
namun sebabnya tidak diketahui. Dalam kondisi ini, wanita wajib menunggu
selama 9 bulan, sehingga diketahui dengan pasti bahwa rahimnya bersih, kemudian
melakukan ‘iddahnya selama 3 bulan. Dengan demikian, ‘iddahnya menjadi 1 tahun.
[Lihat Ad-Dasuqi (II/470), Al-Mughni (VII/466), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/420-
421), Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (XXIX/329)]Hal ini berdasarkan perkataan
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, tentang wanita murtabah namun
sebabnya tidak diketahui, “Hendaklah ia menunggu selama sembilan bulan, kemudian
jika tidak nampak pada dirinya (tanda-tanda) kehamilan, maka hendaklah ia melakukan
19
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
‘iddah selama tiga bulan, maka semuanya menjadi satu tahun penuh.” [Riwayat Imam
Asy-Syafi’i dalam Musnadnya (II/107 Syifaa-ul ‘Ayy)]
o
7. Wanita al-mustahadhah. Dalam kondisi istihadhah, wanita ada dua keadaan:
o Dia dapat membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah, maka ‘iddahnya
adalah tiga kali siklus haid.
o Dia tidak dapat membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Wanita
yang mengalami kondisi semacam ini disebut al-mutahayyirah (wanita yang ragu),
dan masa ‘iddahnya adalah selama 3 bulan. [Lihat Fat-hul Baari (IV/312), Ad-
Dasuqi (II/470), Mughni Muhtaaj (III/385), Al-Mughni (III/468), dan Ensiklopedi Fiqh

ُ ْ َ ‫ـﺜ ُﺔ‬
َ َ َ ‫ْ َ ْ ُ ْ َ ﱠ ُ ُﱠ‬
Wanita (II/ 421)]Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,

… ‫اﺷﻬـﺮ‬ ‫… ِإ ِن ارﺗ•ﺘﻢ ﻓ ِﻌـﺪﺗﻬﻦ ﺛﻠ‬


ٍ
“…jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddahnya adalah tiga
bulan…” (Qs. Ath-Thalaaq: 4)
8. Wanita menuntut cerai kepada suaminya (melakukan khulu’), maka tidak ada
‘iddah baginya, karena khulu’ adalah fasakh (pembatalan akad nikah) dan bukan talak.
Namun wanita tersebut menunggu selama satu kali haidh, setelah itu halal baginya untuk
menikah lagi. [Lihat Zaadul Ma’ad (V/199), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/428)] Sebagaimana
َ
‫ﱠ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ ﱠ َ َ َ َ ْ َ ُ َ َ َ َﱠ َ ْ ﱠ‬
diriwayatkan dari Rubayi’ binti Mu’awwidz,

‫ ِﻣﻦ اﻟ ِﻌـﺪ ِة ؟‬æV‫ ﻣﺎذا ﻋـ‬: ‫أﻧﻬﺎ ِاﺧﺘـﻠﻌـﺖ ِﻣﻦ زو ِﺟﻬﺎ ﻓـﺄﺗﺖ ﻋـﺜﻤﺎن ﺑﻦ ﻋـﻔﺎن ﻓـﺴﺄﻟـﺘﻪ‬
ُ َ َ َ
َ ‫َﱠ‬
ْ ْ َ َ َ ْ َ ْ ْ ُ َ ْ ‫ﱠ‬ ْ ‫ َﻠ‬Jَ ‫ـﺪ َة‬
‫َ ﱠ‬ َ َ َ
ah‫ﻴ‬ ِ A •
ِ i j ‫ﺣ‬ a çِ ‫ﻜ‬ ‫ﻤ‬ ‫ـﺘ‬ ‫ﻓ‬ ‫ﻪ‬
ِ ‫ﺑ‬ ‫ـﺪ‬
ِ ٍ ‫ـﻬ‬ ‫ﻋ‬ ‫ـﺔ‬ ‫ـﺜ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺪ‬
ِ Œ f k ِ ‫ﻮ‬ ‫ـﻜ‬ ‫ﺗ‬ ‫ن‬ ‫أ‬ ^ ‫إ‬ ‫ـﻚ‬
ِ ِ ‫ﻴ‬ ‫ﻋ‬
ِ ^ : ‫ﺎل‬ ‫ﻓـﻘ‬
‫ﱠ‬ َ ُْ َ َْ َ ُ َ َ ¥ َ َ َ ٌ ‫َ ْ َ ً َ َ َ َ َ ُﱠ‬
‫ ِﺔ‬R1‫ ﻣﺮﻳﻢ اﻟﻤﻐ ِﺎ‬fgِ ‫ﻪ وﺳﻠﻢ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ﻮل اﷲِ ﺻ‬ ِ ‫ ذ ِﻟـﻚ ﻗﻀﺎء رﺳ‬fgِ ‫ وأﻧﺎ ﻣ¶ ِﺒـﻊ‬: ‫ ﻗﺎل‬، ‫ﺣﻴﻀﺔ‬
ُ ْ ْ ََ َ ْ َ ْ ‫ْ َ ْ ْ َﱠ‬ َ َ َْ ْ َ َ
‫ﺎس ﻓﺎﺧﺘـﻠﻌﺖ ِﻣﻨﻪ‬ ‫ﺖ ﺑ ِﻦ ﻗ) ِﺲ ﺑ ِﻦ ﺷﻤ‬ ِ ِ ‫ﺖ‬A• ‫ﻧﺖ‬.§ ،
‫ﺎﺑ‬ ‫ﺛ‬
“Bahwasanya dia mengajukan khulu’ dari suaminya, lalu dia mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan dan
bertanya kepadanya, ‘Apakah ada kewajiban ‘iddah kepadaku?’ Utsman menjawab, ‘Tidak ada
‘iddah kepadamu, kecuali kamu baru saja bersenggama dengannya sehingga datang kepadamu
haidh satu kali.’ ‘Utsman melanjutkan perkataannya, ‘Dan aku mengikuti apa yang diputuskan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam masalah ini kepada Maryam al-
Mughaliyah.’ Dia (Maryam) adalah istri Tsabit bin Qais bin Syammas yang mengajukan khulu’
darinya.” [Hadits shahih li ghairih. Riwayat An-Nasa’i (VI/186) dan Ibnu Majah (no. 2058)]

Setelah mengetahui batasan waktu yang ditetapkan oleh Islam untuk wanita yang menjalani
masa ‘iddah, maka kita pun perlu mengetahui apa saja yang ditetapkan oleh syari’at untuk wanita
yang sedang dalam masa ‘iddah.

1. Wanita tersebut wajib untuk tetap tinggal di rumah suaminya atau di rumah mahramnya.
Dan dia tidak keluar rumah kecuali untuk suatu kebutuhan yang mendesak dan bergegas
kembali apabila kebutuhannya telah terpenuhi.
2. Wajib bagi wanita tersebut untuk menjauhi segala bentuk perhiasan, wewangian, dan
aktivitas berhias, seperti bercelak, mengenakan inai (pacar) dan sebagainya yang dapat
membangkitkan hasrat lawan jenis untuk meminangnya. [Lihat Al-‘Adad wal Ihdaad (hal.
18), Al-Mughni (VII/518), Al-Muwaththa’ (II/599), Terj. Subulus Salam (III/117-123),
dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/408-411)]

Ketika Maut Memisahkan

Setiap yang hidup pasti merasakan mati. Tidak terkecuali bagi pasangan kita, suami tercinta.
Ketika Allah Al-Hayyu mengambil jiwa kekasih tercinta, apakah yang harus kita lakukan?

Ikhlas dan sabar

Tidak seorang pun terlepas dari nyeri yang berdenyut dalam jiwa, penyakit yang menginap dalam
badan, hilangnya kekasih hati dan lenyapnya harta benda. Semua kalangan tidak akan terluput
darinya, baik dia seorang yang baik atau pun jahat, demikian pula orang mukmin dan orang kafir.
Akan tetapi, bedanya adalah orang mukmin senantiasa menghadapi musibah dengan ridha dan
ketenangan yang memenuhi hatinya, kemudian membawanya kepada Allah Ta’ala, Yang
mengatur hati juga pandangan, karena dia memahami bahwa apa yang menimpanya tidak akan
20
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
pernah meleset, dan apa yang Allah Ta’ala jauhkan darinya tidak akan pernah menimpanya.
[Lihat Meniru Sabarnya Nabi (hal. 53)]

Ketika ajal sang kekasih hati -yang telah sekian lama menemani ayun langkah kita dalam
mengarungi bahtera rumah tangga- telah sampai pada waktunya, maka ketika itu pulalah kita
selaku istri diharuskan untuk menggenggam kesabaran atas takdir-Nya. Salah satu wujud ikhlas
dan sabar ketika menghadapi musibah adalah dengan ber-istirja’ (mengucapkan Inna lillahi wa inna

ُْ َ ْ َ َْ َ ّ َْ َ ُْْ َ َ ْ َ ّ ْ َ ْ ُ َّ َ ُ ْ َ َ َ
ilaihi raaji’un). Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
ّ ََ َ َ َّ َ َ ْ ْ
‫ـﺮ‬
ِ ‫ـﺸ‬ ِ ‫اتۗ وﺑ‬ ِ ‫ـﺲ واﻟﺜﻤـﺮ‬ ِ ‫ال وا ^ﻧﻔ‬ ِ ‫ﻮ ِع و ﻧﻘ ٍﺺ ِﻣﻦ ا ^ﻣﻮ‬²B‫’ﻮ ِف وا‬B‫ ٍء ِﻣﻦ ا‬aèéِ ‫وﻟ|ﺒـﻠﻮﻧـﻜﻢ‬
َ َ ُ
ْ‫ َﻠ ْﻴﻬـﻢ‬Jَ ‫ـﻚ‬ َ ْ ُ َ ْ َ َّ َ َّ ْ ُ َ ٌ َ ْ ُّ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َّ َ َّ
ِ ‫اﺟﻌـﻮنۗ ۝ اوﻟ ِﺌ‬ ِ ‫ ِﻪ ر‬R1‫ﷲ واِ ﻧﺎ ِا‬ِ ِ ‫ ِاذآ اﺻ ِﺎﺑﺘﻬـﻢ ﻣ ِﺼ)ﺒـﺔۗ ﻗﺎﻟﻮآ ِاﻧﺎ‬ÂÃÄِ ™‫ ْﻳﻦ ۝ ا‬Šِ ®ِ ‫اﻟﺼ‬
َ ْ ُ َ ْ ُْ ُ ُ َ َُ ٌ َ ْ
َ َ َ ْ ّ َ ّ ْ ّ ٌ ََ َ
‫ـﺌـﻚ ﻫـﻢ اﻟﻤﻬـﺘـﺪون ۝‬ ِ ‫ـﺔۗ واﻟ‬ÎÏ‫ﺻﻠﻮت ِﻣﻦ ر ِﺑ ِﻬـﻢ ور‬
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun
(Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya).’ Mereka itulah
yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-
orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157)

Ketahuilah pula olehmu wahai saudariku, bahwa sesungguhnya kesabaran yang terpuji adalah
kesabaran yang engkau hunus ketika musibah itu datang secara tiba-tiba. Sedangkan kesabaran
yang hadir sesudah musibah itu terjadi akan berbeda nilainya dengan kesabaran yang dilakukan
pada saat musibah itu terjadi. Karena kesabaran yang terjadi ketika musibah sedang berada di
puncaknya lebih besar dan lebih bermanfaat ketimbang kesabaran yang terjadi setelah musibah
itu berlalu. [Lihat Fat-hul Baari (III/149) dan Meniru Sabarnya Nabi (hal. 47)]

َ ُ ْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
ْ َّ َ ْ ْ َّ َ َّ
de‫ ْو‬n ‫ ِﻋﻨﺪ اﻟﺼﺪ َﻣ ِﺔ ا‬Šُ ®‫ِإﻧﻤﺎ اﻟﺼ‬
“Sesungguhnya kesabaran itu terjadi pada saat awal benturan (musibah).” [Hadits shahih. Riwayat
Bukhari (no. 1283) dan Muslim (no. 926), dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu]
Disunnahkan pula berdo’a untuk mendapatkan kebaikan dari musibah yang menimpanya,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu

ُ ْ َ ْ َ َ َ َ ُ ْ َ
Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
ْ ُ ْ َ َُ ُ َ َ
‫ ﻣﺎ ِﻣﻦ ﻣﺴ ِﻠ ٍﻢ‬:‫ﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﻘـﻮل‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ ﺳ ِﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻ‬:‫ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ‬fê‫ﻋﻦ أم ﺳﻠﻤﺔ ر‬
ْ ْ ََ َ ْ ُ ْ
ْ َّ َ َ
َ ّ ُ ْ ُ َ ْ َ َّ َ
َ
َّ ُ ُ َ َ َ َ ُ َ َ ٌ َ ْ ُ ُ ُ ْ ُ
‫ وأ‡ ِﻠﻒ‬ajِ ‫ ﻣ ِﺼ)ﺒ‬fgِ fkِ‫اﺟﻌﻮن( اﻟـﻠﻬﻢ أ ِﺟﺮ‬ ِ ‫ ِﻪ ر‬R1‫ﷲ و ِإﻧﺎ ِإ‬
ِ ِ ‫ﺗ ِﺼ)ﺒﻪ ﻣ ِﺼ)ﺒﺔ ﻓﻴﻘﻮل ﻣﺎ أﻣﺮه اﷲ ِ)إﻧﺎ‬
َ َ ََ ْ َ َ َ ْ ًْ َ
ْ‫ﻣﻦ‬Šٌ ْ ‡َ َ ْ ‫ أ ُّي ْاﻟ ُﻤ ْﺴﻠﻤ‬:‫ﺖ‬ُ ْ ُ َ َ َ َ ُ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َ ْ ً ْ َ ُ َ ُ
ِ ِِ ‫ ﻓﻠﻤﺎ ﻣﺎت أﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﻗﻠ‬:‫ ﻗﺎﻟﺖ‬.‫ا ِﻣﻨﻬﺎ‬Š ‡ ˜™ ‫ا ِﻣﻨﻬﺎ ِإ ^ أ‡ﻠﻒ اﷲ‬Š ‡ feِ
َ َ ْ َ َ َ ُ ْ ُ ّ َّ ُ َ َ َ
ُ ُ َ َ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َ َ
feِ ‫ ﻗﻠﺘﻬﺎ ﻓﺄ‡ﻠﻒ اﷲ‬fkِ‫ﻪ وﺳﻠﻢ ؟ ﺛﻢ ِإ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ﻮل اﷲِ ﺻ‬ ِ ‫ رﺳ‬de‫ﺖ ﻫﺎﺟﺮ ِإ‬ ٍ )‫ أول ﺑ‬,‫ ﺳﻠﻤﺔ‬fìِ ‫أ‬
ُ
‫ﻪ وﺳﻠﻢ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫َر ُﺳﻮل اﷲِ ﺻ‬
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Setiap Muslim yang tertimpa
musibah, lalu mengucapkan sebagaimana yang diperintahkan Allah “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Allahumma aajirni fii mushiibatii wa akhliflii khairan minhaa” (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan
Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kami akan kembali, Yaa Allah, limpahkanlah kepadaku
pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya), melainkan pasti Allah memberi
pahala kepadanya dalam musibahnya tersebut dan memberi ganti yang lebih baik darinya.’

Kemudian tatkala Abu Salamah meninggal dunia, aku berkata: ‘Siapakah di antara orang-orang Muslim
yang lebih baik daripada Abu Salamah, ia beserta keluarganya yang pertama kali hijrah kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Kemudian aku mengucapkan istirja’ ini, lalu Allah memberi
ganti kepadaku yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/37
no. 918), Ahmad (VI/309), Al-Baihaqi (IV/65) dan Abu Dawud (no. 926). Lihat juga Silsilah Ash-
Shahiihah (no. 734)]
21
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Tidak meratapi kematiannya

Bersedih dan menangis atas sebuah musibah adalah sesuatu hal yang wajar, tetapi janganlah
sampai berlebihan. An-Niyahah maksudnya adalah teriakan keras yang disertai dengan tangisan
secara berlebihan. Tindakan ini biasa dilakukan oleh kaum wanita Jahiliyyah, di mana mereka
berdiri berhadapan sambil berteriak-teriak dan menabur-naburkan tanah di atas kepala mereka
sambil memukuli wajah mereka. [Lihat Syarh Shahih Muslim (II/598)]

Banyak kita temui para wanita yang menangisi kematian orang yang dicintainya dengan
berlebihan, sambil menjerit-jerit, merobek-robek pakaiannya, menampar-nampar pipinya,
menjambak rambutnya, dan sebagainya. Ketahuilah saudariku, perbuatan semacam ini adalah
perilaku wanita-wanita jahiliyah, yang kita dilarang untuk mengikuti dan menyerupai perilaku

َْ ْ َ ُ ُ ْ َ َ َ ْ َ َّ َ
mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ﺎﻫ ِﻠ َّﻴ ِﺔ‬ ² B‫ا‬ ‫ى‬ َ ‫ ﺑ َﺪ ْﻋ‬díَ ‫ َو َد‬,‫ﻮب‬


‫ﻮ‬ َ ‫ ُﻴ‬²ُ B‫ َو َﺷ َّﻖ ا‬، ‫ود‬ ‫ﺪ‬ ’ B‫ا‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻄ‬ ‫ﻟ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬ 0 ‫ﻣ‬ ‫ﺲ‬َ )ْ ‫ﻟ‬
ِ ِ ِ
“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang memukuli pipi, merobek-robek pakaian, dan berteriak
dengan teriakan Jahiliyah (ketika ditimpa musibah).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari dalam Fat-hul
Baari (III/127-128 no.1294), Muslim (I/70 no. 103), Tirmidzi (no. 1004), An-Nasa’i (IV/19), Ibnul
Jarud (hal. 257), dan Al-Baihaqi (IV/63-64) dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu]

Perbuatan semacam ini diharamkan oleh syari’at karena dapat membangkitkan kesedihan dan
menghilangkan kesabaran, juga bertentangan dengan sikap tawakkal (berserah diri) terhadap
takdir Allah dan tunduk atas ketetapan-Nya. [Lihat Syarh Shahih Muslim (II/598)]

Ketahuilah pula olehmu wahai saudariku, seorang wanita yang meratapi mayat jika dia tidak
bertaubat sebelum datang kematiannya, maka kelak dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat

َ ْ ٌ َ ْ ََ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َُ َ ْ َ ْ ُ َ ْ َ ّ ُ َ َّ
dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari cairan tembaga dan baju dari besi karatan.
ْ َ ْ ٌ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ
‫ان و ِدرع ِﻣﻦ ﺟﺮ ٍب‬
ٍ ‫ـﻄﺮ‬ِ ‫ﺑﺎل ِﻣﻦ ﻗ‬sîِ ‫ﻠﻴﻬﺎ‬J‫ ﺗﻘﺎم ﻳﻮم اﻟ ِﻘﻴﺎﻣ ِﺔ و‬، ‫ﺔ ِإذا ﻟﻢ ﺗ¶ﺐ ﻗﺒﻞ ﻣﻮ ِﺗﻬﺎ‬A»‫ ِﺎ‬01‫ا‬
“Wanita yang meratap jika tidak bertaubat sebelum kematiannya, maka dia akan dibangkitkan
kelak pada hari Kiamat dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari cairan tembaga dan
memakai baju besi karatan.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/45 no. 934), Ahmad (V/432), Al-
Hakim (I/383) dan Al-Baihaqi (IV/63), dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu]

Catatan:

Di kalangan masyarakat terdapat sebuah amalan yang biasa dilakukan pasca kematian seseorang,
yaitu tahlilan. Ketahuilah olehmu wahai saudariku muslimah, bahwa dalam masalah ini, tidak ada
satu pun dalil shahih yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mensyari’atkan tahlilan atau berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit di mana pihak keluarga
membuat makanan untuk mereka agar mereka mendo’akan mayit tersebut. Kebiasaan ini tidak
ada manfaatnya sama sekali, baik bagi mayit maupun bagi keluarga mayit. Ini adalah salah satu
dari sekian banyak amalan bid’ah yang sering di anggap hasan (baik) oleh sebagian besar
masyarakat yang belum benar-benar memahami makna ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah). Dan
para ‘ulama menganggap amalan ini sebagai salah satu bentuk ratapan untuk mayit yang kita telah
dilarang untuk melakukannya. Allahul musta’an.

Berkabung atas kematian suami (ihdaad)

Kata al-ihdaad dan al-hidaad diambil dari lafazh al-haddu, yang artinya menahan atau melarang.
Secara istilah, ihdad berarti keadaan dimana seorang wanita dilarang untuk berhias dan
melakukan semua hal yang dapat menarik hasrat lelaki lain untuk melamarnya, dalam rangka
berkabung atas meninggalnya suaminya. [Lihat Al-‘Idad wal Hidad (hal. 18), Al-
Mughni (VII/518), Al-Muwaththa’ (II/599), Ahkaamul Janaaiz (hal. 23-24), dan Zaadul
Ma’aad (V/705)]

Lamanya masa berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10
َ َ ُ ْ َ َ ْ َّ َ َ َ ً َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ ْ ُ ْ َ ْ َّ َ َ َ َ ْ َّ َ
hari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ً ْ َ َ ُ ْ َ َ َ ْ َّ
‫ا ۝‬s¯‫ـﻬـﻦ أرﺑﻌﺔ أﺷﻬ ٍﺮ وﻋ‬ ِ ‫ـﺴ‬
ِ ‫ﺑﺼﻦ ِﺑﺄﻧﻔ‬Š‹‫ﺎ ﻳ‬5‫ ﻳﺘﻮﻓﻮن ِﻣﻨﻜﻢ وﻳﺬرون أزو‬ÂÃÄِ ™‫وا‬
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri
itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah selama) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. Al-Baqarah: 234)
22
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII

َ َ َ َّ َ َ َ ْ َ ّ َ َ َ َّ َ ْ َ ْ ْ َ
ْ َ َ ْ ُّ َ َ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda tentang hal serupa, beliau berkata,
ْ
‫ زو ٍج‬UVJ ^ ‫ ِإ‬،‫ث‬ َ َ ُ
ٍ ‫ﺖ ﻓ ﻮق ﺛ‬ ٍ )ِ ‫ ﻣ‬UVJ ‫ﺪ‬A•ِ (‫“ﺧ ِﺮ )أن‬
ِ ‫ﻮم ا‬ ِ ‫ﻞ ِ^ﻣﺮأ ٍة ﺗﺆ ِﻣﻦ ِﺑﺎﷲِ واﻟﻴ‬Aˆ
ِ ^
َ َ
ً ْ َ َ ُ ْ َ ََْ
.‫ا‬s¯‫ـﺮ وﻋـ‬ ٍ ‫أ ر ﺑ ﻌ ﺔ أ ﺷﻬ‬
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas
kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan
sepuluh hari.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (III/114 dan IX/400-401), dari Zainab binti Abi
Salamah radhiyallahu ‘anhuma]

Catatan:
Masa berkabung (ihdaad) seorang wanita bisa lebih panjang dari masa ‘iddahnya. Seorang wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya hanya sampai dia
melahirkan kandungannya, meskipun suaminya baru meninggal dalam hitungan menit. Namun,
dibolehkan baginya untuk berkabung atas kematian suaminya hingga empat bulan sepuluh hari.

Istri boleh menziarahi makam suami

Ziarah kubur disyari’atkan bagi seorang wanita, karena di dalamnya terkandung pelajaran bagi
yang hidup, dapat melembutkan hati dan meneteskan air mata serta mengingatkan kita akan
kehidupan akhirat, dengan syarat wanita tersebut tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat
Allah murka kepadanya. [Lihat Ahkaamul Janaaiz (hal. 179-181), Terj. Al-Wajiz (hal. 376-377),
dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/401)]

Seorang wanita yang ingin menziarahi makam suaminya, hendaknya dilakukan setelah
masa ‘iddahnya selesai dan ditemani oleh mahramnya. Ketika dia memasuki area pemakaman,
maka hendaklah dia mengucapkan salam (dengan syarat pemakaman tersebut khusus kaum

ْ َ ْ ُْ ُ ُ َ َْ َ َْ ْ ُْ َ َ َ
ْ ُْ َ ْ َ َ ُ َ َّ َ
muslimin). Lafazhnya adalah,
َّ َ ْ َ ّ
‫ﺎ‬0‫ـﺪ ِﻣ ِﻣ‬
ِ ‫ﻳ ِﺎر ِﻣﻦ اﻟﻤﺆ ِﻣ ِﻨ ِ واﻟﻤﺴ ِﻠ ِﻤ وﻳﺮﺣـﻢ اﷲ اﻟﻤـﺴـﺘـﻘ‬°™‫ا‬ ِ ‫ أﻫ ِﻞ‬UVJ ‫اﻟﺴ م‬
َ ُ َ َ ُ ُ َ َ ْ َّ َ َ ْ ْ
َ ْ ُْ َ
.‫اﷲ ِﺑﻜ ْﻢ _ ِﺣﻘﻮن‬ ‫ـﺴـﺘﺄ ِﺧ ِﺮﻳﻦ و ِإﻧﺎ ِإن ﺷﺎء‬ ‫واﻟﻤ‬
“Assalaamu ‘alaa ahlid diyaar minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul mustaqdimiina
minnaa wal musta’khiriin, wa inna in-syaa Allahu bikum lalaahiquun.”

Artinya, “Keselamatan bagimu wahai penghuni kubur dari kalangan mukminin dan muslimin, semoga
Allah menyayangi orang yang terdahulu dan terakhir di antara kita, dan sesungguhnya kami insya Allah
akan menyusul kalian.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/114 no. 974), Ahmad (VI/221),
‘Abdurrazzaq (III/570-571 no. 6712), Al-Baihaqi (IV/79), dan An-Nasa’i (I/286, II/160 dan 160-
161), dari jalur ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha]

Catatan:
a. Ketika berziarah kubur, tidak disyari’atkan untuk melakukan berbagai macam bentuk
peribadatan, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, berkurban, dan lain sebagainya, karena kuburan
bukanlah tempat yang disyari’atkan untuk beribadah. [Lihat Ahkaamul Janaaiz mengenai
masalah bid’ah ketika ziarah kubur (hal. 203)]

b. Hendaknya seorang wanita tidak terlalu sering melakukan ziarah kubur karena dikhawatirkan
akan jatuh dalam kemaksiatan seperti, tabarruj, ikhtilath, dan lain sebagainya.

Beberapa Masalah Seputar Perceraian

Hak Asuh Anak ( Hadhanah )


Jika seorang wanita ditalak, dia lebih berhak untuk mengurusi anaknya pada suaminya selama
wanita tersebut belum menikah lagi. Jika dia menikah, maka suaminya yang lebih berhak untuk
َ َ
َْ ْ َ َ
mengurusinya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ,
ُّ َ ْ
.fï‫ـ‬
ِ ‫ﺖ أﺣﻖ ِﺑ ِﻪ ﻣﺎﻟﻢ ﺗﻨ ِﻜ‬ ِ ‫أﻧ‬
“ Kamu lebih berhak untuk (mengurus) anak itu selama kamu belum menikah.” [Hadits hasan. Riwayat
Abu Dawud (no. 2276) dan Ahmad (II / 182)]
23
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Adapun seorang anak yang tidak lagi membutuhkan asuhan, maka anak tersebut diberi pilihan
untuk mengikuti bapaknya atau ibunya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam ketika ada seorang wanita yang datang kepadanya untuk mengadu masalah bantahan

َ َ ََ َ ْ َ ُ َ
َ ّ َ ْ ُ َ َ ُّ َ َ َ ُ َ َ َُ ُ َ
anak dengan suaminya, maka Nabi shallallahu' alaihi wa sallam bersabda kepada anaknya,
َ
‫ ﻓﺄ‡ﺬ ِﺑﻴ ِﺪﻫﺎ‬، ‫ﺖ‬ã‫ ﻓﺨـﺬ ِﺑﻴ ِﺪ أ ِﻳ ِﻬـﻤﺎ ِﺷ‬، ‫ـﺬ ِه أﻣﻚ‬
ِ ‫ ﻫـﺬا أﺑﻮك وﻫ‬، ‫ﻳﺎﻏ م‬
“ Wahai anak laki-laki, ini adalah bapakmu dan ini adalah ibumu, maka ambillah tangan salah satu dari
yang kamu inginkan.” Lalu dia (anak itu) mengambil tangan ibunya, kemudian ibunya membawanya
pergi. [Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud (no. 2277), Tirmidzi (no. 1357), An-Nasa'i (VI / 185), dan
Ibnu Majah (no. 2351)]

Sedangkan anak yang lahir dari seorang wanita yang melakukan li’an , maka anaknya dinisbatkan
kepada ibunya (yakni nasabnya). Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Umar radhiyallahu' anhuma ,

,‫ﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﺘ ﻋﻨﺎ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ زﻣﺎن رﺳﻮل اﷲ ﺻ‬fg ‫ﻫﺎ‬°™‫ ﻣﻦ و‬ðñ‫ اﻣﺮأﺗﻪ واﻧﺘ‬dÙ‫ر‬ 5‫أن ر‬

. ‫ﻋﻨ‬ ‫اﻟﻤﺘ‬ ‫ _ﻠﻤﺮأة وﻓﺮق ﺑ‬°™‫ ﺑﺎﻟﻮ‬ih‫ ﺛﻢ ﻗ‬,de‫ﻛﻤﺎ ﻗﺎل اﷲ ﺗﻌﺎ‬


“ Bahwasanya pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ada seorang laki-laki yang menuduh
istrinya berzina. Dia tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam lantas memerintahkan untuk melakukan li’an dalam firman Allah Ta'ala. Setelah itu, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memutuskan bahwa anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya dan dia
pasangan suami istri tersebut. ” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4748) dan Muslim (no. 1494)]
Anak yang berkembang di luar nikah dinisbahkan kepada ibunya. Karena anak tersebut bukan

َ َْ َْ َ ْ ََُْ
keturunan bapaknya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

‫ﺠﺮ‬AB‫ﺎﻫ ِﺮ ا‬ َ
ِ ‫ ِ_ﻠ ِﻔﺮاش و ِ_ﻠﻌ‬°™‫اﻟﻮ‬
“Anak itu milik suami. Sementara orang yang berzina mendapatkan penyesalan ”(Muttafaq 'alaihi)

Nafkah dan Tempat Tinggal untuk Wanita yang Ditalak

Ada empat keadaan wanita yang ditalak, terkait dengan hak nafkah dan tempat tinggal:

Pertama , wanita yang ditalak dengan talak raj-'i (talak yang masih memungkinkan untuk rujuk)

Pada keadaan ini, wanita berhak mendapatkan tempat tinggal dari suaminya selama menjalani
masa 'iddahnya . Allah berfirman:

‫ إذا ﻃﻠﻘﺘﻢ اﻟ|ﺴﺂء ﻓﻄﻠﻘﻮﻫﻦ ﻟﻌﺪ ﺗﻬﻦ وأﺣﺼﻮا اﻟﻌﺪة واﺗﻘﻮا اﷲ رﺑﻜﻢ ^ •’ﺮﺟﻮﻫﻦ‬ab‫ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻟﻨ‬

...‫ﺑﻔﺤﺸﺔ ﻣ•ﻴﻨﺔ‬ ‫ﻣﻦ ﺑﻴﻮﺗﻬﻦ و ^ ˆ’ﺮﺟﻦ إ “ أن ﻳﺄﺗ‬


“Wahai Nabi, silakan kamu menceraikan istri-istrimu maka inginkanlah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu' iddah itu, serta bertakwalah
kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari penjara dan janganlah (turunkan) keluar
kecuali mereka melakukan perbuatan yang keji dengan jelas .. ” (Qs. Ath-Thalaaq: 1)
َ ْ
ُ َ ْ َّ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ ُّ َ ُ َ َ َّ َ َّ
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun pernah bersabda,
ْ َ
.‫ﻠﻴﻬﺎ اﻟﺮﺟﻌﺔ‬J ‫ن ِﻟﺰو ِﺟﻬﺎ‬.§‫ ِ_ﻠﻤﺮأ ِة ِإذا‬iÞ‫ِإﻧﻤﺎ اﻟﻨﻔﻘﺔ واﻟﺴﻜ‬
“ Nafkah dan tempat tinggal adalah hak istri, jika suami memiliki hak rujuk dia.” [Hadits
shahih. Riwayat An-Nasa'i (VI / 144)]

Kedua , wanita yang telah ditalak dengan talak ba-'in (setelah tiga kali talak)

Dalam keadaan ini, wanita tidak berhak lagi untuk mendapatkah nafkah juga tempat tinggal atas
suaminya.

Dalilnya, kejadian yang menguntungkan Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anha yang telah ditalak
dengan talak ba'in kubra oleh suaminya, Abu' Amr bin Hafsh. Kemudian ia (Fathimah) berkata,
24
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII

‫ و ^ ﻧﻔﻘﺔ‬iÞ‫ ﺳﻜ‬fe ‫ﻌﻞ‬²ˆ ‫ ﻓﻠﻢ‬,‫ واﻟﻨﻔﻘﺔ‬iÞ‫ اﻟﺴﻜ‬fg ‫ﻪ وﺳﻠﻢ‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ رﺳﻮل اﷲ ﺻ‬de‫ﻓﺨﺎﺻﻤﺘﻪ إ‬

.‫ ﺑ)ﺖ اﺑﻦ أم ﻣﻜﺘﻮم‬fg ‫ أن أﻋﺘﺪ‬fk‫وأﻣﺮ‬


“ Lalu aku mengadu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang tempat tinggal dan nafkah,
beliau tidak menjadikan bagiku hak untuk mendapatkan tempat dan nafkah, dan memerintahkanku
agar melakukan' iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1480)]
[Lihat Ensiklopedi Larangan (III / 95-96)]

Ketiga , wanita yang ditalak dalam kondisi hamil

َ ْ َ َ ْ َ َ َّ َ َّ ْ َ َ ََْ ْ َ َ ُ َّ ُ ْ
Mereka berhak mendapatkan nafkah hingga melahirkan, Allah Ta'ala berfirman:
ّ َ ُ ُ ْ َ
…ۚ‫ﻠﻬـﻦ‬ÎÏ ‫ ﻳﻀـﻌـﻦ‬ij‫ﻠﻴ ِﻬﻦ ﺣ‬J ‫ـﻔـﻘـﻮا‬ ِ ‫ ٍﻞ ﻓﺄﻧ‬ÎÏ ‫ﺖ‬
ِ ‫…و ِإن ﻛﻦ أوﻟ‬
“… Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya ..” (Qs. Ath-Thalaaq: 6)

Keempat , wanita yang berasal dari pasangan karena li’an

Mereka tidak berhak mendapatkan nafkah atau tempat tinggal. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II /
435)]

Mut'ah untuk Wanita yang Ditalak

Al-Mut'ah adalah harta yang diserahkan kepada wanita yang ditalak. Harta tersebut dapat berupa
pakaian, uang, perhiasan, pembantu, atau yang lainnya. Besarnya berbeda-beda sesuai dengan
keadaan ekonomi suami.

Al-Mut'ah merupakan hak untuk setiap wanita yang ditalak, berdasarkan keumuman firman

َّ ُ ْ َ َ ًّ َ ْ َّ َ ْ َ
Allah Ta'ala ,
َ
‫ـﻘـ ْ ۝‬ ‫ﺘ‬ ‫ﻤ‬ ‫اﻟ‬ U V J ‫ﺎ‬ ‫ﻘ‬ ‫ﺣ‬ ۖ
‫وف‬ ُ ‫ـﻄﻠ َﻘـﺖ َﻣ َﺘ ٌﻊ ﺑﺎﻟ َﻤ ْﻌ‬
‫ـﺮ‬ ‫و ِ_ﻠ ُﻤ‬
ِ ِ ِ ِ
“ Dan bagi wanita-wanita yang diceraikan, dicarilah yang diberi mut'ah menurut cara yang patut,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yangaqwa.” (Qs. Al-Baqarah: 241)

ْ ًَ َ ُ َ َ َ ْ ْ َ َ ْ َ َ َّ ُ ُ ّ َ
Allah juga berfirman:
ُ ُ ُ َ ُ ُ َ َ ُ َ
… ‫ ﻣﺘﻌﺎ ﺑﺎﻟﻤﺤﻌﺴـﺮوف‬، ‫ ﻗـﺪره‬Šِ ‹‫ اﻟﻤـﻘـ‬UVJ‫ و‬، ‫ﻮﺳ ِﻊ ﻗـﺪره‬
ِ ‫ اﻟﻤ‬UVJ ‫وﻣ ِﺘﻌﻮﻫﻦ‬
“ ...Dan yang cocoklah kamu beri mereka mut'ah, bagi yang mampu menurut kemampuan dan bagi yang
tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu mempersembahkan dengan cara yang patut, yang
merupakan kewajiban bagi orang-orang yang bernafsu bagi orang-orang.” (Qs. Al-Baqarah: 236)

Ketentuan ini berlaku bagi wanita yang sudah dicampuri maupun bagi wanita yang belum
dicampuri ketika ditalak. Khusus bagi wanita yang ditalak sebelum dicampuri maka ada dua
rincian hukum:

Sebuah. Maharnya telah ditentukan dalam akad nikah. Wanita berhak mendapatkan setengah
dari mahar yang diucapkan dalam akad nikah.

b. Maharnya belum ditentukan ketika akad nikah, maka dia mendapatkan mut'ah dengan kadar
yang tidak ditentukan. [Lihat Al-Mughni (X / 139 - Al-Kitaabul 'Arabi ), Al-Haawi (XIII / 101),
dan Ibnu' Abidin (III / 111)]

Demikianlah pembahasan singkat mengenai perpisahan yang terjadi di antara suami dan
istri. Semoga menjadi suatu pembelajaran dan bahan renungan baik bagi setiap pasangan suami
istri yang sedang dilanda prahara dalam rumah tangganya dan merekomendasikan untuk
berpisah.

Sumber:
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
di https://muslimah.or.id
25
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII

Wanita yang ditalak dengan talak satu atau dua, masih memungkinkan untuk
dirujuk oleh suaminya. Apa yang dimaksud dengan rujuk, dan bagaimana hukum-
hukumnya?
Definisi Rujuk
Dalam bahasa Arab, rujuk (‫)اﻟﺮﺟﻮع‬, atau disebut juga dengan kata raj’ah atau rij’ah (‫ )اﻟﺮﺟﻌﺔ‬memiliki
arti kembali. Dikatakan seseorang merujuk istrinya apabila dia mengembalikan istrinya kepada
dirinya setelah dicerai atau ditalak. Adapun yang dimaksud dengan rujuk menurut istilah para
ahli fikih adalah: kembalinya wanita yang telah ditalak dengan talak raj’i, kepada keadaan semula
tanpa melalui akad. [1]

Dalil Disyariatkannya Rujuk


َ َ
ً َ ْ ّ َ ‫َ ُ ُ َ ُ ُﱠ َ ﱡ‬
Dalil dari Al-Quran adalah firman Allah,
ُ َ ْ َ َٰ ‫ﱠ‬
‫ﺎ‬Œ ‫ ذ ِ_ﻚ ِإن أرادوا ِإﺻ‬fgِ ‫وﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ أﺣﻖ ِﺑﺮ ِد ِﻫﻦ‬
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah.” [2]

َ ُ ْ َ َ ‫َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ُﱠ‬
Dan juga firman-Nya,
ُ ْ َ ‫ﱠ‬ ُ ُ َ ْ ُ ْ َ ‫ﱠ‬ ُ
‫وف‬
ٍ ‫وف أو ﻓ ِﺎرﻗﻮﻫﻦ ِﺑﻤﻌﺮ‬
ٍ ‫ﻠﻬﻦ ﻓﺄﻣ ِﺴﻜﻮﻫﻦ ِﺑﻤﻌﺮ‬5‫ﻓ ِﺈذا ﺑﻠﻐﻦ أ‬
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik.” [3]

Sedangkan dari As-Sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang
Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mentalak (menceraikan) istrinya ketika

ْ ََُْ ُ ْ ُ
sedang haid,

‫اﺟﻌ َﻬﺎ‬
ِ Š ‫ﻣﺮه ﻓﻠ‬
“Perintahkan dia untuk merujukinya.” [4] [5]

Demikian pula dari perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, beliau pernah merujuk
Hafshah yang telah dicerai sebelumnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar bin

َ َ ‫َ ﱠ َ َ ْ َ َ ُﱠ‬ ‫َﱠ َ ُ َ ﱠ‬
Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
َ‫اﺟ َﻌﻬﺎ‬‫ﻪ وﺳﻠﻢ – ﻃﻠﻖ ﺣﻔﺼﺔ ﺛﻢ ر‬RSJ ‫ اﷲ‬UV‫ﺻ‬- ‫اﷲ‬
ِ ‫أن رﺳﻮل‬
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mentalak Hafshah, kemudian beliau merujuknya
kembali.” [6]

Dan telah terjadi ijmak (kesepakatan) para ulama fikih atas disyariatkannya rujuk pada wanita
merdeka yang ditalak dengan talak satu atau dua, dan wanita budak yang ditalak dengan talak satu,
selama mereka dalam masa iddah. Ijmak ini telah dinukilkan oleh banyak para ulama; di antaranya
adalah Ibnul Mundzir [7], Ibnu Hazm [8], dan Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah [9] [10].

Hikmah Disyariatkannya Rujuk


Dibolehkannya rujuk seorang suami kepada istrinya yang ditalak merupakan salah satu nikmat
Allah. Karena terkadang talak terjadi karena emosi, karena marah, dan terjadi tanpa ada pikir
panjang akan akibat-akibat buruknya. Apabila seorang laki-laki berpisah dari istrinya, kemungkinan
besar dirinya akan merasa rindu kepada istrinya. Dan dengan adanya syariat rujuk ini, dia bisa
kembali kepada istrinya. Oleh karena itulah syariat rujuk ini Allah adakan untuk kehidupan rumah
tangga sebagai wujud rahmat dan kasih sayang Allah kepada pasangan suami istri, dan merupakan
nikmat Allah kepada mereka sehingga mereka bisa mendapatkan kebahagiaan. [11]

Hukum Rujuk
Pada asalnya, hukum rujuk adalah mubah. Karena rujuk adalah hak suami. Berdasarkan firman
َ َ
ً َ ْ ّ َ ‫َ ُ ُ َ ُ ُﱠ َ ﱡ‬
Allah,
ُ َ ْ َ َٰ ‫ﱠ‬
‫ﺎ‬Œ ‫ ذ ِ_ﻚ ِإن أرادوا ِإﺻ‬fgِ ‫وﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ أﺣﻖ ِﺑﺮ ِد ِﻫﻦ‬
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah.” [12]
26
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
Rujuk menjadi wajib – menurut Hanafiyah dan Malikiyah – ketika seorang laki-laki mentalak
istrinya dengan talak satu (atau dua) dalam keadaan istri yang haid. Maka talak ini disebut talak bid’i
dan harus dikoreksi. Sedangkan pengoreksian talak ini tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan
rujuk terlebih dahulu.
Dalilnya adalah kisah Ibnu Umar yang mentalak istrinya yang sedang haid, lalu diperintahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merujukinya. Namun menurut Syafi’iyah dan
Hanabilah, hukum rujuk dalam keadaan tersebut adalah sunah.
Hukum rujuk menjadi sunah (mandub) apabila suami istri itu menyesali terjadinya talak, terutama
apabila mereka memiliki anak-anak yang kemaslahatan menuntut mereka untuk diasuh oleh kedua
orang tuanya. Maka rujuk menjadi sunah karena memandang kemaslahatan yang diperhatikan oleh
Allah yang membuat syariat ini.
Kemudian hukum rujuk menjadi haram apabila suami merujuki istrinya dengan tujuan untuk
menyusahkan dan memberikan mudarat kepada istrinya. Allah telah melarang hal ini dalam firman-

ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َٰ ْ َ ْ ُ َ َّْ ُ ُ ُ َ
Nya,

‫ ًارا ِﻟﺘﻌﺘﺪوا َو َﻣﻦ َﻳﻔﻌﻞ ذ ِ_ﻚ ﻓﻘﺪ ﻇﻠ َﻢ ﻧﻔ َﺴﻪ‬sَ £ِ ‫َو ^ ﺗ ْﻤ ِﺴﻜﻮﻫﱠﻦ‬


“Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri.” [13]

Selanjutnya, hukum talak menjadi makruh apabila suami memandang dia tidak akan bisa
menegakkan batasan-batasan Allah dalam rumah tangga apabila dia merujuki istrinya kembali. [14]

Syarat Sahnya Rujuk


Disyaratkan beberapa hal berikut agar rujuk menjadi sah.
1. Wanita yang dirujuk adalah istri yang sebelumnya pernah digauli oleh suami yang
menceraikannya. Karena jika wanita itu belum pernah digauli olehnya, maka tidak ada
َ َ
ُ ُ ُ ْ ‫ُﱠ َ ﱠ‬ َ ْ ُْ ُ ُ ْ َ َ َ ُ َ َ ‫َ ﱡَ ﱠ‬
kesempatan rujuk bagi suami. Karena wanita itu tidak memiliki masa iddah. Allah berfirman,
‫ﱠ‬ ُ ‫ََ ﱡ‬ ْ َ ‫ﱠ‬
‫ﺎت ﺛﻢ ﻃﻠﻘﺘﻤﻮﻫﻦ ِﻣﻦ ﻗﺒ ِﻞ أن ﺗﻤﺴﻮﻫﻦ‬ ِ 0‫ﻜﺤﺘﻢ اﻟﻤﺆ ِﻣ‬Ø ‫ﻮا ِإذا‬0‫ آﻣ‬ÂÃÄِ ™‫ﻳﺎ أﻳﻬﺎ ا‬
َ ‫َ َ َ ُ ْ ََْ ﱠ ْ ﱠ َْ َ ﱡ‬
َ‫وﻧﻬﺎ‬ ‫ﺪ ٍة ﺗﻌﺘﺪ‬Jِ ‫ﻠﻴ ِﻬﻦ ِﻣﻦ‬J ‫ﻓﻤﺎ _ﻜﻢ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman,
kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” [15]
2. Rujuk terjadi setelah terjadinya talak raj’i, talak yang masih memungkinkan bagi suami
untuk merujuki istrinya. Yaitu talak yang pertama atau yang kedua. Adapun talak yang
ketiga kali maka tidak ada hak rujuk bagi suami pada talak tersebut. Demikian pula tidak ada
hak rujuk bagi suami apabila perceraian atau perpisahan suami istri yang disebabkan karena
khuluk, di mana istri memberikan ganti kepada suami atas mahar yang dahulu diberikan
suami kepadanya.
3. Wanita yang dirujuk itu masih berada dalam masa iddahnya. Apabila sudah berakhir masa
iddahnya, maka tidak boleh rujuk kepadanya kecuali dengan keridhaan wanita itu dan
َ َ
ً َ ْ ّ َ ‫َ ُ ُ َ ُ ُﱠ َ ﱡ‬
dengan akad nikah yang baru. Allah berfirman,
ُ َ ْ َ َٰ ‫ﱠ‬
‫ﺎ‬Œ ‫ ذ ِ_ﻚ ِإن أرادوا ِإﺻ‬fgِ ‫وﺑﻌﻮﻟﺘﻬﻦ أﺣﻖ ِﺑﺮ ِد ِﻫﻦ‬
“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah.” [2]
4. Suami yang merujuk adalah orang yang layak untuk merujuk. Yaitu keadaannya sebagai
orang yang baligh dan berakal. Meskipun syarat ini diperselisihkan oleh para ulama ahli fikih.
5. Rujuk yang dilakukan adalah rujuk tanpa syarat, yakni tidak tergantung pada suatu syarat.
Apabila tergantung pada suatu syarat maka rujuknya tidak sah; misalnya suami berkata
kepada istrinya “jika si fulan datang, maka kamu saya rujuk”. Kalimat rujuk ini adalah kalimat
rujuk yang digantungkan pada kedatangan si fulan. Maka rujuk yang seperti ini tidak
sah. [16]

Saksi dalam Rujuk


Para ahli fikih sepakat atas disukainya mengangkat dua orang saksi yang adil dalam pelaksanaan
rujuk. Karena keberadaan saksi ini akan menghilangkan keraguan pada terjadi dan tidaknya rujuk,
serta untuk menolak tuduhan jelek ketika suami telah kembali berhubungan dengan istrinya, dan
sebagai antisipasi agar tidak ada pengingkaran dari pihak istri atas rujuknya suami apabila masa
iddah telah habis. [17] Akan tetapi para ulama berbeda pendapat, apakah adanya dua orang saksi ini
27
Materi Pengayaan PAI dan Budi Pekerti Kelas XII
wajib hukumnya sehingga bisa mempengaruhi sah dan tidaknya rujuk? Dalam hal ini terdapat dua
pendapat, yaitu:

Pendapat pertama:
Pendapat Hanafiyyah, Malikiyyah, dan pendapat baru (qaul jadid) dari Asy-Syafi’i, serta salah
satu dari dua riwayat Ahmad; menyatakan bahwa mempersaksikan rujuk hukumnya
mustahab (tidak wajib). Pendapat ini juga diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ammar bin
Yasir radhiyallahu ‘anhuma. Sehingga barangsiapa yang merujuki istrinya tanpa menjadikan
orang lain sebagai saksi, maka sah rujuknya.
Pendapat kedua:
Asy-Syafi’i dalam pendapatnya yang terdahulu (al-qadim), dan menurut riwayat kedua dari
Ahmad; menyatakan bahwa menjadikan saksi dalam rujuk adalah wajib. Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Mengangkat saksi dalam rujuk bukan merupakan syarat,
tidak pula merupakan kewajiban. Ini menurut pendapat yang lebih kuat.” [18]

Tata Cara Rujuk


Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama ahli fikih, bahwa rujuk terjadi dengan ucapan. Seperti
misalnya seorang suami berkata, “Aku rujuk kepadanya”, atau ucapan semisalnya. Dan mereka
berbeda pendapat tentang apakah rujuk bisa terjadi (sah) dengan perbuatan atau tidak. Dalam hal
ini ada dua pendapat:

Pendapat pertama:
Bahwa rujuk tidak akan sah apabila dilakukan dengan perbuatan seperti jimak atau yang lain.
Karena rujuk tidak boleh dilakukan kecuali dengan ucapan. Ini adalah pendapatnya
Syafi’iyyah. Mereka berargumentasi bahwa rujuk adalah mengembalikan ikatan pernikahan.
Sehingga sebagaimana akad nikah tidak sah kecuali dengan ucapan apabila memang mampu,
maka demikian pula halnya dengan rujuk.

Pendapat kedua:
Bahwa rujuk bisa terjadi dengan perbuatan yang disertai niat. Maka seandainya seorang
suami menggauli istrinya yang masih dalam masa iddah karena talak raj’i, atau dia
menciumnya, atau menyentuhnya dengan disertai niat untuk rujuk, maka terjadilah rujuk
dengan sebab itu. Ini adalah pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama ahli fikih. [19]

Referensi
1. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah, 5/109.
2. QS. Al-Baqarah: 228
3. QS. Ath-Thalaq: 2.
4. HR. Al-Bukhari no. 5251.
5. HR. Muslim no. 1471.
6. HR. Abu Dawud no. 2283.
7. Al-Ijma’, hlm. 80 dan 89.
8. Maratib Al-Ijma’, hlm. 75.
9. Al-Mughni, 8/470.
10. Al-Mughni, 8/476.
11. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, 4/218.
12. QS. Al-Baqarah: 228.
13. QS. Al-Baqarah: 231.
14. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22/106-107.
15. QS. Al-Ahzab: 49.
16. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah, 5/110-112.
17. Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, 4/223.
18. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 22/113-114.
19. Al-Fiqhul Muyassar Mausu’ah Fiqhiyyah Haditsah, 5/113-114.

Sumber: https://wikimuslim.or.id/rujuk/

Anda mungkin juga menyukai