Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan lembaga keuangan Syariah di Indonesia baik yang berbentuk bank
maupun lembaga keuangan non bank mengalami kemajuan yang cukup pesat khususnya
pada bidang keuangan Islam maupun keuangan mikro Islam. Upaya pengembangan bank
syariah dilaksanakan dengan memperhatikan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
adalah beragama Islam yang sangat menantikan suatu sistem perbankan syariah yang
sehat dan terpercaya untuk mengakomodir kebutuhan terhadap layanan jasa perbankan
yang sesuai dengan prinsip syariah. Pemerintah merespon perkembangan tersebut dengan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam meningkatkan perkembangan perbankan
syariah di Indonesia.
Landasan operasional sistem perbankan syariah semakin kuat dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1992 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah
No. 30 tahun 1999 tentang bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Sejak saat itulah diberi
kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang
menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, termasuk memberi
kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus
melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Jumlah perbankan syariah di Indonesia
sampai pada bulan Desember 2015 sudah mencapai 12 Bank Umum Syariah (BUS), 22
Unit Usaha Syariah (UUS) dan 163 BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah).
Meningkatnya jumlah perbankan syariah di Indonesia. Menunjukkan bahwa semakin
tinggi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perbankan syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu perbankan Syariah?
2. Bagaimana pengelompokan Lembaga perbankan Syariah?
3. Apa tujuan perbankan Syariah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi perbankan Syariah
2. Untuk mengetahui pengelompokan Lembaga di perbankan Syariah
3. Untuk mengetahui tujuan perbankan Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perbankan Syariah
Bank pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan fungsi
intermediasi keuangan. Dalam sistem perbankan di Indonesia terdapat dua macam sistem
operasional perbankan, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Sesuai UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam
fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa
tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung
gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram. Selain itu, UU Perbankan Syariah juga
mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan
fungsi seperti lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak,
sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf
(nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).
Pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan syariah dari aspek
pelaksanaan prinsip kehati-hatian dan tata kelola yang baik dilaksanakan oleh OJK
sebagaimana halnya pada perbankan konvensional, namun dengan pengaturan dan sistem
pengawasan yang disesuiakan dengan kekhasan sistem operasional perbankan syariah.
Masalah pemenuhan prinsip syariah memang hal yang unik bank syariah, karena
hakikinya bank syariah adalah bank yang menawarkan produk yang sesuai dengan
prinsip syariah. Kepatuhan pada prinsip syariah menjadi sangat fundamental karena hal
inilah yang menjadi alasan dasar eksistensi bank syariah. Selain itu, kepatuhan pada
prinsip syariah dipandang sebagai sisi kekuatan bank syariah. Dengan konsisten pada
norma dasar dan prinsip syariah maka kemaslhahatan berupa kestabilan sistem, keadilan
dalam berkontrak dan terwujudnya tata kelola yang baik dapat berwujud.
Bank Syariah merupakan lembaga keuangan dalam melakukan kegiatan usahanya
menggunakan prinsip-prinsip syariah,berbeda dengan bank konvensional kalau bank
syariah tidak mengenal system bunga karena bunga adalah riba. (Muhammad
sholahudin,2009:75). Menurut UU no.10 tahun 1998 tentang Perbankan syariah
disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiataan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan
pembiayaan rakyat syariah. Menurut Dr.Amir Machmud (2010:4) Bank Syariah adalah
bank yang aktivitasnya meninggalkan masalah riba.Dengan demikian,penghindaran
bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia islam
dewasa ini.
B. Pengelompokan kelembagaan perbankan Syariah

Perbankan Syariah di Indonesia diatur secara khusus dalam Undang-Undang No.


21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah).
Berdasarkan UU Perbankan Syariah tersebut, kelembagaan industri perbankan syariah
dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah dan Unit Usaha Syariah. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat
ketiga bentuk Kelembagaan industri perbankan syariah tersebut.

1. Bank Umum Syariah (BUS)

Menurut Pasal 1 ayat (7) UU Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan Bank Syariah
adalah ‘Bank yang menjalankan kegiataan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan
menurut jenisnya terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.’ Adapun yang dimaksud dengan Bank Umum Syariah (BUS) menurut Pasal 1
ayat (8) adalah ‘Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembiayaan.’ Sebagai suatu entitas bisnis, kegiatan usaha bank syariah pada dasarnya
sama dengan bank konvensional, yaitu melakukan kegiatan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk pembiayaan serta melakukan kegiatan lainnya. Kegiatan lain ini seperti
melakukan fungsi sosial dalam bentuk menerima dan menyalurkan dana zakat, infak,
sedekah, serta dana kebajikan (Lihat pejelasan Pasal 19 ayat (1) huruf q).

Perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional adalah prinsip-
prinsip syariah yang digunakan oleh bank syariah sebagai dasar utama dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Dalam hukum Islam, terdapat berbagai macam bentuk
akad, hal ini mengakibatkan produk-produk bank syariah menajid lebih variatif
dibandingkan dengan bank konvensional. Dikarenakan bank syariah menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan kepada prinsip syariah, maka ia dilarang untuk
melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah. Kegiatan usaha
yang dilarang tersebut antara lain kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur riba,
maisir, gharar, haram dan zalim (Lihat Penjelasan Pasal 2 UU Perbankan). Di samping
itu, bank syariah juga dilarang untuk melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung
di pasar modal; melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan melakukan kegiatan usaha perasuransian,
kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah. (Lihat: Pasal 24 UU
Perbankan). BUS tidak boleh dikonversi menjadi bank umum, namun Bank Umum
Konvensional boleh dikonversi menjadi BUS.

Kegiatan usaha BUS meliputi:


a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi'ah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad
musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam,
Akad istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah;
i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak
ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip
Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah,
murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan
Prinsip Syariah;
l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;
m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

Sebelum diberlakukannya UU Perbankan Syariah, Bank Pembiayaan Syariah Syariah


dikenal dengan nama Bank Pekreditan Rakyat Syariah. Istilah ‘prekreditan diganti
dengan istilah ‘pembiayaan’ mengingat dalam kegiatan usaha bank syariah tidak dikenal
dengan istilah kredit yang berbasiskan kepada bunga. BUS dan BPRS sama-sama sebagai
lembaga intermedasi keuangan, namun BPRS tidak diperbolehkan memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran (Lihat: Pasal 1 Ayat (9) UU Perbankan Syariah.

Dengan kata lain, cakupan kegiatan yang bisa dilakukan oleh BPRS lebih kecil
dibandingkan dengan BUS. Hal ini dapat dilihat dari larangan kegiatan usaha BPRS
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 UU Perbankan Syariah yang menyatakan
sebagai berikut: Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan
izin bank Indonesia;
d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk
asuransi syariah;
e. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; dan
f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

3. Unit Usaha Syariah

Menurut Pasal 1 ayat (10) UU Perbankan Syariah yang dimaksud dengan Unit Usaha
Syariah (UUS) adalah ‘unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang
berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit
syariah.’ Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Bank Konvensional yang
mau melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah harus membuka UUS dengan
mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Pada prinsipnya kegiatan usaha yang
dilakukan oleh UUS sama dengan BUS.

UUS harus menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Kantor induk,
Bank Umum Konvensional, tidak boleh melakukan intervensi atau melarang UUS untuk
tidak mematuhi prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang telah ditentukan oleh undang-
undang. Apabila hal tersebut terjadi, maka Otoritas Jasa Keuangan bisa memberikan
sanksi administratif kepada Bank Induknya. Kemudian, UUS Bank Umum Konvensional
ini tidak boleh selamanya menjadi UUS. Pasal 68 UU Perbankan Syariah mengatur,
apabila aset UUS telah mencapi 50% dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima
belas) tahun sejak berlakunya UU ini, maka UUS tersebut wajib melakukan pemisahan
(spin off) dari bank induknya dan menjadi Bank Umum Syariah. UUS nantinya dapat
berubah menjadi BUS atau merger dengan bank lain untuk berubah menjadi BUS
tergantung dari kemampuan bank syariah tersebut.

Kegiatan usaha UUS meliputi:


a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau
Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad
musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad
istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada
Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah;
i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar
transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah,
musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip
Syariah;
l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan
Prinsip Syariah;
m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan
Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang
sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Tujuan Perbankan Syariah

Dalam perkembangan perbankan syariah pemerintah bertujuan menunjang pelaksanaan


pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan
pemerataan kesejahteraan rakyat. Seperti yang telah di uraikan oleh Syafi’I Antonio
dalam bukunya, bahwasanya pengembangan perbankan syariah mempunyai beberapa
tujuan :

a. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat


menerima konsep bunga, terutama dari segmen masyarakat yang selama ini
belum dapat tersentuh oleh sisitem perbankan konvensional.
b. Memberikan peluang pembiayaan bagi Pengembangan usaha berdasarkan
prinsip kemitraan antara nasabah yang berperan sebagai investor yang
harmonis ( mutual investor relationship ).
c. Mewujudkan produk dan jasa perbankan unggulan yang komparatif berupa
penghapusan pembebanan bunga ( perpetual interest effect ), membatasi
kegiatan spekulasi yang tidak produktif, dan pembiyaan yang ditujukan pada
usaha usaha yang memperhatikan unsur moral ( halal ).

Tujuan – tujuan tersebut menunujukakan adanya keistimewaan pada bank syariah di


banding bank konvensional, antara lain :
a. Keistimewaan ikatan yang kuta antara nasabah, pengelola bank, dan
pemegang saham. Kuatnya ikatan tersebut menimbulkan kebersamaam daalm
mengahdapi risiko usaha dan membagi keuntungan secara jujur dan adil.
Dalam hal ini semua pihak mempunyai tanggung jawab yang sama, sehingga
semua pihak akan menerima perolehannya dengan ikhlas.
b. Adanya system bagi hasil sebagai pengganti bunga yang di haramkan,
tentunya system bagi hasil ini mempunyai dampak positif, antara lain :
1. Cost push inflation, yaitu bank islam diharapkan mampu menjadi
pendukung kebijaksanaan moneter yang handal, dan mampu
menghilangkat akibat penerapan sistem bunga pada bank
konvensional.
2. Adanya persaingan yang wajar antar bank islam, karena keberhasilan
Bank Islam ditentukan oleh fungsi edukatif bank di dalam membina
nasabah dengan kejujuran, keuletan dan profesionalisme
c. Adanya fasilitas kredit kebaikan ( al qardhul Hasan ) yang diberikan secara
Cuma- Cuma . Nasabah hanya dikenakan biaya materai , biaya notaris dan
biaya studi kelayakan.
d. Adanya alternative kehidupan ekonomi yang berkeadilan, yang mana pada
umumnya terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara kelompok
ekonomi kuat dengan kelompok ekonomi yang lemah.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bank pada dasarnya adalah entitas yang melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan fungsi
intermediasi keuangan. Dalam sistem perbankan di Indonesia terdapat dua macam sistem
operasional perbankan, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Sesuai UU No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau prinsip hukum islam yang diatur dalam
fatwa Majelis Ulama Indonesia seperti prinsip keadilan dan keseimbangan ('adl wa
tawazun), kemaslahatan (maslahah), universalisme (alamiyah), serta tidak mengandung
gharar, maysir, riba, zalim dan obyek yang haram. Selain itu, UU Perbankan Syariah juga
mengamanahkan bank syariah untuk menjalankan fungsi sosial dengan menjalankan
fungsi seperti lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak,
sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf
(nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).
Perbankan Syariah di Indonesia diatur secara khusus dalam Undang-Undang No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah).
Berdasarkan UU Perbankan Syariah tersebut, kelembagaan industri perbankan syariah
dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah dan Unit Usaha Syariah.
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.perbanas.ac.id/2407/4/BAB%20II.pdf (diakses pada tanggal 27 april
2021 jam 22:00)
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/12053/05.1%20bab
%201.pdf?sequence=5&isAllowed=y (diakses pada tanggal 27 april 2021 jam 22:00)
https://core.ac.uk/download/pdf/148617413.pdf (diakses pada tanggal 27 april
2021 jam 22:00)
https://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/Pages/PBS-dan-
Kelembagaan.aspx (diakses pada tanggal 27 april 2021 jam 22:00)
https://business-law.binus.ac.id/2018/05/28/kelembagaan-industri-perbankan-
syariah/ (diakses pada tanggal 27 april 2021 jam 22:00)

Anda mungkin juga menyukai