Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”RIBA” dengan baik yang disusun
guna memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Ayat-Ayat Ekonomi. Shalawat
serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan
para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang
benderang.

Terima kasih kami ucapkan kepada Prof. Dr. H. Akh.Fauzi Aseri,MA. selaku dosen
mata kuliah Ayat-Ayat Ekonomi yang telah membimbing serta memberi pengarahan kepada
kami demi terselesaikannya makalah ini. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-
teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa
disusun dengan baik.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Namun kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah
sempurna, dan masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Besar harapan kami kepada pembaca, terutama dosen mata kuliah
Ayat-Ayat Ekonomi agar dapat memberikan kritik dan saran objektif serta konstruktif untuk
kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 01 februari 2020

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..............................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.........................................................................1
1.3 Tujuan...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Riba.............................................................................3

2.2 Harta-Harta Yang Berpotensi Riba...............................................5

2.3 Sebab Hukum (Illat) Riba.............................................................5

2.4 Macam-Macam Riba.....................................................................8

2.5 Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Riba...............................................8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam mengajarkan kepada umatnya agar tolong menolong, salah satu contohnya
adalah dalam bentuk peminjaman uang. Namun pemberian pinjaman itu jangan sampai
merugikan dan menyengsarakan orang lain. Contoh peminjaman yang merugikan adalah
sistem riba yang mengandung unsur kelebihan dan tambahan tanpa ada ganti atau imbalan
yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi/akad.
Riba merupakan pendapatan yang di peroleh secara tidak adil. Riba telah berkembang
sejak zaman jahiliyah hingga sekarang ini. Sejak itu banyaknya masalah-masalah
ekonomi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi tradisi bangsa arab terhadap jual
beli maupun pinjam-meminjam barang dan jasa. Sehingga sudah mendarah daging,
bangsa arab memberikan pinjaman kepada seseorang dan memungut biaya jauh di atas
dari pinjaman awal yang di berikan kepada peminjam akibatnya banyaknya orang lupa
akan larangan riba.
Sejak datangnya Islam di masa Rasulullah saw. Islam telah melarang adanya riba.
Karena sudah mendarah daging, Allah SWT melarang riba secara bertahap. Allah SWT
melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya
pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam riba. Karena riba menyebabkan tidak
terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Riba?
2. Apa saja harta-harta yang berpotensi Riba?
3. Bagaimana sebab hukum (‘illat) Riba?
4. Apa macam-macam Riba?
5. Apa saja ayat-ayat Al-Qur’an tentang Riba?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Riba
2. Untuk mengetahui harta-harta yang berpotensi Riba
3. Untuk mengetahui sebab hukum (‘illat) Riba
4. Untuk mengetahui macam-macam Riba
5. Untuk mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an tentang Riba

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Riba


Secara etimologi kata riba berarti “tambahan” (ziyadah) atau “kelebihan”. Seseorang
melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan. Atau
mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang kamu berikan.

Secara terminologi riba berarti yaitu bunga kredit yang harus diberikan oleh orang
yang berhutang (kreditur) kepada orang yang berpiutang (debitur), sebagai imbalan untuk
menggunakan sejumlah uang milik debitur dalam jangka waktu yang ditetapkan.

 Pengertian Riba Menurut Ulama Syafi’iah

Menurut ulama fikih kalangan Syafi’iah, riba adalah bentuk transaksi dengan cara
menetapkan pengganti tertentu (‘iwadh makhshush) yang tidak diketahui kesamaanya
(dengan yang ditukar) dalam ukuran syar’i pada saat transaksi, atau disertai penangguhan
terhadap kedua barang yang dipertukarkan ataupun terhadap salah satunya.

Maksud ‘iwadh makhshush adalah harta riba. Maksud tidak diketahui kesamaannya
(dengan barang yang ditukar) adalah melebihkan nilai salah satu barang yang dipertukarkan
dari yang lainnya atau di antara keduanya tidak pernah diketahui memiliki nilai yang sama.
Maksud ukuran syar’i adalah nilai takaran saat menakar atau nilai timbangan saat
menimbang.

Dipersyaratkan harus diketahui pada saat transaksi adalah suatu sikap hati-hati, jangan
sampai kesamaan nilai dari dua barang yang dipertukarkan baru diketahui setelah proses
akad. Sebagai contoh, setumpuk gandum ditukar dengan setumpuk gandum yang lain, tetapi
tidak diketahui ukurannya (pada saat akad) maka yang demikian termasuk transaksi ribawi.
Pada transaksi tersebut berlaku hukum riba. Meskipun kedua tumpukan itu kemudian
ditimbang setelah akad selesai dan hasilnya ternyata sama, tetap saja terkategori riba karena
pada saat akad berlangsung, kesamaan nilai diantara keduanya tidak diketahui. Tidak tahu
akan kesamaan sama halnya dengan tahu akan perbedaan. Maksudnya, kalau dua barang yang
dipertukarkan tidak diketahui kesamaan nilainya sama saja dengan kalau keduanya diketahui

3
memiliki nilai yang berbeda. Jika di antara barang yang dipertukarkan terdapat perbedaan
nilai, transaksinya termasuk transaksi ribawi.

Adapun yang dimaksud dengan disertai penangguhan terhadap kedua barang yang
dipertukarkan atau terhadap salah satunya adalah terjadi tidak serah terima barang oleh
kedua belah pihak yang bertransaksi pada saat transaksi berlangsung atau ada syarat
penangguhan dalam akad.

 Pengertian Riba Menurut Ulama Hanafiah

Menurut ulama Hanafiah, riba adalah nilai lebih yang tidak ada pada barang yang
ditukar berdasarkan ukuran syar’i yang dipersyaratkan kepada salah satu pihak yang berakad
pada saat transaksi.

Nilai lebih adalah tambahan, baik yang bersifat haqiqi maupun yang bersifat hukmi.
Contoh nilai lebih yang bersifat haqiqi adalah seseorang menjual satu sha’ gandum dengan
dua sha’ gandum. Sementara itu, hukmi dilakukan dengan cara mengulur waktu (penukaran).
Contohnya, seseorang menjual satu sha’ gandum saat ini dengan satu sha’ gandum yang
sama yang baru akan dibayarkan kemudian.

Pada contoh tersebut , tidak ada nilai tambah pada barang yang ditukar karena
memang nilainya yang tidak sebanding (dengan penukarnya). Jika nilai yang ditukarkan
sebanding, tidak termasuk riba. Contohnya, seseorang menjual satu sha’ tepung gandum
(hinthah) dan satu sha’ jelai (sya’ir) dengan dua sha’ tepung gandum dan dua sha’ jelai. Pada
barang yang kedua (jelai) jumlahnya lebih banyak dari barang yang pertama (tepung
gandum), namun nilainya menjadi sebanding dengan barang yang ditukar dan transaksinya
tidak tergolong riba karena jenis pertukaran itu sudah berubah menjadi jenis lain. Semenara
itu, transaksi ribawi terjadi pada kasus kelebihan dalam dua jenis barang yang sama.

Adanya tambahan tidak termasuk jenis riba, kecuali jika dipersyaratkan. Apabila salah
seorang yang berakad memberikan tambahan bukan karena dipersyaratkan, hal itu tidak
termasuk riba.

4
Disebutkannya ‘iwadh (pengganti) dalam kedua definisi riba di atas menunjukkan
bahwa hal itu hanya terjadi pada akad transaksi (mu’awadhah). Jika seseorang memberikan
barang kepada orang lain, lalu orang yang diberi menggantinya dengan barang yang sama,
namun dalam jumlah yang lebih banyak, tambahan itu tidak termasuk riba.

2.2 Harta-Harta yang Berpotensi Riba (Harta Ribawi)

Para ulama fikih sepakat, berdasarkan nash yang sharih, bahwa riba terjadi pada enam
jenis harta berikut, yaitu emas, perak, gandum (qamh), jelai (sya’ir), kurma dan garam.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Umar bin Khaththab, beliau berkata, "Rasulullah
bersabda,

ِ ‫ب ِربًا إِالَّ هَا َء َوهَا َء َو ْالبُرُّ بِ ْالبُ ِّر ِربًا إِالَّ هَا َء َوهَا َء َوال َّش ِعي ُر بِال َّش ِع‬
‫ير ِربًا إِالَّ هَا َء َوهَا َء‬ َّ ِ‫لذهَبُ ب‬
ِ َ‫الذه‬ َّ َ‫ا‬

‫َوالتَّ ْم ُر بِالتَّ ْم ِر ِربًا إِالَّ هَا َء َوهَا َء‬

“Emas dengan emas terdapat riba kecuali ambillah yang ini dan yang ini, gandum
dengan gandum terdapat riba kacuali ambillah yang ini dan yang ini, syair dengan syair
terdapat riba kecuali ambillah yang ini dan yang ini, begitu juga kurma dengan kurma
terdapat riba kecuali ambillah yang ini dan yang ini.”

Terdapat pula nash lain berkenaan dengan jenis-jenis harta di atas dengan
penambahan jenis harta lain, yaitu garam.

Sebagaimana halnya terjadi pada jenis harta yang enam di atas, riba bisa juga terjadi
pada jenis harta lainnya karena dalam hukum keenam jenis harta di atas terdapat sebab
hukum (‘illat). Dengan demikian, pada setiap harta yang memiliki sebab hukum yang sama
dengan keenam jenis harta di atas dapat diberlakukan qiyas untuk menunjukkan adanya riba

2.3 Sebab Hukum (‘Illat) Riba

Yang dimaksud dengan sebab hukum (‘Illat) riba adalah suatu sifat yang jika
ditemukan dalam harta, harta itu akan menjadi harta riba dan apabila ditemukan dalam
transaksi, transaksi itu akan menjadi transaksi ribawi.

5
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai sifat yang menularkan hukum dari jenis-
jenis harta yang terdapat dalam nash di atas kepada jenis harta yang lain karena sifat tersebut
tidak termaktub dalam nash. Berikut akan dipaparkan pendapat para ulama Mazhab Hanafiah
dan Syafi’iah mengenai masalah ini.

 Pendapat Mazhab Hanafiah


Para ulama Mazhab Hanafiah berpendapat bahwa sebab hukum (‘illat) dalam
keenam jenis harta di atas adalah dua hal, yakni ukuran dan kesamaan jenis. Yang
dimaksud dengan ukuran adalah takaran atau timbangan. Jadi, setiap harta yang dijual
dengan cara ditakar atau ditimbang berpotensi menjadi harta riba. Apabila harta itu
ditukar dengan harta lain yang sama-sama berpotensi riba, transaksi yang dilakukan
menjadi transaksi ribawi. Selain itu, harta yang dipertukarkan itu dari jenis yang sama
atau memiliki sebab hukum (‘illat) yang sama, baik berupa takaran maupun
timbangan. Ketentuan ini berlaku pada makanan dan nonmakanan, benda berharga
atau tidak.
Landasan argumen mereka adalah jenis harta yang disebutkan dalam hadis
dari Umar ra. Dan yang lainnya, semuanya termasuk jenis harta yang dijjual dengan
cara diukur, baik dengan takaran seperti gandum, kurma, jelai (sya’ir), dan garam
maupun dengan timbangan, seperti emas dan perak.
Nash syariat menunjukkan bahwa suatu barang tidak boleh ditukar dengan
jenis yang sama, kecuali nilainya sebanding. Dalam berbagai hadis sering diulang-
ulang kalimat, “Matsalan bi matsalin, sawa’an bi sawa’in,” (yang sama dengan yang
sama, yang sebanding dengan yang sebanding). Pembuat syariat sepertinya hendak
mengatakan, “Sesuatu yang ditakar atau ditimbang apabila ditukar dengan barang
yangs sejenis haruslah sebanding (nilainya), tidak boleh ada penambahan. Hal ini
menunjukkan bahwa sebab hukum (‘illat) dilarangnya penambahan (riba) adalah
kesamaan jenis dan ukuran.
Adapun barang yang dijual dengan ukuran panjang seperti kain atau dengan
cara dihitung seperti beberapa jenis perkakas dan telur tidak termasuk barang-barang
ribawi. Barang-barang tersebut tidak berpotensi riba karena tidak ada ‘illat di
dalamnya yang berupa takaran atau timbangan. Ini menurut ulama Mazhab Hanafiah.

6
 Pendapat Mazhab Syafi’iah
Para ulama Mazhab Syafi’iah berpendapat bahwa berbagai jenis barang yang
termaktub dalam hadis-hadis di atas ada yang berupa barang berharga, seperti emas
dan perak. Ada juga yang berupa makanan, seperti gandum, jelai (sya’ir), kurma, dan
garam. Atas dasar itu, ‘illat yang diperhitungkan dalam menetapkan suatu harta yang
berpotensi riba adalah nilai (barang) dan jenis makanan tanpa memperhitungkan
unsur takaran dan timbangan. Seolah-olah Pembuat syariat berkata, “Barang
berharga atau makanan tidak boleh ditukar dengan jenis barang yang sama, kecuali
harus sepadan.”
Mereka juga berkata, “Emas dan perak boleh ditukar dengan jenis barang
yang ditimbang lainnya berdasarkan ijma ‘. Seseorang boleh menukar seratus dirham ,
umpamanya, untuk seratus rithl (2564 gr) besi. Jika timbangan menjadi ‘illat, hal
tersebut tidak diperbolehkan seperti tidak diperbolehkan menukar beberapa dirham
dengan beberapa dinar.”
Hal ini menunjukkan bahwa timbangan bukanlah ‘illat dalam barang-barang
timbangan yang telah disebutkan di atas. Jika benar bahwa timbangan bukanlah ‘illat
bagi barang-barang yang ditimbang, bisa dipastikan pula bahwa takaran pun bukan
merupakan ‘illat dari barang-barang yang ditakar. Kemudian, jika takaran dan
timbangan bukan ‘illat di dalamnya, tidak ada lagi ‘illat riba selain karena barang-
barang tersebut berharga atau termasuk jenis makanan.
Oleh karena itu, menurut ulama Syafi’iah, setiap barang yang tidak bernilai
(berharga) serta tidak termasuk jenis makanan manusia tidak dikategorikan sebagai
harta ribawi. Di antaranya adalah semua jenis logam selain emas dan perak, berbagai
kain, dan lainnya. Barang yang galibnya bukan makanan manusia maka transaksi
yang dilakukan terkait dengan barang-barang di atas tidak termasuk transaksi ribawi.
Tidak ada perbedaan barang-barang tersebut diukur dengan takaran, timbangan
ataupun dengan yang lainnya.

7
2.4 Macam-macam Riba

Para ulama fikih membagi riba menjadi beberapa macam :

1. Riba al-fadhl atau bunga tambahan, yaitu menukar harta yang berpotensi riba dengan
jenis yang sama disertai adanya penambahan pada salah satu barang yang
dipertukarkan. Umpamanya, menukar satu mud (lebih kurang 6 ons) gandum dengan
dua mud gandum yang sejenis. Contoh lainnya, 100 gram emas ditukar dengan 110
gram emas yang sejenis, bisa kurang atau bisa juga lebih dari itu.
2. Riba al-nassa’i (nasi’ah) atau penangguhan pembayaran, yaitu jual-beli harta ribawi
dengan harta ribawi lain yang pada keduanya terdapat ‘illat yang sejenis, dengan
pembayaran yang ditangguhkan. Dalam hal ini, tidak ada bedanya kedua barang yang
dipertukarkan itu dari jenis yang sama atau berbeda dan jumlah keduanya sama atau
tidak.
3. Riba al-yad, yaitu menukar harta ribawi dengan harta ribawi lain yang memiliki ‘illat
serupa tanpa dipersyaratkan adanya penangguhan pembayaran, namun terjadi
penangguhan serah terima kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya dari
waktu transaksi berlangsung.

2.5 Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Riba

1. Q.S Ar-Rum [30]: 39


‫هّٰللا‬ ۠
َ‫اس فَاَل يَرْ بُوْ ا ِع ْن َد ِ ۚ َو َمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم ِّم ْن ز َٰكو ٍة تُ ِر ْي ُدوْ نَ َوجْ ه‬
ِ َّ‫َو َمٓا ٰاتَ ْيتُ ْم ِّم ْن ِّربًا لِّيَرْ ب َُوا فِ ْٓي اَ ْم َوا ِل الن‬
ٰۤ ُ ‫هّٰللا‬
۳۹ ﴿ َ‫ك هُ ُم ْال ُمضْ ِعفُوْ ن‬ َ …ِ‫ول ِٕٕى‬ ‫﴾ ِ فَا‬

Artinya:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia
bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh
keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya).

8
 Mufradat
Riba ‫ال ِّربَا‬
Agar dia bertambah ‫لِيَربُوا‬
Zakat ‫ز َکاة‬

 Penafsiran Ayat
Ayat ini menegaskan bahwa apa saja yang manusia berikan dari hartabenda riba,
yakni tambahan pemberian berupa hadiah terselubung, dengan tujuan agar bertambah
harta manusia yang kamu berikan hadiah itu, maka ia tidak bertambah disisi Allah
SWT, karena dia tidak memberkahinya. Sedangkan apa yang manusia berikan berupa
zakat, yakni sedekah yang suci yang bermaksud untuk meraih keridhaan Allah, maka
yang melakukan hal semacam itulahyang sunguh tinggi kedudukannya dan berlipat
ganda pahala sedekahnya karena Allah akan melipat gandakan harta dan ganjaran
setiap orang yang bersedekah karena Allah.
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud kata riba pada ayat di atas. Al-
Qurtubi, Al-Biqa’i, Idn Kasir, Sayyid Qutu , dan masih banyak yang lain berpendapat
bahwa riba yang di maksud ayat ini adalah riba yang halal. Ibn Kasir menamainya
riba mubah. Mereka antara lain merujuk kepada sahabat tabi’in yang menafsirkan
dalam arti hadiah yang di berikan seseorang dengan mengharapkan imbalan yang
lebih.
Sebagian dari mereka berusaha mengembangkan hartanya dengan memberikan
hadiah-hadiah kepada orang-orang kaya supaya hadiah itu di balas dengan berlipat
ganda. Maka Allah menjelaskan bahwa ini bukanlah cara bagi pertumbuhan yang
sebenarnya: “Dan sesuatu riba (Tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah di
sisi harta manusia, maka riba itu tidaklah tidak lah bertambah di sisi Allah “ Ini adalah
yang disebutkan oleh riwayat-riwayat dan yang dimaksud dengan ayat itu. Walaupun
secara mutlak meliputi semua cara yang dikehendaki oleh para pemilik harta agar bisa
mengembangkan harta-harta mereka dengan cara riba dalam bentuk manapun.
Dan Allah menjelaskan pada saat yang sama cara pertumbuhan yang
sebenarnya:”Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang mendapat pahala yang
berlipat ganda.

9
2. Q.S An-Nisa [4]: 160-161
(‫ص ِّد ِه ْم ع َْن َسبِ ْي ِل هّٰللا ِ َكثِ ْير ًۙا‬
َ ِ‫ت لَهُ ْم َوب‬ْ َّ‫ت اُ ِحل‬ ٍ ‫فَبِظُ ْل ٍم ِّمنَ الَّ ِذ ْينَ هَا ُدوْ ا َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم طَيِّ ٰب‬
‫اس بِ ْٱل ٰبَ ِط ِل ۚ َوأَ ْعتَ ْدنَا لِ ْل ٰ َكفِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم َع َذابًا‬ ۟ ۟
ِ َّ‫) َوأَ ْخ ِذ ِه ُم ٱلرِّ بَ ٰوا َوقَ ْد نُهُوا َع ْنهُ َوأَ ْكلِ ِه ْم أَ ْم ٰ َو َل ٱلن‬160
)161( ‫أَلِي ًما‬
Artinya:
160 ) “Karena kezaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu)
pernah dihalalkan, dan karena mereka sering menghalangi (orang
lain) dari jalan Allah.”
161 ) “Dan karena mereka menjalankan riba, padahal
sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan kami
sediakan untuk orang-orang kafir diantara mereka azab yang
pedih.”

 Mufradat
Kami haramkan ‫َحرَّمنَا‬
Yang dulunya dihalalkan ‫اُ ِحلَّت‬
Dengan jalan bathil ‫بِالبَا ِط ِل‬

 Penafsiran Ayat
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa riba adalah pekerjaan yang batil, maka
dari itu Allah menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa Allah telah menyiapkan mereka
azab yang pedih. Sebagian ulama berkata: Orang-orang yang menghalalkan riba serta
besar dosanya, maka dia pun akan tahu betapa keadaan mereka-mereka kelak dihari
akhir, meka akan dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal dineraka,disamakan dengan
orang-orang kafir yang akan mendapat perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal
dalam la’nat.
Al-Maragi menjelaskan, ayat ini bahwa orang-orang Yahudi yang suka
mengambil riba, padahal nabi mereka telah melarangnya.Di dalam kitab taurat pun
telah disebutkan telah mengharamkan meengambil riba dari bangsa dan saudara
mereka sendiri.Seperti tertera dalam urusan perjalanan keluar bahwa jika kamu

10
meminjamkan bagi orang-orang yang fakir, maka janganlah kamu menjadi orang
yang mengambil riba baginya, dan janganlah kamu membebankan riba padanya.
Begitu juga dalam urusan pembelian, janganlah kamu meminjami saudaramu dengan
riba, baik riba perak atau riba dengan sesuatu yang semisal dengan yang kamu
pinjamkan kepada orang lain. Demikianlah kitab taurat yang di tulis setelah
nabi.Kemudian muncullah penyelewengan dengan berbagai kesaksian.
Allah menambahkan perbuatan-perbuatan munkar yang lampau dengan
perbuatan-perbuatan munkar baru kepada mereka yang zalim,sering menghalangi
orang-orang untuk beribadah kepada Allah, terus membiarkan dan membiasakan
perbuatan memakan harta orang lain secara tidak sah, baik dengan riba maupun
dengan cara -cara batil. Dengan sebab perbuatan munkar ini, yang telah di jelaskan
oleh susunan ayat, maka di haramkan atas mereka apa-apayang baik yang tadinya
halal bagi mereka. Dan Allah menyediakan orang-orang kafir diantara mereka siksa
yang pedih.

3. Q.S Ali ‘imran [3]: 130


(130) َ‫ض َعفَۃً ۪ َو اتَّقُوا ہّٰللا َ لَ َعلَّ ُکمۡ تُ ۡفلِح ُۡون‬ ۡ َ‫ٰۤیاَیُّہَا الَّ ِذ ۡینَ ٰا َمنُ ۡوا اَل ت َۡا ُکلُوا الرِّ ٰۤبوا ا‬
ٰ ‫ض َعافًا… ُّم‬

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

 Mufradat
Dengan berlipat ganda َ ‫اَض َعاف ّم‬
‫ضا َعفَة‬

 Penafsiran Ayat
Dalam Ayat ini, riba yang dimaksud adalah riba nasiah. Menurut sebagian
besar ulama, bahwa riba nasiah itu selamanya haram,walaupun tidak berlipat ganda.
Riba itu ada dua macam, yaitu riba nasiah dan riba fadl. Riba nasiah adalah riba yang
pembayarannya lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Sedangkan
riba fadl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih

11
banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti
emas dengan emas, padi dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud disini
adalah riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi pada masyarakat arab
zaman jahiliah.
Riba Nasiah ialah bila pihak yang meminjamkan uangnya pada batas waktu
tertentu dengan memungut bunga sebagai tambahan kepada modalnya. Jika pihak
yang meminjam belum mampu membayar hutangnya pada waktu saa’ jatuh tempo,
maka pihak yang meminjamkan memberi tengak waktu pembayaran kepada orang
yang meminjam dengan syarat ia bersedia menambah pembayaran diatas jumlah
pokok yang dipinjamnya tadi.
Jika saat jatuh tempoh berikutnya , pihak yang meminjamkan tadi belum
sangup untuk mengembalikan atau membayar hutangnya maka pihak yang
meminjamkan tadi menambahkan tengak waktu asalkan orang yang meminjam tadi
bersedia menambah pembayaran. Selanjutnya hutangnya akan bertambah setiap
tengak waktu diperpanjang. Pada zaman jahiliah bangsa arab memberikan pinjaman
dalam jangka waktu tertentu denga memungut bank bunga. Jika peminjam tidak
mampu mengembalikan pada saat jatuh tempo, maka uang bertambah dua kali lipat.
Dengan keterangan diatas jelaslah bahwa riba yang dilarang adalah riba yang
sifatnya berlipat ganda yang berlangsung antara orang terdesak dan sangat
membutuhkan pertolongan disatu pihak dengan orang yang mampu dan memeras
dipihak lain, tanpa menghiraukan arti tolong menolong, kasih mengasihi dan gotong
royong yang oleh Islam dijadikan landasan pembinaan masyarakat adil dan makmur.

4. Q.S Al-Baqarah [2]: 275-276


ۡ‫اَلَّ ِذ ۡينَ يَ ۡا ُكلُ ۡونَ الرِّ ٰبوا اَل يَقُ ۡو ُم ۡونَ اِاَّل َك َما يَقُ ۡو ُم الَّ ِذ ۡىيَتَخَ بَّطُهُ ال َّش ۡي ٰطنُ ِمنَ ۡال َمسِّؕ ٰذ لِكَ بِاَنَّهُم‬
…‫قَالُ ۡۤوا اِنَّ َما ۡالبَ ۡي ُع ِم ۡث ُل ال ِّر ٰبوا ۘ َواَ َح َّل هّٰللا ُ ۡالبَ ۡي َع َو َح َّر َ…م الرِّ ٰبوا…ؕ فَ َم ۡن َجٓا َء ٗه َم ۡو ِعظَةٌ ِّم ۡن َّرب ِّٖه فَ ۡانت َٰهى‬
ُ ‫﴾ يَمۡ َح‬275﴿ َ‫ارۚ هُمۡ فِ ۡيهَا ٰخلِد ُۡون‬
‫ق‬ ِ َّ‫ص ٰحبُ الن‬ ۡ َ‫ك ا‬ …َ ِ‫ولٓـئ‬
ٰ ُ ‫فَلَهٗ َما َسلَفَ ؕ َواَمۡ ر ُٗۤه اِلَى هّٰللا ِؕ َو َم ۡنعَا َد فَا‬
‫هّٰللا‬ َّ ‫﴾هّٰللا ُ الرِّ ٰبوا َوي ُۡربِى ال‬
276﴿ ‫ار اَثِ ۡي ٍم‬ ٍ َّ‫تؕ َو ُ اَل ي ُِحبُّ ُك َّل َكف‬ ِ ‫صد َٰق‬

12
Artinya:
275 ) “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat
berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata
bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa
mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa
yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka
itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
276 ) “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan
sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
kekafiran dan bergelimang dosa.”

 Mufradat
Orang yang memakan riba ‫الّ ِذينَ يَا ُکلُونَ الرِّ بَا‬
Tidak dapat berdiri ‫الَيَقُو ُمون‬
Mereka yang kekal didalamnya ‫هُم فِيهَا خَالِدُون‬
Allah akan menghapus riba ‫ق هّللا ُ ال ِّربَا‬
ُ ‫يَم َح‬
Dan melipat gandakan sedekah ِ ‫ص َدقَا‬
‫ت‬ َّ ‫َويُربِي ال‬

 Penafsiran Ayat
1. Al-Baqarah ayat 275
Orang-orang yang bertransaksi dengan riba, baik dalam bentuk memberi
ataupun mengambil, tidak dapat berdiri (melakukan aktivitas), melainkan seperti
berdirinya orang yang dibingungkan oleh syaitan sehingga tidak tahu arah
disebabkan oleh sentuhannya. Menurut banyak ulama hal ini terjadi di hari
kemudian nanti, ketika dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan,
tidak tahu arah yang mereka tuju. Sebenarnya, tidak menutup kemungkinan
memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. bahwa mereka yang melakukan
riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung, dan berada dalam

13
ketidakpastian disebabkan pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan
penambahannya.
Mereka yang terlanjur melakukan praktek riba pada masa dahulu (sebelum
datang larangan) maka boleh menggunakan hasil yang mereka peroleh tersebut,
tetapi itu adalah yang terakhir. Adapun yang kembali bertransaksi setelah
peringatan datang maka mereka kekal di dalam neraka, menurut para ulama dalam
artian jika mereka mempersamakan riba dengan jual beli dari segi kehalalannya,
karena siapa yang menghalalkan riba maka dia tidak percaya kepada Allah dan
siapa yang tidak percaya kepada Allah maka ia kekal di neraka. Bagaimana kalau
mempraktikkan riba tanpa menghalalkannya? Dia pun disiksa di neraka , tetapi
tidak kekal di dalamnya. Demikian jawaban banyak ulama.

2. Al-Baqarah ayat 276


Allah memusnahkan riba sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh pelakunya,
kecuali setelah nasi menjadi bubur. Lawan riba adalah sedekah, dari segi material
sedekah mengembangkan dan menambah harta, sedangkan dari spiritualnya
sedekah menimbulkan ketenangan batin dan ketentraman hidup yang diraih oleh
pemberi maupun penerima.

5. Q.S Al-Baqarah [2]: 278-279


۲۷۸ ﴿ َ‫﴾ ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوا اتَّقُوا هّٰللا َ َو َذرُوْ ا َما بَقِ َي ِمنَ الر ِّٰب ٓوا اِ ْن ُك ْنتُ ْم ُّم ْؤ ِمنِ ْين‬
‫ب ِّمنَ هّٰللا ِ َو َرسُوْ لِ ٖه ۚ َواِ ْن تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُرءُوْ سُ اَ ْم َوالِ ُك ْم‬
ٍ ْ‫ۚ فَاِ ْن لَّ ْم تَ ْف َعلُوْ ا فَأْ َذنُوْ ا… بِ َحر‬
۲۷۹ ﴿ َ‫ظلَ ُموْ ن‬ ْ ُ‫َظلِ ُموْ نَ َواَل ت‬ ْ ‫﴾ اَل ت‬

Artinya:
278 “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang beriman.”
279 “Jika kamu tidak melaksanakannya, maka
umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu
bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak
berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).”

14
 Mufradat
Dan tinggalkanlah sisa-sisa riba ‫َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا‬
Pernyataan perang ‫ب‬
ِ ‫بِ َحر‬
Dan jika kalian bertaubat ‫َواِن تُبتُم‬
Kalian tidak berbuat dzalim ‫الَ تَظلِ ُمون‬

 Penafsiran Ayat
1. Al-Baqarah ayat 278
Ayat ini mengundang orang-orang beriman yang selama ini masih memiliki
keterkaitan dengan praktik riba agar segera meninggalkannya sambil mengancam
mereka yang enggan.
Tinggalkan sisa riba, yakni yang belum dipungut. Al-Abbas paman Nabi
Muhammad saw. bersama seorang keluarga Bani al-Mughirah, bekerja sama
mengutangi orang-orang dari kabilah Tsaqif secara riba. Setelah turunnya
larangan riba, mereka masih memiliki sisa harta yangg belum mereka tarik. Maka,
ayat ini melarang mereka mengambil sisa riba yang belum mereka pungut dan
membolehkan mereka mengambil modal mereka.
2. Al-Baqarah ayat 279
Jika masih memungut riba, maka ketahuilah bahwa akan terjadi perang
dahsyat dari Allah Rasul-Nya..Sulit dibayangkan betapa dahsyatnya perang itu,
apalagi ia dilakukan oleh Allah, dan rasanya terlalu besar jika meriam digunakan
untuk membunuh lalat. Karena itu, banyak yang memahami kedahsyatan yang
dimaksud bukan dalam perangnya, tetapi dalam ancaman ini.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Riba berarti yaitu bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang
(kreditur) kepada orang yang berpiutang (debitur), sebagai imbalan untuk
menggunakan sejumlah uang milik debitur dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Para ulama fikih membagi riba menjadi beberapa macam, yaitu Riba al-fadhl
atau bunga tambahan, Riba al-nassa’i (nasi’ah) atau penangguhan pembayaran dan
Riba al-yad.
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Riba adalah: Ar-Rum ayat 39, An-Nisa ayat 160-
161, Ali-Imran ayat 130, Al-Baqarah ayat 275-276 dan Al-Baqarah ayat 278-279.

16
DAFTAR PUSTAKA

Zuhri, Muh. 1995. Riba dalam Al-Qur’an dan Masalah Perbankan. Salatiga:
Badan Penerbitan IAIN Walisongo Press
Al-Bugha, Musthafa Dib. 2009. Buku Pintar Transaksi Syariah. Jakarta Selatan:
PT Mizan Publika
https://www.academia.edu/32885703/_PS4RK_Tafsir_Ayat_Alquran_Tentang_Riba
https://www.academia.edu/36562919/AYAT-AYAT_TENTANG_RIBA
http://googleweblight.com/i?u=http://al-hibrun.blogspot.com/2016/10/tafsir-ayatul-ahkam-
tentang-riba_24.html?m%3D1&hl=id-ID

17

Anda mungkin juga menyukai