Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEJARAH AL-QUR’AN

Oleh kelompok I

Ayu Ramadhani Rambe (2015050110)

Regina Aprilia (2015050104)

Al hasan (2015050075)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI IMAM BONJOL


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan kita banyak kenikmatan yang tiada hentinya terus mengalir kepada kita semua.
Sholawat beserta salam tidak lupa semoga selalu tercurahkan kepada baginda kita yakni nabi
Muhammad Saw, karena berkat beliaulah kita dapat merasakan kebebasan beragama tanpa
perbudakan.

Penyusunan makalah ini berjudul “NASKAH AL-QUR’AN” penulis mengucapkan


terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Sejarah Al-Qur’an ini yaitu bapak Muslim,
M. Ag yang telah membimbing penyelesaian makalah ini. Kami juga berterimakasih kepada
pihak yang telah mendukung penulisan makalah ini. Kami berharap agar makalah ini mampu
memberikan pengetahuan baru bagi para pembaca.

Dengan kerendahan hati, kami memohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan
dimakalah ini. Kami berharap para pembaca dapat memberikan kritik & sarannya yang
bersifat membangun agar kedapannya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR ISI

BAB I......................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4

A. Latar Belakang...........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................4
C. Manfaat Pembahasan................................................................................................................4
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................5

A. Definisi Al-Qur’an.......................................................................................................................5
B. Makiyah dan Madaniyah...............................................................................................................6
C. Hikmah Penurunan Al-Quran Secara Bertahab..............................................................................9
D. Asbababun Nuzul........................................................................................................................10
E. Nasakh (Pembatalan)...................................................................................................................14
BAB III..................................................................................................................................................19

PENUTUP.............................................................................................................................................19

A. KESIMPULAN............................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam yang berisikan firman Allah SWT. Al-
Qur’an juga diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad Saw melalui perantara
malaikat Jibril yang bukan berupa buku yang tersusun rapi, namun diturunkan secara
berangsur-angsur.

B. Rumusan Masalah
Definisi Al-Qur’an

Makiyyah & Madaniyyah

Hikmah penurunan Al-Qur’an

Asbabun Nuzul

Nasakh

C. Manfaat Pembahasan
Agar dapat memahami pengertian al-qur’an, mengetahui hikmah penurunan al-qur’an,
sebab turunnya al-qur’an dan nasakh (pembatalan)
BAB II

PEMBAHASAN
A. Definisi Al-Qur’an
“Qara’a” memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti merangkai
huruf-huruf dan kata-kata satu dengan lainnya dalam satu ungkapan kata yang teratur.
Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah yaitu akar kata (masdar-infinitif) dari qara’a,
qira’atan wa qur’anan.

Qur’anah disini berarti qiro’ah (bacaan atau cara membacanya). Jadi kata itu adalah
akar kata (masdar) menurut wazan (tashrif) dari kata fu’lan seperti “ghufron” dan
“syukron”. Secara khusus, Al-Qur’an menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan
kepada Muhammad SAW, dan sebut an Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab
dengan seluruh kandungannya, tetapi juga bagian ayat-ayatnya juga dinisbahkan
kepadanya.

Sebagian ulama berpendapat, kata Al-qur’an itu pada asalnya tidak berhamzah
sebagai kata jadian, mungkin karena ia dijadikan sebagai salah satu nama bagi suatu
firman yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, bukan kata jadia yang diambil
dari qara’a atau mungkin juga karena berasal dari kata qurina asy-syai’u bisy-syai’I yang
menggandengkan sesuatu dengan lainnya. AL-Qur’an memang sukar dibatasi dengan
definisi-definisi rasional yang memiliki jenis-jenis, bagian-bagian dan ketentuan-
ketentuannya yang khas, yang mana dengannya pendefinisiannya dapat dibatasi secara
tepat. Tetapi batasan yang tepat itu dapat dihadirkan dalam pikiran atau realita yang
dapat dirasa.

Pengertian AL-Qur’an secara istilah

Ibnu Qudomah dalam kitab Raudhah an-Nazhir Wa Junnah al-Munazhir memberikan


pengertian AL-Qur’an secara istilah yang artinya “Apa yang diriwayatkan kepada kita
yang ada diantara dua sisi mushaf dengan periwayatan yang mutawatir”

Sedangkan Syaikh Abdul Karim an-Namlah memberikan definisi yang sedikit berbeda
yang artinya “Kalam yang diturunkan sebagai mukjizat dengan suratnya atau yang lebih
pendek darinya yang diganjar sebagai ibadah dengan membacanya”.
Jika dilihat, masing-masing dari dua pengertian diatas belum merepresentasikan makna
istilah dari AL-Qur’an secara komprehensif.

B. Makiyah dan Madaniyah


1. Pengertian Makkiyah dan Madaniyah

Istilah Makkiyah dan Madaniyah merupakan dua kata sifat nisbiyah yang berasal dari
kata Makah dan Madinah. Istilah tersebut dapat dipakaiakan kepada Al-Quran itu sendiri,
atau kepada surat-suratnya, ataupun kepada ayat-ayatnya. Misalnya yang diturunkan di
Mekah, yakni sebelum nabi berhijrah ke Madinah. Begitu pula pemakaian kata al
Madaniyah atau al-Madaniyu, berarti bagian Al-Quran yang diturunkan di Madinah,
yakni setelah Nabi hijrah.

Penyebutan kata Makkiyah dan Madaniyah baru muncul kemudian, yakni setelah
Rasulullah wafat. Beliau sendiripun tidak pernah menetapkan surat-surat mana yang
termasuk ke dalam golongan Makkiyah dan mana yang Madaniyah. Sebagai buktinya
tidak ada kesepakatan pendapat di kalangan para ulama mengenai persoalan yang terkait
dengan kedua istilah tersebut, terutama mengenai arti sebenarnya pemakaian istilah
Makkiyah dan Madaniyah.

Menurut masa turunya, surat-surat Al-Qur’an yang berjumlah 114 surat dan 6236 ayat
itu terbagi kepada dua bagian, yaitu :

a. Surat-surat Makkiyah, yaitu surat-surat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke


Madinah, yang diperkirakan dalam masa 12 tahun 5 bulan, 13 hari yakni sejak permulaan
bi'tsah (diangkat menjadi Nabi dan Rasul) di Mekkah sampai waktu hijrah.

b. Surat-surat Madaniyah, yaitu surat-surat yang diturunkan sesudah hijrah ke Madinah


sampai dengan turunnya ayat yang terakhir, yakni ketika Nabi menunaikan hijjatul Wada'
(Haji penghasilan), yang seluruhnya berlangsung selama 9 tahun 9 bulan 9 hari.

Dengan demikian menunjukkan bahwa periode turunnya Al-Quran sebelum hijrah


lebih lama masanya daripada periode sesudah hijrah. Sebab Rasulullah lebih lama
menetap di Mekkah sesuda bi'tsah daripada menetap di Madinah. Oleh Karena itu, adalah
wajar apabila surat-surat Makkiyah lebih banyak jumlahnya dari pada surat-surat
Madaniyah.
2. Ciri-ciri Surat Makkiyah dan Madaniyah

Surat Makkiyah mempunyai ciri-ciri antara lain:

a. Surat yang didalamnya terdapat ayat ayat Sajadah

b. Surat yang didalamnya terdapat lafaz "Kalla", sekali-kali tidak. Umumnya terdapat pada
bagian pertengahan sampai akhir Al-Quran.

c. Surat yang didalamnya terdapat seruan dan tidak terdapat seruan

d. Surat yang didalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu, kecuali al-
Baqarah

e. Surat yang didalamnya terdapat kisah Adam dan Iblis, kecuali surat al-baqarah

f. Surat yang diawali dengan huruf-huruf hijariyah, kecuali dua surat yaitu al-baqarah dan
Ali-Imran. Para ulama berbeda pendapat mengenai surat ar-Ra’ad, sebagian berpendapat
surat tersebut adalah Makkiyah.

Disamping ciri-ciri tersebut, terdapat pula tanda-tanda lain yang sepatutnya menunjuk
surat Makkiyah. Spesifikasi yang banyak terdapat di dalam surat-surat Makkiyah, antar lain :

a. Ayat-ayat maupun surat-suratnya pada umumnya pendek, ringkas tetapi memiliki makna
yang mendalam.

b. Dakwah mengenai pokok-pokok keimanan, hari kiamat, gambaran surga dan neraka.

c. Dakwah mengenai budi pekerti, kebajikan, moralitas, sanggahan, dan bantahan terhadap
pikiran kaum musyrik.

d. Terdapat pernyataan sumpah yang lazim dinyatakan oleh orang-orang Arab.

Sedangkan ciri-ciri surat Madaniyah yang sudah dapat dipastikan, antara lain :

a. Surat yang didalamnya terdapat izin berperang, atau yang menyebut soal peperangan dan
menjelaskan hukum-hukumnya

b. Surat yang didalamnya terdapat rincian hukum hadd, fara'idh (pembagian harta pusaka),
hukum sipil, hukum sosial dan hukum antar negara.

c. Surat yang didalamnya terdapat uraian tentang kaum munafik, kecuali surat al-Ankabut
yang makkiyah, selain sebelas surat pada pendahuluannya adalah Madaniyah
d. Bantahan terhadap ahli kitab dan seruan agar mereka mau meninggalkan sikap berlebihan
dalam mempertahankan agamanya.

Sementara Spesifikasi umum yang menunjukkan surat-surat Madaniyah antara lain :

a. Sebagian besar ayat-ayatnya Panjang Panjang, dan susunan kalimatnya mengenai soal-soal
hukum bernada tenang.

b. Mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian mengenai kebenaran agama islam secara


terperinci.

3. Faedah Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah

Apabila dikaji manfaat dan kegunaan yang dikandung dalam ilmu Makkiyah dan
Madaniyah, maka akan banyak ditemukan manfaatnya, antara lain :

a. Sebagai alat bantu dalam memahami Al-Quran, sebab pengetahuan ini memberikan
konntribusi penting dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan benar. Sebab, mengetahui
tempat turun, kapan diturunkan, dan mengenai apa diturunkan. Pengetahuan ini akan menjadi
pegangan para mufasir untuk mengetahui mana ayat yang mansukh dan nasikh.

b. Meresapi gaya bahasa al-qur'an dan memanfaatkan ke indahan dan kelenturan gaya bahasa
tersebut dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi dan kondisi
memiliki bahasa dakwah yang berbeda pula. Dengan demikian dijadikan sebagai acuan dalam
retorika berdakwah.

c. Mengetahui sejarah Nabi Muhammad SAW secara komprehensif melalui ayat-ayat Al-
Qur’an, baik ketika Nabi berada di Mekkah maupun di Madinah.Pengetahuan historis perihal
kehidupan nabi yang digali dari ayat-ayat Al-Quran tersebut sangat berguna sekali dalam
menentukan metode dakwah yang sesuai sehingga dapat memastikan sikap terhadap siapa
seruan ditujukan.

Sedangkan untuk mengetahui dan menentukan Makiyah dan Madaniyah, para ulama
bersandar pada dua cara :

a. Sima'i naqli, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pendengaran seperti apa adanya,
yang didasarkan pada riwayat-riwayat yang shahih dari para sahabat yang hidup pada saat
menyaksikan turunya wahyu,atau dari para tabi’in yang menerima atau mendengar dari para
sahabat yang secara langsung menyaksikan bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang
berkaitan dengan turunya wahyu tersebut.
b. Qiyasi ijtihadi, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui qiyas atau hasil ijtihad, dimana
ijtihad itu didasarkan pada ciri-ciri Makkiyah dan Madaniyah.

C. Hikmah Penurunan Al-Quran Secara Bertahab


Al-Quran diturunkan secara bertahab dalam rentan waktu yang cukup panjang,bukan
berarti karena al-qur'an itu lebih besar bila dibandingkan dengan kitab-kitab yang lainnya.
Akan tetapi, tujuan utama mengapa al-qur'an diturunkan secara bertahab karena al-qur'an itu
diturunkan bukan dalam bentuk tulisan, tetap berupa bacaan.

Secara umum diturunkannya al-qur'an secara bertahab adalah untuk meneguhkan hati
Nabi Muhammad selaku pembawanya dan menjamin kebaikan bacaannya, disamping juga
untuk memudahkan menghafalnya bagi Nabi Muhammad, mengingat dia adalah seorang
yang buta aksara, tidak pandai membaca dan menulis. Meskipun demikian, tentu ada hikmah
yang dapat diambil, antara lain :

a. Menguatkan hati dan memperkuat tekad Nabi SAW. Terutama dalam rangka
menerima kalam Allah dan melaksanakan tugasnya sebagai seorang utusan Allah.

b. Memberikan kemudahan dan meringankan kaum muslimin yang pada masa itu mereka
pada umumnya masih buta huruf untuk mempelajari, menghafal, memahami, dan selanjutnya
untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

c. Mempersiapkan bangunan Al-Quran dengan landasan yang sempurna, yang


menghancurkan kepercayaan yang batil, penderitaan yang hina dan tradisi yang merusak.

d. Membangun umat secara bertahap menunju bentuk yang sempurna, dengan


menanamkan keimanan yang sejati dan akhlak yang teruji.

e. Meneguhkan hati orang yang beriman dan meringankan bean penderitaan mereka
dalam mengamalkan dan menyiarkan ajaran Islam, dengan meneguhkan ketabahan dan
keyakinan akan kemengan.

f. Memberikan petunjuk bahwa Al-Quran diturunkan dari Dzat yang maha bijaksana lagi
terpuji.
Seandainya Al-Quran itu buah ciptaan manusia, maka kerenggangan masa akan
menimbulkan kesimpang-siuran dan ketidak-serasian pada isi dan kandungannya.Jika Al-
Quran diturunkan tidak bertahab, maka banyak orang yang lari meninggalkan Islam, karena
banyaknya larangan dan perintah. Dengan berangsur-angsur, maka akan terasa ringan dan
tidak begitu memberantkan.

D. Asbababun Nuzul
1. Pengertian

Sebab dan latar belakang sejarah turunnya Qur‟an dalam tradisi ilmu Qur’an disebut
dengan istilah asbab al- nuzul ; kata ”asbab” berasal dari kata ”sabab” yang bermakna sebab
atau alasan, sedangkan kata ”nuzul” secara literal dimaknai sebagai peristiwa turunnya ayat-
ayat Qur’an. Dengan demikian, asbab al nuzul berarti pengetahuan atau ilmu yang berkaitan
dengan sebab-sebab turunnya suatu ayat Subhi Shlaih menyebutkan bahwa; asbab nuzul
adalah sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayatyang mengandung
sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu atau menerangkan hukumnya pada masa
terjadinya sebab itu.1

Al-Zarqani menyebutkan; Asbab al-nuzul adalah suatu peristiwa yang terjadi yang
dengan peristiwa atau kejadian tersebut menyebabkan turunnya ayat, atau suatu peristiwa
yang dapat dajadikan dalil atau petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat. 2Sedangkan
Al-Sabuni mengatakan; asbab nuzul adalah suatu peristiwa atau kejadian tertentu yang dalam
pada itu turun satu atau beberapa ayat Qur‟an atau suatu pertanyaan yang diajukan oleh
sahabat kepada Nabi untuk mengetahui hukum syara‟, atau untuk menafsirkan sesuatu yang
berkaitan dengan agama, kemudian turun satu atau beberapa ayat untuk memberikan
penjelasan terhadap masalah terkait.

Meskipun demikian tidak semua latar historis dari turunnya ayat-ayat Qur‟an dapat
diketahui melalui riwayat yang tertulis dalam sebuah hadis atau atsar. Dalam kaitan tersebut,
Fazlur Rahman menjelaskan bahwa secara garis besar latar sejarah turunnya ayat-ayat al-
Qur‟an dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu: latar historis yang bersifat makro; yaitu
seluruh kondisi sosial dan budaya yang melingkupi historistas bangsa dan Jazirah Arabiyah
pada waktu itu adalah merupakan latar historis yang bersifat makro. Sedangkan latar sejarah
yang bersifat mikro; yaitu konsep lisan/dan tertulis yang diperoleh oleh sahabat dari Nabi.

1
Subhi Shalih, Mabahits fi al-‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-„Ilm alMalayin, 1977), hlm. 132
2
Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al- Irfan, fi ‟Ulum alQur‟an (Beirut: Dar al-Fikri, 1988)
2. Pentingnya Asbabun Nuzul

Seperti yang dikemukan sebelumya asbab al-nuzul, adalah suatu peristiwa yang
menjelaskan latar belakang sejarah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat Qur‟an.
Dengan mengetahui latar peristiwa dari diturunkannya Qur‟an, para penafsir sangat terbantu
dalam memberikan interpretasi terhadap suatu ayat dalam kaitannya dengan suatu masalah
atau problem yang ingin dipecahkan.Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa untuk
mengetahui tafsir sebuah ayat secara baik, maka niscaya untuk mengetahui terlebih dahulu
kisah dan latar belakang diturunkan ayat tersebut.Keniscayaan untuk mengetahui asbab al-
nuzul suatu ayat sebelum menafsirkan dan menyimpulkan maknanya adalah hal yang sangat
urgen agar penafsir tidak salah mengambil kesimpulan dari suatu informasi ajaran Qur‟an.

karena itu, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya suatu ayat, mengantar


seseorang dapat memahami hikmah disyariatkannya suatu hukum. Dengan mengetahui asbab
al-nuzul seorang penafsir akan mampu memetakan kekhususan suatu perkara, yang
disebabkan oleh suatu sebab tertentu. Pengetahuan terhadap sebab turunnya suatu ayat juga
akan memberikan horizon dan wawasan yang lebih konprehensip terhadap makna dari suatu
ayat, atau dengan kata lain, asumsi atau kesan yang seolah-olah rigid atau sempit dari
informasi suatu ayat dapat dihilangkan atau diminimalisasi.

Sebagai suatu contoh tentang rentannya penafsiran yang tidak memperhatikan asbab
nuzul, ialah penafsiran Usman bin Maz‟un dan Amr bin Ma‟addi terhadap ayat 93 surat al-
Ma‟idah (5);

‫وْ ا‬MMَ‫وا ثُ َّم اتَّق‬MMُ‫وْ ا َوآ َمن‬MMَ‫ت ثُ َّم اتَّق‬ ِ ‫ْس َعلَى الَّ ِذينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
َّ ‫وا‬MMُ‫وا َو َع ِمل‬MMُ‫ت ُجنَا ٌح فِي َما طَ ِع ُموا إِ َذا َما اتَّقَوْ ا َوآ َمن‬
ِ ‫الِ َحا‬M‫الص‬ َ ‫لَي‬
َ‫َوأَحْ َسنُوا َوهَّللا ُ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِين‬

“Tidak ada dosa bagi oang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh karena
memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta
beriman dan beramal saleh” (QS. Al-Maidah/5: 93)

Zahir ayat, kesannya membolehkan mereka menkonsumsi minuman khamar. Atas


dasar penafsiran yang melenceng terhadap makna ayat tersebut, al-Sayuti kemudian
berkomentar: seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat ini, tentunya mereka tidak
akan mengatakan demikian. Sebab Ahmad al-Nasai dan lainnya meriwayatkan bahwa sebab
turunnya ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib
kaum Muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya meminum khamar.3

3. Pendekatan untuk Mengetahui Asbab Nuzul

Asbab al-nuzul dalam arti sebab-sebab khusus yang mengiringi turunnya suatu ayat
bukanlah merupakan pendapat perseorangan atau individu, tetapi merupakan peristiwa
sejarah yang dinukilkan atau diriwayatkan oleh parawi (pewarta) hadis melalui suatu seleksi
yang ketat dengan syarat-syarat ilmiah yang dikenal dalam ilmu sejarah dan hadis. Oleh
karena itu, jalan untuk mengetahui sebab nuzul satu ayat tidak dapat dilepaskan dari
pendekatan ilmu hadis, yaitu melalui sumber riwayat yang sahih yang diriwayatkan secara
berantai, mulai dari sahabat, tabi’in,tabi’ tabi’in hingga kepada periwayat hadis yang
menulisnya dalam suatu kitab atau buku hadis. Yang mensyaratkan adanya ketersambungan
sanad, pewarta yang adil dan dhabith, tidak terdapat dzas (atau kerancuan) serta tidak
mengandung ’illat ( cacat).

Dalam kenyataannya tidak semua ayat yang turun memiliki sebab-sebab khusus yang
melalui riwayat yang dinukilkan secara berantai dari Nabi hingga rawi yang menuliskannya
dalam suatu koleksi hadis, sehingga Ibnu Sirin menyatakan: Aku bertanya kepada Abidah
tentang suatu ayat, kemudian ia berkata bertaqwalah kalian kepada Allah dan berkatalah
dengan benar. Ketahuilah bahwa orang yang mengetahui sebab-sebab diturunkannya suatu
ayat sangat langka.Pernyataan Ibnu Sirin seperti yang dikutip menunjukkan pada terbatasnya
riwayat-riwayat tertulis tentang sebab turunnya suatu ayat, sehingga meniscayakan kehati-
hatian dalam menukil asbab nuzul suatu ayat.Terbatasnya riwayat tertulis tentang asbab nuzul
ayat Qur‟an, menjadikan para ulama memberlakukan syarat yang ketat dalam menerima
riwayat terkait nuzul dari suatu ayat.

Menurut Thaba‟thaba‟i: banyak sekali hadis asbab al- nuzul yang diriwayatkan oleh
para ulama Ahlus Sunnah, dan barangkali mencapai beberapa ribu hadis. Adapun yang
diriwayatkan oleh ulama Syi'ah, jumlahnya sedikit, dan barangkali berjumlah hanya beberapa
ratus saja. Perlu diketahui bahwa tidak semua hadis ini sanad-nya bersambung sampai kepada
Nabi SAW., dan sahih, melainkan ada juga yang mursal (dalam sanad-nya nama sahabat yang
meriwayatkan langsung dari Nabi dibuang) dan dha'if. Penyelidikan terhadap hadis-hadis ini
membuat orang meragukannya karena beberapa alasan:

3
Jalaluddin al-Sayuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (ttp. : Dar al-Fikr, tth), hlm. 29
Pertama, gaya kebanyakan hadis ini menunjukkan bahwa perawi tidak meriwayatkan
asbab al- nuzul secara lisan dan tertulis, melainkan dengan meriwayatkan suatu kisah,
kemudian menghubungkan ayat-ayat -Quran dengan kisah itu. Pada hakikatnya, asbab al-
nuzul yang disebutkannya itu hanyalah didasarkan atas pendapat, bukan atas pengamatan dan
pencatatan.Bukti pernyataan ini adalah banyaknya pertentangan di dalam hadis-hadis ini.
Yakni, satu ayat diberi beberapa keterangan yang saling bertentangan tentang sebab turunnya,
dan sama sekali tidak bisa dipertemukan, sampaisampai mengenai satu ayat diriwayatkan
beberapa sebab turunnya dari Ibnu Abbas dan orang-orang sepertinya, umpamanya, yang
tidak bisa dipertemukan.

Ada dua kemungkinan berkenaan dengan hadis-hadis yang saling bertentangan ini:

Pertama, asbab al- nuzul didasarkan pada ijtihad atau penalaran, bukan periwayatan.Dan
setiap perawi berusaha menghubungkan suatu ceritera, yang sebenarnya tidak ada dalam
kenyataan, dengan suatu ayat.Kedua, semua hadis ini, atau sebagian besarnya, adalah rekaan
belaka.

Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan di atas, maka menurut al-Thaba‟tana‟i,


hadis-hadis tentang asbab al- nuzul tidak bisa dipertanggung- jawabkan.Oleh karena itu,
hadis-hadis tersebut tidak bisa diterima, meskipun ber- sanad sahih, karena kesahihan sanad
menghilangkan hanya kemungkinan dusta dari tokoh-tokoh dalam sanad itu, tetapi
kemungkinan perekaan dan penggunaan nalar tertentu tetap ada.

Kedua, pada masa awal Islam, khalifah melarang penulisan hadis.Semua kertas dan
papan yang didapati memuat tulisan hadis dibakar.Larangan ini berlaku sampai akhir abad
pertama Hijrah, atau selama kurang lebih sembilan puluh tahun. Larangan ini membuat para
perawi meriwayatkan hadis menurut maknanya saja, sehingga hadis mengalami perubahan-
perubahan setiap kali seorang perawi meriwayatkannya kepada perawi yang lain. Akibatnya,
hadis diriwayatkan tidak menurut aslinya. Hal ini akan sangat jelas bila kita telaah suatu
kisah yang disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan melalui beberapa jalur sanad,
karena boleh jadi terdapat dua hadis saling bertentangan tentang satu kisah. Kebiasaan
meriwayatkan hadis menurut maknanya dengan cara yang meragukan ini merupakan salah
satu penyebab tidak dapat dipertanggungjawabkannya hadis-hadis tentang asbab al-nuzul.4

Selain melalui riwayat yang tertulis secara khusus mengenai suatu sebab turunnya
ayat, maka asbab nuzul juga dapat ditelaah melalui konteks suasana sosiohistoris dan kultural
4
Thaba‟thaba‟i, Memahami………hlm. 135-137
yang terjadi di Jazirah Arabiyah pada waktu/ketika ayat Qur‟an diturunkan. Untuk
meengetahui hal ini, maka dibutuhkan kajian sejarah yang mendalam dan teliti terkait dangan
tradisi dan budaya yang sedang berkembang pada tempat dimana Qur‟an diturunkan. Dengan
mengetahui sejarah, budaya dan tradisi yang dijalankan oleh masyarakat Arab pada masanya
akan membantu para penafsir untuk ”menebak” sekaligus mengetahui muatan koteks suatu
ayat. Secara teoretis pengetahuan tentang muatan konteks suatu ayat, menghindarkan para
penafsir dari pengerdilan makna ayat Qur‟an, sehingga pemaknaan suatu ayat menjadi lebih
luas alias tidak rigid dan kaku. Pemaknaan ayat Qur‟an denga bersandar pada makna konteks
suatu ayat, menjadikan ayat-ayat Qur‟an ”salihun likulli zaman wa makan” (tetap aktual atau
memiliki kesesuain dengan logika zaman yang terus berkembang).

E. Nasakh (Pembatalan)
1. Pengertian

Naskh menurut bahasa dipergunakan untuk arti izalah (menghilangkan). Misalnya


dikatakan : nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya, matahari menghilangkan bayang-
bayang: dan nasakhat ar-rih atsara al masyyi, artinya, angin menghapuskan jejak langkah
kaki. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke
tempat lain. Misalnya : nasakhtu al-kitab, artinya, saya menyalin isi kitab. Di dalam Al-
Qur’an dikatakan:

َ ُ‫إِنَّا ُكنَّا نَ ْستَ ْن ِس ُخ َما ُك ْنتُ ْم تَ ْع َمل‬


‫ون‬
“Sesungguhnya kami menyuruh untuk menasakh apa dahulu kalian kerjakan”(Al-
Jatsiyah:29). Maksudnya, Kami (Allah) memindahkan amal perbuatan ke dalam lembaran-
lembaran catatan amal.

Menurut istilah naskh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil
hukum syara’ yang lain.” Disebutkanya kata “hukum” disini, menunjukan bahwa prinsip
“segala sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-Ashliyah) tidak termasuk yang
dinasakh. Kata kata “ dengan dalil hukum syara” mengecualikan pengangkatan
(penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’
atau qiyas.

Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang dihapuskan. Maka ayat mawarits
(warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya. Misalnya adalah menghapuskan
(nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat sebagaimana akan dijelaskan.
2. Hal hal yang mengalami naskh

Dari uraian di atas diketahui bahwa naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan,
baik yang di ungkapkan dengan tegas dan jelas maupun, yang diungkapkan dengan kalimat
berita (khabar) yang bermakna amr (perintah) atau nahy ( larangan), jika hal tersebut tidak
berhubungan dengan persoalan akidah, yang berhubungan dengan Dzat Allah, sifat-sifat-Nya,
kitab-kitabnya, para rasul-Nya dan Hari kemudian, juga berkaitan dengan etika dan akhlak
atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syari’at Ilahi tidak
lepas dari pokok pokok tersebut. Dalam masalah prinsip ini semua syari’at adalah sama.

3. Pedoman Mengetahui Naskh

Untuk mengetahui Naskh ada beberapa cara:

1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti Hadist:

“ Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka (kini) bereziarah


kuburlah.”(HR.Al-Hakim).

2. Ijma’ umat bahwa ayat ini naskih dan yang itu mansukh

`3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan sejarah

4. Jenis-jenis Nasakh

Nasakh ada empat bagian:

Pertama, naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Bagian ini disepakati kebolehanya dan
telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh. Misalnya, ayat
tentang ‘iddah empat bulan sepuluh hari, sebagaimana akan dijelaskan contohnya.

Kedua, naskh Al-Qur’an dengan As-sunnah. Nasakh ini ada dua macam:

A. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis ahad, jumhur berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinaskh
oleh hadist ahad, sebab Al-Qur’an adalah mutawatir dan menunjukan keyakinan, sedang
hadis ahad itu Zhanni, bersiafat dugaan, di samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu
yang ma’lum (yang di ketahui ) dengan yang mazhnun (diduga).

B. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir. Nasakh semacam ini dibolehkan oleh Malik,
Abu Hanifah, dan Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“ Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 4-5)

Dan firman-Nya pula,

“ Dan kami turunkan kepadanya Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah di turunkan kepada mereka.”(An-Nahl:44).

Dan nasakh itu sendiri merupakan salah satu penjelasan.

Dalam pada itu Asy-Syafi’i, Zhahiriyah dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain
menolak nasakh seperti ini, berdaasarkan firman Allah,

“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami
datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengan nya.”(Al-Baqarah:106)

Sedang Hadis tidak lebih baik darin atau sebanding dengan Al-Qur’an.

Ketiga, nasakh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai
contoh ialah masalah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan As-Sunnah dan di
dalam Al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukannya. Ketetapan ini dinasakhkan oleh
Al-Qur’an dengan firman-Nya:

”maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”(Al-Baqarah:144)

Kewajiban puasa pada hari ‘Asyura’ yang ditetapkan berdasarkan Sunnah, juga
dinasakh oleh firman Allah:

“Maka barang siapa menyaksikan bulan Ramadhan, hendaklah ia berpuasa....”(Al-


Baqarah:185)

Tetapi nasakh versin ini pun ditolak oleh Imam Syafi’i dalam salah satu riwayat.
Menurutnya, apa saja yang ditetapkan Sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja
yang ditetapkan Al-Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Al-Qur’an
dengan Sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.

Keempat, nasakh Sunnah dengan Sunnah. Dalam kategori ini terdapatn empat bentuk:
1) nasakh mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad dengan ahad. 3)nasakh ahad dengan
mutawatir, dan 4) nasakh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang
pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh Al-Qur’an dengan hadis
ahad, yang tidak dibolehkan oleh jumhur.
Adapun menasakh ijma’dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau manasakh dengan
keduanya, maka pendapat yang shahih tidak membolehkan nya.

5. Nasakh dengan penganti dan Tanpa pengganti

Nasakh itu adakalanya disertai dengan badal (pengganti) dan ada pulanya yang tanpa
badal. Nasakh dengan badal terkadang badalnya itu lebih ringan, sebanding dan terkadang
pula lebih berat.

1). Nasakh tanpa badal. Misalnya penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap
Rasulullah sebagaimana diperintahkan dalam firman Allah:

“Hai orang orang yang beriman, apabila kamu menghadap lalu mengadakqan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu.”(Al-Mujadilah:12)

Ketentuan itu dinasakh dengan firman-Nya:

“Apakah kamu takut (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya dan Allah telah memberi
taubat kepadamu- maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat....”(Al-Mujadilah:13)

2) Nasakh dengan badal yang lebih ringan. Misalnya:

“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu...”(Al-
Baqarah:187).

Ayat ini menasakh ayat:

“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum


kamu....”(Al-Baqarah:183).

Karena maksud ayat 183 ini adalah agar puasa kita sesuai dengan ketentuan puasa orang-
orang terdahulu; yaitu diharamkan makan, minum, dan bercampur dengan istri apabila
mereka mengerjakan shalat petang atau telah tidur, sampai dengan malam berikutnya,
sebagaimana disebutkan oleh para ahli.

3). Nasakh dengan badal yang sepadan. Misalnya penghapusan kiblat shalat menghadap ke
Baitul Maqdis dengan menghadap ke Ka’bah:

“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidih Haram....”(Al-Baqarah:144).


4) Nasakh dengan badal yang lebih berat. Seperti penghapusan hukuman penaharhanan di
rumah (terhadap wanita yang berzina), dalam ayat:

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbvuatan keji datangkanlah empat orang
saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian mereka memberi kesaksian, maka
kurungkanlah mereka (wanita wanita itu) di dalam rumah.” (An-Nisa:15),

dengan hukuman cambuk, dalam ayat : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina....”(An-Nur:2), ataub dengan hukuman rajam sebagaimana disebutkan dalam firman-
Nya: “Orang tua laki-laki dan perempuan, apabila keduannya berzina maka rajamlah
mereka.......

5. Contoh-contoh Nasakh

1. Firman Allah: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram,
Katakanlah: Berperang pada bulan itu adalah dosa besar.” (Al-Baqarah:217). Ayat ini
dinasakh oleh ayat : “dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka
pun memerangi kamu semuanya.” (At-Taubah:36).

Ada yang berpendapat, keumuman perintah berperang dalam ayat ini harus diartikan
sebagai perintah berperang di luar bulan-bulan haram. Karena itu dalam hal ini tidak ada
nasakh.

2. Firman Allah : ”Dan apabila sewaktu pembagian pusaka itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya)” (An-Nisa:8). Ayat ini
dinasakh oleh ayat waris. Namun ada yang berpendapat, dan inilah yang benar, ayat tersebut
tidak mansukh, dan hukumnya tetap berlaku sebagai anjuran.

3. Firman Allah : “ Jika kamu melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatan itu........” (Al-Baqarah:284). Ayat ini dinasakh oleh firman-Nya, “Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya.” (Al-Baqarah:286).
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
“Qara’a” memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun. Qira’ah berarti
merangkai huruf-huruf dan kata-kata satu dengan lainnya dalam satu ungkapan kata
yang teratur. Al-Qur’an asalnya sama dengan qira’ah yaitu akar kata (masdar-infinitif)
dari qara’a, qira’atan wa qur’anan.

Qur’anah disini berarti qiro’ah (bacaan atau cara membacanya). Jadi kata itu adalah
akar kata (masdar) menurut wazan (tashrif) dari kata fu’lan seperti “ghufron” dan
“syukron”. Secara khusus, Al-Qur’an menjadi nama bagi sebuah kitab yang diturunkan
kepada Muhammad SAW, dan sebut an Al-Qur’an tidak terbatas pada sebuah kitab
dengan seluruh kandungannya, tetapi juga bagian ayat-ayatnya juga dinisbahkan
kepadanya. Penyebutan kata Makkiyah dan Madaniyah baru muncul kemudian, yakni
setelah Rasulullah wafat. Beliau sendiripun tidak pernah menetapkan surat-surat mana
yang termasuk ke dalam golongan Makkiyah dan mana yang Madaniyah. Sebagai
buktinya tidak ada kesepakatan pendapat di kalangan para ulama mengenai persoalan
yang terkait dengan kedua istilah tersebut, terutama mengenai arti sebenarnya pemakaian
istilah Makkiyah dan Madaniyah. Asbab al-nuzul dalam arti sebab-sebab khusus yang
mengiringi turunnya suatu ayat bukanlah merupakan pendapat perseorangan atau
individu, tetapi merupakan peristiwa sejarah yang dinukilkan atau diriwayatkan oleh
parawi (pewarta) hadis melalui suatu seleksi yang ketat dengan syarat-syarat ilmiah yang
dikenal dalam ilmu sejarah dan hadis. Oleh karena itu, jalan untuk mengetahui sebab
nuzul satu ayat tidak dapat dilepaskan dari pendekatan ilmu hadis, yaitu melalui sumber
riwayat yang sahih yang diriwayatkan secara berantai, mulai dari sahabat, tabi’in,tabi’
tabi’in hingga kepada periwayat hadis yang menulisnya dalam suatu kitab atau buku
hadis. Yang mensyaratkan adanya ketersambungan sanad, pewarta yang adil dan dhabith,
tidak terdapat dzas (atau kerancuan) serta tidak mengandung ’illat ( cacat).
DAFTAR PUSTAKA
https://www.google.co.id/books/edition/Pengantar_Studi_Ilmu_Al_Qur_an/HLFlD
wAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=definisi+al+quran&printsec=frontcover

https://www.google.co.id/books/edition/Al_Quran_dan_Qiraah_Syadzah/3wexDwA
AQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=definisi+al+quran&printsec=frontcover

Drajat, Amroeni. 2017. Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Depok : Kencana.

Yasir Muhammad, dan Ade Jamaruddin. 2016. Studi Al-Qur’an. Riau : Asa Riau.

Syaikh Manna Al-Qathan, pengantar studi ilmu Al-Qur’an

Jalaluddin al-Sayuti, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (ttp. : Dar al-Fikr, tth), hlm. 29

Muhammad Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al- Irfan, fi ‟Ulum alQur‟an (Beirut:
Dar al-Fikri, 1988)

Anda mungkin juga menyukai