Anda di halaman 1dari 2

Penggunaan Teori Kritis untuk Riset Akuntansi Interpretif? (Bisakah?

)
Posted on March 26, 2014 by Ari Kamayanti
Terkadang seorang peneliti mengklaim bahwa ia menggunakan paradigma kritis HANYA karena
alat analisis yang digunakan adalah teori kritis. Klaim ini tidak sepenuhnya benar. Yang perlu
dipahami dalam paradigma kritis adalah tujuan penelitian yang ingin melakukan emansipasi dan
perubahan. Jadi, jika teori kritis digunakan untuk memetakan fenomena yang sedang terjadi,
maka penelitian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penelitian dalam paradigma kritis, namun
bisa jadi telah masuk dalam paradigma interpretif.

Misalnya saja, jika ada penelitian tentang fenomena privatisasi BUMN yang kemudian dianalisis
melalui “kacamata” Marhaenisme, maka penelitian tersebut tidak dapat dikatakan berada dalam
paradigma kritis jika tujuannya adalah telaah apa yang telah terjadi pada BUMN tersebut. Klaim
paradigma kritis ala Marhaen dapat dicapai jika, misalnya, penelitian tersebut mengkritisi dan
menghasilkan konstruksi cara/strategi untuk menghindari privatisasi untuk melindungi
kepentingan rakyat kecil.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah karakter teori kritis yang digunakan. Setiap teori
kritis pasti memberikan sebuah cara untuk melakukan perubahan dan pembebasan. Teori Kritis
Marxis, misalnya, menyarankan pengaburan batas kelas proletar dan borjuis untuk
menghilangkan jeratan kapitalisme. Disebutkan:

“Marx is here explicitly concerned with the phenomenon that is commonly described today as
the separation of ownership and control. He discusses what he calls the “transformation of the
really functioning capitalist into a mere director, an administrator of alien capital, and of the
owners of capital into mere owners, mere money capitalists”.

It is a “point on the way to the transformation of all functions in the process of reproduction
hitherto connected with capital ownership into mere functions of the associated producers, into
social functions” (p. 478). The joint-stock company, in other words, is halfway to the communist
—and that means class-less society. (Dahrendorf 1959:22). Classes do not constitute
themselves as such until they participate in political conflicts as organized groups.

Teori kritis lainnya seperti Habermas menggunakan praxis untuk melakukan perubahan yang
disepakati bersama melalui rasionalisasi aksi-komunikasi. Gramsci menyarankan strategi
kounter-hegemoni untuk melawan hegemoni.
Karakter-karakter teori ini seharusnya muncul tidak hanya dalam metodologi namun juga dalam
hasil penelitian. Sebenarnya cara yang paling mudah adalah dengan menggunakan “ruh”
karakter teori tersebut yang secara khas inheren. Misalnya, peneliti dapat menggunakan bahasa-
bahasa seperti “bewust” untuk menjelaskan hasil penelitian berbasis Marhaen, atau “intellectual
organ” untuk menjelaskan hasil pada penelitian berbasis Gramsci, dst.

Paradigma kritis juga harus sarat dengan refleksivitas kritis. Ketidak setujuan atas suatu
fenomena perlu dipertegas (walau dengan bahasa yang “lebay” seperti “meggugat”
“mendobrak”, dan “membenturkan”). Tentu saja perlu pula justifikasi ilmiah bahwa pendapat
serupa pernah dilontarkan. Hindari tata bahasa yang cenderung normatif, yaitu yang
membenarkan teori yang ada tanpa refleksivitas.

untuk mengembangkan literatur akuntansi yang lebih refleksif dan kontekstual yang mengakui
interkoneksi antara masyarakat, sejarah, organisasi dan teori dan praktik akuntansi

meletakkan dasar untuk eksplorasi, dalam konteks penelitian interdisipliner, pertanyaan tentang
kondisi yang memungkinkan reproduksi dan transformasi masyarakat, makna budaya, dan
hubungan antara individu, masyarakat dan alam. Meskipun ada perbedaan dalam cara mereka
merumuskan pertanyaan, para ahli teori kritis percaya bahwa melalui pemeriksaan masalah sosial
dan politik kontemporer mereka dapat berkontribusi pada kritik terhadap ideologi dan
perkembangan politik non-otoriter dan non-birokrasi.

Anda mungkin juga menyukai