Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem ekonomi Islam merupakan system ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya
ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi
(persaingan). Karena kerjasama meupakan tema umum dalam organisasi sosial Islam.
Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan
orang lain merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan daya guna
seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi Islam mengajarkan kepada
para pemeluknyaagar memperhatikan bahwa perbuatan baik (amal sâlih) bagi masyarakat
merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat sebaik- baiknya demi
kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan di semua bagian Al-Quran dan ditunjukkan
secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri.

Prinsip persaudaraan (ukhuwwah) sering sekali ditekankan dalam Al-Quran maupun


Sunnah, sehingga karena itu banyak sahabat menganggap harta pribadi merekasebagai hak milik
bersama dengan saudara-saudara mereka dalam Islam. Kesadaran dan rasa belas kasihan kepada
sanak keluarga dalam keluarga besar juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang lain,
karena berbuat baik (beramal salih) kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya dihimbau
tetapi juga diwajibkan dan diatur oleh hukum (Islam).

Kerukunan hidup dengan tetanggasangat sering ditekankan baik dalam Al-Quran maupun
Sunnah; di sini kita jugamelihat penampilan kepedulian sosial lain yang ditanamkan oleh Islam.
Dan akhirnya, kesadaran, kepedulian dan kesiapan untuk melayani dan berkorban disaat
diperlukan demi kebaikan masyarakat keseluruhan amat sangat ditekankan. Ajaran-ajaran Islam
pada umumnya dan terutama ayat-ayat Al-Quran berulang-ulang menekankan nilai kerjasama
dan kerja kolektif. Kerjasama dengan tujuan beramal saleh merupakan perintah Allah yang
dinyatakan dalam Al-Quran. Baik dalam masalah-masalah spiritual, urusan-urusan ekonomik
atau kegiatan sosial, Nabi SAW menekankan kerjasama diantara umat Muslim sebagai
landasanmasyarakat Islam dan merupakan inti penampilan
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum

Tujuan pembahasan mengenai Ekonomi Islam di dunia, khususnya masyarakat Indonesia


dan pemerintah setempat lebih memperhatikan prinsip-prinsip ajaran agama terutama dalam
bidang ekonomi dengan menggunakan system ekonomi Islam. Sehingga bisa masyarakat bisa
berakivitas dalam bidang ekonomi sesuai tuntutan syariat yang diridhai oleh Allah SWT.

2. Tujuan Khusus

Tujuan Manfaat yang ingin diperoleh dari makalah ini adalah :

a) Kita dapat membandingkan konsep ekonomi Islam dan ekonomi lainnya.


b) Mahasiswa dapat Menyebutkan beberapa lembaga ekonomi Islam.
c) Kita dapat menjelaskan realitas ekonomi umat Islam di Indonesia dan alternative beserta
solusinya.

C. RUMUSAN MASALAH

Adapun masalah yang dibahas pada makalah ini adalah :

1. Apa pengertian ekonomi Islam?


2. Apa tujuan dan fungsi dari ekonomi Islam?
3. Apa saja lembaga-lemabaga yang dinaungi oleh system ekonomi Islam?
4. Apa perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis dan komunis?
5. Bagaimana kondisi perekonomia umat khususnya di Indonesia?
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN Al-QURAN

Q.S. al-A’raf (7): 128

“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah;
sesunggunhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-
Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa”

Pada ayat ini, Allah mengamanatkan bumi serta isinya bagi manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya. Dan hendaknya manusia meningkatkan ilmu pengetahuan guna
menyimak berbagai fenomena yang ada di bumi.

Q.S. al-Nisa (4): 32 Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu
lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
segala sesuatu”

Ayat ini, mengisyaratkan bahwa Allah memberi rizki kepada manusia dengan ukuran yang
berbeda-beda tergantung usahanya.

Q.S. An-Nisa (4): 29

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara
kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu”
(Q.S. al-Nisa (4): 29
Melalui ayat ini Allah mengharuskan adanya kejujuran dalam melakukan perdagangan sehingga
terciptanya kemaslahatan yang menjadi harapan setiap individu. Masih berkaitan dengan hal
diatas, Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an Q.S. al-Muthaffifin (83): 1-3

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”

Q.S. al-Baqarah (2): 278

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”[20].

Kedua ayat tersebut menghendaki adanya kemaslahatan dalam perlakuan perekonomian, tidak
dibolehkan menciptakan sistem saling memaksa kepada pelaku ekonomi lain untuk melakukan
sistem tersebut, walaupun ia tahu dirinya akan menjadi korban dari para pelaku riba.

Q.S. al-Baqarah (2): 283

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh orang
yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”[21].

Ayat ini mengisyaratkan bahwa, pinjaman dibolehkan asal digunakan untuk hal-hal yang
bermanfaat bagi hidup manusia, dan demi terselenggaranya optimalisasi produksi. Karena utang
sangata rentan terhadap masalah.

Dan masih banyak lagi ayat Al-Quran yang berkenaan dengan system ekonomi Islam

B. PENGERTIAN SINGKAT MENGENAI EKONOMI ISLAM

Berikut pengertian ekonomi Islam menurut beberapa ahli, untuk memperdalam pemaknaan
pembaca akan pengertian ekonomi Islam yang kami ambil dari berbagai sumber:
1. Yusuf Qardhawi:

“Ekonomi Islam adalah ekonomi yang didasarkan pada ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari
Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at
Allah.”

2. M. Syauqi Al-Faujani:

“Ekonomi Islam merupakan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya yang


didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang ekonomi.”

3. S.M. Hasanuzzaman:

“Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah yang
mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna
memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-
kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.”

Adapun secara umum ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi
manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid
sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Bekerja merupakan suatu
kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At
Taubah ayat 105:

“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman
akan melihat pekerjaan itu.”

Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:

”Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia
mendapat ampunan.”

(HR.Thabrani dan Baihaqi)


C. FUNGSI, PERAN EKONOMI ISLAM
1. Fungsi dan Peran Ekonomi Islam

Fungsi ekonomi Islam dan perannya terhadap perkembangan zaman snagatlah


besar, melalui system ekonomi Islam pertumbuhan ekonomi dna kesejahteraan Negara bisa
meningkat. Hal ini tercatat dalam sejarah saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
bahwa pada saat itu kota Baghdad yang berada dalam kepemimpinannya mengalami sesuatu
yang sangat menakjubkan yaitu kesulitan para muzakki (pemberi zakat) mencari penerima
zakat. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa telah terjadi sebuah kecemerlangan system
ekonomi dalam mengatur Negara. dan ekonomi Islamlah satu-satunya yang dapat membuatnya
menjadi kenyataan. Adapun pada masa kini, pertumbuhan ekonomi Negara yang mengambil
system ekonomi Islam misalnya Saudi Arabia tidak mengalami kerugian yang berarti saat terjadi
krisis moneter pada tahun 90an. Hal ini membuktikan betapa harusnya negara terutama negara
Islam seperti Indonesia untuk menjadikan Ekonomi Syariah sebagai tonggak dasar pertumbuhan
ekonomi Negara.

Pada saar ini Peran ekonomi Islam di Indonesiapun mulai mengalami pertumbuhan yang
cepat, hal ini ditunjukkan dengan menjamurnya berbagai macam Lembaga Ekonomi Syariah.
Respon masyarakatpun menyambut baik hal ini, karena dalam ekonomi syariah kedua belah
pihak, baik pihak pembeli maupun penjual mendapatkan keuntungan yang lebih dibandingkan
menggunakan ekonomi kapitalisme yang menyuburkan lahan riba.

2. Manfaat Ekonomi Islam

Mengamalkan ekonomi Islam jelas mendatangkan manfaat yang besar bagi ummat itu
sendiri, dengan menggunakan system ekonomi Islam seorang muslim dapat mewujudkan
integritasnya sebagai muslim yang kaffah, sehingga Islam tidak lagi parsial. Bila ummat Islam
masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keislamannya belum kaffah sebab
ajaran ekonomi Islamnya diabaikan. Selain itu dengan mengamalkan system ekonomi Islam
dapat meningkatkan kesejahteraan oranglain karena sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yang
mengutamakan bagi hasil dan kepedulian terhadap sesama manusia.
BAB 3

PEMBAHASAN

A. SISTEM EKONOMI ISLAM


1. Definisi dan Sejarah Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab akan menjadi an nizhôm al
iqtishâd al islâmy. Secara harfiah al iqtishâd (ekonomi) berarti qashada: bertujuan dalam suatu
perkara, tidak berlebihan, berhemat dalam membelanjakan uang atau tidak boros sebagaimana
tertera di buku Lisanul Arab milik Ibnu Manzur. Adapun secara terminologi berarti ilmu yang
mempelajari tentang segala sesuatu yang diturunkan oleh syariat Islam sehubungan dengan al
iqtishâd dalam 3 permasalahannya: aqidah, fiqh dan akhlaq.

Dengan bahasa lain bahwasanya istilah ekonomi Islam berarti analisa tentang hal-hal
seputar ekonomi yang berasaskan hukum-hukum syariah. Sebagaimana ketika istilah ekonomi
ini disandingkan dengan fiqh akan mengandung analisa perkara perkonomian ditinjau dari segi-
segi fiqhnya.

Adapun istilah ekonomi Islam sendiri belum muncul pada zaman Rasul, melainkan baru
ada pada akhir dari abad ke-14 hijriah.Tetapi meskipun begitu substansi dari istilah tersebut
sudah muncul bersamaan dengan tumbuhnya hukum-hukum Islam. Jadi sistem perkonomian
pada zaman ini walau tidak mengenal istilahnya secara terminologi, tetapi pada prakteknya fokus
mereka sudah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan
kebebasan. Fokus-fokus tadi merupakan gambaran spirit dan objek utama dari pemikiran
ekonomi Islam sejak masa awal.

Perkembangan selanjutnya dari ekonomi Islam ini kemudian tidak jauh dari sejarah
perkembangan fiqh itu sendiri. Hal itu tidak lain karena asas dari ekonomi Islam adalah
mu’amalah yang disyariahkan dalam Qur’an dan Sunnah. Tetapi yang perlu dicatat adalah
beberapa buku yang memuat tentang perkonomian sebelum Islam masuk ke periode stagnansi
sudah banyak dikarang oleh para ulama.
2. Karakteristik Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis
mu’amalah islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah Islam. Dari sini
bias dipastikan bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik tersindiri. Dr.
Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam, yaitu :

1. Spirit ketuhanan (Robbaniyah)

Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua
perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala
kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat ketuhanan. Tentunya ini sangat berbeda dengan
sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya hanya member kepuasan pada diri tanpa
merujuk atau bertujuan selain dari itu.

Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek
kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian. Islam telah mengajarkan bahwa
manusia merupakan pemimpin di muka bumi sebagaimana firmanNya “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Kemudian dilanjutkan dengan ayat “Dia
Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” Ditambah lagi
dengan firmanNya “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan
kamu menguasainya.”

Jelas penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan dari sistem ekonomi
islam, yaitu sebuah asas ketuhanan. Sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat yang
tentram serta seimbang perkonomiannya.

2) Keseluruhan (syumûliah)

Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari ketetapan-ketetapan
yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur segala aspek
kehidupan yang masuk di dalamnya aspek perekonomian. Dengan masuknya ekonomi sebagai
salah satu aspek kehidupan dalam Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang memproduksi
barang di dasarkan atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti mempertimbangkan akan halal
dan haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu yang mengandung hal-hal
membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai perbuatan lainnya akan
disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam

3)Fleksibilitas (murûnah)

Kaidah-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa makân. Dengan bahasa
yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan dalam berbagai dimensi waktu dan tempat.
Tentunya hal itu berkaitan erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) serta mutaghayyirat
(hal yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok) dalam agama dan
furu’nya (cabang). Dengan model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian bisa
disesuaikan dengan hukum-hukum fiqh yang ada

Tapi fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Dr. Rif’at Audhy di
salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al Islamiyah menerangkannya dengan cukup
jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang bisa.
Adapun sisi yang tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan dua
hukum yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu sama
saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan keadaan, dan
bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sedangkan sisi yang bisa diterima adalah
ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu menghukumi perkembangan
zaman.

Dr. Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan bahasan ahkam
taklifiyah yang 5. Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis hukumnya yaitu ibahah
adalah sesuatu yang semakna dengan al ‘afwu dalam hadis Rasul

‫وما ُس ّكت عنه فهو عفو‬

Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah yang dengannya
orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang dibutuhkan di dunia. Ibadah adalah
sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok syariah, maka kita mengetahui bahwa ibadah yang
ditetapkan olehNya tidak akan sah kecuali dengan ketentuan yang ditetapkan syariah. Adapun
adat adalah hal yang biasa dilakukan oleh manusia di dunia, maka unsur pokoknya adalah tidak
adanya larangan (al ashlu fîhi ‘adamul hazhr) kecuali yang telah dilarang olehNya.

Dengan kaidah yang disebutkan maka kebanyakan perkara yang ada di ekonomi Islam
berasaskan ibâhah atau al ‘afwu. Maka dari penjelasan singkat Dr. Rif’at tadi semakin
memperluas ranah perkonomian Islam dengan menganggapnya ada pada asas ibâhah.

4) Keseimbangan (tawâzun)

Islam dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua sisinya.
Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhiratdan juga keseimbangan antara iman dan
perekonomian serta keseimbangan antara boros dan kikir. Islam juga memberi keselarasan
antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang sesuai antara
keduanya.

Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak condong
pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini, yaitu berada di
antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun kepemilikan sosial
sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini. Islam memiliki
batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan individual dalam ekonomi sehingga
dapat menyeimbangkan antara keduanya.

Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu
dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan
pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada saat-
saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya. Hal ini
tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran negara
dalam mekanisme ekonomi. ataupun konsep sosialisme membangun asas perkonomian mereka
atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk berproduksi.
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda denga Islam yang mengatur
hubungan antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa
keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi
masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub yang saling
berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi dalam Islam
menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.

Dengan begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam
mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang
bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap. Seperti melakukan
hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu layaknya perbaikan jalan, jembatan,
dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi sangat penting layaknya saat kekurangan lembaga
pendidikan atau lembaga kesehatan di suatu daerah.

Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang
bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk
menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat yang
dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Di sini didapati bukan saja
keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan kemerataan putaran harta.
Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara si kaya dan si
miskin.

5) Keuniversalan (‘âlamiyyah)

Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak lain
diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Keuniversalan ekonomi Islam semakin
terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara lain pada tahun
2008. Karena sejak saat itu beberapa negara barat mulai menerapkan ekonomi Islam. Bahkan
salah satu yang pertama kali menerapkannya adalah vatikan sendiri sebagaimana yang
ditegaskan dalam salah satu surat kabar resmi milik mereka yang bernama L’osservatore
Romano edisi 6 Maret 2009.

Selain itu Vincent Beaufils pimpinan redaksi Challenge, sebuah majalah Prancis
menuliskan sebuah artikel yang mempertanyakan moral dalam sistem ekonomi kapitalis. Hal itu
tak jauh beda dengan yang diucapkan Roland Laskine, pemimpin redaksi majalah Le Journal des
Finance. Dia menuliskan sebuah artikel berjudul “apakah Wall Street siap untuk menerima
prinsip-prinsip hukum Islam?” Tulisan ini bermula dari pendapat dia tentang pentingnya
penerapan hukum Islam di ranah perkonomian untuk meredam krisis yang terjadi di penjuru
dunia

2. Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Islam

Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang Pencipta,
sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil. Maka dari itu
Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan manusia sebagai
pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari prinsip penciptaan
dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik benang merah untuk
membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda (kepemilikan individual
dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi kepentingan umum.. Tetapi di
sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda (kepemilikan individual dan
kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis maupun kapitalis.

1. Kepemilikan Individual

Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan keluar
dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat ar Rum ayat 30 “30. Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian ada sebuah hadits yang
juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu dilahirkan kecuali dalam keadaan
fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”

Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan,
maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah berfirman
dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada
harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari
‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang intinya
manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata seorang anak Adam
mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang ketiga.”

Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban untuk
fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan individual di
sini tidak sama sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang malah menjerumuskan manusia
pada kecintaan materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam memiliki batas-batas,
ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling melengkapi dengan
kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum ini.

Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada
individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita
akan mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum termasuk
bentuk kalimat yang tidak langsung.

Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan
dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau dengan
kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya “Tiadakah kamu
mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?” Maka Dialah Sang
Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun posisi dan fungsi
manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.

Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan individual


manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan ilmu yang
dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan juga sifat al
‘ilmu, ar rahmân dan berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia memiliki al ‘ilmu dan
ar rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan bukan Yang Menciptakan.
Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu yang dimiliki Sang Pencipta.
Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak lain berdasarkan pada sesuatu parsial, dan
bukan keuniversalan dari sifat tadi karena sifat-sifat tersebut tidak lain adalah milikNya semata.

2. Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum dalam
Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual. Di sini Dr. Robi’
membagi kepemilikan individual menjadi:

a. Kepemilikan negara

Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa
diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk dalam golongan
ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana seorang
pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya. Tentunya hak
ini berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr. Dawabah
menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi sumber
pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-hal yang
mengandung maslahat umum.

b. Kepemilikan majemuk dari masyarakat

Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau
individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis sumber
daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu individu yang
boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput lapang, jembatan
dan sumber daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa diartikan bahwa
kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa adanya ikut campur satu
orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa didapatkan dengan mudah,
ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer bagi kalangan majemuk.

Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari pada
kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin meminta harta
(umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan
aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat diambil dua hal.
Yang pertama adalah tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta mendistribusikan harta tadi
dengan adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak berkepentingan untuk ikut andil dalam
masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain memberi pengarahan dan peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan
umum serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah seputar
penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan Islam pada
zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak lepas dari peletakan
dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang penuh amanat. Bahkan
diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik agamanya, amanat, menguasai ilmu
fikih dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al Kharraj milik Abu Yusuf.

Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku al
Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang dahsyat.
Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta dirham dan
kemudian meningkat pesat pada masa al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu baru dihitung
dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai macam jenis
keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.
B. LEMBAGA-LEMBAGA DALAM EKONOMI ISLAM

Sistem perekonomian ummat manusia tersebut perlu diatur sedemikian rupa sebab hal ini
adalah merupakan kebutuhan utama yang tidak dapat ditawar-tawar keberadaannya. Seluruh
ummat manusia di mana dan kapan saja dia berada, pastilah akan mengalami dan berinteraksi
dengan orang lain dalam rangka system perekonomian ini. Sebab hal ini adalah merupakan
sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
umat manusia.

Sistem perekonomian tersebut banyak macam ragamnya baik yang diatur secara langsung
oleh Allah swt, maupun yang telah ada sebelumnya, namun keberadaannya dilegitimasi oleh
ajaran agama. Sistem-sitem perekonomian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Badan Amil Zakat

Badan Amil Zakat adalah merupakan sebuah lembaga keagaamaan yang beregerak dalam
bidang perekonomian yang salah satu tugas pokoknya adalah mengentaskan masyarakat
khususnya ummat Islam dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Pembentukan
lembaga ini adalah didasarkan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat. Badan Amil Zakat diharuskan dibentuk secara berjenjang mulai dari tingkat Pusat sampai
dengan tingkat kecamatan. Hal ini dimaksudkan agar potensi ummat Islam dalam bentuk zakat,
infaq dan shodaqah dapat diberdayakan secara maksimal sehingga berdaya guna dan berhasil
guna. Hal ini dirasa sangat penting sebab zakat, infaq dan shodaqah adalah merupkan potensi
ummat Islam yang dapat komplementer dengan pembangunan nasional, sebab potensi zakat,
infaq dan shodaqah apabila dapat diberdayakan secara maksimal, maka akan mendatangkan dana
yang cukup besar yang dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa dan
Negara.

2. Badan Perwakafan Nasional


Wakaf merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang cukup dikenal di Indonesia,
namun satu hal yang sangat disayangkan lembaga ini belum memberikan kontribusi yang
signifikan bagi keberlangsungan bangsa dan Negara. Hal ini disebabkan karena wakaf sebagai
aset berharga ummat Islam dan sangat potensial, belum dimanfaatkan secara maksimal dan
belum menghasilkan secara optimal. Potensi wakaf yang sangat besar tersebut kalaupun telah
dikelola sebahagiannya, namun pengelolaan tersebut belum bersifat produktif, sehingga dengan
demikian maka jadilah harta-harta wakaf itu dalam bentuk lahan tidur yang tidak dapat
menghasilkan secara ekonomis.

3. Baitul Maal Wat Tamwil

Baitul Maal wat Tamwil adalah merupakan sebuah lembaga Negara yang bergerak dalam
bidang penampungan harta ummat Islam dan Negara. Semua dana yang terkumpul apakah itu
dari pajak maupun dari yang lainnya, kesemuanya dikumpul pada lembaga yang disebut dengan
Baitul Maal Wat Tamwil. Baitul Maal Wat Tamwil ini adalah semacam Kas Negara ataupun
Departemen Keuangan pada zaman modern yang bertugas menyimpan dan mengelola keuangan
Negara sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada public secara transfaran dan akuntable.

Baitul Maal Wat Tamwil adalah pertama sekali diprakarsai oleh Rasulullah saw sebagai
sebuah lembaga keuangan Negara pada abad ketujuh masehi yang mempunyai tugas yakni
semua hasil pengumpulan Negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan
sesuai dengan kebutuhan Negara. Status harta pengumpulan itu adalah milik Negara dan bukan
milik individu. Meskipun demikian dalam batasan-batasan tertentu, pemimpin negara dan
pejabat lainnya menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan peribadinya. Hal ini
tentu berada di luar jalur dan ketentuan yang berlaku.

Pada masa pemerintahan Rasulullah saw, Baitul Maal bertempat di Masjid Nabawi yang
ketika itu dipergunakan sebagai kantor pusat Negara yang sekaligus berfungsi sebagai tempat
tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan perbendaharaan Negara tidak disimpan di
Baitul Maal sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di lapangan terbuka.
Namun harta Negara seperti uang dan lain sebagainya yang dapat disimpan, ditempatkan di
Baitul Maal yang adalah merupakan perbendaharaan dan Kas Negara.

4. Bank Syariah
Perbankan syariah adalah merupakan sebuah lembaga keuangan yang berdasarkan
hukum Islam yang adalah merupakan sebuah lembaga baru yang amat penting danm strategis
peranannya dalam mengatur perekonomian dan mensejahterakan umat Islam. Kehadiran lembaga
perbankan bukan hanya dapat mengatur perekonomian masyarakat, akan tetapi kehadirannya
dapat juga menghancurkan perekonomian sebuah Negara sebagaimana yang dialami bangsa
Indonesia decade delapan puluhan dan sembilan puluhan.

Oleh karena itulah maka diperlukan perbankan yang berorientasi syariah sehingga dapat
melindungi uang si penanam modal dan juga memberikan keuntungan bagi si pemiunjam modal.
Pada keduanya terjalin hubungan yang sinergis dan saling menguntungkan, serta kesepakatan
bersama apabila terjadi kerugian yang tidak diinginkan bersama. Apabila terjadi keuntungan,
maka sesungguhnya hal itu mudah diatur, akan tetapi apabila terjadi kerugian ataupun jatuh
pailit, maka timbullah percekcokan. Dalam kaitan dengan ini, hukum Islam telah memberikan
aturan main yang saling menguntungkan dan tidak saling merugikan.

Bank Islam ataupun Bank Syariah sebagaimana disebutkan oleh Fuad Mohammad
Fakhruddin adalah bank dimana kebanyakan pendirinya adalah orang yang beragama Islam dan
seluruhnya atau sebahagian besar sahamnya kepunyaan orang Islam sehingga dengan demikian
maka kekuasaan dan wewenang baik mengenai administrasi maupun mengenai yang lainnya
terletak di tangan orang Islam.

Sedangkan menurut Karnaen A. Parwaatmadja, Bank Islam atau Bank Syariah adalah
bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan
operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi
dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.

Dari definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bank Islam ataupun Bank Syariah
adalah bank yang mana seluruh atau sebahagian besar sahamnya milik orang Islam dan
beroferasi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan syariah Islam (al-Quran dan al-Sunnah)
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

5. Bank Perkreditan Rakyat Syariah


Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank perkreditan rakyat yang
melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah ataupun disebut juga bank perkreditan rakyat yang
pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah Islam. BPRS ini dapat dibentuk dengan
badan hukum berupa Perseroan terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan Daerah.

6. Asuransi Syariah

Asuransi dalam Islam lebih dikenal dengan istilah takaful yang berarti saling memikul
resiko di antara sesama orang Islam, sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi
penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar tolong
menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan dana/sumbangan/derma
(tabarruk) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Takaful dalam pengertian tersebut
sesuai dengan surat al-Maidah (5) : 2 “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Asuransi
seperti ini disebut dengan Asuransi Syariah.

Asuransi Syariah sebagaimana tersebut di atas mempunyai prinsip-prinsip pokok sebagai


berikut :

1.Saling bekerjasama dan saling membantu.

2.Saling melindungi dari berbagai kesusahan.

3.Saling bertanggungjawab.

4.Menghindari unsur gharar, maysir, dan riba.

7. Obligasi Syariah

Obligasi Syariah adalah suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat jangka panjang
untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh kewajiban yang timbul akibat pembiayaan
untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu serta membayar sejumlah manfaat
secara priodik menurut akad.

Perbedaan mendasar antara Obligai Syariah dan Obligasi Konvensional adalah terletak
pada penetapan bunga yang besarnya sudah ditentukan di awal transaksi jual beli, sedangkan
pada obligasi syariah saat perjanjian jual beli tidak ditentukan besarnya bunga, yang ditentukan
adalah berapa proporsi pembagian hasil apabila mendapatkan keuntungan di masa mendatang.

Obligai syraiah sebagaimana tersebut di atas dapat dibagi kepada jenis-jenis obligasi
syariah sebagai berikut :

1. Obligasi Mudharabah, yaitu obligasi yang menggunakan akad mudharabah (akad


kerjasama antara pemilik modal / sahohibul maal / investor yang menyediakan dana penuh 100
% dan tidak boleh aktif dalam pengelolaan usaha dan pengelola / mudhorib / emiten mengelola
harta secara penuh dan mandiri dengan persyaratan-persyaratan tertentu.

2.Obligasi Ijarah, yaitu obligasi berdasarkan akad ijarah (suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian) artinya pemilik harta memberikan hak untuk
memanfaatkan obyek dengan manfaat tertentu dan membayar imbalan kepada pemilik obyek.
Dalam akad ijarah disertai adanya perpindahan manfaat tetapi tidak perpindahan kepemilikan.

8. Pegadaian Syariah

Pegadaian syariah dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn. Rahn secara bahasa
berarti at-tsubut (tetap), al-dawam (kekal), dan al-habas (jaminan). Secara istilah rahn berarti
menjadikan sesuatu barang yang berharga sebagai jaminan hutang dengan dasar bisa diambil
kembali oleh orang yang berhutang setelah dia mampu menebusnya.

Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut telah berdiri dan beroperasi di Indonesia pada 9
Kantor wilayah, 22 pegadaian unit syariah, dan 10 kantor gadai syariah. Jumlah pegadaian
tersebut masih jauh dari mencukupi dan memadai sebab jumlah itu baru 2,9 % dari total 739
perum pegadaian cabang di seluruh Indonesia. Idealnya di mana ada perum pegadaian, maka di
situ pula ada perum pegadaian syariah, sehingga tersedia alternative pilihan bagi masyarakat.

9. Reksadana Syariah

Salah satu produk investasi yang sudah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan syariah
adalah reksadana. Produk investasi ini bisa menjadi alternativ yang baik untuk menggantikan
produk perbankan yang pada saat ini dirasakan memberikan hasil yang relativ kecil.
Reksadana Syariah adalah reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip
syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta dengan manejer
investasi sebagai wakil shohibul maal, maupun antara manejer investasi sebagai wakil shohibul
maal dengan pengguna investasi. Reksadana syariah dan reksadana konvensional sebenarnya
hampir sama pengertian dan bentuknya, hanya saja berbeda dari sisi pengelolaan, kebijaksanaan
invesatasi, akad, pelaksanaan investasi dan pembagian keuntungan.

10. Badan Arbitrase Syariah Nasional

Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah suatu badan yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang bertugas untuk menyelesaaikan perkara perbankan di luar pengadilan umum.

Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagaimana tersebut di atas memiliki tujuan sebagai
berikut :

1.Menyelesaikan perselisihan-perselisihan / sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip


mengutamakan usaha-usaha perdamaian / islah sebagaimana yang dimaksud dalam Surat al-Nisa
ayat 128 dan al-Hujurat ayat 9.

2.Meneyelasaikan sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam.

3.Menyelesaikan kemungkinan adanya sengketa di antara bank-bank syariah.

4.Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa muamalah/perdata yang timbul
dalam bidang perdagangan, jasa, industri dan lain sebagainya.
C. PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DENGAN EKONOMI KAPITALIS

Perbedaan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis tidak haya pada hal-hal
yang bersifat aplikatif. Namun mulai dari fasafahnya sudah berbeda. Di atas falsafah yang
berbeda ini dibangun tujuan, norma dan prinsip-prinsip yang berbeda. Hal ini karena keyakinan
seseorang mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian, perilaku, gaya hidup,
dan selera manusia. Dalam konteks yang lebih luas, keyakinan juga mempengaruhi sikap
terhadap orang lain, sumber daya, dan lingkungan.

Dalam sistem kapitalis, Tuhan dipensiunkan (retired God). Hal ini direfleksikan dalam
konsep “laissez faire” dan “invisible hand”. Dari falsafah ini kita bisa melihat tujuan ekonomi
kapitalis hanya sekadar pertumbuhan ekonomi. Asumsinya dengan pertumbuhan ekonomi setiap
individu dapat melakukan kegiatan ekonomi demi tercapainya kepuasan individu.

Begitu pula dengan norma-norma ekonomi. Karena peran Tuhan sudah ditiadakan, semua
hal diserahkan kepada individu. Akibatnya dalam sistem kapitalis kepemilikian individu menjadi
absolut. Norma-norma yang dibangun berdasarkan pada individualisme dan utilitarianisme.
Setiap barang dianggap baik selama bernilai jual. Tidak ada batasan ataupun norma yang jelas,
baik dan buruk diserahkan kepada individu masing-masing. Dari sinilah kerusakan berawal.
Terjadi kedzaliman terhadap sesama manusia, ketimpangan ekonomi dan sosial, perusakan alam,
dan sebagainya. Semuanya terjadi demi meraih kepuasan individu tanpa dibatasi oleh norma-
norma agama.

Falsafah ekonimi Islam secara umum dapat dilihat dari surat al-Muthaffifin ayat 1 sampai
6. Allah berfirman:

a) Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.


b) (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi.
c) ) Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
d) Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.
e) Pada suatu hari yang besar.
f) (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.
Dengan falsafah tersebut, dalam konsep kepemilikan misalnya, sistem ekonomi Islam
berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Abdul Sami’ al-Mishri dalam Pilar-Pilar Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) merinci konsep kepemilikan. Pertama, kepemilikan
hanya ada dalam area yang tidak menimbulkan kedzaliman bagi orang lain. Kedua, tidak semua
barang bisa dimiliki individu. Barang-barang yang menyangkut kebutuhan orang banyak tidak
bisa dimiliki, seperti padang rumput, sumber air dan sumber energi. Ketiga, terdapat hak milik
orang lain atas barang yang dimiliki oleh seorang muslim, dan harus ditunaikan sesuai dengan
ketentuan Allah (zakat, infak, shadaqah, dan sebagainya). Keempat, kepemilikan harus
didapatkan dengan jalan halal.

3. REALITAS EKONOMI UMAT ISLAM DI INDONESIA

Dalam kehidupan ekonomi, sistem bunga atau riba mendominasi persendian ekonomi
dunia dimana dunia Islam secara terpaksa atau sukarela harus mengikutinya. Riba’ yang sangat
zhalim dan merusak telah begitu kuat mewarnai ekonomi dunia, termasuk dunia Islam.
Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, WTO dll. mendikte semua laju
perekonomian di dunia Islam. Akibatnya krisis ekonomi dan keuangan disebabkan hutang dan
korupsi menimpa sebagian besar dunia Islam.

Namun disisi lain perkembangan sistem ekonomi syariah dalam satu dekade terakhir ini
di Indonesia terlihat semakin pesat. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik.
Apalagi kondisi ini terjadi di saat bangsa Indonesia ditimpa oleh krisis multidimensi, yang
diawali oleh krisis moneter pada tahun 1997, yang hingga saat ini masih berkepanjangan.

Sektor perbankan syariah misalnya, sebelum tahun 1998 di Indonesia hanya terdapat satu
bank umum yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Maka pasca 1998, bank-bank umum
yang beroperasi berdasarkan sistem syariah tumbuh dan berkembang, sehingga di Indonesia kini
terdapat kurang lebih sekitar sepuluh bank umum syariah. Belum lagi ditambah dengan puluhan
bank perkreditan syariah yang beroperasi di tingkat kecamatan di berbagai wilayah negara
Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya sektor perbankan syariah merupakan bukti semakin
tumbuhnya kesadaran sebagian masyarakat Indonesia untuk menerapkan syariat Islam dalam
bidang ekonomi. Apalagi fakta membuktikan bahwa bank syariahlah yang relatif mampu
bertahan di tengah serbuan badai krisis ekonomi, meskipun kalau dilihat dari persentase volume
usaha perbankan syariah, maka nilainya masih relatif kecil yaitu sekitar 0, 23 persen.

Begitu pula dengan perkembangan sektor zakat, sebagai salah satu pilar ekonomi Islam.
Kesadaran sebagian umat Islam untuk menunaikan zakat semakin besar. Zakat kini tidak
dipandang sebagai suatu bentuk ibadah ritual semata, tetapi lebih dari itu, zakat juga merupakan
institusi yang akan menjamin terciptanya keadilan ekonomi bagi masyarakat secara keseluruhan.
Jadi dimensi zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja, tetapi mencakup juga dimensi sosial,
ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat juga merupakan institusi yang menjamin adanya
distribusi kekayaan dari golongan “the have” kepada golongan “the have not”. Kekhawatiran dan
ketakutan bahwa zakat akan mengecilkan dan mereduksi capital formation masyarakat sangat
tidak beralasan. Bahkan pengeluaran 2,5 % zakat dari capital stock perekonomian setiap tahun,
akan mampu menyimpan 27,5 % dari setiap tambahan dalam capital stock untuk
mempertahankan perekonomian pada level sebelumnya (lihat Muhammad Akram Khan dalam
Issues in Islamic Economics). Hal ini mengindikasikan tingginya perhatian dalam pembentukan
struktur permodalan dalam masyarakat.

Institusi zakat harus pula didorong untuk dapat menciptakan lapangan usaha produktif
bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok yang berhak
menerima zakat. Seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, harus memiliki komitmen
yang kuat akan hal ini, karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga
dengan demikian tingkat pengangguran pun akan mampu diminimalisir. Apalagi kita menyadari
bahwa angka pengangguran yang terjadi di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 40 juta
orang atau 18 % dari keseluruhan total penduduk. Kita perlu banyak belajar kepada negara
Malaysia didalam mengelola masalah zakat. Malaysia adalah contoh negara yang berhasil
didalam menjadikan zakat sebagai institusi yang mampu mereduksi tingkat kemiskinan, sehingga
berdasarkan data Badan Zakat negara tersebut, jumlah orang miskin Malaysia kini hanya tinggal
10 ribu orang saja. Tentu dengan kriteria kemiskinan yang berbeda dengan Indonesia. Kita
berharap dengan adanya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka segala potensi
zakat di Indonesia yang mencapai 6,3 triliun rupiah per tahunnya (menurut perhitungan Dr KH
Didin Hafidhuddin, ulama pakar zakat) akan dapat dioptimalkan. Badan Amil Zakat (BAZ) dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) harus mampu memerankan dirinya sebagai pengelola zakat yang
tidak hanya bersifat amanah, tetapi juga bertanggung jawab, transparan, dan profesional. Bagi
pemerintah sendiri pun, pembiayaan bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat melalui dana
zakat akan lebih baik bila dibandingkan dengan kebijakan deficit financing.

Sektor-sektor usaha lainnya, seperti asuransi syariah, koperasi syariah, BMT (Baytul
Maal wat Tamwiil), juga semakin berkembang, dan bahkan kini telah merambah sektor pasar
modal. Dibukanya Jakarta Islamic Index juga membuktikan bahwa ekonomi syariah memiliki
pangsa pasar tersendiri dan memiliki propek yang sangat strategis kedepannya.
BAB 4

PENUTUP

A. SIMPULAN

Sistem ekomi Islam mempunya peluang yang sangat berpengaruh dalam usaha dalam
rangka mengurangi kemiskinan yang demikian menggurita, diperlukan sebuah gerakan nyata dan
implementatif. Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan kemiskinan (jagoannya orang
miskin) tersebut adalah melalui ekonomi syariah, tepatnya lembaga keuangan syariah.
Selanjutnya, disarankan untuk menunjak keefektifan dalam rangka mengurangi kemiskinan
tersebut, maka pemerintah baik pusat dan daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan bermacam-
macam program yang diluncurkan bisa mensenergikan dengan lembaga keuangan syariah yang
ada di seluruh wilayah Indonesia, dengan pertimbangan lembaga keuangan syariah memiliki
jaringan yang baik ke pusat-pusat kemiskinan, profesional, dan amanah.
DAFTAR PUSTAKA

http://islampeace.clubdiscussion.net/t13-pengertian-tujuan-prinsip-prinsip-ekonomi-islam.html

http://tugas2kampus.wordpress.com/2013/10/11/kontribusi-pemikiran-ekonomi-abu-ala-al-
maududi/.html

http://laillamardianti.wordpress.com/2012/04/02/ekonomi-syariah/.html

http://ekonomiduniaislam.blogspot.com/2013/01/sistem-ekonomi-islam.html

http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=344.html

http://www.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/perbedaan-mendasar-antara-sistem-
ekonomi-islam-dan-sistem-ekonomi-kapitalis.html

http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/12/04/ekonomi-syariah-jagoannya-orang-miskin-
615485.html

http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/ekonomi-islam-antara-wacana-dan-realita/.html

http://www.dakwatuna.com/2006/12/22/26/realita-umat-islam-hari-ini/#axzz2urhzrHTe.html

http://materislam.blogspot.co.id/2015/03/makalah-sistem-ekonomi-islam.html

Anda mungkin juga menyukai