Anda di halaman 1dari 2

Datang Bukan untuk Tanda, melainkan untuk Percaya

Renungan Bacaan Injil Yohanes 6:35-40 - Rabu, Pekan Paskah III

Alkisah sekelompok ilmuwan memutuskan bahwa manusia dapat hidup tanpa Allah. Maka salah
seorang dari mereka memandang ke atas, kepada Allah, dan berkata, “Kami telah memutuskan bahwa kami
tidak lagi membutuhkan Engkau. Kami memiliki cukup hikmat, termasuk dalam menciptakan manusia, baik
dengan cara mengkloning maupun dengan banyak cara ajaib lainnya.” Allah mendengarkan dengan sabar
dan kemudian berkata,” Baiklah, mari kita mengadakan adu kekuatan. Dengan ilmu pengetahuanmu, mari
kita adakan kontes penciptaan manusia. Kita akan melakukannya persis seperti Aku dulu menciptakan
Adam”, tantang Allah pada kelompok ilmuan. Para ilmuwan setuju. Kemudian salah satu dari mereka
membungkukkan badan dan mengambil sekepal tanah. Allah memandang dia dan berkata,” Oh, tidak!
Jangan bermain curang! Engkau harus membuat tanahmu sendiri!”

Para Saudara, bacaan Injil hari ini masih melanjutkan kisah bacaan kemarin. Orang-orang yang
menyaksikan mukjizat penggandaan roti dan memakan roti itu berhasil menemukan Yesus di Kapernaum.
Lalu, terjadilah dialog antara mereka dengan Yesus tentang roti. Namun mereka yang menemui Yesus
belum menaruh rasa percaya sehingga Yesus menghardik mereka: Tetapi Aku telah berkata kepadamu:
Sungguh pun kamu telah melihat Aku, kamu tidak percaya.” Padahal Yesus telah memberikan tanda-tanda
kepada mereka melalui mukjizat penggandaan roti untuk sekitar lima ribu orang laki-laki. Bahkan, roti-roti
tersebut masih tersisa 12 bakul penuh. Untuk mengenalkan dirinya, Yesus menandaskan, ”Akulah roti
hidup! Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi,dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak
akan haus lagi.

Menarik untuk menelusuri dan memahami makna perkataan Yesus sebagai roti hidup. Mengapa harus
roti, mungkin begitu di benak kita, bukan nasi, atau gandum, atau jenis makanan lainnya yang lebih umum
bagi kita pembacanya di Alverna ini. Pertama-tama, pernyataan "Aku adalah roti hidup" (I am the bread of
life) adalah ungkapan Yesus yang pertama dari 7 pernyataan/ frasa yang diawali dengan kata  AKULAH "I
AM", (Yunani : egô eimi"). Frasa ini biasanya dipahami kaum Yahudi sebagai penamaan diri yang bersifat
keilahian, dan ini mengingatkan nama ilahi yang diwahyukan kepada Musa dalam Kel 3:14. Pernyataan lain
adalah: "terang dunia", "pintu", "gembala baik", "kebangkitan dan hidup" , "jalan, kebenaran, hidup" dan
"pokok anggur yang benar".

Yesus menyebut diri-Nya roti sejati, memberitahukan kita bahwa Kristus adalah makanan yang
memelihara kehidupan rohani. Dalam Alkitab, kata roti muncul ratusan kali dan sering digunakan untuk
memaksudkan makanan pada umumnya untuk menunjang kehidupan. Misalnya, Yesus mengajar para murid
berdoa: "Berikanlah kami pada hari ini roti kami yang secukupnya" . Bukan suatu kebetulan juga bahwa
Yesus lahir di Betlehem (Ibrani: beit-lekhem) yang artinya: "rumah roti." Dalam kitab Kejadian, kita pasti
tahu bahwa ada kisah di sekitar sisi selatan Betlehem, saat Sara, istri Abraham , memanggang dan
menyajikan "roti-roti bundar" yang masih hangat kepada tiga tamu yang tiba-tiba datang. Keluarga Abraham
memang menyiapkan dan memanggang sendiri roti mereka. Tentunya yang paling kita ingat juga
berhubungan dengan roti adalah kisah bangsa Israel yang diberikan manna di padang gurun. Setelah sebulan
mengembara di Gurun Sinai, persediaan makanan mereka hampir habis. Karena takut mati kelaparan di
padang gurun yang gersang itu, mereka mengeluh, "Kami makan roti hingga kenyang di Mesir" Tapi, Allah
tidak akan membiarkan umat-Nya kelaparan. Allah menurunkan hujan roti dari langit." Dan Musa berseru
kepada Israel, "Ini adalah roti yang TUHAN berikan kepadamu sebagai makanan." Mereka
menyebutnya manna, dan roti dari bahan manna ini menunjang kehidupan mereka selama 40 tahun.

Awalnya, orang Israel takjub melihat manna yang turun secara mukjizat itu. Rasanya seperti "kue
pipih yang dibubuhi madu", dan jumlahnya cukup untuk semua orang. Tapi lama-kelamaan, mereka mulai
merindukan berbagai makanan yang pernah mereka nikmati di Mesir. Belakangan, mereka bahkan
mengatakan membenci roti yang memuakkan ini. Di sinilah kedegilan hati umat Israel tampak. Kedegilan
itu jugalah yang ditampakkan oleh para pengikut Yesus saat mereka menemyukan Yesus di Kapernaum.
1
Mereka terus meminta tanda dan mukjizat. Padahal mereka sebelumnya sudah melihat pergandaan roti. Di
sini Yesus menyebut diri bukan lagi sebagai manna di padang gurun, manna yang membuat manusia
kenyang namun bisa lapar lagi. Yesus menasbihkan diri sebagi roti hidup, Yesus menekankan bahwa
manusia harus menerima Dia untuk memperoleh hidup yang kekal.

Saudara-i terkasih, dari bacaan Injil yang kita dengar tampak hubungan yang sangat erat dengan
kisah manna di padang gurun. Tampak sikap menonjol dari mereka yang mengikuti Yesus yakni
ketertutupan dan kedegilan hati. Jika kita sungguh-sungguh memperhatikan dialog antara Yesus dengan
orang-orang itu, maka kita akan melihat dua gerak yang berlawanan arah dalam menyikapi persoalan roti
hidup.Gerak yang pertama adalah gerak menutup hati, yakni orang-orang yang degil dan kerasnya hati.
Mereka datang hanya sekadar meminta tanda, padahal Yesus sudah memberi tanda dan mukjizat. Gerak
yang kedua adalah gerak membuka hati, yakni gerak yang Yesus ajarkan kepada mereka tentang roti hidup.
Berangkat dari mukjizat penggandaan roti, Yesus maju selangkah dengan mengajak kita berusaha untuk
memperoleh roti yang memberi bertahan sampai hidup yang kekal. Untuk mendapatkannya, orang-orang
harus datang, datang bukan untuk melihat tanda melainkan untuk percaya.

Datang kepada Yesus membutuhkan keterbukaan hati. Hanya mereka yang terbuka mampu melihat
keajaiban sebagai jalan untuk percaya. Hanya mereka yang terbuka hati mampu merasakan Yesus sebagai
kepuasan dahaga rohani. Yesus adalah manna baru, roti yang berasal dari Surga dan memberi hidup kepada
dunia. Kita yang mau datang dan membuka hati tidak akan lapar dan tidak akan haus lagi. Sebaliknya,
mereka yang datang dengan hati yang degil dan tertutup akan dituntun untuk semakin masuk ke dalam
kegelapan hidup.

Dalam konteks kehidupan kita sehari-hari, kita sering datang kepada Allah bukan semata agar kita
mengalami kepuasan rohani. Berangkat dari hal ini, ada dua pesan yang bisa saya petik dalam bacaan hari
ini. Pertama adalah keterbukaan hati untuk mau datang kepada Yesus. Setiap kita yang datang kepada Tuhan
Yesus, masing-masing digerakkan (ditarik) oleh Allah dengan suatu dorongan di dalam hatinya, namun
masing-masing bebas untuk mengikuti dorongan itu atau tidak. Tuhan Yesus berjanji akan menerima semua
orang yang datang kepada-Nya dalam keterbukaan hati. Tak jarang kita layaknya orang Israel di padang
gurun dan mereka yang mengikuti Yesus dalam Injil. Hanya datang pada dia untuk mendapatkan tanda,
yakni keinginan hati kita semata. Datang kepada Allah semata meminta dan memaksa Dia mengabulkan doa
dan permohonan kita. Hati kita masih sering ditutupi kedegilan-kedegilan dengan mengagungkan pikiran
yang mampu mencerna Allah sehingga timbul rasionalisasi dalam hidup beriman. Maka, datanglah pada
Yesus Sang Roti Hidup yang mampu menghapus kemiskinan dan kelaparan rohani kita yang sering tumpul
dengan berbagai perbuatan naif dan kesombongan diri, seperti ilmuan yang hendak menyaingi
kemahakuasaan Allah pada cerita di atas.
Pesan kedua adalah menjadi bagian roti hidup itu sendiri. Yesus sebagai roti hidup hendak
memanggil kita juga menjadi roti hidup bagi sesame, saudara seunit, saudara sekomunitas, atau saudara
seperjuangan. Kita bisa belajar dari Santo Kondrad dari Parzhan yang setia menjadi penjaga pintu dan
memberi kesegaran rohani bagi banyak orang yang datang pada Yesus melalui pelayanannya. Kiranya juga
dalam kehidupan kita, kita adalah cermin kepuasan rohani di mana oran-rang yang bertemu dengan kita
mampu merasakan roti-roti yang hidup.

Anda mungkin juga menyukai