Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial


Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan terjemahan dari social studies.
Bahwa social studies merupakan ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan
untuk tujuan pendidikan meliputi aspek-aspek ilumu sejarah, ilmu
okonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi dan
filsafat yang dalam perakteknya dipilih untuk tujuan pembelajaran
disekolah dan perguruan tinggi. Bila dianalisis dengan cermat bahwa
pengertian social studies mengandung hal-hal sebagai berikut :
1. Social studies merupakan turunan dari ilmu-ilmu sosial
2. Disiplin ini dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan pada
tingkat persekolahan maupun tingkat perguruan tinggi.
3. Aspek-aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu diseleksi
sesuai dengan tujuan tersebut.1
Rumusan tentang pengertian IPS telah banyak dikemukakan oleh
para ahli IPS atau Social Studies. Berikut pengertian IPS yang
dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan dan IPS di Indonesia.
a. Moeljono Cokrodikardjo mengemukakan bahwa IPS adalah
perwujudan dari suatu pendekatan interdisipliner dari ilmu sosial. IPS 
merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial yakni sosiologi,
antropologi, budaya, psikologi, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu
politik dan ekologi manusia, yang diformulasikan untuk tujuan
1
Toni Nasution & Maulana Arafat Lubis. Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan Sosial. (Yogyakarta:
Samudra Biru, 2018), hlm 3.
instruksional dengan materi dan tujuan yang disederhanakan agar
mudah dipelajari.
b. Nu’man Soemantri menyatakan bahwa IPS merupakan pelajaran ilmu-
ilmu sosial yang disederhanakan untuk pendidikan tingkat SD, SLTP,
dan SLTA. Penyederhanaan mengandung arti: a) menurunkan tingkat
kesukaran ilmu-ilmu sosial yang biasanya dipelajari di universitas
menjadi pelajaran yang sesuai dengan kematangan berfikir siswa
sekolah dasar dan lanjutan, b) mempertautkan dan memadukan bahan
aneka cabang ilmu-ilmu sosial dan kehidupan masyarakat sehingga
menjadi pelajaran yang mudah dicerna.
c. S. Nasution mendefinisikan IPS sebagai pelajaran yang merupakan
fusi atau paduan sejumlah mata pelajaran sosial. Dinyatakan bahwa
IPS merupakan bagian kurikulum sekolah yang berhubungan dengan
peran manusia dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai subjek
sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, antropologi, dan psikologi
sosial.
Dengan demikian, IPS bukan ilmu sosial dan pembelajaran IPS
yang dilaksanakan baik pada pendidikan dasar maupun pada pendidikan
tinggi tidak menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, tetapi aspek
praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala, dan masalah sosial
masyarakat, yang bobot dan keluasannya disesuaikan dengan jenjang
pendidikan masing-masing. Kajian tentang masyarakat dalam IPS dapat
dilakukan dalam lingkungan yang terbatas, yaitu lingkungan sekitar
sekolah atau siswa atau dalam lingkungan yang luas, yaitu lingkungan
negara lain, baik yang ada di masa sekarang maupun di masa lampau.
Dengan demikian siswa yang mempelajari IPS dapat menghayati masa
sekarang dengan dibekali pengetahuan tentang masa lampau umat
manusia.

B. Pengertian Paradigma
Secara umum Kuhn mengartikan paradigm dengan beberapa
contoh praktik ilmiah aktual yang diterima, seperti hokum, teori, aplikasi
dan instrument yang diterima bersama sehingga meruoakan model yang
dijadikan sebagai sumber dan tradisi yang mantap dalam riset-riset ilmiah
khusus. Menurut Kuhn paradigma dapat diartikan sebagai pola, model atau
skema konseptual.2
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa paradigma
pembelajaran IPS adalah model atau kerangka berpikir pengembangan IPS
yang diwacanakan dalam kurikulum pada system pendidikan Indonesia,
dan IPS merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau
manusia dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari ilmu
sosial. Ada tiga istilah yang termasuk bidang pengetahuan sosial, yaitu:
Ilmu sosial (social science), studi sosial (social studies), dan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS).
a. Ilmu Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial adalah
sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan
sosial yang bertaraf akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat
perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah
cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik
secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu
Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
b. Studi Sosial (Social Studies).
Berbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu
bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu
bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial
ini, Achmad Sanusi memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak
selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan

2
Ibid., hlm 69.
pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar dan dapat berfungsi sebagai
pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin ilmu sosial.
Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin
bidang akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian
tentang gejala dan masalah sosial yang terjadi pada masyarakat.
Studi Sosial menurut Achmad Sanusi ialah Studi Sosial tidak selalu
bertaraf akademis-universiter, bahkan dapat merupakan bahan-bahan
pelajaran bagi murid-murid sejak pendidikan dasar, dan dapat berfungsi
selanjutnya sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin Ilmu
Sosial. Studi Sosial bersifat interdisipliner, dengan menetapkan pilihan
judul atau masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi,
dan meninjaunya dari beberapa sudut sambil mencari logika dari
hubungan-hubungan yang ada satu dengan lainnya. Sesuatu acara ditinjau
dari beberapa sudut komprehensif mungkin.
Studi Sosial menurut John Jarolimek ialah sebagai suatu bidang
studi mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, dengan tujuan membina warga masyarakat yang mampu
menyelaraskan kehidupannya berdasarkan kekuatan-kekuatan fisik dan
sosial, serta membantu melahirkan kemampuan memecahkan masalah-
masalah social yang dihadapainya. Jadi, baik materi maupun metode
pembelajaran penyajiannya harus sesuai dengan misi yang diembannya.
c. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Pada dasarnya Mulyono Tj. memberi batasan IPS adalah
merupakan suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach)
dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai
cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi
sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini
lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS merupakan hasil
kombinasi atau hasil perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti:
geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.3

3
Ibid., hlm 70-71.
C. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia
Karena dua hal yaitu di Indonesia belum ada lembaga profesional
bidang IPS sekuat pengaruh lembaga yang kuat dan pembelajaran IPS
sangat tergantung pada pemikiran individual atau kelompok pakar. Istilah
IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial ), untuk pertama kalinya muncul dalam
Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu
Solo. Konsep IPS pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan
pada tahun 1972-1973 yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan ( PPSP) IKIP Bandung. Dalam kurikulum SD 8 tahun PPSP
digunakan istilah, pendidikan kewarganegaraan/Social Studies sebagai
mata pelajaran rofes terpadu.
Dalam kurikulum 1975 Pendidikan IPS menampilkan empat profil
yaitu:
1. Pendidikan Moral Pancasila menggantikan pendidikan
kewarganegaraan yang mewadahi tradisi “Citizenship transmission”.
2. Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3. Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP
4. Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah,
geografi dan ekonomi untuk SMA
Perkembangan Kurikulum di Negara kita dimulai pada:
1. Tahun 1975 => Dimana PPSP tidak memasuki antropologi, sosiiologi,
ilmu pemerintahan.
2. Tahun 1984 => Mencakup disiplin pemerintahan dan politik,
Pendidikan Moral dan Pancasila (PMP), dimana sosiologi dan
antropologi berlaku di SLTP-SLTA.
3. Tahun 1994 => “Ilmu Sosiologi dan Antropologi” CBSA.
4. Tahun 2004 => Bersifat tematik.
D. Pembagian Paradigma Pendidikan IPS
Dalam terminilogi O’neil paradigma pendidikan dewasa ini
terbagi dalam tiga bagian. Pertama; Paradigma Konservatif, dimana
stratifikasi sosial dalam masyarakat merupakan suatu hukum yang alami,
sebagai sebuah takdir ilahi. Dasar keyakinan yang dibentuk adalah bahwa
masyarakat pada dasarnya tidak merencanakan perubahan atau
mempengaruhi perubahan sosial. Kedua; Paradigma Liberal, dimana
golongan ini beranggapan tidak ada keterkaitan antara persoalan politik
dengan ekonomi masyarakat. Kedua hal tersebut merupakan salah satu
dari sekian petunjuk yang dapat dikaji keberadaannya dalam memahami
dan menentukan arah pencarian eksistensi pendidikan di Indonesia.
Ketiga; adalah Paradigma Kritis yang nantinya sebagai tolok ukur
pembahasan dalam penulisan ini, dimana paradigma yang terakhir ini lebih
pada upaya rekonstruksi dari dua paradigma di atas dengan berbagai
persoalan yang dimunculkannya.4
Berbicara mengenai dunia pendidikan, maka kita berbicara tentang
proses kajian ilmiah yang rasional atas sebuah ilmu dan pengetahuan.
Pendidikan di Indonesia pada khususnya mengalami sebuah degradasi
acuan atau pegangan pada konteks pengajaran dan pembelajaran, dimana
tuntutan menjadikan murid sebagai subjek hampir-hampir tidak diberikan
ruang gerak oleh kurikulum yang dijalankan. Persoalanya adalah pada
dasarnya kurikulum yang sedang dijalankan dan bahkan sampai sekarang
ini tak lain hasil adopsi dari dua paradigma di atas (paradigma konservatif
dan liberal). Ironisnya Indonesia tidak cukup mampu mengorganisir kedua
paradigma tersebut sehingga ketidakjelasan begitu nampak disana.
Berkaitan dengan permasalahan pendidikan di Indonesia sudah sepatutnya
pendidikan bukannya dijadikan objek dari ilmu dan pengetahuan itu

4
Mohammad Imam Farisi, “Ontologi Pendidikan IPS Sebagai Disiplin Pendidikan
Kewarganegaraan,” SOSIOHUMANIKA 8, no. 1 (2015).
sendiri. Bicara mengenai perkembangan pendidikan di Indonesia berkaitan
dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya, dimana pada
dasarnya bentukan pola lama yang mewarisi tradisi pengajaran ‘sungkem’
(sembah) yang berarti tunduk pada yang lebih tua. Istilah ini mulanya
untuk memberikan petunjuk tegas antara bangsawan disatu sisi dihadapkan
pada rakyat jelata, konsekuensinya merambah pada iklim kelas dalam
konteksasi pembelajaran taman siswa, menjadi semacam taruhan yang
paling dapat dicerna sebagai pangkal untuk penyelidikan lebih jauh
polarisasi struktur pendidikan gaya kolonial.

1. Memaknai Paradigma Konservatif


a. Fundamentalisme
Pendidikan Unsur utama dari penerapan model pendidikan
seperti ini lebih melihat ke aspek konservatisme politik yang pada
dasarnya anti-intelektualisme, dalam arti; mereka ingin
meminimalkan pertimbanganpertimbangan filosofis (intelektual)
serta cenderung untuk mendasarkan diri mereka pada penerimaan
yang relatif tanpa kritik terhadap kebenaran yang diwahyukan atau
ketaatan atas konsensus sosial yang sudah mapan. Dalam paradigma
fundamentalis sendiri terdapat dua sudut pandang yang berbeda
penerapan atas pendidikannya. Pertama, fundamentalis pendidikan
religius, dimana keteguhan hati (komitmen) sebagai ukuran ketaatan
didasarkan pada Al-kitab (baca kitab Suci). Kedua, fundamentalis
pendidikan sekuler, berciri pengembangan komitmen secara ‘akal
sehat’ dengan hasil generalisasi melalui kesepakatan umum dan
diterima. Paradigma fundamentalis sendiri pada dasarnya lebih
kearah pencapaian bentuk pendidikan yang bersifat quo-vadis dan
lebih kearah harmonisasi dengan apa yang sudah ada, tanpa ada
tahapan pengkritisan dari segenap pra-kondisi maupun pasca-kondisi
pengetahuan dan kesadaran yang sudah ada.
b. Intelektualisme Pendidikan
Ciri utama dari tipe pendidikan seperti ini lebih kearah
sebuah bentuk konservatif politik yang didasarkan pada sistem
pemikiran filosofis yang lebih menempatkan intelektual individu
dalam ‘posisinya’ mengalami cita-cita intelektual. Permasalahan
pokok yang dijadikan acuan dalam konsep ini pada dasarnya tidaklah
terlalu jauh dari pandangan ‘pemapanan’ akan praktik-praktik
pendidikan, pendek kata intelektualisme pendidikanpun tak terlepas
dari subjek kepentingannya. Dua variasi dasar yang mewarnai
intelektualisme pendidikan, yakni intelektualisme pendidikan
teologis, yang lebih berorientasi pada karya teolog-teolog ternama.
Sedangkan bentuk kedua yang bersifat sekuler lebih pada penekanan
sekularitas dari hasil pemikirannya, utamanya persoalan tentang
pendidikan itu sendiri. Satu hal yang perlu ditambahkan disini adalah
penekanan paradigma intelektual ini masih terbelenggu seputar
muatan yang tanpa sadar terpola dalam arus pemikiran seorang
intelektualis itu sendiri.
c. Konservatisme Pendidikan
Konservatisme pada dasarnya adalah posisi mendukung
ketaatan terhadap institusi atau lembagalembaga yang telah teruji
oleh zaman, dan yang terpenting telah disepakati bersama dengan
segala ketentuan mendasar yang terus ditaati. Dalam dunia
pendidikan agenda utama seorang konservatif adalah melestarikan
pola sosial dan tradisi yang sudah ada. Pembagian ke dalam dua
definitif, baik secara teologis maupun sekuler lebih pada penjelasan
yang menitikberatkan pada aspek bagaimana cara seorang
konservatif mempertahankan sebuah tatanan yang sudah ada,
terlepas tatanan tersebut bernilai rancu atau bahkan tidak tepat sama
sekali. Konservatisme lebih berkecenderungan menempatkan pada
posisi yang aman, yang meskipun nantinya secara sadar atau tidak
sadar justru kondisi yang sedang dijalaninya mengandung berbagai
macam kejanggalan dan kerusakan kesadaran yang tidak dapat
berkembang sama sekali. Bagaimana bisa kita mengasumsikan
bahwa ritualisme kehidupan dengan berbagai macam atribut realitas
yang dihasilkan dengan hanya dihadapi melalui konsep yang semata-
mata lebih menitik beratkan pada aspek kemapanan yang sudah ada.5

2. Memaknai Paradigma Liberal


a. Liberalisme Pendidikan Seorang liberal berpendapat bahwa tujuan
utama pendidikan adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan
sosial yang ada dengan cara mendidik secara efektif berdasarkan
realitas sosial yang ada. Intensitas liberalisme pendidikan ini terdiri
dari dua bagian pokok yang terbagi dalam liberalisme metodis
(mempolakan) dan liberalisme yang berupa direktif (mengarahkan).
Seorang liberalis sendiri pada dasarnya lebih menempatkan dirinya
pada posisi ‘menjaga’ apa yang sudah ada, tanpa ada tahapan
pemikiran dan kritisisasi secara bebas untuk keluar dalam lintasan
tersebut. Kalaupun ‘kebebasan’ yang dimaksud hanya sebatas
‘perbaikan’ dari tatanan yang ada, bukannya secara berani
menampilkan tatanan baru yang lebih didasari pada pikiran dan
pemikiran bebas yang sesungguhnya. Seorang liberalis tidak mampu
menjadikan dirinya penentu tatanan, sebab tingkat kesadaran yang
dicapai baru sampai pada tahap kebebasan berekspresi bukannya
kebebasan untuk bereksperimen.
Terlepas dari pernyataan bahwa liberalisme pendidikan pada
hakikatnya masih bagian dari ‘polarisasi’ muatan tatanan
(pengetahuan) gaya baru tanpa menghilangkan esensi tujuan utamanya,
yakni kooptasi kesadaran lewat ilmu dan pengetahuan sebagai hasil
pembelajaran dari apa yang dinamakan pendidikan.

5
nur Kholifatus Safitri, “Pengembangan Multimedia Interaktif Pembelajaran IPS Materi
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Kelas V Sekolah Dasar” (PhD Thesis, University of
Muhammadiyah Malang, 2017).
b. Liberasionisme Pendidikan
Liberasionisme bersudut pandang pada pelurusan terhadap
sistem dan tatanan politik yang ada dengan segala konsekuensinya,
jenis paradigma ini tentu saja sebagai bagian dari ekspresi kebebasan
individu semaksimal mungkin. Bagi seorang liberasionisme, sekolah
haruslah bersifat objektif (rasional ilmiah), namun tidak sentral.
Dimana fungsi sekolah bukan hanya sebagai tempat cara berpikir
efektif (rasional-ilmiah) melainkan juga mengenal kebijakan tertinggi
atas sebuah program sosial konstruktif, dengan kata lain
liberasionisme dilandasi oleh kebenaran secara terbuka.6
3. Sebuah Konstruksi Paradigma Baru Pendidikan
Nilai akan sebuah kesadaran dalam berpikir dan menentukan
pilihan memerlukan prasyarat khusus guna memasuki sebuah wilayah
yang tercipta dari konstruksi pemikiran sebagai hasil dialektika
pemikiran-pemikiran yang sudah ada sebelumnya. Satu hal yang perlu
disepakati bersama disini adalah kondisi akan nilai kesadaran yang
selama ini katakanlah terbelenggu oleh berbagai macam ‘kepentingan’
melalui jalur pendidikan. Bisa ditebak langkah selanjutnya, dimana
pendidikan yang notabene sebagai gudang penyuplai ilmu dan
pengetahuan digunakan sebagai ajang “hegemonic ideology” dengan
membatasi segala bentuk pemikiran yang bersifat bebas dan kritis.7
Konsep pola pembentukan semacam itu sangatlah berbahaya bagi
sebuah generasi yang tanpa sadar pola pemikirannya terbentuk guna
memenuhi kepentingan sebagian kelompok. Perjalanan tiap wacana
yang dijalankan, baik itu dimulai dari paradigma pendidikan yang
bersifat konservatif dengan berbagai macam hasil sekresi tidak dapat
6
I. Ketut Wisarja and I. Ketut Sudarsana, “Refleksi Kritis Ideologi Pendidikan Konservatisme Dan
Libralisme Menuju Paradigma Baru Pendidikan,” Journal of Education Research and Evaluation
1, no. 4 (2017): 283–291.
7
Lili Halimah, “Pengaruh Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Nasionalisme
Peserta Didik Sekolah Menengah Kota Cimahi,” PEDAGOGIA 16, no. 3 (2018): 209–224.
memberikan peluang sama sekali bagi individu untuk menuju sebuah
pencerahan pemikiran. Bahkan tidak menutup kemungkinan pada topik
paradigma yang satu ini jelas-jelas menciptakan sebuah survivalisme
kapital yang berlebihan, dengan menyebarkan pola-pola yang
menjadikan individu sulit bertindak sebagai subjek ketika menerima
pengetahuan lewat pendidikan.
. Paradigma Kritis Untuk Pendidikan di Indonesia; Menilik dari
pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi “turut
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia”. Jelas sudah bahwa ada kesepakatan luhur yang seharusnya
dijadikan dasar dan patokan utama dalam menentukan kebijakan yang
berkaitan dengan segala hal-ikhwal pendidikan, khususnya pendidikan
di Indonesia. Ukuran maju-tidaknya sebuah bangsa tolok ukurnya bisa
dilihat dari kualitas pendidikan bangsa tersebut, artinya makin maju
tingkat pendidikan sebuah bangsa maka secara tidak langsung maju
pula negara tersebut. Mengapa? karena dengan meningkatnya kualitas
pendidikan akan berdampak pada peningkatan kualitas sumber daya
manusianya pula.8
Dengan demikian tidak sulit sebenarnya untuk menjadikan
sebuah bangsa cerdas dan berkesadaran yang tinggi. Akan tetapi
ternyata tidaklah semudah yang dikira, karena berbagai macam
pertimbangan secara intern sebagai pembuat dan pelaku kebijakan
(birokrasi pemerintahan) sebagai penentu nilai kebijakan untuk
pendidikan. Belum lagi permasalahan ‘muatan’ pendidikan itu sendiri
yang sarat dengan nilai kepentingan, dimana pendidikan itu sendiri
tidak bisa lepas dari ideologi serta paradigma apa yang hendak dipakai
dan dicapai dalam pembentukan pola. Solusi baru yang mempunyai
tujuan ganda adalah memasukkan nilai kritisisme yang pantangan dari
kebiasaan rutin dalam iklim ruangan kelas. Pemilahan ini bukan hal

8
Wisarja and Sudarsana, “Refleksi Kritis Ideologi Pendidikan Konservatisme Dan Libralisme
Menuju Paradigma Baru Pendidikan.”
yang mudah dilakukan, mengingat budaya patron-klien masih tetap
dirapatkan fungsinya. Konservativisme maupun liberalisme merupakan
modal, dalam artian selama ini keberadaannya belum menyentuh arah
dan konsepsi lanjut mengenai eksistensi pendidikan. Sedangkan
pengakuan atas ideologi dari salah satunya juga merupakan proyek
spekulatif yang mendorong timbulnya ketegangan baru yang mungkin
diperparah oleh konflik dalam rumusan pendidikan selanjutnya.

BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selama ini pemahaman masyarakat berkenaan dengan pendidikan
adalah memposisikan pendidikan sebagai satu-satunya bentuk perolehan
ilmu dan pengetahuan yang ada. Terlepas itu nantinya terpatok pada
persoalan pendidikan yang cenderung melembaga atau persoalan hakikat
pendidikan itu sendiri.
Berbagai macam bentuk kesadaran yang telah tercipta dari rahim
pendidikan tidak lebih hanyalah sebagai bentuk penjajahan otoritas
kesadaran itu sendiri. Bentukan paradigma pendidikan yang kedua yang
kemudian dinamakan liberalisme pendidikan tidak lebih hanyalah
kelanjutan dari konsep pembentukan pola kesadaran gaya baru yang
notabene tidak jauh dari faktor kepentingan ideologi juga. Namun satu hal
yang pasti dan perlu kita sepakati disini adalah perlunya kita melakukan
konsolidasi kesadaran menuju kecerahan dalam berpikir.
Terakhir bahwa pendidikan pada dasarnya sebagai pemberi
seperangkat gagasan serta ide yang memungkinkan di dalamnya
membentuk kesadaran dalam berpikir. Terlebih pada persoalan sejauh
mana pendidikan menjadi sebuah alternatif pilihan dalam pencapaian ilmu
dan pengetahuan yang didapat.

B. Saran
Penyusunan makalah ini sesungguhnya memiliki banyak
kekurangan dalam hal materi    pembahasannya. Oleh sebab itu kami
mengharapkan kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran
kepada kami guna menambah wawasan dalam penyusunan makalah
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Toni dan Maulana Arafat Lubis. Konsep Dasar Ilmu
Pengetahuan Sosial. Yogyakarta: Samudra Biru.2018
Farisi, Mohammad Imam. “Ontologi Pendidikan IPS Sebagai
Disiplin Pendidikan Kewarganegaraan. “SOSIOHUMANIKA 8, no 1
(2015).
Halimah, Lili. “Pengaruh Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan Terhadap Nasionalisme Peserta Didik Sekolah
Menengah Kota Cimahi. “PEDAGOGIA” 16, no. 3 (2018): 209-204.
Safitri, Nur Kholifatus. “Pengembangan Multimedia Interaktif
Pembelajaran IPS Materi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Kelas V
Sekolah Dasar. “ PhD Thesis. University of Muhammadiyah Malang,
2017.
Wisarja, I. Ketut Sudarsana. “Refleksi Kritis Ideologi Pendidikan
Konservatisme Dan Liberalisme Menuju Paradigma Baru Pendidikan.
“Journal of Education Research and Evaluation 1, no. 4 (2017): 283-291.

Anda mungkin juga menyukai