Anda di halaman 1dari 227

BUKU AJAR MATA KULIAH WAJIB UMUM

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan


Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Republik Indonesia
2016

i
Tim Penyusun:
Paristiyanti Nurwardani
Dr. Daniel Nuhamara
Dr. Daniel Stefanus
Drs. Swarsono MM
Edi Mulyono
Evawany
Fajar Priyautama
Ary Festanto

Catatan Penggunaan:

Tidak ada bagian dari buku ini yang dapat direproduksi atau disimpan dalam bentuk
apapun misalnya dengan cara fotokopi, pemindaian (scanning), maupun cara-cara
lain, kecuali dengan izin tertulis dari Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Agama Kristen


Hak Cipta pada Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

ii
Disklaimer: Buku ini merupakan Buku Bahan Ajar Mata Kuliah Wajib Umum yang
dipersiapkan pemerintah untuk menjadi salah satu sumber nilai dan bahan dalam
penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan
kepribadiannya sebagai bangsa Indonesia seutuhnya. Buku bahan ajar ini disusun
dan ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Direktorat Jenderal
Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi, berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Buku Bahan Ajar Bahasa Indonesia ini merupakan “bahan ajar yang dinamis” yang
senantiasa diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika
kebutuhan dan perubahan zaman, terakhir diperkaya dengan muatan kesadaran
pajak. Masukan dari berbagai kalangan diharapkan dapat meningkatkan kualitas
buku ini.

Cetakan ke-1: 2016


Disusun dengan huruf HP Simplified Light, 12 pt

iii
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL PEMBELAJARAN DAN KEMAHASISWAAN

Amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pasal 35 ayat 3 tentang kurikulum


menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi dikembangkan oleh setiap
Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi wajib
memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa
Indonesia yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Sejalan dengan agenda revolusi karakter bangsa dalam Nawacita, Mata Kuliah
Wajib Umum (MKWU) di perguruan tinggi menjadi sumber nilai dan pedoman dalam
pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu
mewujudkan nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan
cinta tanah air sepanjang hayat.
Pada kesempatan ini saya menghimbau kepada semua Perguruan Tinggi agar
segera menggunakan Buku Ajar MKWU ini sebagai salah satu sumber bahan ajar
dalam upaya pembentukan karakter kuat dan keIndonesiaan, yang akan menjadi
masyarakat yang siap menghadapi tantangan dan peluang kehidupan yang
semakin kompleks di abad ke-21, berkepribadian dan siap bersaing dan eksis
dalam masyarakat global.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Tim Penyusun buku bahan ajar ini, terima
kasih atas kerja kerasnya. Saya memberikan apresiasi kepada Direktorat Jenderal
Pajak Kemenkeu yang telah berkontribusi dalam memperkaya materi buku MKWU
ini dengan penguatan kesadaran pajak. Terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan masukan yang berharga dan dedikasinya.
Akhir kata semoga buku ajar ini bermanfaat bagi perguruan tinggi dan dapat
digunakan sebagai bahan kuliah di pendidikan tinggi yang dapat membentuk sikap
insan Indonesia yang beradab, berilmu, profesional dan berkepribadian Indonesia
yang kokoh di era MEA dan global, serta berkontribusi terhadap kesejahteraan
kehidupan bangsa.

Jakarta, Juni 2016


Direktur Jenderal,

Intan Ahmad

iv
KATA PENGANTAR
DIREKTUR PEMBELAJARAN

Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) Pendidikan Agama Kristen pada Perguruan
Tinggi memiliki posisi strategis dalam melakukan transmisi pengetahuan dan
transformasi sikap dan perilaku mahasiswa Indonesia melalui proses pembelajaran
mata kuliah Pendidikan Agama Kristen. Dalam upaya meningkatkan mutu dan
pembentukan karakter bangsa perlu dilakukan peningkatan dan perbaikan materi
yang dinamis mengikuti perkembangan yang senantiasa dilakukan perbaikan terus
menerus, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan
perubahan zaman, dan semangat belanegara dan terakhir diperkaya dengan
muatan kesadaran pajak.
Salah satu upaya meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Kristen
adalah dengan mengembangkan kurikulum baru Pendidikan Agama Kristen yang
berorientasi pada pengembangan sikap beragama yang moderat dan berwawasan
keindonesiaan dan berwawasan global. Di samping itu, kurikulum baru tersebut
diarahkan untuk mentransendenkan ajaran Kristen menjadi nilai-nilai universal
yang dapat diimplementasikan dalam konteks dunia modern. Kurikulum baru
tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan penulisan buku yang dapat dijadikan
sumber aktivitas pembelajaran bagi mahasiswa. Sesuai dengan Standar Nasonal
Pendidikan Tinggi dan mengacu kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Pokok-pokok bahasan di dalam buku ini sengaja disajikan dengan pendekatan
aktivitas pembelajaran, pembelajaran yang diselenggarakan merupakan proses
yang mendidik, yang di dalamnya terjadi pembahasan kritis, analitis, induktif.
deduktif, dan reflektif melalui dialog kreatif partisipatori untuk mencapai
pemahaman tentang kebenaran substansi dasar kajian, . berkarya nyata. dan
menumbuhkan motivasi belajar sepanjang hayat.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
kepada tim penulis, atas dedikasi dan kerja kerasnya .
Akhirnya, semoga Buku ini bermanfaat dalam upaya mewujudkan cita cita revolusi
karakter bangsa. Buku ini masih banyak kekurangan dan kealpaan, untuk itu, kami
mengharapkan masukan dan kritik dari para pembaca untuk perbaikan buku ini.

Jakarta, Juni 2016


Direktur Pembelajaran,

Paristiyanti Nurwardani

v
DAFTAR ISI

SAMBUTAN ....................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ v
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... vi
BAB I AGAMA DAN FUNGSINYA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA ....................................... 1
Pendahuluan ......................................................................................................................1
A. Menelusuri Pengertian Agama dari Berbagai Sudut Pandang ............................2
B. Fenomena Agama dalam Sejarah Umat Manusia .................................................6
C. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia .............................................................8
1.Agama memberikan kedamaian mental (mental peace). .......................... 10
2.Agama menanamkan kebajikan-kebajikan sosial. ..................................... 10
3.Agama meningkatkan solidaritas sosial. ..................................................... 10
4.Agama adalah agen sosialisasi dan kontrol sosial. .................................... 10
5.Agama meningkatkan kesejahteraan........................................................... 11
6.Agama memberikan rekreasi kepada manusia........................................... 12
7.Agama berfungsi memperkuat rasa percaya diri. ....................................... 12
8.Agama juga mempunyai pengaruh kepada ekonomi serta sistem politik.
........................................................................................................................... 12
D. Membangun Argumen tentang Pengertian Agama dan Fungsi Positifnya
dalam Kehidupan Manusia .................................................................................. 13
E. Mendeskripsikan Pengertian Agama dan Fungsinya agar Selalu Positif ........ 15
F. Rangkuman ............................................................................................................ 15
G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................... 16
BAB II ALLAH DALAM KEPERCAYAAN KRISTEN ............................................................. 17
Pendahuluan ................................................................................................................... 17
A. Menelusuri Kesaksian Alkitab tentang Allah yang Dipercayai oleh
Umat Kristen ......................................................................................................... 18
1. Allah Sang Pencipta ........................................................................................ 20
2. Allah Penyelamat ............................................................................................ 23
3. Allah Pembaharu Ciptaan-Nya ...................................................................... 31
B. Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta, Penyelamat, dan
Pembaharu Ciptaan-Nya ..................................................................................... 36
1. Implikasi Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta ........................... 37

vi
2. Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bagi Kehidupan
Praktis............................................................................................................... 38
3. Implikasi Kepercayaan bahwa Allah adalah Pembaharu dalam Roh Kudus
........................................................................................................................... 40
C. Menggali Teologi Kristen: Isu Krusial yang Diperdebatkan tentang Hakikat
Allah........................................................................................................................ 41
1. Agustinus ......................................................................................................... 42
2. Karl Barth ......................................................................................................... 43
D. Ibadah: Sikap dan Tanggung Jawab Moral Kita.................................................. 45
E. Kepercayaan kepada Allah dalam Pengalaman Keberagamaan!.................... 46
F. Rangkuman ............................................................................................................ 46
G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................... 47
BAB III MANUSIA MENURUT AJARAN KRISTEN .............................................................. 48
Pendahuluan ................................................................................................................... 48
A. Menelusuri Pemikiran-Pemikiran Modern tentang Manusia ............................ 50
1. Manusia Komunis ............................................................................................ 50
2. Manusia Humanis ............................................................................................ 51
B. Pandangan Kristen tentang Hakikat Manusia .................................................... 52
1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah (lih Kej. 1 dan Kej. 2) .................... 52
2. Manusia diciptakan menurut Gambar Allah (Imago Dei) ............................ 53
3. Manusia sebagai Makhluk Sosial ................................................................... 55
4. Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Berbudaya ................................... 58
5. Manusia sebagai Makhluk Etis ....................................................................... 59
C. Paradoks dalam Kehidupan Manusia dan Masyarakat ..................................... 61
D. Membaharui Hubungan dengan Allah, Sesama, dan Alam Ciptaan ................ 64
E. Pandangan-Pandangan Teologi Kontemporer tentang Manusia dan Masa
Depannya............................................................................................................... 65
F. Rangkuman ............................................................................................................ 66
G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian ................................................................ 67
BAB IV ETIKA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER KRISTIANI ............................................ 68
Pendahuluan ................................................................................................................... 68
A. Menelusuri Pengertian Etika dan Moralitas ........................................................ 70
B. Membangun Norma untuk Membuat Penilaian Moral ...................................... 73
1. Teori Teleologis ............................................................................................... 74
2. Teori Deontologis ............................................................................................ 75

vii
C. Menggali dan Membangun Karakter Kristiani, dan Hubungan Karakter
dengan Iman dan Etika Kristen ........................................................................... 78
D. Sistem Etika Kristen dan Prinsip Utamanya ....................................................... 86
E. Etika Teologis dan Etika Filsafati ......................................................................... 88
1. Etika Teologis .................................................................................................. 88
2. Etika Filsafati ................................................................................................... 89
F. Rangkuman ............................................................................................................ 89
G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian ................................................................ 90
BAB V HUBUNGAN IMAN KRISTIANI DENGAN ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI,
DAN SENI ........................................................................................................................ 91
Pendahuluan ................................................................................................................... 91
A. Tipologi Hubungan Iman dan Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah
Kekristenan............................................................................................................ 92
1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains ...................... 94
2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama ........................................... 95
B. Pengertian Teknologi Modern ............................................................................ 101
C. Tipologi Respons Kristen terhadap Teknologi Modern ................................... 102
1. Teknologi sebagai Pembebas (Liberator) .................................................. 111
2. Teknologi sebagai Ancaman ........................................................................ 115
3. Teknologi sebagai Instrumen Kekuasaan .................................................. 118
D. Hubungan Teknologi dan Kekuasaan Politis .................................................... 118
E. Membangun Sikap Kristen yang Lebih Realistis terhadap Teknologi ........... 119
F. Rangkuman .......................................................................................................... 120
G. Tugas Belajar Lanjutan dan Penyajian .............................................................. 121
BAB VI MENCIPTAKAN KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA .................................. 122
Pendahuluan ................................................................................................................. 122
A. Menelusuri Konsep Kerukunan Antarumat Beragama ................................... 122
B. Menanya Bentuk-Bentuk Kerukunan Antarumat Beragama ......................... 126
C. Menggali Sumber Alkitab tentang Kerukunan Antarumat Beragama .......... 130
1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan .............................. 135
2. Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia ............................... 137
D. Membangun Argumen tentang Pluralisme Agama sebagai Persoalan Teologis
.............................................................................................................................. 139

viii
E. Mendeskripsikan Peran Umat Beragama dalam Mengembangkan
Kerukunan Antarumat Beragama..................................................................... 146
F. Rangkuman .......................................................................................................... 152
G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................. 152
BAB VII PENJAGA CIPTAAN ALLAH ............................................................................... 153
A. Menelusuri Hubungan antara Ekonomi dan Ekologi ....................................... 154
B. Manusia dalam Alam ........................................................................................... 163
C. Menggali Dasar Teologis dari Pemahaman mengenai Keutuhan Ciptaan ... 170
D. Membangun Argumen tentang Kedudukan Manusia dalam Lingkungan
Alam ..................................................................................................................... 178
E. Mendeskripsikan Sikap Manusia terhadap Alam .............................................. 186
F. Rangkuman .......................................................................................................... 204
G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................. 205
BAB VIII CARA BERGAUL YANG BAIK ............................................................................ 206
Pendahuluan ................................................................................................................. 206
A. Menelusuri Konsep Seni Bergaul ....................................................................... 207
B. Menjadi Sahabat Sejati ........................................................................................ 214
C. Menggali Sumber Alkitab tentang Pergaulan .................................................. 219
D. Membangun Argumen tentang Suka dan Duka Pergaulan ............................ 227
E. Mendeskripsikan Tahap-Tahap Pergaulan ....................................................... 229
F. Rangkuman .......................................................................................................... 234
G. Tugas Belajar Lanjut dan Penyajian .................................................................. 235
DAFTAR ACUAN ............................................................................................................ 236

ix
BAB I
AGAMA DAN FUNGSINYA DALAM
KEHIDUPAN MANUSIA

Agama adalah suatu fenomena yang


selalu hadir dalam sejarah umat
manusia, bahkan dapat dikatakan
bahwa sejak manusia ada, fenomena
agama telah hadir. Walaupun demikian,
tidaklah mudah untuk mendefinisikan
apa itu agama. Mengapa?
Pertama, karena pengalaman manusia
tentang agama sangat bervariasi, mulai
dengan yang paling sederhana seperti
dalam agama animisme/dinamisme
sampai ke agama-agama politeisme
Sumber:
dan monoteisme. Kedua, selain begitu http://www.smh.com.au/lifestyle/losing
variatifnya pengalaman manusia -my- religion-20130625-2ouww.html
tentang agama, dan begitu variatifnya
disiplin ilmu yang digunakan untuk memahami fenomena agama. Misalnya,
agama bisa ditinjau dari sudut psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi,
bahkan teologi.
Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai tiga tujuan pembelajaran. Adapun
tujuan pembelajaran yang diharapkan dicapai adalah: (i) bersikap rendah hati
dan bergantung kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang
teratur; (ii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam
kepelbagaian agama, suku dan budaya; (iii) menjelaskan pengertian agama,
mengidentifikasi fungsi-fungsi agama dalam kehidupan manusia baik yang
positif maupun negatif, merumuskan pengertian agama dengan kata-kata
sendiri, dan menalar perbedaan fungsi agama yang positif dan negatif.

1
Sekarang, cobalah Anda melakukan refleksi pribadi berdasarkan
pengalaman beragama Anda selama ini, rumuskan agama itu. Kalau bukan
suatu definisi, cobalah sebutkan unsur-unsur yang membentuk pengalaman
beragama Anda! Setelah itu bandingkanlah pengertian Anda dengan
pandangan para ahli mengenai agama itu!

Cobalah Anda amati pengertian agama dari disiplin ilmu psikologi,


antropologi, sosiologi, dan teologi. Lihatlah buku psikologi, antropologi,
sosiologi, dan teologi yang mengulas tentang pengertian agama.
Bandingkanlah masing-masing definisi tersebut dan diskusikanlah dalam
kelas!

Fenomena agama merupakan fenomena yang tak bisa dijelaskan secara


tuntas dengan kategori ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun begitu,
Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah ternama, mengatakan bahwa:
“in religion the whole of human being personality is involved: the emotional
and moral facets of the human psyche above all, but the intellectual facet
as well. And the concern extends to the whole of Man’s World; it is not limited
to that part of which is accessible to the human senses and which can
therefore be studied scientifically and can be manipulated by technology
(John Goley 1968, v).
Jadi menurut Toynbee, dalam agama, keseluruhan kepribadian manusia
terlibat antara lain: segi-segi emosional, segimoral dan kejiwaan, dan segi
intelektual juga. Keprihatinan agama mencakup keseluruhan “dunia manusia”;
tidak hanya dibatasi pada bagian yang bisa diakses oleh indra manusia yang
pada gilirannya dapat dipelajari secara ilmiah tetapi juga yang dapat
dimanipulasi oleh teknologi. Singkatnya, seluruh kemanusiaan kita terlibat di
dalam pengalaman beragama manusia. Cobalah Anda amati hal-hal apa saja
dalam diri manusia yang terlibat di dalam pengalaman beragama manusia!
Kita mencoba menelusuri berbagai pengertian agama sebagaimana
dikemukakan oleh berbagai ahli dari berbagai perspektif. Jika ditelusuri,
ternyata ada begitu banyak definisi/pengertian agama dari yang sifatnya
sangat positif sampai ke yang sifatnya sangat negatif. Begitu bervariasinya
definisi agama karena, antara lain, ada yang memasukkan agama-agama
yang sangat sederhana atau primitif, seperti dalam bentuk
animisme/dinamisme, sampai ke agama-agama yang lebih rumit dan
kompleks, seperti dalam agama-agama yang monoteisme ke dalam definisi
mereka. Pada umumnya definisi-definisi tersebut bersifat positif dan tidak
menilai benar atau salahnya suatu keyakinan religius. Namun, ada juga

2
definisi-definisi yang sangat kritis bahkan cenderung merendahkan
pengalaman agamawi manusia. Cobalah Anda amati dan kemukakan beberapa
definisi tentang agama yang sangat kritis!
Berikut ini kita akan melihat beberapa contoh definisi, dan dengan menelusuri
beberapa definisi mudah-mudahan kita menangkap pengertian agama.
Beberapa definisi yang diberikan oleh berbagai kamus antara lain seperti
berikut; Penguin Dictionary of Religion (1970) mendefinisikan agama sebagai
suatu istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan semua konsep
tentang kepercayaan kepada ilah (ilah-ilah) dan keberadaan spiritual yang
lain atau keprihatinan ultima yang transendental. Britanica Concise
Encyclopedia (online, 2006) mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia
kepada Allah atau ilah-ilah, atau apa saja yang dianggap sakral, atau dalam
beberapa kasus hal-hal yang supernatural. Encyclopedia Britanica (online,
2006) mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan apa yang
dianggap sebagai suci, sakral, spiritual atau ilahi.
Selain definisi-definisi dari kamus yang sifatnya netral, ada juga pengertian
agama yang sifatnya negatif. Berikut tiga contoh definisi negatif tentang
agama:
1. Karl Marx mendefinisikan agama adalah vitamin untuk masyarakat yang
tertindas ... agama adalah candu bagi masyarakat.
2. Sigmund Freud dalam New Introductory Lectures on Psychoanalysis,
mengatakan bahwa agama adalah ilusi dan menarik kekuatannya dari
fakta bahwa ia berasal dari keinginan-keinginan instingtif manusia.
3. Bertrand Russel berpendapat bahwa agama adalah sesuatu yang
terbawa/tertinggal dari masa kanak-kanak dari inteligensi kita, agama
akan lenyap ketika kita mengadopsi penalaran dan ilmu pengetahuan
sebagai penuntun kita.
Dari penelusuran beberapa definisi di atas, dapatkah Anda membuat
kesimpulan sendiri mengenai apa yang dipahami para ahli di atas
tentang agama? Amatilah apa yang menyebabkan para ahli
mendefinisikan agama seperti itu! Apakah definisi-definisi tersebut
sesuai dengan pengalaman keagamaan Anda? Buatlah catatan kritis
terhadap definisi tersebut!

Untuk lebih memperjelas pemahaman kita mengenai agama secara umum,


sebenarnya ada empat pendekatan definisai agama yakni: substantif,
fungsional, verstehen, dan formal. Pendekatan subtantif dan pendekatan
fungsional akan dibahas pada alinea berikut. Dua pendekatan lain (verstehen

3
dan formal) tidak dibahas di sini, Anda dipersilakan mencari di buku lain untuk
memahami pendekatan verstehen dan formal!

Sumber: http://putriempuutri.blogspot.com/2012/

Definisi-definisi substantif adalah definisi yang melihat apa substansi agama.


Misalnya, Tyler mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan kepada
keberadaan spiritual.” Ini menunjukkan substansi agama sebagai kepercayaan
kepada yang hal spiritual/rohaniah. Namun, kadang definisi substantif dipakai
juga untuk analisis fungsional. Misalnya saja Ross (1901:197) melihat agama
sebagai sesuatu yang memberi kontrol sosial tertentu. Dalam konsep ini,
agama sudah bersifat fungsional, meskipun Tyler sebenarnya mendefinisikan
agama secara substantif. Ia mengatakan bahwa agama sebagai suatu
kepercayaan kepada yang tak terlihat, dengan perasaan takut, kagum, hormat,
rasa syukur, dan kasih, demikian pun institusinya seperti doa, ibadah, dan
pengorbanan.
Definisi fungsional menekankan pada fungsi agama, atau apa yang dilakukan
agama. Contoh dari definisi-definisi fungsional adalah definisi yang
dikemukakan Ward dan Cooley berikut. Ward (1898) berpendapat bahwa
agama adalah suatu substitusi dalam dunia yang rasional terhadap insting
pada dunia yang subrasional. Cooley (1909:372) juga mendefinisikan agama
sebagai suatu kebutuhan bagi hakikat manusia, untuk menjadikan hidup
kelihatan lebih rasional dan baik.

4
Cobalah Anda amati perbedaan antara definisi substantif dan fungsional!
Pertanyaannya adalah apakah definisi-definisi di atas menggambarkan
dengan akurat pengalaman agamawi Anda sendiri? Definisi manakah yang
paling cocok dengan pengalaman agamawi Anda.

Sumber: http://livinglifewithoutanet.com/2011/05/26/atlantas-apologist-examiner-calls-for-
christian-education-i-disagree/

Penulis setuju dengan definisi yang diberikan oleh Thomas H. Groome dalam
bukunya Christian Religious Education. Ia mengatakan bahwa agama adalah:
“human quest for the transcendent in which one’s relationship with an ultimate
ground of being is brought to consciousness and somehow given expression”
(Groome 1980, 22). Penulis setuju dengan definisi ini karena tiga alasan.
Pertama, semua agama tentu berurusan dengan yang transenden dan
manusia mencari yang transenden tersebut karena dalam dirinya ada suatu
kesadaran religius untuk mengakui adanya suatu kodrat yang melampaui
manusia. Kedua, yang transenden itu juga bisa menjadi dasar keberadaannya,
dan dalam arti itu sangat imanen dengan manusia. Jadi, definisi ini
menjaga keseimbangan antara yang transenden dan imanen. Tuhan tak
semata transenden jauh di sana, yang bisa membuat manusia merasa
teralienasi dari berbagai hal bahkan dengan diri sendiri karena mencari-Nya,
tetapi juga tidak sekadar imanen karena bisa juga manusia lalu menyamakan
dirinya dengan Tuhan. Imanensi Tuhan menyatakan kedekatan-Nya dengan
ciptaan-Nya. Ketiga, dalam pencarian itu manusia berusaha berelasi dengan
Tuhan sebagaimana Tuhan juga berelasi dengan manusia, tetapi relasi-relasi
itu diberi manifestasi dengan berbagai cara: iman, ritual, ibadah dan ketaatan
terhadap apa yang dikehendaki oleh sang Pencipta yang transenden dan dasar
keberadaan tadi.

5
Silakan Anda amati kelebihan dan kekurangan definisi agama yang
dikemukakan oleh Groome! Silakan Anda membangun definisi sendiri yang
dapat menolong pemahaman Anda sendiri, tetapi dalam hubungan dengan
komunitas iman tempat Anda tergabung dan menjadi bagiannya, serta dalam
terang Kitab Suci yang Anda anut!

Pembahasan tentang agama selalu berkaitan dengan pokok tentang Allah


atau yang dianggap Allah. Setiap manusia pada dasarnya mempunyai
kesadaran religius, yakni kesadaran bahwa ada suatu kodrat Ilahi di atas
realitas dunia ini dan dalam berbagai agama diberi nama yang bermacam-
macam. Memang menarik untuk dicatat bahwa gejala yang kita sebut agama
sudah ada sejak dahulu kala hingga sekarang pun gejala itu masih tetap ada.
Memang agama mengalami pasang surut bahkan kadang agama tertentu
mengalami kemerosotan dalam konteks tertentu (dalam masyarakat sekuler
misalnya), namun secara umum agama tetap hadir dalam kehidupan manusia.
Bahkan ada ahli yang meramalkan “kebangkitan agama-agama.” Silakan
Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan
kebangkitan agama-agama dan setiap manusia pada dasarnya mempunyai
kesadaran religius.
Pertanyaan yang perlu kita renungkan dan diskusikan adalah: mengapa
gejala agama selalu hadir sebagai suatu fenomena dalam kehidupan
masyarakat? Jawaban terhadap pertanyaan itu tentu saja tak mudah, lagi pula
bermacam-macam. Ada yang berpendapat bahwa kenyataan tersebut
disebabkan oleh karena manusia menyadari keterbatasannya, dan dalam
keterbatasan itu maka ia berpaling kepada “sesuatu yang dianggap tak
terbatas.” Oleh karena itu, agama tidak lebih dari suatu pelarian. Atau bahkan
dianggap merupakan ciptaan manusia. Itulah sebabnya ketika ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin berkembang dan dapat berfungsi untuk
mengatasi berbagai keterbatasan manusia, fenomena agama mengalami
kemerosotan, setidaknya di negara-negara Barat yang dibangun atas dasar
perkembangan ilmu dan teknologi modern. Meskipun ada kemerosotan, gejala
agama tak pernah hilang sama sekali, bahkan ada tanda-tanda kebangkitan
kembali dari fenomena agama. Mengapa? Sebab pertanyaan- pertanyaan
manusia yang terdalam tidak bisa seluruhnya dijawab oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi. Silakan Anda bertanya secara kritis tentang kemerosotan
agama di negara- negara Barat!

6
Pendapat lain beranggapan, bahwa agama tak pernah akan bisa lenyap,
karena ia berfungsi untuk menjawab pertanyaan mendasar manusia yang tak
bisa dijawab oleh ilmu dan teknologi. Pertanyaan mendasar tersebut antara
lain arti dan tujuan kehidupan (untuk apa kita hidup), serta bagaimana sesudah
kematian ini? Pertanyaan mendasar seperti itu tak dapat dijawab kecuali
melalui iman yang ditawarkan oleh keyakinan agamawi.
Dalam kekristenan, kita percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia
sedemikian rupa sehingga ada kesadaran religius dalam dirinya yakni suatu
kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas manusia, dengan nama yang
bermacam-macam sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Kesadaran
itulah yang kemudian mendorong manusia untuk mewujudkan relasinya
dengan kodrat Ilahi yang pada gilirannya memunculkan fenomena agama.
Itulah sebabnya fenomena agama tak mungkin bisa dihapus sama sekali,
walaupun bisa ditekan ke tingkat yang serendah-rendahnya oleh berbagai
faktor dalam kehidupan manusia dan masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila, gejala
agama merupakan suatu gejala yang amat penting. Karena sila pertama
dari Pancasila, semua warga negara diasumsikan mempunyai kepercayaan
kepada Tuhan meskipun dengan konsep yang berbeda-beda. Di Indonesia,
agama telah meresapi berbagai aspek kehidupan: sosial, politik, pendidikan,
dan lain-lain. Karena itu, masyarakat Indonesia tidak dapat dipahami dengan
baik tanpa memahami peranan agama di dalam masyarakatnya. Silakan
Anda mengajukan pertanyaan kritis tentang peranan agama di dalam
masyarakat!
Cobalah Anda memikirkan secara kritis, dari perspektif Anda sendiri mengapa
fenomena agama bertahan meskipun dalam dunia yang sudah maju dan
dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern, khususnya mengapa di
Indonesia fenomena agama sangat nyata dan memengaruhi berbagai bidang
lain juga termasuk politik dan ekonomi! Di mana-mana rumah-rumah ibadat
dan banyak sekali aktivitas keagamaan bermunculan dan memenuhi
nusantara ini. Berilah contoh-contohnya (?) dalam berbagai agama, dan coba
beri penjelasan mengapa demikian!

7
Semua yang dikatakan di atas barulah sebagian pertanyaan yang muncul
dalam memikirkan apa itu agama dan fungsinya dalam kehidupan manusia.
Anda bisa menambahkan lagi sejumlah
pertanyaan yang muncul dalam benak
Anda dalam kaitan pembicaraan kita
tentang pengertian agama dan
fungsinya!
Jadi, kita bisa menyimpulkan dalam
masyarakat Indonesia, fenomena
agama sulit diabaikan untuk memahami
masyarakat Indonesia.
Masih banyak lagi pertanyaan-
pertanyaan yang Anda bisa munculkan.
Silakan saja dan diskusikan itu dengan
teman-temanmu serta pengajarmu! Sumber: http://theology101.org/world.htm.

Anda telah mencoba merumuskan sendiri pengertian agama


berdasarkan pengalaman beragama Anda sendiri. Tentu saja hal ini penting!
Sekarang kita coba menggali lebih jauh dari berbagai sumber, apa fungsi
agama terutama fungsinya yang positif. Dalam kenyataan konkret kadang
kala agama juga juga disalah mengerti dan karena itu dapat berfungsi
destruktif. Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin yang
berkenaan dengan fungsi agama yang positif dan negatif. Diskusikan dalam
kelas bersama rekan-rekanmu!

Fungsi Agama?

Sudah ada sejarah yang panjang dalam menilai dan usaha menjelaskan fungsi
agama. Karl Marx dan Engels misalnya berpendapat bahwa fungsi agama

8
adalah untuk menutupi realitas yang mendasari sistem ekonomi dan
mengurangi rasa sakit penderitaan dari massa pekerja. Durkheim berpendapat
bahwa fungsi agama adalah untuk memungkinkan terjadinya ritual-ritual yang
mengikat atau menyatukan masyarakat bersama-sama. Freud, pada pihak
lain, mengatakan bahwa fungsi agama tak lebih dari mengatasi rasa takut
serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan emosional. Silakan Anda
mengumpulkan informasi yang lain dari teolog-teolog mengenai fungsi
agama.
Banyak ahli berpendapat bahwa fungsi agama adalah untuk memajukan serta
mempertahankan perilaku-perilaku moral. Para pendukung teori evolusi
modern melihat agama terutama sebagai adaptasi yang berfungsi untuk
meningkatkan kohesi kelompok, dan inilah juga yang dikemukakan oleh
Durkheim.
Philip Goldberg yang merangkum berbagai fungsi agama memberi daftar
fungsi agama sebagai berikut:
1 Transmisi atau pewarisan: yakni untuk meneruskan ke setiap generasi
suatu “sense of identity” melalui kebiasaan-kebiasaan, cerita, dan
kelanjutan historis yang dimiliki bersama.
2 Translasi atau penerjemahan: yakni untuk menolong individu-individu
menafsirkan peristiwa-peristiwa kehidupan, mendapatkan suatu rasa
bermakna dan bertujuan, dan memahami hubungan-hubungannya
dengan keseluruhan yang lebih besar (baik dalam arti sosial maupun
kosmis).
3 Transaksi: yakni untuk menciptakan dan mempertahankan suatu
komunitas yang sehat, dan memberi penuntun terhadap perilaku-perilaku
moral dan hubungan-hubungan etis.
4 Transformasi: yakni sebagai pengembangan kedewasaan dan
pertumbuhan yang terus- menerus, menolong umat beragama untuk
merasa lebih penuh dan komplet.
5 Transendensi: yakni untuk memuaskan kerinduan untuk memperluas
batasan-batasan diri yang dipersepsikan, menjadi lebih sadar terhadap
aspek kehidupan yang lebih sakral, dan mengalami persekutuan/
penyatuan dengan dasar keberadaan yang mutlak.
Daftar di atas kurang lebih mencoba merangkum berbagai definisi fungsional
dari agama dan daftar itu masih bisa lebih panjang lagi. Silakan Anda
mengumpulkan informasi yang lain lagi mengenai fungsi agama dari
sosiolog! Tentu saja tidak setiap orang memaknai agama yang dianutnya

9
dengan keseluruhan fungsi seperti di atas, atau memberi tekanan yang sama
terhadap semua fungsi di atas, karena memang pengalaman agamawi setiap
orang itu unik dan individual. Itulah sebabnya ada ahli lain yang membuat
daftar fungsi agama secara lebih panjang lagi. Dalam suatu tulisan, ada ahli
yang memberikan daftar mengenai 10 fungsi agama yang penting, baik dari
segi individual maupun sosial. Delapan dari 10 fungsi agama tersebut akan
dikemukakan di bawah ini. Dua fungsi agama yang lain, Anda cari sendiri dari
berbagai buku.

1. Agama memberikan kedamaian mental (mental peace).


Menurut pendapat ini, kehidupan manusia sangat tak menentu. Manusia
bergumul untuk tetap hidup di tengah-tengah ketidakpastian, ketidakamanan,
dan bahaya- bahaya. Kadang-kadang ia merasa tak berdaya maka agama lah
yang memberikan penghiburan dan dorongan dalam masa-masa krisis
tersebut. Agama memberi tempat perlindungan yang benar bagi manusia
maka manusia memeroleh kedamaian mental dan dukungan emosional.
Agama memberi dorongan kepada manusia untuk menghadapi kehidupan dan
masalah-masalahnya.

2. Agama menanamkan kebajikan-kebajikan sosial.


Agama mempromosikan kebajikan-kebajikan sosial yang utama, misalnya,
kebenaran, kejujuran, sikap nirkekerasan, pelayanan, cintakasih, disiplin, dsb.
Seorang pengikut agama tertentu menginternalisasi kebajikan-kebajikan ini
dan menjadi warga masyarakat yang berdisiplin.

3. Agama meningkatkan solidaritas sosial.


Agama membangkitkan semangat persaudaraan/persaudarian. Durkheim
berpendapat bahwa agama memperkuat solidaritas sosial. Ahli lain
menunjukkan bahwa agama mempunyai kekuatan mengintegrasikan dalam
masyarakat manusia. Hal ini benar karena orang beragama mempunyai
kepercayaan yang sama, sentimen yang sama, ibadah yang sama,
berpartisipasi dalam ritual bersama dan seterusnya merupakan faktor-faktor
perekat yang penting yang memperkuat kesatuan dan solidaritas.

4. Agama adalah agen sosialisasi dan kontrol sosial.


Dikatakan oleh Parson bahwa agama adalah salah satu agen paling penting
untuk sosialisasi dan kontrol sosial. Agama mempunyai peranan penting
dalam mengatur/mengorganisasikan dan mengarahkan kehidupan sosial.

10
Agama juga menolong menjaga norma-norma sosial dan kontrol sosial. Ia
mensosialisasikan individu dan melakukan kontrol baik terhadap individu
maupun kelompok dengan berbagai cara. Organisasi seperti gereja, masjid,
dan sejenisnya juga mengontrol perilaku dari individu pada tingkat yang
berbeda-beda.

5. Agama meningkatkan kesejahteraan.


Agama mengajarkan kepada umatnya agar melayani masyarakat serta meningkatkan
kesejahteraan masayarakat. Ia mengajarkan bahwa pelayanan kepada sesama
manusia adalah juga pelayanan kepada Tuhan. Karena itulah manusia menggunakan
uangnya untuk memberi makan kepada yang miskin dan yang membutuhkan.
Agama-agama tertentu seperti Hindu, Islam dan Kristen, dan lain-lainnya, memberi
tekanan kepada tujuan memberi kepada yang miskin dan peminta-minta. Agama
mengembangkan sikap filantropis manusia dan dengan demikian mendorong ide
saling menolong dan bekerjasama. Karena dipengaruhi oleh kepercayaan agamawi,
berbagai organisasi agamawi melibatkan diri dalam berbagai aktivitas
menyejahterakan orang lain. Mungkin saja tidak semua orang beragama sependapat
dengan hal ini, tetapi hampir pasti bahwa ada ajaran seperti ini ada dalam berbagai
agama.

Pemberian Kartu Keluarga Sejahtera dan Kartu Indonesia Sehat merupakan salah satu
sarana untuk meningkatkan kesejahteraan bersama yang dananya berasal dari pembayaran
Pajak. Membayar pajak merupakan salah satu perwujudan pelayanan kepada sesama
manusia untuk menyejahterakan manusia lain yang kurang mampu
Sumber: jateng.tribunnews.com

11
Manfaat pembayaran pajak yang dirasakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari
Sumber: Kementerian Keuangan RI

6. Agama memberikan rekreasi kepada manusia.


Apa maksud dari fungsi ini? Agama memainkan peranan yang mempesona
atau mengagumkan dalam memberikan rekreasi kepada umat. Misalnya,
dalam ritus agamawi maupun festival-festival/perayaan agamawi yang
diselenggarakan oleh berbagai agama memberikan kelegaan atau kebebasan
kepada umatnya dari berbagai tekanan mental. Hal ini juga terjadi bilamana
ada kuliah atau khotbah-khotbah agamawi atau konser musik agamawi yang
diiringi oleh lagu-lagu pujian, memberikan lebih banyak kesenangan kepada
umat dan menyediakan rekreasi abadi kepada umat.

7. Agama berfungsi memperkuat rasa percaya diri.


Agama dianggap sebagai cara efektif untuk mengukuhkan atau memperkuat
rasa percaya diri. Ada kepercayaan-kepercayaan tertentu seperti “kerja
sebagai ibadah”, “tanggungjawab atau tugas adalah bersifat ilahi,” dan lain-lain
ajaran yang ada dalam berbagai agama memberi penguatan kepada individu-
individu dan sekaligus memperkuat rasa percaya diri.

8. Agama juga mempunyai pengaruh kepada ekonomi serta sistem


politik.
Max Weber misalnya mempunyai tesis yang membuktikan hubungan antara
etika Protestan dan perkembangan kapitalisme. Begitu pula ada yang kita
kenal dengan ekonomi syariah. Contoh bahwa agama memengaruhi sistem
politik misalnya sangat banyak, baik pada zaman dulu maupun pada zaman
modern ini. Ada negara yang didasarkan pada agama (negara agama), bahkan

12
dalam negara-negara modern dan demokratis, pengaruh agama tak
terhindarkan dalam dunia politik.
Demikianlah penggalian beberapa sumber tentang fungsi agama yang sangat
kompleks. Rasanya tak cukup menggali dari berbagai sumber, perlu juga
membuat refleksi kritis terhadap fungsi agama yang cenderung negatif atau
destruktif dari contoh pengalaman konkret. Misalnya mengapa kadang agama
mempunyai fungsi negatif dan destruktif? Mengapa misalnya timbul konflik-
konflik sosial yang bernuansa agama? Mengapa dengan dalih agama atau
kemurnian ajaran, orang beragama cenderung menggunakan kekerasan
dalam menghadapi orang-orang lain yang dianggap mengajarkan ajaran
agama yang menyimpang dari apa yang selama ini dianut? Mengapa pula,
kadang, demi ajaran tertentu yang diyakini benar, orang bisa mengabaikan
hidup konkret di dunia ini, dan rela mati demi menantikan apa yang diharapkan
dalam keyakinan agamawinya? Apakah fungsi-fungsi tersebut karena
kesalahan ajaran agama ataukah manusia yang memberi penafsiran yang
salah terhadap ajaran tertentu? Silakan Anda mengumpulkan informasi
sebanyak mungkin yang berkenaan dengan penyebab agama berfungsi
negatif.

Walaupun penelusuran dan pertanyaan-pertanyaan di atas membantu kita


untuk lebih memahami apa itu agama dan fungsinya, kita perlu juga
membangun argumen sendiri tentangnya. Silakan Anda mengasosiasi dan
membangun argumen sendiri tentang pengertian dan fungsi agama.
Berikut ini penulis memberi contoh bagaimana membangun argumen sendiri
tentang fungsi agama yang berfungsi positif tetapi kadang berfungsi
destruktif.
Untuk itu kita secara khusus akan memberi perhatian pada dua hal saja, yakni(i)
fungsi agama sebagai pemberi identitas, dan (ii) sebagai penuntun moral, etika
dan karakter. Silakan Anda mengemukakan argumen sendiri yang
membuktikan agama sebagai pemberi identitas dan penuntun moral!
Agama sebagai pemberi identitas sangat penting, karenanya agama menjadi
sumber acuan untuk memahami dan menemukan apa makna hidup manusia.
Dari perspektif Kristen, makna hidup manusia adalah bertumpu pada
menjalankan kehendak- Nya. Apakah kehendak-Nya? Yang paling mendasar

13
ada di dalam perintah utama dan pertama: yakni hukum kasih baik kasih
kepada Allah maupun kasih terhadap sesama (Matius 22: 37-40). Dalam
hukum utama itulah segala kehendak Tuhan tersirat. Sesama manusia tidak
ditentukan oleh kesamaan suku, ras atau agama, walaupun ketiga tersebut
adalah pemberi identitas sosial bagi manusia (ingat akan Perumpamaan Orang
Samaria yang baik hati). Jadi identitas yang menyamakan kita dengan orang
lain tak peduli agama, ras dan sukunya adalah identitas kemanusiaan. Yang
menyamakan semua orang adalah kemanusiaannya, itulah sebabnya perintah
itu berbunyi kasihilah sesamamu manusia.
Namun terkadang, identitas suku, ras dan agama menjadi lebih diprioritaskan
dari identitas kemanusiaan, dan akhirnya identitas-identitas itu cenderung
menjadi tembok- tembok yang memisahkan dan menjauhkan manusia dari
sesamanya. Teori identitas memang mengatakan bahwa identitas: suku, ras
dan agama kadang berfungsi menjadi tembok pemisah antara kita yang sama
suku, ras dan agama dengan mereka yang berbeda ras, suku dan agama.
Apabila dipicu oleh masalah ketidakadilan ekonomi atau politik maka identitas-
identitas tersebut menjadi alasan untuk melakukan konflik yang bernuansa
kekerasan. Sangat disayangkan bukan?
Fungsi kedua adalah fungsi penuntun moral dan karakter yang
dibentuk/dibangun berdasarkan kebajikan-kebajikan moral yang bersumber
dari agama. Semua agama mengakui fungsi ini, dan seharusnya fungsi ini tak
boleh dipisahkan dari fungsi agama sebagai pemberi identitas. Misalnya, dari
perspektif Kristen, fungsi agama sebagai pemberi identitas adalah pemberi
makna hidup yang diwujudkan dalam kasih kepada Tuhan dan sesama. Dalam
pengertian seperti itu, fungsi agama sebagai pemberi identitas menjadi sama
dengan fungsi agama sebagai penuntun moral dan pembangunan karakter
yakni berdasarkan prinsip utama tadi yakni kasih.

Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan suatu prinsip dalam pembangunan


karakter moral/etis: seperti engkau suka orang lain perbuat padamu,
perbuatlah itu terhadap orang lain (Lukas 6:31).
Nah sekarang giliran Anda membuat argumen sendiri mengapa agama
kadang bersifat ambigu dalam fungsinya: memberi hal-hal positif tetapi
kadang juga memberi alasan untuk melakukan hal negatif. Silakan Anda
berargumentasi!

14
Sumber: http://www.foodforthepoor.org/prayer/

Adalah tugas Anda sekarang untuk membuat suatu deskripsi dengan kata-kata
sendiri tentang apa yang Anda ketahui mengenai apa itu agama dan apa saja
fungsinya dalam kehidupan manusia setelah mendiskusikan hal-hal yang
sudah ditelusuri, ditanya, dan digali dari berbagai sumber. Dalam deskripsi itu,
apa saja yang mengalami perkembangan dari apa yang sebelumnya Anda
pahami? Apakah ada pemahaman Anda sebelumnya yang Anda koreksi?
Ataukah ada hal baru dari arti dan fungsi agama yang belum disinggung dan
mungkin mau Anda tambahkan? Apa saja itu? Buatlah deskripsi Anda sendiri,
bukan karena orang lain mengatakan. Hal ini penting karena yang beragama
atau beriman itu Anda sendiri dan bukan orang lain.

Hakikat agama sangatlah kompleks dan pemahaman seseorang tentang


agama sangat bergantung pada pengalaman pribadinya. Ada yang
sangat sederhana, ada juga yang sangat kompleks. Demikian pula fungsi
agama tidaklah sederhana, karena hakikat agama itu sendiri dipahami secara
berbeda-beda dan fungsinya juga dimengerti secara berbeda-beda. Walaupun
begitu, setidaknya ada sesuatu yang sama, yaitu agama selalu berurusan
dengan Tuhan atau yang dianggap Tuhan dan berfungsi sekurang-kurangnya
sebagai pemberi identitas dan tuntunan moral dan karakter.

15
Dalam konteks masyarakat Indonesia, agama sangat penting dalam
kehidupan manusia dan masyarakatnya, karena agama meresapi setiap aspek
kehidupan manusia: ekonomi, politik, budaya, pendidikan dll. Jadi, masyarakat
Indonesia tidak bisa dipahami lepas dari fenomena agamanya. Mengapa? Salah
satunya karena sila pertama dari Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara
dipahami sebagai kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, artinya semua
orang diharapkan beragama. Namun, sesungguhnya nilai yang ada dalam sila
itu adalah kebebasan beragama yang menjamin hak setiap orang untuk
beragama sesuai dengan pilihannya sendiri dan juga untuk tidak beragama
bilamana ia memilih demikian. Untuk yang terakhir ini, orang-orangnya tidak
melakukan aktivitas antiagama.

Buatlah deskripsi Anda sendiri setelah belajar bab ini: apa itu agama dan
fungsinya, serta jelaskan pula mengapa agama kadang berfungsi destruktif?
Apa yang berkembang dan dikoreksi dari pemahaman Anda dan apa yang
masih kurang dan perlu ditambahkan? Presentasikan kepada dosen dan
rekan-rekan yang lain!

16
BAB II
ALLAH DALAM KEPERCAYAAN KRISTEN

Dari manakah kita mulai percakapan kita tentang mata kuliah agama Kristen?
Pada umumnya bilamana seseorang berbicara tentang agama, mau tak mau
orang berbicara tentang Allah. Semua agama mempercayai adanya Allah atau
sejenisnya, dan kepercayaan tentang Allah inilah yang membedakan agama
dengan fenomena lainnya. Demikianpun dengan agama Kristen (kekristenan).
Karena itu, adalah penting untuk mempelajari dan memikirkan kembali
kepercayaan yang mendasar tentang siapakah Allah yang kita percayai sebagai
orang Kristen. Pemahaman dan penghayatan kita akan substansi kajian ini akan
memengaruhi bagaimana orang Kristen hidup ditengah- tengah dunia ini.
Misalnya, kalau kita percaya kepada Allah yang sewenang- wenang, hidup
kristiani kita adalah usaha untuk “taat secara terpaksa” kepada kehendak-Nya,
mungkin dengan cara menyogok-Nya dengan berbagai sesajen.

Walaupun setiap agama


mempunyai kepercayaan
tentang Allah atau yang
dianggap Allah, tiap-tiap
agama mempunyai
konsepnya sendiri-sendiri
tentang siapakah Allah yang
dipercayainya. Demikian
pula agama Kristen, sudah
tentu mempunyai konsep
tersendiri tentang Allah
yang dipercayainya. Konsep tersebut didasarkan pada kesaksian Alkitab yang
dipercayai sebagai dasar untuk kepercayaan dan perilaku kristiani. Harus diakui
bahwa Alkitab tentu mempunyai ungkapan-ungkapan yang sangat kaya
tentang siapakah Allah. Meskipun kekristenan percaya akan “Satu Allah”

17
akan tetapi Allah yang dipercayai itu menyatakan diri dengan berbagai cara
yakni sebagai Bapa, Pencipta segala sesuatu, sebagai penyelamat dalam Yesus
Kristus, dan sebagai pembaharu dalam Roh Kudus. Kekayaan penyataan diri
Allah seperti inilah yang biasanya oleh Gereja pada zaman dahulu dikenal
dengan ungkapan Trinitas (Tritunggal). Ungkapan itu bukanlah istilah Alkitab,
tetapi mengandung kebenaran alkitabiah.
Pokok-pokok (substansi kajian) ini akan dibahas secara lebih rinci dalam sub-
subpokok bahasan berikut ini dengan memberi tekanan khusus kepada
implikasi atau konsekuensinya terhadap kehidupan Kristiani di dunia ini
terutama pengembangan karakter Kristiani.
Melalui bab tentang siapakah Allah, Anda diharapkan dapat mencapai beberapa
tujuan pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah
bersyukur kepada Tuhan yang telah mencipta, menyelamatkan,
memelihara dan membarui ciptaan-Nya; bersikap rendah hati dan bergantung
kepada Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang teratur;
mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai Pencipta, Penyelamat,
Pemelihara dan Pembaru ciptaan-Nya; berpengharapan akan masa depan
yang lebih baik; peduli dan bertanggung jawab memelihara ciptaan Tuhan;
menganalis karya Tuhan sebagai Pencipta dunia dan isinya berdasarkan
kesaksian Alkitab; menjelaskan karya Tuhan sebagai Penyelamat manusia
berdasarkan kesaksian Alkitab; menganalisis ajaran tentang karya Tuhan
sebagai Pemelihara dan Pembaharu ciptaan-Nya berdasarkan kesaksian
Alkitab; merumuskan hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab yang menunjukkan
Tuhan sebagai Pencipta; merumuskan dengan kata-kata sendiri hasil
penelaahan dasar-dasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai
Penyelamat manusia; dan menyajikan hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab
yang memperlihatkan Tuhan sebagai Pemelihara dan Pembaharu ciptaan-Nya.

Silakan Anda membuka Alkitab, khususnya Kitab Kejadian pasal 1-2 dan
Keluaran pasal 1-15. Siapakah Allah yang dipercayai oleh umat Kristen
menurut Kitab Kejadian pasal 1-2 dan Keluaran pasal 1-15? Anda juga perlu
membaca buku Ikhtisar Dogmatika karangan R. Soedarmo, khususnya topik
yang membahas tentang Allah. Siapakah Allah yang dipercayai oleh umat
Kristen menurut R. Soedarmo? Pembahasan tentang agama bagaimanapun
selalu berkaitan dengan pokok tentang Allah atau yang dianggap Allah. Itulah

18
kesimpulan dari penelusuran kita terhadap definisi agama pada bab
sebelumnya. Setiap manusia pada dasarnya mempunyai kesadaran religius,
yakni kesadaran bahwa ada suatu kodrat Ilahi di atas realitas dunia ini dan
dalam berbagai agama diberi nama yang bermacam-macam.
Dalam kekristenan, kita percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia
sedemikian rupa sehingga ada kesadaran religius dalam dirinya yakni suatu
kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas manusia, dengan nama
yang bermacam-macam sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Kesadaran itulah yang kemudian mendorong manusia untuk mewujudkan
relasinya dengan kodrat Ilahi itu yang pada gilirannya memunculkan fenomena
agama. Itulah sebabnya fenomena agama tak mungkin bisa dihapus sama
sekali walaupun bisa ditekan ke tingkat yang serendah-rendahnya oleh
berbagai faktor dalam kehidupan manusia dan masyarakat.
Dalam upaya penelusuran kesaksian Alkitab tentang Allah, perlu kita
menyinggung juga topik Allah dan penyataan-Nya. Pertanyaan yang cukup
penting bagi kita adalah: “Dapatkah manusia mengenal Allah dan hakikat-
Nya?” Terhadap pertanyaan itu, ada dua kemungkinan jawaban. Yang pertama,
manusia tak mungkin dapat mengenal Allah dan hakikat-Nya, karena manusia
adalah terbatas dan karenanya tidak mungkin mengenal Allah yang tak
terbatas. Kemungkinan kedua, mengatakan bahwa manusia mungkin
mengenal Allah dan hakikat-Nya hanya apabila Ia menyatakan diri-Nya. Di atas
telah dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia sedemikian rupa, sehingga
ada kesadaran religius dalam dirinya. Kesadaran religius (kesadaran akan
adanya kodrat Ilahi) itu tak sama dengan pengenalan akan Tuhan. Kesadaran
akan adanya kodrat Ilahi melalui Penciptaan itulah, yang biasanya disebut
penyataan Allah yang umum. Penyataan umum adalah cara Allah menyatakan
diri-Nya melalui penciptaan, sejarah dunia, dan suara hati. Artinya, melalui
pengamatan manusia akan alam ciptaan yang begitu luar biasa dan teratur itu,
manusia dapat tiba pada kesadaran akan adanya Pencipta atau arsitek di balik
ciptaan ini. Pandangan ini terutama didasarkan pada kata-kata Rasul Paulus
antara lain yang mengatakan bahwa: “…apa yang dapat mereka ketahui
tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada
mereka. Sebab apa yang tidak nampak daripada- Nya, yaitu kekuatan-Nya yang
kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak
dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” (lih. Rm. 1:19-20).
Pemazmur juga berulang kali menyaksikan bahwa “segala langit menceritakan
kemuliaan Allah” (lih. Mzm. 19). Pertanyaannya, apakah mungkin manusia

19
mencapai pengenalan yang benar akan Allah hanya melalui penyataan umum?
Tidak selalu! Artinya kesadaran religius saja tak cukup. Itulah sebabnya
menurut kepercayaan Kristen, manusia membutuhkan penyataan yang
khusus.

Sumber: http://chrispypaul.blogspot.com/2013/09/religion-and-me-photo- essay.html

Penyataan khusus adalah cara Allah menyatakan diri dan kehendak-Nya


melalui firman-Nya dan mencapai puncaknya dalam diri Tuhan Yesus Kristus.
Walaupun demikian, melalui penyataan Allah yang khusus pun belum dapat
membuat manusia mengenal Allah secara tuntas, oleh karena Allah lebih dari
apa yang Allah nyatakan, apakah melalui firman-Nya maupun Yesus Kristus.
Karenanya, Allah masih tetap merupakan misteri yang tidak pernah
habis diselidiki dan dipahami. Hal itu membuat kita mempunyai sikap kagum
dan heran akan kebesaran-Nya. Silakan Anda mengamati perbedaan antara
penyataan umum dan khusus!
Marilah sekarang kita menelusuri tentang Allah dalam kepercayaan Kristen
sebagaimana disaksikan oleh Kitab Suci Alkitab. Dalam kepercayaan Kristen
Allah dikenal dari tindakannya: Allah sebagai Pencipta, Penyelamat dalam
Yesus Kristus, dan pembaharu dalam Roh Kudus.

1. Allah Sang Pencipta

Dari manakah pembicaraan tentang Allah dimulai? Ada berbagai pendekatan


dalam pembicaraan tentang Allah. Pertama, ada yang memulai dengan

20
membicarakan kodrat dan sifat-sifat-Nya, lalu dilanjutkan dengan karya-
karya-Nya. Kedua, ada yang mulai dengan membicarakan karya-karya-Nya lalu
dilanjutkan dengan kodrat dan sifat-sifat-Nya. Pendekatan kedua mungkin
lebih berguna. Artinya melalui pembahasan tentang karya-karya (apa yang
dilakukan Allah), kita akan sampai kepada kodrat dan sifat-sifat-Nya. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa “Allah adalah apa yang Allah lakukan,
tetapi apa yang Allah lakukan belum seluruhnya menjelaskan tentang siapa
Allah sesungguhnya.”Apakah yang dilakukan Allah yang menunjuk kepada
hakikat dan sifat-Nya? Alkitab memulai kesaksiannya tentang Allah sebagai
Pencipta langit dan bumi dan seluruh isinya termasuk manusia (lih. Kej. 1 dan
2). Demikianpun Pengakuan Iman Rasuli dimulai dengan pengakuan bahwa
Allah, Bapa adalah Khalik/Pencipta langit dan bumi. Karena itu, bagi orang
Kristen Allah pertama- tama dikenal sebagai Pencipta alam semesta beserta
isinya termasuk manusia. Silakan Anda mengamati Pengakuan Iman Rasuli
secara saksama.
Hal ini perlu mendapat tekanan oleh karena kita berhadapan dengan
bermacam-macam pandangan tentang asal usul dunia ini, termasuk teori
evolusi Darwin. Kita tahu sekurang-kurangnya ada dua teori besar mengenai
asal usul segala sesuatu yang ada. Teori pertama, adalah yang dikenal dengan
teori evolusi sebagaimana diperkenalkan oleh Darwin dan pengikut-
pengikutnya. Teori ini pada dasarnya menolak adanya “Pencipta atau arsitek”
di balik keajaiban dunia ini, dan menyatakan bahwa segala sesuatu
berkembang secara evolusi dalam kurun waktu jutaan tahun. Sedangkan
teori asal usul kedua adalah yang biasanya dikenal dengan “teori Penciptaan”
(Creation theory), yang menerima adanya pencipta di balik semua ciptaan yang
menakjubkan ini. Agama-agama menerima teori asal usul penciptaan ini
termasuk agama Kristen.
Kekristenan percaya akan adanya pencipta di balik keberadaan dunia yang
begitu menakjubkan ini (lih. Kej. 1 dan 2; Mzm. 33:6). Penciptaan yang
dilakukan oleh Allah jelas berbeda dengan ciptaan atau karya manusia,
karena Allah mencipta dari yang tidak ada menjadi ada dengan firman-Nya (lih.
Rm. 4:17 dan Ibr. 11:13). Menerima bahwa ada pencipta di balik keberadaan
langit dan bumi serta isinya, tak berarti menolak sama sekali bahwa ada
evolusi dari ciptaan- ciptaan itu.
Allah Pencipta, adalah Sang Pribadi yang Mahakuasa. Dengan membahas
karya Allah sebagai Pencipta maka kita juga dapat tiba pada hakikat dan sifat
Allah. Salah satu simpulan yang dapat dibuat adalah bahwa Allah adalah Sang

21
Pribadi yang Mahakuasa. Allah dalam kebijaksanaan-Nya membuat keputusan
untuk menciptakan alam semesta dan isinya termasuk manusia menunjukkan
bahwa Ia adalah pribadi yang berpikir dan membuat keputusan. Ia juga
membangun relasi/hubungan dengan ciptaan-Nya, khususnya dengan
manusia. Kapasitas seperti yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa
Allah adalah suatu pribadi dalam arti berpikir, membuat keputusan dan
membangun relasi dengan pihak lain. Silakan Anda mengamati keputusan
yang diambil Allah dalam Kitab Kejadian pasal 1-2 dan Kitab Keluaran pasal 1-
15.
Memang sangat sulit membayangkan kepribadian Allah, namun kita akan
sedikit tertolong bilamana kita membayangkan kepribadian manusia, karena
manusia diciptakan menurut gambar Allah. Ini tidak berarti bahwa kepribadian
manusia menjadi patokan untuk mengukur kepribadian Allah, karena
kepribadian manusia hanyalah refleksi dari kepribadian Allah. Namun
demikian, kepribadian manusia mengandung tanda-tanda yang sama dengan
kepribadian Allah.

Sumber: https://www.behance.net/Gallery/Christian-Artwork-Part-1/111811

Lebih jauh, Allah bukan sekadar pribadi, tetapi pribadi yang Mahakuasa.
Kemahakuasaan Allah jelas dari karya ciptaan-Nya bukan saja dari yang tiada
menjadi ada melainkan juga dalam keteraturan dan kebesaran ciptaan.
Kemahakuasaan-Nya menunjukkan bahwa Allah tak terbatas oleh ruang dan
waktu, dan karenanya Ia kekal adanya. Dari sini dapatlah ditambahkan

22
sejumlah atribut/sifat Allah yang sempurna dan tak terbatas misalnya:
Kemahahadiran Allah, Mahatahu, Mahaadil, Mahabesar, dan lain-lain. Semua
atribut ini hanya ingin menekankan perbedaan yang hakiki antara Pencipta
(Allah) dan ciptaan (manusia dan ciptaan lain). Silakan Anda amati perbedaan
yang lain antara Pencipta (Allah) dan ciptaan (manusia dan ciptaan lain).

2. Allah Penyelamat

Silakan Anda membaca Injil Yohanes 3:16. Siapakah Allah yang


dipercayai umat Kristen menurut Injil Yohanes 3:16? Ide tentang keselamatan
mempunyai tempat dalam setiap agama. Mulai dari agama primitif yang
percaya roh-roh, maupun agama politeisme yang percaya banyak ilah/dewa/i,
sampai ke agama monoteisme, ajaran mengenai keselamatan dan Allah
sebagai penyelamat selalu hadir. Memang maknanya berbeda dari satu agama
ke agama lain. Bahkan maknanya dalam satu agama pun cukup bervariasi dan
luas. Keselamatan dalam agama tertentu bisa melulu, merupakan
pengalaman masa kini dan di sini, bisa juga melulu pengalaman nanti, di
masa yang akan datang sesudah kehidupan ini, tetapi bisa juga kedua-duanya.
Ajaran atau ide tentang keselamatan mungkin merupakan salah satu faktor
yang mendorong orang untuk beragama. Sebagai contoh, kita dapat menunjuk
kepada berbagai upacara keagamaan dalam berbagai agama. Banyak upacara
dalam agama-agama suku misalnya, dilakukan dalam rangka atau sebagai
upaya untuk memeroleh keselamatan, apa pun maknanya. Misalnya sebelum
seseorang bepergian jauh, maka upacara selamatan dilakukan agar
memeroleh keselamatan di jalan atau di tempat pekerjaan. Orang-orang
mengadakan serangkaian upacara menjelang musim menanam agar selamat,
dalam arti terhindar dari kegagalan apakah karena iklim atau wabah hama.
Dalam kasus-kasus di atas, keselamatan semata-mata mempunyai dimensi
masa kini dan di sini.
Sebaliknya, banyak juga upacara keagamaan yang dilakukan dalam rangka
memeroleh keselamatan di akhirat yakni sesudah kematian, misalnya untuk
masuk surga atau hidup yang kekal, apa pun arti yang diberikan kepada surga
dan kehidupan kekal tersebut. Dengan demikian, ada hubungan erat antara
keselamatan, agama, dan Allah. Hal ini tak berarti bahwa mereka yang tidak
beragama atau tidak percaya kepada Tuhan tak mempunyai konsep
keselamatan. Setidak-tidaknya bagi mereka, keselamatan merupakan situasi
terlepas atau terhindar dari bermacam-macam bahaya, ancaman, penyakit,
dan lain-lain. Memang patut diakui bahwa semakin maju dan berkembangnya

23
ilmu dan teknologi, banyak persoalan manusia dapat diatasi. Namun, ketika
manusia menyadari baik keterbatasan manusia maupun ilmu dan teknologi,
manusia cenderung kembali kepada kepercayaan akan Tuhan atau yang
dianggap Tuhan.
Dalam ajaran Kristen, ajaran tentang keselamatan dan Allah sebagai
penyelamat khususnya dalam Yesus Kristus mempunyai tempat yang sangat
penting bahkan sentral. Sedemikian sentralnya sehingga dalam Pengakuan
Iman Rasuli, fakta Kristus, mulai dari praeksistensi-Nya, kelahiran, pekerjaan,
penderitaan, kematian, kenaikan ke surga, dan kedatangan-Nya kembali,
mengambil tempat yang sangat banyak. Silakan Anda mengamati Pengakuan
Iman Rasuli secara saksama. Sesungguhnya agama Kristen lahir karena
kepercayaan akan Allah sebagai Penyelamat di dalam Yesus Kristus. Sebutan
Kristen justru dikenakan kepada orang-orang yang menjadi pengikut Kristus.
Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bukan berarti bahwa orang
Kristen menyembah lebih dari satu Allah, karena Allah Pencipta adalah juga
Allah yang menyelamatkan. Silakan Anda mengamati Alkitab yang
memperlihatkan bahwa Allah yang menyelamatkan umat manusia.
Daftarkanlah nama kitab yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Allah yang
menyelamatkan umat manusia.
Perlu dicatat bahwa konsep tentang Allah sebagai Penyelamat bukan
monopoli Perjanjian Baru, tetapi sudah ada dalam Perjanjian Lama. Umat
Perjanjian Lama mempunyai syahadat (pengakuan percaya) bahwa Allah itu
menyelamatkan. Silakan Anda membaca dan mengamati Kel. 14:13 dan Mzm.
3:8; 62:2-3.
Ada berbagai istilah yang dipakai oleh PL yang menunjuk kepada konsep
keselamatan. Konsep ini dihubungkan dengan Tuhan sebagai yang melakukan
tindakan penyelamatan terhadap umat-Nya. Ada berbagai tindakan
penyelamatan Allah terhadap umat-Nya. Kitab Keluaran 15 merupakan pasal
pertama yang mengungkapkan tindakan penyelamatan Allah dalam sejarah
umat Israel. Musa dalam lagunya untuk merayakan peristiwa pembebasan
umat Allah dari perbudakan di Mesir, antara lain berkata: “Tuhan telah
menjadi keselamatannya” (Kel. 15:2). Tindakan penyelamatan Allah dalam
peristiwa keluar dari Mesir melalui Laut Teberau ini, telah memberi kesan yang
sangat mendalam dalam sanubari dan ingatan bangsa Israel. Oleh karena itu,
peringatan akan peristiwa tersebut dirayakan setiap tahun dalam perayaan
Paskah (lih. Ul. 16:1). Pembebasan dari Mesir justru merupakan bukti paling

24
utama dan kuat tentang kasih setia Tuhan, karena hal itu merupakan tanda
yang sentral dari PL tentang anugerah penyelamatan bagi umat yang baru
kelak. Silakan Anda mengamati proses keluarnya umat Israel dari Mesir dalam
Kitab Keluaran 1-15.
Itu pula sebabnya dalam pembukaan Dekalog (Sepuluh Perintah),
peristiwa pembebasan dari Mesir juga disebutkan kembali dan menjadi dasar
dari respons moral kepada Tuhan. Dengan kata lain, hukum-hukum Tuhan
yang merupakan refleksi kehendak Tuhan tentang bagaimana umat Allah
seharusnya menjalani hidupnya, didasarkan pada peristiwa penyelamatan
Allah melalui pembebasan dari Mesir.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah makna dari konsep keselamatan dalam
PL tatkala Allah sebagai Penyelamat? Harus diakui bahwa dalam PL, makna
atau arti konsep keselamatan itu mengalami perkembangan. Kalau kita
bertanya “dari apakah Allah menyelamatkan umat-Nya?” Maka jawaban yang
umum, khususnya pada sejarah awal dari umat Allah dalam PL, adalah
“keselamatan dari segala bentuk ketidakberuntungan, perbudakan, sakit
penyakit, kekeringan dan kelaparan, musuh-musuh, dan seterusnya.” Secara
umum dalam PL, tekanannya jatuh kepada apa yang bisa kita sebut sebagai
aspek negatif dari keselamatan, daripada aspek positifnya. Keselamatan
dianggap sebagai kelepasan dari kuasa jahat dan bahaya dari pemilikan atas
berkat-berkat khusus. Walaupun begitu, adalah salah juga kalau yang terakhir
itu dianggap tak ada sama sekali khususnya dalam kitab-kitab Mazmur. Silakan
Anda membaca dan mengamati Mzm. 28:9, 31:16, 5l:2!
Pada bagian-bagian kemudian dari PL, jelas ada pergeseran dari ide
keselamatan sebagai tindakan-tindakan kelepasan dalam wilayah atau bidang
materiil, fisik semata-mata, menuju kepada aspek moral dan spiritual (lih.
Yes.59:7, 62:10). Yang paling menonjol dari antara aspek spiritual dan moral
ini adalah ketaatan kepada kehendak Allah. Mereka yang benar dan adil yang
mempunyai pengharapan akan pertolongan keselamatan dari Allah.
Sebaliknya, bilamana umat menyimpang dari jalan Tuhan dan menyerahkan
diri kepada kuasa jahat, keselamatan hanya dimungkinkan dengan jalan
perubahan hati, melalui pertobatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa tekanan
utama adalah kebebasan dari tirani (kuasa) dosa.
Nabi-nabi besar memberitakan kesiapan Allah untuk menyelamatkan dari
perspektif baru. Berkat-berkat eksternal masih juga diharapkan, namun
tekanannya kini lebih kepada kebutuhan akan suatu perubahan hati,

25
pengampunan, kebenaran, dan pembaharuan hubungan dengan Allah.
Keselamatan masih mempunyai implikasi sosial, namun tekanannya lebih
kepada perjanjian dengan individu daripada dengan bangsa. Itu berarti bahwa
keselamatan terutama menjadi pengalaman dari setiap individu. Dengan
demikian, kita dapat membaca pengakuan Yesaya, misalnya bahwa: “Allah
adalah keselamatanku” (Yes. 12:2), sebab Allah menyatakan diri-Nya sebagai
Allah yang benar dan Juruselamat; tidak ada Allah lain selain Dia (Yes. 45:21,
43:11). Karena itu, dalam Kitab Yesaya, istilah Allah sama dengan Juruselamat.
Dengan menggunakan kata pengharapan, keselamatan dari Allah
dipikirkan sebagai sesuatu yang akan terjadi kelak. Bahwa “Allah akan
mendatangkan keselamatan di Sion” (Yes. 46:13) menunjuk ke masa yang
akan datang. Keselamatan yang demikian bukan lagi hanya untuk Israel
sendiri, melainkan dengan datangnya “Hamba Allah,” maka keselamatan
akan menjangkau sampai ujung bumi. Artinya, untuk semua bangsa (Yes.
49:6). Dengan demikian, maka seluruh bumi akan melihat keselamatan dari
Allah kita (Yes. 52:10). Dengan demikian, janji Allah tentang keselamatan
menjadi semakin besar dan mendalam.
Sebagai simpulan, ketika kita memerhatikan PL, ide tentang keselamatan
dalam sejarah awal umat Allah (lsrael) adalah bahwa Allah menyelamatkan
orang yang baik dari berbagai kesukaran. Akan tetapi, dengan pemahaman
yang berkembang tentang hubungan antara keselamatan dan dosa, dalam
konteks kebutuhan akan pertobatan, topik ini memeroleh pengertian yang
lebih rohani dan moral. Hal ini menuntun kita kepada doktrin tentang
keselamatan yang khas dalam Perjanjian Baru, yakni bahwa Allah
menyelamatkan orang jahat dari dosa- dosanya dan membenarkan mereka.
Pembicaraan mengenai Allah sebagai penyelamat dalam agama Kristen tak
dapat dilepaskan dari pribadi Yesus Kristus. Yesus bahkan di dalam Perjanjian
Baru dikenal dengan sebutan Juruselamat. Karena itu, kita dapat mengatakan
bahwa Allah di dalam Yesus Kristus adalah Allah Penyelamat. Keselamatan
menjadi tujuan utama dari kedatangan dan pelayanan Yesus Kristus. Yesus
maupun para penulis PB menggunakan istilah “menyelamatkan” sebagai suatu
yang menyeluruh untuk menggambarkan misi-Nya. Ia disambut dalam arena
sejarah dunia dengan pernyataan para malaikat bahwa “Ia akan dinamai Yesus,
yang berarti yang menyelamatkan umat-Nya dari dosa-dosa mereka” (Mat.
1:21).

26
Apabila dalam Perjanjian Lama Allah juga menyatakan diri sebagai
Penyelamat, dalam Perjanjian Baru secara jelas Allah menyatakan diri sebagai
Penyelamat di dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Karena itulah, Gereja mula-mula
ketika merumuskan pengakuan imannya memberi tempat yang sangat sentral
kepada fakta Yesus Kristus mulai dengan pengakuan bahwa Ia Anak Tunggal
Allah dan Tuhan (prainkarnasi), kelahiran-Nya (inkarnasi), pekerjaan-Nya
khususnya penderitaan, penyaliban, dan kematian-Nya, kebangkitan-Nya,
kenaikan-Nya ke surga dan kedatangan-Nya kembali untuk menjadi Hakim.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa seluruh fakta Kristus merupakan
perwujudan dari karya penyelamatan Allah bagi manusia yang telah jatuh ke
dalam dosa dan karena itu terputus atau rusak hubungannya dengan Allah.
Memang mustahil bagi kita untuk membahas seluruh aspek dari pribadi Yesus
Kristus. Namun, dari fakta Kristus yang kita sebutkan di atas, jelas bahwa di
dalam diri Yesus tergabung sifat keilahian dan kemanusiaan sekaligus. Hal ini
jelas sangat unik dan sulit dipahami. Apabila pengakuan Iman Rasuli mulai
dengan pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Anak Tunggal Allah dan Tuhan,
ini menunjuk kepada keilahian-Nya yakni sebagai Allah dan sehakikat dengan
Allah. Kemudian dilanjutkan dengan pengakuan bahwa Ia telah dikandung oleh
Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, menunjukkan penjelmaan-Nya menjadi
manusia. Memang ajaran tentang penjelmaan sudah merupakan persoalan
sejak Gereja mula-mula. Dalam suatu pertemuan Gerejawi di Khalcedon pada
tahun 451, para pemimpin gereja merumuskan masalah yang sulit ini sebagai
berikut: “Tuhan kita Yesus Kristus adalah Allah sejati dan manusia sejati,
sehakikat dengan Bapa dalam segala sesuatu yang menyangkut keilahian-
Nya, namun dalam kemanusiaan-Nya sama seperti kita, kecuali tanpa dosa.
Jadi, Yesus dikenal dalam dua tabiat: ilahi dan manusiawi. Kedua tabiat itu
berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini tidak dilenyapkan oleh
penyatuan keduanya, tetapi ciri-ciri khusus masing-masing tabiat tetap
dipelihara.”
Rumusan di atas adalah suatu contoh dari usaha para pemimpin Gereja untuk
memahami pribadi Yesus yang unik itu sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab
Perjanjian Baru. Akan tetapi, rumusan itu tidak dengan sendirinya
menghilangkan rahasia penjelmaan ini. Karena itu, kita dapat mengamini
kekaguman Paulus, misalnya, dalam kata-kata berikut ini:“Dan sesungguhnya
agunglah rahasia ibadah kita: “Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa
manusia .…” (1 Tim.3:16).

27
Jadi, apabila kita berbicara tentang kodrat ilahi dan manusiawi Kristus, hal ini
menunjuk kepada keadaan atau kenyataan-Nya. Kalau kita berkata bahwa
Yesus memiliki kodrat ilahi, yang kita maksudkan ialah bahwa semua sifat atau
ciri khas yang dapat digunakan untuk menggambarkan Allah juga berlaku bagi
Dia. Dengan demikian, Ia adalah Allah dan bukan sekadar menyerupai Allah,
melainkan Allah sejati.
Apabila kita, mengatakan bahwa Yesus mempunyai kodrat manusiawi, yang
kita maksudkan adalah bahwa Ia bukanlah Allah yang berpura-pura menjadi
manusia, melainkan Ia adalah Allah yang sejati. Ia bukan hanya Allah atau
hanya manusia, melainkan Ia adalah Allah “yang menjadi manusia dan diam
diantara kita” (Yoh. 1:14). Ia tidak menukar keilahian-Nya dengan
kemanusiaan. Ia malah mengambil keadaan manusia. Artinya Ia menambah
tabiat manusia pada tabiat Ilahi-Nya. Jadi, dengan penjelmaan ini, Ia adalah
Allah sejati dan manusia sejati.
Walaupun Yesus memiliki semua sifat atau ciri yang dimiliki manusia termasuk
ciri-ciri fisik atau jasmani, tetapi kita tak dapat mengatakan bahwa pada
hakikat-Nya yang terdalam, Ia adalah manusia. Ia adalah pribadi Ilahi dengan
kodrat manusia. Kepribadian Ilahi itulah hakikat-Nya yang terdalam, karena itu
kita dapat menyembah Dia sebagai Allah yang patut disembah. Jadi, dalam diri
Yesus sebagai penjelmaan Allah, Ia menyatakan keilahian yang sejati dan
kemanusiaan sejati dalam satu pribadi. Dalam Dia terdapat keterpaduan sifat-
sifat, sehingga apa pun yang kita katakan tentang Dia sesuai dengan apa yang
dapat dikatakan tentang Allah dan manusia.
Pertanyaan yang segera muncul adalah “Mengapa Allah menjelma menjadi
manusia dalam diri Yesus Kristus?” Di atas kita telah menyinggung bahwa
tujuan kedatangan dan pelayanan Yesus adalah untuk menyelamatkan
manusia berdosa. Namun, pertanyaan selanjutnya adalah “Mengapa untuk
menyelamatkan manusia berdosa, Allah harus menjelma menjadi manusia?”
Terhadap pertanyaan seperti ini, harus diakui bahwa kita tak mungkin
menjawabnya dengan tuntas dan memuaskan. Sebagaimana Allah tak
mungkin kita pahami secara sempurna, begitu pula maksud-maksud-Nya tak
terselami. Penjelasan berikut ini, mungkin dapat menolong kita untuk
membuka sebagian dari selubung misteri Allah dan rencana-Nya.
Untuk dapat menjadi penyelamat atau Juruselamat manusia berdosa dari
hukuman dosanya, Ia harus dapat menanggung penderitaan dan hukuman
itu. Untuk tugas seperti itu, Juruselamatnya haruslah juga manusia sejati.

28
Dibutuhkan Juruselamat yang menjadi korban yang tak bercacat. Oleh karena
semua manusia telah berdosa dan bercacat, Allah sendirilah yang tak bercacat
itu menjelma menjadi manusia agar dapat berperan sebagai Juruselamat.
Dosa selalu membawa hukuman, ini adalah keadilan Allah. Namun, mengapa
Ia sendiri yang mau menanggung hukuman itu? Di sinilah hakikat Allah yang
terdalam, yakni bahwa Allah adalah kasih. Ia tak sekadar memiliki kasih, tetapi
merupakan kasih itu sendiri. Jadi, pada satu sisi, Allah menjadi manusia untuk
menjadi Juruselamat karena keadilan-Nya, namun pada sisi yang lain karena
kasih-Nya. “Karena demikianlah Allah mengasihi isi dunia sehingga diberikan-
Nya anak-Nya yang tunggal itu….” (lih. Yoh. 3:16).
Di samping itu, penjelmaan Allah di dalam Yesus Kristus juga hendak
menyatakan Allah dalam segala keunggulan dan keindahan-Nya yang tak ada
bandingnya. Silakan Anda membaca dan mengamati Yoh.14:7-11. Itulah
sebabnya kita percaya bahwa dalam Yesus Kristus penyataan Allah mencapai
klimaks atau puncaknya. Tak ada wujud penyataan diri Allah yang paling jelas
dan langsung melebihi penyataan-Nya dalam diri Yesus Kristus, Allah
penyelamat itu. Penyataan diri yang paling jelas dari hakikat-Nya yang adalah
kasih dan juga adil. Silakan Anda mengamati Yoh. 15:13.
Di dalam penjelmaan, Tuhan Yesus menjadi teladan yang paling sempurna
mengenai hidup yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, sebagai makhluk
pencari makna, kita dapat belajar dari hidup Kristus bagaimana kita menjalani
hidup kita secara bermakna sesuai dengan kehendak Allah. Kehidupan Kristen,
yakni kehidupan mengikut Kristus yang menjadi teladan yang sempurna.
Sebelum kita mengakhiri pembahasan tentang Allah Sang Penyelamat, maka
ada baiknya kita mengkaji kesaksian Perjanjian Baru tentang makna atau
arti keselamatan yang dikerjakan Allah dalam Yesus Kristus. Konsep
keselamatan dalam Perjanjian Baru adalah khas Kristen dan mendapat tempat
yang sangat utama, kendatipun PB penuh dengan ajaran-ajaran moral dan
kehidupan Kristen. Harus diakui bahwa berbagai kitab atau surat dalam PB
menjelaskan keselamatan itu dengan istilah-istilah yang bervariasi, akan tetapi
ada kesamaan makna atau pengertian. Keselamatan diungkapkan dengan
istilah yang bermacam-macam, misalnya hidup kekal, masuk atau mewarisi
Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga, dan sebagainya. Apakah makna atau arti
keselamatan ini? Sayangnya Perjanjian Baru bukan merupakan uraian yang
sistematis dari konsep keselamatan itu. Karena itu, uraian berikut ini hanyalah
sekadar menangkap secara ringkas makna yang mendasar dari konsep itu,

29
sebagaimana dimaksudkan baik oleh Yesus dalam Injil-injil maupun dalam
surat-surat para rasul.
Salah satu perkembangan makna keselamatan dibandingkan dengan ajaran
Perjanjian Lama adalah bahwa baik Yesus maupun para rasul memberi arti
yang lebih rohani dan universal kepada konsep keselamatan itu. Artinya,
meskipun keselamatan mengandung juga aspek fisik, tetapi lebih-lebih aspek
rohani mendapat tekanan yang penting. Dengan demikian, keselamatan
menaruh perhatian terhadap manusia seutuhnya. Keselamatan bukan hanya
bagi satu bangsa saja tetapi bagi seluruh umat manusia melampaui batas
bangsa. Berkali- kali kita katakan di atas bahwa Allah di dalam Yesus Kristus
datang untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosanya atau tepatnya dari
hukuman dosa. Apakah hukuman dosa yang paling nyata? Bagaimana
manusia diselamatkan? Hukuman dosa adalah maut, kata Paulus (Rm. 6:23).
Maut atau kematian di sini lebih bersifat rohani, yakni keterasingan dari Allah,
putus atau rusaknya hubungan atau persekutuan manusia dengan Allah.
Dalam pengertian seperti itu, kita dapat memahami pengalaman Yesus yang
paling hebat dan mengerikan ketika dalam karya penyelamatan-Nya Ia
mengalami ditinggalkan oleh Allah, Bapa-Nya. Di atas kayu salib Ia berseru
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Dengan demikian,
keselamatan yang dikerjakan Allah pada dasarnya adalah restorasi
(pembaharuan, perbaikan) hubungan dengan Allah, suatu pengalaman
hubungan atau persekutuan yang benar dengan Allah.

Sumber: http://evangelistic.blog.com/files/2011/09/SalibKristus.gif

Oleh karena itu, di dalam Yesus Kristus kita yang percaya boleh menyebut Allah
itu Bapa, dalam arti kita memiliki hak untuk menjadi anak-anak Allah,

30
suatu kualitas hubungan yang intim dengan Allah. Dalam hubungan itu, kita
dapat memahami mengapa Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk
berdoa dan menyapa Allah itu: Bapa kami. Hidup kekal bukan saja suatu
keabadian, melainkan suatu kualitas hidup yang baru, yakni pengalaman
hubungan yang benar dan intim dengan Allah melalui Yesus Kristus. Paulus
kadang menyebutkan hidup yang demikian sebagai hidup dalam Kristus, hidup
dalam damai sejahtera dengan Allah.
Dalam kaitan dengan penjelasan di atas, dapatlah kita pahami bahwa
keselamatan menurut PB khususnya dalam surat-surat para rasul merupakan
pengalaman yang sudah kita alami pada masa kini, bukan hanya pada masa
yang akan datang sesudah kematian. Merupakan pengalaman masa kini,
karena memang keselamatan atau hidup kekal merupakan suatu kualitas
hidup baru, yakni hidup dalam hubungan dan persekutuan yang benar dengan
Allah. Akan tetapi, keselamatan juga mengandung aspek masa depan, yakni
bahwa penyempurnaan-Nya masih akan terjadi di masa yang akan datang,
ketika Yesus datang kembali untuk menggenapkan dan menyempurnakan
segala sesuatu. Itulah sebabnya keselamatan mengandung aspek
pengharapan juga, meskipun ia telah merupakan pengalaman masa kini.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Ef.2:4-9. Pekerjaan Yesus
menunjukkan lebih dari segi rohani saja, karena Yesus memberi makan orang
lapar, menyembuhkan orang sakit, membebaskan orang yang dibelenggu oleh
kuasa jahat, tetapi juga membebaskan mereka yang tertindas dan sebagainya.
Hal ini berarti bahwa keselamatan dalam kekristenan adalah suatu yang
komprehensif atau menyeluruh, sama halnya Injil atau kabar baik adalah kabar
baik yang menyeluruh. Kita harus menolak pembatasan keselamatan hanya
sebagai yang spiritual saja. Ini yang kita sebut despiritualisasi keselamatan.
Bukan berarti bahwa keselamatan tidak mempunyai dimensi spiritual,
melainkan menolak pembatasannya hanya pada dimensi yang spiritual (Baum
1975, 202).

3. Allah Pembaharu Ciptaan-Nya

Pokok kepercayaan mendasar ketiga tentang Allah adalah Allah sebagai


pembaharu ciptaan-Nya yang menyatakan diri dalam Roh Kudus. Banyak
orang menyangka bahwa Allah baru hadir dan bekerja dalam Roh Kudus pada
Perjanjian Baru yakni ketika Roh Kudus dicurahkan pada hari Pentakosta di
Yerusalem. Hal ini tidak benar. Kehadiran maupun tindakan Allah dalam Roh
Kudus telah berlangsung jauh sebelumnya bahkan sejak awal, karena pada

31
hakikatnya Allah adalah Roh. Pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi
beserta isinya, Allah dalam Roh yang berkarya dalam penciptaan tersebut.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Kej.l:7-2:25.
Roh Kudus dalam PL tidak saja dikaitkan dengan penciptaan, tetapi juga
dengan nubuat. Sudah jelas bahwa Roh Allah adalah berbeda dengan roh
manusia, sebab Roh Allah adalah Allah itu sendiri. Dalam PL juga ditekankan
bahwa Roh Allah itu mengilhamkan nubuatan. Ini adalah salah satu tema
utama Alkitab. Allah yang melampaui kita tetapi masuk dalam dunia manusia,
bukanlah dengan maksud untuk menakuti, tetapi justru untuk berkomunikasi.
Roh Allah merupakan suatu kekuatan, namun kekuatan yang dirancang untuk
mengomunikasikan kehendak Allah dan membawa ciptaan kepada hidup yang
sesuai dengan kehendak-Nya. Itulah sebabnya dalam Alkitab sering ada
hubungan yang erat antara Roh Allah dan firman Allah. Roh Allah dan firman
Allah tak dapat dipisahkan. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan
Mzm.33:6 dan 2 Sam. 23:2.
Contoh konkret dari hubungan ini adalah pengalaman Raja Saul. Ketika Saul
menolak firman Allah, konsekuensinya “Roh Allah meninggalkannya. Silakan
Anda mengamati dan menafsirkan 1 Sam. 15:26 dan 16:14. Hubungan ini
sangat penting, dan Gereja sering membuat perbedaan tajam dan karena itu,
kehilangan suatu perspektif alkitabiah yang cukup penting. Memang hubungan
ini sangat kuat di dalam Perjanjian Lama. Bilamana Roh Allah datang kepada
seseorang, Ia mengomunikasikan maksud berita dari Allah. Berita ini dapat saja
mengambil bentuk-bentuk yang misterius. Ia dapat datang melalui mimpi
seperti dalam peristiwa Yusuf yang dimampukan untuk menafsirkan arti
mimpi Firaun melalui Roh Allah yang ada dalam dirinya. Silakan Anda
mengamati dan menafsirkan Kej. 41:38. Ia bisa juga datang melalui
penglihatan. Orang-orang seperti Abraham, Yakub, Yehezkiel, dan Daniel
menangkap maksud Allah melalui suatu penglihatan. Silakan Anda mengamati
dan menafsirkan Kej. 15:1, Kej. 46:2, Yeh. 1:1, Dan. 1:17; 4:5; 7:7.
Akan tetapi, harus disadari bahwa bukan pengalaman misterius yang
menentukan seseorang dapat bernubuat atau tidak, tetapi Allah datang
dengan Roh-Nya yang membuat manusia dimampukan untuk
mengomunikasikan maksud dan firman Allah kepada sesamanya. Hal ini nyata,
misalnya, dalam nabi-nabi yang lebih kemudian seperti Amos, Mikha, Zakaria,
dan lain-lain. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Am. 3:8, Mi.3:5
danZa.7:12. Singkatnya bilamana seseorang bernubuat, itu karena Roh Allah

32
datang ke atasnya dan mengomunikasikan maksud atau berita dari Allah
melaluinya.
Hal lain yang juga cukup penting kita catat sepanjang itu berkaitan dengan Roh
Allah di dalam PL adalah tentang kepribadian Roh Allah. Di dalam PL, Roh itu
tidak tampak sebagai keberadaan yang Ilahi. Ia lebih dilihat sebagai kehadiran
dan intervensi (pelibatan diri) pribadi Allah. Silakan Anda mengamati dan
menafsirkan Yes. 31:3. Di dalam kata-kata ini, Yesaya bukan
mempertentangkan daging dan roh sebagai bagian luar dan dalam dari
seseorang yang sama. Yang ia lakukan adalah mengelompokkan “daging dan
manusia bersama-sama, dengan Roh dan Allah bersama-sama.” Roh
merupakan realitas (kenyataan) pada pihak Allah yang berbeda dengan pihak
manusia. Apabila Roh Allah hadir di dalam manusia, itu berarti intervensi Allah
sendiri yang Mahakasih dan pribadi. Dalam Yesaya 63, Roh merupakan
ekspresi pribadi dan Allah sendiri. Ia adalah suci, bukan saja merupakan kuasa
Ilahi tetapi sifat moral dari Allah. Ia adalah Allah yang bekerja untuk
kepentingan umat-Nya. Perlu dicatat bagaimana Roh itu disamakan dengan
“lengan” Allah dan yang hendak dikatakan adalah bahwa Roh itu merupakan
aktivitas penyelamatan-Nya. Roh itu adalah kuasa yang personal dan
aktif dari Tuhan Allah.
Walaupun dalam PL kita menjumpai fakta Roh Allah yang berintervensi dalam
kehidupan manusia, baru dalam Perjanjian Barulah dinyatakan fakta tentang
Roh Kudus secara lebih luas oleh para penulisnya. Meskipun dalam Injil- injil
sekalipun sangat sedikit diungkapkan tentang Roh Kudus, kalau diperhatikan
baik, Roh Kudus justru berpusat dalam diri Tuhan Yesus Sang Mesias dan
kemudian juga dicurahkan kepada orang-orang percaya, terutama pada
peristiwa Pentakosta. Mungkin ada baiknya kita bertanya mengapa Yesus pada
suatu ketika mengatakan kepada para murid-Nya: “Adalah lebih berguna bagi
kamu jika Aku pergi. “Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh. 16:7.
Kata-kata ini diucapkan dalam konteks janji pemberian Penolong atau
Penghibur yakni Roh Kudus. Kita tahu bahwa meskipun Yesus adalah Allah
sejati, tetapi Ia juga adalah manusia sejati. Sebagai manusia, Ia terbatas dalam
hal kehadiran-Nya pada satu tempat di suatu saat. Dengan kehadiran atau
kedatangan Roh Kudus, Ia tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu dan
juga dalam pekerjaan-Nya.
Roh Kudus adalah sesungguhnya Roh Allah dan juga Roh Yesus Kristus dan
dengan demikian Ia adalah Allah itu sendiri. Karena memang Allah adalah Roh
adanya. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh. 4:24. Roh Kudus

33
memiliki semua ciri keilahian sama seperti yang dimiliki oleh Allah, yakni
Mahahadir, Mahatahu, dan Mahakuasa. Silakan Anda mengamati dan
menafsirkan l Kor. 2:10-16; Luk. 1:35; Kis. 1:8. Karena itu, kalau kita
menyembah Allah, sesungguhnya kita menyembah Allah yang menyatakan diri
sebagai Bapa Pencipta, Yesus Penyelamat, dan Roh Kudus Pembaharu dan
Penolong.
Walaupun Roh Kudus tidak dapat kita
batasi pekerjaan-Nya dalam dunia ini,
dalam kesempatan ini kita akan
membatasi pembahasan kita tentang
pekerjaan-Nya di dalam kehidupan
orang beriman dan persekutuan
orang- orang beriman yang kita sebut
Gereja. Memang membatasi peranan
Roh Kudus sebagai Pembaharu dan
Penolong juga tidak tepat, karena Ia
terlibat bersama Bapa dalam karya
Penciptaan dan terlibat bersama
Sumber: http://rhrenunganhidup.com/holy-
Yesus Kristus dalam karya
Penyelamatan. Akan tetapi, dua
peranan itu sangatlah menonjol dalam Perjanjian Baru. Marilah kita melihat
peranan tersebut secara lebih mendalam.
Bagaimanakah karya Allah di dalam Roh Kudus yang memperbaharui?
Pertama-tama kita harus akui bahwa kita menjadi orang percaya karena karya
pembaharuan-Nya. Sebagai orang berdosa, kita telah mati secara rohani.
Namun oleh pekerjaan Roh Kudus, kita mengalami kelahiran kembali atau
kelahiran baru secara rohani. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh.
3:5-7. Hal ini memungkinkan kita menjadi orang beriman kepada Allah di
dalam Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat manusia. Bandingkan
juga dengan peristiwa Pentakosta setelah khotbah Petrus, ada ribuan orang
menjadi percaya dan dibaptis (Kis. 2).
Pembaharuan itu tidak hanya menyangkut kepercayaan kita, tetapi
menyangkut juga sifat dan tabiat kita. Di dalam Kristus kita menjadi ciptaan
baru. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan 2 Kor.5:17. Sebagai ciptaan
baru, yang lama telah lenyap dan yang baru telah terbit, termasuk sifat atau
watak kita. Itulah sebabnya Paulus menekankan bahwa kalau kita hidup oleh
Roh, kita tidak akan menuruti keinginan daging. Silakan Anda mengamati dan

34
menafsirkan Gal. 5:16. Sebagai ganti perbuatan daging (Gal. 5:19-21), kita
akan menghasilkan buah Roh yakni “kasih, sukacita, damai sejahtera,
kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan
diri” (Gal. 5:22-23). Silakan Anda mengamati diri Anda sendiri buah Roh apa
saja yang telah ada dalam diri Anda! Sifat atau ciri-ciri ini adalah buah atau
karya Roh Kudus dalam kehidupan orang percaya. Walaupun demikian, kita
harus mengatakan bahwa karya Roh Kudus ini merupakan suatu proses yang
tidak sekali jadi, karena kita masih juga berperang melawan kemanusiaan kita
yang lama yang dikuasai oleh keinginan daging.
Karya pembaharuan Allah tidak saja bagi orang percaya secara individu,
melainkan juga bagi persekutuan orang-orang percaya yang kita namakan
Gereja. Oleh kuasa dan karya Roh Kudus, terbentuklah suatu persekutuan
orang-orang percaya yang tekun dalam persekutuan, bersaksi dan melayani
dalam kasih persaudaraan. Karya pembaharuan Roh Kudus memungkinkan
adanya suatu persekutuan yang baru, yang setia dan tekun melaksanakan
tugas panggilannya untuk bersaksi dan melayani. Silakan Anda mengamati
dan menafsirkan Kis.2:41-47. Jadi, ketekunan mereka dalam persekutuan
mencakup juga dimensi kehidupan rohaniah, yakni untuk berdoa dan
melaksanakan sakramen perjamuan, juga dalam memperdalam pengetahuan
dan pemahaman mereka akan pengajaran para rasul. Mereka juga bertekun
dalam pelayanan kasih kepada sesamanya yang membutuhkan.
Selanjutnya, dalam seluruh Kisah Para Rasul kita membaca bagaimana oleh
pimpinan Roh Kudus, bukan saja para rasul tetapi juga persekutuan orang
percaya bertekun dalam kesaksian mereka, baik melalui kata-kata maupun
perbuatan nyata, sehingga jumlah orang percaya terus bertambah. Dengan
menggambarkan peranan Roh Kudus yang membaharui, baik orang
percaya secara individu maupun secara bersama-sama sebagai gereja, kita
sesungguhnya telah menunjukkan bagaimana Roh Kudus merupakan
penolong yang dijanjikan oleh Yesus Kristus. Roh Kudus menolong kita untuk
membuka mata rohani kita sehingga kita dapat percaya kepada misteri kasih
Allah dalam Yesus Kristus yang menyelamatkan, menolong kita untuk
mengubah sifat-sifat kita sesuai dengan kehendak-Nya, tetapi juga
menolong Gereja untuk setia dan mampu melaksanakan tugas
panggilannya untuk bersekutu, bersaksi, dan melayani.
Akan tetapi, kita juga dapat berbicara mengenai pertolongan-Nya dalam
bentuk-bentuk yang lain. Misalnya: menghibur di kala duka, memberi kekuatan
di kala menghadapi penganiayaan, menyatakan kebenaran Allah, menolong

35
kita untuk berdoa dengan benar, dan sebagainya. Silakan Anda mengamati dan
mendaftar pertolongan-Nya yang lain dalam kehidupan Anda! Jadi, ketika kita
berdoa kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya, sesungguhnya kita
mengharapkan pertolongan Allah melalui Roh Kudus.
Pada akhirnya, kita harus menyebut satu hal lagi tentang peranan Roh Kudus
yang membaharui. Setelah kenaikan Yesus ke surga dan kemudian turunlah
Roh Kudus, sesungguhnya sejarah dunia telah memasuki suatu era baru yakni
era Roh Kudus yang mencapai puncaknya ketika Yesus datang untuk kedua
kalinya. Pada saat itulah karya Allah disempurnakan, Ia akan membaharui
segala sesuatu (lih. Why. 21:5-6). Dalam ayat ini, Tuhan mengatakan: “Lihatlah,
Aku menjadikan segala sesuatu baru! ”Kemudian dilanjutkan dengan
mengatakan “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir.” Allah
yang dipercayai oleh umat Kristen, adalah Allah yang sejak awal menjadi
Pencipta segala sesuatu dan memeliharanya tidak saja dengan hukum alam
tetapi dengan intervensi langsung, dan adalah Allah yang sama yang
menyelamatkan dalam Yesus Kristus. Allah ini adalah juga yang membaharui
hidup manusia, baik secara individu maupun bersama-sama sebagai orang
percaya, dan pada akhirnya membaharui segala sesuatu pada akhir sejarah. Ia
akan menghadirkan langit dan bumi yang baru. Ia akan menyempurnakan
pemerintahan-Nya sebagai Raja yang menghadirkan kasih, damai sejahtera,
keadilan, kebebasan, keutuhan, kesamaderajatan, dan lain-lain.

Ada teolog yang mengatakan bahwa “now more than ever it is vital that we
know what we believe, because what we believe determines how we live”
(Donald English 1982). Kalau benar seperti pernyataan ini, bahwa apa yang kita
percayai menentukan bagaimana kita menjalani hidup kita, pertanyaan yang
penting bagi kita bukan hanya apa pandangan Alkitab tentang Allah, melainkan
bagaimana kepercayaan kita kepada Allah menentukan bagaimana kita
menjalani hidup kita secara praktis. Karena itu, pada bagian ini kita akan
menanya atau bertanya secara kritis, apa implikasi kepercayaan kepada Allah
sebagai Pencipta, Penyelamat dan Pembaharu bagi kehidupan praktis sehari-
hari. Silakan Anda menanya secara kritis dan sebebas-bebasnya yang
berkenaan dengan implikasi kepercayaan kepada Allah sebagai Pencipta,
Penyelamat dan Pembaharu ciptaan- Nya.

36
1. Implikasi Kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta

Dalam rangka menanya secara kritis apa implikasi kepercayaan kepada Tuhan
sebagai Pencipta, ada baiknya kita menarik beberapa implikasi dari
kepercayaan terhadap Allah sebagai Pencipta dalam kaitannya dengan
kehidupan kita sebagai orang percaya.
Pertama, bahwa sebagai Pencipta, Allah adalah sumber kehidupan dan
keberadaan kita. Karena itu, hidup kita sepenuhnya bergantung kepada Allah,
dan kita adalah milik Allah Sang Pencipta. Ini berarti juga bahwa Allah berdaulat
atas hidup dan tujuan hidup kita. Hanya Allah yang berhak menentukan untuk
apa kita hidup di dunia, dan kita tak akan menemukan kedamaian sampai kita
menemukan Allah sumber dan tujuan kehidupan kita. Sebagai milik Allah,
adalah kewajiban kita untuk memuliakan Allah dengan hidup kita.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan 1 Kor. 6:20. Coba baca baik-baik
bagian Alkitab ini dan diskusikan apa hubungan kepemilikan Allah atas hidup
kita dengan bagaimana kita menjalani hidup kita. Ajukanlah pertanyaan kritis
Anda yang bisa timbul setelah membaca 1 Kor. 6:20! Jelaskanlah apa
alasan tuntutan seperti itu? Apakah tuntutan seperti itu wajar?
Bagaimana pendapat Anda?

Allah tak hanya berdaulat atas hidup kita tetapi atas tujuan hidup kita. Manusia
adalah makhluk yang mencari tujuan dan makna hidup, dan kita hanya dapat
menemukan tujuan hidup kita dalam Tuhan yang menciptakan kita. Tujuan
hidup kita tak lain adalah untuk memuliakan Allah (lih. Rm. 11:36). Di atas telah
dibahas bahwa agama berfungsi sebagai pemberi identitas, dan identitas
adalah sumber makna. Jadi, kalau kita hendak menemukan apa makna
hidup kita, di dalam Tuhan, pencipta yang berdaulat menentukan tujuan hidup
kita itulah, kita memeroleh makna dan tujuan hidup kita. Hal ini penting ketika
kita membahas masalah karakter nanti. Untuk apa kita hidup berkarakter?
Kedua, pengakuan dan kepercayaan akan kemahakuasaan dan kebesaran
Allah mendorong kita untuk mengagumi kebesaran penciptaan Tuhan. Hal ini
mendorong kita kepada sikap bersyukur dan beribadah kepada Tuhan.
Perasaan kagum, heran dan syukur mendorong kita bukan saja untuk memuji
Tuhan tetapi juga untuk selalu berdoa dan memohon pertolongan-Nya.
Semua ini menjadi dasar dari kehidupan ibadah kita sebagai orang beriman.
Anda bisa mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kritis, mengapa agama
harus memiliki ritus atau ibadah. Kekristenan juga tidak sepi dari ibadah
sebagaimana juga agama-agama yang lain. Apa dasar dan tujuan dari ibadah
kristiani?

37
Ketiga, karena Allah Pencipta adalah juga pribadi, manusia terpanggil untuk
menjawab penyataan diri Allah dengan memasuki hubungan yang bersifat
pribadi dengan-Nya. Jadi, pengetahuan saja tidak cukup, melainkan
dibutuhkan hubungan pribadi. Hubungan ini dipelihara dan dikembangkan
melalui ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Kita terpanggil bukan saja untuk
mengetahui siapa Dia, melainkan untuk mengenal-Nya dan mengenal dalam
arti alkitabiah berarti masuk dalam hubungan pribadi dengan-Nya (Groome
1980, 141).
Injil Yohanes dan surat-suratnya secara eksplisit menegaskan bahwa “for
John to know the Lord is to love, obey and believe” (lih. 1 Yohanes 4:8).
Coba baca baik-baik bagian Alkitab ini dan tariklah kesimpulan Anda sendiri
apa hubungan mengenal Allah dan mengasihi Allah! Bandingkan juga 1
Yohanes 2:3, dan jelaskan hubungan antara mengenal dan mentaati
perintah-perintah-Nya. Silakan Anda menanya secara kritis berkaitan
dengan mengenal Allah berarti mengasihi, mentaati dan percaya kepada
Allah!

2. Implikasi Kepercayaan kepada Allah sebagai Penyelamat bagi


Kehidupan Praktis

Apa implikasinya bila kita percaya kepada Allah sebagai Sang Penyelamat
dalam Yesus Kristus? Hal ini perlu kita renungkan oleh karena kepercayaan
Kristen sebenarnya bertumpu pada kepercayaan akan Tuhan Yesus dan
mengikutiteladan-Nya.

Sumber: http://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fgodsbreath.
iles.wordpress.com%2F2010%2F05%2Fimage_of_god_love.

38
Pertama, kepercayaan Kristen kepada Allah tidak terbatas kepada Allah yang
Mahakuasa, Agung, dan Hebat yang wajib kita sembah tetapi juga kepada Allah
sebagai Penyelamat menunjuk kepada hakikat Allah yang adalah kasih.
Allah tidak hanya mengasihi tetapi Ia adalah kasih itu sendiri (lih. 1 Yohanes
4:8b). Bacalah dengan teliti bagian Alkitab 1 Yoh. 4: 7-8 dan bertanyalah
kepada diri sendiri apa implikasinya bila seseorang percaya kepada Allah yang
adalah kasih. Percaya adalah suatu respons manusia, dan percaya kepada
Allah yang adalah kasih berarti merespons kasih Allah dengan jalan mengasihi
Allah melalui kasih kita terhadap sesama manusia. Silakan Anda menanya
secara kritis dan sebebas-bebasnya mengenai Allah adalah kasih!
Kedua, kita percaya kepada Allah yang mengasihi manusia, yang berinisiatif
mencari dan mendatangi manusia. Oleh karena kasih-Nya, yang persuasif
(memberikan dorongan, tidak memaksa), kepercayaan kita merupakan
jawaban terhadap Allah yang mengasihi kita. Jawaban terhadap kasih Allah tak
bisa lain adalah kasih kepada Allah melalui kasih kepada sesama dan alam
ciptaan-Nya. Kita tidak hanya percaya akan Allah yang jauh di sana, tetapi Allah
yang hadir dan dekat dengan manusia, dan manusia dapat memasuki
hubungan yang intim dengan-Nya dalam Kristus yang diberi nama Imanuel
yang berarti Allah beserta kita. Pengalaman inilah yang memungkinkan para
murid dapat bertahan meskipun menghadapi berbagai tantangan dan
kesulitan hidup. Kita perlu menjaga keseimbangan antara gambaran tentang
Allah yang transenden dan Allah yang berada di antara kita dan bersama kita
dalam arti imanensi-Nya. Bila kita hanya menekankan dimensi transendental,
kita bisa teralienasi. Bila kita hanya menekankan imanensi-Nya, kadang bisa
berakibat bahwa Allah sama dengan ciptaan-ciptaan lain.
Ketiga, bila kita mengatakan percaya kepada Allah sebagai Sang Penyelamat
dalam Yesus Kristus, kepercayaan ini harus dipahami bahwa keselamatan
adalah karya Allah, anugerah Allah dan bukan hasil karya manusia yang dicapai
karena prestasinya. Kita boleh mengatakan bahwa dasar keselamatan adalah
anugerah Allah sedangkan saluran keselamatan adalah iman yang
menyelamatkan. Iman bukan semata-mata pengakuan akal kita bahwa Allah
ada dan menyelamatkan, melainkan bahwa kita menerima-Nya sebagai
pengganti kita dalam menanggung hukuman dosa kita. Realisasi (wujud nyata)
keselamatan itu adalah suatu hubungan yang diubahkan dan hidup yang
diperbaharui. Artinya, kita memasuki suatu kualitas hidup baru, hidup dalam
hubungan dan persekutuan yang benar dengan Allah, yang mendapat
ekspresi dalam kedekatan hubungan kita dengan sesama, dan tanggung

39
jawab memelihara alam semesta. Silakan Anda menanya secara kritis dan
sebebas-bebasnya mengenai Allah Sang Penyelamat dalam Yesus Kristus!
Kekristenan menolak pemisahan antara ibadah kepada Allah melalui ritus-
ritus keagamaan dengan sikap terhadap sesama dalam arti berlaku adil (lih.
Mi. 6: 6-8, Yak. 1:26-27). Bacalah kedua perikop tersebut dengan teliti dan
diskusikan maknanya khususnya hubungan ibadah dengan perbuatan baik:
berlaku adil dan memerhatikan para janda dan yatim piatu! Ajukanlah
pertanyaan-pertanyaan kritis yang timbul setelah membaca Mi. 6:6-8 dan
Yak. 1:26-27!

Ekspresi keselamatan adalah suatu pengalaman penebusan dari hukuman


dosa, penebusan dari hidup tanpa makna ke dalam hidup yang bermakna.
Meskipun Yesus adalah manusia sejati, Ia juga Allah sejati. Karena itu, dalam
ibadah, baik melalui doa, puji-pujian, kita dapat mengarahkannya kepada Allah
Sang Bapa Pencipta, tetapi juga kepada Yesus Sang Anak Penyelamat. Pada
dasarnya, sasaran kita adalah kepada Allah yang satu, yang menyatakan Diri
baik sebagai Bapa Pencipta maupun sebagai Anak Sang Penyelamat.

3. Implikasi Kepercayaan bahwa Allah adalah Pembaharu dalam Roh


Kudus

Apakah implikasinya bila kita percaya kepada Allah yang menyatakan diri
dalam Roh Kudus sebagaimana digambarkan di atas? Ajukanlah pertanyaan-
pertanyaan kritis Anda dari implikasi kepercayaan bahwa Allah adalah
Pembaharu dalam Roh Kudus! Berikut ini kita hanya akan mengemukakan
beberapa implikasi yang cukup penting.
Pertama, kepercayaan kepada Allah yang menyatakan diri dalam Roh Kudus
berarti bahwa manusia percaya kepada kuasa Allah yang tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu, dan dapat bekerja dalam diri manusia untuk melakukan
pembaharuan-pembaharuan. Pembaharuan itu dapat mencakup iman atau
kepercayaan seseorang, misalnya, dari tidak percaya menjadi percaya akan
Allah yang Mahakasih dalam Yesus Kristus. Suatu perubahan dan
pembaharuan akan orientasi hidup, prioritas kehidupan dan sebagainya.
Kedua, kuasa Allah melalui Roh Kudus juga dapat memperbaharui orientasi
nilai dan sikap hidup etis seseorang. Sebagai contoh, dari kecenderungan hidup
yang menuruti keinginan daging menuju kepada kecenderungan hidup yang
menuruti Roh Kudus, sehingga menghasilkan buah Roh seperti kasih, damai
sejahtera, sukacita, kesabaran, dan sebagainya (lih. Gal. 5:22-23). Bacalah
dengan teliti ayat tersebut serta bertanyalah pada diri sendiri secara kritis

40
apa implikasi bila orang percaya bahwa Allah membaharui hidup manusia
melalui Roh Kudus-Nya!

Ketiga, kuasa Allah yang bekerja melalui Roh Kudus dapat membawa
pembaharuan di dalam kehidupan persekutuan orang-orang percaya sehingga
mereka dituntun kepada kebenaran, dan dimungkinkan untuk tekun dan setia
mengemban tugas panggilannya di dunia ini untuk bersekutu, bersaksi, dan
melayani. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Yoh. 16:1 dst.
Keempat, kepercayaan akan karya Allah di dalam Roh Kudus yang akan
memperbaharui segala sesuatu kelak, memberi dasar kepada kehidupan yang
berpengharapan bagi orang-orang percaya. Pengharapan akan
penyempurnaan pemerintahan Allah sebagai Raja, di mana ada nilai-nilai
Kerajaan Allah. Pengharapan ini tidak membuat manusia menjadi pasif
menunggu pembaruan dan penyempurnaan melainkan bertekun untuk
mewujudkan pengharapannya kini dan di sini yang mencakup juga pembaruan
tatanan sosial politik, ekonomi, menjadi lebih adil seperti yang diharapkan,
yakni perjuangan menghadirkan masa depan yang diharapkan dalam
kehidupan kini dan di sini. Inilah yang disebut oleh ahli- ahli sosiologi sebagai
utopia yang konkret, yang tidak hanya tinggal diam mengharapkan apa
diharapkan terjadi begitu saja. Inilah yang disebut utopia yang abstrak oleh
Ernst Bloch (Baum 1975).
Kepercayaan kepada Allah seperti digambarkan di atas, menantang orang
percaya untuk menjalani hidupnya sebagai respons kepada Kerajaan Allah,
yakni respons kepada Allah yang memerintah sebagai Raja. Hal ini akan
menuntun kita kepada dasar-dasar kepercayaan berikutnya, yakni tentang
siapakah manusia?

Pada bagian ini, kita diajak untuk menoleh ke belakang untuk memahami
bagaimana para teolog Kristen menggumuli dan memperdebatkan beberapa
isu sekitar hakikat dan sifat Allah. Tujuannya terutama untuk memahami bahwa
isu- isu yang pada masa kini diperdebatkan itu bukanlah hal baru, dan
memahami bagaimana para pendahulu mencoba memecahkan hal-hal yang
sulit dan rumit.
Ajaran yang paling sulit dimengerti dan dijelaskan adalah ajaran tentang
Trinitas. Suatu ajaran yang sudah menjadi pokok perdebatan sejak awal

41
kehadiran kekristenan. Sesuatu yang tidak bisa juga dihindari karena memang
Alkitab sebagai dasar kepercayaan Kristen menggambarkan Allah
dengan berbagai cara. Dari aktivitas-Nya kita telah menyebutkan bahwa Allah
mencipta (dalam Allah Bapa), menyelamatkan (dalam Yesus Kristus) dan
membaharui (melalui Roh Kudus-Nya). Hal ni saja sudah menunjukkan nuansa
Trinitas, ketiga macam penyataan diri Allah yang adalah tunggal atau satu.
Menurut Alister E. McGrath “the Trinity is a remarkably difficult area of Christian
Theology” (McGrath 1994, 257). Ia juga mencoba mengemukakan 4 model
pendekatan terhadap isu ini baik yang klasik maupun modern. Yang paling
penting dari pendekatan klasik adalah pendekatan Agustinus sedangkan dari
model modern adalah Karl Barth.
Kita hanya akan membahas dua pendapat yakni Agustinus dan Barth. Silakan
Anda mengumpulkan informasi mengenai kelebihan dan kelemahan
pandangan Agustinus dan Barth dari buku-buku teologi atau sumber belajar
yang lain.

1. Agustinus
Menurut McGrath, “Agustinus mengambil banyak unsur dari konsensus yang
sedang muncul tentang Trinitas (Tritunggal). Hal ini dapat dilihat dalam
penolakannya yang keras atas bentuk subordinasisme apapun (misalnya yang
menganggap Sang Anak dan Roh Kudus sebagai inferior/lebih rendah dari
Sang Bapa di dalam keallahan). Agustinus berpendapat bahwa tindakan dari
ketiga unsurTrinitas harus dipahami di belakang tindakan dari setiap unsur.
Misalnya, manusia diciptakan bukan saja menurut imago dei (gambar Allah)
melainkan juga menurut gambar Trinitas.
Perbedaan penting dibuat antara keallahan yang kekal dari Sang Anak dan Roh,
dan tempatnya dalam urusan keselamatan. Meskipun Sang Anak dan Roh
kelihatannya lebih kemudian dari sang Bapa, penilaian ini hanya berlaku dalam
peranan proses penyelamatan. Dan meskipun Sang Anak dan Roh tampak
lebih rendah terhadap Sang Bapa dalam sejarah, dalam kekekalan semuanya
sederajat.
Menurut McGrath, elemen yang paling khusus dari pendekatan Agustinus
terhadap Tritunggal adalah pemahamannya tentang pribadi dan tempat Roh
Kudus. Menurutnya, Sang anak diidentifikasikan dengan “kebijaksanaan”
(wisdom), dan Roh Kudus dengan “Kasih”. Walaupun ia mengakui bahwa ia tak
memiliki dasar alkitabiah terhadap identifikasi ini; ia menganggap hal itu
sebagai kesimpulan yang masuk akal dari bahan-bahan Alkitab. “Roh

42
membuat kita tinggal dalam Tuhan dan Tuhan dalam kita.” Identifikasi yang
eksplisit dari Roh sebagai dasar kesatuan dari Allah dan orang-orang
percaya itu penting sebagaimana ia menunjuk kepada ide Agustinus tentang
Roh sebagai pemberi komunitas/persekutuan. Roh adalah karunia ilahi yang
mengikat kita dengan Allah. Karenanya, ada hubungan dalam Allah Tritunggal
tersebut. Singkatnya, Agustinus ingin mengatakan bahwa “Roh Kudus
membuat kita tinggal dalam Allah, dan Allah dalam kita. Tetapi, itu adalah
akibat dari kasih. Karena Roh Kudus adalah Allah yang adalah kasih”.
Salah satu ciri yang paling khas dari pendekatan Agustinus terhadap Trinitas
adalah upaya mengembangkan “analogi-analogi psikologis. ”Ia berpendapat
bahwa dalam menciptakan dunia dan isinya, Allah telah meninggalkan
jejak yang khas dalam ciptaan-Nya. Jejak itu ada pada manusia sebagai
ciptaan tertinggi. Oleh karena itu, kita perlu berpaling kepada
kemanusiaan dalam upaya kita mencari gambaran tentang Allah.
Agustinus mengambil langkah lebih jauh yang sangat disayangkan oleh
banyak pihak. Atas dasar pandangan dunia yang dipengaruhi oleh Neo-
Platonis, ia kemudian mengatakan bahwa “pikiran (mind) manusia adalah
puncak dari kemanusiaan.” Karena itu, terhadap pikiran manusia individual,
dan ke arah itulah seharusnya para teolog berpaling dalam mencari penjelasan
tentang misteri Tritunggal dalam penciptaan. Individualisme yang radikal dari
pendekatan ini, digabungkan dengan intelektualisme yang nyata, berarti
bahwa ia memilih jalan untuk menemukan Trinitas dalam dunia mental
individu-individu, daripada misalnya dalam hubungan-hubungan personal.

2. Karl Barth
Kini kita beralih ke contoh modern tentang penjelasan dari misteri Trinitas. Karl
Barth mengemukakan pandangannya sebagai reaksi terhadap rivalnya
Schleirmacher. Bagi Schleirmacher, Trinitas adalah kata terakhir yang dapat
diucapkan tentang Allah, sedangkan bagi Barth justru Trinitas adalah kata yang
harus dibicarakan sebelum kita bicara tentang penyataan sebagai suatu
kemungkinan (McGrath 1994, 261).
Intisari dari pendapat Barth bisa kita sajikan dengan lebih sederhana walaupun
sulit dipahami. Kenyataan bahwa penyataan tersebut membutuhkan suatu
penjelasan. Bagi Barth, hal ini mengandung arti bahwa manusia adalah
pasif dalam proses penerimaan penyataan. Proses penyataan dari awal
sampai akhir ada di bawah kekuasaan Allah sebagai Tuhan. Jadi, untuk
terwujud penyataan, Allah harus mampu mengakibatkan penyataan diri

43
kepada manusia berdosa, walaupun mereka berdosa. Menurut Barth, ada
hubungan yang langsung antara yang menyatakan diri dan penyataan itu. Jika
Allah menyatakan diri sebagai Tuhan, Allah mestinya adalah Tuhan lebih
dahulu dalam dirinya. Penyataan, menurut Barth, adalah pengulangan
(reiteration) pada waktu tertentu tentang apa yang sesungguhnya sudah ada
dalam kekekalan.
Karena itu, ada hubungan yang langsung antara dua hal berikut. Pertama, Allah
yang menyatakan diri. Kedua, penyataan diri sendiri dari Allah. Dalam bahasa
teologi Trinitas hal ini berarti Sang Bapa dinyatakan di dalam sang Anak. Lalu
bagaimana dengan Sang Roh Kudus? Di sinilah kita berhadapan dengan
aspek yang paling sulit dari doktrin Barth tentang Trinitas/Tritunggal: ide
tentang “revealedness” (hal dinyatakan). Terjemahan dari konsep revealedness
adalah sulit. Mungkin harus menggunakan ilustrasi yang tidak dipakai oleh
Barth sendiri. Konsep tadi bisa dijelaskan dengan contoh sebagai berikut.
Bayangkanlah ada dua orang berjalan di luar Yerusalem pada sekitar tahun 30
AD (sesudah Masehi). Mereka melihat tiga orang yang disalibkan, dan mereka
berhenti sejenak untuk memandang ketiga orang itu. Orang pertama
menunjuk kepada sang tersalib yang di tengah, dan berkata: “ada seorang
pelaku kriminal yang sama yang disalibkan.” Namun orang kedua menunjuk
kepada tersalib yang di tengah dan berkata: “ada Anak Allah yang rela mati
untukku.” Jadi, ia mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah penyataan diri
Allah tak ada artinya apa-apa pada dirinya sendiri; harus ada semacam cara
dengan mana Yesus diakui sebagai penyataan diri Allah. Pengakuan akan
penyataan sebagai penyataan yang membentuk “ide revealedness.”
Bagaimanakah pemahaman ini dicapai? Barth sangat jelas dalam hal ini:
kemanusiaan yang berdosa (orang berdosa) tak mampu mencapai
pemahaman itu tanpa bantuan. Barth sama sekali tak memberi peluang bahwa
ada peranan positif manusia dalam menafsirkan penyataan, karena percaya
bahwa hal ini sangat tergantung kepada penyataan ilahi terhadap teori-teori
pengetahuan manusia. Interpretasi penyataan sebagai penyataan haruslah
pada dirinya merupakan karya Allah atau lebih akurat lagi adalah pekerjaan
Roh Kudus. Manusia tidak mempunyai kemampuan mendengar Firman
Tuhan, dan karenanya mendengarkan firman; mendengar dan kapasitas untuk
mendengar adalah pemberian dalam satu tindakan oleh Roh Kudus.

44
Bagaimanakah Anda mencoba memahami penjelasan dua teolog besar
yang mewakili zaman klasik dan modern? Apakah penjelasan mereka dapat
dipahami secara tuntas? Dari refleksi kritis Anda, apakah yang dapat Anda
simpulkan tentang doktrin Allah Tritunggal? Silakan Anda mengumpulkan
informasi yang sebanyak-banyaknya mengenai doktrin Allah Tritunggal dari
buku-buku teologi dan sumber belajar yang lain.

Lebih jujur bila kita katakan bahwa kita tak seluruhnya bisa memahami misteri
Tritunggal itu, meskipun sudah ada berbagai upaya dilakukan oleh para teolog
dari dulu sampai sekarang. Bukankah sesungguhnya Allah walau sudah
menyatakan diri tetap saja merupakan misteri yang tak terselami dan tak
tuntas untuk dimengerti.
Bila ada orang percaya kepada Allah yang menyatakan diri dalam Yesus
Kristus, menurut Barth hal itu karena dinyatakan oleh Allah sendiri melalui Roh
Kudus karena pada dasarnya manusia berdosa tak mempunyai kemampuan
untuk melakukan hal itu. Segala bentuk penjelasan tentang Tritunggal tak
akan memuaskan rasio manusia apalagi dalam dunia yang sangat
mengagungkan penalaran. Apa yang kita butuhkan adalah iman yang bukan
bertentangan dengan rasio melainkan iman yang melampaui rasio kita. Setiap
orang bukan saja berkewajiban memahami apa yang dipercayai, tetapi itu juga
merupakan hak untuk menjelaskan apa yang dipercayai. Silakan Anda
merumuskan dengan cara sendiri bagaimana ajaran tentang Tritunggal itu
Anda mengerti! Yang jelas: Allah menyatakan diri-Nya secara amat kaya, baik
sebagai Bapa pencipta dan pemelihara, Anak sebagai penyelamat, dan Roh
Kudus sebagai pembaharu, dan semuanya menunjuk kepada Allah yang sama
dan satu.

Fenomena agama dinilai atau diukur dari ibadah atau ritual keagamaan apakah
memadai? Silakan Anda mengemukakan argumen Anda yang menunjukkan
bahwa agama tidak memadai bila hanya bila diukur dari ritual keagamaan.
Bagaimana pemahaman Anda sebagai orang percaya terhadap
kecenderungan pemisahan kedua hal ini?
Cobalah Anda membangun argumen sendiri mengapa pemisaan antara ibadah
agamawi tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari sikap dan tanggung jawab
moral/etis kita baik terhadap sesama, diri sendiri, dan alam ciptaan Tuhan!
Cobalah cari dasar-dasar Alkitab untuk membangun argumen Anda!

45
Pengalaman keberagamaan adalah sesuatu yang sangat pribadi, meskipun
praktik keberagamaan bisa saja bersifat komunal. Oleh sebab itu, Anda
dipersilakan untuk mengomunikasikan atau mendeskripsikan dengan bahasa
dan kata-kata sendiri mengena kepercayaan kepada Allah sebagai dialami dan
dihayati dalam pengalaman keberagamaan Anda. Silakan mengomunikasikan
beberapa pengalaman keberagamaan Anda kepada rekan-rekan sekelas.
Akan tetapi apa yang dipahami dan dihayati tentang Allah apalagi Allah
Tritunggal bukanlah sesuatu yang mudah untuk dideskripsikan dengan bahasa
dan kata-kata kepada orang lain.

Agama selalu berurusan dengan yang transenden atau dasar keberadaan yang
mutlak. Karena itu, semua agama mempunyai konsepnya sendiri-sendiri
tentang yang transenden atau dasar keberadaan yang mutlak itu. Dalam
kekristenan, yang transenden itu adalah Allah atau Tuhan yang menyatakan
diri secara sangat kaya. Misalnya, Allah Sang Pencipta yang sering disebut Bapa
sebagaimana diajarkan dalam Doa Bapa Kami oleh Tuhan Yesus.
Allah yang kita percayai adalah juga Allah Penyelamat dalam Yesus Kristus.
Rupanya kepercayaan ini mempunyai tempat yang sentral dalam kepercayaan
Kristen. Itulah sebabnya dalam Pengakuan Iman Rasuli, Ia mempunyai tempat
yang utama. Allah Penyelamat menyatakan hakikat-Nya sebagai kasih yang
berkorban, dengan menjelma menjadi manusia untuk dapat menanggung
hukuman dosa manusia. Karena itu, iman sebagai jawaban terhadap kasih
Allah memanggil manusia untuk mengasihi Allah melalui kasih kepada sesama
dan makhluk ciptaan-Nya. Keselamatan yang dikerjakan-Nya pada hakikatnya
membawa manusia kepada hubungan yang baru dengan Allah dan
persekutuan yang benar dengan-Nya, tetapi juga pembebasan dari segala
yang menghalangi kita menghayati kemanusiaan kita secara penuh.
Keselamatan merupakan pengalaman masa kini tetapi juga masa yang
akan datang. Keselamatan juga sangat komprehensif dan holistik artinya
tidak hanya bersifat spiritual, melainkan juga kesejahteraan manusia kini dan
di sini. Berita Injil yang diberitakan tidak hanya untuk keselamatan jiwa tetapi
juga pengalaman hidup yang bebas dari segala bentuk penindasan dan
dominasi. Injil adalah kabar baik yang menyeluruh untuk manusia seutuhnya.
Kita memberitakan Injil yang utuh untuk manusia yang utuh juga. Kita menolak

46
spiritualisasi keselamatan dalam arti bahwa keselamatan yang dikerjakan
Kristus hanya terbatas pada keselamatan jiwa, maupun pengertian bahwa
keselamatan adalah pengalaman nanti di seberang kematian.
Allah juga menyatakan diri sebagai Roh yang membaharui semua ciptaan dan
juga setiap individu yang percaya agar dapat menjalani hidup kekiniannya
dengan sukacita, damai sejahtera, kasih, keadilan dan sebagainya sebagai
dasar dari karakter kristianinya. Selain itu, janji untuk membaharui semua
ciptaan pada suatu kali kelak menjadi dasar pengharapan yang merupakan
daya penggerak sejarah untuk bekerjakeras mewujudkan apa yang
diharapkan dalam kekinian meskipun tak secara sempurna.

Carilah sejumlah ungkapan dalam Alkitab yang berbeda-beda tentang


bagaimana gambaran yang diberikan tentang Allah! Dari situ buatlah
kesimpulan sendiri tentang bagaimana Anda menyapa Allah dalam doa,
ibadah, dan puji- pujian! Presentasikan di depan kelas!

47
BAB III
MANUSIA MENURUT AJARAN KRISTEN

Pembicaraan tentang manusia adalah hal yang sangat pokok dan


sentral dalam kekristenan karena manusia ada di pusat kehidupan
beragamadan pengambilan keputusan etis. Pembahasan tentang manusia
dari perspektif Kristen dapat menolong kita untuk memahami berbagai aspek
dalam kehidupan beragama, bermasyarakat maupundalam pengembangan
ilmu dan teknologi modern, termasuk berbagai permasalahan yang muncul
dalam kehidupan manusia.

Sumber: http://www.slideshare.net/ijalmustofa/1hakekat-manusia

Pertama-tama harus diakui bahwa pertanyaan “siapakah manusia?” dalam arti


apa hakikatnya “menantang setiap masa atau abad.” Berbagai pihak apakah
dia filsuf, teolog, biolog, maupun sosiolog telah mencoba menjawab
pertanyaan itu dan masing-masing memberikan jawaban yang berbeda. Hal

48
itu sah-sah saja, karena memang setiap pihak berusaha memberi jawaban dari
perspektifnya masing-masing. Pada dasarnya jawaban terhadap pertanyaan
siapakah manusia akan membawa dampak atau konsekuensi serius bagi
berbagai aspek penting terutama yang berkaitan dengan sikap dan perlakuan
kita terhadap sesama maupun diri sendiri. Misalnya, bila manusia dianggap
sebagai “makhluk ekonomis” yang menghasilkan barang dan jasa, nilai
manusia tergantung pada produktivitasnya. Begitu pula, bila manusia diangap
sebagai makhluk biologis, perhatian utamanya adalah bagaimana memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat biologis dan kebutuhan-kebutuhan lain
dianggap tidak ada atau tidak penting.
Agama Kristen pun melalui para teolognya sepanjang abad telah juga
memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang hakikat manusia. Ini tidak
berarti bahwa pandangan para teolog Kristen bersifat seragam atau
monolitik. Ada perbedaan-perbedaan misalnya saja tentang arti
sesungguhnya dari ungkapan Alkitab, bahwa manusia diciptakan menurut
gambar Allah (imago Dei).
Pada bab III ini, Anda diharapkan mencapai empat belas tujuan
pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah (i)
bersyukur kepada Tuhan yang telah mencipta, menyelamatkan, memelihara
dan membarui ciptaan-Nya; (ii) bersikap rendah hati dan bergantung kepada
Tuhan yang diwujudkan antara lain dalam ibadah yang teratur; (iii)
menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh dan pembawa damai; (iv)
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam kepelbagaian agama,
suku dan budaya;(v) bersikap peduli terhadap sesama manusia; (vi) bersikap
jujur dan adil dalam kehidupan bermasyarakat; (vii) menganalisis ajaran
Alkitab tentang manusia sebagai ciptaan Imago Dei dan makhluk religius; (viii)
menganalisis ajaran Alkitab tentang manusia sebagai makhluk sosial,
rasional dan berbudaya; (ix) menerangkan dengan contoh bahwa manusia
adalah makhluk etis/moral berdasarkan ajaran Alkitab; (x) menganalisis arti
dosa baik personal dan sosial berdasarkan ajaran Kristen; (xi) menalar hasil
penelaahan ajaran Alkitab tentang manusia sebagai ciptaan Imago Dei dan
makhluk religius; (xii) menyajikan hasil penelaahan ajaran Alkitab tentang
manusia sebagai makhluk sosial, rasional dan berbudaya; (xiii)
menggunakan hasil penelaahan ajaran Alkitab tentang manusia sebagai
makhluk etis/moral; dan (xiv) mengkreasi peta konseptual dan/atau
operasional tentang dimensi dosa yang bersifat personal dan sosial menurut
ajaran Alkitab.

49
Sebelum kita membahas beberapa aspek penting dari hakikat manusia
berdasarkan kesaksian Alkitab, ada baiknya kita melihat beberapa pernyataan
modern tentang siapakah manusia itu. Silakan Anda mengamati beberapa
pandangan filsuf abad ke-20 tentang manusia dari buku-buku filsafat dan
sumber belajar yang lain! Hal ini penting karena karena kita hidup dalam
konteks kemodernan dan pandangan-pandangan yang berkembang
sedikit banyak memengaruhi pandangan kepercayaan. Kita hanya akan
melihat beberapa saja yang relevan. McDonald dalam bukunya The
Christian View of Man menyebutkan beberapa pemikiran modern yang
penting yang relevan dengan pengkajian kita (McDonald 1981, 115). Berbagai
pandangan yang relevan adalah sebagai berikut:

1. Manusia Komunis

Filsafat sosial dan politis komunis bersumber dari teori antropologis Karl Marx
(1818-1883). Pemahamannya mengenai hakikat manusia, menempatkan
manusia pada pusat kepentingannya, dan karena itu berpendapat bahwa
karena manusia adalah ciptaan dirinya sendiri, hanya manusia yang dapat
menjawab kepada dirinya sendiri, dan mampu dengan upaya sendiri
menemukan tujuannya dengan kebebasan yang absolut. Marx juga
menerima pendapat Ludwig Feuerbach bahwa “Allah orang Kristen hanya
suatu refleksi fantastis, suatu gambaran dalam cermin dari dirinya sendiri.”
Karena itu Marx percaya bahwa Allah adalah khayalan atau pemenuhan
kebutuhan manusia. Hanya dengan membersihkan diri sendiri dari pengertian
suatu hubungan dengan Allah, manusia mampu mengaktualisasikan dan
menjadi diri yang sesungguhnya. Silakan Anda mengamati dan menilai
pandangan Marx yang menyatakan manusia adalah ciptaan dirinya sendiri.
Ada tiga ciri dari antropologi Marxist. Pertama, manusia sebagai suatu produk
alami (natural): karena tiada Tuhan, ditolak juga pendapat bahwa manusia
adalah ciptaan yang khusus. Alternatif cerita asal kehidupan manusia ialah
hipotesis Darwin mengenai evolusi. Satu-satunya fakta adalah dunia materiil
yang dipersepsi oleh indra. Karena itu, pikiran adalah hasil produksi dari hal-
hal kebendaan, dan karenanya manusia adalah “a lump of thinking matter”
yang artinya bahwa manusia sekadar bongkahan bahan yang berpikir. Secara
esensial manusia adalah satu dengan alam. Dalam proses evolusi, manusia
tiba pada titik saat ia membedakan dirinya dari dunia binatang karena manusia
memiliki kemampuan membuat peralatan dan menggunakannya sebagai

50
organ tambahan untuk menguasai alam. Manusia dalam proses sampai pada
suatu titik saat mereka bisa mengatakan sesuatu satu terhadap yang lainnya.
Manusia tiba pada eksistensi sebagai makhluk sosial tergantung pada kerja
sosialnya. Silakan Anda mengamati dan menilai pandangan Marx yang
menyatakan manusia adalah “a lump of thinking matter”!
Kedua, manusia sebagai ciptaannya sendiri yang bekerja. Dalam istilah Marx,
manusia adalah “homo faber” (pembuat). Hakikatnya adalah untuk bekerja dan
menjadi pencipta. Manusia berkembang ketika ia mengubah tatanan alam
dalam kerjasama yang harmonis dengan spesies-spesies lainnya. Jadi bagi
Marx, kerja dianggap otonomi. Manusia adalah pekerja, dan karena itu, nilai
manusia juga tergantung pada produktivitasnya. Silakan Anda mengamati
dan menilai pandangan Marx yang menyatakan bahwa manusia adalah
“homo faber”!
Ketiga, manusia sebagai unit yang teralienasi. Ide alienasi adalah tema yang
terulang sejak Hegel dan filsafat pasca Hegelian, dan juga mempunyai
tempat yang sentral dalam antropologi masa kini. Bagi Marx, alienasi adalah
kategori kunci, dan ia menjelaskan hal itu dalam istilah sosio-ekonomis.
Yang menyebabkan manusia teralienasi adalah sistem hubungan dan nilai-
nilai kapitalis. Manusia menderita berbagai macam alienasi: dari hasil
produksinya sendiri, dirinya sendiri, dan dari sesamanya. Yang paling tragis
adalah alienasi dengan diri sendiri, yang membuat manusia menjadi tak
manusiawi secara total. Silakan Anda mengamati dan menilai pandangan Marx
yang menyatakan bahwa manusia sebagai unit yang teralienasi!

2. Manusia Humanis

Tak ada pola tunggal pemikiran humanis. Ia bisa mencakup eksistensialis,


ilmiah, positivisme, liberal atau popular yang kadang-kadang saling
bertentangan satu sama lain Dalam pengertian yang luas, humanisme
berpusat pada realitas manusia yang memberi manusia semua kepentingan
dan inspirasinya yang memadai/cukup. Semua humanis percaya bahwa
manusia adalah bentuk eksistensi yang paling tinggi dan, karenanya, adalah
satu-satunya objek yang pantas disembah dan dilayani. Humanisme adalah
suatu pengakuan akan rasa percaya kepada hakikat manusia yang menolak
ide tentang Allah sebagai hal yang perlu karena manusia bisa membentuk
kembali dirinya sendiri.
Amati dan bandingkanlah kedua pandangan tentang manusia di atas, manakah
yang lebih mengagungkan manusia, pandangan Marxisme atau humanisme?

51
Diskusikan dan sesudah itu bandingkanlah dengan pandangan yang
bersumber dari Alkitab! Amatilah di manakah posisi Tuhan dalam pemahaman
kedua pandangan di atas dalam hubungannya dengan hakikat manusia?

Ada anggapan bahwa hanya dalam relasi dengan Tuhan manusia


memahami hakikat kemanusiaannya dan menemukan arti serta tujuan
hidupnya. Seberapa benar pernyataan itu? Cobalah ajukan beberapa
pertanyaan kritis lainnya yang berkenaan dengan hakikat manusia! Pada
bagian berikut, kita akan membahas beberapa aspek mendasar dari kesaksian
Alkitab tentang hakikat manusia menurut pandangan Kristen.

1. Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah (lih Kej. 1 dan Kej. 2)

Bacalah dengan teliti cerita penciptaan manusia baik dalam Kejadian


pasal 1 maupun2! Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis setelah
membaca Kejadian pasal 1 dan 2. Bandingkanlah pemahaman Anda
dari bacaan tersebut dengan uraian berikut ini!

Fakta yang pertama dari kesaksian Alkitab tentang manusia adalah bahwa
manusia makhluk ciptaan Allah. Hal ini perlu ditegaskan untuk menolak
anggapan bahwa semua hal, termasuk manusia, terjadi dalam proses evolusi,
dan karenanya sulit untuk memberi landasan mengapa manusia adalah
makhluk pencari makna. Sebagai makhluk, ia tetap makhluk dan tidak pernah
menjadi sama dengan khaliknya. Apa implikasi kemakhlukan manusia?
Sebagai makhluk, pertama-tama, ia tergantung kepada Allah khalik dan
sumber kehidupannya. Sebagai khalik, Allah berdaulat atas hidup dan tujuan
hidup manusia. Karena itu, manusia yang menerima kemakhlukkannya akan
menerima kedaulatan Allah atas hidup dan tujuan hidupnya. Itulah sebabnya
secara hakiki, manusia selalu mendambakan relasi dengan-Nya. Sebagai
makhluk, manusia bukan saja tergantung kepada Allah sebagai sumber hidup,
tetapi bahwa Allah berdaulat atas hidup dan tujuan hidup manusia.

Alkitab menggambarkan hubungan manusia dengan Allah pencipta-Nya,


sebagai tanah liat di tangan penjunan. Allah berhak dan berdaulat untuk tujuan
apa benda-benda atau peralatan tanah liat yang dibuat-Nya. Demikianlah
manusia di tangan Allah pencipta, tujuan hidupnya ditentukan oleh khalik-Nya.
Agustinus, seorang teolog terkenal mengatakan bahwa “jiwaku gelisah
sampai aku menemukan kedamaian dalam Tuhan.” Ketika manusia menolak

52
kemakhlukkannya dan penciptaannya oleh Allah, tidak ada alasan apa pun
untuk mencarimakna hidup ini di luar diri sendiri atau masyarakatnya.

ALLAH

Manusia

Rasional/Ber
Imagodei Sosial Etis
budaya

Dalam hal ini Marx konsisten, karena ia menolak keberadaan Allah Pencipta, ia
juga menolak mencari makna dan hakikat manusia di luar diri manusia itu
sendiri.
Sebagaimana disampaikan pembahasan tentang penciptaan alam semesta
dan segala isinya, Alkitab menolak teori evolusi sebagai teori asal usul,
termasuk asal usul manusia, yang sejak awal manusia berbeda secara hakiki
dengan ciptaan Tuhan yang lain. Manusia tidak berasal dari kera! Manusia
bagaimanapun tetap ciptaan dan tak bisa menyamai penciptanya meskipun
dengan daya rasionalitas yang luar biasa apapun. Yang diciptakan tidak akan
menyamai pencipta, yang mencipta dari yang tidak ada menjadi ada (creatio ex
nihilo).

2. Manusia diciptakan menurut Gambar Allah (Imago Dei)

Salah satu aspek hakikat manusia berdasarkan ajaran Alkitab adalah bahwa
manusia diciptakan menurut gambar Allah. Gambar Allah inilah yang dikenal
dengan istilah “Imago Dei.”
Tradisi Kristen yang mendasarkan dirinya pada cerita Alkitab dalamKejadian 1,
telah menafsirkan makna kesegambaran manusia dengan Allah dengan
bermacam-macam arti. Hal ini bisa juga diartikan secara salah, seolah- olah
manusia mirip dengan Allah. Sebagai makhluk yang diciptakan, manusia akan

53
tetap berbeda dengan Allah Sang Pencipta. Sudah ada banyak arti diberikan
kepada konsep ini, antara lain sebagai wakil Allah di dunia, dalam arti
pelaksana atau mandataris Allah untuk tugas kebudayaan. Akan tetapi, tugas
mandataris menunjuk kepada relasi manusia dengan ciptaan yang lain serta
alam semesta ini. Pada zaman bapa-bapa Gereja ide ini ditafsirkan sebagai
kemampuan rasional manusia yang membedakannya dengan makhluk-
makhluk yang lain. Ada juga yang mengartikan kesegambaran itu sebagai
kemiripan dalam sifat-sifat Allah.
Dari berbagai arti yang ditawarkan oleh para ahli, arti yang paling mendasar
yakni: potensi/kemampuan manusia untuk berhubungan atau merespons
Allah, dan dalam arti ini manusia adalah makhluk religius. Manusia diciptakan
sebagai gambar Allah berarti manusia diciptakan sedemikian rupa untuk
menjadi pihak lain yang diajak komunikasi oleh Allah (Allah menyatakan diri
dan kehendak-Nya serta menuntut responsnya). Kenyataan bahwa Alkitab
menyatakan bahwa Allah berfirman/memberi perintah kepada manusia
adalah bukti bahwa manusia dengan satu dan lain cara dapat menyatakan
hubungannya dengan Allah. Penciptaan manusia sebagai gambar Allah
memungkinkan terjadinya sesuatu antara Allah dan manusia, yaitu makhluk
yang berhubungan dengan Allah dan kepada siapa Ia berfirman. Silakan Anda
mengamati dan menafsirkan Kej. 1:27! Lalu, Anda diberi kesempatan untuk
bertanya secara kritis setelah membaca Kej. 1:27
Implikasinya bagi tanggung jawab
manusia adalah bahwa manusia
selalu mendambakan relasinya
dengan Allah atau yang dianggap
Allah. Inilah yang kita sebut orientasi
religius manusia yang
memungkinkan fenomena agama
selalu hadir dalam sejarah umat
manusia: fenomena agama selalu
hadir dalam kehidupan manusia dari
dulu hingga sekarang. Fenomena
agama bisa mengalami
Sumber:
http://metouganda.blogspot.com/ kemerosotan, namun kesadaran
religius manusia dalam arti
kesadaran akan adanya suatu kodrat Ilahi di atas manusia yang penuh dengan
misteri yang tidak dapat secara tuntas diselidiki dan dipahami oleh manusia.

54
Kesadaran akan adanya kodrat Ilahi di atas manusia dan tak terbatas ini,
mendorong manusia untuk selalu kagum, takjub, dan rendah hati, yang
mendorong manusia untuk beribadah kepada-Nya.

Potensi ini dapat mengarah kepada yang positif yakni merespons dengan
percaya kepada Allah atau yang dianggap Allah, namun juga bisa mengarah
kepada yang negatif yakni penolakan dan penyangkalan akan eksistensi Allah
dengan segala konsekuensinya. Potensi ini sebagaimana potensi yang lain
perlu dipupuk, diarahkan serta dikembangkan agar dimanifestasikan secara
bertanggung jawab dan menuju kepada pertumbuhan yang sehat.
Kecenderungan untuk terus berorientasi kepada kodrat Ilahi di atas dirinya
itulah yang disebut “dimensi religius” dari manusia yang menjadikan manusia
makhluk religius. Jadi, ada kaitan erat antara manusia yang diciptakan
menurut gambar Allah dengan potensi religius/kesadaran religius yang
membuatnya sebagai makhluk religius. Silakan Anda menanya secara kritis
yang berkenaan dengan adanya kaitan erat antara manusia yang diciptakan
menurut gambar Allah dengan potensi religius/kesadaran religius yang
membuatnya sebagai makhluk religius!

3. Manusia sebagai Makhluk Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial menunjuk kepada kenyataan bahwa manusia


adalah tidak sendirian dan selalu dalam keterhubungan dengan orang lain dan
berorientasi kepada sesama (Kej.2:18). Perdebatan mengenai hakikat manusia
dalam dimensi individual dan kolektif telah berjalan lama yang menghasilkan
dua ideologi besar yang memengaruhi sistem kemasyarakatan, politik, dan
ekonomi dari penganutnya. Negara-negara dunia pertama yang sangat
mengagungkan dimensi individual dengan memperjuangkan kemerdekaan
dan kebebasan individu telah melahirkan sistem masyarakat dan ekonomi
yang kapitalis dengan ideologi pasar bebasnya. Ideologi ini berpendapat
bilamana manusia diberi kebebasan, manusia akan bekerja keras untuk
menjadi efisien, dan kalau semua bekerja efisien, semua akan maju. Jadi, pasar
bebas pada akhirnya akan memajukan semua. Benarkah? Atau dengan
ideologi ini jurang antara yang kaya dan miskin semakin menjadi lebar?
Manakah yang benar? Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan
dengan kebebasan individu telah melahirkan sistem masyarakat dan ekonomi
yang kapitalis.
Demikian juga pihak yang sangat mengagungkan dan menomorsatukan
dimensi sosial dari kemanusiaan telah melahirkan sistem kemasyarakatan

55
yang dikenal dengan sosialisme. Pada sistem ini hak-hak dan kebebasan
individu harus tunduk kepada kepentingan kelompok atau masyarakat.
Persaingan ideologis seperti ini telah terjadi dan dikenal dengan perang dingin.
Meskipun perang dingin itu kini telah berakhir dan kelihatannya sistem
kemasyarakatan dan ekonomi kapitalis tampak unggul, hal ini tidak berarti
bahwa pemutlakan dimensi individual manusia adalah suatu kebenaran
yang didukung oleh kekristenan. Bagaimanakah sesungguhnya sikap
Kristen yang bertanggung jawab dalam hal ini? Ajukanlah beberapa
pertanyaan kritis yang berkenaan dengan dampak mengagungkan dan
menomorsatukan dimensi sosial dari kemanusiaan telah melahirkan
sosialisme.
Teologi Kristen yang banyak berkembang di Barat tempat dimensi individu itu
sangat diunggulkan. Kita harus mengkritik terhadap segala bentuk privatisasi
ajaran Kristen yang fundamental seperti: privatisasi dosa dan keselamatan
maupun pemahaman diri yang sangat individualistik (Baum 1975, 196). Pada
Kitab Kejadian 2 dinyatakan bahwa tak baik kalau manusia itu sendiri, oleh
karena itu Allah menciptakan penolong yang sepadan. Hal ini tidak hanya
terbatas pada manusia jenis kelamin yang lain, tetapi juga bahwa manusia
sendirian adalah tidak baik. Allah menghendaki manusia hidup dengan
sesamanya.

Dorongan
untuk
membutuhkan

Manusia

Dorongan
untuk Dorongan
berinteraksi untuk belajar
sosial

REAKSI ATAS PENILAIAN


ORANG LAIN

Manusia sebagai Mahluk Sosial


Sumber: http://aabied.wordpress.com/2010/10/14/hakikat-manusia/

56
Ada ahli teologi bahkan yang mengatakan bahwa hanya dalam hubungan
dengan orang lain kita memahami dan menemukan hakika tkita sebagai
manusia. Hal ini membawa implikasi bahwa manusia selamanya dan selalu
berorientasi kepada sesamanya. Manusia tak tahan dalam kesendirian.
Orientasi kepada sesama juga menyebabkan lahirnya berbagai pranata dan
lembaga sosial (misalnya keluarga, komunitas darilokal sampai internasional,
maupun pranata politik, ekonomi, dan lain-lain). Dengan kata lain, lahirnya
berbagai pranata sosial merupakan konsekuensi logis dari penciptaan manusia
sebagai makhluk sosial. Orientasi kepada sesama manusia juga turut berperan
dalam berbagai tindakan religius dan pertimbangan serta pengambilan
keputusan etis. Itulah sebabnya orang tidak bisa beragama sendiri. Agama
selalu merupakan fenomena sosial, walaupun hubungan seseorang dengan
Tuhan, atau yang dianggap Tuhan sangat bersifat pribadi.
Inilah yang melahirkan komunitas iman: seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha
dll. Beragama tak bisa lepas dari komunitas, karena tak mungkin beragama
secara sendiri. Agama selalu punya dimensi sosial atau komunitas. Hal ini
sehat sejauh komunitas-komunitas dengan identitas agamawi yang berbeda-
beda tersebut tidak membangun tembok-tembok pemisah apalagi prasangka
dalam hubungan antarmereka.
Kita harus berhati-hati dengan pandangan yang memutlakkan dan
mengunggulkan dimensi sosial serta meremehkan dimensi individu, dan
karenanya jatuh ke dalam kolektivisme. Sebaliknya, ada juga pendapat yang
begitu mengutamakan dimensi individu di atas dimensi sosial, dan karenanya
jatuh ke dalam individualisme. Sikap yang lebih bertanggung jawab adalah
bahwa kita adalah individu dalam kolektivitas, ada keseimbangan antara
dimensi individu dan kolektivitas manusia. Individu tidak boleh dikorbankan
demi kolektivitas, sebaliknya kolektivitas tidak bisa diabaikan demi
individualitas. Kita dipanggil untuk percaya secara individu, namun kita juga
terpanggil untuk menjadi orang percaya dalam kolektivitas yang kita sebut
Gereja. Kita perlu memerhatikan pertumbuhan dan kepentingan individu,
sebaliknya kita juga bertanggung jawab untuk pertumbuhan bersama-sama.
Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Efesus 4:11-16, setelah itu,
ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang timbul.

57
4. Manusia sebagai Makhluk Rasional dan Berbudaya

Allah (menurut Alkitab) memberi perintah kepada manusia untuk memerintah,


menaklukkan serta memelihara alam semesta., menunjukkan adanya
hubungan yang tidak terpisahkan antara manusia dengan alam semesta ini.
Inilah yang biasanya disebut sebagai tugas kemandatarisan manusia
(manusia sebagai mandataris Allah) dalam arti pelaksana dan wakil Allah
dalam memerintah dan memelihara alam semesta ini. Jadi, berbudaya adalah
perintah atau mandat yang kita sebut dengan mandat kebudayaan. Mandat itu
hanya bisa dilaksanakan karena Tuhan memperlengkapi manusia dengan
potensi rasional (kemampuan rasional) yang menjadi salah satu ciri khas
manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lain, bahkan dengan
binatang paling cerdas sekalipun. Konsisten dengan tugas sebagai mandataris
Allah, manusia diperlengkapi oleh Allah dengan potensi rasional dan karena itu
dapat berbudaya. Ini juga salah satu keunikan manusia yang membedakan
manusia dengan ciptaan yang lain. Bahwa rasionalitas adalah keunikan
manusia ternyata dalam fakta bahwa kebudayaan manusia (dalam arti yang
sempit) sebagaibuah rasionalitasnya mengalami perkembangan maju, dan
perkembangan itu telah membawa kita pada apa yang dikenal dengan zaman
ilmu dan teknologi modern (lih. Kej. 1:16-18; Kej. 2:15). Dengan kata lain,
kemajuan manusia yang membawa manusia kepada abad ilmu dan teknologi
modern adalah konsekuensi logis dari rasionalitas manusia (penciptaan
manusia sebagai makhluk rasional), dan itu sesuai dengan kehendak Tuhan.
Hanya saja perlu dipertanyakan, untuk apa dan untuk siapa kemajuan kita
dalam bidang ilmu dan teknologi modern. Di sinilah berbagai macam isu etis
modern muncul yang membutuhkan pemikiran dan pergumulan yang serius.
Potensi akal ini sangat mengagumkan sehingga manusia bukan saja dapat
menciptakan teknologi modern, tetapi bahkan dapat memecahkan rahasia
yang selama ini belum terpecahkan termasuk bepergian ke planet yang lain.
Potensi ini juga sangat mengerikan, dan kita telah menyaksikan bahwa potensi
akal manusia yang luar biasa dapat menciptakan persenjataan modern dan
canggih yang cukup untuk menghancurkan planet bumi kita. Masih ingatkah
Anda akan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki? Apa
dampaknya? Dapatkah dibayangkan bahwa dahsyatnya potensi rasional
manusia itu bisa sangat positif dan bisa juga sangat negatif.
Dalam kekristenan, kita mengenal “Hukum Kasih” yakni yang kita sebut
“Hukum Utama.” Dalam hukum utama Tuhan Yesus menuntut agar
kita “mengasihi Allah dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa, dan

58
dengan segenap akal budi” (lih. Mat.22:37-38). Jadi, potensi rasional manusia
dengan segala produk dan hasilnya, perlu dipakai untuk mengasihi Allah juga.
Tanpa itu, kita akan berulang kali menyaksikan pemusnahan umat manusia
dan peradabannya seperti dalam pemboman Hiroshima dan Nagasaki pada
waktu yang lalu.

5. Manusia sebagai Makhluk Etis

Secara klasik, Alkitab menggambarkan bahwa manusia diberi “hukum”


(nomos) oleh Allah dalam bentuk larangan memakan buah pohon
pengetahuan hal yang baik dan jahat. Silakan Anda mengamati dan
menafsirkanKej. 2:17. Setelah itu, ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang
timbul. Nomos ini menempatkan manusia pada persimpangan jalan ketika ia
dapat memilih di antara dua alternatif. Dua alternatif itu adalah ketaatan atau
pelanggaran terhadap nomos (dapat juga berarti berbuat yang baik atau jahat).
Kesempatan untuk memilih ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai
kebebasan untuk memilih dari dua alternatif yang diperhadapkan kepadanya.
Dengan kata lain, manusia tidak secara determinatif harus memilih salah
satunya. Memang ada pandangan yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa
berbuat lain kecuali mengikuti nalurinya. Ajaran Kristen mengedepankan
adanya pilihan yang bebas, dan hanya karena adanya pilihan bebas itulah
manusia tidak saja bertanggung jawab atas pilihannya tetapi juga diminta
mempertanggungjawabkan pilihannya itu. Sebab tanpa pilihan bebas,
manusia tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab. Kesadaran untuk
membedakan yang baik dan yang jahat menunjuk kepada hakikat manusia
sebagai makhluk etis. Ajukanlah beberapa pertanyaan kritis Anda yang
berkenaan dengan manusia sebagai makhluk etis!
Bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk etis berarti manusia mempunyai
kesadaran etis: kesadaran untuk membedakan mana yang baik dari yang
buruk, yang benar dari yang salah, dan yang bertanggung jawab dari yang
sebaliknya. Manusia tidak hanya dilengkapi dengan kesadaran etis, tetapi juga
dilengkapi dengan kebebasan untuk memilih dari alternatif baik dan buruk,
benar dan salah, bertanggung jawab dan tidak bertanggung jawab. Hanya
apabila manusia mempunyai kebebasan etis (memilih secara etis), manusia
dapat dituntut pertanggungjawaban etis. Dengan demikian, kita dapat
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk etis dalam arti sebagai berikut.
Pertama, manusia mempunyai kesadaran etis yakni kesadaran untuk
membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang

59
bertanggung jawab dan yang tidak bertanggung jawab. Kedua, manusia
mempunyai kebebasan etis yakni memilih secara bebas dari alternatif di atas.
Ketiga, manusia mempunyai pertanggungjawaban etis, yakni bertanggung
jawab atas pilihannya.

Sumber: http://www.dreamstime.com/royalty-free- stock-images-wrong-right-ethical-question-

Untuk sementara kita dapat menarik beberapa simpulan dari uraian tersebut.
Dari deskripsi tentang hakikat manusia di atas, kita dapat memahami mengapa
Kitab Kejadian 1:31 mengatakan “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-
Nya itu, sungguh amat baik….” Dari deskripsi tersebut kita juga dapat menarik
simpulan bahwa pada dasarnya manusia ditempatkan oleh Allah dalam
hubungan multidimensional (hubungan yang berdimensi banyak): yaitu
dengan Allah, sesama manusia, diri sendiri, dan dengan alam semesta. Karena
manusia juga adalah makhluk etis, setiap dimensi hubungan itu mempunyai
konsekuensi dan tanggung jawab etis. Ada tuntutan dan tanggung jawab etis
manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesama, diri sendiri, dan alam
semesta. Dari sini, kita mencoba menarik suatu “ultimate principle” yang
berhubungan dengan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dalam merangkum
berbagai hukum dan kebajikan dalam suatu prinsip pokok: “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu ... Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”
(Mat.22:37, 39b). Dengan memerhatikan ajaran Tuhan Yesus seperti tertulis
dalam kitab-kitab Injil dan ajaran para rasul, kita dapat juga merumuskan

60
kedua hukum kasih dengan satu hukum saja: kasih kepada Allah melalui kasih
kita kepada sesama dan alam ciptaan Tuhan. Tuhan Yesus mengidentifikasikan
dirinya dengan mereka yang menderita, telanjang, sakit dan dalam penjara (lih.
Mat. 25:31-46). Rasul Yohanes malah mengatakan bahwa mereka yang
mengatakan mengasihi Allah tetapi membenci saudaranya (sesamanya)
adalah suatu kebohongan (lih. 1 Yoh. 4:20). Dalam Perjanjian Lama, Nabi Mikha
mengecam ibadah kepada Tuhan yang tak disertai dengan berlaku adil
terhadap sesama manusia. Silakan Anda mengamati dan menafsirkan Mikha
6:1-8. Setelah itu, ajukanlah beberapa pertanyaan kritis yang muncul!
Kita hidup dalam suatu dunia yang penuh dengan kontradiksi. Bagaimana
mungkin dunia dan manusia yang digambarkan begitu luar biasa di atas,
ternyata dalam kenyataan hidup kini penuh dengan peperangan,
kekerasan, yang dimotivasi oleh keserakahan, pementingan diri, dan
kebencian? Hal ini membawa kita kepada pokok antropologi lain yakni bahwa
manusia, menurut kesaksian Alkitab adalah makhluk berdosa.

Yang dimaksudkan paradoks adalah pada satu sisi penciptaan manusia


sebagai makhluk religius, sosial, rasional dan berbudaya serta etis
menunjukkan sisi keagungan manusia dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan
Tuhan yang lain. Kitab Kej. 1:31 mengatakan: “maka Allah melihat segala
sesuatu yang dijadikan- Nya itu, sungguh amat baik.” Pada sisi yang lain, kita
juga belajar atau menyaksikan dan bahkan mengalami sendiri sisi-sisi kelam
dari kehidupan manusia. Berapa perang yang terjadi karena alasan agama atau
ideologi? Berapa banyak koruptor di tanah air ini yang tega memperkaya diri
dan membuat orang lain menderita? Berapa banyak orang tamak yang hanya
menumpuk kekayaan sendiri kalau perlu dengan eksploitasi orang lain atau
alamini? Apakah kata-kata Mahatma Gandi masih mempunyai arti: “the earth
provides enough for everybody’s need but not for everybody’s greed.” Kita
umumnya tahu juga apa yang baik yang seharusnya kita lakukan tetapi kita
tidak berdaya melakukannya bahkan yang sebaliknya yang kita lakukan (lih.
Rm 7: 21-24). Inilah paradoks kehidupan manusia. Lalu bagaimana
menjelaskannya? untuk membedakan yang baik dari yang jahat, yang benar
dari yang salah, serta memiliki kebebasan untuk memilih melakukan yang baik
atau yang jahat. Hal-hal ini adalah kemampuan-kemampuan yang bersifat
netral dan terdapat pada pengalaman manusia. Semua yang diuraikan di atas
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia dan baik. Lebih dari

61
itu, manusia juga mempunyai kemajuan yang mengagumkan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mempermudah hidup manusia,
dan menjadikan hidupnya lebih manusiawi. Anehnya pada sisi lain, manusia
juga dihadapkan pada berbagai permasalahan akibat berbagai ulahnya sendiri
yang tidak bertanggung jawab. Paradoks ini membawa kita kepada pertanyaan
mengapa? Banyak jawaban diberikan oleh berbagai disiplin ilmu pengetahuan,
maupun filsafat, termasuk juga agama.

Dalam kekristenan dipercayai bahwa paradoks ini terjadi karena manusia telah
jatuh ke dalam dosa (lih. Kej. 3). Silakan Anda mengumpulkan informasi dari
buku-buku dan sumber belajar yang lain yang menunjukkan bahwa paradoks
ini terjadi karena manusia telah jatuh ke dalam dosa. Dosa dipahami bukan
sekadar pelanggaran moral, tetapi sikap memberontak kepada Allah, yakni
menolak otoritas Allah yang menentukan tujuan hidup manusia. Dosa dapat
dikatakan sebagai pelanggaran terhadap kehendak Allah seperti tercermin
dalam hukum utama-Nya. Dosa memang mengandung konsekuensi-
konsekuensi etis dan moral dalam berbagai dimensi hubungan manusia:
dalam hubungan dengan sesama, diri sendiri, dan alam semesta. Inilah yang
sering kali disebut sebagai persoalan-persoalan etis yang rumit dan
menentukan kelangsungan hidup planet bumi dan masyarakat kita. Memang
dosa mengambil bentuk dalam dosa pribadi tetapi juga dosa sosial. Dalam
tradisi agama, lebih banyak ditekankan dosa pribadi dibandingkan dengan
dosa sosial. Kita perlu mengakui dosa-dosa pribadi kita dan juga dosa kolektif
atau sosial. Dosa pribadi seperti ketamakan dapat membawa konsekuensi
penderitaan sesama, namun dosa sosial berupa sistem dan struktur yang tidak
adil bahkan lebih merusak dan membawa konsekuensi yang lebih berat bagi
lebih banyak orang. Silakan Anda mengumpulkan informasi lebih lanjut
mengenai contoh-contoh dosa pribadi dan sosial!
Karena hakikat manusia sebagai makhluk sosial, dosa tidak dapat dibatasi
hanya sebagai dosa pribadi/individu, tetapi juga harus dipahami sebagai dosa
sosial. Gregory Baum dalam Religion and Alienation, mengartikan dosa sosial
dalam kaitan dengan pelakunya: yakni kolektivitas suatu kelompok, suatu
komunitas, suatu umat. Jadi, yang dia maksudkan dosa sosial ialah dosa yang
dihasilkan tanpa sengaja atau pilihan bebas. Dosa tersebut menghasilkan
konsekuensi yang jahat tetapi pelakunya tidak merasa bersalah dalam
pengertian yang biasa. Jadi, dosa sosial dilakukan karena
kebutaan/ketidaksadaran kolektif. Orang terlibat dalam tindakan destruktif
tanpa menyadarinya.

62
Masyarakat mampu tetapi tidak membayar pajak, merupakan salah satu bentuk dosa sosial
yang dapat merusak tatanan ekonomi negara.
Sumber: poskotanews.com

Dalam kaitan itu, Baum (1975, 201) juga mencoba mendeskripsikan dosa
sosial dalam berbagai level atau tingkatan. Tingkatan pertama dari dosa sosial
terdiri atas kecenderungan-kecenderungan yang tidak adil dan tidak
manusiawi (dehumanizing) yang terbangun dalam berbagai institusisosial,
politis, ekonomi, agamawi, yang merupakan perwujudan dari kehidupan
kolektif manusia. Pada saat kita melakukan pekerjaan harian, kita memenuhi
kewajiban-kewajiban kita, kecenderungan yang destruktif yang terbangun
dalam institusi kita, akan merusak semakin banyak orang dan akhirnya
menghancurkan kemanusiaan kita. Kejahatan sosial ini bisa saja berjalan terus
tanpa benar-benar disadari. Konsekuensinya, butuh waktu yang lama untuk
disadari.
Tingkatan kedua dari dosa sosial mengambil bentuk simbol-simbol kultural
dan agamawi, yang hidup dalam imajinasi dan didukung oleh masyarakat,
yang membenarkan serta memperkuat (reinforce) lembaga-lembaga
(institutions) yang tidak adil, dan karena itu memperburuk kerugian/ kerusakan
terhadap banyak orang. Lagi-lagi dalam hal inipun kita tak menyadari
akibatnya.
Tingkatan ketiga, dosa sosial merujuk kepada kesadaran palsu yang diciptakan
oleh institusi-institusi dan ideologi-ideologi yang digunakan umat untuk
melibatkan diri mereka secara kolektif, dalam tindakan-tindakan destruktif
seolah-olah mereka melakukan hal yang benar. Kesadaran palsu ini

63
meyakinkan kita bahwa kejahatan yang kita buat adalah justru hal yang baik
untuk menjaga tujuan demi kesejahteraan bersama.
Menurut Baum, contoh-contoh dari masyarakat kita sendiri misalnya orientasi
“achievement” (pencapaian/kesuksesan) dari budaya dominan, spiritnya yang
individualistis dan kompetitif, dan juga arogansi kolektif tentang
pemahaman diri sendiri bersama dengan rasismenya. Sudah tentu kesadaran
palsu ini ada atau mengambil bentuk dengan intensitas yang bermacam-
macam derajatnya, mulai dari identifikasi total dengan tren dominan dari
masyarakat, termasuk semua efek sosialnya, ke pembuatan jarak yang
semakin lebar dengan tren-tren tadi serta kesadaran yang semakin
bertumbuh tentang ketidakadilan di dalamnya. Pada tingkat inilah perlawanan
kita terhadap dosa sosial mulai. Banyak ahli mengkaitkannya dengan kritik
ideologi, atau dalam bahasa Freire, konsientisasi. Secara kristiani, di sini,
bilamana seseorang terbuka pada pekerjaan Roh Kudus, dia dimampukan
untuk menyadari dan berpaling dari ketidakadilan yang terjadi tanpa sadar di
dalam masyarakatnya. Pada level tiga inilah terjadi pertobatan menurut Baum.
Tingkatan keempat, pada tingkat ini dosa sosial terdiri dari keputusan-
keputusan kolektif, yang diperkuat oleh kesadaran yang didistorsi, yang
meningkatkan ketidakadilan dalam masyarakat dan memperkuat kekuasaan
dari tren-tren dehumanisasi. Keputusan-keputusan kolektif oleh parlemen,
atau pengurus yayasan baik sekuler maupun agamawi, tampaknya seolah
didasarkan pada pilihan bebas. Dosa dapat mengambil bentuk secara sosial
dan struktural, misalnya dengan berbagai ketidakadilan yang ada dalam
berbagai tatanan sosial kemasyarakatan dalam bidang ekonomi, politik,
kebudayaan, hubungan antaragama, dan lain-lain.
Cobalah Anda diskusikan pemahaman tentang dosa sosial ini, serta berilah
contoh-contohnya pada setiap level dalam konteks masyarakat kita
atau komunitas iman kita! Silakan Anda mengumpulkan informasi lebih lanjut
dari buku-buku dan sumber belajar yang lain mengenai contoh-contoh
dosa sosial pada setiap level dalam konteks masyarakat kita atau komunitas
iman kita dan dampak dari dosa sosial.

Bagaimanakah Anda membangun argumen bahwa hubungan yang rusak tadi


dapat diperbaiki dan dibaharui? Argumen di bawah hanyalah sekadar contoh
saja. Yang lebih penting Anda sendiri membangun argumen Anda sendiri

64
berdasarkan pemahaman Anda tentang karya penyelamatan Allah dalam
Yesus Kristus!
Alkitab tidak mengakhiri kesaksiannya dan meninggalkan manusia dalam
kegelapan yang tidak berpengharapan. Alkitab menyaksikan bahwa ada
pengharapan akan kemungkinan restorasi hubungan-hubungan yang telah
rusak oleh dosa. Konsisten dengan kepercayaan akan Allah sebagai
penyelamat dan pembaharu, kekristenan percaya akan penyelamatan dan
pembaharuan relasi dengan Allah melalui Kristus dan Roh-Nya. Keselamatan
tidak boleh dipahami hanya bersifat individual dan di seberang sana tetapi juga
dipahami secara sosial, dan berlaku kini dan di sini. Orang Kristen terpanggil
untuk menolak berbagai ketidakadilan dalam tatanan sosial (sosial, ekonomi,
politik) dan memperjuangkan adanya keadilan di dalamnya sehingga ada
perdamaian.
Coba Anda baca 2 Korintus 5:18-21! Bagaimanakah perbaikan hubungan itu
terjadi? Inisiatif siapakah yang utama? Apa dampak pendamaian dengan
Allah terhadap tanggungjawab kita untuk tugas pendamaian yang
dipercayakan Tuhan kepada kita? Apa saja dimensi dari pendamaian itu?
Silakan Anda membangun argumen yang solid bahwa manusia
dimungkinkan untuk membaharui hubungan dengan Allah, sesama dan alam
ciptaan.

Salah satu aspek yang penting dalam membicaraan manusia dan


hakikatnya adalah manusia dan pengharapannya. Akhir-akhir ini ada tekanan
yang kuat tentang dimensi pengharapan baik dalam pemikiran filosofis
maupun dalam teologi. Maksudnya adalah hakikat manusia harus dikaitkan
dengan pengharapannya. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang
berharap akan masa depan yang lebih baik. Karena itu perlu mencari deskripsi
mengenai tekanan ini dalam dua tokoh penting yakni orang ateis seperti Ernst
Bloch dan orang beriman seperti Jurgen Moltman.
Ernst Bloch seorang filsuf ateis berpendapat bahwa manusia hidup dalam
suatu dunia yang sedang menjadi, yang belum terjadi. Karena itu, selalu ada
kemungkinan baru. Manusia pada dirinya sendiri adalah makhluk dengan
bermacam kemungkinan (creature of possibility). Ia dapat menciptakan dunia
yang lebih baik bagi dirinya dan dia sendiri menjadi keberadaan yang lebih baik
tanpa batas (McDonald 1981, 123-124).

65
Teolog ternama Jurgen
Moltman dengan Theology of
Hope dipengaruhi oleh
prinsip pengharapan dari
Bloch. Teologi-teologi yang
lebih awal memandang
penggenapan dari
pengharapan eskatologis
melulu merupakan tindakan
dan karunia Allah. Moltman
justru sebaliknya memberi
tempat kepada peranan
Sumber:http://grannymountain.blogspot.com/2010/0 manusia untuk mewujudkan
7/future-past-or-present.html
pengharapan eskatologis
tersebut, bukan saja pada dunia di seberang sana, melainkan juga kini dan di
sini. Artinya, bahwa pengharapan eskatologis tidak hanya menyangkut
keselamatan jiwa saja di seberang sana, tetapi juga perdamaian, keadilan,
kebebasan dari penindasan harus diusahakan diwujudkan kini dan di sini
meskipun penyempurnaannya adalah karya Tuhan. Jadi, pengharapan itu
menjadi kekuatan penggerak sejarah untuk mewujudkan apa yang diharapkan
kini dan di sini atau dalam bahasa Moltman “membawa masa depan yang
diharapkan ke masa kini.” Tentu saja pengharapan itu tidak melulu dengan
kekuatan dan kehebatan manusia tetapi dalam persekutuan dengan
Tuhan. Bila tidak, pengharapan Kristen akan menjadi ideologis secara
peyoratif (negatif) bagaikan candu bagi mereka yang menderita
ketidakadilan. Silakan Anda mengomunikasikan pemikiran Anda terhadap
pandangan Ernst Bloch dan Jurgen Moltman.

Kita telah menelusuri, menanya dan menggali dari berbagai sumber khususnya
sumber Alkitab dan tradisi teologi Kristen mengenai siapakah manusia dalam
pandangan Kristen. Singkatnya dapat dikatakan bahwa manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang dikaruniai hakikat sebagai makhluk religius yang
selalu sadar akan adanya kodrat ilahi. Manusia juga sebagai makhluk sosial
yang selalu berorientasi kepada sesama. Hal ini seharusnya membuat kita
melihat sesama sebagai sesama dalam hubungan antar subjek bukan subjek
dengan objek dan bebas dari dominasi. Manusia juga adalah makhluk rasional
yang berbudaya dan perkembangan kebudayaan sudah mencapai tingkatnya

66
yang sangat canggih, namun rentan dipakai secara salah. Karena itu, harus
dipakai secara bertanggungjawab karena memang manusia adalah juga
makhluk etis. Namun dosa membuat keagungan manusia ternodai, dan
membawa dampak rusaknya relasi dengan Tuhan, sesama, diri sendiri serta
alam yang tampak dalam berbagai patologi sosial dan alam. Kabar baiknya
adalah bahwa manusia dimungkinkan hidup dalam relasi yang diperbaharui
oleh karena penyelamatan Allah dalam Kristus dan Roh Kudusnya. Sebagai
makhluk yang mempunyai pengharapan, pengharapan kepada Allah harus
menjadi kekuatan penggerak sejarah untuk mewujudkan apa yang diharapkan
kini dan di sini meski diakui tidak akan sempurna karena penyempurnaan
adalah karya dan anugerah Tuhan.

Buatlah suatu puisi atau syair yang menggambarkan kepercayaan Anda


tentang siapakah manusia itu berdasarkan kesaksian Alkitab! Carilah contoh
sebanyak mungkin mengenai pokok-pokok ajaran tentang manusia dari
perspektif Alkitab atau Kristen. Presentasikan di depan kelas!

67
BAB IV
ETIKA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
KRISTIANI

Setiap hari dan setiap saat dalam kehidupan yang sadar, kita selalu dihadapkan
dengan berbagai pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Tentu saja pilihan-pilihan tersebut terjadi dalam berbagai bidang kehidupan,
seperti makan apa, pakai apa, belajar apa, pergi ke mana dan sebagainya. Dari
berbagai pilihan tersebut, tidak semua pilihan berkaitan dengan masalah etika,
tetapi bisa jadi berkaitan dengan selera, kesukaan dan atau yang lain. Tidak
dapat disangkal bahwa banyak sekali pilihan yang kita hadapi adalah pilihan-
pilihan dalam bidang etika yakni
berkaitan dengan apa yang baik,
benar, bertanggungjawab atau
sebaliknya.
Pilihan dan keputusan etis tentu
saja sangat penting dalam
kehidupan manusia karena
bukan hanya berkaitan dengan
kepentingan diri sendiri,
melainkan juga berkaitan dengan Sumber:
http://thepropheticbooksofbible.org/all-
kepentin gan orang banyak yang aboutchristianity/
lain dan bahkan berkaitan dengan bible-study-lesson-on-fruit-of-the-spirit
kelestarian alam lingkungan
hidup. Apalagi bagi mereka yang mempunyai jabatan publik, keputusan dan
kebijakannya sangat menentukan kehidupan banyak orang, dan karenanya
tuntutan dan pertimbangan etis sangat penting.

68
Pejabat publik yang amanah selalu membuat kebijakan pembangunan yang ditujukan untuk
sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat karena dana pembangunan diperoleh
dari rakyat melalui pajak (Sumber: finance.detik.com)

Seorang ahli etika yang bernama David W. Gill mengatakan bahwa kini kita
hidup dalam suatu masa yang sulit ketika orang tidak sepakat mengenai apa
yang baik dan buruk, bukan saja di kalangan akademisi, filsuf, tetapi juga pada
akar rumput. Dalam ketidaksepakatan itu muncullah saling menyerang dan
menyalahkan bahkan dengan cara- cara yang kasar (Gill 2000, 12-13).

69
Karena itulah, perlu pengkajian yang lebih saksama apa sesungguhnya yang
baik dan benar, dan bagaimana hal itu terbangun dalam diri kita menjadi
karakter. Karakter menjadi sangat penting bukan saja bagi individu dan
keluarganya, tetapi juga bagi masyarakat dan bangsa. Bangsa yang kuat
hanya mungkin, bilamana karakter masyarakatnya juga kuat termasuk
pemimpinnya.
Dalam bab ini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan etika dan
moralitas, serta karakter kristiani. Sesudah mempelajari bab ini Anda
diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran. Adapun tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai adalah (i) mengembangkan sikap kasih
kepada Tuhan sebagai Pencipta, Penyelamat, Pemelihara dan Pembaru
ciptaan-Nya; (ii) menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh dan pembawa
damai; (iii) menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam
kepelbagaian agama, suku dan budaya; (iv) bersikap peduli terhadap sesama
manusia; (v) bersikap jujur dan adil dalam kehidupan bermasyarakat; (vi)
bersikap terbuka untuk bekerja sama dengan semua pihak dalam rangka
mendatangkan kebaikan bersama; (vii) menjelaskan hubugan iman Kristen
dengan etika/moralitas dan karakter Kristiani; serta (viii) menyajikan hasil
telaah tentang hubungan iman Kristen dengan moralitas dan karakter
Kristiani.
Hal-hal yang dibahas dalam bab ini adalah pengertian etika dan moralitas,
teori-teori yang berkaitan dengan bagaimana orang membangun nilai sebagai
standar atau norma menilai perilaku dan motivasi manusia, berbagai macam
pengelompokkan etika berdasarkan sumber normanya, hubungan antara
pandangan tentang manusia dan nilai moral, prinsip utama dalam etika
Kristen, dan keputusan etis dalam kasus yang bersifat dilematis. Bagian kedua
yang sama pentingnya adalah pengertian karakter, hubungan karakter dan
moralitas, dan elemen karakter (character traits) yang perlu dibangun.

Silakan Anda mengamati dan menilai pengertian etika dan moralitas yang
terdapat dalam buku-buku etika! Apa pengertian etika dan moralitas? Kata
etika berasal dari bahasa Yunani ethos dan ‘ethos atauta ethika dan ta
‘ethika.
Kata ethos berarti kebiasaan atau adat dan tentu saja yang sesuai kebiasaan
dan adat dianggap baik. Sedangkan ‘ethos dan ‘ethikos lebih berarti kesusilaan,

70
perasaan batin, atau kecenderungan hati yang menyertai seseorang terdorong
untuk melakukan suatu perbuatan (Verkuyl 1993, 15).
Kata etika muncul pertama kali dalam buku Etika Nikomachea yang dikarang
oleh Aristoteles, seorang ahli filsafat Yunani. Buku tersebut memuat kaidah-
kaidah perbuatan manusia. Dari buku itu, kata etika menjadi istilah teknis
khusus untuk “ilmu pengetahuan yang mempelajari/menyelidiki soal kaidah-
kaidah dalam rangka mengukur perilaku dan perbuatan manusia.”
Untuk mendefinisikan apa itu etika, ada baiknya terlebih dahulu dibedakan
antara pertimbangan etis dan nonetis. Bilamanakah suatu pertimbangan itu
berkaitan atau tidak berkaitan dengan etika.
Sebagai contoh pertimbangan
dan keputusan seseorang untuk
memilih makan nasi goreng
atau KFC didasarkan pada
pertimbangan etis? Bisa ya, bisa
tidak. Tidak merupakan
pertimbangan etis bila tindakan
itu semata-mata didasarkan
pada pertimbangan selera. Jadi,
seseorang yang memilih makan
nasi goreng dan bukan KFC tidak
bisa kita adili, apakah dia itu baik
atau jahat. Bila pertimbangan untuk makan nasi goreng dan bukan KFC
didasarkan pada pertimbangan kesehatan, karena menjaga kesehatan,
tindakan itu adalah tindakan yang dianggap bertanggungjawab. Dengan
contoh ini, jelaslah bahwa pertimbangan dan keputusan etis adalah
pertimbangan dan keputusan yang terkait dengan masalah baik, benar atau
bertanggungjawab atau sebaliknya. Pertimbangan nonetis adalah
pertimbangan yang didasarkan bukan pada pertimbangan baik, benar,
bertanggungjawab atau tidak, melainkan didasarkan pada, misalnya: selera
makan atau mode pakaian dan sebagainya.
Hal ini berbeda dengan ungkapan “sikap/tindakan etis dan tindakan yang tidak
etis.” Keduanya adalah sikap dan tindakan yang didasarkan pada
pertimbangan etis. Yang pertama bermakna bahwa sikap dan tindakannya itu
baik secara etis, sedangkan yang kedua adalah sikap dan tindakannya itu
tidak baik secara etis.

71
Apakah penilaian etis itu hanya sebatas perilaku yang kelihatan? Bagaimana
suatu tindakan yang kelihatannya baik tetapi didorong oleh motivasi
menginginkan pujian atau motivasi tersembunyi yang bersifat egoistis?
Masihkah kita menilai perilaku yang kelihatan itu suatu hal yang baik jika
akhirnya ketahuan bahwa motivasinya hanya ingin mencari pujian atau
mempunyai kepentingan pribadi? Tentu saja tidak. Apa yang dinilai baik, tidak
sebatas terhadap perilaku yang kelihatan saja melainkan juga motivasi yang
mendorong perilaku itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kaitan ini,
masih perlu dibedakan lagi antara istilah baik dan benar sebab baik dan benar
tidak selalu berkonotasi etis. Misalnya dalam ungkapan bahwa “apel ini
masih baik” atau dalam ungkapan “2+2= 4 adalah benar” keduanya tidak ada
konotasi etis.
Dengan demikian, disimpulkan bahwa penilaian dan pertimbangan etis itu
selalu berkaitan dengan penilaian atau pertimbangan mengenai baik, benar,
bertanggungjawab atau sebaliknya, tentang perilaku dan motivasi manusia.
Karena itu, sebagai ilmu, etika didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari
nilai- nilai atau norma-norma sebagai dasar untuk menilai perilaku dan
motivasi manusia itu dikatakan baik, benar, bertanggungjawab atau
sebaliknya. Definisi lain yang diberikan oleh Albert Schweitzer yakni “etika
adalah nama yang kita berikan kepada keprihatinan kita untuk perilaku yang
baik. Kita merasa suatu kewajiban untuk mempertimbangkan bukan saja
kesejahteraan diri kita sendiri, namun juga orang-orang lain bahkan
masyarakat manusia secara keseluruhan” (Ryan dan Bohlin1999, ix). Dimensi
studinya yang serius tidak ditampakkan, namun saya yakin bahwa ada dimensi
itu apabila seseorang sungguh prihatin. Pandangan Gill mungkin lebih
menolong karena ia membedakan antara an ethic dengan ethics dalam bahasa
Inggris. Maksudnya an ethic ‘suatu etika’ (yang sama dengan suatu moralitas)
adalah “a working set of guidelines concerning what is good and bad (or evil),
right and wrong, sedangkan maksud ethics (or moral philosophy) is the serius
study of such guidance and its justification (Gill 2000,12). Silakan Anda
mengamati dan menilai perbedaan antara definisi etika yang dikemukakan
oleh Albert Schweitzer dan Gill! Gill membedakan “suatu etika” (suatu etika
atau moralitas) sebagai suatu perangkat penuntun tentang apa yang baik dan
buruk/jahat, benar dan salah, sedangkan studi yang serius terhadap penuntun
itulah disebut etika (ethics atau disebut juga moral philosophy). Penulis lebih
suka menyebut “an ethic” sebagai “suatu sistem etika” seperti sistem etika
Kristen, sistem etika Hindu, sistem etika Buddha, sistem etika Islam (sistem
etika-sistem etika teologis), begitu pula sistemetika yang bersumber dari

72
filsafat. Masing-masing sistem etika sudah tentu mempunyai seperangkat
penuntun (guidelines) untuk menilai tentang apa yang baik atau jahat, yang
benar atau yang salah, yang bertanggungjawab atau sebaliknya.

Sumber: http://thepastwithanewoutfit.wordpress.co m/2010/12/26/golden-rule/

Dalam sistem etika Kristen, ada sangat banyak perangkat penuntunnya,


meskipun dapat juga didasarkan pada “prinsip utamanya” atau “golden rule”
(kaidah kencananya) saja. Silakan Anda mengamati dan menilai sistem etika
Kristen yang berlaku hingga dewasa ini!

Silakan Anda mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang berkenaan dengan


cara manusia membangun norma untuk membuat penilaian moral! Misalnya,
bagaimanakah caranya manusia membangun kaidah atau norma penilaian
moral? Pertanyaan seperti ini sebenarnya telah menggiring kita untuk studi
yang lebih serius tentang “penuntun” penilaian moral. Pada bagian kedua
kita telah memasuki wilayah etika sebagai ilmu atau disebut filsafat moral.
Bila manusia tidak bisa tidak harus melakukan penilaian moral atau etis,
dari manakah norma penilaian itu? Atau, bagaimanakah norma itu dibangun?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut pembicaraan beralih pada
beberapa teori dalam rangka pembangunan kaidah atau norma penilaian etis.
Beberapa akan kita bahas dalam bagian ini.
Bila etika sebagai ilmu mempelajari norma-norma sebagai ukuran untuk
menilai secara etis (menilai baik, benar dan bertanggungjawab),
pertanyaannya adalah bagaimanakah orang membangun normanya/penilaian
etisnya? Dalam kaitan itu maka ada dua kategori teori yang berbeda yakni yang
oleh filsuf moral disebut teori teleologis dan teori deontologist (Wagner1991,
1-13).

73
1. Teori Teleologis

Teori Teleologis adalah teori yang berpendapat bahwa kebaikan atau


kebenaran itu ditentukan oleh tujuan yang baik (telos = tujuan). Jadi, kalau
seseorang mempunyai tujuan yang baik yang mendorong suatu tindakan
apapun tindakan itu pasti dinilai baik, melulu karena tujuannya baik. Namun
muncul pertanyaan: tujuan yang baik untuk siapa? Untuk pelakunya kah atau
untuk orang banyak? Dalam hal ini ada dua subteori lagi yakni yang dinamakan
etika egoisme (egoism ethics) dan etika universalisme (universalism ethics).
Etika egoisme berpendapat bahwa tujuan yang baik adalah bagi pelakunya
(orang itu sendiri atau setidaknya kelompoknya). Walaupun tujuan yang baik
untuk diri sendiri atau kelompoknya tidak selalu jahat atau buruk, teori ini bisa
melahirkan suatu sistem etika yang disebut “hedonisme” yakni kenikmatan
hidup dengan prinsip nikmatilah hidup ini selagi masih hidup, besok Anda akan
mati dan tidak ada apa-apa lagi yang bisa dinikmati.

Teleologis > Kebaikan/Kebenaran = Tujuan Baik

Etika universalisme adalah teori etika yang berpendapat bahwa


kebenaran/kebaikan itu ditentukan oleh tujuan yang baik untuk jumlah
terbesar. Misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah untuk kepentingan orang
banyak bisa mengorbankan kepentingan pribadi dan jumlah orang yang lebih
sedikit. Kita ingat akan proyek waduk Kedung Ombo, juga dengan penalaran
seperti di atas. Kita mendapatkan contoh sistem etika utilitarianisme (utility)
seperti yang dikembangkan oleh John Stuart Mill, yakni yang berprinsip
bahwa tindakan yang terbaik yang membawa dampak atau kegunaan bagi
jumlah terbesar itulah yang dinilai baik, benar dan bertanggungjawab
(prinsipnya the greatest good for the greatest number).

74
2. Teori Deontologis

Teori Deontologis pada prinsipnya berpendapat bahwa suatu tindakan itu


baikbila memenuhi kewajiban moral (deon=kewajiban). Untuk teori inipun
terbagi dua bagian lagi berkaitan dengan kewajiban itu siapa yang
menentukan? Kalau kewajiban itu ditentukan oleh aturan-aturan yang sudah
ada (darimana pun datangnya) teori itu disebut sebagai “deontologis aturan”
(rule deontologist). Untuk itu, kebanyakan etika yang bersifat legalistik yang
didasarkan pada legalisme, termasuk dalam teori ini. Apakah etika-etika
keagamaan yang sangat legalistis bisa dimasukkan dalam kategori ini? Namun
ada juga yang berpendapat bahwa
kewajiban ditentukan bukan oleh aturan
yang sudah ada melainkan oleh
situasi/keadaan, teori ini disebut
“deontologis tindakan” (act deontologist).
Dalam hal ini kita mendapatkan contoh
sistem etika yang dikenal dengan nama
etika situasi (situation ethics) yang
dikembangkan oleh Joseph Fletcher.
Pertanyaan untuk didiskusikan:
bagaimanakah sistem etika keagamaan
yang Anda anut, masuk dalam kategori
manakah? Di manakah letak etika Kristen
dalam kerangka teori di atas? Apakah orang
Kristen dalam proses pertimbangan dan
penilaian etis mendasarkan diri pada tujuan atau pemenuhan kewajiban-
kewajiban moral/etis? Kalau berdasarkan tujuan yang baik, maka kebaikan
untuk siapakah? Kalau berdasarkan pemenuhan kewajiban moral, darimana
kah datangnya kewajiban moral itu? Apakah dari aturan-aturan moral yang
sudah ada (dari manapun datangnya) atau dari situasi tertentu? Silakan Anda
mengajukan beberapa pertanyaan kritis yang lain.
Cobalah analisis contoh kasus-kasus berikut ini dengan menggunakan teori-
teori di atas dan buatlah kesimpulan atau penilaian etis atas kasus tersebut!
Kasus 1:
Pada masa kekuasaan Nazi, orang-orang Yahudi dikejar-kejar untuk
dimusnahkan. Cory ten Boom seorang Kristen yang saleh menyembunyikan
beberapa orang Yahudi di rumahnya. Ketika tentara Nazi mendatangi rumahnya

75
dan bertanya apakah ada orang Yahudi berdiam di tempat tinggalnya? Ia
dihadapkan dengan pertimbangan moral dan harus membuat keputusan moral.
Ia memilih untuk berbohong meskipun ia ingat betul salah satu dari Dekalog
(10 Perintah yang merupakan acuan moral orang Kristen) adalah larangan:
”janganlah menjadi saksi dusta.”
Menurut hemat Anda apa yang menjadi dasar pertimbangan moral Cory ten
Boom dalam membuat keputusan etisnya? Apakah ia mendasarkan diri kepada
tujuan yang baik atau pemenuhan kewajiban moral yang ditentukan oleh
hukum-hukum yang sudah ada seperti kesepuluh hukum Tuhan dalam dekalog
tersebut?

Contoh Kasus 2:
Dilema Heinz dalam penelitian Lawrence Kohlberg
Berikut adalah versi cerita yang sudah diringkas dan dimodifikasi untuk
keperluan diskusi kita.
Ada satu pasang keluarga yakni keluarga Heinz, orangnya sederhana saja.
Istrinya menderita sakit yang sulit diobati, dan tinggal menunggu waktu. Di
kota yang sama, hiduplah seorang apoteker atau tukang obat yang berhasil
menemukan sejenis obat yang bisa mengobati penyakit yang diderita oleh istri
Heinz melalui kerjakeras dan penelitiannya. Heinz dengan harap-harap cemas
berusaha membeli obat itu, namun harganya tidak terjangkau oleh Heinz.
Walaupun ia sudah berusaha dengan berbagai cara, si apoteker tidak rela
memberi obat itu untuk istri Heinz. Lalu dalam keputusasaan dan didorong oleh
kecintaan kepada sang istri, ia akhirnya mencoba mencuri obat itu dan
tertangkap, lalu dipenjara.
Coba diskusikan: siapakah yang salah dalam kasus ini? Tentu saja ada hukum
negara yang melarang mencuri bukan? Apakah sikap Heinz salah karena
berusaha menyelamatkan sang istri tercinta? Apakah sang apoteker benar
mempertahankan harga obat yang mahal itu karena telah berkorban meneliti
dan membuatnya? Adakah prinsip- prinsip yang lebih utama yang dipakai Heinz
untuk membenarkan tindakannya? Apakah ada prinsip mendasar yang
barangkali diabaikan oleh si apoteker dalam menentukan sikapnya? Cobalah
eksplorasi pertanyaan-pertanyaan kritis lain yang berhubungan dengan kasus
tersebut.
Kedua contoh disebut sebagai keadaan dilematis. Suatu keadaan ketika
seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mempunyai
konsekuensi melanggar aturan atau norma yang berlaku, namun orang harus
memilih salah satu dari antaranya. Banyak contoh pilihan etis tetapi tidak

76
berada dalam situasi dilematis. Contoh kasus ke-3 berikut ini akan mencoba
menolong Anda untuk melihat sisi lain dari moralitas dan karakter.

Contoh Kasus 3:
Osceola McCarthy, seorang tukang laundry yang pensiun
Osceola McCarthy menjadi agak terkenal pada tahun 1995 di Amerika Serikat,
pada usianya yang ke-87 tahun, ketika seseorang dari Universitas Southern
Missisippi menceritakan apa yang ia perbuat. McCarthy, seorang tua dan miskin
Amerika yang berasal dari Afrika telah memberikan tabungannya selama
bertahun- tahun menjadi tukang cuci pakaian yang berjumlah US$ 150,000 atau
setara dengan 1,5 milyar rupiah kepada universitas tersebut. Tujuan donasinya
kepada universitas tersebut adalah untuk mendukung beasiswa bagi mahasiswa
Amerika yang berasal dari Afrika. Ia menabung satu sen dari upahnya mencuci
dan mengeringkan pakaian untuk para ningrat di daerahnya, dan ia ingin
menolong orang-orang muda dalam komunitasnya. Ia mengatakan kepada
pejabat universitas, ”I am giving my savings to the young generation ... I want
them to have an education” (Ryan and Bohlin: 1999, 3). Luar biasa bukan?
McCarthy tidak mempunyai pendidikan formal yang cukup, karena waktu kelas 6
SD ia meninggalkan sekolah untuk merawat tantenya yang sakit. Ia juga menolong
ibu serta neneknya dalam bisnis cuci pakaian di belakang rumah. Ketika tantenya
sudah sehat kembali, ia merasa bahwa kembali ke sekolah sudah tak pantas lagi
karena pastilah ia kelihatan lebih besar dari kawan-kawan sekelasnya. Ia kemudian
menjadi pembantu dalam bisnis cuci pakaian itu, bangun bersama terbitnya
matahari, dan bekerja hingga tenggelamnya matahari. Dunianya hanya terdiri
dari tiga, yakni tempat cucian/bak air, papan seterika, dan Alkitabnya. Tidak
pernah menikah dan tidak mempunyai anak. Ketika menderita arthritis,
McCarthy memutuskan untuk memberikan kesempatan yang tidak ia dapatkan.
Ia berkata saya harus bekerja keras sepanjang hidupku agar mereka dapat
memiliki kesempatan yang tidak saya miliki. Beasiswa McCarthy diberikan kepada
lulusan sekolah menengah yang tidak bisa melanjutkan studinya ke Perguruan
Tinggi. Pemberian McCarthy telah memberi inspirasi begitu banyak orang untuk
melakukan tindakan kemurahhatian, tetapi beberapa orang jadi bingung. Ia selalu
ditanya mengapa ia tak menggunakan tabungannya untuk dirinya sendiri? Ia
menjawab secara sederhana, “aku telah menggunakannya bagi diriku.” Dari kata-
katanya kita bisa menafsirkan bahwa dengan menyumbangkan tabungannya bagi
mereka yang kurang beruntung, ia telah menemukan makna hidupnya, dan
dengan begitu, ia bahagia. Kasus ini benar-benar terjadi. Kesempatan
menggunakan uangnya cukup besar, tetapi uang itu ia sumbangkan untuk
mengambil kembali kesempatannya yang hilang dengan memberi kesempatan
bagi orang lain untuk tidak menjadi seperti dia.

77
Anda dapat menanya secara kritis prinsip apakah yang menuntun
keputusannya? Darimanakah prinsip itu ia dapatkan dan kembangkan dalam
hidupnya? Apa hubungan iman dan moralitas serta karakter di sini? Topik etika
dan moralitas yang dibahas di atas selalu berkaitan dengan karakter kristiani
karena berhubungan dengan sifat/karakter individu dan komunitas yang
membentuknya. Di bawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai karakter
tersebut.

Today’s students are tomorrow’s leaders and citizens. If the schools educate
the students to be young people of high character, our country will
eventually become a nation of high character” (Ryan dan Bohlin 1999, xi).

Kutipan ini ingin menunjukkan bahwa karakter itu sangat penting, bukan hanya
bagi individu tetapi juga bagi masyarakat bahkan bangsa. Karena itu, kita
perlu menggali dan mengkaji karakter, hubungan karakter dengan iman dan
Etika Kristen, serta bagaimana membangun karakter. Silakan Anda
mengumpulkan banyak informasi dari berbagai buku dan sumber belajar yang
lain mengenai pengertian karakter, hubungannya dengan iman dan Etika
Kristen serta bagaimana membangun karakter.
Apakah karakter itu? Mengapa karakter itu penting? Inilah beberapa
pertanyaan awal kita. Gill adalah seorang yang dengan teliti mencoba
menggali dari berbagai sumber apa itu karakter dan juga menunjukkan
hubungan antara karakter dan iman Kristen.
Mengapa kita melakukan hal
yang kita lakukan? Ini suatu
pertanyaan penting dan
kompleks. Pilihan-pilihan
kita tentang baik dan buruk
mempunyai sejumlah faktor
penyumbang: misalnya
kondisi mental dan
psikologis kita. Kalau kita
sedang stres, kita berbicara
Sumber: http://qbq.com/3-traits-of-accountable-
people/
dan bertindak lain
dibandingkan waktu kita

78
tidak stres. Lingkungan sosial banyak berperan dalam keputusan dan tindakan
etis kita. Hubungan-hubungan masa lampau kita juga bisa memengaruhi
kita, begitu pula orang-orang sekitar kita bisa memberi tekanan atau
mendukung yang pada gilirannya memengaruhi kita. Kadang kita juga
mengatakan pikiran-pikiran jahat selalu membisikkan kepada kita untuk
melakukan sesuatu, atau sebaliknya Tuhan mengatakan agar kita
melakukannya (Gill,2000:27).
Sebelum lebih jauh dibicarakan tentang karakter, perlu diperhatikan beberapa
konsep penting berikut ini: prinsip-prinsip (principles), nilai-nilai (values) dan
kebajikan-kebajikan (virtues). Silakan Anda mengumpulkan informasi
sebanyak mungkin yang dapat menunjukkan dengan jelas perbedaan antara
prinsip-prinsip (principles), nilai- nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues).
Manakala seseorang melakukan sesuatu yang secara moral terpuji atau
sebaliknya, perhatian orang tertuju kepada prinsip-prinsip moral mereka
(apakah tinggi, rendah atau tidak ada). Prinsip-prinsip moral diartikan sebagai
pernyataan singkat (brief statement) yang berfungsi sebagai penuntun
tindakan yang menentukan hal benar apa yang harus dilakukan (atau
sebaliknya yang tak boleh dilakukan). Pada dasarnya prinsip- prinsip bersifat
luas, umum, dan inklusif seperti halnya apa yang sering disebut sebagai kaidah
kencana (Do unto others as you would have them do unto you). Sama seperti
engkau suka orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah itu kepada orang lain,
kata Yesus (lih. Luk.6:31). Contoh lain adalah “principle of utility” (Do what
results in the greatest happiness for the greatest number).
Akan tetapi, masalah dalam pengambilan keputusan etis ini tidak terletak pada
kurangnya prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang baik. Mereka yang korupsi
uang rakyat dari pajak atau membunuh orang yang tak berdosa pasti juga tahu
perintah jangan mencuri dan jangan membunuh. Karena itu menurut Gill, kalau
ada orang yang baik seperti Mother Theresa dll., mungkin prinsip-prinsip yang
baik saja tak cukup menjelaskan mengapa mereka melakukan apa yang
dilakukan. Di mana-mana kita menyaksikan kemerosotan prinsip- prinsip
moral dalam berbagai tindakan manusia, namun ada banyak bukti pula bahwa
memiliki prinsip-prinsip moral tidak dengan sendirinya akan menuntun kepada
pelaksanaannya.
Menurut Gill, ada sesuatu yang lebih mendasar daripada sekadar prinsip-
prinsip: yaitu karakter. Prinsip cenderung melayang-layang di atas eksistensi
kita seperti formula- formula yang terpisah dari diri kita. Kita berkonsultasi

79
dengan mereka; kadang juga terkait dalam ingatan kita. Prinsip tidak selalu
diaplikasikan terhadap situasi konkret. Dibutuhkan motivasi dan upaya
keras untuk mengingat, menafsirkannya, dan menerapkan serta menghidupi
prinsip-prinsip tersebut. Pada sisi lain, karakter Anda selalu ada bersama Anda,
selalu secara segera hadir dalam situasi apapun. Kekuatan karakter dapat
menolong membawa kita melalui situasi-situasi saat kita tidak dapat
mengingat suatu prinsip pun. Jadi, apakah karakter itu? Bill Hybels, seorang
pendeta, mengatakan karaktermu adalah “siapa Anda ketika tidak seorangpun
melihatmu,” maksudnya adalah bahwa Anda harus tetap jujur bahkan ketika
tidak seorangpun tahu apa yang Anda lakukan. Misalnya, Anda tidak akan
mengambil barang bukan milik Anda meskipun tidak seorangpun tahu bahwa
Anda yang mengambilnya, karena karakter Anda selalu bersama Anda, yakni
karakter kejujuran itu. Kita baru mengatakan seseorang itu jujur, bukan karena
ia tahu dan memiliki prinsip kejujuran, melainkan karena ia mempraktikkan
kejujuran dan telah menjadi pola hidupnya.
Karakter adalah apa dan siapa kita tanpa orang lain melihat kita atau tidak.
Karakterku adalah orang macam apa saya (siapa saya). Ada macam-macam
karakter: fisik, emosional, intelektual, dll. Yang terutama adalah karakter moral
(moral character). Mungkin, suatu latihan yang baik, kalau kita membayangkan
apa kata orang kelak pada saat penguburan kita. Bukan gelar, harta yang
mereka katakan tetapi karakter kita, bahwa kita seorang yang murah hati
suka menolong atau orang akan mengatakan kita sangat pelit.

Kedua, nilai-nilai (values). Konsep lain yang perlu kita bahas dalam upaya
memahami apa itu karakter dan pembentukannya, adalah konsep mengenai
nilai-nilai (values). Sekali lagi perhatian kita dalam bagian ini adalah tentang
karakter moral dan etis. Suatu cara modern untuk berbicara tentang etika kita
adalah bertanya “apa saja nilai- nilai” kita. Apakah yang kita jawab tentang
nilai-nilai kita? Atau, nilai-nilai apa saja yang secara aktual menuntun kita
(meskipun implisit dan tidak dianalisis)? Istilah nilai- nilai (values) ini menunjuk
kepada fakta bahwa kita menganggap atau memandang atribut-atribut
tertentu dari karakter kita sebagai “layak” (penting) bagi kita, sebagai hal yang
kita setujui.

80
Sumber: http://onapitupulu70.wordpress.com/2013/05/21/pendidikan- karakter-berbasis-nilai-
nilai-kristiani-3/

Persoalan kita dengan bahasa nilai-nilai (values), bukanlah pada apa yang kita
katakan melainkan pada apa yang tidak kita katakan. Ia menyungguhkan sisi
yang subjektif dari isu (walau adalah penting untuk menghargai beberapa
atribut karakter). Namun ia mengesampingkan pertanyaan apakah “nilai-nilai
saya ini” adalah layak dianut, dan secara aktual memang baik. Kita juga harus
mencatat fakta bahwa kita mengambil dari suatu istilah ekonomi (value), dan
menerapkannya secara total kepada isu-isu karakter. Hal ini menunjuk kepada
konsumerisme dari perspektif kita dan bahwa hal ini tidak terlalu
menggembirakan.
Ketiga, kebajikan-kebajikan (virtues). Menurut Gill lebih baik menggunakan
bahasa nilai-nilai secara terbatas saja, dan berusaha menemukan kembali
bahasa klasik yang penting: virtues (kebajikan-kebajikan). Pada waktu lalu
umum untuk berbicara tentang atribut atau ciri (trait) dari karakter yang baik
sebagai virtues (kebajikan- kebajikan) sedangkan karakter yang buruk disebut
dengan vices (sifat buruk). Virtues berasal dari bahasa Latin virtus yang secara
harfiah berarti sesuatu seperti “power” (kekuatan/kuasa). Jadi, virtues pada
dasarnya bukan sekadar values (nilai-nilai) yakni ciri-ciri (traits) yang kita
rasakan berguna/layak, tetapi kekuatan-kekuatan yang merupakan
kemampuan yang riil untuk mencapai sesuatu yang baik. Silakan Anda

81
mengumpulkan informasi yang lain sebanyak-banyaknya dari berbagai buku
dan sumber belajar yang lain mengenai pengertian kebajikan-kebajikan.
Dari perspektif kebajikan ini, pertanyaannya yang muncul adalah “apa saja
kekuatan-kekuatan (virtues) yang perlu dikembangkan untuk mencapai suatu
kehidupan yang baik?
Sebenarnya, menurut Gill, sebelum istilah Latin virtus sudah ada konsep Yunani
yang disebut arête (yang oleh orang Romawi diterjemahkan dengan virtus).
Karena itulah para filsuf moral menterjemahkan “the ethics of character” (etika
karakter) sebagai “aretaic ethics” (etika aretaic). Sedangkan arête dalam
bahasa Yunani mungkin paling baik diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sebagai excellence ‘keunggulan‘. Keunggulan ini bukan keunggulan dalam
semua hal, melainkan hanya keunggulan dalam terang tujuan yang sudah
ditentukan. Karena itu, virtue sebagai arête ‘keunggulan’ merujuk kepada
kekuatan-kekuatan dan kemampuan-kemampuan yang kita miliki–bukan
semua kekuatan dan kemampuan, melainkan hanya yang memungkinkan kita
mencapai secara unggul tujuan-tujuan kita. Dapat juga dikatakan bahwa
virtues adalah keterampilan yang dibutuhkan untukmencapai tugas kehidupan
(yang baik). Ketika kebajikan-kebajikan seperti itu terjalin dalam karakter kita,
kebajikan-kebajikan itu tidak menjadi sekadar komponen-komponen
pengalaman hidup kita tetapi sudah menjadi kebiasaan-kebiasaan,
kecenderungan-kecenderungan, dan watak-watak yang terus-menerus.
Ketika bermacam- macam tantangan muncul, kita tidak hanya berkonsultasi
dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai, tetapi kita sudah mempunyai
kecenderungan dan keinginan untuk bereaksi dengan kebaikan, keadilan, atau
dengan kebajikan-kebajikan lain yang tepat- kita juga telah memeroleh
keterampilan dan kemampuan untuk bertindak dengan cara yang tepat.
Kembali lagi kepada pertanyaan awal: apakah sesungguhnya karakter itu?
Ryan dan Bohlin mencoba dengan cara yang agak beda menjelaskan tentang
apa itu karakter. Dengan mengutip Exupery yang mengatakan “It is only
with the heart that one seesrightly; what is essential is invisible to the eye.”
Dari kutipan itu mereka berdua ingin mengatakan bahwa karakter adalah satu
dari hal-hal yang esensial tersebut. Karakter adalah salah satu dari kata-
kata yang biasa kita dengar, tetapi yang sulit dijelaskan. Seperti halnya
semua hal abstrak, kita tak bisa melihat, menjamah, maupun merasakannya.
Bilamana kita berada di dekat seseorang yang mempunyai karakter yang baik,
kita bisa menyadarinya (Ryan 1999, 5).

82
Kata bahasa Inggris “character” berasal dari bahasa Yunani charassein yang
berarti ’mengukir, memahat ‘seperti tindakan mengukir pada lempengan lilin,
batu permata, atau permukaan logam. Dari akar tersebut, berkembanglah arti
karakter sebagai suatu tanda atau petunjuk yang khusus, dan dari situ
bertumbuhlah konsepsi bahwa karakter adalah pola perilaku individu yakni
keadaan moralnya. Setiap manusia ditandai oleh berbagai campuran khas
antara hal-hal negatif, kesabaran, kelambanan, keprihatinan, kebaikan dan
sejenisnya. Menurut Ryan dan Bohlin, suatu karakter yang sudah tetap–
misalnya karakter yang baik–jauh melebihi sekadar pola perilaku dan
kebiasaan bertindak yang tetap.
Mereka menyimpulkan bahwa karakter yang baik adalah sifat mengetahui apa
yang baik, mencintai yang baik, dan melakukan apa yang baik. Ketiganya
secara dekat berhubungan. Kita lahir dengan orientasi yang berpusat pada diri
sendiri, dan tidak tahu apa-apa di mana dorongan-dorongan primitif kita
menguasai penalaran kita. Semua upaya pendidikan dan pengasuhan adalah
untuk membawa kecenderungan, perasaan, dan cita-cita dalam harmoni
dengan penalaran.
Untuk mengetahui yang baik, tibalah pada pemahaman akan yang baik dan
jahat. Tindakan ini berarti mengembangkan kemampuan untuk menilai situasi,
dan secara sadar memilih hal yang benar untuk dilakukan dan melakukannya.
Inilah yang disebut oleh Aristoteles sebagai penalaran praktis (practical
reason). Ini tidak hanya bijaksana mengatur waktu tetapi juga menentukan
prioritas, dan memilih dengan baik dalam semua bidang kehidupan.
Mencintai yang baik berarti mengembangkan suatu perasaan dan emosi moral
yang penuh, termasuk mencintai apa yang baik dan membenci yang jahat,
termasuk suatu kemampuan untuk berempati dengan orang lain. Ini adalah
masalah menyukai untuk melakukan yang baik. Mencintai yang baik
memungkinkan kita menghargai dan mengasihi meski kita tahu tindakan-
tindakannya salah. Ia mengizinkan kita mencintai orang yang berdosa dan
membenci dosanya.
Melakukan yang baik berarti, bahwa setelah pertimbangan yang teliti dan
sungguh-sungguh atas semua keadaan dan fakta-fakta yang relevan, kita
mempunyai kemauan untuk berbuat/bertindak. Dunia kita penuh dengan
orang-orang yang tahu hal benar apa yang harus dilakukan, tetapi kurang
sekali kemauan untuk melakukannya. Mereka tahu apa yang baik, tetapi tak
dapat menghantar mereka kepada melakukan yang baik.

83
Pertanyaannya adalah apakah yang baik? Kebudayaan sangat majemuk dan
pendapat orang mengenai yang baik itu juga kadang majemuk, walaupun ada
tumpang tindihnya di sana sini. Semua budaya mempunyai semacam bentuk
“golden rule” (Ryan dan Bohlin 1999, 6-7). Biasanya apa yang baik melampaui
batas-batas budaya dan bahkan batas-batas agama.
Namun dari perspektif Kristen, yang baik adalah yang dikehendaki Tuhan. Apa
yang dikehendaki Tuhan? Sangat banyak dan tersebar dalam seluruh Alkitab.
Intinya adalah “kasih” atau mengasihi karena itulah hukum utama dan
pertama. Apa artinya mengasihi itu? Tentu saja masih membutuhkan
penjelasan. Bisa juga kita katakan bahwa hukum kasih yakni “mengasihi Tuhan
Allah dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri” (lih. Mat. 22:37-40)
adalah prinsip utama dan terdalam. Hal ini masih bisa dijabarkan secara lebih
spesifik seperti dalam kata-kata Tuhan Yesus dalam Lukas yang mengatakan:
“sama seperti kamu suka orang lain perbuat kepadamu, maka perbuatlah itu
kepada orang lain.”
Bagaimanakah hubungan antara iman dan etika Kristen dan karakter Kristen?
Hubungan di antara ketiganya sangat erat dan bahkan menyatu. Iman Kristiani,
bilamana dipahami dengan betul, tidak hanya menyangkut kepercayaan dalam
arti kognitif, sebagai pengakuan intelektual kita mengenai kebenaran dari yang
kita percayai. Iman Kristiani juga mencakup pengertian mempercayakan diri
kepada yang dipercayai dan membangun sikap dalam hubungan dan
komitmen dengan yang dipercayai. Pada akhirnya, pengetahuan dan sikap
saja tidak cukup untuk mewujudkan iman Kristiani itu. Kita perlu melakukan
apa yang kita percayai dan kita ketahui bahwa hal itu baik.
Tuhan Yesus setelah selesai membasuh kaki para murid-Nya, menantang
mereka dengan pertanyaan: mengertikah mereka akan apa yang sudah
dilakukan-Nya? Dan tanpa menunggu jawaban mereka, Tuhan Yesus
langsung melanjutkan dengan kata-kata berikut ini: “Setiap orang yang
mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang
bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu” (Mat. 7:24).
Intinya jelas bahwa karakter Kristen tidak hanya terbatas pada tahu apa yang
baik, tetapi juga mempunyai kecintaan, dan keinginan melakukannya, serta
melakukannya dalam tindakan nyata. Berkali-kali Alkitab mempertegas hal ini,
misalnya dalam Yakobus 2:26 yang mengatakan bahwa “sama seperti tubuh
tanpa roh adalah mati, demikianpun iman tanpa perbuatan adalah mati.” Di

84
sini seolah-olah iman dan perbuatan dipisahkan, mungkin saja iman dalam arti
tahu apa yang baik.
Gill kembali lagi menegaskan perlunya memahami konsep “hati” di dalam
Alkitab. Bagi mereka yang percaya akan Alkitab sebagai Firman Tuhan, “hati”
adalah pusat yang mengontrol kehidupan seseorang. Tuhan Yesus
mengatakan, “sebab dari dalam, dari hati orang timbul segala pikiran jahat,
percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan,
kelicikan, hawa nafsu, irihati, hujat, kesombongan, kebebalan. ”Semua hal
jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang (lih. Markus 7:21-23).
Karena itu, kita butuh hati yang baru, cara pandang baru, yang berasal dari
Allah dan diasuh oleh firman-Nya serta didukung oleh komunitas orang
berkarakter baik, sehingga seseorang terbangun karakter Kristianinya.
Hati kita adalah hakikat paling inti dari keberadaan kita, dari jiwa kita, dan
menjadi pusat yang mengontrol karakter kita. Hati menjadi sumber mata air
dari motivasi-motivasi dan perilaku kita. Anda dapat melihat betapa dekat
hubungannya dengan karakter kita. Dalam membangun dan membangun
kembali karakter kita, hati kita harus terkait dengan hati baru, dan hidup baru
yang dijanjikan Allah.
Bagaimanakah pembangunannya? Inilah yang kita sebut pendidikan
karakter. Tanggungjawab siapakah pendidikan karakter itu? Pertama, dari
sudut pandang manapun, terutama teologis, pendidikan karakter adalah
tanggungjawab utama dan pertama dari orang tua, karena setiap anak pada
umumnya terlahir dalam keluarga, dan dipercaya anak sebagai karunia
Tuhan. Karena itu, orang tua lah penanggungjawab utama untuk pendidikan
karakter bagi anak-anaknya.
Kedua, secara tradisional, komunitas agamawi juga bertanggungjawab
terhadap pendidikan karakter umatnya. Fungsi agama, antara lain, sebagai
penuntun moral, termasuk karakter moralnya. Di sinilah dipertanyakan
apakah keluarga maupun komunitas iman benar-benar telah menjalankan
tanggungjawab ini? Apa hambatan dan halangannya? Coba Anda diskusikan
dengan rekan Anda, apa yang salah dengan keluarga dan Gereja sebagai pihak
yang bertanggungjawab terhadap pendidikan karakter. Apa solusi yang Anda
hendak berikan?
Ketiga, sekolah bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter. Belakangan
ini, sekolah diingatkan untuk mengerjakan tanggungjawab ini khususnya

85
masyarakat Amerika yang sudah menjadikan pendidikan karakter sebagai
suatu gerakan nasional.
Seperti sudah dikatakan sebelumnya, bahwa karakter adalah “tahu apa yang
baik, mencintai apa yang baik, serta melakukan apa yang baik”. Pendidikan
karakter adalah upaya sengaja untuk menolong naradidik di dalam konteks
manapun untuk mengetahui apa yang baik, mencintai apa yang baik serta
maumelakukan apa yang baik itu.

Sudah dikatakan bahwa suatu kebajikan itu baru akan menjadi kebiasaan
bilamana hal-hal itu sudah terjalin dalam pengalaman kehidupan. Jadi, untuk
menjadi orang berkarakter baik dibutuhkan pembiasaan, pengajaran dan
dorongan. Pembiasaan itu hanya bisa terwujud bilamana para pendidik apakah
orang tua, pemimpin umat, dan guru dapat menjadi teladan yang berwibawa
dan bisa menegakkan disiplin dan kebiasaan yang baik.
Di sinilah dibutuhkan dukungan komunitas karakter. Keluarga, sekolah dan
gereja/komunitas agamawi dapat menjadi komunitas karakter. Hal ini hanya
bisa terjadi bila keluarga, sekolah/universitas, serta komunitas agamawi
mempunyai budaya berkarakter: adil, memberi perhatian, disiplin, terbuka, dll.
Pendidikan agama hanyalah salah satu unsur kecil dalam keseluruhan budaya
suatu komunitas keluarga, gereja dan sekolah. Alangkah baiknya bila ketiga
pilar tadi bekerjasama secara sinergis sehingga karakter anak didik benar-
benar terbangun. Ingat bahwa dunia melalui berbagai industri budaya dan
hiburan/mainan menawarkan dan membangun karakter anak-anak muda
tetapi karakternya yang bertentangan dengan kebajikan yang dianut keluarga,
sekolah dan gereja.

Berbicara tentang etika, yang akan


dibicarakan adalah sistem etika yakni
sistem etika Kristen, sistem etika
Islam, sistem etika Hindu, sistem etika
Buddha, atau sistem etika filsafati
seperti utilitarianisme, positivisme dan
sebagainya. Fokus tulisan ini adalah
Sumber: etika Kristen. Etika Kristen yakni ilmu
http://ethicalframeworks.wikispaces.com/
Ethical+Frameworks yang mempelajari norma-norma atau

86
nilai-nilai yang digunakan oleh orang Kristen untuk menilai tindakan dan
motivasi manusia itu dapat dikatakan baik, benar, dan bertanggungjawab atau
sebaliknya. Untuk itu, acuannya adalah kitab suci Alkitab yang dipercayai
sebagai standar bagi kepercayaan dan perilaku/motivasi orang Kristen. Apakah
etika Kristen itu masuk dalam kategori teleologis atau deontologis? Atau
keduanya? Apakah Alkitab langsung memberi hukum-hukum dan aturan mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh? Ataukah pernyataan Alkitab hanya
memberi prinsip umum yang harus diaktualisasikan dalam situasi yang
konkret? Misalnya, menghadapi masalah nilai kesetaraan gender, dari bagian
manakah nilai kesetaraan gender itu diambil? Tentu tidak ada hukum
kesetaraan gender, tetapi prinsipnya ada yakni bahwa manusia diciptakan oleh
Tuhan menurut gambar-Nya dan mereka diciptakan sebagai laki-laki dan
perempuan. Karena keduanya diciptakan segambar dengan khaliknya,
manusia laki-laki maupun perempuan setara dan sederajat, jadi ada
kesetaraan gender (equality=kesamaderajatan manusia laki-laki dan
perempuan). Kesetaraan dalam harkat, martbat dan hak-hak paling asasi, dan
tidak dimaksudkan setara atau sama dalam segala fungsi. Laki-laki tentu tidak
bisa mengandung dan melahirkan, mengandung dan melahirkan adalah
kodrat perempuan dan tidak ada kaitannya dengan perbedaan derajat.
Dekalog/sepuluh perintah Tuhan memuat larangan-larangan dan bisa
dianggap sebagai hukum-hukum. Kalau dibaca dari kaca mata Perjanjian Baru,
dekalog tetap merupakan acuan moral dan karakter orang percaya.
Walaupun Tuhan Yesus memperbaharuinya dengan mengatakan bahwa
hanya ada satu hukum utama yakni hukum kasih, baik kasih kepada Allah dan
dan kasih kepada sesama manusia (atau lebih akurat dikatakan: kasih kepada
Allah melalui kasih kepada sesama dan pemeliharaan terhadap ciptaan Allah).
Inilah jiwa dari sepuluh hukum dalam dekalog tersebut. Tanpa kasih, ketaatan
terhadap kesepuluh hukum itu akan kehilangan roh dan justru bisa
mengorbankan esensinya yakni kasih.
Setiap sistem etika ada prinsip utamanya (ultimate principle). Demikian pun
dalam sistem etika Kristen ada prinsip utamanya: yakni prinsip kasih. Silakan
Anda memberikan argumentasi Anda yang memperlihatkan kesetujuan Anda
bahwa prinsip utama dalam sistem etika Kristen adalah kasih! Kasih lebih dari
sekadar tidak melakukan kepada orang lain apa yang tidak kita suka orang lain
lakukan kepada kita, melainkan terutama sebuah prinsip “sama seperti kita
suka orang lain lakukan kepada kita demikianlah juga kita melakukan kepada
orang lain” (lih. Lukas 6:3). Jadi, kaidah kencana itu bisa kita ambil dari Matius

87
22:37-40 tentang Hukum Kasih (prinsip kasih) dan Lukas 6:31 sebagai prinsip
umumnya. Keduanya tidak hanya prinsip yang abstrak di luar diri manusia
melainkan harus ditumbuhkembangkan sehingga terjalin dalam pengalaman
keseharian manusia. Itulah yang menjadi dasar karakter Kristiani.
Kasih adalah melakukan apa yang terbaik bagi yang dikasihi. Kasih tanpa
syarat, bukan kasih karena…, melainkan kasih walaupun….

Bila etika adalah ilmu yang mempelajari norma-norma sebagai ukuran


untuk menilai perilaku dan motivasi manusia apakah baik atau tidak,
pertanyaan yang muncul adalah dari manakah sumber norma manusia itu?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua kategori jawaban. Pertama, dari Allah
atau yang dianggap Tuhan. Kedua, dari manusia sendiri melalui kontrak sosial
atau penalarannya.
Berikut ini adalah deskripsi tentang etika teologis dan filsafati. Amatilah
perbedaan antara etika teologis dan filsafati dalam uraian berikut. Setelah itu,
Anda diminta untuk mengomunikasikan perbedaan antara etika teologis dan
filsafati dengan menggunakan kata-kata Anda sendiri di kelas.

1. Etika Teologis
Etika teologis adalah sistem etika yang sumber normanya dipercayai berasal
dari Tuhan atau setidak-tidaknya lahir dari asumsi-asumsi teologis baik
tentang Tuhan dan manusia yang sumber utamanya dari kitab suci masing-
masing agama. Pernyataan- pernyataan dari kitab suci masing-masing agama
itu masih perlu ditafsirkan dalam konteks dan sejarahnya agar menemukan arti
serta nilai-nilai yang bisa dijadikan norma perilaku dan motivasi manusia. Etika
Kristen, etika Islam, etika Hindu, etika Buddha, dll. termasuk dalam kategori
etika teologis. Memang cara orang percaya menggunakan kitab suci untuk
menyimpulkan nilai moral sebagai norma etis berbeda antara satu
orang/kelompok dengan orang/kelompok lain. Walaupun demikian, tidak
dapat disangkal bahwa dari berbagai etika teologis itu banyak sekali nilai-nilai
yang tumpang tindih atau sama. Mengapa demikian? Bisakah Anda memberi
penjelasan berupa deskrispsi yang memadai? Menurut Anda, adakah masalah
ketika seseorang menganut suatu sistem etika yang sumber normanya
dipercayai berasal dari Tuhan? Berilah contoh dalam deskripsi atau jawaban
Anda! Mungkinkah seseorang dapat melakukan kesalahan/pelanggaran serius

88
melulu karena yakin bahwa nilai moralnya dari Tuhan dan diterapkan secara
harafiah tanpa memahami konteksnya dulu maupun sekarang?
Bagi sistem etika Kristen, acuan utamanya adalah pada tokoh dan teladan
Kristus sendiri, melalui ajaran-ajaran-Nya terutama melalui contoh kehidupan-
Nya. Karakter yang ideal sesuai kehendak Allah terwujud dan tercermin dalam
keseluruhan hidup-Nya. Jadi, apa yang sudah dijelaskan di atas, tidak ada etika
Kristen dan karakter Kristen kalau tidak dikaitkan dengan Yesus Kristus baik
melalui ajaran-Nya dan teladan-Nya.

2. Etika Filsafati

Etika filsafati adalah etika yang dibangun atas dasar pemikiran filsafati
manusia maupun berdasarkan kontrak sosial. Etika filsafat ini sudah ada sejak
dulu, bahkan setiap kebudayaan melahirkan sistem nilai yang menjadi norma
perilaku dan motivasi yang baik. Yang menjadi persoalan, apakah sistem etika
teologis/keagamaan tidak membutuhkan sistem etika filsafati atau setidaknya
pemikiran filsafati keagamaan, atau sebaliknya? Mungkinkah?
Yang masuk dalam kategori etika filsafati adalah positivisme, hedonisme,
utilitarianisme dan lain-lain. Dalam kaitan dengan etika filsafati, di manakah
letak sistem etika Kristen? Apakah sistem etika Kristen hanya menjadikan
kitab suci agamanya (Alkitab) sebagai sumber satu-satunya. Sebagai suatu
sistem, dibutuhkan koherensi dan penalaran sehingga pasti butuh penalaran
filsafati juga walaupun etika Kristen tidak bisa dikatakan sebagai produk
penalaran manusia saja. Bila produk penalaran manusia saja, etika Kristen
kekurangan daya pendorong untuk dilakukan.

Agama tanpa dimensi etis, moral, dan karakter, hampir tidak ada fungsi yang
signifikan bagi kemanusiaan dan dunia ciptaan Tuhan. Agama mungkin hanya
berfungsi memberi penghiburan di kala duka, dan pengharapan di kala putus
asa sambil menggiring orang masuk surga. Pada bab ini, secara agak panjang
lebar telah dibahas etika, moral, dan karakter serta kaitannya dengan iman
Kristiani. Walau etika sebagai ilmu mempelajari prinsip-prinsip dan bagaimana
prinsip-prinsip tersebut dibangun, etika juga kurang berguna bila suatu sistem
etika tidak memberi seperangkat penuntun untuk bertindak konkret. Etika
Kristen sebagai suatu sistem memang menjadi seperangkat penuntun untuk
bertindak secara moral di tengah-tengah nilai-nilai yang bertabrakan di sana
sini yang membuat manusia bingung. Sudah tentu etika Kristen bukan satu-

89
satunya penuntun yang berlaku di masyarakat karena masing-masing sistem
etika menawarkan penuntun. Meski sumber penuntun moral itu adalah
Alkitab, dan tersebar di mana-mana, ada prinsip utama yang menjadi Kaidah
Kencananya, yakni yang terdapat dalam Hukum Kasih: kasih kepada Allah
melalui kasih kepada sesama dan alam ciptaan Tuhan. Bisa juga sumber
penuntun moral diambil dari kata-kata Tuhan Yesus: sebagaimana kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada
mereka. Pada akhirnya etika dan moralitas harus menunjukkan kebajikan-
kebajikan (virtues) yang kemudian melalui pendidikan membangun karakter
kebajikan-kebajikan tersebut terjalin dengan pengalaman keseharian kita.
Itulah karakter yang baik, sehingga tujuan pendidikan semula untuk menjadi
naradidik “smart and good” menjadi suatu kenyataan yang pada gilirannya
menyumbang untuk menjadikan bangsa dan masyarakat ini berkarakter.

Coba Anda telusuri bagaimana karakter dari masyarakat kita terutama para
pejabat publik, apakah menurut Anda karakter mereka cukup
menggembirakan? Ataukah memprihatinkan? Beri alasan atas jawaban Anda!
Apakah Anda mempunyai solusi jika hal itu memprihatinkan? Apa solusi
Anda? Presentasikan di depan kelas!

90
BAB V
HUBUNGAN IMAN KRISTIANI DENGAN
ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, DAN
SENI

Sumber: http://www.blogs.hss.ed.ac.uk/science-and-religion/

Kita hidup pada zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan dalam banyak hal
persoalan-persoalan manusia banyak teratasi walaupun masalah-masalah
baru terus bermunculan. Kemajuan ilmu pengetahuan juga membawa
dampak bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan beragamanya.
Beberapa negara barat, yang dibangun atas dasar industri, atas dasar
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengalami kemerosotan dalam
hal kehidupan beragama. Manusia cenderung sulit mengambil sikap yang
tepat dalam kaitan antara imannya dan ilmu pengetahuan yang sangat maju.
Kita juga hidup dalam suatu dunia saat teknologi telah mencapai kemajuan
yang tidak terbayangkan dalam berbagai bidang terutama teknologi
komunikasi. Sudah banyak dampaknya baik yang lebih memanusiakan
manusia, maupun yang kurang atau tidak memanusiakan manusia.

91
Seni adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia termasuk
kehidupan agamawinya. Ada pengaruh timbal baliknya di antara keduanya.
Bab ini akan mempelajari bagaimana hubungan iman dengan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mencari hubungan yang bermakna di
antara ketiganya.
Setelah Anda mempelajari bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan
pembelajaran. Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah: (i)
bersikap rendah hati dan bergantung kepada Tuhan yang diwujudkan antara
lain dalam ibadah yang teratur; (ii) berpengharapan akan masa depan yang
lebih baik; (iii) berdisiplin dan bertanggung jawab dalam menuntut,
mengembangkan, serta menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
(iv) menjelaskan tanggung jawab etis kristiani dalam konteks kehidupan sosial
kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; serta (v)
menggunakan hasil rumusan tanggung jawab etis kristiani dalam konteks
kehidupan sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Silakan Anda mengamati dan menilai hubungan antara iman dan ilmu
pengetahuan dalam sejarah kekristenan dari berbagai buku dan sumber
belajar yang lain. Amati juga apa yang menjadi pokok persoalan dalam
membahas topik llmu pengetahuan dan teknologi dalam hubungannya
dengan pendidikan agama di perguruan tinggi. Pada satu sisi, perguruan tinggi
adalah tempat ilmu pengetahuan dan teknologi dipelajari sekaligus
dikembangkan. Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
hanya untuk menguasainya, namun agar dapat menyumbang baik untuk
perkembangan manusia secara pribadi maupun untuk masyarakat secara
bersama-sama. Bila ilmu pengetahuan dan teknologi dijadikan salah satu
substansi kajian, ada asumsi, bahwa agama memberi sumbangan yang berarti
dalam rangka memotivasi manusia untuk mempelajari dan
mengembangkannya demi kegunaan bagi manusia dan masyarakat.
Selain itu, tantangan terbesar dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah bahwa agama bisa menjadi kurang atau tidak relevan lagi dalam
memecahkan persoalan hidup manusia dan masyarakatnya. Disadari benar
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dibuktikan
secara empiris, dapat saja memerosotkan iman seseorang sehingga tidak
percaya lagi pada kebenaran agama bilamana temuan ilmu pengetahuan

92
ternyata berbeda dengan deskripsi Kitab Suci. Singkatnya, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat menjadi ancaman bagi kehidupan
beragama.
Jadi, bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi tetap diusahakan
berkembang, tetapijuga iman dan takwa manusia dalam kehidupan
beragamanya ditingkatkan. Karena itu, haruslah dicari hubungan yang
bermakna antara iman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Hubungan yang
bagaimanakah di antara keduanya yang dapat dipertanggungjawabkan?
Tantangan dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi
belum begitu terasa di Indonesia.
Karena ideologi Pancasila
mengasumsikan semua orang
percaya kepada Tuhan, secara
publik jarang ada orang
mempertanyakan eksistensi
Tuhan dan kebenaran dari apa
yang dianggap penyataan Ilahi
dalam kitab-kitab suci
keagamaan. Hal ini tidak berarti
bahwa secara individual orang
Sumber: http://www.google.com/iFreligion- and- tidak secara kritis
science.jpg&imgrefurl=d mempertanyakan dasar iman
mereka. Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional juga secara tegas merumuskan tujuan pendidikan
nasional pertama-tama untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan, dan juga memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaimanakah sifat hubungan antara iman (agama) dan ilmu pengetahuan
dalam sejarah (khususnya sejarah kekristenan)? Hubungan yang
bagaimanakah yang dapat kita kembangkan agar berguna bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta sekaligus meningkatkan keimanan dan
ketakwaan manusia kepada Tuhan? Inilah persoalan substansial kajian ini.
Sebelum kita menelusuri tipologi hubungan iman dan ilmu pengetahuan
menurut Ian Barbour, baiklah secara sederhana dilihat dua tipe hubungan yang
terlihat tidak membangun.

93
1. Dominasi Iman/Agama terhadap llmu Pengetahuan/Sains

Di Barat, tempat kekristenan berasal, selama berabad-abad lamanya,


khususnya selama Abad Pertengahan, dapat disaksikan dominasi iman atas
ilmu pengetahuan atau sains. Teologi yang menjadi acuan kehidupan iman
orang Kristen, dianggap sebagai ratu ilmu pengetahuan, telah
menempatkannya sebagai ukuran kebenaran untuk segala hal, bukan hanya
untuk soal iman danetika.
Tragisnya, ketika Galileo mengemukakan temuan ilmu pengetahuannya
bahwa bukan matahari yang beredar dari timur ke barat, melainkan bumilah
yang beredar mengelilingi matahari, gereja sebagai pemegang otoritas
kebenaran ajaran teologi menjatuhkan hukuman yang mengerikan terhadap
dia. Penemuannya justru dianggap bertentangan dengan deskripsi Alkitab
yang ditafsirkan secara literal (harfiah) dan dikenal dengan istilah Biblical
Literalism, tanpa memerhatikan konteks budaya ketika Alkitab ditulis.
Alkitab ditulis dalam konteks masyarakat agraris dan masih sederhana,
dan deskripsi tentang fenomena alam berdasarkan pengamatan semata-
mata. Secara awam sudah tentu deskripsi bahwa matahari yang beredar
mengelilingi bumi adalah hal yang wajar tetapi tentu maksud Alkitab bukanlah
untuk memberi deskripsi tentang gejala-gejala alam dan menjadi buku teks
ilmu pengetahuan alam. Tujuannya jauh lebih tinggi dari deskripsi seperti itu.
Penulis hendak menyaksikan bahwa di balik semua yang ada, ada penciptanya.
Suatu pengakuan tentang eksistensi Tuhan dan bahwa Tuhan adalah Allah
yang hidup dan bertindak dalam sejarah umat manusia. Silakan Anda amati
dan nilai dampak negatif dominasi iman/agama terhadap ilmu pengetahuan/
sains.

94
Untungnya, setelah beberapa abad
kemudian Gereja mengakui bahwa
hukuman terhadap Galileo Galilei
adalah suatu kekeliruan, dan Gereja
telah meminta maaf atas hal tersebut.
Umumnya, pada masa kini tidak ada
yang beranggapan bahwa mataharilah
yang beredar mengelilingi bumi dan
bukan bumi yang mengelilingi matahari,
walaupun tidak berani menolak otoritas
Alkitab, karena Alkitab bukan buku teks
ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana
sebaiknya hubungan iman/agama
dengan ilmu pengetahuan?

2. Dominasi llmu Pengetahuan terhadap Agama

Sejak zaman Pencerahan, dominasi iman atas ilmu mulai dipertanyakan,


malahan berkembang menjadi dominasi ilmu atas iman. Tantangan utama
atas agama atau iman dalam abad ilmu pengetahuan adalah keberhasilan
metode ilmu pengetahuan. Tampaknya ilmu pengetahuan memberikan satu-
satunya jalan yang dapat dipercaya menuju kepada pengetahuan (knowledge).
Banyak orang menganggap sains (ilmu pengetahuan) bersifat objektif,
universal, rasional, dan didasarkan pada bukti observasi/pengamatan yang
kuat. Sedangkan agama pada sisi yang lain, bersifat sangat subjektif, lokal
(sempit skopnya), emosional, dan didasarkan pada tradisi atau sumber
kewibawaan yang saling bertentangan satu sama lain. Lama-kelamaan,
orang lebih yakin akan metode ilmu pengetahuan, mulai meragukan
keyakinannya, dan bahkan meninggalkannya sebagai suatu yang tidak
berdasar. Rasio manusia menjadi ukuran atas segala-galanya bukan hanya
dalam bidang sains (ilmu pengetahuan) tetapi juga dalam hal-hal yang bersifat
imaniah dan kepercayaan.
Sebagai akibatnya, para teolog ada juga yang mencoba menyesuaikan
pernyataan Alkitab dengan temuan ilmu pengetahuan, dan dengan demikian
iman tunduk kepada ilmu pengetahuan. Inilah dominasi ilmu atas iman.
Silakan Anda amati dan nilai dampak negatif dominasi ilmu pengetahuan atas
iman/agama!

95
Dari dua sifat hubungan di atas, dapat dikatakan bahwa keduanya kurang
sehat baik untuk agama dan iman maupun untuk ilmu pengetahuan.
Ian Barbour membagi tipe hubungan iman dan ilmu pengetahuan masa
sekarang dalam 4 tipe hubungan. Liek Wilardjo telah membuat suatu
ringkasan yang sangat baik tentang keempat tipe itu serta menerbitkannya
dalam Jurnal Waskita (Wilardjo 2004, 15-29).

Menurut Wilardjo, keempat pengelompokkan yang dibuat Barbour itu, dapat


disingkat dengan empat (4) P, yakni: Pertentangan (Conflict), Perpisahan
(lndependence), Perbincangan (Dialogue), dan Perpaduan (lntegration).
Wilardjo lebih jauh menjelaskan makna dari keempat tipologi hubungan
iman dan ilmu di atas sebagai berikut.

a. Pertentangan (conflict)
Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan iman dan ilmu
yang pertama, yakni pertentangan. Pertentangan ialah hubungan yang
bertentangan (conflicting), dan dalam kasus yang ekstrem mungkin bahkan
bermusuhan (hostile). Barbour menunjukkan bahwa contoh historis dari konflik
ini adalah kasus Galileo. Lebih jauh dia katakan bahwa pada satu sisi mereka
yang menganut Materialisme Ilmiah (pada pihak ilmu pengetahuan) berada
pada pertentangan yang tidak terdamaikan dengan mereka dari pihak
agama/iman yang menganut Literalisme Alkitabiah. Baik Materialisme IImiah
dan Literalisme Alkitabiah percaya bahwa ada konflik yang serius antara ilmu
pengetahuan masa kini dengan kepercayaan-kepercayaan agamawi klasik.
Keduanya mencari pengetahuan dengan fondasi yang pasti: pada satu sisi
berdasarkan pada data logika dan indrawi, sedang pada sisi yang lainnya
berdasarkan pada kitab suci yang tidak ada salahnya (infallible scripture).
Keduanya mengklaim bahwa baik ilmu pengetahuan maupun teologi
membuat pernyataan-pernyataan yang bertentangan tentang hal yang sama,
misalnya sejarah dari alam ini, dan seseorang harus memilih salah satunya.
Menurut Barbour, keduanya justru mewakili penyalahgunaan ilmu
pengetahuan. Penganut Materialisme Ilmiah mulai dengan ilmu pengetahuan
tetapi kemudian berakhir dengan membuat klaim-klaim filosofis yang luas.
Sebaliknya, penganut Literalisme alkitabiah bergerak dari teologi lalu
membuat klaim-klaim tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan. Kedua aliran/kubu kurang memberi penghargaan yang
memadai kepada perbedaan-perbedaan kedua disiplin ilmu itu.

96
b. Perpisahan (independence)
Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan iman dan ilmu
yang kedua, yakni perpisahan. Perpisahan berarti ilmu dan agama berjalan
sendiri-sendiri dengan bidang garapan, cara, dan tujuannya masing-masing
tanpa saling mengganggu atau mempedulikan. Ini salah satu cara untuk
menghindari konflik atau saling menyalahkan. Masing-masing mempunyai
bidang yang berbeda, dan dengan metode yang khas yang dapat dibenarkan
atas dasar terminologinya sendiri-sendiri. Pendukung dari pandangan ini
berpendapat bahwa ada dua yuridiksi (otoritas) dan tiap pihak tidak boleh
campur urusan pihak yang lain, melainkan berurusan dengan urusannya
sendiri. Setiap cara inkuiri (penelitian) bersifat selektif dan mempunyai
keterbatasan. Perpisahan yang tajam ini dimotivasi atau didorong bukan saja
oleh keinginan untuk menghindari konflik yang tidak perlu, melainkan oleh
keinginan untuk setia kepada sifat yang berbeda dari setiap bidang kehidupan
dan pemikiran. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu dan agama
mempunyai perspektif yang berbeda atas bidang yang sama, ketimbang
bidang penelitian yang berbeda. Apakah ini cara terbaik untuk melihat
hubungan keduanya? Pada satu sisi tampaknya cara ini agak aman, namun
bagaimanakah seorang ilmuwan yang juga adalah seorang beriman?
Mungkinkah cara ini berfungsi?

c. Perbincangan (dialogue)
Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipologi hubungan iman dan ilmu
yang ketiga, yakni perbincangan. Perbincangan ialah hubungan yang saling
terbuka dan saling menghormati, karena kedua belah pihak ingin memahami
perbedaan dan persamaan antara keduanya. Dalam kategori ini pun ada
berbagai kelompok pendapat yang masih ada perbedaan di sana sini. Ada
banyak tokoh baik bidang ilmu pengetahuan maupun teologi yang menjadi
pendukung dari tipe ini. Salah satu argumen dari tipe ini menurut Barbour ialah
adanya kesejajaran metodologis dalam kedua disiplin ini: ilmu
pengetahuan dan teologi/iman. Sebelum tahun 1950-an, ada pembedaan
yang tajam antara sifat dan metode ilmu pengetahuan dan teologi. Ilmu
pengetahuan dikatakan bersifat objektif, yang berarti bahwa teori-teorinya
divalidasi dengan kriteria yang jelas, diuji oleh persetujuan data yang tidak
dapat dibantah dan bebas teori/nilai. Baik kriteria maupun data ilmu
pengetahuan diakui tidak tergantung pada subjek individual, dan tidak
dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh budaya. Pada sisi yang lain menurut
pendapat itu, agama atau teologi bersifat subjektif karena ada keterlibatan

97
pribadi di dalamnya. Sesudah tahun 1950-an, kontras atau perbedaan yang
tajam ini secara berangsur-angsur dipertanyakan. Ilmu pengetahuan tidak
seluruhnya objektif, agama tidak seluruhnya subjektif sebagaimana diduga
sebelumnya. Memang ada perbedaan-perbedaan dalam tekanan di antara
kedua bidang ini, tetapi perbedaannya tidak semutlak seperti yang diduga.
Data-data ilmiah didasarkan pada teori/anggapandan bukan bebas nilai.
Asumsi- asumsi teoretis ikut bermain dalam menyeleksi, melaporkan, dan
menafsirkan apa yang dianggap sebagai data. Lebih lagi, teori-teori tidaklah
lahir dari analisis data yang logis, melainkan melalui tindakan imajinasi kreatif
kadang-kadang analogi dan model-model memainkan peranan. Model-model
konseptual menolong kita membayangkan apa yang tidak dapat diamati
secara langsung.
Pada sisi yang lain, banyak dari ciri-ciri ini juga dapat ditemukan dalam agama
khususnya dalam berteologi. Kalau data agama termasuk pengalaman
agamawi, ritus- ritus, dan teks kitab suci, data-data seperti itu bahkan lebih
dipengaruhi oleh interpretasi konseptual. Bahasa-bahasa agamawi juga penuh
dengan metafora-metafora dan model-model. Sudah jelas bahwa
kepercayaan religius tidaklah tunduk terhadap pengujian empiris yang ketat,
namun dapat didekati dengan semangat yang sama yang terdapat di dalam
penelitian ilmu pengetahuan. Kriteria ilmiah mengenai koherensi, menyeluruh,
dan kegunaannya mempunyai kesejajaran dalam pemikiran agamawi.
Barbour juga mengutip Thomas Khun yang mengatakan bahwa baik teori-teori
dan data dalam ilmu pengetahuan tergantung pada paradigma dari komunitas
ilmiah (keilmuan). Khun mengartikan paradigma sebagai suatu kelompok
presuposisi (praanggapan) konseptual, metafisik dan metodologis yang
terwujud dalam suatu tradisi pekerjaan ilmiah. Dengan paradigma baru, data
lama direinterpretasikan dan dilihat dengan cara baru, dan data baru dicari.
Dalam memilih paradigma, tidak ada aturan untuk menerapkan kriteria ilmiah.
Evaluasinya merupakan suatu tindakan menilai oleh komunitas ilmu (ilmiah).
Tradisi agamawi dapat juga dipandang sebagai komunitas- komunitas yang
berpegang pada paradigma yang sama. Penafsiran data (seperti pengalaman
agamawi dan peristiwa sejarah), bahkan lebih bergantung kepada paradigma
dibandingkan dengan ilmu pengetahuan.
Banyak cara dan wilayah yang dapat digunakan oleh ilmu pengetahuan dan
teologi/iman untuk berdialog satu sama lain yang dapat memperkaya
keduanya dalam memenuhi panggilannya untuk memanusiakan manusia,
menjaga kelestarian alam semesta, dan pada saat yang sama memperkuat

98
ketakwaan dan keimanannya kepada Allah. Salah satu yang diusulkan
adalah mengembangkan spiritualitas yang berpusat kepada alam (nature).
Teologi Kristen sebaiknya menjaga keseimbangan antara imanensi Ilahi (Allah)
dalam alam, dan pada saat yang sama transendensi Ilahi (Allah) atas alam.
Belajar dari ilmu-ilmu sosial khususnya teori sosial kritis, para teolog
Pembebasan misalnya mengembangkan teologi yang memberi perhatian
kepada ketidakadilan dan dominasi, dan membaca Alkitab secara kritis serta
melakukan kritik sosial maupun kritik agamawi khususnya kritik terhadap
teologi yang mengalienasi manusia baik dari diri sendiri, sesama, alam
semesta, bahkan dari Tuhan.

d. Perpaduan (Integration)
Amati dan nilailah apa yang akan terjadi pada tipe hubungan iman dan ilmu
yang keempat, yakni perpaduan. Beberapa penulis berpendapat bahwa
semacam integrasi antara ilmu dan iman/agama adalah mungkin. Ada tiga
versi yang berbeda dari integrasi menurut Ian Barbour. Yang pertama, dalam
teologi natural (alamiah), diklaim bahwa eksistensi Allah dapat disimpulkan
dari bukti-bukti rancangan dalam alam. Bahwa alam sedemikian teratur
menunjukkan adanya suatu perancang di baliknya. Ia tidak mungkin terjadi
dengan sendirinya. Ilmu pengetahuan menolong kita untuk lebih
menyadarinya. Yang kedua, dalam teologi tentang alam, sumber utama dari
teologi terletak di luar ilmu pengetahuan, namun teori-teori ilmiah dapat
memengaruhi perumusan ulang dari doktrin- doktrin tertentu dalam agama,
khususnya doktrin tentang penciptaan dan hakikat manusia. Yang ketiga,
dalam sintesa sistematis, baik ilmu maupun agama, menyumbang untuk
pengembangan dari suatu metafisik yang inklusif, seperti dalam filsafat
proses.
Barbour memberi penjelasan yang panjang lebar dari ketiga macam versi
integrasi ilmu dan agama di atas, namun tidak dimuat di sini. Liek Wilardjo
menyimpulkan bahwa Barbour berpendapat bahwa “perpaduan” adalah
hubungan yang bertumpu pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan
telaah, rancangan penghampiran, dan tujuan ilmu dan agama adalah sama
dan menyatu. Perpaduan itu menurut Barbour seperti disimpulkan oleh
Wilardjo, dapat diusahakan dengan bertolak dari sisi ilmu (Natural Theology),
atau dari sisi agama (Theology of Nature).

99
Tipe manakah yang seharusnya dipakai? Barbour sangat mendukung tipe
keempat yakni perpaduan (integrasi) walaupun ia juga pro
perbincangan/dialogue. Wilardjo cenderung ke tipe ketiga yakni perbincangan
(dialog), karena di antara keduanya ada perbedaan yang menipiskan
kemungkinan perpaduan, tetapi juga ada persamaan sebagai dasar
perbincangan. Wilardjo tidak menolak tipe perpaduan, dan terbuka terhadap
kemungkinan itu, namun menurutnya tidak perlu dipaksakan. Tampaknya
memang untuk sementara tipe perbincangan lebih memungkinkan, walaupun
kita tetap terbuka pada tipe perpaduan, tetapi tidak perlu dipaksakan.
Secara alkitabiah dan imaniah, kita pada satu sisi menerima bahwa ilmu
pengetahuan dapat dikembangkan manusia, karena hal ini adalah mandat
kebudayaan. Untuk melaksanakan mandat itu Tuhan, memperlengkapi
manusia dengan kemampuan rasional dan kemampuan yang lain. Pada saat
yang sama, manusia adalah juga makhluk religius dan karenanya agama tidak
bisa tidak hadir dalam kehidupan manusia dan menjadi kebutuhan manusia
untuk berelasi dengan Tuhan. Karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana
kedua potensi itu dipakai untuk membentuk kepribadian yang utuh, dan
bagaimana keduanya saling menunjang dan mendukung? Lebih-lebih
bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan tidak hanya terbatas demi ilmu
itu sendiri tetapi demi kemaslahatan manusia dan kelestarian alam, dan
karena dengan demikian kita telah melaksanakan kehendak Tuhan yang telah
menciptakan dunia dan isinya dengan perintah untuk mengasihi sesama, dan
memelihara alam ciptaan Tuhan. Tujuan akhir agama adalah transformasi
manusia dan masyarakat dalam rangka mentaati kehendak Tuhan.

100
Kini kita akan mengalihkan perhatian kita kepada teknologi sebagai aplikasi
ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah.

Reaksi dan tanggapan terhadap perkembangan teknologi modern dan canggih


bermacam-macam. Oleh sebab itu, silakan Anda mengajukan beberapa
pertanyaan kritis yang berkaitan dengan manfaat dan dampak negatif
teknologi modern.
Ada tiga kelompok dalam merespon perkembangan teknologi modern.
Kelompok pertama melihat perkembangan teknologi modern sebagai sumber
yang memungkinkan standar kehidupan lebih tinggi, meningkatkan kesehatan,
dan komunikasi yang lebih baik maupun mudah. Pokoknya, teknologi modern
dianggap memberi dampak peningkatan kesejahteraan manusia. Klaim bahwa
persoalan apa pun yang diakibatkan oleh teknologi modern pada dirinya sendiri
tunduk atau dapat dikontrol oleh solusi teknologis. Kelompok kedua bersikap
kritis terhadap teknologi, karena teknologi modern dapat menyebabkan
alienasi dari alam, penghancuran lingkungan hidup, mekanisasi dari kehidupan
manusia, dan hilangnya kebebasan manusia. Kelompok ketiga berpendapat
bahwa teknologi bersifat ambigu, dampaknya bervariasi tergantung pada
konteks sosial karena teknologi dirancang dan digunakan, dan menjadi produk
maupun sumber dari kekuatan ekonomis dan politis.
Terlepas dari bervariasinya respons terhadap teknologi modern, persoalan
pokoknya adalah kita hidup di dalam situasi teknologi modern dan kita
tidak dapat menghindarinya. Cepat atau lambat, pengaruh dan dampaknya
akan dirasakan oleh semua orang. Lebih repot lagi mereka yang tertinggal oleh
teknologi akan semakin tertinggal dalam kesejahteraan hidupnya. Bagaimana
sikap agamawi (kristiani) terhadap pengembangan maupun penggunaan
teknologi modern. Selanjutnya akan dibicarakan pengertian teknologi modern
dan diteruskan dengan beberapa tipe respons manusia terhadap teknologi
modern dengan mengikuti kategori Ian Barbour.
Menurut Eka Darmaputera, tujuan akhir dari sains adalah mengetahui
sebanyak-banyaknya tentang dunia dan alam semesta, sedangkan tujuan
akhir dari teknologi mengubah dunia dalam arti bagaimana pengetahuan dari
sains tadi dapat diaplikasikan dalam peralatan untuk memecahkan masalah
(Supardan 1991, 241). Ada yang mengatakan bahwa teknologi adalah aplikasi
sains untuk memecahkan masalah manusia. Dalam pengertian itu ada kaitan
erat antara ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Tanpa sains tidak mungkin

101
teknologi berkembang, sebaliknya tanpa teknologi, sains menjadi mandul.
Teknologi, menurut Darmaputera, tidak pernah cukup dijelaskan hanya
dengan kategori-kategori sains saja. Teknologi mengimplikasikan pilihan, dan
pilihan menuntut keputusan yang tidak hanya menyangkut aspek ilmiah,
namun juga yang berdimensi etis dan religius. Misalnya, secara ilmiah,
teknologi kloning dapat diterapkan juga kepada manusia, tetapi apakah
seorang ilmuwan/wati boleh melakukan hal tersebut? Ada banyak sekali
pertimbangan dalam membuat keputusan apakah seseorang dapat
melakukan kloning manusia, dan perdebatan mengenani hal ini masih terus
berjalan.
Barbour mengutip pendapat ahli yang mengatakan bahwa teknologi dapat
didefinisikan sebagai aplikasi dari pengetahuan yang terorganisir kepada
tugas- tugas praktis dengan atau melalui sistem-sistem yang tertata, dan
mesin-mesin (Barbour 1993, 3). Menurut Barbour ada tiga kekuatan dan
keuntungan dari definisi luas ini. Pertama, “organizedknowledge”
(pengetahuan yang terorganisir) memungkinkan untuk mencakup teknologi-
teknologi yang didasarkan pada pengalaman dan penemuan praktis, tetapi
juga didasarkan pada teori-teori keilmuan (ilmiah). Kedua, istilah “practical
tasks” (tugas-tugas praktis) dapat mencakup baik produksi dari barang-
barang materiil (seperti dalam industri dan pertanian), dan penyediaan
pelayanan (melalui komputer, media komunikasi, bioteknologi, dan lain-lain).
Ketiga, istilah “ordered systems of people and machine” (sistem tertata dari
orang-orang dan mesin-mesin) mengarahkan perhatian kita kepada institusi-
institusi sosial maupun perangkat keras teknologi. Luasnya definisi itu juga
mengingatkan kita akan adanya perbedaan-perbedaan yang besar di antara
berbagai teknologi.
Singkatnya teknologi adalah aplikasi ilmu pengetahuan dalam peralatan demi
memecahkan masalah. Semua ini terjadi dalam sistem tertata dari orang-
orang dan mesin-mesin.
Menurut Anda masalah-masalah apa saja yang dapat dipecahkan dengan
teknologi? Berilah contoh konkret dari jawaban Anda! Khususnya dalam bidang
komunikasi, apa saja dampaknya yang Anda rasakan?

Rupanya respons orang Kristen terhadap teknologi modern tidaklah sama


sepanjang sejarah. Oleh sebab itu, silakan Anda mengumpulkan informasi

102
sebanyak- banyaknya dari berbagai buku dan sumber belajar yang lain
mengenai respons orang Kristen terhadap teknologi modern!
Pada satu sisi, ada yang sangat positif dan menganggap teknologi sebagai
pembebas, tetapi sebaliknya ada juga yang sangat pesimis dan menganggap
teknologi sebagai ancaman. Ada juga yang berada di jalan tengah dan sangat
berhati-hati dalam merespons teknologi modern. Kita akan menggali
pandangan-pandangan tersebut dalam bagian berikut ini. Ada tiga respons
terhadap teknologi, menurut Ian Barbour (Barbour 1993:4-21).

1. Teknologi sebagai Pembebas (Liberator)

Sepanjang sejarah modern, perkembangan teknologi telah disambut secara


bersemangat oleh karena potensinya untuk membebaskan kita dari kelaparan,
penyakit, dan kemiskinan. Teknologi telah dirayakan sebagai sumber dari
kemajuan materiil dan pemenuhan kemanusiaan kita. Silakan Anda
mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari buku-buku dan
sumber belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang menganut pandangan
teknologi sebagai liberator. Berikut ini diidentifikasi beberapa kegunaan
teknologi.

Sumber: http://nirkabeld3mi09.blogspot.com/

111
Pertama, standar kehidupan yang lebih tinggi. Obat-obat baru, perhatian
medis yang lebih baik, sanitasi dan nutrisi yang meningkat telah meningkatkan
masa/lama kehidupan manusia lebih dari dua kali di negara-negara industri
sepanjang abad yang lalu. Mesin-mesin, misalnya, telah membebaskan
manusia dari pekerjaan berat yang menghabiskan waktu dan energi. Kemajuan
materiil berarti pula pembebasan manusia dari tirani alam. Impian kuno untuk
hidup bebas dari kelaparan maupun penyakit sedang mulai terealisasi melalui
teknologi. Jadi, banyak orang di negara-negara sedang berkembang kini
berpaling kepada teknologi sebagai sumber pengharapan yang utama.
Produktivitas dan pertumbuhan ekonomi akhirnya akan membawa manfaat
bagi setiap orang.
Kedua, kesempatan untuk memilih. Pilihan individu mempunyai cakupan yang
lebih luas dewasa ini dibandingkan sebelumnya karena teknologi telah
menghasilkan opsi baru yang belum tersedia sebelumnya, dan juga
menghasilkan berbagai barang dan jasa. Mobilitas geografis dan sosial
memungkinkan suatu pilihan yang lebih besar baik untuk pekerjaan ataupun
tempat. Dalam masyarakat industri urban (perkotaan), pilihan atau opsi
seseorang tidaklah terlalu dibatasi oleh ekspektasi/harapan orangtua
maupun komunitas seperti pada masyarakat pedesaan yang bersifat
agraris. Dinamisme teknologi dapat membebaskan manusia dari tradisi yang
statis dan membelenggu untuk bertanggung jawab atas kehidupan mereka
sendiri. Kekuasaan atas alam memberi kesempatan yang lebih besar untuk
mewujudkan kebebasan manusiawi.
Ketiga, lebih banyak waktu luang. Peningkatan dalam produktivitas telah
membawa kita kepada jam kerja yang lebih pendek. Komputer dan otomasi
menjanjikan untuk mengurangi banyak dari pekerjaan yang bersifat monoton
yang merupakan ciri dari industrialisasi fase awal. Sejak lama, waktu luang
untuk menikmati hal-hal yang bersifat kultural (nonton pertunjukan misalnya)
hanyalah hak istimewa dari segelintir masyarakat kelas atas, sedangkan
kebanyakan warga masyarakat masih bergumul bagaimana bisa tetap hidup.
Dalam masyarakat maju ada waktu untuk mengikuti pendidikan yang
berkelanjutan, seni, pelayanan sosial, olah raga, dan berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat. Teknologi dapat menyumbang untuk memperkaya
kehidupan manusia, dan berkembangnya kreativitas. Peralatan yang
membuat hemat tenaga dan waktu kerja membebaskan kita untuk
melakukan apa yang tidak dapat dikerjakan oleh mesin-mesin.

112
Pendukung dari pandangan ini mengatakan bahwa manusia dapat mengatasi
materialisme ketika kebutuhan-kebutuhan materiil mereka telah terpenuhi.
Keempat, komunikasi-komunikasi yang meningkat. Dengan bentuk-
bentuk baru transportasi, seseorang dalam waktu beberapa jam saja dapat
bepergian ke tempat-tempat yang jauh yang sebelumnya butuh waktu
berbulan- bulan untuk mencapainya. Dengan teknologi elektronik (radio,
televisi, jaringan komputer, telepon genggam, dan sebagainya), kecepatan,
jangkauan, dan skop komunikasi telah berkembang dengan pesat. Kombinasi
antara gambar dan berita yang didengar mempunyai tingkat kesegeraan yang
tidak terdapat dalam kata-kata yang tercetak. Media yang baru ini
menawarkan kemungkinan komunikasi sedunia yang instan, interaksi dan
pemahaman yang lebih besar, dan saling menghargai dalam apa yang kita
sebut “global village” (desa global). Jadi, menurut pendukung dan pembela
tipe ini, teknologi membawa kegunaan psikologis maupun sosial, bahkan
kemajuan material.
Di samping membuat daftar kegunaan teknologi sebagai liberator, ada banyak
penulis dari dunia sekuler maupun dunia agama mengemukakan
pandangan yang sangat optimis tentang teknologi. Berikut ini disampaikan
beberapa contoh pandangan para teolog Kristen yang mendukung tipe ini.
Mereka pada dasarnya melihat teknologi bukan saja sebagai sumber standar
hidup yang lebih tinggi, melainkan juga sumber kebebasan yang lebih besar
dan ekspresi kreatif.
Harvey Cox, misalnya, dalam tulisan awalnya berpendapat bahwa kebebasan
untuk menguasai dan membentuk dunia melalui teknologi membebaskan kita
dari kungkungan tradisi. Kekristenan menyebabkan desakralisasi dari alam,
dan memungkinkannya dikontrol dan dipakai untuk kesejahteraan manusia.
Norris Clarke juga berpendapat bahwa teknologi merupakan suatu alat
pemenuhan manusiawi dan ekspresi diri dalam menggunakan inteligensi
karunia Tuhan untuk mengubah dunia. Pembebasan dari perbudakan alam
adalah kemenangan roh atas hal yang materiil. Sebagai kokreator Allah, kita
dapat merayakan kontribusi akal/pikiran manusia untuk memperkaya
kehidupan manusia. Teolog-teolog lain malah mengonfirmasi bahwa
teknologi sebagai alat atau instrumen kasih dan belas kasih dalam
meringankan penderitaan manusia sebagai suatu respons modern terhadap
perintah Alkitab untuk memberi makan kepada yang lapar, dan menolong
kebutuhan sesama.

113
Pierre Teilhard de Chardin berpendapat bahwa membangun dunia adalah
suatu hal yang penting karena tindakan itu berarti ikut bekerja sama dalam
pekerjaan kreatif Allah. Teknologi adalah suatu partisipasi dalam kreativitas
Ilahi. Teknologi memberi visi tentang masa depan planet yang di di dalamnya
teknologi dan perkembangan spiritual dihubungkan satu sama lain. Walaupun
demikian, tidak kurang pula yang merespons secara kritis terhadap pihak yang
sangat optimis terhadap perkembangan teknologi. Ada sejumlah respons
terhadap para pendukung teknologi yang optimis. Barbour
mengidentifikasikan beberapa contoh.
Pertama, risiko kerugian manusiawi dan kerugian pada lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh teknologi tidak terlalu diperhatikan oleh mereka yang
bersikap optimis. Menurut mereka yang optimis, solusi teknis dapat ditemukan
untuk masalah lingkungan hidup. Limbah beracun bisa mengotori air tanah
beberapa dekade kemudian setelah dikuburkan. Lubang pada lapisan ozon
belum terlalu dipikirkan oleh para ilmuwan. Selain itu, erosi tanah dan
penggundulan hutan secara besar-besaran mengancam sumber-sumber
biologis yang sangat esensial/penting untuk kehidupan manusia.
Kedua, perusakan lingkungan hidup adalah gejala dari masalah yang lebih
mendalam, yakni keterasingan dari alam. Ide tentang dominasi manusia atas
alam mempunyai banyak akar. Misalnya, tradisi agamawi Barat sering menarik
garis pemisah yang tajam antara manusia dan ciptaan yang lain. Lembaga-
lembaga ekonomi memperlakukan alam sebagai suatu sumber untuk
dieksploitasi oleh manusia. Mereka yang bersemangat dalam teknologi
menambah evaluasi dari dunia alamiah karena mereka memandangnya
sebagai objek untuk dikontrol dan dimanipulasi. Para ahli teknologi kurang
sensitif terhadap alam dibandingkan dengan para pengkritiknya.
Ketiga, teknologi ternyata menyumbang kepada pemusatan kekuasaan
ekonomi dan politis. Hanya kelompok dan bangsa kaya yang bisa memiliki
teknologi mutakhir. Dengan demikian, jurang antara yang kaya dan miskin
telah dipertahankan dan dalam banyak kasus diperlebar oleh perkembangan
teknologi. Bangsa-bangsa kaya memakai energi dan kekayaan dunia secara
tidak proporsional. Komitmen untuk keadilan membutuhkan suatu analisis
yang lebih serius mengenai kerugian dan keuntungan dari teknologi. Banyak
macam teknologi yang keuntungannya dinikmati satu kelompok sedangkan
kelompok lain dihadapkan pada risiko dan biaya sosialnya.

114
Keempat, teknologi berskala besar penuh risiko. Sifatnya padat modal dan
bukan padat karya sehingga menimbulkan pengangguran di mana-mana.
Sistem berskala besar sangat rentan terhadap kesalahan, kecelakaan, ataupun
sabotase. Contoh paling konkret adalah malapetaka Chernobyl pada tahun
1986, yang merupakan produk dari kesalahan manusia, peralatan yang cacat,
rancangan yang buruk, dan prosedur keamanan yang tidak dapat diandalkan.
Kelima, ketergantungan kepada ahli untuk membuat keputusan mengenai
kebijakan, tentu tidak diharapkan. Para teknokrat mengklaim bahwa
pertimbangan mereka bersifat bebas nilai; dan para elite teknis diharapkan
bersikap nonpolitis. Mereka yang punya kuasa, jarang menggunakan kuasanya
secara rasional dan objektif, khususnya kalau kepentingannya terancam.
Walaupun kita masih bisa menambah lagi deretan pertanyaan terhadap
pendukung tipe pertama, untuk sementara cukup dulu. Kita kini beralih kepada
tipe kedua: teknologi sebagai ancaman.

2. Teknologi sebagai Ancaman


Pada ekstrem yang berlawanan adalah kritik terhadap teknologi modern yang
melihatnya sebagai ancaman terhadap kehidupan manusia yang autentik.
Silakan Anda mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari buku-
buku dan sumber belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang
menganut pandangan teknologi sebagai ancaman. Kita akan membatasi diri
hanya pada kritik terhadap kemanusiaan, daripada kritik terhadap lingkungan
hidup. Ada lima ciri teknologi industri yang dijadikan dasar kritik mereka
khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan kemanusiaan.
Pertama, uniformitas (keseragaman)
dalam masyarakat yang bersifat
massal. Produksi besar-besaran
menuntut adanya hasil yang
distandarkan, dan media massa
cenderung menghasilkan budaya
nasional yang seragam. Individualitas
hilang dan perbedaan-perbedaan
lokal atau regional dihilangkan dalam
keseragaman industrialisasi.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri
dianggap tidak efisien, sehingga
pekerja yang bisa bekerja sama diberi

115
hadiah. Identitas individu ditentukan oleh peranannya dalam organisasi.
Penyesuaian diri dengan masyarakat merusak spontanitas dan kebebasan.
Kedua, kriteria yang sempit tentang efisiensi. Teknologi membimbing ke arah
organisasi yang rasional dan efisien, yang pada gilirannya menuntut
fragmentasi, spesialisasi, kecepatan, hasil yang maksimum. Kriterianya adalah
efisiensi dalam mencapai suatu tujuan tunggal atau suatu rangkaian tujuan-
tujuan yang sempit. Sedangkan efek sampingan ataupun kerugian manusiawi
diabaikan. Kriteria kuantitatif lebih diutamakan daripada kriteria kualitatif.
Pekerja menjadi budak dari mesin ketika menyesuaikan diri dengan jadwal
kerjanya dan temponya, menyesuaikan diri dengan tuntutannya. Peranan-
peranan kerja yang bermakna hanya dimiliki oleh segelintir orang dalam
masyarakat industri kini. Reklame menciptakan kebutuhan (demand) untuk
produk baru, tidak peduli apakah produk itu sungguh dibutuhkan atau tidak.
Tujuannya tidak lain adalah hanya supaya mendorong volume produksi yang
lebih besar.
Ketiga, tidak bersifat pribadi (impersonality) dan manipulasi. Hubungan-
hubungan dalam masyarakat teknologi dijadikan spesialisasi dan fungsional.
Komunitas yang sesungguhnya dan interaksi antarpribadi terancam. Ketika
mentalitas teknologis begitu dominan, orang diperlakukan sebagai objek-
objek.
Keempat, tidak dapat dikontrol. Teknologi-teknologi yang terpisah membentuk
suatu sistem yang saling terkait, suatu jaringan kerja yang menyeluruh,
saling memperkuat, yang tampaknya berjalan sendiri tanpa bisa dikontrol.
Beberapa pengkritik mengatakan bahwa teknologi bukan hanya satu set
peralatan yang dapat disesuaikan untuk dipakai manusia, melainkan sudah
menjadi suatu bentuk kehidupan yang mencakup segalanya, suatu struktur
yang persuasif dengan logika dan dinamikanya sendiri.
Kelima, keterasingan pekerja. Keterasingan dari pekerja adalah tema sentral
dari tulisan Karl Marx. Ditempatkan di bawah kapitalisme, katanya, pekerja tak
memiliki alat dan mesinnya, dan mereka sangat tidak berdaya dalam kehidupan
pekerjaannya. Mereka dapat menjual tenaga kerjanya sebagai suatu komoditi,
tetapi pekerjaan mereka bukan suatu bentuk yang bermakna untuk ekspresi
diri. Marx berpendapat bahwa keterasingan semacam itu merupakan produk
dari pemilikan kapitalis yang dengan sendirinya akan hilang di bawah
kepemilikan negara. Banyak penulis kini sadar bahwa keterasingan itu juga
tetap saja ada dalam kepemilikan negara atas modal dan alat-alat produksi.
Dengan begitu, perasaan kecewa, frustrasi, dan rasa tidak berdaya adalah

116
gejala umum dari pekerja-pekerja di mana saja termasuk dalam negara
kapitalis. Dalam kaitan ini, kita catat seorang filsuf Perancis yang sangat keras
memberi kritik terhadap teknologi yakni Jacques Ellul. Menurutnya, teknologi
adalah suatu kekuatan yang otonom dan tidak dapat dikontrol yang
merendahkan martabat manusia siapa saja yang disentuhnya. “Tehnique”
suatu istilah yang luas yang dipakai Ellul untuk merujuk kepada mentalitas dan
struktur teknologis yang meresapi bukan saja proses industri, melainkan juga
kehidupan sosial, politik, dan ekonomi pun telah dipengaruhi olehnya. Efisiensi
dan organisasi diterapkan dalam semua aktivitas.
Ahli-ahli lain mengatakan bahwa dalam negara yang kaya atau maju,
keprihatinan yang sah untuk mencapai kemajuan materiil, dengan mudah
menjadi tujuan hidup tertinggi dan dikejar habis-habisan. Obsesi seperti itu akan
mendistorsi nilai-nilai dasar kemanusiaan, maupun relasi-relasi kita dengan
orang lain. Teknologi, selanjutnya, bersifat imperialistis dan membuat manusia
kecanduan (adiktif).
Beberapa teolog juga ada yang menganut tipe ini dan melancarkan kritiknya
terhadap kemajuan teknologi, terutama dalam kaitan dengan dampaknya
terhadap kehidupan spiritual. Paul Tillich, misalnya, mengatakan bahwa
rasionalitas serta impersonality dari sistem-sistem teknologi merendahkan
atau mengabaikan praanggapan pribadi dari komitmen agamawi. Gabriel
Marcel juga mengatakan bahwa cara pandang teknologis yang sangat
memengaruhi hidup manusia akan mengabaikan “rasa sakral” (sense of
sacred). Teknisi memperlakukan segala sesuatu sebagai masalah yang dapat
dipecahkan dengan teknik manipulatif tanpa harus ada keterlibatan pribadi.
Hal ini akan mengabaikan misteri dan eksistensi manusia, yang hanya dapat
diketahui melalui keterlibatan sebagai manusia yang utuh atau menyeluruh.
Barbour khususnya juga memberi respons terhadap para pesimis dalam
bidang teknologi. Rupanya para pengkritik terlalu membuat generalisasi atas
teknologi yang begitu bervariasi itu. Selain itu, mereka seolah menyangkal
kemungkinan bahwa teknologi dapat diarahkan kembali (redirect). Kemudian
mereka lupa bahwa teknologi dapat menjadi pelayan manusia.

117
3. Teknologi sebagai Instrumen Kekuasaan

Posisi atau respons ketiga


berpendapat bahwa teknologi tidak
secara inheren baik atau jelek/jahat,
tetapi teknologi adalah instrumen
kekuasaan yang ambigu/mendua,
yang konsekuensi-konsekuensinya
tergantung pada konteks sosialnya.
Beberapa teknologi tampaknya
netral jika mereka dapat dipakai
untuk kebaikan atau kejahatan
sesuai dengan tujuan pemakainya.
Pisau dapat dipakai untuk operasi
atau membunuh, dan seterusnya.
Tetapi analisis historis
memperkuat kesimpulan bahwa Sumber:
http://rido_prasojo2403.blog.ugm.ac.i
kebanyakan teknologi sudah d/2011/10/19/teknologi-yang-semakin-maju/
dibentuk oleh interes/kepentingan
dan tujuan-tujuan institusional yang khusus. Teknologi adalah konstruksi
sosial, dan jarang sekali bersifat netral sebab tujuan khusus sudah terjalin
dalam rancangannya. Tujuan alternatif akan menuntun kepada rancangan
alternatif. Beberapa rancangan masih memungkinkan beberapa pilihan
tentang bagaimana menggunakannya. Barbour mengemukakan dua hal
dalam kaitan dengan posisi ketiga ini. Pertama, tentang hubungan teknologi
dengan kekuasaan politik. Kedua adalah mengarahkan kembali teknologi.
Silakan Anda mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari buku-
buku dan sumber belajar yang lain tentang tokoh-tokoh yang menganut
pandangan teknologi sebagai instrumen kekuasaan.

Menurut Anda, apakah teknologi memiliki hubungan yang erat dengan


kekuatan politis? Coba kemukakan argumentasi Anda jika Anda menyatakan
teknologi memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan politis.
Pada satu sisi, para pendukung teknologi memiliki hubungan dengan politik
bersikap kritis terhadap teknologi. Mereka juga menawarkan pengharapan
bahwa teknologi dapat dipakai untuk tujuan yang lebih manusiawi, baik oleh
kekuatan politis maupun ekonomi. Menurutnya, ada dua kekuatan yang

118
sangat menentukan perkembangan teknologi yakni para pembuat keputusan
dalam perusahaan-perusahaan besar (Trans-National Corporations) dan
pemerintah. Karena itu, merekalah yang paling bertanggung jawab untuk apa
teknologi dikembangkan. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kita
dapat berharap bahwa keputusan politis yang dibuat oleh para birokrat dapat
sungguh-sungguh memerhatikan kepentingan rakyat banyak dan bukan
hanya kepentingan perusahaan-perusahaan besar. Dengan perkataan lain,
sesungguhnya rakyatlah yang harus mengontrol teknologi macam apa yang
dikembangkan dan untuk tujuan apa dikembangkan. Sayangnya, kerja sama
antara penguasa ekonomi yakni perusahaan-perusahaan besar dan birokrat
telah begitu kuat dan saling menguntungkan sehingga tak bisa lagi dikontrol
oleh rakyat. Karena itu, kepentingan rakyat banyak sulit dijamin dalam
pengembangan teknologi modern.
Salah seorang yang secara optimis percaya bahwa teknologi dapat diarahkan
kembali adalah Victor Ferkis, seorang ahli ilmu politik. Bagi dia, baik yang
optimis maupun yang pesimis terhadap teknologi, telah mengabaikan
keragaman di antara teknologi, dan khususnya peranan potensial dari struktur
politik dalam mereformulasikan kebijakan-kebijakan. Pada masa lalu,
katanya, teknologi telah menjadi instrumen keuntungan, dan keputusan-
keputusan dimotivasikan oleh kepentingan-kepentingan pribadi yang
berjangka pendek dari perusahaan-perusahaan. Kebebasan yang dipahami
secara individualistis telah menjadi lisensi bagi mereka yang secara ekonomi
berkuasa. Hak individu diutamakan di atas kepentingan dan kebaikan bersama,
walaupun disadari bahwa manusia semakin saling tergantung. Ferkis masih
percaya bahwa kriteria ekonomi dapat ditempatkan di bawah kriteria sosial
seperti keseimbangan ekologis dan kebutuhan manusia. Ini adalah peranan
dari kekuatan politis yang dalam sistem demokratis dikontrol oleh rakyatnya.

Setelah mendeskripsikan ketiga macam respons terhadap teknologi, yang


manakah yang dapat kita anggap sebagai sikap Kristen yang bertanggung
jawab? Silakan Anda mengomunikasikan sikap Anda terhadap teknologi
kepada rekan- rekan di kelas dengan menggunakan kata-kata sendiri. Tentu
masing-masing dapat menentukan pilihannya. Sejalan dengan pandangan Ian
Barbour, sikap ketiga terlihat lebih realistis dan sejalan dengan sikap etis
Kristen. Pertama, kita tidak dapat terlalu optimis dan mengagungkan teknologi
sebagai penyelamat, karena hanya Tuhan yang dapat menyelamatkan.

119
Keasyikan dengan teknologi dapat berkembang menjadi sikap mendewakan
teknologi, suatu penyangkalan dari kedaulatan dan kekuasaan Allah, dan juga
suatu ancaman terhadap eksistensi manusia yang khas. Akan tetapi, kita juga
jangan terlalu pesimis dengan teknologi, sebab teknologi yang diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan manusia yang sesungguhnya adalah perwujudan
dan ekspresi yang sah dari kapasitas kreatif manusia dan merupakan
kontribusi esensial bagi kesejahteraannya. Dalam dunia yang penuh dengan
penyakit dan kelaparan, teknologi yang secara benar digunakan dapat menjadi
ekspresi keprihatinan yang luar biasa kepada manusia. Pemahaman alkitabiah
tentang hakikat manusia adalah realistis tentang penyalahgunaan kuasa, dan
pelembagaan dari kepentingan pribadi. Alkitab juga sangat menekankan
pentingnya keadilan sosial dalam mendistribusikan buah dari teknologi.
Apa saja kriteria yang dapat menuntun setiap pihak dalam pengembangan dan
penggunaan teknologi modern? Ada yang berpendapat bahwa pengembangan
dan penggunaan teknologi modern haruslah menjamin tiga hal berikut ini.
1. adanya jaminan bahwa harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi,
termasuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
2. haruslah menjamin adanya kelestarian alam, yakni menjaga
keseimbangan antara kepentingan manusia kini dan manusia yang akan
datang.
3. adanya jaminan keadilan sosial dari distribusi hasil dari teknologi.

Silakan Anda menambahkan dan mengomunikasikan kriteria-kriteria lain


yang sejalan dengan nilai dan keyakinan religius Anda kepada rekan-rekan
di kelas.

Kita tidak mungkin menghindar berhadapan dengan kemajuan ilmu


pengetahuan dan teknologi, maupun seni. Semuanya menuntut respons kita
sebagai orang percaya bagaimana mengembangkan pola hubungan yang
positif antara iman dengan ilmu, teknologi dan seni.
Pertama, hubungan yang positif antara iman dan ilmu bisa disimpulkan
pertama dengan mensyukuri karunia Tuhan kepada manusia untuk berakal
budi dan berpikir rasional sehingga ilmu dapat berkembang. Ilmu tidak
bisa berkembang tanpa kriteria dan kontrol yakni harus membawa
kemaslahatan manusia dan dunia ini sehingga dengan demikian Allah
dimuliakan.

120
Kedua, hubungan positif atara iman dan teknologi juga harus disyukuri dan
diterima secara positif, karena melaluinya Allah menyatakan kasih-Nya kepada
manusia melalui kemajuan teknologi. Jangan pernah berilusi bahwa teknologi
tidak membawa dampak negatif yang tidak memanusiakan manusia. Karena
itu, harus dikritisi dan ada upaya meminimalkan dampak negatifnya. Teknologi
tak perlu dielu-elukan sebagai liberator, karena akhirnya hanya Tuhanlah sang
Liberator sesungguhnya.
Ketiga, seni adalah karunia Tuhan dalam kehidupan yang harus disyukuri. Kita
perlu menikmati keindahan. Seni dapat dipakai sebagai ekspresi iman,
melalui puji-pujian, dan berbagai manifestasi seni yang lain. Beragama tanpa
melibatkan unsur seni sangatlah kering dan membosankan, tidak imajinatif.
Tak ada ekspresi keagamaan yang bebas dari seni. Seni memperkaya
kehidupan keagamaan dan mendekatkan manusia kepada Tuhan. Sebaliknya,
agama dan iman juga perlu mewarnai seni dan mengontrolnya agar
dikembangkan untuk mendatangkan kebaikan dan bukan kejahatan, seperti
pornografi dll.

Mahasiswa terlebih dahulu melakukan ekplorasi dalam kelompok-


kelompok kecil bagaimana hubungan iman dan ilmu pengetahuan dalam
perspektif historis, untuk dapat mengidentifikasi kecenderungan saling
mendominasi dan karenanya saling menghambat. Kemudian
mahasiswa/i ditantang untuk melakukan penyelidikan bagaimana hubungan
yang bermakna dibangun antara iman dan ilmu, teknologi dan seni, dalam arti
mengembangkan alasan imaniah mengenai tanggung jawab pengusahaan,
pengembangan, dan pemanfaatan ilmu, teknologi dan seni demi
kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan hidup, yang pada gilirannya
untuk kemuliaan Tuhan. Presentasikan hasil penyelidikan yang Anda lakukan!

121
BAB VI
MENCIPTAKAN KERUKUNAN
ANTARUMAT BERAGAMA

Sebenarnya persoalan kerukunan hidup umat beragama bukanlah sesuatu


yang baru sama sekali. Kerukunan hidup umat beragama adalah sesuatu yang
didambakan, dan sekaligus juga dibutuhkan perjuangan berat untuk
mewujudkannya. Hal ini tidak mengherankan karena agama-agama dapat
menimbulkan ketegangan, bahkan konflik. Segala ketegangan bahkan konflik
tidaklah semata-mata disebabkan oleh agama. Unsur kekuasaan serta
dominasi politik dan ekonomi dapat memainkan peranan yang sangat
menentukan dalam menyulut api konflik. Dalam keadaan demikian, agama
diperalat untuk mencapai tujuan yang bertentangan dengan misi agama itu
sendiri.
Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran.
Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah: (i)
menumbuhkembangkan sikap sabar, tangguh, dan pembawa damai; (ii)
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain dalam kepelbagaian agama,
suku dan budaya; (iii) bersikap peduli terhadap sesama manusia; (iv) bersikap
terbuka untuk bekerja sama dengan semua pihak dalam rangka
mendatangkan kebaikan bersama; (v) mengevaluasi kerukunan antarumat
beragama dewasa ini; dan (vi) mencipta kerukunan antarumat beragama
dewasa ini.

Menurut Anda, apakah pernah terjadi dalam sejarah dunia peperangan yang
didorong agama? Jika pernah terjadi, apa yang menyebabkan terjadinya
konflik antarumat beragama tersebut? Untuk dapat menjawab pertanyaan
tersebut, Anda bisa melihat buku karangan A. A. Yewangoe yang berjudul Iman,
Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila atau buku yang lain.

122
Indonesia adalah sebuah bangsa yang masyarakatnya sangat majemuk,
demikian pula agamanya. Indonesia sangat potensial untuk terpecah-belah.
Pancasila sebagai ideologi negara dan sekaligus sebagai “payung”
mengabsahkan bahwa benarlah bangsa ini sebuah keluarga besar.
Permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam masyarakat mestinya
merupakan persoalan bersama. Demikian juga, segala sesuatu yang telah
dicapai haruslah dilihat sebagai hasil bersama. Tidak ada satu golongan agama
pun yang merasa dirinya lebih berjasa dalam membangun bangsa Indonesia.
Ketegangan akan terjadi apabila satu golongan agama mementingkan
kepentingan golongannya sendiri dan mengabaikan golongan-golongan
lainnya.
Pancasila telah menyediakan ruangan bagi terciptanya kerukunan di antara
bangsa Indonesia. Agaknya istilah “kerukunan” jauh lebih positif dan dinamis
ketimbang istilah “toleransi” yang statis (Yewangoe 2002, 4). Toleransi
lebih mengisyaratkan adanya persetujuan satu pihak untuk memberikan hak
hidup kepada pihak lain. Artinya, keberadaan satu pihak hanya dapat terjadi
lantaran pihak lain menghendakinya. Andaikata pihak itu tidak berkenan, pihak
lain dengan mudah ditiadakan. Perhatikan ilustrasi berikut ini. Sebuah kutil
yang terdapat di kulit Anda pada hakikatnya bukan merupakan bagian normal
dari kulit tersebut. Ia adalah unsur asing yang mengganggu. Anda tetap
membiarkannya di situ, bukan karena Anda suka, melainkan karena Anda
“berkenan.” Itulah makna toleransi. Sedangkan “kerukunan” mengandung
pengertian bahwa walaupun kita berbeda, kita mempunyai hak dan kewajiban
yang sama. Hak hidup Anda tidak tergantung pada izin pihak lain. Kita justru
secara bersama-sama tergantung pada sesuatu yang lebih luhur, yaitu cita-
cita bernegara, berbangsa dan bermasyarakat untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur, damai sejahtera berdasarkan Pancasila, yang akhirnya
tergantung pada Tuhan. Oleh sebab itu, istilah “kerukunan” lebih dipopulerkan
daripada toleransi. Kerukunan tidak mengharuskan kita seragam dalam
segala sesuatu. Kerukunan memang memungkinkan kita supaya “sepakat”
justru dalam persoalan yang kelihatannya sulit disepakati.

123
Kerukunan antarumat beragama
Sumber: blog.uad.ac.id

Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik dan dinamis
(Darmaputera 2011, 105). Kerukunan yang autentik adalah kerukunan yang
lahir dari penghayatan iman masing-masing. Kerukunan yang dinamis adalah
kerukunan yang secara aktif dan kreatif berjalan bersama mengupayakan
kesepakatan-kesepakatan baru. Selain itu, kerukunan yang kita kehendaki
adalah kerukunan yang berada dalam interaksi yang seimbang dengan
kebebasan. Kerukunan dan kebebasan saling menghidupi. Hanya bila ada
kerukunan, kebebasan terpelihara. Hanya dalam kebebasan, ada kerukunan
yang sejati. Kerukunan beragama dan kebebasan beragama dalam arti
kebebasan untuk memeluk, menyiarkan, dan berpindah agama perlu
diperjuangkan bersama-sama. Ukuran bagi kedewasaan kita beragama dan
kesiapan kita untuk menyambut positif kepelbagaian agama-agama adalah
kemampuan untuk menciptakan kerukunan di samping penghormatan
terhadap kebebasan agama (Ngelow 1993, 73). Kerukunan tidak dikorbankan
untuk kebebasan, dan sebaliknya kebebasan tidak dikorbankan untuk
kerukunan. Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang tidak
mengurangi atau membatasi, melainkan malah justru mengembangkan
kebebasan beragama di tanah air kita. Artinya harus dalam keseimbangan
yang dinamis, kebebasan tidak merusak kerukunan dan sebaliknya kerukunan
tidak mematikan kebebasan. Silakan Anda amati dan analisis dampak positif
konsep kerukunan yang kita kehendaki!

124
Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah kerukunan hanya dipahami
sebagai keadaan tanpa konflik. Konflik tidak dengan sendirinya buruk.
Misalnya konflik antara Yesus dan Orang Farisi, Paulus dan Petrus, Elia dan
Ahab dan lain- lain. Tentu saja benar yang dinasihatkan Paulus, “sedapat-
dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian
dengan semua orang” (Rm.12:8). Kerukunan harus dilandaskan pada
kebenaran, dan tidak boleh dipakai sebagai alasan untuk menindas
kebenaran. Kerukunan sejati terjadi ketika semua pihak dalam interaksi intens
terus mencari pemahaman kebenaran yang lebih tinggi. Dalam proses itu, bisa
terjadi perbedaan yang tajam, bahkan ketegangan, namun tidak perlu merusak
kerukunan selama segala sesuatu bisa dan boleh dibicarakan dengan terbuka,
bukan basi-basi dalam semangat, terus- menerus berusaha mencapai
kesepakatan yang lebih maju.
Kerukunan yang tidak dikehendaki adalah bila kerukunan dipahami sebagai
tujuan pada dirinya. Kerukunan penting dan dikehendaki Allah sejak awal karya
penciptaan-Nya, bukan yang terpenting. Kerukunan bukan satu-satunya dan
segala-galanya dan tidak boleh dijadikan tujuan akhir dan satu-satunya pada
dirinya. Nilai-nilai kehidupan yang lain tidak boleh dikorbankan demi
kerukunan. Yang benar adalah yang sebaliknya: ketika kebenaran dijunjung
tinggi, ketika keadilan diperjuangkan dan diwujudkan secara tulus dan murni
dan ketika kebebasan asasi dialami, di situlah kerukunan yang sejati dengan
sendirinya akan terjadi.
Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan hendak
dipaksakan dari luar. Kerukunan yang sejati harus tumbuh secara bebas dan
sadar dalam diri masing-masing. Tidak bisa dipaksakan oleh pemerintah. Tidak
bisa diwujudkan dengan undang-undang. Kerukunan harus menjadi urusan
masing- masing agama. Kekuatan-kekuatan eksternal dapat menciptakan
kondisi yang kondusif bagi terangsangnya kesadaran dari dalam.
Sebaliknya, kekuatan eksternal juga bisa merusak kemungkinan itu. Sikap
berpihak dan pilih kasih, misalnya, amat merusak. Kerukunan dapat didorong
dari luar, namun harus tumbuh dari dalam. Kerukunan yang dipaksakan atau
disebabkan oleh faktor- faktor eksternal, biasanya akan tipis dan sementara
saja, tidak mendalam dan tidak awet.
Kerukunan yang tidak dikehendaki adalah bila kerukunan harus dibayar
dengan hilangnya perbedaan dan kebebasan. Usaha untuk menghilangkan
perbedaan dan kebebasan itulah yang justru merusak kerukunan. Menekan
ketegangan dan menyembunyikan konflik ke bawah permukaan. Silakan Anda

125
amati dan analisis dampak negatif konsep kerukunan yang tidak kita
kehendaki!

Simaklah gaya hidup jemaat Galatia yang saling menggigit dan saling menelan
yang terdapat dalam Galatia 5:13-15. Menurut Anda, bolehkah antarumat
beragama saling menggigit dan saling menelan? Mengapa tidak boleh? Apa
akibatnya jika antarumat beragama saling menggigit dan menelan? Silakan
Anda mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang lain lagi! Setelah
menyimak gaya hidup jemaat Galatia tersebut dan paparan di bawah ini,
Andapun diberi kesempatan lagi untuk mengajukan pertanyaan kritis yang lain
sebanyak- banyaknya yang berkaitan dengan kerukunan antarumat beragama
di Indonesia.
Untuk mencapai kerukunan antarumat beragama, pemerintah telah
melakukan berbagai program antara lain program “Pembinaan Kerukunan
Hidup Umat Beragama” yang dalam Pelita I-V mengambil bentuk dalam
kegiatan- kegiatan Dialog, Studi Kasus, Kerja Sama Sosial, Kunjungan
Silaturahmi dan lain-lain. Pembentukan Wadah Musyawarah Antarumat
Beragama tanggal 30 Juni 1980 dilihat sebagai usaha yang sangat penting
dalam hubungan dengan pembinaan kerukunan antarumat beragama (Sairin
1996, 187).
Dari antara bentuk-bentuk kegiatan yang berhubungan dengan kerukunan
antarumat beragama, bentuk dialog adalah bentuk yang paling awal
dilaksanakan dengan prakarsa pemerintah dan telah dilakukan di berbagai
kota di Indonesia. Dialog adalah suatu percakapan yang bertolak pada upaya
untuk mengerti mitra percakapan dengan baik, saling mendengarkan
pendapat mitra percakapan. Dialog menunjuk pada adanya percakapan antara
dua orang atau lebih mengenai berbagai permasalahan yang menyangkut
kepentingan bersama. Dialog antarumat beragama adalah pertemuan yang
disengaja untuk bertukar pikiran, informasi dan pengalaman tentang
keyakinan masing-masing tanpa pretensi menganggap diri lebih benar. Yang
berdialog adalah manusia. Oleh sebab itu, dalam konteks kepelbagaian agama
yang ada di Indonesia, bukanlah dialog agama, tetapi dialog antarorang
beragama. Banyak pemikiran keagamaan yang dapat disumbangkan oleh
umat beragama seandainya ada wadah dialog. Banyak kecurigaan yang tidak
wajar dalam hubungan antarumat akan lenyap, akan berganti dengan
pergaulan yang akrab.

126
Dialog antarumat beragama di Indonesia mulai mendapat perhatian sejak
tahun 1960-an, khususnya setelah berdirinya Orde Baru. Musyawarah
kerukunan beragama yang diprakarsai oleh Departemen Agama telah
berlangsung pada tahun 1967. Kemudian berbagai pertemuan di tingkat
pemuka agama berlangsung di banyak daerah, sekitar masalah kerukunan dan
toleransi beragama. Mukti Ali, semasa menjabat Menteri Agama, paling gencar
mengupayakan terciptanya dialog antarumat beragama (Sitompul 2006, 8).
Semboyannya yang terkenal ialah “dialog dan bukan apolog”
Dari sifatnya dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal dan informal.
Dialog formal adalah suatu dialog yang membahas suatu tema tertentu dalam
suatu pertemuan yang pembahasannya bertolak dari visi teologis masing-
masing. Dialog informal adalah suatu dialog yang terjadi dalam bentuk-bentuk
pergaulan, kerja sama, dan hubungan social antarumat yang berbeda agama.
Melalui kesempatan itu mereka saling mengenal satu sama lain.
Dalam dialog informal inilah warga gereja banyak terlibat karena mereka
sehari-hari bertemu serta bergaul dengan umat dari berbagai agama. Untuk
melakukan dialog, ada empat hal yang harus diperhatikan. Pertama, kita
memerlukan pendalaman tentang isi kepercayaan/agama kita sendiri. Kita
mesti mampu menjelaskan dengan jujur pokok-pokok iman kita, tradisi gereja
kita dan lain-lain yang berkaitan dengan agama kita sendiri. Kedua, kita
memerlukan pemahaman tentang agama mereka. Ketiga, kita harus
bersikap saling menghormati tanpa memandang latar belakang “mayoritas
dan minoritas” dan lain-lain. Keempat, dialog tidak berarti merelatifkan
kebenaran Injil atau menuju ke sinkretisme.
Pada umumnya kita membedakan antara dialog verbal dan dialog karya.
Dialog verbal sudah sangat populer, bukan saja di Indonesia melainkan juga di
bagian lain di dunia. Dialog dengan segala kesulitannya memang merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Interaksi antara penganut agama-
agama sudah sedemikian rupa sehingga berbagai kesulitan dapat saja muncul
jika tidak tercapai pengertian yang mendalam. Sesungguhnya, dialog bisa
terjadi karena berbagai faktor. Pertama, pengetahuan dan pemahaman
terhadap agama-agama makin lama makin luas dan menyeluruh, terutama
akibat makin canggihnya alat- alat komunikasi. Kedua, muncul masyarakat
majemuk di seluruh dunia. Homogenitas yang merupakan ciri masyarakat
tradisional sudah mulai ditinggalkan.

127
Dialog juga bisa menimbulkan berbagai ketegangan. Misalnya, apakah kita
boleh mempercakapkan dogma-dogma dalam dialog? Bukankan dogma-
dogma agama selalu bersifat kaku sehingga tidak mungkin dipercakapkan
dengan penganut agama lain? Di kalangan Kristen misalnya, timbul
pertanyaan apakah dialog bisa menggantikan Pekabaran Injil? Dengan kata
lain, setelah mengadakan dialog, apakah kita masih membutuhkan Pekabaran
Injil? Tidak jarang pula dialog dicurigai sebagai upaya terselubung untuk
menobatkan mereka yang beragama lain. Tuduhan yang lebih fatal lagi adalah
bahwa dialog merupakan upaya mencampuradukkan agama-agama
(sinkretisme).
Kekhawatiran bahwa dialog akan menyinggung perasaan orang lain membuat
kita enggan untuk berdialog. Kekhawatiran lain secara tidak disadari ialah kita
takut seandainya yang kita percayai itu tidak benar, kita khawatir jangan-
jangan kepercayaan kita menjadi goyah.
Humanitas dan keprihatinan sosial sebagai dasar dialog (Singgih 1999, 101).
Yang dimaksud dengan “humanitas” adalah apa yang mewujudkan
keberadaan manusia. Oleh sebab itu, humanitas meliputi segala komponen
yang menyebabkan kita menamakan diri kita manusia. Tentu, hal ini terdengar
aneh. Sebab, bukankah dengan sendirinya kita tahu bahwa kita adalah
manusia, yang berbeda dari binatang misalnya? Tentu, pada satu pihak
kesadaran bahwa kita adalah manusia bersifat prareflektif. Artinya tidak perlu
dipikir dalam-dalam, sudah jelas bahwa kita adalah manusia. Namun, pada
pihak lain, ada masalah apakah kesadaran bahwa kita adalah manusia juga
menyebabkan kita mau mengakui bahwa orang lain juga manusia? Dalam
sejarah dunia, kita melihat betapa sulitnya bagi manusia untuk mengakui
bahwa mereka yang lain dari dia adalah juga sesama manusia, misalnya yang
berwarna kulit lain, berambut dan bermata lain, yang berkeyakinan lain, yang
berideologi lain, yang beragama lain, yang termasuk suku atau bangsa lain,
pada pokoknya, kelompok lain. Pokok humanitas berhubungan dengan
persoalan bagaimana mengakui kemanusiaan orang lain juga, dan dari sana
bertolak untuk menggumuli permasalahan bersama manusia dan aspirasi
bersama manusia.
Keprihatinan sosial bersangkut-paut dengan masalah-masalah sosial yang
dihadapi bersama oleh umat beragama: kemiskinan yang parah dan
penderitaan yang disebabkannya. Di samping itu, penderitaan oleh karena
keterasingan manusia yang disebabkan tekanan dari struktur masyarakat
modern yang memperlakukan manusia sebagai sekadar “mur” atau “baut” dari

128
mesin produksi. Oleh banyak orang, keprihatinan sosial ini dimasukkan ke
dalam dialog karya. Kelihatannya, tahap dialog di Indonesia baru bersifat tukar
pikiran terutama di kalangan pejabat dan intelektual. Dari situ, baru ada ajakan
agar melakukan dialog karya sebagai sesuatu yang lebih konkret daripada
dialog yang bersifat tukar pikiran.
Dalam perjalanan pemikiran mengenai dialog, orang tidak terlalu puas dengan
istilah “dialog karya”. Seakan-akan orang-orang dari agama yang berbeda-
beda hanya berkumpul pada satu saat tertentu untuk “bekerja bakti”, lalu
pulang kembali ke rumahnya masing-masing. Dalam rangka kehidupan yang
memungkinkan kerukunan beragama dalam arti kata yang sebenarnya, orang
dari agama yang berbeda-beda perlu berkumpul dan bergaul bersama. Bukan
hanya sebagai warga negara di tempat pekerjaan kita bersama, melainkan juga
dalam pergaulan sehari-hari. Oleh karena itu, ada yang mengusulkan supaya
istilah dialog karya diperluas menjadi “dialog kehidupan”. Dalam pengertian ini
orang dari berbagai agama diajak untuk hidup berdampingan secara damai
dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan secara menyeluruh yang
meliputi baik aspek rohani maupun jasmani.
Akan tetapi, segera jelas bahwa dialog karya atau dialog kehidupan, kerja sama
di bidang penanganan masalah-masalah sosial masyarakat dan peningkatan
mutu kehidupan yang biasanya dianggap sebagai “aras horizontal” dan tidak
berhubungan dengan masalah ajaran, tidak bisa begitu saja dilepaskan dari
“aras vertikal”, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan masalah ajaran. Mau
tidak mau orang akan menghubungkan kedua aras itu. Bagi banyak orang
beragama, keterlibatan dalam aras horizontal tidak akan dilakukan kalau tidak
ada amanat dari aras vertikal. Alasan untuk menjamin mulusnya kerukunan
pada akhirnya tidak dapat dicari di luar tubuh agama saja, tetapi seharusnya
juga dari dalam tubuh agama. Meskipun segala wujud dialog yang disebutkan
di atas merupakan hal yang baik dan harus dilakukan oleh kalangan umat
beragama sehingga tidak terasing satu dengan yang lain, tampaknya belum
cukup kalau setiap agama tidak melakukan upaya teologis untuk
melegitimasikan upaya-upaya kerukunan beragama.
Halangan terbesar dari upaya teologis ini adalah asumsi bahwa suatu agama
dalam segi ajaran pasti tidak akan sesuai atau cocok dengan agama lain. Tidak
ada agama yangsama ajarannya. Bahkan, bisa saja orang berpendapat
bahwa ajaran agama yang satu pasti bertentangan dengan ajaran agama yang
lain. Di pihak lain, percuma saja apabila asumsi ini dilawan dengan asumsi lain,
yaitu yang menganggap bahwa semua agama sama saja. Jalan keluar yang

129
paling baik adalah memulai dari asumsi bahwa banyak hal yang tidak sama
dalam agama- agama, tetapi ada juga hal-hal yang sama, yang dapat menjadi
titik temu dalam kepelbagaian yang ada. Dalam setiap agama ada hal-hal yang
khas, yang partikular, tetapi sekaligus ada juga hal-hal yang umum, yang
universal.
Dialog perlu terus diupayakan, bukan saja karena perkembangan internasional
dan nasional, melainkan juga karena komitmen sebagai umat beragama
mendorong kita melakukannya. Pertama, upaya membangun kesejahteraan
tidak dapat terlaksana dengan mengabaikan eksistensi orang lain. Masalah-
masalah kehidupan di sekitar kita yang semakin kompleks adalah masalah
bersama. Kepercayaan kita kepada Allah, pertama-tama harus membuat kita
mengakui dengan rendah hati bahwa pluralitas masyarakat adalah karunia
Tuhan untuk dikembangkan dengan maksimal melalui dialog. Dialog akan
membuka perspektif baru dalam menjalankan komitmen keagamaan. Kedua,
adalah tepat untuk mengupayakannya di kalangan pemuda. Sebab pemuda
memiliki potensi besar untuk membangun masa depan bersama yang lebih
dinamis, terbuka dan penuh kemungkinan. Ketiga, kalau agama-agama ingin
tetap berperan di dalam arah pembangunan bangsa, dialog adalah cara yang
tepat untuk menggalang potensi. Jika tidak ada dialog, kehidupan akan
semakin terfragmentasi dan pada gilirannya akan diabaikan oleh masyarakat.
Keempat, dialog bukan saja sarana untuk makin saling mengenal, melainkan
membuat kita makin mengenal jati diri kita sendiri.

Menurut Anda, apa pandangan Alkitab mengenai kerukunan antarumat


beragama? Dapatkah hubungan kita dengan orang-orang yang beragama lain
lebih daripada sekadar hubungan antara orang yang memberi kesaksian dan
yang menerimanya? Dapatkah hubungan itu merupakan hubungan kerja sama
yang saling membantu dengan kedudukan yang sejajar? Silakan Anda
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari buku-buku dan sumber
belajar yang lain mengenai kerukunan antarumat beragama dalam Alkitab.
Umat manusia sebagai keluarga besar Allah harus hidup rukun. Salah satu
penyebab mengapa orang mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan baik
dengan yang berbeda agama adalah karena kecenderungan manusia untuk
mempertuhankan agama dan kebenaran agama masing-masing. Bahwa
hanya agama kita saja yang benar dan oleh karena itu, semua agama yang lain

130
itu salah. Hanya kita saja yang akan masuk ke surga dan oleh karena itu, semua
orang yang beragama lain pasti akan masuk ke neraka. Kalau sudah begini
pemahaman kita, tentu sulit kita menghargai orang yang beragama lain. Kalau
kita tidak dapat menghargai orang yang beragama lain, mustahil kita dapat
menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Allah memang mutlak, tetapi
agama tidak mutlak! Kita menyembah Allah, bukan menyembah agama.
Agama tidak sama dengan Allah dan Allah tidak sama dengan agama. Tentu
saja agama adalah “jalan” untuk menyembah Allah. Benar! Oleh karena itu,
agama penting, tetapi “jalan” itu bukan “tujuan.” Jalan itu tidak sama dengan
tujuan. Kita tidak boleh mengidentifikasi jalan dengan tujuan.
Akibat dari sikap melihat agama sebagai tujuan itu tragis. Ada keluarga yang
pecah karena agama. Orang saling membenci, bahkan saling membunuh
karena agama. Tragis dan ironis karena semua agama mengajarkan belas
kasih dan kasih sayang. Karena penganut- penganutnya memutlakkan agama
sendiri sebagai tujuan, agama lalu berwajah seram.
Anda tidak percaya bahwa agama itu relatif, tidak mutlak? Dalam percakapan
dengan perempuan Samaria, Yesus berkata, ”Percayalah kepada- Ku, hai
perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di
gunung ini dan bukan juga di Yerusalem” (Yoh. 4:21). Lalu ayat 24, “Allah itu
roh dan barang siapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan
kebenaran.” Orang cenderung
memutlakkan agamanya masing-
masing. Kalau mau menyembah
Tuhan, mesti di sini, mesti begini,
lain dari itu salah, sesat dan dosa.
Tentang agama, Yesus
mengatakan bukan di mana orang
itu menyembah itu yang penting,
bukan pula dengan cara apa orang
menyembah itu yang paling
menentukan, tetapi apakah ia
menyembah Allah.

Dalam Kisah Para Rasul 10, ada sebuah kisah yang amat menarik tentang
bagaimana Tuhan mendidik Petrus agar ia lebih terbuka terhadap orang yang
berbeda agama dan kritis terhadap ajaran agamanya sendiri. Petrus
diperintahkan oleh Tuhan untuk pergi bahkan bermalam di rumah Kornelius,
seorang perwira tentara Roma, yang baik tetapi menurut ajaran agama

131
dikategorikan sebagai kafir. Petrus tentu saja amat ragu-ragu untuk
melaksanakan perintah ini. Berkunjung, apalagi bermalam di rumah dan
kemudian makan bersama-sama dengan orang kafir adalah haram. Sampai
tiga kali, Tuhan harus mempersiapkan Petrus, supaya hatinya lebih terbuka.
Tiga kali Tuhan menurunkan dari langit, benda berbentuk kain lebar yang isinya
adalah binatang-binatang yang halal dan haram. Dua kali Petrus disuruh
makan, Petrus menolak. “Tidak Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan
sesuatu yang haram dan yang tidak tahir” (ay. 14). Tetapi apa kata Tuhan? “Apa
yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (ay. 15).
Menurut aturan agama, Kornelius itu kafir, haram dan najis. Pada ayat 28,
Petrus mengatakan begitu kepada Kornelius, “Kamu tahu, betapa kerasnya
larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan
Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Allah telah menunjukkan kepadaku,
bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.”
Agama itu dapat mengotak-ngotakkan manusia, menyekat-nyekat manusia,
memisah-misahkan manusia. Agama dapat membuat seseorang saling
menajiskan satu dengan yang lain, penuh prasangka., tidak dapat saling
menerima seperti apa adanya. Padahal Tuhan tidak begitu. Tuhan menerima
orang seperti apa adanya, yang baik Ia katakan baik, yang buruk Ia katakan
buruk. Ada hal yang amat penting dalam Kisah Para Rasul 10:34-35, ketika
Petrus akhirnya berkata, ”Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak
membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia
dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya” (Galatia 3:26-27).
Begitulah kita harus memandang sesama kita yang beragama lain.
Dalam Yohanes 3:16 tertulis, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Pada kutipan tersebut dikatakan, bahwa yang dikasihi oleh Allah adalah dunia
ini, semua orang, seluruh umat manusia. Allah tidak membedakan orang.
Artinya, Allah tidak pilih kasih. Allah tidak hanya mengasihi sekelompok orang.
Allah tidak hanya mengasihi orang Kristen. Lebih dari itu, Allah menerima
semua orang tanpa memandang bangsa atau agama.
Jangan memusuhi orang lain, atau menganggap siapa pun sebagai musuh.
Surat Paulus kepada jemaat di Roma (12:18) mengajarkan sebuah perilaku
kristiani yang amat penting, “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung
padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Bahkan bila ada
orang bermaksud jahat kepada kita pada ayat 19, dikatakan bahwa,” janganlah

132
kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka
Allah” Berusahalah hidup damai dengan semua orang, oleh karena Yesus
sendiri mengatakan, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena
mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat. 5:9).
Dalam 1 Raja-raja 5: 1-12 diceritakan kerja sama yang indah antara Salomo,
Raja Israel, dengan Hiram, Raja Tirus. Kerja sama antara dua bangsa yang
beragama lain. Yang satu biasa disebut sebagai “umat Allah,” yang lain disebut
“bangsa kafir.” Yang mungkin mengejutkan, ini bukan saja kerja sama yang
bersifat sosial saja (misalnya kerja sama atau gotong royong membangun
jembatan atau memperbaiki jalan), tetapi kerja sama untuk membangun Bait
Allah.
Bagi orang-orang Kristen yang ekstrem hal ini sulit sekali diterima. Kita sering
ditanya, “Boleh tidak orang Kristen bekerja di sebuah percetakan yang
mencetak kitab-kitab agama lain? Apa dengan begitu, orang Kristen tersebut
tidak membantu menyebarkan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran
Kristen?” Begitu pertanyaan mereka.
Menurut 1 Raja-raja 5:1-12 orang kafir, dalam hal ini Hiram, Raja Tirus, malah
diundang oleh Salomo untuk ikut membangun Bait Allah. Kerja sama yang
indah sekali menandakan adanya kerukunan antarumat beragama.
Hiram memasok bahan dan tukang untuk Salomo, sedangkan Salomo
memasok bahan pangan untuk Hiram. Kalau orang kafir boleh ikut
membangun Bait Allah, tentu saja adil kalau orang Kristen juga boleh
membantu membangun rumah ibadah orang lain. Tidak adil namanya, kalau
orang itu hanya mau dibantu, tetapi tidak mau membantu.
Apakah di percetakan LAI, tempat Alkitab kita itu dicetak, ada orang- orang
beragama lain yang ikut bekerja? Pasti ada! Kalau ada, baru adil, jika orang
Kristen boleh bekerja di percetakan yang mencetak kitab-kitab agama lain.
Sekadar untuk cari nafkah kan boleh? Tentu boleh! Kecuali kalau ada yang
begitu ekstremnya sampai ada yang berpendapat, kalau mau membangun
gedung gereja, tukang-tukangnya harus Kristen semua. Kalau tidak, haram!
Mungkin ini biasa. Bila mau konsisten betul, semennya juga mesti semen
yang dibuat oleh orang Kristen, kayunya mesti berasal dari orang Kristen, juga
genteng, paku, dan sebagainya. Mungkinkah?
Alkitab tidak menghendaki kita berpikiran serta bersikap eksklusif seperti itu.
Seolah-olah semuanya mesti dari Kristen, oleh Kristen dan untuk Kristen.
Dalam masyarakat majemuk seperti masyarakat Indonesia, kerja sama antara

133
pemeluk berbagai agama bukan hanya mungkin, tetapi bahkan tak
terelakkan. Oleh sebab itu, umat beragama harus mengembangkan
kerukunan antarumat beragama.
Dalam kehidupan masyarakat, kerja sama itu juga merupakan hal yang tak
terhindarkan sebab dalam banyak hal kita menghadapi masalah yang sama.
Masalah keamanan kampung, misalnya, bukan hanya dihadapi oleh orang-
orang Kristen, tetapi juga orang-orang Islam, Buddha, Hindu dan Khonghucu.
Karena itulah, orang-orang dari berbagai agama harus bersama-sama ikut
siskamling. Dalam mengurus kepentingan-kepentingan kita sendiri, kita mau
tidak mau melibatkan orang-orang beragama lain. Waktu penahbisan
pendeta, kita minta bantuan beberapa hansip dan polisi yang bukan beragama
Kristen. Dari contoh- contoh tersebut, jelaslah bahwa kerja sama kita dengan
orang-orang yang beragama lain merupakan hal yang bukan hanya mungkin
tetapi bahkan, mau tidak mau harus. Masalahnya sekarang adalah sejauh
mana kita boleh dan dapat bekerja sama dengan para penganut agama lain?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, baiklah kita belajar dari kisah Salomo
yang terdapat dalam 1 Raja-raja 11:1-13. Dalam kitab 1 Raja-raja 11:1-13 kita
diperingatkan bahwa kita harus mau bekerja sama seerat-eratnya, sebanyak-
banyaknya dan setulus-tulusnya dengan siapa saja tetapi ada batasnya.
Salomo tidak salah bekerja sama dengan Hiram, Raja Tirus, atau bekerja sama
dengan siapa saja. Dalam 1 Raja-raja 11 kita membaca bahwa Salomo
akhirnya jatuh, tidak diperkenankan Allah dan dihukum oleh Allah. Karena
apa? Karena ia melanggar batas itu! Dikatakan dalam ayat 1, “Adapun raja
Salomo mencintai banyak perempuan asing.” Ayat 3, “Ia mempunyai tujuh
ratus isteri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik; isteri-isterinya itu
menarik hatinya dari pada TUHAN.” Ayat 4, “Sehingga ia tidak dengan sepenuh
hati berpaut kepada TUHAN.”
Kerja sama baik dan harus, tetapi jangan kita mengkhianati keyakinan dan
kepercayaan kita sendiri. Jangan kita kalah pengaruh, jangan sampai
kepercayaan kita hilang. Menghormati kepercayaan orang lain, ya, tetapi juga
menghormati dan menjaga kepercayaan serta keyakinan kita sendiri adalah
harus! Kita harus ingat bahwa di samping sebagai mitra dari orang-orang yang
beragama lain, pertama-tama kita adalah mitra Allah. Oleh karena itu, kerja
sama kita dengan manusia harus kita tempatkan di bawah kerja sama kita
dengan Allah. Bahkan kerja sama kita dengan orang lain seharusnya kita
lakukan dalam rangka menjadi rekan sekerja Allah. Kesetiaan kita terhadap
Allah tidak boleh menghalangi kita dalam bersikap terbuka dan mau bekerja

134
sama dengan orang-orang yang beragama lain. Kesetiaan kita dalam kerja
sama dengan orang-orang yang beragama lain tidak boleh mengurangi
sedikit pun kesetiaan kita terhadap Allah.
Berdasarkan uraian tentang dasar Alkitab mengenai kerukunan antarumat
beragama di atas, kita dapat mengatakan bahwa Alkitab mendorong umat
Kristen untuk hidup rukun dengan penganut agama yang lain. Selain itu,
Alkitab tidak mendorong umat Kristen ke arah sikap eksklusif. Bahkan dalam
beberapa hal, Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan toleran. Memang
ada sikap yang keras terhadap pengaruh luar tetapi hal itu dilihat dalam
pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan bukan kepada penganut
lain, tetapi kepada umat Allah sendiri.
Setelah Anda menelusuri dasar Alkitab mengenai kerukunan antarumat
beragama, Anda juga perlu mengetahui dasar teologis bagi kerukunan
antarumat beragama. Di bawah ini akan dikemukakan dua buah dasar teologis
bagi kerukunan antarumat beragama, yakni sebagai berikut:

1. Allah sebagai Pencipta dan Manusia sebagai Ciptaan

Dasar yang pertama adalah apa yang kita baca terutama dalam Kitab Kejadian
pasal 1-11, tetapi juga dalam banyak bagian-bagian Alkitab yang lain, yaitu
pengakuan iman bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta dan bahwa
manusia adalah makhluk ciptaan-Nya. Bagi banyak orang, pokok pengakuan
ini akan terdengar sangat biasa saja. Kesan “biasa” ini didapatkan karena kita
selalu menghubungkan pokok penciptaan dengan masalah adanya Allah dan
bagaimana manusia harus hidup di hadapan Allah, bukan dengan masalah
kerukunan antarumat beragama dan kebersamaan manusia sebagai sesama
ciptaan Allah. Dalam konteks percakapan mengenai kerukunan antarumat
beragama, kita memerlukan perspektif baru yang khas Indonesia, yang bisa
menyoroti pokok penciptaan secara baru pula. Dalam kerangka ini, penting
sekali bagi kita untuk menyadari bahwa “Adam” bukanlah sekadar nama dari
manusia pertama. Memang dalam Kejadian 4:25 “Adam” adalah nama orang,
akan tetapi sebelum itu “Adam” selalu berarti “Manusia.”

135
Dalam Kejadian 1:26-28
manusia disebut “gambar
Allah.” Biasanya, orang
memulai pendekatan
terhadap “gambar Allah”
secara keliru, yaitu mulai
mempertanyakan apakah
yang dimaksud bahwa
manusia adalah gambar
Allah?
Padahal, kisah Kejadian mau
memperlihatkan bahwa gambar Allah adalah manusia. Hanya manusia dari
seluruh ciptaan Allah yang lain yang disebut gambar Allah. Itu berarti, pada
satu pihak manusia adalah ciptaan sama seperti makhluk lainnya, tetapi tetap
ada keunikannya. Di mana letak keunikannya? Gambar Allah menunjuk pada
kemanusiaan manusia. Dalam situasi mana pun manusia berada, dia tetap
gambar Allah, dia tetap manusia. Tidak dapat dibinatangkan oleh siapa pun.
Dalam teologi tradisional calvinisme, gambar Allah yang ada pada manusia
sudah rusak oleh karena kejatuhannya dalam dosa. Baru oleh karya Yesus
Kristus yang adalah gambar Allah yang sejati, hakikat manusia sebagai gambar
Allah dipulihkan kembali. Tanpa bermaksud menentang teologi yang
tradisional ini, ada baiknya kita menyadari bahwa dalam Kejadian 1-11 secara
eksplisit tidak dikemukakan bahwa gambar Allah sudah rusak. Penentangan
atau pemberontakan manusia terhadap Allah pun tidak merusak kemanusiaan
manusia. Bila kita menghubungkan Kejadian 1-11 dengan ayat-ayat mengenai
Imago Dei dalam Perjanjian Baru, penafsiran mengenai gambar Allah yang
sudah rusak dapat dikonstruksikan. Bila kita tetap mau mengikuti teologi
tradisional, jalan ke luar yang dapat diambil adalah mengakui bahwa, pada
satu pihak, dosa menyebabkan manusia kehilangan gambar Allah, tetapi oleh
Yesus Kristus, gambar Allah ini dipulihkan kembali. Dipulihkannya ini tidak
mesti sesudah manusia menerima Kristus. Sesuai dengan apa yang dikatakan
oleh Paulus, ”Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus
telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm. 5:8).
Masih ada satu segi dari pokok penciptaan yang perlu menjadi perhatian kita,
yakni manusia sering disebut sebagai “daging” (basar). Maksudnya, bukan
pertama-tama mau mengungkapkan aspek kejasmanian manusia, melainkan
aspek kerapuhannya sebagai makhluk fana yang dapat mati. Tradisi Hikmat

136
yang berada di belakang Kitab-kitab Kejadian, Ayub, Amsal, Pengkhotbah dan
juga sebagian Mazmur memuat pelbagai macam himbauan mengenai apa
yang harus dibuat oleh manusia untuk menerima kefanaannya. Namun, itu
sekaligus juga membuat hidup manusia yang singkat ini menjadi berharga.
Dalam tradisi ini, pergumulan universal manusia sebagai makhluk dari darah
dan daging, yang meliputi harapan dan sukacita, tetapi juga amat menonjolkan
kekecewaan dan keputusasaannya. Kefanaan manusia dan kerinduan manusia
untuk imortalitas merupakan masalah fundamental bagi agama-agama. Oleh
karena itu, pokok mengenai manusia sebagai “daging” dapat menjadi dasar
untuk pemahaman yang membantu memotivasi kerukunan antarumat
beragama.

2. Umat Allah sebagai Pelayan Kebersamaan Manusia

Dasar yang kedua adalah pemahaman mengenai umat Allah. Pokok ini sering
dianggap sebagai sesuatu yang eksklusif sifatnya. Abraham dipanggil keluar
dari Ur supaya menjadi cikal bakal umat Israel, sedangkan umat Israel dipanggil
keluar (Exodus) supaya menjadi umat kesayangan Tuhan. Demikian kita
baca di dalam Ulangan 7:6. Pemahaman mengenai Israel sebagai umat
kesayangan Tuhan, umat yang dipilih Tuhan dari antara bangsa-bangsa yang
lain memang amat menonjol di dalam Alkitab. Bahkan, dalam Perjanjian Baru
yang sudah berwawasan universal, ide ini tetap kuat juga. Keselamatan
datang dari orang Yahudi (Yoh. 4:22). Dalam Surat Paulus kepada jemaat di
Roma pasal 11, Paulus tetap mempertahankan bahwa Israel adalah umat
Allah sedangkan orang Kristen non-Yahudi cuma “cangkokan” saja (Rm.
11:17). Ide umat Allah kemudian diteruskan dalam Surat-surat Petrus. Orang
Kristen menjadi bagian dari “imamat yang rajani” (1 Ptr. 2:9). Berbeda dengan
Israel yang mempunyai golongan imam dan awam, Israel baru, jemaat Tuhan,
semuanya adalah imam. Dalam Perjanjian Baru tidak banyak ayat yang
mengungkapkan kelompok Kristen sebagai umat (laos). Yang banyak dipakai
adalah “persekutuan” (koinonia). Dalam teologi tradisional, Gereja biasanya
digambarkan menggantikan tempat Israel sebagai umat Allah. Gereja adalah
Israel baru, yang menjadi kesayangan Tuhan.
Yang jarang disadari adalah, bahwa di dalam Alkitab juga ada pemahaman
mengenai umat Allah yang tidak menekankan status sebagai “kesayangan
Tuhan.” Hal ini terutama terdapatn pada ayat-ayat yang dekat sekali dengan
masa pembuangan dan yang berasal dari zaman pembuangan. Dalam Zefanya
3:12 umat Israel yang luput dari hukuman Tuhan akan dibiarkan, menjadi
“suatu umat yang rendah hati dan lemah.” Maksudnya, umat yang tidak bisa

137
membanggakan status mereka sebagai umat terpilih, sedangkan dalam
Kitab Yesaya terdapat 4 buah syair yang oleh para penafsir disebut “syair-
syair Hamba Tuhan” (ebed Yahweh), yaitu Yesaya 42:1-4, 49:1-6, 50:4-11
dan 52:13-53:12. Pada pokoknya, dalam keempat syair ini direfleksikan
bagaimana Israel harus memandang penderitaan masa lalunya berupa
kehinaan pembuangan yang telah memalukan mereka, bagaimana mereka
harus bersikap sekarang dan bagaimana Israel di masa depan sesudah
pembuangan berakhir, dapat menjadi bangsa-bangsa, bagaimana harus hidup.
Model ini bukanlah model yang triumfalistik, eksklusif ataupun intoleran,
melainkan model yang rendah hati, inklusif dan toleran. Biasanya seorang
tokoh tertentu disebut sebagai hamba. Israel secara keseluruhan sebagai
umat disebut Hamba. Tekanan tidak lagi pada umat kesayangan, sebab
pembuangan telah diinterpretasikan sebagai hukuman yang layak bagi umat
yang berdosa dan tidak bisa mempertanggung- jawabkan keberadaan mereka
sebagai umat terpilih.
Dalam syair terakhir (Yesaya 52:13-53:12) yang sangat padat makna dan
karena itu juga bersifat multitafsir, penderitaan Israel dilihat sebagai sesuatu
yang bermakna, bukan hanya bagi Israel sendiri, melainkan juga bagi yang lain.
Israel tidak dilihat sebagai model penampilannya menarik dan mengagumkan,
tetapi model yang sebetulnya pantas dipertanyakan, apakah layak menjadi
model. Penggambaran yang menjijikkan bermakna sebagai metafor dari Israel
dalam pembuangan yang menderita malu yang amat sangat. “Kita” dalam
syair terakhir ini adalah dunia (bangsa-bangsa) yang menyaksikan penderitaan
Israel. Meskipun menderita malu yang amat sangat, penderitaan ini tidak
berdampak traumatik, yang menyebabkan Israel nantinya membangun
konsep umat terpilih yang triumfalis, eksklusif dan intoleran sebagai
kompensasi atas penderitaan masa lalu dan tidak mau menderita lagi atas
alasan apa pun sehingga daripada menderita lebih baik menderitakan orang
lain, tetapi penderitaan dilihat sebagai penebusan bagi dunia ini. Israel
menderita untuk dunia dalam rangka melayani dunia.
Di dalam narasi Matius kita mencatat ada Khotbah di Bukit (pasal 5-7) yang
ditujukan baik kepada para murid dan siapa pun yang mau mendengar dan
yang isinya berkaitan dengan bagaimana manusia yang satu berelasi dengan
manusia yang lain. Dalam Matius 7:13 Yesus meringkaskan isi seluruh hukum
Taurat dan kitab para nabi sebagai berikut: “Segala sesuatu yang kamu
kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka.” Ratusan tahun sebelumnya Khong Hu Cu sudah berkata demikian,

138
tetapi dengan perumusan yang berbentuk negatif, “yang tidak kamu
kehendaki.” Mereka yang berpola pikir partikular akan mengatakan bahwa
ucapan Yesus tetap unik oleh karena dirumuskan secara positif, sedangkan
ucapan Khong Hu Cu kurang dibandingkan ucapan Yesus oleh karena
dirumuskan secara negatif. Di sini terjadi kerancuan berpikir yang menganggap
sebuah rumusan yang berbentuk negatif sebagai bermakna negatif! Mengapa
tidak menerima saja bahwa baik Yesus maupun Khong Hu Cu mengambil
inspirasi dari kebenaran universal yang laku sepanjang masa?
Pada akhir Injil Matius kita menjumpai pasal yang terkenal mengenai
penghakiman terakhir (Mat. 25:31-46). Menarik sekali bahwa di sini Yesus
mengidentikkan pelayanan kepada-Nya dengan pelayanan kepada mereka
yang tersisih dalam masyarakat. Pada penghakiman terakhir “semua bangsa”
harus mempertanggungjawabkan tindak-tanduk mereka. Perikop ini tidak
berbicara mengenai penghakiman orang yang tidak percaya, tetapi
penghakiman orang yang tidak menolong sesama yang membutuhkan
pertolongan konkret. Itu makna dari perikop ini. Dalam sejarah makna ini sering
diselubungi dengan makna partikular yang sangat berat sebelah. Pada ayat 32
dan 33 disebutkan mengenai “domba” dan “kambing.” Domba ditempatkan di
sebelah kanan sedangkan kambing di sebelah kiri. Yang di sebelah kanan
masuk ke hidup yang kekal, tetapi yang di sebelah kiri masuk ke siksaan yang
kekal (ayat 46). Otomatis “domba” diidentikkan dengan partikularitas umat!
Dalam rangka mencari dasar Alkitab bagi kerukunan umat antarumat
beragama, sudah mendesak adanya upaya menafsirkan kembali ayat- ayat
yang universal sifatnya, tetapi yang terang universalnya lama terselubung
oleh penafsiran tradisional yang tidak sesuai dengan makna harfiahnya. Uraian
di dalam Alkitab mengenai kekhasan umat tidak pernah dapat dilepaskan dari
keuniversalan manusia. Kekhasan umat bukanlah tujuan pada dirinya sendiri.
Orang terpanggil untuk menyadari jati dirinya, supaya dapat berkembang
bersama yang lain menuju keuniversalan manusia. Oleh karena itu, pembinaan
keumatan tidak dapat dilaksanakan terlepas dari pembinaan kemanusiaan.

Menurut Anda, bagaimana sikap orang Kristen terhadap kemajemukan agama-


agama? Adakah titik temu antara agama Kristen dengan agama lain?
Bagaimana Anda menyikapi umat lain sementara pokok-pokok kepercayaan
sangat berbeda atau bertentangan? Silakan Anda menyatakan argumentasi
Anda yang menunjukkan bahwa pluralisme agama sebagai persoalan teologis.

139
Setiap umat beragama, tentu saja, akan menganggap agama yang
dianutnya sebagai agama yang benar. Ini tidak bisa disalahkan. Bahkan
seharusnya begitu. Agama adalah soal kepercayaan sehingga orang itu tidak
layak ragu-ragu terhadap agama yang dianutnya.

Hal yang dikemukakan terakhir ini tidak akan menjadi soal besar andaikata
agama yang diturunkan Tuhan hanya satu. Dengan kata lain, andaikata Tuhan
menyatakan diri atau kehendak-Nya hanya melalui satu saluran saja. Dalam
kenyataannya tidaklah demikian. Ada sekian banyak agama yang kita kenal.
Hebatnya lagi, agama-agama itu selalu mengajarkan hal-hal luhur, walaupun
kenyataannya para penganut agama sering membelokkan ajaran-ajaran
agama demi tujuan mereka sendiri. Hal inilah yang menyebabkan agama-
agama dicemarkan, bahkan tidak jarang mendapat cap yang tidak
mengenakkan. Misalnya, Karl Marx, yang memandang agama sebagai candu
bagi masyarakat.
Pluralisme agama bukan saja merupakan sebuah kenyataan yang sudah
ada selama berabad-abad, melainkan juga merupakan persoalan teologis.
Kalau orang berkata-kata mengenai persoalan teologis, yang dimaksudkan
adalah persoalan tentang “kebenaran” itu sendiri. Artinya, jika kita
memerhatikan banyak agama haruskah kita berkata bahwa ada satu agama
yang benar dengan konsekuensi bahwa agama lain dianggap tidak benar?
Sebuah pertanyaan yang menarik tetapi jawabannya tidak mudah.
G.E. Lessing, seorang filsuf dan teolog yang hidup pada abad XVIII di Jerman,
juga dihantui pertanyaaan seperti itu (Yewangoe 2002, 17). Dalam sebuah
drama yang berjudul Nathan, der Weise, ia mencoba menguraikan
pendapatnya. Konon hiduplah seorang ayah yang mempunyai tiga orang
putra. Ketiga-tiganya dikasihi. Tidak ada dari ketiganya yang lebih dikasihi
dibanding yang lain. Sebelum meninggal si ayah bermaksud mewariskan
sesuatu yang paling berharga bagi ketiga anaknya. Apakah yang paling
berharga yang dimiliki sang ayah? Ternyata ia memiliki sebuah cincin yang
sangat indah dan mahal. Kalau cincin itu hanya diberikan kepada salah
seorang dari ketiganya, terbukti bahwa hanya satu orang yang dikasihi. Ini
bertentangan dengan sifat sang ayah yang mengasihi ketiganya. Kalau cincin
tersebut dibagi tiga, cincin itu tidak berharga lagi. Akhirnya, sang ayah
mendapat akal. Ia memanggil seorang jauhari dan menyuruhnya membuat
dua cincin lain yang sama persis dengan cincin yang asli. Begitu sempurnanya
tiruan cincin tadi sehingga si ayah pun tidak tahu lagi mana cincin yang
sungguh-sungguh asli. Ketika meninggal, sang ayah mewariskan kepada

140
masing-masing anak sebuah cincin dengan klaim bahwa itulah yang asli.
Demikian cerita itu.
Tentu saja, tiga cincin yang dimaksud adalah ibarat tiga agama besar yang
sudah dikenal waktu itu: Yahudi, Kristen dan Islam. “Dari ketiga agama ini tentu
harus ada satu yang sungguh-sungguh merupakan agama yang benar,”
demikian kata Sultan Saladin yang juga merupakan tokoh dalam drama
tersebut. Ia lalu bertanya kepada Nathan, “Seorang yang bijaksana seperti
Anda,” kata Saladin selanjutnya, “Tidak bisa tetap berdiri saja di tempat Anda
dilahirkan. Kalau pun Anda tetap berdiri di situ, pilihan tersebut harus dapat
dijelaskan sebagai yang sungguh-sungguh lebih baik.” Dengan kata lain, Anda
harus dapat meyakinkan dengan bukti mengapa Anda memilih agama ini,
bukan agama itu. Perlu Anda ketahui bahwa Lessing hidup dalam suatu zaman
ketika segala sesuatu harus disertai bukti-bukti yang masuk akal.
Cincin mana yang sejati? Jawaban yang diberikan Nathan adalah bahwa
pertanyaan itu tidak berguna, hendaknya mereka bertiga bersama-sama
bersikap bijak dan memerintah negara. Kesimpulan dari cerita ini tentunya
bahwa segala pertengkaran tentang agama mana yang lebih benar adalah
tidak relevan dan kampungan (Suseno 2004, 135-136).
Kembali ke perumpamaan tiga cincin tadi. “Jikalau cincin sejati tidak dapat
dibuktikan, biarlah kekuatan cincin sejati itu yang membuktikan dirinya sendiri,”
kata Nathan. Dengan kata lain, biarlah setiap orang membuktikan melalui
pengalaman hidupnya bahwa “cincin” yang dipegangnya adalah sungguh-
sungguh cincin sejati. “Biarlah setiap orang berperilaku sesuai dengan kasih
yang tidak cacat dan cinta yang tanpa iri hati.” Puas? Inikah jawaban yang
dinantikan? Ternyata tidak semudah itu. Sebab pertanyaan lanjutan yang
muncul adalah apakah memang kebenaran dapat disamakan begitu saja
dengan manfaat sebuah agama. Dapatkah kebenaran sebuah agama direduksi
hanya lantaran agama itu bermanfaat, menolong, dan memuaskan
kebutuhan-kebutuhan?
Anda yang jeli akan segera melihat bahwa pertanyaan tersebut tidak dapat
dilepaskan dari persoalan-persoalan teologis. Artinya, kita tidak dapat
menyelesaikan begitu saja pertanyaan tersebut dengan satu atau dua jawaban
yang kedengarannya sederhana. Kita ditempatkan pada posisi yang terus-
menerus mencari, walaupun tidak berarti bahwa kita harus mengisolasi diri
dari sesama yang berbeda agama dari kita. Kita bisa menyebutnya sebagai
penjelajahan teologis.

141
Adalah Hans Kung, seorang teolog Katolik kondang, yang menggambarkan
empat posisi dasar relasi antaragama (Yewangoe 2002, 19).
Posisi pertama adalah tidak ada agama yang benar atau semua agama sama-
sama tidak benar. Tentu saja Kung tidak sedang mempromosikan sebuah
pandangan yang bersifat ateis di sini. Memang inilah tantangan yang diajukan
kepada semua agama. Dalam bentuknya yang ekstrem, dunia pernah
mengenal seorang Nietzsche yang memproklamirkan bahwa “Allah Telah
Mati.” Barangkali kita tidak perlu cepat-cepat mencela Nietzsche akibat ucapan
ini, tetapi kita perlu merenungkannya secara mendalam apa makna beragama
dan percaya kepada Tuhan. Posisi kedua adalah bahwa hanya ada satu agama
yang benar atau semua agama lain tidak benar. Pendirian ini langsung
mengingatkan kita pada pendirian Gereja tradisional yang pada masa awalnya
diperkembangkan oleh Origenes, Cyprianus dan Augustinus. Belakangan
dalam Konsili Lateran IV (1215) pendirian itu dikenal secara luas sebagai
slogan Extra Ecclesia Nulla Salus (Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan).
Konsili Florence (1442) kembali menegaskan
bahwa Gereja percaya dengan teguh sambil
mengaku dan menyatakan bahwa tidak ada
seorang pun di luar Gereja yang akan
mengambil bagian dalam kehidupan kekal.
Sebaliknya mereka, yaitu orang kafir dan
orang Yahudi serta semua orang yang tidak
percaya telah dikutuk supaya masuk ke
dalam api yang kekal kecuali apabila mereka
masuk dan ambil bagian dalam Gereja
sebelum mereka meninggal. Tentu saja,
pendirian ini telah menjadi “masa lalu” dari
Gereja. Konsili Vatikan II (1962-1965) dalam
konstitusinya mengenai gereja menjelaskan
Sumber:
bahwa mereka yang bukan karena kesalahan http://protectthepope.com/?p=2673
mereka sendiri tidak mengenal Injil Kristus dan
gereja- Nya, tetapi tetap mencari Allah dengan hati yang jujur serta berupaya
memenuhi kehendak-Nya sebagaimana diakui di dalam perintah-perintah
suara hati dan dalam perbuatan-perbuatan yang didorong oleh karya
anugerah-Nya, akan mencapai keselamatan kekal. Kemudian dalam deklarasi
mengenai agama-agama non-Kristen terdapat perhargaan terhadap agama

142
tersebut yang memuncak pada kalimat berikut: “Gereja Katolik tidak menolak
apa yang benar dan kudus di dalam agama-agama ini.”
Posisi ketiga adalah bahwa setiap agama adalah benar atau semua agama
sama-sama benar. Jelas pendirian ini cenderung menyamaratakan semua
agama yang sebenarnya tidak mungkin. W.C. Smith, seorang pakar ilmu agama
asal Kanada, berkata bahwa bahkan dalam satu agama saja tidak mungkin
agama itu tetap sama sepanjang masa. Seiring dengan perjalanan waktu,
kebudayaan dan peradaban umat manusia berkembang sehingga agama pun
ikut berkembang. Jadi, kalau dalam satu agama sudah terjadi perbedaan
antara “dulu” dan “sekarang,” mana mungkin setiap agama dapat dianggap
sebagai sama-sama benar. Kalau begitu posisi ketiga agama ini memang
mustahil. Posisi keempat beranggapan bahwa hanya satu agama yang benar
dan semua agama mempunyai andil dalam kebenaran agama yang satu ini.
Pendirian semacam ini, terutama kita temukan pada agama yang berasal dari
India. Semua agama adalah empiris. Artinya, pengalaman sehari-hari hanya
menampilkan satu segi tertentu dari sebuah kebenaran universal. Agama
tersebut bukannya tidak benar, tetapi hanya bersifat sementara. Semuanya
mempunyai bagian dalam kebenaran universal. Pandangan yang lazim disebut
inklusivisme ini juga ditemukan dalam kekristenan. Karl Rahner, seorang
teolog Katolik dari Jerman, memperkenalkan anonymous Christian (‘Orang
Kristen Anonim’). Menurutnya, semua orang Yahudi, Hindu, Muslim dan
Buddha akan diselamatkan. Sebab, pada akhirnya mereka juga Kristen atau
lebih tepat Orang Kristen Anonim.
Keempat posisi yang dikemukakan Kung mungkin tidak memuaskan dalam
upaya memahami kemajemukan agama-agama itu. Penjelasan itu telah makin
meyakinkan kita bahwa persoalan ini tetap akan diketengahkan sebab ia
menyangkut eksistensi manusia itu sendiri. Kemajemukan agama bukanlah
masalah teoretis atau akademis belaka, melainkan ia berkaitan dengan
kebutuhan manusia yang sering tidak berjalan mulus. Ada orang yang tidak
mau bersusah payah mempertanyakan secara teologis persoalan ini dan
hanya mendorongnya ke arah praktis belaka. Tidak dapat dihindarkan bahwa
orang akan mempertanyakan hakikat pluralisme itu sendiri. “Bila hanya ada
satu Tuhan, tidakkah seharusnya hanya ada satu agama saja?” demikian
pernah orang bertanya kepada Gandhi. Apa jawaban Gandhi? Ia berkata:
“Sebatang pohon punya sejuta daun. Ada banyak agama sebagaimana ada
banyak pria dan wanita, tetapi semuanya berakar pada satu Tuhan saja.”
Jawaban Gandhi ini barangkali tidak tepat betul. Ia hendak memperingatkan

143
bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim kebenaran sebagai
miliknya sendiri. Demikian juga Allah tidak mungkin diklaim sebagai milik dari
satu agama tertentu. Sayangnya, kata Wesley Ariarajah, seorang Pendeta
Metodis di Sri Lanka, Tuhan telah didorong begitu rupa supaya menjadi Tuhan
dari “suku” tertentu, padahal Ia adalah Tuhan dari segala suku, bangsa dan
umat (Ariarajah 1989, 14-15).
Menyadari bahwa kebenaran tidak mungkin dapat diklaim, akhir-akhir ini,
khususnya di kalangan teolog Protestan, ada usul yang kuat sekali untuk
membuat sebuah “Revolusi Copernicus” dalam teologi. Secara khusus hal itu
diketengahkan oleh John Hick, seorang teolog dari Inggris. Kalau dulu
Copernicus melawan teori Ptolemeus yang menempatkan “bumi” sebagai
pusat alam semesta dan menggantikannya dengan “matahari” yang dikelilingi
planet- planet lain, perubahan berpikir yang radikal juga harus terjadi dalam
teologi. Sudah tiba masanya, kata Hick, meninggalkan pandangan bahwa
agama Kristen adalah pusat sedangkan agama-agama lain hanya berputar-
putar mengelilingi pusat. Sekarang “kebenaran” harus ditempatkan pada
pusat, sedangkan agama Kristen bersama agama-agama lain beredar di
sekitar “Kebenaran” itu.
Setiap agama percaya bahwa Allah adalah mahakuasa, mahamurah dan
maharahim. Pendeknya, Ia adalah Allah yang tidak menghendaki kebinasaan
manusia. Allah senantiasa memberi kesempatan kepada manusia supaya
bertobat. Bagaimana kita mengetahui bahwa Allah sungguh-sungguh
menghendaki manusia selamat? Hampir setiap agama mengajarkan bahwa
hal ini hanya dapat diketahui kalau Allah sendiri memberitahukannya kepada
manusia. Pemberitahuan ini dalam agama Kristen disebut “Penyataan,”
sedangkan dalam agama Islam disebut “Wahyu.” Tentu saja, setiap agama
akan mengklaim bahwa pemberitahuan Allah kepadanyalah yang paling
autentik dan lengkap. Sekali lagi klaim ini tetap sulit dibantah karena ia
merupakan perkara keyakinan.
Namun demikian, kita harus tetap mempunyai pemikiran bahwa Allah pun
dapat memakai kemungkinan lain untuk menyatakan kehendak-Nya kepada
manusia. Artinya, karena Allah adalah mahakuasa, kemahakuasaan-Nya tidak
mungkin dapat dibatasi hanya ke satu “saluran” saja. Allah lebih besar
dibanding agama-agama dan segala perumusan agama tentang Allah

144
Konfrontasi, Koeksistensi, Pluralisme

Ada tiga model hubungan antarumat berbeda agama, yakni konfrontasi,


koeksistensi damai dan pluralisme. Pada pola yang pertama, yang dahulu
lazim dianut agama-agama besar dunia, pendekatannya adalah konfrontatif:
berupaya dengan segala cara mengenyahkan yang lain. Tidak ada tempat bagi
agama- agama lain, agama-agama lain adalah kafir. Pola yang kedua adalah
koeksistensi (kebersamaan statis). Di dalam pola ini mereka hidup bersama
tanpa kebersamaan, mereka sering bekerja bersama-sama namun tidak
terjadi interaksi, mereka bercakap-cakap tetapi tidak ada dialog sejati. Apa
yang terjadi adalah “Kuhidupi hidupku dan kau hidupilah hidupmu,” atau
“Jangan ganggu aku dan tak akan kuganggu kau.” Orang hidup bersama secara
sosial dan praktis, tetapi tidak secara teologis. Pola yang ketiga adalah prinsip
dan sikap pluralisme, yakni kebersamaan kreatif. Dengan prinsip ini perbedaan
agama tidak dilihat semata-mata sebagai sesuatu yang secara praktis tidak
terhindarkan, melainkan sesuatu yang bermakna dan teologis. Dalam
wawasan pluralisme ini, yakni yang menerima serta menghayati kepelbagaian
secara positif, misi masing-masing agama tidak dihapuskan, melainkan
dikembangkan dari monolog (dengarlah aku) ke dialog (marilah kita saling
mendengarkan). Demikian juga perbedaan asasi antara agama-agama tidak
dinisbikan, melainkan ditonjolkan untuk saling memperkaya wawasan. Dalam
dialog dan interaksi dengan penganut agama-agama lain penghayatan iman
saya diperdalam dan komitmen sosial saya diperkokoh. Wawasan pluralis akan
menciptakan hubungan antarumat berbeda agama yang lebih rukun
dan berinteraksi secara positif dalam kemanusiaan bersama yang kreatif dan
keberagamaan yang dinamis. Wawasan primordial digantikan wawasan
kemanusiaan, yang antara lain terungkap dalam perjuangan bersama untuk
melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga Negara, menegakkan
demokrasi, hak-hak asasi, keadilan sosial dan kedaulatan hukum, bertolak dari
sumber keagamaan masing-masing yang dikembangkan secara sehat dan
dinamis.

145
Ada tiga posisi dasar beragama dewasa ini (Suseno 2004, 137-139). Pertama,
eksklusivisme agama. Sikap ini bertolak dari keyakinannya akan wahyu yang
diterima dari Allah dan karena itu yakin bahwa agamanya sendiri adalah agama
yang benar. Agama-agama lain tidak benar dan bahwa keselamatan kekal
hanya terbuka bagi mereka yang menyembah Allah menurut wahyu Allah itu.
Menurut eksklusivisme, di luar agamanya sendiri tidak ada keselamatan.
Pendek kata, menurut eksklusivisme hanya ada satu agama yang benar, ialah
agamaku sendiri dan hanya penganut agamaku itu dapat masuk surga. Kedua,
inklusivisme agama. Inklusivisme agama tidak melepaskan keyakinan bahwa
yang benar adalah agamanya sendiri. Jadi, bagi orang Kristen, bahwa hanyalah
karena Yesus dari Nazaret semua orang dapat selamat. Inklusivisme tidak
mengakui semua agama lain sebagai sama-sama benar. Akan tetapi,
disebut inklusivisme karena mereka menerima bahwa orang dari agama-
agama lain juga dapat selamat. Ketiga, pluralisme agama. Pluralisme agama
diperjuangkan di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John H. Hick,
Paul F. Knitter dari Protestan dan Raimundo Pannikar dari Katolik. Mereka
menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan bahwa hanya
agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama
hendaknya pertama-tama memperlihatkan kerendahan hati, tidak
menganggap diri lebih benar daripada yang lain-lain. Teologi yang
mendasari anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda,
anggapan bahwa agama-agama merupakan ekspresi religiositas umat
manusia. Para pendiri agama, seperti Buddha, Yesus dan Muhammad
merupakan genius-genius religius. Mereka menghayati dimensi religius secara
mendalam. Salah satu implikasi pluralisme adalah penolakan terhadap misi.
Apabila agama-agama sekadar ungkapan dimensi religius semesta, mau
“mempertobatkan” umat beragama lain tidak masuk akal. Yang dapat
mereka benarkan paling-paling saling memperkenalkan penghayatan
rohani masing-masing untuk saling memperkaya, saling membantu dalam
mengatasi unsur-unsur sempit yang tidak memadai dan mengembangkan
semacam sinergi kepositifan antara agama-agama.

Menurut Anda, haruskah agama yang mempunyai nilai-nilai luhur ditundukkan


begitu saja ke bawah nafsu rendah manusia untuk mencapai tujuan yang
sering kali bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri? Haruskah agama
dipurukkan sebagai topeng bagi kemunafikan serta menjadi alat manipulasi

146
psikologis yang menanamkan fanatisme sempit dan menyebarkan kebencian
kepada sesama manusia serta tidak jarang menjadi sumber legitimasi bagi
pertumpahan darah? Bagaimana bisa agama dijadikan alat manipulasi
psikologis yang menanamkan fanatisme sempit dan menyebarkan kebencian
kepada sesama manusia? Apa akibatnya jika agama dijadikan sumber
legitimasi bagi pertumpahan darah? Silakan Anda mengomunikasikan
dengan kata-kata dan gagasan Anda sendiri mengenai peran umat
beragama dalam mengembangkan kerukunan antarumat beragama.
Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama empat hal berikut ini
harus diperhatikan oleh umat beragama. Pertama, tanggung jawab yang lebih
besar pada yang lebih besar. Jika kerukunan hanya menjadi urusan dan
perjuangan yang kecil akan menjadi sia-sia. Tidak ada perubahan yang
berarti bisa terjadi tanpa dukungan umat mayoritas yang banyak dan militer
yang kuat. Lebih mulus lagi bila juga memeroleh dukungan dari birokrasi yang
berkuasa. Seperti tidak mungkin ada demokrasi tanpa mereka, juga tidak akan
ada kerukunan tanpa mereka. Kedua, kerukunan harus diupayakan terus-
menerus. Tidak hanya menjadi topik seminar setelah ada konflik, melainkan
dirawat dan ditumbuhkan terus-menerus melalui pengalaman bersama. Saat
mengupayakan kerukunan terus-menerus kebebasan harus ditata. Kebebasan
yang liar dan binal akan menghancurkan kebebasan itu sendiri. Masing-masing
menata kebebasannya sendiri dengan bertanggung jawab, dan dengan ini
masing-masing mewujudkan kerukunan beragama dan sekaligus memelihara
kebebasan itu sendiri. Selain itu, kerukunan harus diupayakan langkah demi
langkah dengan mengupayakan kesepakatan-kesepakatan minimal yang
semakin maju melalui pengalaman perjalanan bersama. Ketiga, tugas
mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama adalah tugas bersama:
lembaga-lembaga keagamaan, umat beragama serta pemerintah. Keempat,
kita harus menerobos dan merobohkan tembok prasangka religius (Ismail
2002, 47). Hal tersebut kita lakukan dalam rangka meneladani sikap Yesus
Kristus.
Yesus Kristus telah menerobos dan merobohkan tembok prasangka rasial dan
religius sebagaimana tercatat dalam Yohanes 4:1-42. Menurut ayat 3 Tuhan
Yesus dan para murid berniat meninggalkan Yudea (Israel bagian selatan)
menuju Galilea (Israel bagian utara). Lalu, di ayat 4 tertulis, “Ia harus melintasi
daerah Samaria.” Perhatikan kata harus dalam kalimat itu. Samaria adalah
bagian tengah Israel. Sebenarnya sangat wajar bila orang melintasi wilayah
tengah dalam perjalanan dari selatan ke utara atau sebaliknya. Orang Yahudi

147
menghindari wilayah Samaria kecuali bila sangat terpaksa. Mereka lebih
bersedia berputar jalan daripada harus melintasi daerah orang Samaria, sebab
mereka enggan bertemu dengan orang Samaria. Ada tembok prasangka
antara kedua etnik itu.

Sumber: http://buktidansaksi.com/blogs/1/2009/12/-Did-Allah-Exist-

Tembok pemisah itu tergambar dalam kalimat, “Masakan Engkau, seorang


Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (ay. 9a). Lalu pengarang
Injil memberi keterangan, “Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang
Samaria” (ay. 9b). Prasangka antara orang Yahudi dengan orang Samaria itu
ternyata sudah berlangsung lebih dari 500 tahun. Awalnya begini. Pada tahun
722 sM., Asyur menaklukkan wilayah Samaria. Penduduk Samaria yang
berjumlah sedikit itu dicampur dengan beberapa bangsa pendatang sehingga
agamanya pun tercampur (lih. 2 Raj. 17:24-41).
Ketika kemudian orang Yudea membangun ulang Bait Allah di Yerusalem,
orang Samaria menawarkan bantuan. Namun, bantuan itu ditolak, sebab orang
Yudea menganggap orang Samaria sebagai bukan Yahudi murni lagi akibat
kawin campur dengan bangsa-bangsa lain. Ini menjadi benih kebencian antara
etnik Yahudi dengan etnik Samaria. Apalagi ketika kemudian orang
Samaria membangun sebuah Bait Allah sendiri di Gunung Gerizim. Akibatnya
orang Samaria dianggap bukan orang Yahudi lagi dan bukan beragama

148
Yahudi lagi. Sejak itu orang Samaria menjadi kelompok minoritas yang
dijadikan tumpahan kebencian dan kedengkian. Bahkan pernah pula pada
tahun 129 sM. orang Yahudi menyerang orang Samaria (Ismail 2002, 46).
Sebagai seorang yang berbangsa Yahudi dan beragama Yahudi,
sebenarnya bisa dimengerti seandainya Yesus juga berprasangka terhadap
orang Samaria. Ternyata Yesus tidak berprasangka demikian! Sebaliknya,
Yesus malah mengambil langkah yang menerobos dan merobohkan tembok
prasangka itu. Ia menyapa seorang Samaria (lih. ay. 7). Tentu saja para murid-
Nya menjadi heran (lih. ay. 27). Lalu Yesus melakukan terobosan yang lebih
mengejutkan lagi. Ia menerima baik ajakan orang Samaria untuk menginap
di rumah orang Samaria (lih. ay. 40). Bayangkan kebingungan para murid-Nya
ketika tiba waktu makan. Seumur-umur mereka belum pernah makan dari
piring dan mangkok orang Samaria sebab menurut aturan agama Yahudi
pinggan dan cawan orang beragama lain adalah najis atau haram.
Selain empat hal di atas, untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama
umat beragama perlu mengembangkan sikap proeksistensi ketimbang
koeksistensi (Sitompul 2006, 49). Di dalam koeksistensi kita memang
mengakui orang lain dan merasa cukup kalau tidak saling mengganggu.
Sedangkan proeksistensi mencakup saling menghargai dan berupaya
mengembangkan kehidupan bersama yang harmonis dan dinamis. Ini
berkait erat dengan pengakuan bahwa umat beragama lain mempunyai
“legitimasi religius” yang tidak berhak kita nilai apakah benar atau salah.
Umumnya umat beragama masih terjebak pada sikap superior atau
eksklusivisme, merasa diri sendiri satu-satunya yang benar, sedangkan yang
lain salah. Walaupun tidak diungkapkan terang- terangan, paling tidak “di
kalangan sendiri” gencar diucapkan. Sikap merelatifkan agama bahwa semua
agama itu sama juga tidak baik. Menyamakan semua agama berarti
merendahkan penghayatan religius kita sendiri. Penghayatan agama atau
spiritualitas adalah sesuatu yang personal, eksistensial dan menentukan bagi
kualitas hidup kita, sesuatu yang tidak mungkin disamaratakan begitu saja
dengan penghayatan orang lain.
Kita perlu merenungkan kembali cara kita menghayati agama kita masing-
masing. Meskipun agama adalah pilihan pribadi, ia juga berdampak bagi
hubungan-hubungan sosial. Di dalam keluarga besar Bangsa Indonesia yang
pluralistik, cara-cara kita menghayati dan mengungkapkan iman memainkan
peranan penting agar kita terhindar dari konflik-konflik yang tidak perlu dan
tidak produktif.

149
Kerukunan yang kita usahakan dan kembangkan bukanlah sekadar “rukun-
rukunan,” melainkan kerukunan yang benar-benar autentik dan dinamis.
Kerukunan yang autentik bukanlah kerukunan yang diusahakan hanya oleh
karena alasan-alasan praktis, pragmatis dan situasional, tetapi semangat
kerukunan yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan murni. Kerukunan
itu benar-benar dapat keluar dari hati yang tulus dan murni karena ia didorong
dari suatu keyakinan iman yang dalam sebagai perwujudan dari ajaran agama
yang diyakini. Oleh sebab itu, kerukunan bukanlah sekadar masalah politis atau
teknis. Kerukunan juga tidak kurang adalah masalah teologis atau masalah
keyakinan iman. Bertolak dari situ, umat beragama yang lain bukan saingan
atau ancaman apalagi musuh, melainkan sebagai saudara-saudara sesama
ciptaan Tuhan yang oleh Tuhan ditempatkan untuk hidup bersama dan bekerja
bersama bagi kebaikan bersama dan oleh karena itu untuk dikasihi. Kerukunan
yang autentik akan terwujud oleh keyakinan yang eksistensial seperti ini dan
bukan hanya oleh kesepakatan-kesepakatan formal saja.

Kerukunan yang dinamis bukan sekadar kerukunan yang berdasarkan


kesediaan untuk menerima eksistensi yang lain dalam suasana hidup bersama
tetapi tanpa saling menyapa. Kerukunan yang dinamis adalah kerukunan yang
didorong oleh kesadaran bahwa meskipun berbeda, semua umat beragama
mempunyai tugas dan tanggung jawab bersama yang satu, yaitu
mengusahakan kesejahteraan lahir batin yang sebesar-besarnya bagi semua
orang (bukan hanya umatnya sendiri), dan oleh karena itu mesti bekerja sama
dan bukan hanya sama- sama bekerja.
Salah satu tantangan terhadap pengembangan kerukunan adalah adanya
peristiwa-peristiwa lokal yang mengarah pada peningkatan benturan dan
konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Adanya cara-cara
melaksanakan dakwah, penginjilan, dan misi yang melecehkan dan
menghakimi agama lain juga merupakan tantangan terhadap pengembangan
kerukunan. Selain itu, adanya fundamentalisme agama dalam masyarakat
majemuk juga merupakan tantangan terhadap pengembangan kurikulum.
Fundamental berbeda dari Fundamentalisme. Fundamentalisme tidak hanya
terdapat dalam satu agama. Fundamentalisme adalah gejala yang dapat
terjadi dalam setiap agama. Berdasarkan asal usulnya, fundamentalisme
adalah gerakan yang muncul dalam gereja pada abad ke-19 dan awal abad ke-
20 di Eropa. Pada abad ke-19 gereja berhadapan dengan ilmu pengetahuan

150
yang makin lama makin menguasai kehidupan banyak orang. Gereja yang
selama ini berperanan besar dalam kehidupan sehari-hari menjadi terdesak.
Bahkan muncul kecenderungan bahwa gereja sudah mulai ditinggalkan, entah
karena ajarannya dianggap tidak relevan lagi atau karena pengaruhnya yang
selama ini sangat dominan dianggap tidak sesuai lagi dengan roh zaman yang
menghendaki kebebasan yang lebih besar bagi manusia. Perkembangan
semacam itu dianggap berbahaya bagi kelanjutan hidup gereja.
Untuk mengatasi kesulitan, muncullah fundamentalisme yang bertujuan
membangun benteng yang kokoh demi mempertahankan diri dari serangan
dunia luar yang dianggap membahayakan gereja. Di dalam benteng itu gereja
berupaya mengokohkan pokok-pokok ajaran Kristen sekaligus juga peri
kehidupan sehari- hari sebagai tandingan perilaku kehidupan masyarakat yang
sangat dipengaruhi oleh perkembangan yang sekularistis. Setelah benteng itu
dibangun, mereka dengan sendirinya mengurung dirinya dari orang-orang lain
yang berada di luar benteng. Dialog tidak mungkin dilakukan. Yang terjadi
adalah pemaksaan kehendak yang dalam bentuk ekstremnya dapat berupa
konflik bersenjata.
Dalam penampilan yang militan, fundamentalisme merumuskan segala
sesuatu dalam terminologi-terminologi yang serba mutlak. Kemutlakan itu
dipaksakan kepada setiap orang. Dengan demikian, fundamentalisme
menuntut komitmen orang atas kebenaran yang absolut, kalau perlu
mempertaruhkan segala sesuatu.
Tentu saja fundamentalisme sangat berbahaya, apalagi dalam suatu
masyarakat majemuk seperti Indonesia. Kalau kelompok agama A
memaksakan kehendaknya kepada kelompok agama B, pemaksaan-
pemaksaan yang absolut pasti terjadi yang akan menimbulkan ketegangan
atau bahkan konflik. Pemaksaan itu bukan saja terjadi antara agama A dan
agama B, melainkan dapat pula terjadi di dalam agama itu sendiri secara intern.
Kalau ini terjadi, kecenderungan perpecahan tidak dapat dihindarkan.
Gejala fundamentalisme dapat bermacam-macam. Secara umum dapat
dikatakan bahwa sikap agresivitas sangat menonjol dalam cara penyebaran
ajaran mereka. Bahkan muncul kecenderungan bahwa fundamentalisme
keagamaan ini terpisah sama sekali dari asas-asas kemanusiaan, spiritual dan
etika yang justru bagi kebanyakan agama merupakan unsur yang terpenting.
Terdapat juga kecenderungan fanatisme yang berlebih-lebihan yang akhirnya

151
merupakan ancaman bagi keserasian sosial, keadilan dan hak-hak asasi
manusia.

Istilah “kerukunan” jauh lebih positif dan dinamis ketimbang istilah “toleransi”
yang statis. Kerukunan yang kita kehendaki adalah kerukunan yang autentik
dan dinamis. Kerukunan yang tidak kita kehendaki adalah bila kerukunan harus
dibayar dengan hilangnya perbedaan dan kebebasan.
Dari antara bentuk-bentuk kegiatan yang berhubungan dengan kerukunan
antarumat beragama, bentuk dialog adalah bentuk yang paling awal
dilaksanakan dengan prakarsa pemerintah dan telah dilakukan di berbagai
kota di Indonesia. Dari sifatnya, dialog dapat dibedakan menjadi dialog formal
dan informal. Selain itu, pada umumnya kita membedakan antara dialog verbal
dan dialog karya.
Alkitab mendorong umat Kristen untuk hidup rukun dengan penganut agama
yang lain. Alkitab tidak mendorong umat Kristen ke arah sikap eksklusif.
Bahkan dalam beberapa hal, Alkitab menganjurkan sikap yang terbuka dan
toleran. Memang ada sikap yang keras terhadap pengaruh luar tetapi hal itu
dilihat dalam pengaruh yang merusak kehidupan dan ditujukan bukan kepada
penganut lain, tetapi kepada umat Allah sendiri.
Pluralisme agama bukan saja merupakan sebuah kenyataan yang sudah ada
selama berabad-abad, melainkan juga merupakan persoalan teologis. Kalau
orang berkata-kata mengenai persoalan teologis, yang dimaksudkan adalah
persoalan tentang “kebenaran” itu sendiri.
Untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama empat hal berikut ini
harus diperhatikan oleh umat beragama. Pertama, tanggung jawab yang lebih
besar pada yang lebih besar. Kedua, kerukunan harus diupayakan terus-
menerus. Ketiga, tugas mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama
adalah tugas bersama: lembaga-lembaga keagamaan, umat beragama serta
pemerintah. Keempat, kita harus menerobos dan merobohkan tembok
prasangka religius.

Buatlah makalah sebanyak 15 halaman tentang kerukunan antarumat


beragama di tempat Anda tinggal! Tugas ini juga dipresentasikan di depan
kelas.

152
BAB VII
PENJAGA CIPTAAN ALLAH

Teknologi canggih yang diterapkan dalam dunia bisnis tidak semuanya


bersahabat dengan lingkungan alam. Sejak tahun 1960-an, kita sudah sangat
sering mendengar teriakan tentang menipisnya sumber alam, pengotoran
udara, air dan tanah, pemanasan bumi, musim yang berubah tanpa aturan lagi,
hutan- hutan menjadi gundul, efek rumah kaca dan lain-lain. Semuanya itu
membuat kita berpikir untuk menemukan suatu relasi yang benar dalam
perspektif hubungan yang tidak saling mematikan antara dunia bisnis,
manusia dan alam lingkungan. Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (WCC), yang
pada bulan Februari 1992 menyelenggarakan Sidang Raya yang ke-8 di
Canberra-Australia, menyerukan agar upaya kita tidak berorientasi lagi kepada
manusia (man oriented) tetapi kepada kehidupan (life oriented). Manusia
diserukan supay sadar bahwa dia bukanlah tujuan penciptaan. Upaya-upaya
untuk mengeksploitasi bumi bagi kepentingannya sendiri harus diganti oleh
sikap dasar bahwa manusia pada hakikatnya tidak mempunyai arti apa-apa
bila dilepaskan dari makhluk-makhluk lainnya dalam suatu lingkaran ekologis
yang tidak putus-putusnya.

Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran.


Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah: (i) bersyukur kepada
Tuhan yang telah mencipta, menyelamatkan, memelihara dan membarui
ciptaan- Nya; (ii) mengembangkan sikap kasih kepada Tuhan sebagai Pencipta,
Penyelamat, Pemelihara dan Pembaru ciptaan-Nya; (iii) berpengharapan
akan masa depan yang lebih baik; (iv) peduli dan bertanggung jawab
memelihara ciptaan Tuhan; (v) menganalis karya Tuhan berdasarkan
kesaksian Alkitab; (vi) menganalisis ajaran tentang karya Tuhan berdasarkan
kesaksian Alkitab; (vii) menerapkan tanggung jawab etis Kristen dalam
pemeliharaan lingkungan hidup; (viii) merumuskan hasil penelaahan dasar-
dasar Alkitab yang menunjukkan Tuhan sebagai Pencipta; (ix) menyajikan
hasil penelaahan dasar-dasar Alkitab yang memperlihatkan Tuhan sebagai

153
Pemelihara dan Pembaharu ciptaan-Nya; serta (x) melakukan tindakan
pemeliharaan lingkungan hidup sebagai tanggung jawab etisnya.

Gambar kerusakan alam berupa polusi udara akibat penerapan teknlogi


Sumber: fransiscofaldo.wordpress.com

Simaklah pernyataan sejarawan Amerika, Lynn White, berikut. Ia menyatakan


bahwa “kekristenan bukan saja mentahbiskan dualisme manusia dan alam,
tetapi juga menggarisbawahi kehendak Allah bahwa manusia mengeksploitasi
alam demi kepentingan pribadinya. Kekristenan memikul beban kesalahan
yang maha besar” (Stott 2005, 158-159). Menurut Anda, apakah benar
pernyataan White tersebut? Mengapa White mengeluarkan pernyataan seperti
itu? Apa yang perlu Anda lakukan untuk mematahkan pernyataan White
tersebut? Silakan Anda mengamati dan menganalisis hubungan antara
ekonomi dan ekologi yang terjadi dewasa ini di Indonesia!

Hubungan antara ekonomi dan ekologi menjadi pusat perhatian, sebab pada
dasarnya masalah ekologi timbul sebagai akibat serta menjadi korban dari
kegiatan ekonomi (Sumartana 1994, 110). Kegiatan ekonomi yang menjadi
tulang punggung pembangunan sering dianakemaskan sebegitu rupa
sehingga ia menjadi terlalu manja dan kurang diawasi, kenakalan mereka
dibiarkan. Hubungan antara ekonomi dan ekologi kemudian menampakkan

154
wajah yang buruk. Dalam tayangan televisi dapat disaksikan rusaknya
lingkungan laut yang menyebabkan matinya ikan, kerang dan kepiting, serta
merugikan para nelayan dan petani kerang. Mereka sangat dirugikan oleh
pembuangan limbah pabrik yang seenaknya sehingga mematikan dan
merusak lingkungan. Tingkah para pencari untung tersebut mencerminkan
sikap etik tertentu yang perlu dipertimbangkan secara kritis. Mereka
menganggap seolah-olah mereka hidup tanpa tetangga, tanpa orang lain,
tidak mau tahu bahwa perilaku mereka telah amat merugikan orang lain,
merusak lingkungan hidup. Para pemilik pabrik yang tidak bertanggung jawab
dan pencari untung tersebut telah berbuat seolah-olah mengejar keuntungan
diri sendiri layak membuat rugi orang lain. Hubungan antara ekonomi dan
ekologi dalam praktik dipertentangkan satu terhadap yang lain. Inilah
awal dari malapetaka itu.

Sebenarnya hubungan antara ekonomi dan ekologi bisa dijabarkan dari


pengertian etimologis yang justru bisa saling membantu dan membina.
Ekonomi berasal dari kata oikos dan nomos. Oikos berarti ’rumah tangga‘ dan
nomos berarti ’aturan, hukum.’ Ekonomi bisa diartikan sebagai upaya untuk
mengatur atau penatalayanan rumah tangga (housekeeping). Sedang ekologi
gabungan dari kata oikos dan logos. Oikos berarti ’rumah tangga‘, logos berarti
‘perkataan, pemahaman dan pengertian.’ Hubungan antara ekonomi dan
ekologi tergabung dalam pemahaman bahwa kita tidak bisa menata
masyarakat dan alam ini tanpa mengerti dan memeliharanya. Dengan kata
lain, maka usaha untuk melakukan housekeeping harus dibarengi
naturekeeping.

Berbicara tentang ekonomi dan ekologi, khususnya dari perspektif Indonesia,


harus dimulai dengan mengatakan bahwa ia tidak merupakan masalah pilihan
“ini atau itu,” seolah-olah dengan bebasnya dapat dipilih antara ekonomi atau
ekologi. Atau andai dipaksa untuk memilih, yang harus kita katakan adalah
bahwa ini bukanlah pilihan yang mudah atau sederhana. Akar masalahnya
memiliki sejarah yang cukup panjang. Selama lebih dari 200 tahun,
pertumbuhan industri yang menjadi sakaguru pertumbuhan ekonomi Barat,
telah didukung oleh tersedianya bahan bakar yang murah, sumber alam yang
melimpah ruah serta lingkungan yang seakan-akan tanpa batas mampu
menyerap semua limbah (Daraputera 1996, 120). Keadaan seperti ini

155
tidak hanya terjadi di Barat. Selama dasawarsa pertama pembangunan di
Indonesia, kita juga dibuai oleh asumsi yang sama: persediaan minyak dan gas
bumi yang melimpah, simpanan sumber alam yang kaya raya, dan tidak
sedikit pun terpikirkan bahwa limbah industri akan menjadi masalah.

Kesadaran bahwa industrialisasi juga menciptakan masalah datangnya amat


lambat. Pengalaman Amerika Serikat memberikan ilustrasi yang menarik.
Pada tahun 1960-an, mereka telah mulai menyadari terjadinya degradasi
lingkungan yang disebabkan oleh industrialisasi. Namun demikian, pada
waktu itu, mereka masih yakin bahwa teknologi pada akhirnya pasti akan
mampu memecahkan masalah tersebut. Baru kemudian, sebelum dasawarsa
itu berakhir, mereka menyadari bahwa walaupun teknologi mampu membantu
dalam menemukan sumber daya alternatif, teknologi menciptakan masalah
lingkungan yang amat serius. Oleh karena itu, pada awal tahun 1970-an,
disahkanlah beberapa perangkat peraturan untuk mengendalikan polusi serta
melindungi kelestarian alam. Pada pertengahan tahun 1970-an, kembali
terjadi titik balik. Pada waktu itu, Amerika Serikat menderita akibat embargo
minyak dan resesi ekonomi. Menghadapi keadaan seperti itu, banyak orang
beranggapan bahwa masalah energi serta pertumbuhan ekonomi jauh lebih
penting ketimbang masalah lingkungan. Pada akhir tahun 1970-an, peraturan
mengenai lingkungan mulai dikendorkan demi pertumbuhan ekonomi.

Indonesia juga mempunyai cerita yang hampir sama. Selama Pelita I-III, fokus
pembangunan Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi. Baru kemudian kita
terkejut menyadari betapa tingginya harga yang harus dibayar untuk itu:
kelestarian ekologi yang telah kita kurbankan demi pertumbuhan ekonomi.
Didorong oleh kesadaran ini lahirlah konsep “Pembangunan Berwawasan
Lingkungan,” “Amdal” (Analisis dampak atas lingkungan), dan sebagainya.
Belakangan ini, untuk lebih menarik para investor asing ke Indonesia, ada
kecenderungan untuk mengendurkan masalah ekologi lagi.

Alasan yang paling banyak dikemukakan untuk mengendurkan aturan- aturan


mengenai lingkungan hidup adalah ekonomi: demi pertumbuhan ekonomi,
penanaman modal asing, industrialisasi, menciptakan lapangan kerja,
persaingan global dan sebagainya. Alasan-alasan itu ada benarnya. Namun
demikian, harus dipertanyakan alasannya yang paling dasar: apakah
memang dapat dibenarkan bila kita mengurbankan ekologi demi ekonomi?

156
Mengurbankan sesuatu hanya sah apabila: kita harus melakukannya demi
tujuan yang lebih luhur dan kita yakin bahwa manfaatnya lebih besar daripada
yang kita kurbankan.

Tampak jelas bahwa di balik isu ekonomi dan ekologi, sesungguhnya ada
konflik-konflik kepentingan, konflik-konflik kekuasaan, dan konflik-konflik
nilai- nilai yang pelik. Betapa sulitnya menentukan kebijakan yang secara
seimbang sekaligus menjamin baik lingkungan hidup, pertumbuhan ekonomi,
tersedianya lapangan kerja, maupun kesehatan manusia.

Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia membutuhkan


pertumbuhan ekonomi dan industri untuk menciptakan lapangan kerja.
Indonesia juga membutuhkan teknologi pertanian yang baru untuk
memproduksi bahan pangan yang lebih banyak, bahkan teknologi tinggi untuk
mampu bertahan dalam persaingan global. Pada sisi lain, kita mengetahui
bahwa semua itu juga akan menguras habis sumber daya alam kita,
menciptakan polusi terhadap lingkungan hidup kita, serta membahayakan
kesehatan manusia, dan sebagainya.

Kompleksitas masalah ini penting kita sadari terus-menerus, agar kita tidak
terjerembab pada penyederhanaan masalah yang berlebihan. Namun
demikian, kita juga tidak boleh hanya berhenti dalam frustasi lalu tidak mampu
bertindak apa-apa, sementara tindakan begitu dibutuhkan. Untuk mampu
bertindak secara benar dan tepat, kita perlu melakukan analisis biaya dan
manfaat. Analisis ini akan membantu Anda untuk mengetahui kerumitan
permasalahannya.

Namun demikian, analisis ini hanyalah awal saja, yang segera harus diikuti
dengan analisis etis. Analisis etis akan membantu menentukan tindakan yang
benar, baik dan tepat.

Analisis biaya dan manfaat mengasumsikan bahwa semuanya dapat dihitung


dengan pasti. Di dalam beberapa kasus, kalkulasi seperti itu memang
mungkin. Misalnya, kita dapat menghitung dengan hampir pasti berapa
biaya yang harus dikeluarkan untuk membersihkan air laut dari tumpahan
minyak mentah dari sebuah kapal tanker yang tenggelam. Dalam banyak
kasus yang lain, terutama apabila polusi itu melibatkan kerugian bagi

157
kesehatan manusia atau kematian, kerugian itu tidak pernah dapat diukur
dengan angka. Berapakah harga sebuah kehidupan?

Masalah pokoknya adalah bagaimana memperkirakan dan menghitung risiko.


Penghitungan risiko merupakan masalah karena ada begitu banyak teknologi
mutakhir yang tidak pernah dapat kita perkirakan risikonya dengan tepat,
baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.
Contohnya penggunaan teknologi nuklir. Persoalan etis mendasar yang harus
kita kemukakan sehubungan dengan analisis biaya dan manfaat adalah
sebagai berikut. Misalnya diasumsikan bahwa kita dapat membuktikan
manfaat dari teknologi tertentu memang jauh lebih besar dari kerugiannya.
Apakah ini dengan sendirinya memperbolehkan kita memaksakannya kepada
semua orang, termasuk kepada mereka yang berkeberatan? Bagaimana
dengan hak-hak moral mereka yang paling dasar? Bukankah setiap orang
mempunyai hak untuk diperlakukan atas sesuatu oleh orang lain, hanya
setelah ia menyatakan persetujuannya? Bila orang dengan jelas telah
menyatakan ketidaksetujuannya, bukankah hak moral dasar mereka itu
dilanggar bila dipaksakan juga?

Ketika analisis biaya dan manfaat tidak mampu memberikan petunjuk yang
pasti mengenai bagaimana harus bertindak, keputusan mengenai hal itu
haruslah diserahkan kepada masyarakat yang bersangkutan. Ini tentu saja
benar! Namun demikian, di dalam kenyataan, prinsip ini amat sulit
diterapkan. Orang akan dapat memberikan persetujuannya hanya apabila ia
sebelumnya mengetahui benar apa yang harus disetujuinya dan apa saja
risiko dari persetujuannya itu. Harus diingat bahwa teknologi mutakhir itu
sering begitu kompleksnya sehingga masyarakat awam tidak mungkin
menguasai seluk-beluk persoalannya, apalagi risiko-risiko yang mungkin
dapat ditimbulkannya. Bahkan di kalangan para ahli pun, ketidaksepakatan
mengenai ini adalah sesuatu yang lazim. Bila kita tidak mampu mengetahui,
bagaimana kita harus mengambil keputusan?

Kita memerlukan pendekatan yang lain, yakni pendekatan yang tidak


sepenuhnya cuma bergantung pada analisis biaya dan manfaat. Kehidupan,
pada akhirnya, selalu melampaui kalkulasi angka-angka. Dalam hal ini, yang
kita butuhkan adalah sebuah komitmen moral. Komitmen moral yang

158
menghormati kehidupan di atas segala-galanya, termasuk melampaui
keuntungan ekonomi.

Ecology
Environtment

Society Economy

Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa keuntungan ekonomi itu tidak


penting bagi kehidupan. Sebaliknya, ekonomi adalah bagian kehidupan yang
amat penting. Ekonomi mempunyai fungsi yang amat vital bagi kehidupan, dan
oleh karena itu jangan kita meremehkannya. Yang hendak dikatakan adalah
ekonomi itu penting sepanjang menopang kehidupan. Oleh sebab itu,
persoalan kita bukanlah ekonomi atau kehidupan, melainkan ekonomi untuk
kehidupan

Walaupun bermanfaat, suatu tindakan tidak dapat digantungkan sepenuhnya


pada kalkulasi untung rugi. Ketika biaya atau risiko tidak dapat dipastikan
sebelumnya, kehidupan harus ditempatkan di depan, menjadi pertimbangan
kita satu-satunya.

Bagaimana menerjemahkan prinsip ini ke dalam tindakan? Ada beberapa


kemungkinan. Beberapa ahli mengusulkan bahwa ketika risiko tidak mungkin
diperkirakan dengan pasti, jalan terbaik adalah memilih proyek-proyek yang
tidak mengandung risiko kerusakan yang tidak mungkin diperbaiki. Sekalipun
sebuah teknologi baru dapat diharapkan memberikan manfaat yang

159
maksimum, tetapi bila ia juga mengandung risiko penghancuran yang fatal,
proyek ini harus mutlak kita tolak.

Beberapa ahli lain mengusulkan cara lain, demi keadilan diidentifikasikan


siapa-siapa yang akan paling dibahayakan atau menanggung risiko yang
terbesar sekiranya kemungkinan yang paling buruk terjadi, dan kemudian
direncanakan langkah-langkah untuk memastikan bahwa mereka terlindungi.
Generasi mendatang dan anak-anak, misalnya, termasuk dalam kategori yang
mesti dijamin perlindungannya.

Pendekatan lain lagi adalah sebagai berikut. Ketika risiko tidak mungkin
diperhitungkan dengan pasti sebelumnya, harus diasumsikan kemungkinan
yang paling buruk, dan kemudian mempertanyakan apakah dalam situasi yang
seperti itu, kehidupan terlindungi. Tentu saja risiko adalah bagian yang tidak
terelakkan dari kehidupan. Namun demikian, hidup ini bukan permainan
untung-untungan. Ketika yang dipertaruhkan adalah kehidupan itu sendiri, kita
tidak punya pilihan lain. Ketika hidup itu sendirilah yang menghadapi risiko
kehancuran, manfaat apa lagi yang masih mungkin kita harapkan?

Bisnis memang bertujuan untuk mencari untung. Dan harus diakui bahwa
mencari untung tidak haram. Seorang pengusaha bekerja untuk mencari
untung. Tujuan hidup (termasuk pengusaha) adalah mencari untung serupa
dengan analogi bahwa tujuan hidup adalah bernafas. Kita tidak bisa hidup
tanpa bernafas, tetapi agaknya sulit diterima kalau dikatakan bahwa tujuan
hidup “hanya” untuk bernafas. Di samping itu, ada batasan moral mengenai
keuntungan, sebab jual beli manusia, jual beli obat terlarang, jual beli minuman
keras, jual beli pornografi, sekalipun mungkin amat menguntungkan; jelas-
jelas bertentangan dengan moral masyarakat. Termasuk di dalamnya menipu
pajak, memperkerjakan anak-anak, menindas buruh, memanipulasi peraturan;
semuanya bisa menguntungkan, akan tetapi bukan itu bisnis yang bercorak
etis.

Dalam kaitan dengan ekologi, ekonomi sering berjalan sendiri. Ekonomi sering
dikelola dengan naluri atau dorongan ketamakan, ketidaksabaran,
kerakusan, kebodohan dan kecerobohan. Kalangan bisnis sering menganggap
bahwa alam ini adalah suatu aset modal yang didapat dengan gratis. Di pihak
lain, tenaga manusia yang melimpah menyebabkan sumber daya manusia itu

160
dihargai seminimal mungkin, ditekan serendah mungkin sebagai “faktor
produksi.” Bisnis dijalankan seolah-olah “tidak ada hari esok,” mengeruk
dan mengeruk keuntungan, seolah-olah manusia tidak mempunyai anak-
anak yang harus tetap hidup. Bisnis dilakukan seolah-olah perusahaan sedang
mengalami likuidasi. Cara kita mengeksploitasi alam dan sesama manusia,
bagaikan menjelang mengalami proses kebangkrutan, sehingga dilakukan
pengurasan habis-habisan terhadap sumber daya alam dan sumber daya
manusia.

Melaksanakan kewajiban perpajakan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab warga
negara untuk turut serta dalam membangun bangsa dan negara
Sumber: bisnis.liputan6.com

Kebebasan dalam berbisnis, ternyata ada batas-batasnya. Kebebasan itu


berakhir ketika ia mengancam kehidupan orang lain, dan sekarang ini
dengan amat nyata ditambahkan aspek baru yang sangat menonjol yaitu
kelestarian lingkungan. Hubungan antara ekonomi dan ekologi berkenaan
dengan batas-batas ini. Kebebasan kita berakhir ketika kebebasan itu sudah
mulai mengancam hak hidup orang lain. Menyangkut soal lingkungan, lebih
fundamental lagi, karena yang dipertaruhkan bukan hanya kehidupan orang
lain belaka, akan tetapi seluruh umat manusia dalam seluruh sejarahnya.

Untuk menghadapi destruksi alam dan kemanusiaan di masyarakat,


pendekatan etika ekologis dimulai dari asumsi mengenai keterikatan yang
menyatu antara semua unsur kehidupan di muka bumi. Kehidupan ini bukan

161
hanya kehidupan untuk manusia (lebih-lebih bukan untuk segelintir orang),
akan tetapi semuanya merupakan sebuah komunitas, yaitu “komunitas
biotik.” Kita perlu mencari keseimbangan antara kebebasan individu yang
merupakan asumsi dari dunia bisnis, dengan seluruh lingkungan biotik, baik
dalam bentuk alam lingkungan dan masyarakat. Dilihat dari perspektif
ekologis, setiap individu berada dalam suatu jaringan kehidupan yang saling
bergantung satu dengan yang lain. Keseluruhan kehidupan itu merupakan satu
kesatuan organis yang memberikan kepada setiap “warganya” hak yang sama
untuk hidup. Ada “kodeterminasi” yang dinamis antara individu dan
masyarakat, ada saling ketergantungan antara ekonomi dan ekologi, antara
manusia dan alam, antara buruh dan majikan.

Pada akhirnya, segala persoalan yang kita hadapi berkaitan dengan kerusakan
lingkungan, adalah bertemu dengan musuh terbesar kita, yaitu diri kita sendiri.
Manusia yang batil, serakah dan yang tidak mempedulikan alam serta sesama.
Manusia berada di dalam sistem, struktur serta institusi yang ia ciptakan
sendiri, yang menguras sesamanya dan alam sekitarnya. Dalam segala upaya
kita untuk memperbaiki kualitas lingkungan, kita juga bertemu dengan partner
yang terbaik dan terpercaya, yaitu diri kita sendiri. Manusia merindukan
perbaikan dirinya dan percaya pada kebaikan, baik sebagai lawan maupun
sebagai kawan. Kita disadarkan bahwa alam lingkungan sekitar kita dan
mereka yang menjadi korban dari penganiayaan adalah tanggung jawab
seluruh warga masyarakat bersama. Etika haruslah kritis terhadap segala
keputusan yang kena-mengena dengan manusia dan menyangkut integritas
alam. Kelemahan-kelemahan manusiawi dalam dirinya maupun institusinya
haruslah tetap ditempatkan di bawah kritik etika terus-menerus. Etika
lingkungan menuntut agar kita belajar untuk menghormati alam. Kita juga
harus membatinkan suatu perasaan tanggung jawab khusus terhadap
lingkungan lokal kita sendiri. Kita harus merasa bertanggung jawab terhadap
kelestarian biosfer. Etika lingkungan memuat larangan keras untuk merusak,
mengotori dan meracuni. Selain itu, sikap solidaritas dengan generasi-
generasi yang akan datang juga dituntut oleh etika lingkungan.

Kita harus menolak pandangan bahwa bila diperlukan kita harus


mengurbankan ekologi demi ekonomi, seolah-olah ekonomi itu lebih luhur
daripada ekologi. Sebaliknyalah, dalam mempertimbangkan situasi ekologis

162
secara global sekarang ini, kita harus mengatakan ekonomilah yang harus
melestarikan ekologi! Apabila kita mesti mengurbankan ekologi, pengurbanan
ini hanya dapat dibenarkan apabila itu benar-benar diperlukan demi kehidupan
itu sendiri. Kehidupan adalah sesuatu yang lebih luhur ketimbang ekonomi
ataupun ekologi. Kehidupan itu lebih dari sekadar “ada” secara fisik. Yang kita
maksudkan dengan “kehidupan” adalah apa yang dijanjikan oleh Yesus “hidup
dalam segala kepenuhannya.” Dengan demikian, jelaslah bahwa baik ekonomi
maupun ekologi adalah bagian-bagian yang penting dari kehidupan.
Pentingnya masing-masing ditentukan oleh sumbangan masing-masing, baik
kuantitatif maupun kualitatif bagi hidup dalam segala kepenuhannya itu.

Simaklah renungan yang berjudul Maka Alam Menjadi Murka berikut ini
(Ismail 2002, 120-122).

Maka Alam Menjadi Murka


Sengsara. Semua orang jadi sengsara. Banjirnya makin lama makin gawat. Di
rumah ini seumur-umur belum pernah banjir, 10 tahun lalu banjir 5 cm, lima
tahun lalu 40 cm, eh sekarang 80 cm! Di sana lebih parah lagi, tinggi air dalam
rumah sampai 140 cm! Ranjang, meja makan dan lemari pakaian terendam
air lumpur. Orang mengungsi naik perahu. Rumah yang tidak kena banjir juga
ikut sengsara. Listrik padam. Telepon putus. Air bersih tidak ada. Tidak bisa
keluar rumah. Jalan jadi sungai. Mobil mogok. Lalu lintas macet. Sampah
berserakan. Kantor tutup. Pasar tutup. Toko tutup. Ekonomi lumpuh total.
Penduduk desa lebih sengsara lagi. Bukit longsor. Rumah tertimbun.
Bendungan jebol. Pohon tumbang. Jembatan roboh. Sawah membusuk.
Ternak mati. Ikan hanyut. Penyakit merajalela.
Pokoknya, semua orang merasa sengsara. Kalau alam menjadi murka kita
semua menderita. Mengapa alam menjadi murka?
Cobalah bermawas diri dan lihat apa yang telah kita perbuat terhadap alam.
Kita mulai dengan perkara kecil yaitu sehelai kantong plastik yang kita buang
di sembarangan tempat. Kantong plastik itu masuk ke got, lalu terbawa ke
kali lalu bertumpuk di waduk. Got jadi mampat, kali jadi dangkal dan pompa
waduk jadi macet. Akibatnya meluaplah air. Lihat contoh lain. Tanah terbuka
kita lapisi semen dan beton. Taman dan situ kita timbun, lalu di atasnya kita
bangun rumah, kantor, sekolah, dan sebagainya. Padahal wilayah itu adalah

163
daerah resapan air atau tempat parkir bagi air. Akibatnya air hujan jadi liar
dan menggenangi kita. Lihat juga apa yang kita perbuat terhadap alam di
pedalaman. Hutan digunduli. Bukit digaruk. Akibatnya semua air hujan
langsung masuk ke sungai. Terjadilah longsor. Terjadilah banjir.
Pokoknya kita telah menggerayangi gunung, menyakiti hutan, mencekik
sungai, melukai danau, mencemari waduk dan membekap tanah.
Kita telah mengusik alam, maka sekarang alam mengusik kita. Kita telah
memusuhi alam, maka sekarang alam memusuhi kita.
Padahal sebenarnya alam adalah sahabat dan mitra kita. Baik alam maupun
kita adalah sama-sama ciptaan Allah. Tuhan menempatkan kita di tengah
alam supaya kita hidup bersama dengan alam.
Hal itu sudah ditulis sejak halaman pertama dalam Alkitab. Dalam Kitab
Kejadian terdapat dua cerita penciptaan. Cerita pertama terdapat dalam
Kejadian 1:1 sampai dengan 2:4a, ditulis oleh para pengarang kelompok
imam pada abad ke-5 sM. Menurut cerita pertama ini manusia bertugas
menguasai dan menggarap alam. Istilah yang digunakan adalah “taklukkanlah
... berkuasalah” (1:28). Cerita kedua terdapat dalam Kejadian 2:4b
sampai dengan 25, ditulis oleh para pengarang kelompok Yahwist empat
abad sebelum cerita pertama. Menurut cerita kedua tugas manusia adalah
“mengusahakan dan memelihara” (Kej. 2:15). Dalam bahasa Ibrani abad
(menghambakan diri, melayani) dan shamar (menjaga, merawat,
melestarikan).
Kemudian dengarkan pengakuan pemazmur: “Tuhanlah yang empunya bumi
serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya” (Mzm. 24:1) dan
“Punya-Mulah langit, punya-Mulah juga bumi, dunia serta isinya Engkaulah
yang mendasarkannya” (Mzm. 89:12).
Alam ini bukan milik kita, melainkan milik Tuhan. Kita hanya menumpang
tinggal, tanpa bayar sewa atau kontrak. Kita punya tugas memelihara
gunung, hutan, sungai, laut, waduk, danau, serta tanah kepunyaan Tuhan ini,
bukan merusaknya.
Kita telah merusak dan mengotori alam ini. Kita kurang ramah terhadap alam.
Kita makin serakah dalam menggaruk alam. Akibatnya alam murka. Makin
lama ia makin murka dan kita makin menjadi sengsara.

Bukankah lebih baik kita berdamai dengan alam? Sebetulnya alam bisa
bersahabat dengan kita, kalau kita juga mau bersahabat. Lebih baik kita
bersahabat dengan alam supaya hidup kita di tengah alam bukan menjadi

164
sengsara melainkan sejahtera. Setelah menyimak renungan di atas yang
berjudul Maka Alam Menjadi Murka dan paparan di bawah ini, Anda diberi
kesempatan untuk menanya sebanyak-banyaknya pertanyaan kritis yang
berkenaan dengan tugas manusia dalam alam.
Skala pencemaran lingkungan pada abad ke-21 ini menjadi semakin besar.
Pada masa lampau masalah lingkungan itu nyata di kota-kota besar saja,
misalnya dalam hal pencemaran udara dan air. Jumlah perusahaan dan
industri memang masih sangat terbatas. Sementara dalam abad ke-21 ini
pengaruh pencemaran lingkungan memang meningkat dengan sangat pesat
dan bukan hanya terjadi di kota-kota besar saja.

Di samping itu, laju perkembangan produksi sintetis-organis dari bahan- bahan


kimia tidak dapat dibendung, dan merupakan suatu hal yang baru. Semakin
meningkatnya jumlah kebutuhan produksi kimia ikut mendorong agar
penanganan atas masalah lingkungan dilakukan pada tingkat
internasional. Masalah lingkungan juga semakin rumit: bukankah rumah kaca
untuk pembibitan tanaman juga mengandung berbagai macam bahan kimia
yang dapat merusak kesehatan, belum lagi robeknya lapisan ozon, hujan
asam, peracunan udara, air dan dasar bumi dan sebagainya. Penyebab utama
krisis ekologi adalah keserakahan manusia yang pernah diungkapan sebagai
mendapat laba ekonomis melalui rugi ekologis. Mahatma Gandhi menyatakan,
“Bumi ini mempunyai cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, namun
tidak cukup untuk memenuhi keserakahan semua orang.” Sumber-sumber
alam secara global cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar semua orang,
apabila dimanfaatkan secara bijak dan didistribusikan secara adil. Kecukupan
bagi semua orang harus didahulukan ketimbang kelimpahan bagi segelintir
orang (Darmaputera 1996, 128).

Perusakan lingkungan hidup mempunyai banyak sebab. Polusi dari industri


dan kendaraaan bermotor merupakan salah satu sebab yang ditemukan di
mana-mana. Ada juga sebab yang berlaku khusus untuk suatu wilayah
tertentu. Sampai sekarang kita mendapat kesan bahwa persoalan spesifik bagi
Indonesia di bidang lingkungan hidup adalah penebangan hutan tropis
(dengan izin maupun liar) dan kebakaran hutan yang hampir setiap musim
kemarau terjadi di beberapa tempat. Tanah air kita sebagai negara kepulauan
dulu dianggap diganggu oleh penebangan hutan bakau yang secara alamiah

165
melindungi keutuhan pantai di belakangnya. Kini kita menyadari bahwa ada
sebab lebih dahsyat lagi, yaitu pengerukan pasir laut yang menghilangkan
ratusan hektar tanah dari tujuh pulau kecil di Kalimantan Timur dan merusak
seluruh ekosistem di sekitarnya sehingga para nelayan pun banyak
dirugikan, karena menangkap ikan menjadi semakin sulit (Bertens 2004,
213-214). Sekaligus kita dengar bahwa cara merusak ini sudah berlangsung
lama dan tidak sebatas Kalimantan Timur saja. Di Kepulauan Riau rupanya
sebelumnya sudah terjadi hal yang sejenis. Tenggelamnya Pulau Nipah disebut
sebagai contohnya. Di daerah perbatasan ini akibat perusakan jelas lebih parah
lagi sebab selain pengaruh destruktif atas lingkungan hidup, hilangnya pulau,
timbulnya persoalan territorial. Sebuah pulau berperanan pula sebagai titik
pangkal penentuan batas RI dengan negara-negara tetangga.

Pada bulan Juni 1992, di Rio de Janairo, Brazilia, diselenggarakan KTT Bumi
yang dihadiri oleh hampir seluruh Kepala Negara di dunia. KTT tersebut
mencetuskan tekad untuk menyelamatkan bumi dari malapetaka yang bakal
datang oleh ulah manusia. Bersamaan dengan KTT tersebut, diselenggarakan
pula pertemuan tokoh-tokoh agama yang terkenal di dunia: Katolik, Protestan,
Islam, Buddha dan Yahudi. Tokoh agama tersebut secara bersama-sama
mengaku dosa mereka atas kealpaan mereka selama ini. Mereka mengaku
bahwa selama ini mereka sibuk dengan pertentangan dan pertengkaran di
antara mereka untuk memperebutkan anggota-anggota, sedangkan masalah
bumi yang tercemar sangat diabaikan. Mereka bertekad untuk memperbarui
komitmen. Mereka sepakat untuk bekerja sama seerat-eratnya untuk mencari
jalan bagaimana caranya menyelamatkan “Ibu Bumi” yang setia mengayomi
dan merangkul anak-anaknya, kendati anak-anaknya telah memperkosanya
selama bertahun-tahun.

Sesuatu yang dipercayakan kepada kita tentu kita jaga baik-baik. Merawat
kehidupan tidak cukup hanya dengan pengendalian polusi. Kita juga harus
berbicara mengenai konservasi. Memelihara kelestarian sesuatu itulah yang
disebut konservasi. Ancaman terbesar terhadap umat manusia bisa saja pada
akhirnya bukan perang nuklir, melainkan risiko yang datangnya dari suatu
masa damai, yakni perusakan sumber daya alami bumi oleh kebodohan,
kerancuan berpikir dan keserakahan manusia. Konservasi merupakan tindakan
penyelamatan atau penjatahan sumber-sumber alam untuk penggunaan yang

166
kemudian. Oleh karenanya, konservasi melihat ke depan: kebutuhan untuk
membatasi konsumsi sekarang agar kita mempunyai persediaan bagi hari
esok, bagi generasi-generasi yang akan datang. Dua pertanyaan dapat
dikemukakan sehubungan dengan konservasi. Pertama, mengapa kita mesti
melakukan konservasi bagi generasi-generasi mendatang? Kedua, berapa
banyak yang harus kita konservasikan?

Pertanyaan ini kedengarannya aneh. Namun demikian, pertanyaan ini harus


kita sampaikan sebab ada beberapa ahli yang mengemukakan bahwa kita
tidak mempunyai dasar rasional untuk menyesuaikan tindakan kita sekarang
demi kepentingan generasi yang akan datang. Kita tidak dapat dengan pasti
mengetahui, begitu kata mereka, apakah generasi yang akan datang itu
akan betul-betul ada, kita juga tidak dapat mengetahui secuil pun
bagaimana mereka itu nanti. Apa yang mereka butuhkan dan apa yang
mereka inginkan, bisa saja amat berbeda dari kita. Siapa tahu mereka sudah
dapat memperkembangkan sumber-sumber daya pengganti yang murah dan
cukup banyak guna menggantikan sumber-sumber yang langka yang kita
miliki sekarang. Karena kita tidak mengetahui dengan pasti mengenai hal-hal
ini, begitu kata mereka selanjutnya, salahlah kita bila kita mesti mengurbankan
kebutuhan-kebutuhan kita sekarang dengan risiko menghancurkan seluruh
peradaban hanya demi kepentingan masa depan yang sama sekali di luar
pengetahuan kita.

Tentu saja benar untuk mengatakan bahwa kita tidak memiliki kepastian apa-
apa mengenai generasi-generasi yang akan datang. Namun demikian, tidak
berarti kita lalu tidak mempunyai kewajiban moral untuk bersikap adil
terhadap mereka. Tentu saja tidak adil bila kita secara berlebihan
mengurbankan generasi sekarang demi kepentingan generasi-generasi yang
akan datang. Sama tidak adilnya apabila generasi sekarang tidak
meninggalkan apa pun bagi generasi- generasi mendatang. Kita mempunyai
kewajiban moral untuk mewariskan kepada generasi yang akan datang suatu
kondisi kehidupan yang lebih baik daripada kondisi sewaktu kita
menerimanya dahulu dari generasi yang sebelum kita. Sudah waktunya kita
menyadari tanggung jawab kita terhadap generasi-generasi yang akan datang.
Setiap orang tua yang baik berusaha untuk menjaga rumah, perabot, dan
tanah yang dimiliki sebagai warisan bagi anak cucu mereka. Sikap ini harus

167
menjadi sikap umum manusia terhadap generasi-generasi yang akan datang.
Kita dibebani kewajiban berat untuk mewariskan ekosistem bumi ini dalam
keadaan baik dan utuh kepada anak, cucu, dan cicit kita.

Kalau begitu, berapa banyak yang mesti kita konservasikan agar kebutuhan-
kebutuhan kita sekarang terpenuhi dan sekaligus hak-hak generasi
mendatang terlindungi? Apakah Anda dapat mengusulkan angka-angka?
Sebenarnya yang dibutuhkan bukanlah angka-angka, tetapi sebuah
pergeseran paradigma. Perubahan seluruh cara berpikir kita. Kita mesti
bergeser dari paradigma lama ke paradigma baru. Paradigma lama adalah
paradigma era industri yang memiliki komponen-komponen sebagai berikut:
harapan akan kemajuan material yang tidak terbatas serta konsumsi yang
terus bertumbuh, keyakinan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan
mampu memecahkan semua persoalan, mencapai sasaran efisiensi,
pertumbuhan dan produktivitas dalam segala hal, penguasaan atas alam,
serta hidup yang diwarnai oleh persaingan dan individualisme. Paradigma
inilah yang telah menyeret dunia kepada degradasi lingkungan, pengurasan
sumber-sumber alam, hilangnya makna hidup, distribusi yang tidak merata
serta tidak terkendalinya teknologi dengan efektif. Paradigma baru adalah
paradigma era pascaindustri yang memiliki komponen-komponen sebagai
berikut: kecukupan material yang didasarkan pada terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan dasar, hemat dalam pemanfaatan sumber- sumber alam, sedikit
demi sedikit beralih kepada sumber-sumber yang dapat didaur ulang,
pergeseran dari hak milik pribadi kepada pemerataan melalui pembayaran
pajak, dari orientasi jangka pendek ke jangka panjang, dari isu-isu nasional ke
isu-isu global, tekanan kepada etika lingkungan dan penatalayanan
terhadap alam, tujuan diarahkan kepada perkembangan dan realisasi diri
manusia, serta pertumbuhan kesadaran dan kreativitas dan kerja sama serta
solidaritas sebagai pengganti persaingan dan individualisme. Paradigma era
pascaindustri sebagai dasar bagi terbentuknya sebuah masyarakat yang
lestari.

Kita harus berusaha berpikir dan bertindak ekologis. Kita bertobat dari segala
tindakan yang bersifat menghambur-hamburkan sumber daya alam,
mencemarkan dan merusak tanpa alasan. Kita sadar bahwa bagi manusia
lebih mudah menaklukkan bumi daripada menaklukkan dirinya sendiri.

168
Allah memberi alam kepada manusia dan memberi manusia kepada alam. Dari
satu segi, hasil bumi diberikan kepada manusia sebagai makanan dan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang lain (Kej. 1:29). Dari segi yang lain,
manusia diberi tugas untuk berkuasa di bumi dan memelihara bumi (Kej. 2:15)
sesuai dengan kehendak Tuhan. Hubungan ini berfaedah bagi manusia dan
juga bagi alam.

Tugas pertama adalah manusia diberi tugas untuk menggunakan alam dan
berkuasa atas alam. Waktu Allah menciptakan manusia, Ia berkata kepada
mereka, “Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di
laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di
bumi” (Kej.1:28). Manusia diberi tugas untuk membimbing dan menjinakkan
alam.

Pandangan Alkitab ini sering dikritik oleh orang-orang yang merasa bahwa
pandangan ini menyebabkan manusia merusak dan kurang menghargai alam.
Perlu diingat bahwa perintah untuk menaklukkan dunia diberikan kepada
manusia sebagai wakil Allah. Manusia diletakkan dalam dunia sebagai sarana
pemerintahan Allah. Manusia dimaksudkan untuk berkuasa sesuai dengan
kehendak Allah, bukan dengan sewenang-wenang. Dia bertanggung jawab
untuk menggunakan alam bukan dengan mengutamakan dirinya sendiri tetapi
dalam pelayanan kepada sesamanya dan penghargaan kepada alam.

Tugas kedua ialah memelihara alam. Manusia harus menjaga alam sehingga
tidak rusak. Menurut Alkitab alam tanpa pemeliharaan manusia tidak lengkap.
Manusia dibutuhkan untuk mengatur alam bukan demi keuntungan manusia
saja tetapi juga demi kebaikan alam. Manusia bertanggung jawab untuk
memelihara alam sebagai karunia dari Allah, yang juga mencintai alam itu.

Sumber: http://naturenesia.wordpress.com/about/

169
Tugas manusia untuk menggunakan alam dan berkuasa di atas alam perlu
dipisahkan dari tugasnya untuk memelihara alam. Di negara-negara industri
tugas menaklukkan alam sering diutamakan dengan mengabaikan tugas
menjaga, merawat, dan mengagumi alam. Sebagai akibat teknologi dan
industri, penaklukan alam sering disertai sikap yang terlalu keras dan
eksploitatif terhadap alam. Manusia modern sering kehilangan sikap yang
lembut dan ramah terhadap alam. Ia menggunakan alam tetapi kurang
menyayangi alam.

Tugas manusia dalam dunia diberikan oleh Allah, dan ia bertanggung jawab
kepada Allah atas pelaksanaan tugas itu. Prinsip utama yang mendasari
pandangan orang Kristen tentang lingkungan ialah bahwa dunia adalah milik
Tuhan. Ia yang menciptakan dan memelihara dunia juga memiliki alam dan
mempunyai kewibawaan tertinggi atasnya. “Tuhanlah yang empunya bumi
serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya. Sebab Dialah yang
mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai”
(Mzm. 24:1-2). Manusia tidak mempunyai hak milik yang mutlak atas bumi. Ia
hanya menjadi pengurus atau manajer. Bumi dipercayakan kepada manusia
untuk diolah dan diurusnya.

Simaklah renungan berikut ini yang berjudul Lagi-lagi Bencana Alam (Ismail
2012, 65-67). Negeri apa yang paling banyak gunung berapinya? Indonesia.
Gunung apinya ada 129. Negeri apa yang frekuensi gempanya paling kerap
dan paling kontinu sepanjang tahun? Juga Indonesia.

Lagi-lagi Bencana Alam


“Para ahli geologi memperkirakan bahwa kepulauan Indonesia tercipta sedikit
demi sedikit sejak 55 juta tahun lalu melalui benturan-benturan lempeng bumi
yang sudah berlangsung 136 juta tahun. Proses penciptaan ini masih berlangsung
hingga kini, misalnya terciptanya gunung api yang baru seperti Gunung Anak
Krakatau yang setiap tahun bertambah tinggi dan bertambah aktif kepundannya
sejak munculnya pasca tahun 1883. Sebuah lempeng adalah bagian kulit bumi
setebal 50 sampai 250 km. Tiga buah lempeng, yakni lempeng Eurasia,
Indoaustralia, dan Pasifik bertemu di bawah bumi Indonesia. Benturan ketiga
lempeng mendongkrak kerak bumi ke atas dan mencuatkan deretan gunung api.

170
Di peta tampak gunung api berderet sepanjang Sumatera terus ke Jawa, Nusa
Tenggara, Banda, Sulawesi, dan Halmahera. Selain itu, benturan lempeng juga
mengakibatkan adanya zona sesar yang lemah sehingga rawan gempa. Di peta
geologi terlihat sayatan sesar itu bagaikan menyayat perut bumi Indonesia sampai
ke Papua. Oleh sebab itulah, kita sering terkena bencana letusan gunung api dan
gempa yang kadang-kadang juga mengakibatkan tsunami.
Tetapi, itu baru sedikit. Sebagian besar bencana alam justru terjadi di luar kaitan
gunung api dan gempa. Di Indonesia 65% dari bencana alam adalah bencana
hidrometeorologi, yaitu berhubungan dengan iklim dan curah hujan seperti banjir,
longsor, angin topan, air pasang, kekeringan, kebakaran hutan, dan gelombang
laut.
Berbeda dengan letusan gunung dan gempa yang tidak dapat dicegah, sebaliknya
kebanyakan bencana iklim dan hujan sebetulnya dapat dicegah karena
penyebabnya adalah kita sendiri. Banjir terjadi karena kita menebangi pohon,
sehingga air hujan tidak tersimpan di dalam tanah. Lalu kita pun sembarangan
membuang sampah, sehingga saluran air tersumbat dan sungai dangkal. Longsor
terjadi karena kita menebangi pohon di lereng. Naiknya air pasang ke daratan
terjadi karena kita merusak hutan bakau di pesisir.
Akhir-akhir ini muncul pula jenis bencana alam lain. Di tengah musim kemarau
tiba-tiba turun hujan lebat dan badai berhari-hari. Atau sebaliknya, di tengah
musim hujan terjadi kekeringan. Akibatnya panen gagal. Jenis bencana alam ini
karena pemanasan global atau krisis iklim, dan pemanasan global ini yang paling
berbahaya karena mengancam keberlangsungan hidup di bumi.
Duduk perkaranya begini. Es yang ada di Kutub Utara dan Selatan sejak ribuan
tahun lalu kini mulai mencair karena suhu semakin panas. Akibatnya, permukaan
air laut di seluruh dunia sedikit demi sedikit naik. Ada kemungkinan permukaan
laut akan naik sampai tujuh meter sehingga pantai dan dataran rendah di seluruh
dunia akan tenggelam. Gejala lain adalah terjadinya cuaca ekstrem. Cuaca jadi sulit
diprediksi. Terjadi banjir di satu tempat dan kekeringan di lain tempat atau suhu
sangat dingin di satu tempat dan sangat panas di tempat lain.
Siapa penyebabnya? Kita! Pemanasan global dan krisis iklim terjadi akibat
perbuatan kita. Asap mobil dan motor, pabrik, pembangkit tenaga listrik,
peternakan, dan penumpukan sampah memproduksi beberapa macam gas yang
memicu pemanasan global.
Kebanyakan bencana alam terjadi akibat sikap kita yang keliru. Kita merasa diri
mampu berbuat sewenang-wenang terhadap alam. Kita merasa diri kuat
sehingga bersikap kasar terhadap alam, sama seperti kita merasa diri kuat

171
sehingga bersikap kasar terhadap kelompok minoritas. Bagaikan hukum karma,
bencana demi bencana timbul.
Kita memang mempunyai dua pilihan dalam bersikap terhadap bumi, yaitu
bersikap kasar dan sewenang-wenang, atau bersikap harmonis. Cerita penciptaan
di Alkitab bagaikan menawarkan dua macam pilihan itu. Cerita penciptaan
menurut mazhab Imam (Kej. 1:1-2:4a) yang ditulis pada awal masa pembuangan
Babel abad ke-6 SM menawarkan manusia untuk “menaklukkan dan menguasai”
(Kej. 1:28; Ibrani kabash artinya ‘mengalahkan,’ dan radah artinya ‘menginjak-
injak’). Sebaliknya, cerita penciptaan menurut mazhab Yahwis (Kej. 2:4b-3:24)
yang ditulis pada masa kerajaan Daud abad ke-10 SM, menawarkan manusia
untuk “mengusahakan dan memelihara” (Kej. 2:15; Ibrani abad artinya
‘mengabdi,’ dan syamar artinya ‘melestarikan’). Cerita penciptaan tradisi imam
berkonteks bumi yang basah dan hijau, sedangkan cerita tradisi Yahwis berkonteks
bumi yang gersang. Lalu kedua versi itu disambung menjadi satu sebagaimana
yang ada pada kita sekarang oleh para editor di Babel pada akhir masa
pembuangan, atau pasca pembuangan sekitar tahun 530 SM.”

Memang ada dua pilihan. Pertama, kita mencemari dan merusak bumi. Kedua,
kita menyayangi dan memelihara bumi. Kita boleh memilih. Pilihannya
terpulang pada kita. Setelah menyimak renungan tersebut, menurut Anda,
mengapa pemanasan global dan krisis iklim terjadi? Apa akibatnya
jika pemanasan global dan krisis iklim terjadi? Apa yang perlu Anda lakukan
agar pemanasan global dan krisis iklim tidak terjadi? Silakan Anda
mengumpulkan informasi yang sebanyak-banyaknya dari berbagai buku dan
sumber belajar yang lain mengenai dasar teologis dari pemahaman mengenai
keutuhan ciptaan.

Seorang sejarawan Amerika Serikat yang bernama Lynn White, Jr. pernah
mengajukan pertanyaan berikut ini (Singgih 1993, 245). Apakah ada kesalahan
yang dibuat di dalam sistem ajaran Kristen mengenai manusia dan dunia
sehingga menyebabkan terangsangnya orang Kristen di masa lalu untuk
mengeksploitasi dunia ini sehabis-habisnya “demi nama Tuhan?” Ia menjawab
sendiri pertanyaan tersebut secara positif “ya.”

Menurut dia kesalahan itu terdapat dalam doktrin penciptaan di dunia Kristen
Barat yang membedakan tajam sekali di antara manusia sebagai gambar Allah
(imago Dei) dan dunia sebagai ciptaan yang bukan gambar Allah. Penghayatan
terhadap doktrin ini menghasilkan rasa superioritas dan transenden dari

172
manusia terhadap alam yang sedemikian rupa, sehingga manusia dilihat
sebagai penguasa alam, sedangkan alam hanya menjadi objek untuk
kepentingan manusia. Apa yang dikatakan White menimbulkan kegemparan di
kalangan orang Kristen. Kegemparan tersebut dapat dimengerti sebab orang
mempertanyakan suatu doktrin atau interpretasi suatu doktrin keagamaan,
yang biasanya oleh kalangan penganut agama tersebut tidak
dipermasalahkan sama sekali. Biasanya doktrin dianggap “tidak bisa salah.”

John Macquarrie dan James Barr berusaha membuktikan bahwa tuduhan


mengenai Alkitab sebagai pokok gara-gara yang menyebabkan kerusakan
alam bukan merupakan tuduhan yang kuat, sekaligus kedua orang ini bersedia
mengakui bahwa dalam perkembangan sejarah ada penafsiran tertentu
terhadap manusia sebagai penguasa yang eksploitatif, dan bahwa gambaran
ini tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam teks Alkitab itu. Penafsiran ini
sama sekali tidak sesuai dengan teks Alkitab. Manusia diakui sebagai yang
utama, sebagai penguasa, tetapi pengakuan ini oleh penafsir tertentu di
kemudian hari diberi penekanan berlebih-lebihan, sehingga akhirnya
“menguasai” berarti “mengeksploitasi.”

Menurut Macquarrie ada hubungan organik antara Allah dan dunia. Macquarrie
memulai uraiannya dengan mencatat kecenderungan para teolog modern
untuk mengusut asal-usul ilmu pengetahuan dan teknologi dari Alkitab dan
dari doktrin Kristen mengenai penciptaan. Kalau alam dilihat sebagai ciptaan,
alam yang tadinya dianggap ilahi dapat dilihat secara objektif sebagai alam
semata-mata. Dengan demikian, alam dapat dipelajari dan dimanfaatkan
untuk kepentingan manusia.

Pada waktu mereka merumuskan pandangan ini, dunia berada dalam dekade
60-an. Orang sedang jenuh terhadap tekanan pada keselamatan di dalam
sejarah dan mulai kembali memerhatikan pokok penciptaan. Belum ada kritik
terhadap teknologi. Bahkan teknologi dihargai tinggi sekali. Kalau teknologi
yang mulia ini dapat diusut sebagai berasal dari penghayatan iman Kristen
atau bahkan dari penghayatan iman di Alkitab, agama Kristen dapat dihargai
tinggi pula oleh dunia.

Tanpa diduga sebelumnya, segera timbul reaksi keras terhadap


kecenderungan teologis ini. Teknologi tiba-tiba menjadi bulan-bulanan,

173
dianggap sebagai sumber pelbagai kesulitan dan kerugian manusia, misalnya
kerusakan serius pada lingkungan hidup dan hancurnya hidup
kebersamaan dalam masyarakat akibat perkembangan individualisme
yang diakibatkan oleh penerapan teknologi. Ironisnya, reaksi yang muncul
itu tetap mempertahankan bahwa teknologi berasal dari Alkitab dan doktrin
penciptaan. Hanya saja kalau pandangan sebelumnya menilainya amat positif,
kecenderungan baru ini menilainya amat negatif. Kalau iptek menghasilkan
begitu banyak kerugian, pasti ada yang salah pada sumbernya.
Kecenderungan baru ini menganjurkan penggantian tekanan dalam hubungan
antara Allah, manusia dan dunia. Hubungan ini harus dirumuskan ulang.

Masalah-masalah yang merupakan dampak penerapan teknologi tidak dapat


diselesaikan dengan hanya menciptakan teknologi yang lebih baik, melainkan
dengan menyediakan suatu struktur pemikiran yang dapat menjadi landasan
bertolak bagi tingkah laku manusia. Di sinilah menurut Macquarrie seorang
teolog dapat berperan di dalam krisis ekologi. Bagaimana bentuknya
sumbangan itu? Yang harus dilakukan ialah meninjau kembali tradisi Kristen
dan memeriksa mana tahap-tahap perkembangan tradisi itu yang telah terjadi
distorsi karena tekanan yang terlampau dilebih-lebihkan, dan menanyakan
apakah di dalam tradisi ini tidak ada sumber-sumber yang laten, yang dapat
menjawab kebutuhan masa kini. Tindakan selanjutnya adalah mengoreksi
tekanan yang berlebih-lebihan ini dan mempromosikan apa yang tadinya
laten. Macquarrie mengajak untuk melihat ke penciptaan di dalam Alkitab.
Bahwa konsep penciptaan akan melahirkan teknologi tidak dapat dibuktikan
jika ditinjau dari Alkitab. Orang Ibrani tidak menelurkan teknologi. Mesir dan
Mesopotamia lah yang menjadi pelopor teknologi. Orang Kristen mula-mula
juga tidak melahirkan teknologi meskipun mengambil alih doktrin penciptaan
dari Perjanjian Lama. Hal itu malah terjadi di Yunani. Ini berarti bahwa
hubungan antara doktrin penciptaan dengan teknologi baru terjadi sebagai
perkembangan kemudian, di dalam kebudayaan Eropa Barat.

Ada kecenderungan untuk melihat hubungan antara Allah – manusia – dunia


sebagai hubungan penguasaan. Model ini disebut model monarkhis. Model ini
dominan, ditekankan secara berlebih-lebihan. Menurut model monarkhis Allah
tanpa dunia = Allah. Sebaliknya dunia tanpa Allah = nol. Kita bisa setuju bahwa
dunia tanpa Allah = nol, namun kita tidak bisa setuju bahwa Allah tanpa dunia

174
= Allah. Tanpa dunia/bumi/ciptaan, Allah tidak bermakna apa-apa. Allah
berada dalam hubungan dengan bumi sejak semula. Hakikat Allah adalah
bahwa Ia pencipta. Tanpa hakikat-Nya sebagai Pencipta, Ia bukan Allah.

Macquarrie menyatakan bahwa ada model lain yang laten, yakni model
organis. Model organis inilah yang perlu dipromosikan. Menurut model organis,
dunia ini berhubungan secara organis dengan Tuhan. Bahkan Tuhan berada di
dalam dunia ini. Macquarrie tidak menganjurkan panteisme yang
berpandangan Allah = Dunia, tetapi model organis menuntut agar paling tidak
Tuhan dilihat secara integral, sebagai yang transenden sekaligus yang imanen.

Selama ini apologetika Kristen mencoba membela dan mempertahankan


doktrin penciptaan dari tuduhan sebagai sumber penyebab kerusakan ekologi
dengan menunjuk pada konsep penatalayanan (stewardship). Bagi Macquarrie
hal ini belum memuaskan sebab penatalayanan masih menganggap bahwa
dunia ini milik manusia, jadi berarti manusia masih lebih tinggi daripada alam,
masih tetap penguasa alam. Padahal model organis menaikkan derajat alam
dan menurunkan derajat manusia, sehingga hasil akhir adalah suatu
keseimbangan. Manusia dan alam, kedua-duanya bersumberkan Tuhan.

Menurut James Barr perlu ada penafsiran baru terhadap pemahaman manusia
mengenai “gambar Allah.” Barr sadar bahwa terdapat tuduhan-tuduhan serius
yang melemparkan tanggung jawab kerusakan ekologis masa kini ke atas
Perjanjian Lama. Kerusakan ini disebabkan oleh teknologi, yang dilahirkan oleh
ilmu pengetahuan, sedangkan pada gilirannya ilmu pengetahuan lahir dari
sikap religius Yahudi-Kristen terhadap alam. Sikap ini adalah menganggap
alam sebagai objek yang harus dikuasai dan dilumpuhkan oleh manusia. Sama
seperti Macquarrie, ia mencatat bahwa para teolog pada umumnya
menganggap hubungan IPTEK dengan Alkitab sebagai sesuatu yang positif,
sedangkan para sejarawan menilainya sebagai sesuatu yang negatif. Barr
mengusulkan untuk melihat kembali ke dalam Kitab Kejadian secara khusus
dan Perjanjian Lama secara umum, agar dapat dipastikan apakah hubungan di
antara keduanya ini betul merupakan hasil penafsiran yang tepat dan apakah
dalam sejarah memang ada hubungan antara Alkitab dan IPTEK.

Oleh karena White mengkritik doktrin Kristen dengan bertitik tolak dari pokok
yang disetujui juga oleh para teolog, yakni hubungan di antara Alkitab dan

175
IPTEK, menurut Barr kita harus meninggalkan pokok ini. Sebab kritik terhadap
suatu pokok dari titik tolak yang sama biasanya sulit ditangkis. Untuk
melakukan hal ini kita tidak perlu memutuskan hubungan antara konsep
penciptaan dan IPTEK. Pandangan hidup Kristen bisa memengaruhi
perkembangan IPTEK. Kenyataan berbicara bahwa IPTEK mengalami
perkembangannya di dunia Barat yang berlatar belakang Kristen. Agak
berlebih-lebihan kalau kita merumuskan bahwa konsep penciptaan
mengakibatkan lahirnya IPTEK.

Barr meninjau masalah istilah “gambar Allah” yang terdapat di dalam


Kejadian 1:26-28. Kecenderungan umum adalah melihat di dalam istilah ini
ada dominasi atas alam. Karena Tuhan memerintahkan segala sesuatu,
demikian juga manusia sebagai gambar Allah memerintahkan ciptaan lain.
Gambar Allah memperlihatkan relasi yang bersifat analogikal. Menurut Barr,
tafsiran seperti ini tidak tepat. Istilah gambar Allah sebenarnya mau memberi
jalan keluar bagi permasalahan di Israel, sampai seberapa jauh kemiripan
manusia dengan Allah. Memang ada hubungan antara gambar Allah dan
penguasaan alam, tetapi bukan dalam arti bahwa gambar itu semata-mata
terdiri dari penguasaan. Relasinya lebih bersifat konsekuential: oleh karena
manusia adalah gambar Allah, biarlah ia berkuasa.

Berbicara mengenai penguasaan, tekanan umumnya diletakkan pada


kekuatan manusia dan kegiatan-kegiatannya yang eksploitatif. Jadi kata rada,
‘berkuasa’ ditarik sampai ke etimologinya yang memang melukiskan proses
penginjak-injakkan buah anggur untuk dijadikan minuman. Demikian pula kata
kabasy, ’menaklukkan’ diartikan sebagai “menindas.” Sebenarnya konteks
tidak menunjuk makna yang sekeras itu. Dalam Kejadian 1, manusia adalah
vegetarian. Baru sesudah Air Bah, manusia boleh makan daging (Kej. 9).
Jadi di dalam Kejadian 1 penguasaan terhadap alam tidak mengandung unsur
kekuatan yang mengorbankan binatang dan bagian dunia yang lain. Rada lebih
baik diartikan sebagai ’menaungi,’’mengayomi.’ Kabasy menurut etimologinya
memang berarti menginjak-injak, menindas. Konteksnya di sini berhubungan
dengan bumi, “penuhilah bumi dengan anak cucumu dan taklukanlah
itu.” Apakah mengusahakan bumi/tanah dapat dianggap sebagai eksploitasi?
Dapat saja ditafsirkan seperti itu jika menuruti tafsiran yang dominan, tetapi
tidak mesti begitu. Salah satu prinsip penafsiran Alkitab yang elementer

176
adalah bahwa arti kata-kata tidak boleh semata-mata ditetapkan berdasarkan
etimologinya saja, melainkan juga berdasarkan caranya kata-kata itu dipakai
dalam konteksnya.

Jadi, kalau kita mau menjawab tuduhan White, di masa depan pemahaman
terhadap kata-kata rada dan kabasy haruslah melepaskan tekanan yang
berlebih- lebihan pada nada keras dan kuat yang eksploitatif. Kalau pada
mulanya kedua kata ini tidak eksploitatif, sebenarnya teks Kejadian 1:26-28
tidak dapat dijadikan bulan-bulanan sebagai penyebab kerusakan terhadap
alam. Kisah-kisah penciptaan Perjanjian Lama tidak memperlihatkan perhatian
teknologis dan metode-metodenya. Jika ada uraian mengenai hal itu, seperti
misalnya dalam kisah Kain dan Habel serta keturunan Kain, bagian itu
diinspirasikan oleh cerita- cerita kuno di luar Israel yang memang gemar
pada teknologi. Menurut Barr tradisi Yahudi-Kristen tidak langsung
berhubungan dengan teknologi, dan karena itu terlebih-lebih lagi tidak
bersangkut paut dengan kerusakan ekologi. Barr tidak mengungkapkan hal ini
untuk melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi sebagai bagian dari
tanggung jawab akademis untuk mengungkapkan kebenaran ilmiah. Kalau
begitu siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan ekologis? Menurut Barr,
eksploitasi habis-habisan terhadapalam dilakukan di dalam alam humanisme
liberal yang berpandangan manusia tidak lagi menganggap diri sebagai berada
di bawah naungan sang Pencipta. Pengaruh humanisme liberal inilah yang
dimasukkan ke dalam pemahaman mengenai Kejadian 1:26-28 dan
pada pandangan Perjanjian Lama terhadap alam. Kalau begitu, apa peran kisah
penciptaan bagi masa kini yang sedang mengalami krisis ekologis?

Sumber: http://smpksantostanislaus.wordpress.com/2013/06/05/dampak-rokok-pada-
peringatan-hari-lingkungan-hidup-sedunia-di-smpk-st-stanislaus/

177
Pertama kita menekankan bahwa ciptaan itu baik adanya. Kita
bertanggung jawab untuk mengontrol dan membatasi pelbagai usaha kita
untuk mengelola danmemanfaatkan alam ini, sehingga kebaikan alam
ciptaan tetap terjaga. Kedua, kisah penciptaan di dalam Kitab Kejadian
mengungkapkan dunia ini sebagai dunia yang teratur. Alam dibagi-bagi atas
fungsi dan jenis. Prinsip- prinsip IPTEK tidak berasal dari Kitab Kejadian,
tetapi apa yang kita lihat di dalam Kitab Kejadian mempunyai keparalelan
dengan apa yang kita lihat di bidang IPTEK. Ketiga, kerangka Kejadian 1
menunjukkan tempat manusia. Manusia adalah manusia apabila ia berada
pada tempatnya di dalam alam. Tempatnya adalah tempat yang utama, tetapi
sebagai pemelihara alam. Keempat, kita melihat bahwa Israel melakukan alih
teknologi dari luar Israel. Orang Israel tidak mengklaim teknologi sebagai
“anak” mereka. Mereka bisa hidup dengan “orang lain.” Bukankah ini contoh
yang baik bagi kita yang memiliki tradisi penciptaan Yahudi-Kristen untuk
hidup berdampingan dengan dunia IPTEK tanpa mengklaimnya sebagai
“anak?”

Bumi ini milik Allah sekaligus milik manusia. Bumi adalah milik Allah sebab Ia
yang menciptakannya, milik kita sebab Ia telah memberikannya kepada kita
(lih. Mzm. 115:16). Jelas Allah bukan memberikannya kepada kita
sedemikian tuntas sehingga Ia sama sekali tak punya hak dan tak punya
kontrol lagi atasnya, melainkan memberikannya kepada kita supaya kita
menguasainya atas nama Dia. Itulah sebabnya penguasaan kita atas bumi ini
adalah berdasarkan hak pakai, bukan berdasarkan hak milik. Kita hanya
penggarap saja, Allah sendiri tetap “Tuan tanahnya,” Tuan atas semua tanah.

Simaklah renungan berikut ini yang berjudul Bumi Hampir Punah? (Ismail
2009, 65-68).

Bumi Hampir Punah?


Apalagi kalau hujan, tidak ada hujan pun terjadi banjir. Kenapa? Karena muara
sungai meluap. Kenapa meluap? Karena air laut pasang kian tinggi tiap tahunnya.
Kenapa? Karena permukaan laut di seluruh dunia kian naik. Kenapa? Karena
bongkah-bongkah es di kutub yang membeku sejak ratusan ribu tahun lalu kini

178
mulai mencair secara mencolok. Kenapa? Karena suhu udara kian panas. Kenapa?
Karena kita menebang pohon, mencemari udara dengan knalpot kendaraan,
cerobong asap pabrik, pembakaran sampah, dan banyak pencemaran lain. Itu
gambaran sederhana tentang mata rantai kerusakan lingkungan hidup kita.
Emangnye gue pikirin? Tunggu dulu, sebab kita semua akan kena akibatnya. Lihat
gambaran sederhana berikut ini.
Mengapa penebangan pohon dan asap knalpot atau pabrik menyebabkan suhu
kian panas? Karena udara jadi tercemar, sehingga dalam lapisan udara yang
disebut lapisan ozon timbul semacam “tenda” yang menyelubungi bumi.
Akibatnya, segala macam asap beracun dan udara panas dari bumi terperangkap
oleh selubung itu. Ini disebut efek rumah kaca.
Apa itu rumah kaca? Para petani di negeri bermusim dingin bercocok tanam
dalam rumah yang berdinding dan beratap kaca agar udara pengap di situ
menimbulkan suhu hangat bagi tanaman sebab di luar turun salju. Inilah juga yang
sedang terjadi dengan lapisan udara bumi. Selubung di udara kita mengakibatkan
udara menjadi pengap dan panas. Lalu ini disebut efek rumah kaca atau
pemanasan global.
Knalpot kendaraan, cerobong asap, penebangan pohon dan berbagai gas racun
lainnya telah mencemarkan ozon sehingga mengacaukan keseimbangan
kadarnya. Asap berkabut menggantung di udara. Akibatnya ozon yang selama
berjuta-juta tahun telah melindungi dan menopang kehidupan di bumi kini malah
menjadi ancaman. Tanaman cepat menguning dan rusak. Hewan dan manusia
terkena cacat lahir, kanker, atau penyakit lainnya. Kehidupan alam, tanaman,
hewan, dan manusia terancam. Bumi bisa menjadi tandus.
Apa yang telah diciptakan oleh Allah selama berabad-abad kini rusak dengan
cepat akibat kecerobohan dan keserakahan kita. Dalam Guinness Book of World
Record Indonesia tercatat sebagai perusak hutan tercepat di dunia, yaitu lima
lapangan sepak bola per menit. Batubara yang digali dalam setahun adalah hasil
endapan alami selama 400.000 tahun. Tidak heran bahwa bumi sedang menjadi
tandus.
Ketika Nabi Yesaya menggambarkan kedahsyatan kuasa Allah atas hidup manusia,
ia menggambarkan bahwa bumi akan menjadi tandus jika manusia melanggar
ketetapan Tuhan. Dalam pasal 24-27, Yesaya menulis puisi bergaya bahasa
apokaliptik. Tulisnya, “TUHAN akan menanduskan bumi dan akan
menghancurkannya ... Bumi akan ditanduskan setandus- tandusnya ...” (Yes. 24:1,
3). Tentang lambang kehidupan, yaitu pohon anggur, ia menulis. ”..pohon anggur
merana” (ay. 7). Tulisnya, “Bumi cemar karena penduduknya, sebab mereka
melanggar undang-undang, mengubah ketetapan dan mengingkari perjanjian
abadi” (ay. 4). Tetapi sebagai penutup nubuat akhir zaman, Yesaya memberi
pengharapan jika manusia bertobat, yaitu: “kalau putri malu dan rumput ...
mencari damai dengan Aku, ya mencari damai dengan Aku! ... Yakub akan berakar,
Israel akan berkembang dan bertunas” (27:5-6).

179
Manusia ditempatkan di bumi untuk memelihara bumi. Tetapi jika manusia
merusak dan mencemarkan bumi, bumi akan menjadi tandus lalu manusia akan
terkena akibatnya. Kelangsungan hidup terancam punah.
Dalam buku Dunia di Ambang Kepunahan, Antony Milne menulis, “Sejarah
menunjukkan bahwa awal menurunnya peradaban adalah gangguan iklim.
Bangsa-bangsa seluruhnya terjepit oleh gerakan penekan udara dingin dari utara
dan perluasan gurun pasir ke selatan, atau jika mereka tinggal di pantai mereka
harus melarikan diri dari gelombang pasang yang terus bergerak cepat. Generasi
sekarang menghadapi ancaman yang sama.”
Apakah kita bisa mencegah kepunahan ini? Ya! Kita masing-masing bisa berbuat
sesuatu untuk menyelamatkan bumi.
Tanamlah pohon di halaman rumah, sekolah, mesjid, gereja, dan kantor kita.
Hijaukan lingkungan! Dalam hal kehijauan lingkungan, Indonesia tertinggal di
peringkat 102, kalah dari Malaysia (26) dan Sri Lanka (50).
Berhematlah dengan air meskipun itu air sumur yang gratis! Di muka bumi
memang ada banyak air, tetapi hanya 1% yang bisa diminum.
Jangan tinggalkan ruangan dengan lampu atau alat elektronik yang menyala.
Tenaga listrik dibuat dengan membakar banyak bahan energi.
Jika bisa berjalan kaki atau bersepeda, jangan gunakan kendaraan bermotor. BBM
yang kita gunakan dalam sejam adalah hasil dari proses alam selama ratusan ribu
tahun.
Jangan buang sampah sembarangan supaya sampah tidak jatuh ke got lalu masuk
ke sungai yang mengakibatkan sungai itu dangkal dan airnya berbau busuk serta
berwarna hitam pekat.
Berhematlah dengan plastik dan styrofoam karena sampahnya susah terurai. Jika
semua sampah plastik ditebar, seluruh daratan permukaan bumi akan tertutup
oleh plastik.
Sedapat mungkin pakailah penyemprot yang dipompa, bukan penyemprot
aerosol, sebab aerosol ikut merusak ozon.

Ada gereja yang berlitani, “Bapa surgawi, begitu nyaman kami berbakti di sini,
tetapi kami tidak peduli pada lingkungan hidup yang telah Engkau kerjakan
selama berabad-abad dan kini sedang kami rusakkan dalam sekejap.” Ada pula
gereja yang berlitani, “Sesamaku ciptaan Tuhan, yaitu gunung, hutan, laut,
hewan dan tanaman, ampunilah dosa kami terhadap bumi dan surga.” Setelah
menyimak renungan tersebut, menurutAnda, mengapa bumi hampir punah?
Apa akibatnya jika bumi punah? Apa yang akan Anda lakukan untuk
mencegah bumi tidak punah? Silakan Anda memberikan argumentasi Anda

180
yang menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang mempunyai
tempat bersama dengan makhluk-makhluk yang lain dalam ciptaan.

Kita perlu menyajikan satu batasan


istilah “alam” karena arti istilah
alam cenderung kabur yang
disebabkan faktor-faktor berikut.
Manusia adalah bagian dari “alam”
dalam arti kita ikut serta dalam
proses-proses biologis dan
fisiologis, sama seperti binatang
dan makhluk hidup lainnya.
Sebaliknya, manusia juga
“terpisah” dari alam karena kita
memiliki kesadaran dan sanggup
mengambil keputusan secara
sadar tentang cara mengubah
alam di sekitar kita. Oleh sebab itu,
istilah alam yang dimaksud dalam
Sumber:
http://hettyherawati2704.wordpress.com/auth bagian ini dibatasi pada ciptaan
or/hettyherawati2704/page/4/
bukan manusia.

Nilai alam bagi manusia tidak bisa disangkal. Makanan yang dimakan manusia,
minuman yang diminumnya, udara yang dihirupnya, serta bahan untuk
pakaiannya, perumahannya, alat-alatnya dan tenaga yang menjalankan
mesin- mesinnya semuanya disediakan dari alam.

Yang menjadi pertanyaan ialah apakah alam mempunyai nilai terlepas dari
gunanya bagi manusia. Jawaban pertama kepada pertanyaan ini ialah bahwa
nilai alam yang utama dalam rencana Allah ialah nilainya untuk manusia. Alam
bernilai tetapi nilai manusia jauh lebih tinggi daripada tumbuh-tumbuhan atau
binatang-binatang. Dalam Kejadian 2 semua makhluk diciptakan untuk
dinikmati dan digunakan oleh manusia.

Keistimewaan manusia itu perlu ditekankan karena banyak buku yang penuh
angan-angan tentang lingkungan menilai alam setinggi manusia atau lebih
tinggi dari manusia. Manusia dilihat sebagai benalu yang mengganggu karunia

181
alam, merampas kekayaan alam dan mengotorkan keindahan alam. Hutan
yang indah tidak dapat diganti dalam seribu tahun tetapi manusia dapat lekas
melahirkan anak-anak. Maka pohon mempunyai nilai yang tidak dipunyai
orang. Keindahan alam makin susah ditemui tetapi orang-orang sukar
dihindari karena mereka ada di mana-mana. Hak-hak alam sama pentingnya
dengan hak-hak manusia. Keindahan bukit atau lembah lebih penting daripada
perut yang kenyang.

Kepada pandangan semacam ini kita perlu menjawab bahwa orang lebih
berharga daripada pohon atau binatang. Walaupun keindaham alam itu
penting, kebutuhan manusia lebih penting. Setiap orang unik dan tidak dapat
diganti. Oleh sebab itu, tepatlah kalau ekologi menjadi manusia sentris.
Keselarasan alam perlu dijaga terutama demi kesejahteraan manusia.
Pencemaran udara dan air merugikan manusia. Penghanyutan tanah dan
penghabisan pohon-pohon di hutan menghambat usaha untuk menyediakan
makanan dan perumahan untuk manusia. Nilai alam yang utama ialah gunanya
untuk manusia.

Namun demikian, perlu ditambah bahwa alam juga bernilai terlepas dari
nilainya bagi manusia. Allah menganggap ciptaan-Nya baik sebelum manusia
dijadikan (Kej. 1:10, 12, 18, 21, 25). Salah satu alasan mengapa Allah
menciptakan manusia adalah untuk memelihara kebaikan alam. Sesudah air
bah Allah membuat perjanjian bukan saja dengan Nuh dan keturunannya tetapi
juga “dengan segala makhluk hidup” (Kej. 9:10). Walaupun perjanjian
dinyatakan kepada Nuh sebagai wakil makhluk-makhluk lain, tetapi Allah
mempunyai hubungan dengan semua makhluk. Bahkan Ia mempunyai
kewajiban kepada makhluk-makhluk itu berdasarkan perjanjian-Nya.

Walaupun alam dimaksudkan untuk digunakan manusia, alam tidak semata-


mata untuk maksud itu. Hutan lebih dari sekadar sumber kayu bagi manusia.
Binatang-binatang lebih dari sekadar sumber daging untuk dimakan. Setiap
unsur alam mempunyai nilai dalam dirinya sebagai ciptaan Tuhan. Dalam alam
semesta ada banyak bintang yang begitu jauh dari bumi sehingga tidak dapat
dilihat manusia. Astronom mengatakan bahwa mungkin sekali di planet yang
lain dalam alam semesta ada makhluk-makhluk hidup lainnya. Karena itu
menjadi nyata bahwa alam memiliki nilai terlepas dari gunanya bagi manusia.
Meskipun manusia mempunyai tempat yang terpenting dalam maksud

182
Allah bagi dunia, tidak bisa dikatakan bahwa alam semesta berada semata-
mata bagi manusia.

Kita perlu mengingat dasar nilai alam. Alam tidak bernilai karena keramat atau
karena mempunyai kepribadian seperti manusia, tetapi karena sifat-sifatnya
sebagai alam. Suatu pohon bernilai bukan karena penuh dengan zat ilahi atau
karena mempunyai perasaan atau kebajikan manusiawi tetapi karena
diciptakan oleh Tuhan dengan ciri khasnya sebagai pohon, dan sebagai pohon
ia mempunyai fungsi dalam maksud Tuhan.

Para ahli etika lingkungan menganggap alam memiliki tiga nilai (Drummond
2001, 78). Kalau kita memandang alam sebagai sumber untuk dikelola bagi
kepentingan manusia, alam mempunyai nilai instrumental (instrumental
value). Kalau kita yakin bahwa alam memiliki nilai di dalam dan dari dirinya
sendiri, alam mempunyai nilai bawaan (inherent value). Nilai bawaan ini sering
digunakan oleh para ahli etika sebagai acuan pada nilai sesuatu, dengan
asumsi bahwa ada nilai subjek. Misalnya, kayu mempunyai nilai bawaan bagi
pemiliknya selama ia ada. Sebaliknya, kalau kita yakin bahwa alam memiliki
nilai hakiki (intrinsic value), nilai itu ada terbebas dari manusia atau kehadiran
manusia sebagai subjek yang menilai.

Dalam Alkitab manusia adalah bagian dari alam. Ia terikat dalam kesatuan
dengan bagian-bagian alam yang lain. Manusia juga berbeda dengan makhluk-
makhluk yang lain. Ia mempunyai kedudukan khas di atas alam.

Pada satu segi manusia itu sebagian dari ciptaan Tuhan. Seperti unsur- unsur
ciptaan yang lain, ia tidak ilahi dan tidak mahakuasa. Seperti makhluk-
makhluk yang lain, manusia ialah makhluk biologis-alamiah. Ia harus takluk
kepada hukum-hukum alam. Ia harus makan, minum dan tidur. Ia memeroleh
keturunan melalui proses kehamilan dan kelahiran seperti binatang menyusui
yang lain. Akhirnya manusia seperti binatang-binatang yang lain akan mati.

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang


penciptaan. “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7)
seperti Ia juga “membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala
burung di udara” (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani kata untuk manusia,
yaitu adam, mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah yaitu
adamah. Manusia, adam, dibentuk dari tanah, adamah. Manusia

183
“mengusahakan tanah” (Kej. 3:23) dan hidup dari tanah, dan manusia kembali
menjadi tanah (Kej. 3:19).

Pandangan bahwa manusia ialah salah satu makhluk di antara makhluk-


makhluk yang lain paling jelas terlihat dalam Mazmur 104:20-24. Pemazmur
tersebut mencatat, “Apabila Engkau mendatangkan gelap, maka hari pun
malamlah; ketika itulah bergerak segala binatang segala binatang hutan.
Singa- singa muda mengaum-aum akan mangsa, dan menuntut makanannya
dari Allah. Apabila matahari terbit, berkumpullah semuanya dan berbaring di
tempat perteduhannya; manusia pun keluarlah ke pekerjaannya, dan ke
usahanya sampai petang. Betapa banyak perbuatan-Mu, ya TUHAN,
sekaliannya Kau jadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-
Mu.”

Dengan demikian Alkitab menggambarkan manusia sebagai makhluk yang


mempunyai tempat bersama dengan makhluk-makhluk yang lain dalam
ciptaan. Pandangan ini sesuai dengan pandangan ekologi. Manusia dan
makhluk- makhluk yang lain terikat bersama dalam hubungan timbal balik.
Kita hidup dalam suatu ekosistem yang terdiri dari semua faktor dalam
lingkungan kita. Dalam ekosistem ini binatang-binatang, tanam-tanaman,
air, udara, cuaca dsb. serta manusia dan kebudayaannya saling
memengaruhi. Kalau satu faktor diganggu, semua faktor ikut terganggu.
Karena itu manusia tidak bisa merusak alam tanpa merugikan dirinya sendiri.

Walaupun demikian manusia juga berbeda dengan unsur-unsur alam yang


lain. Ia mempunyai kuasa lebih besar daripada makhluk-makhluk yang lain.
Sama seperti Allah ialah Raja di sorga, manusia dinobatkan sebagai raja di
dunia. Ia dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat sehingga kedudukannya
hanya sedikit lebih rendah daripada penghuni-penghuni sorga (Mzm. 8:6).

Manusia diciptakan dalam gambar Allah (Kej. 1:26-27). Walaupun ia tidak ilahi,
ia mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan Allah sendiri. Ia menjadi wakil Allah
di antara makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia ini sebagai duta dari
Allah. Sebagai duta dari Allah itu ia diberi tugas untuk mengatur dunia sesuai
dengan kehendak Allah.

Apakah ciri khas manusia yang membedakannya dari semua makhluk yang
lain? Secara jasmani ia mempunyai otak yang lebih besar, dan ia mampu

184
berjalan lebih tegak daripada binatang-binatang yang lain. Tetapi ciri-ciri
jasmani ini bukan hal yang menentukan statusnya. Banyak orang merasa
bahwa keunggulan manusia terletak dalam kemampuannya untuk berpikir
secara rasional dan membentuk konsep-konsep yang abstrak. Orang-orang
lain menekankan kemampuan manusia untuk berbahasa, membuat dan
menggunakan alat-alat dan membentuk kebudayaan sehingga ia tidak hanya
hidup dalam lingkungan alam tetapi juga menciptakan lingkungannya sendiri
dan bisa belajar dari manusia yang lain. Ada juga orang-orang yang
menganggap bahwa ciri khas manusia terletak dalam keinsafan dirinya yaitu
kemampuannya untuk menyadari proses pemikirannya dan menujukan proses
itu sesuai dengan kehendak-Nya.

Secara teologis perlu dikatakan bahwa manusia hanya sungguh-sungguh


menjadi manusia jikalau iamenyadarihubungannya dengan Tuhan dan dapat
berdoa. Menurut cerita penciptaan, walaupun manusia seperti binatang-
binatang yang lain diciptakan dari debu dan tanah, tetapi hanya manusia
mempunyai nafas hidup yang dihembuskan ke dalam hidungnya langsung
dari Allah sendiri (Kej. 2:7). Seperti makhluk-makhluk yang lain, kehidupan
biologis manusia bergantung kepada tanah dan Allah. Berbeda dengan
makhluk-makhluk yang lain manusia mempunyai kehidupan khusus yang
datang langsung dari Allah. Manusia memerlukan roti dan nasi, tetapi
makanan itu tidak cukup. Ia juga hidup dari firman Allah (Mat. 4:4). Hanya
manusia bisa berdoa dan beribadah kepada Allah. Hanya manusia bisa
mentaati atau tidak mentaati Allah. Hanya manusia bisa berbicara dengan
Allah dan mengerti kehendak Allah.

Singkatnya manusia mempunyai dua segi. Sebagai ciptaan Allah ia bersatu


dengan makhluk-makhluk yang lain. Ia juga dapat bersatu dengan Allah. Ia
terlibat dalam alam tetapi ia berwibawa atas alam. Sebagai gambar Allah ia
mewakili Allah dalam ciptaan. Sebagai makhluk termulia ia mewakili ciptaan di
depan Allah. Walaupun Allah berhubungan langsung dengan seluruh ciptaan-
Nya, salah satu cara hubungan yang pokok ialah melalui manusia. Oleh sebab
itu, manusia perlu mengembangkan kemampuannya untuk mengasihi Allah
tanpa melupakan kekerabatannya dengan makhluk-makhluk yang lain.

185
Sumber:http://1.bp.blogspot.com/-
OoyHZx4zg1w/TyJIk8Lsw7I/AAAAAAAAARg/18CiSg8SV1w/s1600/care_eart h.png

Simaklah tulisan berikut ini yang termuat di Kompas pada hari Rabu, 12
Maret 2014. Tulisan tersebut berjudul Rakyat Menuntut Keadilan Ekologis.
Isi tulisannya adalah sebagai berikut.

Rakyat Menuntut Keadilan Ekologis

Rakyat menuntut keadilan lingkungan dari penyelenggara pemerintah.


Kehancuran hutan dan punahnya kekayaan alam, serta pangan lokal akibat
aktivitas tambang, perkebunan sawit, dan pencemaran laut merupakan potret
wajah Indonesia dari wilayah barat hingga timur, dan kini mengancam Papua.
Sekitar 2.000 orang, Selasa (11/3), mengikuti Rapat Akbar Wahana Lingkungan
Hidup (Walhi) di Gedung Tenis Indoor, Senayan, Jakarta. Mereka aktivis
lingkungan, buruh, petani, nelayan, dan masyarakat sipil lain. Mereka
membawa pesan bagi para pemilih: “tolak perusak lingkungan.” Direktur Eksekutif
Nasional Wahli Abetnego Tarigan membacakan Platform Politik Gerakan
Lingkungan Hidup Indonesia, ditandai pemukulan kentongan bersama. Platform
yang dicanangkan, menurut Abetnego, merupakan hasil advokasi dan proses
gerakan perjuangan bersama masyarakat adat, korban kekerasan, nelayan, petani,
mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil lain. Terdapat lima agenda perubahan
pada platform itu, yaitu pengembalian mandat negara di mana pemimpin memiliki
agenda eksplisit dan bersih dari jejak kekerasan, penataan ulang relasi negara –
modal – rakyat, penyelesaian secara adil konflik sumber daya alam, pemulihan

186
keseimbangan alam, dan penyelesaian utang luar negeri untuk menciptakan
kemandirian rakyat. Menurut Abetnego, krisis ekologi terjadi karena pemerintah,
pemodal, dan ilmu pengetahuan membuat sumber daya alam menjadi komoditas
untuk memeroleh keuntungan ekonomi. Semua berujung krisis multidimensi:
ekonomi, sosial budaya, politik, dan ekologi yang kian sulit dipulihkan. Itu
ditandai absennya keadilan sosial ekologis dan keadilan antargenerasi.

Setelah menyimak tulisan tersebut, menurut Anda, mengapa rakyat menuntut


keadilan ekologis dari penyelenggara pemerintah? Bagaimana cara
penyelenggara pemerintah menciptakan keadilan ekologis? Apa yang perlu
dilakukan oleh Anda agar terjadi keadilan ekologis? Silakan Anda
mengomunikasikan sikap Anda terhadap alam kepada rekan-rekan di kelas.

Karena alam bernilai, manusia perlu menghargai alam. Ia patut menggemari


keindahan alam. Ia mengiakan penilaian Allah waktu Dia memandang
ciptaan-Nya dan “melihat bahwa semuanya itu baik.” Ia patut memeroleh
pembaruan semangat dan beriang hati karena keelokan alam.

Penghargaan ini disertai dengan rasa kagum terhadap alam. Manusia perlu
mengindahkan keajaiban alam. Rasa kagum sangat penting dalam zaman
teknologi dan ilmu pengetahuan ini. Pengertian kita tentang alam tidak usah
menghilangkan kesadaran kita tentang keajaiban alam. Malahan pengertian
kita dapat menjadikan kita lebih sadar akan sifat-sifat alam yang dahsyat dan
megah.

Menghargai alam tidak sama dengan menyembah alam. Pemazmur menulis:


“Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung, dari manakah akan datang
pertolonganku?” Pertolongannya datang bukan dari gunung-gunung tetapi
“dari Tuhan yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm. 121:1-2). Karena
alam tidak ilahi, alam tidak layak disembah. Penghargaan kita kepada alam
disertai dengan rasa syukur kepada Penciptanya.

Kalau kita memperlakukan alam seolah-olah alam itu tidak bernilai, kita
mengurangi nilai diri kita sendiri. Kalau kita mengabaikan arti yang ada dalam
alam, kehidupan kita kehilangan sebagian artinya. Kalau kita memperlakukan
alam seperti mesin, kehidupan kita menjadi lebih seperti mesin. Kalau kita
hanya melihat alam sebagai sumber keuntungan bagi kita sendiri, kehidupan
kita menjadi lebih egois dan kering.

187
Penghargaan kepada alam tidak berarti bahwa kita tidak boleh
menggunakan alam, tetapi penggunaan kita jangan merosot sehingga menjadi
perkosaan. Kita boleh saja menebang pohon untuk membangun rumah, tetapi
kita jangan menebang pohon-pohon dengan sembarangan atau tanpa
memikirkan bagaimana hutan dapat dipelihara. Kita boleh saja membunuh
binatang untuk makanan, tetapi kita jangan membunuh binatang-binatang
dengan membabi buta. Kita juga perlu berusaha supaya kita tidak
menyebabkan penderitaan binatang (Ul. 22:6-7). Kita boleh saja memakai
hewan untuk membajak tanah tetapi kita wajib memerhatikan kebutuhan-
kebutuhan hewan itu (Ul. 25:4; Ams. 12:10).

Manusia juga perlu bersahabat dengan alam. Ia mencintai alam. Kesan


yang diberikan oleh Kejadian 2:18-20 ialah bahwa Allah memberi binatang-
binatang dan burung-burung untuk manusia supaya manusia dapat hidup
dalam persekutuan dengan binatang-binatang dan burung-burung itu. Tentu
persekutuan itu kurang memenuhi kebutuhan manusia untuk persahabatan
dan persekutuan, karena di antara binatang-binatang dan burung-burung
tidak ada “penolong yang sepadan dengan” manusia (Kej. 2:20). Persekutuan
manusia yang lengkap hanya mungkin dengan Allah dan manusia yang lain.
Namun demikian, persahabatan manusia dengan alam juga penting.

Istilah “sesama makhluk” patut dipakai dalam membicarakan hubungan


kita dengan makhluk-makhluk yang lain. Sesama makhluk berbeda dengan
sesama manusia. Ada orang-orang yang ingin menambah hukum ketiga
kepada kesimpulan hukum Taurat dalam Matius 22:37-39. Menurut mereka
kita harus mengasihi Allah, sesama manusia dan alam. Saran mereka kurang
memerhatikan perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk yang lain.
Saran itu juga mengurangi makna kasih. Dalam Perjanjian Baru kasih
mengandung kesanggupan untuk berkorban bagi orang yang dikasihi. “Tidak
ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan
nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 17:13). Kasih semacam ini hanya
patut kepada manusia atau Allah. Walaupun demikian, perlu dikatakan bahwa
kita harus menyayangi sesama makhluk kita. Kita perlu merasakan kesatuan
antara kita dan makhluk-makhluk lain berdasarkan penciptaan kita oleh Allah.

Umumnya ada tiga sikap manusia terhadap alam (Brownlee 1993, 152-
157). Pertama, orang dapat memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa

201
yang menakutkan sehingga manusia perlu tunduk kepada alam dan
menyenangkan kuasa-kuasa alam dengan sesajen, kenduri atau upacara-
upacara. Kedua, sebaliknya dari yang pertama, alam dipandang bukan
sebagai subjek (dan manusia sebagai objek) yang menentukan nasib
manusia, alam dipandang sebagai objek (dan manusia sebagai subjek) yang
dapat diselidiki dan dipergunakan oleh manusia. Alam berada untuk kita,
bukan kita untuk alam. Ketiga, baik alam maupun manusia dilihat sebagai dua
subjek yang saling memengaruhi. Manusia dan alam perlu berjalan bersama
dalam hubungan yang selaras karena manusia adalah satu dengan alam.

Sikap ketiga lebih lazim di Indonesia, terutama di Jawa. Dalam


kebudayaan Jawa, alam merupakan suatu keseluruhan yang sakral. Tentu
tidak semua bagian dari alam sama kesuciannya. Ada bagian-bagian alam
misalnya puncak bukit tinggi, jurang yang curam, kuburan dan pohon-pohon
(beringin, bunga gading, pohon aren) yang lebih indah daripada bagian-bagian
yang lain. Seluruh alam bersifat sakral tetapi sifat itu terserak, bukan
homogen, tetapi heterogen. Dalam pandangan ini manusia bersatu dengan
alam. Ia tidak berdiri berhadapan dengan kosmos, melainkan ia sebagian
daripadanya.

Karena alam bersifat keramat, manusia ingin mencari keselarasan dengan


alam. Ia cenderung lebih menyesuaikan diri dengan alam daripada menguasai
dan menggarap alam. Tentu kecenderungan ini tidak mutlak karena setiap
bangsa harus menggunakan alam. Namun dalam kebudayaan-kebudayaan
Indonesia, terutama kebudayaan Jawa, ada kecenderungan yang kuat untuk
lebih mencari keselarasan dengan alam daripada menaklukkan alam.

Dalam pandangan modern manusia berusaha menguasai dan


mempergunakan alam sama dengan sikap kedua di atas. Bagi
pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, alam perlu dilihat bukan
sebagai kosmos yang sakral tetapi sebagai bidang untuk diselidiki dan digarap
oleh manusia. Manusia tidak menyesuaikan diri dengan alam yang keramat
tetapi berhasrat mengerti hukum-hukum alam dan menaklukkan alam. Dalam
pandangan Barat umumnya manusia berdiri di luar alam sebagai subjek yang
dapat mengatur dan menguasai alam. Manusia bukan sebagian dari alam
tetapi pengolah dan penguasa alam.

202
Manusia membentuk peradaban, yaitu suatu lingkungan yang tidak alamiah
untuk mempertahankan manusia melawan kekerasan alam.

Sumber: http://trianawuri.blogspot.com/2011_04_01_archive.html

Pandangan tradisional itu menekankan keselarasan manusia dengan alam


tetapi kurang mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya sendiri
serta kebudayaannya dan masyarakatnya. Pandangan itu kurang menolong
manusia mengatasi kesulitan-kesulitan dan halangan-halangan yang
disebabkan oleh alam. Pada pihak lain pandangan modern mendorong
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan sehingga manusia dapat mengatur
alam dan menggunakan sumber-sumber alam untuk membangun
masyarakat yang lebih sejahtera.

Namun dengan mengabaikan kesatuan manusia dengan alam, pandangan


modern membuka pintu bagi perusakan alam oleh manusia. Manusia yang
menganggap dirinya sebagai penakluk alam merasa bebas untuk
memperlakukan alam dengan sewenang-wenang demi keuntungan manusia
itu. Karena ia tidak lagi menghormati alam sebagai lingkungan keramat, maka
ia merasa bebas untuk memperkosa alam. Karena ia dibebaskan dari
keharusan untuk menyesuaikan diri dengan alam, ia menghancurkan dan
memeras alam. Ia hanya melihat alam sebagai sumber keuntungan. Masalah-
masalah ekologi masa kini, seperti misalnya pencemaran air dan udara serta
pengurasan sumber-sumber alam, menunjukkan bahwa pandangan modern
tentang lingkungan alam, walaupun penting bagi pengembangan teknologi

203
dan ilmu pengetahuan, disertai dengan kelemahan- kelemahan yang perlu
diperbaiki.

Sikap terhadap alam yang seharusnya dipunyai manusia disimpulkan dalam


Kejadian 2:15: “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya
dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Manusia
harus mengusahakan alam tetapi ia juga harus memeliharanya. Walaupun
alam bukan Allah, alam menunjukkan Allah. Walaupun alam tidak mempunyai
kuasa keramat, alam bernilai. Walaupun manusia harus menaklukkan alam,
manusia harus menghargai alam.

Hubungan antara ekonomi dan ekologi bisa dijabarkan dari pengertian


etimologis yang justru bisa saling membantu dan membina. Ekonomi berasal
dari kata oikos dan nomos. Oikos berarti ’rumah tangga‘ dan nomos berarti
’aturan, hukum.’ Ekonomi bisa diartikan sebagai upaya untuk
mengatur atau penatalayanan rumah tangga (housekeeping). Sedang
ekologi gabungan dari kata oikos dan logos. Logos berarti perkataan,
pemahaman dan pengertian. Sehingga hubungan antara ekonomi dan
ekologi tergabung dalam pemahaman bahwa kita tidak bisa menata
masyarakat dan alam ini tanpa mengertinya dan memeliharanya. Dengan
kata lain, usaha untuk melakukan housekeeping harus dibarengi
naturekeeping.

Ada dua tugas manusia dalam alam. Pertama manusia diberi tugas untuk
menggunakan alam dan berkuasa atas alam. Tugas kedua ialah memelihara
alam. Tugas manusia dalam dunia diberikan kepadanya oleh Allah, dan ia
bertanggung jawab kepada Allah atas pelaksanaan tugas itu. Prinsip utama
yang mendasari pandangan orang Kristen tentang lingkungan ialah bahwa
dunia adalah milik Tuhan. Ia yang menciptakan dan memelihara dunia juga
memiliki alam dan mempunyai kewibawaan tertinggi atasnya. “Tuhanlah yang
empunya bumi serta segala isinya dan dunia serta yang diam di dalamnya.
Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di
atas sungai-sungai” (Mzm. 24:1-2). Manusia tidak mempunyai hak milik yang
mutlak atas bumi. Ia hanya menjadi pengurus atau manajer. Bumi
dipercayakan kepada manusia untuk mengolah dan mengurusnya.

204
John Macquarrie dan James Barr berusaha membuktikan bahwa tuduhan
mengenai Alkitab sebagai pokok gara-gara yang menyebabkan kerusakan
alam bukan merupakan tuduhan yang kuat. Tetapi sekaligus kedua orang ini
bersedia mengakui bahwa dalam perkembangan sejarah ada penafsiran
tertentu terhadap manusia sebagai penguasa yang eksploitatif, dan bahwa
gambaran ini tidak cocok dengan apa yang terdapat dalam teks Alkitab itu
sendiri. Penafsiran ini bukannya sama sekali tidak kena dengan teks Alkitab.
Sebab dalam teks, manusia diakui sebagai yang utama, sebagai penguasa.
Pengakuan ini oleh penafsir tertentu di kemudian hari diberi penekanan
berlebih-lebihan, sehingga akhirnya “menguasai” berarti “mengeksploitasi”
dan mereka melupakan fungsi memeliharanya.

Dalam Alkitab manusia adalah bagian dari alam. Ia terikat dalam kesatuan
dengan bagian-bagian alam yang lain. Manusia berbeda dengan makhluk-
makhluk yang lain. Ia mempunyai kedudukan khas di atas alam.

Umumnya ada tiga sikap manusia terhadap alam. Pertama, orang dapat
memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang menakutkan sehingga
manusia perlu tunduk kepada alam dan menyenangkan kuasa-kuasa alam
dengan sesajen, kenduri atau upacara-upacara. Kedua, sebaliknya dari yang
pertama. Alam dipandang bukan sebagai subjek (dan manusia sebagai objek)
yang menentukan nasib manusia. Alam dipandang sebagai objek (dan manusia
sebagai subjek) yang dapat diselidiki dan dipergunakan oleh manusia. Alam
berada untuk kita, bukan kita untuk alam. Ketiga, baik alam maupun manusia
dilihat sebagai dua subjek yang saling memengaruhi. Manusia dan alam perlu
berjalan bersama dalam hubungan yang selaras karena manusia adalah satu
dengan alam.

Buatlah daftar jenis perubahan gaya hidup yang Anda bersedia lakukan dalam
rangka hidup dengan cara yang lebih harmonis dengan lingkungan dan
presentasikan di depan kelas!

205
BAB VIII
CARA BERGAUL YANG BAIK

Setiap orang ingin dikasihi dan diterima oleh orang-orang lain. Seseorang
senang bilaia mempunyai teman-teman yang dapat bergaul dengannya. Ia
senang bila terikat pada orang lain dalam hubungan tolong-menolong.
Manusia diciptakan sebagai hewan sosial atau social animal. Artinya, kita
diciptakan sebagai makhluk yang paling bergaul. Kita ingin berhubungan dan
berteman. Kita diciptakan untuk mengasihi orang lain seperti Tuhan mengasihi
kita. Kita bisa bersyukur atas hubungan-hubungan sosial kita. Kita bisa
bersyukur atas sahabat-sahabat kita yang memperkaya kehidupan kita
dengan perkataan-perkataan mereka, permainan mereka, keseriusan mereka
dan pertolongan mereka. Kehidupan kita sungguh lebih kering bila kita tidak
ikut serta dalam suka dan duka teman-teman kita dan bekerja sama dengan
orang lain untuk mencapai suatu tujuan yang mulia.
Melalui bab ini, Anda diharapkan mencapai beberapa tujuan pembelajaran.
Adapun tujuan pembelajaran yang hendak dicapai adalah:(i) memuliakan
Allah dalam pergaulan muda-
mudi; (ii) menunjukkan sikap
hormat terhadap orang lain
dalam kepelbagaian
agama,suku,dan budaya; (iii)
bersikap peduli terhadap sesama
manusia; (iv) bersikap terbuka
untuk bekerja sama dengan
semua pihak dalam rangka
mendatangkan kebaikan
bersama; (v) menerapkan
tanggung jawab etis kristiani Sumber:http://nadhasocial.blogspot.com/2010/09
/kehidupan-sosial-manusia.html
dalam pergaulan muda-mudi;
dan (vi) menggunakan prinsip-
prinsip etis kristiani dalam pergaulan muda-mudi.

206
Ada orang yang disukai atau tidak disukai dalam pergaulan. Menurut Anda,
apa yang menyebabkan orang tersebut disukai atau tidak disukai dalam
pergaulan? Apa yang perlu dilakukan agar Anda disukai dalam pergaulan?
Apa akibatnya jika Anda tidak disukai dalam pergaulan? Silakan Anda
mengamati dan menilai pergaulan muda-mudi di gereja Anda sendiri!

Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa hubungan dengan orang lain. Oleh
sebab itu, adanya individu-individu lain merupakan suatu keharusan. Manusia
diciptakan sebagai makhluk sosial yang selalu akan hidup dalam suatu
hubungan keterikatan dengan individu lainnya. Seorang manusia selalu
membutuhkan pergaulan dengan manusia lainnya agar dapat mencapai taraf
tingkah laku manusia.
Dalam perkembangan usia, pola hubungan seseorang juga berkembang. Pola
itu jelas pada usia remaja dan terus bertahan sampai usia lanjut. Pola itu
terdiri atas lima dimensi (Ismail 2007, 109). Pertama, dimensi persamaan. Kita
memilih teman yang mempunyai persamaan dalam kepribadian, nilai-nilai
hidup, perilaku, minat dan latar belakang. Kedua, dimensi timbal balik. Kita
mencari teman yang bisa saling mengerti, saling percaya, saling tolong, saling
mengakui keunggulan dan saling memaklumi kelemahan masing-masing.
Ketiga, dimensi kecocokan. Kita berteman karena merasa cocok dan senang
berada bersama dia. Keempat, dimensi struktur. Kita mencari teman yang
berjarak dekat, mudah dihubungi dan bisa langgeng. Kelima, dimensi model.
Kita berteman karena kita respek dan mengagumi kualitas kepribadiannya.
Sejalan dengan berkembangnya kemampuan, kematangan dan kebutuhan,
pola hubungan antarorang berkembang dalam tujuh tahap. Adapun ketujuh
tahap tersebut adalah: tahap bayi, tahap anak kecil (3-6 tahun), tahap anak
besar (6-12 tahun), tahap remaja dan pemuda (12-25 tahun), tahap dewasa
muda (25-40 tahun), tahap dewasa (40-65) dan tahap usia lanjut.

Tahap bayi. Bayi berusia setahun terheran-heran melihat bayi lain. Biasanya ia
melihat orang dewasa, tiba-tiba ia melihat makhluk kecil. Ia tertarik pada
temannya dengan cara meraba, menyentuh atau memukul. Ia ikut menangis
ketika temannya menangis. Menjelang usia dua tahun ia bisa menghibur
temannya dengan cara membelai atau memberikan mainan. Bayi yang sekali-
kali didekatkan pada bayi lain belajar berteman.

207
Sumber:http://biokuasyik.blogspot.com/2012/03/pertumbuhan-dan-perkembangan-
manusia.html

Tahap anak kecil (3-6 tahun). Pada tahap ini anak hanya melihat dari sudut
pandang dan kepentingannya sendiri. Ia mengukur teman dari faktor
kebendaan. Katanya, “Si Daniel temanku, ia punya sepeda merah.” Pada usia
ini perangai mulai tampak. Anak yang menerima cukup kehangatan, pujian,
dan perlakuan baik dari orang tuanya akan lebih terbuka dan berprakarsa
mendekati teman. Sebaliknya, ada anak yang malu dan ragu-ragu, bahkan
bermasalah, misalnya merasa terancam, curiga, iri, merampas, menjerit,
mengejek atau membentak.
Tahap anak besar (6-12 tahun). Keberhasilan atau kegagalan berteman
pada tahap ini akan mewarnai hidup kita seterusnya. Pergaulan dengan
teman pada tahap ini membentuk kepribadian kita. Ketika ada teman yang
lebih pandai, apakah kita ikut bangga ataukah mendengki? Di sinilah letak
faedah utama bersekolah. Anak yang mendapat ilmu secara pribadi di rumah,
mungkin akan menjadi orang dewasa yang hipersensitif terhadap ejekan,
perlakuan iseng dan persaingan, atau menjadi orang dewasa yang cuma mau
menang sendiri, sulit bergaul dan sulit bekerja sama.
Tahap remaja dan pemuda (12-25 tahun). Pada tahap ini kita membentuk jati
diri sambil menjauhkan diri dari pengaruh orang tua, sehingga pengaruh teman
menjadi dominan. Tanpa teman kita merasa kurang percaya diri. Demi
memelihara persahabatan, kita meniru perbuatan teman dan menaati seluruh
suruhannya. Akibatnya kita kurang kritis dalam memilih teman. Kita
mengalami sejumlah ambivalensi. Di satu pihak kita merasa mandiri, di lain
pihak kita merasa bergantung, terutama pada teman. Di satu pihak, kita

208
tidak mau diatur oleh orang tua, tetapi pada kenyataannya kita justru diatur
oleh teman.
Tahap dewasa muda (25-40 tahun). Jumlah kawan kita memuncak pada
usia ini karena teman di lingkungan perumahan, kantor, gereja dan sesama
orang tua anak di sekolah. Biasanya pada usia ini kita sulit mempunyai intimasi
karena tidak mau mencampuri urusan pribadi teman. Pergaulan yang sehat
ditandai oleh teratasinya kesulitan itu, sehingga kita bisa intim dengan kawan,
namun tidak mencampuri urusan pribadinya. Mereka yang sudah menikah
juga akan menikmati “persahabatan ganda,” yaitu dua pasang suami-istri
yang cocok satu sama lain.
Tahap dewasa (40-65 tahun). Pada tahap ini kita cenderung sibuk dengan
kepentingan sendiri, karena kita berada pada puncak karier. Kita tidak
mendapat banyak teman baru, kecuali tetangga atau teman organisasi.
Tahap usia lanjut. Pada usia ini biasanya jumlah teman berkurang namun mutu
persahabatan menjadi lebih matang dan murni. Dengan teman segolongan
usia, kita bisa saling ikut merasakan dan saling menopang dalam suka maupun
duka. Sedangkan dengan teman yang lebih muda kita bisa menjadi sumber
hikmat dan bijak dalam menghadapi persoalan sehari-hari, karena kita telah
mengalami semua itu.
Manusia selalu akan terlibat dalam pergaulan. Pergaulan bila disorot secara
khusus akan memberikan gambaran yang berbeda-beda dari segi kualitas
waktu, misalnya, pergaulan yang hanya bersifat sementara, meliputi jangka
waktu yang pendek dan yang meliputi jangka panjang. Demikian pula, sifat
pergaulan tidak selalu sama. Ada pergaulan yang menggambarkan hubungan
reaktif saja, seolah-olah antara dua individu atau lebih hanya terjalin hubungan
bagaikan tanya jawab saja. Ada pula pergaulan yang individu-individunya aktif
dan kreatif menciptakan hubungan, masing-masing individu saling memajukan
taraf kehidupannya, dan saling menyempurnakan martabatnya.
Pergaulan merupakan suatu hubungan yang meliputi tingkah lebih dari
seorang individu (Gunarsa dan Gunarsa 1997, 36). Pergaulan merupakan suatu
hubungan antarmanusia yang tidak dapat dihindarkan. Pergaulan ini acap kali
menimbulkan persoalan sehingga justru menimbulkan kesulitan bagi orang
yang bersangkutan. Pergaulan yang mengakibatkan timbulnya kesulitan,
kurang membantu kelancaran hidup bahkan menimbulkan keguncangan jiwa
yang menghambat dan merugikan perkembangan individu yang
bersangkutan.

209
Pergaulan yang sebenarnya diperlukan demi penyempurnaan martabat
manusia, tidak selalu mengarah ke kehidupan yang positif dalam rangka
pembangunan mental, akan tetapi sebaliknya sering berakibat negatif dan
menghambat kelancaran hidup sosial. Pergaulan yang matang, dewasa dan
positif membantu kelancaran kehidupan sosial tidak mudah dicapai.
Seni bergaul adalah cara bagaimana membuat diri kita disukai oleh sesama
(Selan 1991, 103). Keinginan untuk disukai merupakan kodrat manusia.
Oleh sebab itu, manusia mencurahkan segenap akal budinya untuk
menemukan cara- cara yang jitu agar dirinya disukai oleh banyak orang.
Faktor utama dalam memupuk seni bergaul adalah pengertian dari kita sendiri
tentang pribadi orang lain. Sering terjadi kita tidak menyenangi seseorang,
karena kita salah mengerti motif, kemampuan, sikap dan kepribadian orang
tersebut.
Hubungan antarpribadi yang baik akan meningkatkan nilai dan arti dari
seseorang. Hubungan tersebut akan menghasilkan kepuasan bagi mereka
yang tahu seni bergaul. Untuk meningkatkan seni bergaul, Anda perlu
memerhatikan empat belas pedoman berikut ini (Selan 1991, 104-105).
Pertama, dalam pergaulan pada setiap individu perlu adanya keterbukaan diri:
melalui pertimbangan menerima apa yang diberikan oleh orang lain dalam
bentuk pendapat dan pandangan. Keterbukaan mengharuskan kita
berhubungan dengan orang lain tanpa bersembunyi di balik topeng.
Keterbukaan merupakan kunci menuju persahabatan (Kesler 1994, 975).
Kedua, melihat seseorang sebagaimana Tuhan memandangnya. Ketiga,
mengenal individu lain sebagai seorang individu yang lain yang tidak sama
dengan diri kita sendiri. Mengenal individu lain berarti berusaha mengetahui
sifat-sifat, sikap, pandangan dan latar belakangnya yang telah membentuk
individu lain itu dan yang mendasari kepribadiannya maupun tingkah lakunya.
Sering kali usaha mencari latar belakang sebab-sebab yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan tidak tercapai. Usaha
membuka tabir rahasia yang menyelubungi seseorang tidak selalu dan tidak
sepenuhnya berhasil. Keempat, mengerti bahwa individu lain memiliki ciri khas,
sifat khusus dan latar belakang masing-masing. Adanya perbedaan ini tidak
berarti bahwa perbedaan tersebut perlu diubah dengan maksud agar orang
lain dipaksa menyamakan dirinya dengan diri kita. Kita perlu menerima individu
lain dengan kekhususannya, dalam arti masih dalam batas-batas wajar dan
dapat diterima oleh umum. Kelima, memerhatikan orang lain dalam berbagai
keadaan. Keenam, ambillah waktu untuk bersahabat dengan dia dan

210
membiarkan dia berbicara tentang hobinya serta problemnya, teman-
temannya dan pokok-pokok yang menarik baginya. Ketujuh, memahami
faktor psikologis yang mendorong kelakuannya. Mengapa seseorang
bertindak demikian? Dengan mengerti keadaan psikologisnya, kita lebih dapat
menerima orang lain sebagaimana adanya. Kedelapan, berusaha untuk
menghindari sifat atau sikap yang kurang menyenangkan seseorang.
Kesembilan, perbuatlah apa yang menurut pendapat Anda harus diperbuat
orang lain kepada Anda. Kesepuluh, setiap orang mendambakan pujian. Usaha
manusia yang terbesar adalah untuk mendapatkan pujian. Alasannya, tentu
saja, adalah bahwa pujian yang tulus membuat kita merasa diterima,
menambah keyakinan diri kita dan membantu menghilangkan keragu-raguan
kita. Pujian adalah ungkapan penghargaan yang diberikan secara tulus, tanpa
pamrih untuk kepentingan pribadi. Memberikan pujian selalu lebih efektif
daripada kritik. Pujian menghasilkan banyak perbuatan baik daripada keluhan.
Manusia bertindak lebih baik sebagai reaksi terhadap pujian yang positif
daripada terhadap ucapan yang negatif. Pujian sebaiknya jangan dimentahkan
dengan kata tetapi, “Pekerjaan Anda bagus sekali, dan saya sangat
menghargainya, tetapi ada satu hal yang tidak Anda lakukan secara benar.”
Kata “tetapi” ini menghilangkan semua kegembiraan dan menghilangkan
efektivitas pujian. Orang yang tidak menerima diri sendiri, atau yang
sebenarnya tidak menyukai diri sendiri, sulit untuk memberikan pujian
(Osborne 1996,13). Kesebelas, hindarilah perbantahan. Ini bukan berarti
menjadi, yes-man, melainkan bahwa Anda terlalu bijaksana untuk terseret
dalam perbantahan yang sia-sia, yang tidak seorang pun akan menang.
Keduabelas, jangan merusak kesenangan orang lain. Salam yang hangat,
pujian atau penghargaan dapat memberikan kesenangan dan membuat
seseorang merasa enak sepanjang hari. Ketigabelas, bersahabatlah dengan
pemuda atau pemudi yang akan membawa Anda ke hidup yang baik, jangan
yang jahat. Keempatbelas, pupuklah rasa humor. Rasa humor dapat
membuat suasana gembira dan santai. Banyak konflik dan ketegangan dalam
pergaulan dapat diatasi dengan sikap yang suka humor. Humor haruslah yang
sopan, dan tidak berkesan menghina, menyindir, atau mengejek orang lain.
Humor yang sehat dapat mempererat persahabatan, tetapi humor yang kasar
dapat merusak pergaulan yang baik (Fances 1993, 84). Hati-hatilah!

211
Sumber: http://inspirably.com/quotes/by-siti-marnina/sahabat sejati- adalah-tertawa-bersama-
dalam-kegembiraan-dan

Seorang sahabat adalah dia yang menerima kita sebagaimana adanya. Ia


menyelami kelemahan kita dan rela menolong kelemahan itu. Sekaligus ia
mengagumi keunggulan kita dan mau memetik pelajaran dari keunggulan itu.
Hanya orang yang berjiwa besar bisa bersikap bersahabat. Ia bersih dari iri dan
dengki. Ia sama sekali tidak punya pikiran untuk menjegal dan menjatuhkan
kita. Ia beriktikad baik. Yang diinginkannya terjadi pada kita adalah hal yang
terbaik untuk kepentingan kita.

Mendapatkan sahabat bukanlah perkara yang mudah. Oleh sebab itu, kita
perlu mengetahui cara mendapatkan sahabat dengan mudah. Bagaimanakah
Anda mendapatkan sahabat dengan mudah? Berikut ini ada beberapa hal
praktis yang dapat menolong Anda mendapatkan sahabat dengan mudah:
1. Memusatkan perhatian Anda pada orang lain. Pikirkanlah tentang
bagaimanakah Anda dapat menolong mereka. Jika berbicara dengan orang
lain, janganlah berbicara diri Anda. Tunjukkanlah bahwa Anda menikmati
kehadiran mereka.
2. Menghargai orang lain. Belajarlah untuk membuat orang lain berharga.
Perlakukanlah mereka sebagai gambar dan rupa Allah yang sama dengan
Anda. Penampilan, kedudukan sosial dan keadaan ekonomi bukanlah
dasar penghargaan kita. Hargailah mereka sebagai ciptaan Allah.
3. Mengubah cara berpikir tentang orang lain. Kecurigaan adalah senjata yang
ampuh untuk melumpuhkan atau memutuskan tali persahabatan.

212
Berpikiran negatif tentang orang lain akan mendorong tindakan yang
negatif pula.
4. Mencari orang yang terlantar dan sedih. Dunia penuh dengan orang yang
tidak mempunyai teman, orang yang menderita kesakitan dan yang
menjadi korban kekejian orang lain sehingga mereka penuh dengan
dendam.
Dengan menerapkan keempat hal di atas, tentu kita dapat mendapatkan
sahabat dengan mudah. Bagaimana bersahabat dengan seteru? Benyamin
Franklin pernah berkata, “Kasihilah musuhmu sebab ia yang menunjukkan
kesalahan- kesalahanmu. Tuhan Yesus Kristus mengajar para pengikut-Nya:
“Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”
(Matius 5:44). Bagaimanakah perintah ini dapat terwujud dalam kehidupan kita
sehari-hari sebagai pengikut-pengikut Yesus Kristus? Berikut ini beberapa hal
praktis yang dapat menolong Anda bersahabat dengan seteru:
1. Pusatkan perhatian Anda pada bagaimana Anda dapat menolong mereka.
Hal yang pasti mereka butuhkan adalah seorang sahabat. Salah satu
kebutuhan yang mendasar dari manusia ialah untuk bersosialisasi, yaitu
bergaul dengan sesama. Bantulah musuh Anda dan lakukanlah itu seperti
Anda melakukannya bagi Tuhan. Pikirkanlah tentang yang sedang
dikerjakan oleh Tuhan dalam hidupnya. Selanjutnya, pikirkanlah tentang
bagaimanakah Anda dapat memupuk persahabatan dan bagaimana
musuh Anda dapat memanfaatkan persahabatan Anda dan bukan berpikir
tentang manfaat atau keuntungan yang Anda harapkan dari persahabatan
Anda dengan dia.
2. Daftarkanlah kebaikan-kebaikan yang Anda lihat dari orang yang kurang
menyenangkan hati Anda. Setiap manusia yang diciptakan Tuhan
mempunyai kebaikan. Sejahat-jahatnya seseorang, di dalam lubuk hatinya
tersimpan kebaikan yang belum sempat dinyatakan.
3. Bawalah mereka yang pernah menyakiti hati Anda kepada Tuhan dalam
doa.
Mengucap syukurlah kepada Tuhan atas apa yang menyenangkan dalam
pribadi mereka serta memohon berkat dan pertolongan Tuhan bagi mereka.
Kemudian, nikmatilah sukacita dariTuhan. Anda telah taat kepada firman
Tuhan untuk mengasihi musuh Anda.

213
Simaklah kisah persahabatan antara Andar Ismail dan Syarif yang dikisahkan
oleh Andar Ismail dalam bukunya yang berjudul Selamat Panjang Umur (Ismail
1995, 49-53). Andar Ismail menceritakannya sebagai berikut.

Apa yang dapat diperbuat seseorang untuk memelihara kenangan tentang


seorang sahabat lama yang sudah sekian tahun hilang jejaknya? Yang saya
perbuat adalah mengabadikan nama sahabat itu pada nama anak sendiri.
Begitulah ketika anak kami lahir, tanpa ragu-ragu kami menamakan dia Syarif,
yaitu nama seorang sahabat saya di kelas 5 Sekolah Dasar Kristen di Bandung.
Sebenarnya ada banyak perbedaan antara Syarif dengan saya. Syarif tinggal
di rumah besar, berlantai dua, terbuat dari tembok dan terletak di tepi jalan
raya. Sebaliknya rumah saya kecil, terbuat dari bilik bambu dan terletak
pinggir gang. Syarif anak keluarga dokter dan bergelar raden, sebaliknya
orang tua saya orang bersahaja. Syarif beragama Islam, saya beragama
Kristen. Syarif orang Jawa, saya orang Cina.
Segala perbedaan itu tidak kami rasakan. Tiap hari Syarif dan saya bermain
dan membuat pekerjaan rumah bersama. Kami berdua menjadi ketua dan
wakil ketua kelas. Kala menghadapi ulangan berhitung, Syarif yang mengajar
saya karena dia juara kelas. Bila belajar sejarah dan ilmu bumi sayalah yang
mengajar dia. Hasil ulangan cepat-cepat kami bandingkan. Kalau saya
mendapat nilai buruk untuk berhitung (dalam kenyataannya memang hampir
selalu begitu), Syarif tampak kecewa. Ketika saya menjadi juara untuk sejarah
dan ilmu bumi, ia menepuk pundak saya dan memuji, “Hoe kan je nou zoveel
weten?” (‘Bagaimana kamu bisa tahu sebanyak itu?’).
Syarif sering datang ke rumah saya, kadang-kadang kami makan bersama.
Saya masih ingat bagaimana dia mengerinyutkan dahi sambil memerhatikan
makanan di piring lalu bertanya dengan nada gurau, “Zit er een varkentje in
deze soep?” (‘Apa ada anak babi di sayur ini?’). Lalu kami tertawa terbahak-
bahak. Ibu saya pun ikut tertawa, sebab di piring itu sama sekali tidak ada
daging apa-apa. Keluarga kami memang hampir tidak pernah makan daging,
sebab harganya terlalu mahal.
Saya pun sering datang ke rumah Syarif dan menginap di situ. Kami tidur
seranjang dan mengobrol sampai larut malam. Dengan berbisik kami saling
bertanya siapa teman perempuan yang kami senangi. Lalu kami tertawa
bercekikikan dan cepat-cepat menaruh jari telunjuk di bibir sebagai janji
saling menyimpan rahasia ini.
Pada suatu hari Syarif mendapat seekor anak ayam yang sangat mungil. Bulu
ayam itu kuning dan terasa sangat halus, siang malam kami sibuk membuat
kandang dan mengurus ayam itu. Yang sulit adalah menyambung kawat dan
memasang lampu untuk menghangatkan ayam itu. Kalau ayam itu
kedinginan, segera kami dekatkan lampu pada ayam itu. Kemudian ketika

214
ayam itu kegerahan, kami jauhkan lampu itu. Beberapa hari kemudian kami
mendapatkan ayam itu sudah kaku dan mati. Kami tersentak dan saling
memandang. Lama kami duduk di depan kandang itu dengan kepala
tertunduk. Syarif terdiam, saya pun begitu. Kami saling berpegangan. Lalu
kami menangis bersama-sama.
Persahabatan menyatukan perasaan. Kita senang bersama dan sedih
bersama. Persahabatan tumbuh dari keterbukaan dan rasa percaya. Kita
merasa dekat. Kita saling mengagumi, tetapi ita berani berterus terang
menegur kesalahan masing-masing. Kita saling membutuhkan, tetapi tidak
saling memanfaatkan. Sahabat tidak membujuk, tetapi juga tidak menuntut.
Antara sahabat tidak ada iri dan dengki. Keberhasilannya menjadi
kebanggaanku, kegagalannya menjadi kekecewaanku. Sahabat saling mau
mendengarkan, menyelami dan mengerti. Sahabat saling peduli. Untuk
bersahabat kita perlu berjiwa besar dan berhati ikhlas. Terhadap sahabat kita
boleh mengeluarkan perasaan sebagaimana adanya, tanpa pura-pura ramah
dan memasang senyum buatan. Persahabatan dipupuk oleh iktikad dari
kedua belah pihak. Dalam persahabatan ada kedekatan. Atau dengan kata-
kata Amsal: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi
seorang saudara dalam kesukaran” (Ams. 17:17)

Demikian, kisah persahabatan antara Andar Ismail dan Syarif. Setelah


membaca kisah persahabatan antara Andar Ismail dan Syarif serta paparan
di bawah ini, Anda diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
kritis sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan cara menjadi sahabat
sejati.

Sumber: http://www.dreamstime.com/royalty-free-stock-photography-relationship-friends-
friend-need-friend-indeed-image30173487

215
Sahabat adalah sebuah kata yang tidak asing dalam hidup manusia. Kata ini
mempunyai makna yang sangat mendalam. Setiap orang pasti
membutuhkannya dan senantiasa berusaha mendapatkan sahabat, bahkan
bila orang tersebut telah memilikinya, ia akan senantiasa memeliharanya.
Menjadi sahabat bagi orang lain dan mempunyai seorang sahabat adalah
sesuatu yang sangat berarti dan berharga dalam hidup seseorang, karena
memang Sang Pencipta menata manusia untuk hidup bersama dengan orang
lain. Bagi orang Inggris, arti seorang sahabat diungkapkan dalam sebuah
pepatah: afriend in need is a friend indeed, artinya sahabat yang sejati ialah
sahabat yang selalu siap menolong ketika seseorang memerlukannya
(Chandra 2006, 97).
Alasan utama mengapa orang sulit menjalin persahabatan adalah
kenyataan bahwa mereka tidak pernah benar-benar menerima diri mereka
sendiri. Jika kita tidak menerima diri kita sendiri, kita akan mendapatkan
kesulitan untuk menerima orang lain, dan kebiasaan negatif ini akan tercermin
dalam hubungan kita. Untuk membangun persahabatan ada tujuh prinsip
berikut ini yang perlu diperhatikan. Pertama, perhatikan setiap orang baru di
sekitar Anda. Kedua, kembangkan ekspresi yang membuat suasana ceria.
Ketiga, berlatih menyapa orang dengan nama. Keempat, ajukan pertanyaan
yang tepat. Kelima, menjadi pendengar yang baik. Keenam, jangan congkak
dan merasa lebih baik dari orang lain. Apakah Anda pernah bertemu dengan
orang yang gila hormat? Ia tentu ingin dikenal sebagai orang istimewa dan
penting, bukan orang sembarangan. Pasti selalu ingin mendapat
kesempatan menceritakan kehebatan, kekayaan dan lain- lain yang lebih
meninggikan dirinya. Setelah beberapa saat, pasti ia tidak berkesempatan lagi.
Setiap orang mulai menghindari sejauh-jauhnya. Dari pengalaman itu,
bersikaplah biasa. Meskipun mungkin Anda merasa memiliki kemampuan-
kemampuan yang lebih daripada biasanya, hendaknya jangan congkak dan
merasa lebih baik dari orang lain. Ketujuh, hendaknya sopan santun dalam
tingkah laku.
Persahabatan yang baik berawal dari perkenalan dengan orang yang memiliki
suatu persamaan dengan kita. Ada daya tarik timbal balik. Anda senang
berada bersama-sama dengannya. Anda merasa orang yang lain itu
menyegarkan, memberi dorongan dan menyenangkan. Anda melihat dia
mau mendengarkan Anda, memberi dorongan yang tepat kepada Anda.
Persahabatan pun tumbuh. Persahabatan itu memerlukan waktu. Anda
mungkin bertemu seseorang dan segera berhubungan. Sebelum hubungan itu

216
bisa tumbuh menjadi persahabatan yang sungguh, Anda harus saling
mengenal selama suatu jangka waktu. Persahabatan jangan seluruhnya
bergantung pada perasaan. Perasaan memang penting, tetapi jengkel atau
kecewa terhadap seseorang jangan sampai merusak hubungan itu. Kita
hendaknya tidak membuang atau mematikan persahabatan hanya karena
ternyata tidak semuanya menyenangkan.
Jika Anda berpikir untuk
menjalin persahabatan,
ketahuilah bahwa tidak
semua orang ingin menjadi
sahabat Anda. Orang
mempunyai kebebasan
untuk membuat pilihan itu.
Jikalau Anda berusaha
memaksakan persahabatan,
akan timbul masalah.
Persahabatan harus tercipta
dengan sukarela. Adapun ciri-ciri persahabatan yang baik adalah sebagai
berikut. Pertama, persahabatan yang baik tidak mementingkan diri sendiri.
Amsal 17:17 mengatakan bahwa “seorang sahabat menaruh kasih setiap
waktu.” Seorang sahabat yang berkata, “Aku mengasihimu jika ...” atau “Aku
mengasihimu bila ...” bukan sahabat seperti yang dilukiskan oleh Alkitab.
Sahabat sejati akan berkata, “Aku mengasihimu setiap waktu.” Kasihku tidak
bersyarat dan tidak mementingkan diri sendiri. Kedua, persahabatan sejati
bersifat teguh. Jika Anda ingin sungguh-sungguh mengetahui berapa banyak
sahabat yang Anda miliki dan siapa mereka, buatlah kesalahan dan lihatlah apa
yang terjadi. Setelah Anda mengalami kesulitan, coba lihat berapa banyak
sahabat Anda yang masih setia kepada Anda? Persahabatan sejati itu teguh.
Ketiga, persahabatan sejati bersedia berkorban. Kalau Anda ingin menjadi
sahabat, Anda harus hidup dengan bersedia berkorban bagi orang yang
menerima persahabatan Anda. Keempat, persahabatan sejati bersifat
menyucikan. Amsal 27:17 berkata, “Besi menajamkan besi, orang
menajamkan sesamanya.” Seorang sahabat sejati akan menjadikan Anda
orang yang lebih baik. Persahabatan sejati membuat hidup Anda lebih maju,
mempertajam kecerdasan Anda dan membuat Anda lebih giat. Anda akan
menjadi orang yang lebih baik dan lebih berguna karena persahabatan itu.
Persahabatan sejati tidak akan menumpulkan kerohanian Anda. Seorang
sahabat sejati adalah orang yang cukup peduli sehingga ia akan menegur Anda

217
bila Anda salah. Alkitab berkata dalam Amsal 27:6, “Seorang kawan memukul
dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-
limpah.”
Kita harus membangun persahabatan denganorang-orang non-Kristen juga.
Ini hendaknya tidak merupakan hubungan dengan maksud penginjilan
(persahabatan demi satu jiwa), melainkan persahabatan karena kita benar-
benar mengasihi orang-orang tersebut. Bila Anda mempunyai sahabat orang-
orang non- Kristen, Anda perlu bertanya kepada diri Anda sendiri, apakah
persahabatan ini memungkinkan Anda tetap dekat dengan Tuhan atau
dapat memisahkan Anda dari Tuhan. Jikalau Anda mulai melihat bahwa
persahabatan Anda dengan seorang non-Kristen tertentu menjauhkan
Anda dari Tuhan, Anda harus melakukan sesuatu.
Sulit rasanya membayangkan hidup tanpa kehadiran sahabat di samping
Anda. Ya, tanpa kehadiran sahabat, hari-hari Anda akan terasa kosong dan
hampa. Oleh sebab itu, hubungan persahabatan harus dipupuk dengan baik.
Apakah Anda sudah merasa menjadi sahabat yang sejati bagi sahabat
Anda?

Pertama, sahabat sejati adalah sahabat yang bersedia mendengarkan segala


macam cerita dan keluh kesah sahabatnya. Oleh sebab itu, jadilah pendengar
yang baik untuk sahabat-sahabat Anda. Jika mereka membutuhkan masukan,
berilah pendapat Anda secara perlahan-lahan tanpa bersikap menggurui.
Kedua, belajarlah menghargai segala macam perbedaan sifat sahabat Anda.
Ingat setiap orang memiliki berbagai macam kepribadian yang berbeda.
Cobalah mengerti bagaimana karakter sahabat Anda. Jika Anda mengalami
perbedaan pendapat, selesaikanlah masalah tersebut dengan baik-baik.
Sebab, semua masalah pasti ada jalan keluarnya.
Ketiga, jagalah baik-baik kepercayaan yang telah diberikan oleh sahabat Anda.
Jangan pernah sekali pun Anda membocorkan rahasia penting sahabat Anda,
apalagi yang berupa aib. Banyak kejadian sahabat berubah menjadi musuh
karena telah membocorkan rahasia penting sahabatnya.
Keempat, jadilah sahabat yang selalu siap memberikan dukungan. Jika
sahabat Anda melakukan kesalahan, jadilah orang pertama yang
menyemangatinya. Jika perlu sebisa mungkin Anda jangan menyalahkannya.
Berilah sahabat Anda motivasi agar dapat bangkit dari kesalahannya.
Kelima, jangan jadikan sahabat Anda sebagai saingan terberat Anda. Hilangkan
perasaan iri atas keberhasilan sahabatAnda. Jadikanlah rasa iri tersebut

218
sebagai cambuk bagi Anda agar berbuat lebih baik lagi. Lalu, jangan lupa
ikutlah berbahagia dengan keberhasilan yang telah dicapainya.
Keenam, jangan pernah ragu untuk minta maaf pada sahabat saat Anda
melakukan sebuah kesalahan padanya. Setelah itu, berusahalah perbaiki
kesalahan Anda. Begitu pula sebaliknya, berikanlah maaf dan lupakan
kesalahan sahabat Anda jika ia bersalah.

Simaklah 1 Korintus 5:9-11. Dalam 1 Korintus 5:9-11 tersebut, Paulus


melarang jemaat di Korintus untuk bergaul dengan orang cabul, kikir,
penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu. Menurut Anda,
mengapa Paulus melarang jemaat di Korintus untuk bergaul dengan orang
cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu. Apa
maksud dan makna perkataan Paulus yang terdapat dalam 1 Korintus 5:9-11
“Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul
dengan orang-orang cabul. Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua
orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan
penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu
harus meninggalkan dunia ini. Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah,
supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya
saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk
atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan
bersama-sama.”

Silakan Anda mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari berbagai buku


dan sumber belajar yang lain mengenai pergaulan yang sehat dan benar
menurut Alkitab.
“Jangan dipengaruhi oleh orang-orang lain” adalah nasihat yang sia-sia.
Setiap orang dipengaruhi oleh orang-orang lain. Yang menjadi masalah ialah
orang-orang macam apa yang memengaruhi kita. Selain itu, yang menjadi
masalah ialah bagaimana kita dipengaruhi. Kita perlu bergaul dengan orang-
orang yang dapat menolong kita mengembangkan suatu pandangan hidup
yang lebih luas, lebih manusiawi dan lebih sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita
juga perlu mempunyai suatu integritas yang tidak diombang-ambingkan
oleh setiap pengaruh, suatu pendirian yang sekaligus terbuka dan teguh.

Ada dua bahaya yang menyangkut hubungan kita dengan teman-teman kita
(Brownlee 1986, 77-78). Bahaya pertama adalah keeksklusifan, yaitu
kecenderungan untuk menolak orang-orang dari kalangan tertentu. Mungkin

219
orang itu ditolak karena suku bangsanya, kemiskinannya, dianggap bodoh atau
terlalu pintar, atau karena alasan yang lain. Sikap eksklusif ini merugikan baik
orang yang menolak maupun orang yang ditolak. Sikap itu mengembangkan
kesombongan dalam hati orang-orang yang menolak. Kesombongan itu
merusak kepribadian seseorang. Karena kesombongannya, orang yang lemah
lembut dapat menjadi keras hati dan kejam. Sikap eksklusif juga merugikan
orang yang ditolak. Ia merasa sepi karena terputus hubungannya dengan
sekelompok sesamanya manusia. Setiap kali ia berhadapan dengan orang-
orang yang menolaknya, ia merasa dihina. Mungkin ia merasa rendah diri dan
sering bertanya dalam hatinya mengapa ia dinilai kurang.
Allah bekerja untuk mempersatukan orang-orang. Ia mengasihi semua orang.
Kasih kita perlu mencerminkan kasih Allah yang sangat inklusif itu. Orang
Kristen perlu menerima dan mengasihi sebanyak mungkin orang, bukan
menolak mereka. Terutama orang Kristen perlu mengasihi orang-orang yang
dianggap hina oleh masyarakat. Yesus bergaul dengan orang-orang yang
dibenci oleh kebanyakan orang dalam masyarakat-Nya. Kalau kita yakin
bahwa kita diterima dan dikasihi oleh Allah, kita tidak usah mengangkat harga
diri kita dengan menganggap rendah orang lain. Bila kita ditolak oleh orang-
orang lain, kita bisa merasa yakin bahwa kita masih diterima dan dianggap
penting oleh Tuhan.
Bahaya kedua yang menyangkut hubungan kita dengan teman-teman ialah
tekanan untuk menyesuaikan diri dengan pendapat dan perbuatan yang tidak
baik. Sering orang-orang membenarkan suatu perbuatan yang diragukan
benar salahnya dengan berkata, “Semua orang berbuat demikian.” Kalau
kebanyakan orang dalam kalangan kita sudah berbuat demikian, seseorang
akan dianggap kolot bila ia berkata, “Aku tidak boleh berbuat demikian.” Kalau
kebanyakan orang dalam suatu kelas menyontek, orang yang tidak
menyontek dianggap aneh. Kalau semua orang di kantor menerima suap,
orang yang tidak menerima suap dihindari.
Sering orang-orang menyerah kepada dorongan-dorongan dari teman-
temannya, walaupun dorongan-dorongan itu bertentangan dengan suara hati
mereka. Kalau demikian, kebutuhan untuk diterima oleh teman-teman
menjadi lebih penting daripada iman dan pendirian diri sendiri. Pemuda-
pemuda yang memiliki kebebasan untuk mengambil keputusannya sendiri
tanpa tekanan dari orang tua atau lembaga-lembaga sering dengan rela
membuang kebebasan itu untuk mengikuti keinginan teman-temannya.
Penyesuaian dengan orang lain dapat menjadi ganti bagi pikiran. Orang yang

220
ikut-ikutan tidak lagi berpikir bagi diri sendiri. Ia mengikuti arus tanpa
mengembangkan cara hidup berdasarkan pandangan sendiri.
Sangat sukar untuk berdiri sendirian berlawanan dengan tekanan-tekanan dari
orang-orang lain. Karena itu, kita memerlukan teman-teman yang juga
berusaha untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka dapat
menolong kita menggumuli masalah-masalah dan menentang godaan-
godaan yang kita hadapi.
Manusia adalah makhluk sosial, tidak terkecuali orang Kristen. Sebab itu, sudah
seharusnya manusia itu memiliki teman atau sahabat dalam kehidupan ini.
Orang yang membenci pergaulan adalah orang yang tidak normal. Orang yang
seperti itu biasanya disebut antisosial. Mereka tidak membutuhkan pergaulan,
bahkan membenci pergaulan.
Tanpa sahabat rasanya hidup ini gersang dan sepi. Namun dalam 1 Korintus
diberitahukan agar kita berhati-hati dalam pergaulan. Karena pergaulan yang
buruk dapat merusak kehidupan kita. Misalnya, kita bisa terlibat dalam seks
bebas, minum minuman keras
dan memakai narkotika. Di dalam
Amsal 18:24 dikatakan, “Ada
teman yang mendatangkan
kecelakaan, tetapi ada juga
sahabat yang lebih karib daripada
seorang saudara.” Ada sahabat
yang lebih baik daripada saudara
sendiri.
Ayat di atas bukan mengajak kita
hanya bersahabat dengan orang
Kristen saja. Siapa saja boleh
menjadi sahabat kita. Dengan
kata lain, pergaulan Kristen bukanlah eksklusif pada orang Kristen saja.
Sebaliknya, pergaulan Kristen juga bukan “asal bergaul” sehingga dapat
merusak kehidupan dan kesaksian kita, melainkan harus memerhatikan
prinsip bergaul yang benar.
Pergaulan yang berprinsip bukan pergaulan yang eksklusif. Tetapi pergaulan
yang bertanggung jawab, beretiket pergaulan yang sesuai dengan prinsip
Firman Tuhan. Motif dalam pergaulan Kristen adalah “kasih yang sudah kita

221
terima dari Kristus,” bukan “kasih yang sekuler,” misalnya kasih yang dikuasai
oleh hawa nafsu, kasih yang materialistis atau kasih yang egoistis.
Beberapa prinsip pergaulan yang berdasarkan kasih Kristus dan yang sesuai
dengan kebenaran Alkitab adalah sebagai berikut. Pertama, kemuliaan bagi
Allah. Motif tertinggi yang patut dimiliki orang yang menyebut dirinya anak-
anak Allah ialah melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah. Hanya Dialah
yang layak beroleh pujian tertinggi. Di dalam 1 Korintus 10:31 dikatakan, .”..
jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semua itu untuk
kemuliaan Allah.” Selain itu, di dalam Kolose 3:23 dikatakan, “Apapun juga yang
kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan
bukan untuk manusia.”
Kedua, demi kebaikan orang lain. Dalam 1 Korintus 10:24 dikatakan, “Jangan
seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap- tiap
orang mencari keuntungan orang lain.” Jadi dalam pergaulan kita tidak boleh
merugikan sesama, melainkan melakukan sesuatu yang mendatangkan
berkat bagi sesama.
Ketiga, kebaikan bagi diri sendiri. Dalam 1 Korintus 10:23 dikatakan, “Segala
sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. Segala
sesuatu diperbolehkan. Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.”
Manusia memang diberi Tuhan kebebasan, tetapi harus diingat bahwa tidak
semua yang boleh dan dapat kita lakukan, berguna bagi sesama dan diri kita
sendiri. Oleh karena itu, kalau hendak melakukan sesuatu hendaklah yang
bermanfaat bagi manusia.
Keempat, saling mempercayai. Sikap saling mempercayai ini akan
membangun persahabatan yang baik. Sebaliknya, sikap saling mencurigai
akan menghancurkan persahabatan. Sikap “saling curiga” membuat seseorang
menjadi terlalu sensitif, cemburu buta, penyebar gosip, atau tidak jujur.
Hindarilah sikap saling curiga.
Kelima, saling menghargai. Sikap saling menghargai menghasilkan sifat suka
menghormati orang lain, lebih banyak mendengar daripada berbicara,
toleransi, berani menerima pendapat orang lain dan tidak suka memperalat
orang lain. Sebaliknya, orang yang “suka menghina” akan terlihat dari sifatnya
yang kurang menghargai pribadi orang lain, suka mencela, emosinya tidak
stabil, ceroboh, kasar, pemarah, dan terlalu agresif. Hindarilah sikap suka
menghina.

222
Keenam, saling mengasihi. Kasih yang benar adalah kasih yang berasal dari
Kristus. Kasih yang seperti itu terlihat dari sifat tenggang rasa, tidak suka
perhitungan dengan teman, tahan diri untuk tidak selalu membicarakan diri
sendiri, rela berkorban dan suka mengalah untuk menang. Kasih yang seperti
itu mendasari pergaulan yang menjadi sahabat lebih baik daripada saudara,
karena orang yang seperti itu rela menerima sahabatnya sebagaimana dia
adanya. Dalam keadaan bagaimanapun, pada saat kapanpun dan di mana pun
tempatnya, dia tetap menjadi “sahabat yang baik.”

Sumber: http://himpalaunas.com/artikel/etalase/2012/02/05/hati-hati-situs-jejaring-sosial-
dapat-mengubah-otak-manusia

Dalam hidup ini ada banyak sekali hal yang indah. Agaknya, salah satu yang
paling indah adalah persahabatan seperti yang dirasakan oleh orang lumpuh
dalam Injil Markus 2:1-12 (Ismail 2002, 20-23).

“Pada saat Tuhan Yesus sedang mengajar tiba-tiba terjadi gangguan


yang mengejutkan. Secara tiba-tiba ada tilam diturunkan dengan tali dari atas
atap. Di tilam itu terbaring seorang lumpuh. Orang lumpuh itu digotong
oleh empat orang kawannya untuk disembuhkan oleh Tuhan Yesus. Pasti
berat menggotongnya. Rumahnya mungkin jauh dari tempat itu. Lalu ternyata

223
tempat itu sudah dipenuhi banyak orang sehingga tidak ada lagi jalan masuk.
Untunglah keempat kawannya mempunyai akal. Mereka menggotong dia naik
ke atap. Kemudian mereka mengikat tilam pembaringan orang lumpuh itu
dengan empat utas tali. Sesudah itu mereka membuka atap. Lalu mereka
mengulur tali itu dan menurunkan orang lumpuh itu perlahan-lahan ke lantai
dasar. Pasti susah. Pasti harus berhati- hati dan seimbang. Bayangkan betapa
susahnya menurunkan orang sakit yang terbaring di tilam dengan tali dari atas
atap rumah. Apa jadinya kalau salah satu utas tali itu terlalu cepat turunnya,
pasti tilam itu miring dan orang itu jatuh. Atau apa jadinya kalau salah satu
utas tali itu tiba-tiba putus. Tetapi ternyata mereka berhasil. Hebat sekali.
Bukan main cakapnya para sahabat orang lumpuh itu. Hebat!
Sungguh menarik bahwa perhatian Yesus tertuju pada kawan- kawan orang
lumpuh tersebut. Mereka masih ada di atas atap. Mereka tidak bisa turun.
Mereka menatap dan menunggu di atas. Rupanya Yesus juga langsung melihat
ke atas. Yesus bisa melihat mereka. Mungkin Yesus memerhatikan wajah
keempat orang itu. Mereka mungkin tampak agak takut, sebab mereka tahu
bahwa mereka mengganggu Yesus yang sedang mengajar. Di wajah mereka
juga tampak dambaan untuk belas kasih agar kawan mereka yang lumpuh itu
bisa disembuhkan. Yesus menatap wajah mereka. Lalu Yesus melihat ke bawah
dan menatap wajah orang lumpuh itu yang tampak cemas harap-harap dalam
ketidakberdayaannya.

Sungguh beruntung orang lumpuh itu. Ia mempunyai kawan- kawan. Mereka


itulah yang menggotong dia. Mereka memberi semangat dan pengharapan.
Hidup terasa bermakna lagi. Tanpa kawan-kawan ini, orang lumpuh itu
hanya terkulai seorang diri di rumah. Sungguh baik hati sahabat-sahabatnya.”
Di bagian Alkitab yang lain terdapat juga contoh pergaulan dan persahabatan
yang baik. Contoh pergaulan dan persahabatan yang baik tersebut terlihat
dengan jelas pada kisah pergaulan dan persahabatan antara Yonatan dan
Daud yang dipaparkan oleh Andar Ismail dalam buku Selamat Berteman
(Ismail 2007, 10-14). Ceritanya begini. Selamat Berteman.

“Yonatan adalah putra sulung Raja Saul. Pada waktu itu, yakni sekitar tahun
1000 sM., kerajaan Israel sedang ditekan oleh tentara Filistin yang jauh lebih
besar. Hampir seluruh wilayah kerajaan dikuasai tentara Filistin. Mereka
menjarah rumah orang Israel. Mereka menyita semua senjata orang Israel.
Bahkan semua peralatan tukang besi disita dengan maksud mencegah orang
Israel membuat senjata. Para petani harus pergi kepada orang Filistin untuk
mengasah alat pertanian dengan bayaran yang tinggi. Hanya Yonatan dan
Raja Saul yang masih mempunyai senjata (lih. 1 Sam. 13:19-22).

224
Dalam pasukan kerajaan yang nyaris lumpuh itu, Yonatan menjadi
komandan. Ia berprestasi dengan gemilang. Ia mengalahkan pasukan Filistin
di Gerba. Raja Saul memanfaatkan kemenangan itu untuk menimbulkan
percaya diri pada rakyat (lih. 1 Sam. 13:3-4).
Prestasi Yonatan yang kedua adalah di Mikhmas. Ia meminta tanda
pertolongan Tuhan. Kata Yonatan, “Mungkin TUHAN akan bertindak untuk
kita, sebab bagi TUHAN tidak sukar untuk menolong, baik dengan banyak
orang maupun dengan sedikit orang” (1 Sam. 14:6). Dengan hanya ditemani
oleh seorang pembantunya, Yonatan mendekati perkemahan musuh.
Yonatan berpegang pada tanda bahwa jika musuh mengusir dia, maka itu
pertanda TUHAN tidak berkenan, namun jika musuh menantang, maka itu
pertanda TUHAN akan menolong. Yonatan dan pembantunya menaiki bukit
perkemahan musuh. Dari kaki bukit itu Yonatan memperlihatkan diri. Tentara
musuh berteriak, “Naiklah ke mari, maka kami akan menghajar kamu.”
Segeralah Yonatan dan pembantunya merangkak ke puncak bukit. Mereka
bertarung. Pasukan musuh itu tewas di tangan Yonatan. Penyerbuan
Yonatan itu berdampak sebagai perang urat syaraf yang menjatuhkan
moral pihak musuh (lih. 1 Sam. 14-15). Tetapi kemenangan itu masih bersifat
lokal. Tentara musuh masih menguasai sebagian besar wilayah kerajaan.
Pada suatu hari, di istananya, Yonatan melihat seorang pemuda berkulit
“kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok” yang menjadi
pegawai baru di istana. Pegawai itu bertugas sebagai pemain kecapi yang
menghibur Raja Saul. Yonatan menyukai pemain kecapi itu. Sejak itu mereka
berteman. Pemuda itu bernama Daud. Tidak ada yang tahu bahwa
sebenarnya Daud sudah diurapi oleh Nabi Samuel untuk kelak menjadi raja
atas seluruh Israel (lih. 1 Sam. 16:1-13).
Sementara itu pasukan Israel semakin terdesak musuh. Seorang pendekar
musuh bernama Goliat menantang untuk berduel. Tidak ada yang berani.
Lalu Daud menawarkan diri. Ternyata Daud menang.
Selanjutnya Yonatan menjadi lebih berteman dengan Daud. Tertulis,
”..berpadulah jiwa Yonatan dengan jiwa Daud; dan Yonatan mengasihi dia
seperti jiwanya sendiri” (1 Sam. 18:1). Lalu mereka berdua mengikat
perjanjian persahabatan. Yonatan menanggalkan jubah dan pedangnya lalu
diserahkannya kepada Daud sebagai tanda persahabatan.
Setelah itu Yonatan mengikutsertakan Daud dalam pasukannya. Daud selalu
berprestasi gemilang. Penduduk kota menyambut Daud dengan nyanyian
dan tarian, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-
laksa.” Raja Saul cemas bahwa kedudukannya akan goyah oleh popularitas
Daud. Ia “selalu mendengki Daud.” Dua kali ia mencoba membunuh Daud
(lih. 1 Sam. 18:8-12).
Yonatan juga tahu bahwa popularitas Daud melebihi dirinya. Sebenarny
popularitas Daud merugikan kedudukan Yonatan sebagai putra mahkota.
Tetapi Yonatan tidak mendengki. Tolok ukur kepribadian yang bisa

225
bersahabat adalah bersih dari iri dan dengki. Yonatan malah membela Daud.
Ujar Yonatan kepada ayahnya, “Janganlah raja berbuat dosa terhadap
Daud, hambanya, sebab ia tidak berbuat dosa terhadapmu ...” (1 Sam. 19:4).
Pada kesempatan lain Yonatan membela lagi Daud di hadapan raja. Yonatan
tahu bahwa dengan demikian ia mempertaruhkan nyawanya sendiri demi
membela nyawa Daud. Ternyata benar, rajamenjadi marah sehingga
“melemparkan tombaknya kepada Yonatan untuk membunuhnya” (1 Sam.
20:33).
Sekarang Yonatan tahu bahwa Daudbetul-betul dalam keadaan terancam.
Lalu Yonatan merelakan Dau untuk mengungsi dan mengembara supaya
tidak bisa dilacak oleh raja. Sebelum berpisah mereka mengulangi lagi
sumpah persahabatan mereka. Tercatat, “Dan Yonatan menyuruh Daud
sekali lagi bersumpah demi kasihnya kepadanya, sebab ia mengasihi Daud
seperti dirinya sendiri” (1 Sam. 20:17). Lalu dicatat juga, “Mereka bercium-
ciuman dan bertangis-tangisan” (1 Sam. 20:41). Kehilangan sahabat adalah
derita berat.
Ketika kemudian Yonatan mengetahui bahwa Daud terus dikejar pasukan
ayahnya, ia berusaha untuk menemukan Daud. Di gurun Zif, Yonatan dan
Daud bertemu lagi. Di situ Yonatan “menguatkan kepercayaan Daud
kepada Allah” dan meneguhkan komitmennya bahwa meskipun ia berhak
atas jabatan raja, namun jabatan itu ia peruntukkan bagi Daud. Kata
Yonatan, “Janganlah takut, sebab tangan ayahku Saul tidak akan menangkap
engkau; engkau akan menjadi raja atas Israel, dan aku akan menjadi orang
kedua di bawahmu” (1 Sam. 23:17). Dalam ayat berikutnya dicatat,
“Kemudian kedua orang itu mengikat perjanjian di hadapan TUHAN.”
Bayangkan konflik batin Yonatan. Sahabatnya begitu dibenci oleh ayahnya.
Lalu bagaimana sikap Yonatan terhadap kedua orang itu? Ia tetap mencintai
keduanya. Ia terus mendampingi ayahnya dalam pertempuran melawan
Filistin. Pada suatu pertempuran, baik Yonatan maupun Raja Saul dibantai
oleh musuh.
Mendengar berita kematian itu merataplah Daud. Ratapannya dicatat dalam
2 Samuel 1:19-27. Salah satu syairnya berbunyi, “Merasa susah aku karena
engkau, saudaraku Yonatan, engkau sangat ramah kepadaku; bagiku
cintamu lebih ajaib daripada cinta perempuan.”
Ketika kemudian Daud menjadi raja, ia mencari keluarga Yonatan. Ia
menampung di istananya Mefiboset, putra Yonatan yang cacat kaki karena
jatuh dalam serbuan tentara musuh. Kata Daud kepada Mefiboset,
“Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu
oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala
ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan
aku” (2 Sam. 9:7).

226
Maka, persahabatan antara Yonatan dan Daud diteruskan melalui
keturunannya. Sahabat sejati menjadi sahabat abadi. Sahabat abadi terpatri
sampai mati.”

Simaklah Amsal 13:20, “Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak,
tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang.” Menurut Anda,
apa sukanya bergaul dengan orang bijak dan apa dukanya bergaul dengan
orang bebal? Apa akibatnya jika Anda bergaul dengan orang bijak dan orang
bebal? Apa yang perlu Anda lakukan agar bisa bergaul dengan orang bijak
dan tidak berteman dengan orang bebal? Apa maksud dan makna Amsal
13:20? Silakan Anda mengemukakan argumen Anda yang menunjukkan
bahwa ada suka dan duka dalam pergaulan.
Setiap orang mesti bergaul. Orang yang sama sekali tidak bergaul akan
lekas mati. Oleh para ahli sosiologi, pergaulan disebut interaksi. Interaksi bisa
bersifat luas (bergaul dengan banyak orang) atau bersifat frekuen (sering
bergaul dengan orang). Dua orang yang bersahabat secara kental tidak
bergaul secara luas tetapi frekuen, sedangkan seorang ekstrovert bergaul
secara luas tetapi hanya sebentar saja (Brouwer 1981, 2).
Sejak dilahirkan manusia memang sudah mempunyai naluri untuk hidup
berkumpul dengan orang-orang lain. Bahkan pada suatu saat orang
tadi dipisahkan dari orang-orang lain, kemungkinan besar keseimbangan
jiwanya akan mengalami gangguan. Manusia mempunyai naluri untuk hidup
berkumpul dengan orang-orang lain, karena memang manusia itu tidak
diperlengkapi dengan alat-alat yang cukup untuk dapat hidup sendiri di dunia.
Oleh karena itu, gejala yang wajar jika manusia selalu akan mencari kawan, baik
semas dia baru dilahirkan, maupun sampai dewasa. Selain itu, tidaklah
terlalu mengherankan bila muda- mudi senang hidup berkumpul dan
bergaul dengan kawan-kawannya, walaupun hal tersebut tidak selalu akan
membawa pengaruh-pengaruh yang baik. Sebab sukar untuk disangkal
bahwa di samping pengaruh-pengaruh baik atau positif, pergaulan juga
memiliki banyak pengaruh-pengaruh buruk atau negatif. Apalagi kalau kawan-
kawannya berasal dari lingkungan sosial yang kurang baik.
Sebagai salah satu buktinya, mengendarai kendaraa bermotor dengan ugal-
ugalan adalah hasil dari pengaruh tidak baik dari lingkungan. Salah satu
penyebab penyalahgunaan narkotika adalah pengaruh yang tidak baik dari
lingkungan yang negatif sifatnya.

227
Orang yang ekstrovert mempunyai bakat bergaul. Selain itu, orang yang
mempunyai bakat bergaul biasanya adalah orang yang menyukai keramaian
dan suka bertemu dengan banyak orang. Sebaliknya, orang yang tidak bisa
bergaul dengan orang lain adalah orang yang bertipe introvert. Orang yang
tidak bisa bergaul dengan orang lain biasanya kalau bertemu orang lain
merasa tegang dan membenci keramaian. Di samping itu, perlu diperhatikan
juga adanya beberapa sifat yang menghalangi pergaulan, seperti sikap
sombong, egois, cerewet, kecenderungan suka memaksa orang lain dan
sebagainya.
Suka dan duka dalam pergaulan tentu saja ada, bahkan boleh dikatakan
banyak. Contoh sukanya adalah sebagai berikut. Anda sedang sendirian di
rumah karena anggota keluarga yang lain sedang pergi. Sendiri adalah sesuatu
yang tidak menyenangkan. Tiba-tiba datang seorang teman dan akhirnya
Anda asyik ngobrol. Dengan bergaul Anda juga dapatmencari jalan untuk
memecahkan persoalan yang Anda hadapi bersama dengan teman.
Mengatasi kesulitan bersama-sama tentu lebih mudah daripada mengatasi
sendirian. Sukanya bergaul yang lain adalah saat Anda sakit. Teman-teman
Anda akan mengunjungi Anda dengan segera. Selain itu, ketika Anda dalam
keadaan sedih dan susah teman dapat menghibur dan memberikan nasihat-
nasihat.
Pergaulan mendatangkan banyak keuntungan. Misalnya, setelah Anda mulai
bergaul lebih dekat dengan teman-teman kuliah, Anda memeroleh keterangan
bahwa dahulu mereka menganggap bahwa Anda merupakan pribadi yang
sombong, lebih senang bermain dengan teman yang sama sekali tidak
setingkat dengan Anda. Keuntungan yang lain adalah bergaul dengan teman-
teman sangat menyenangkan sebab dengan bergaul Anda dapat
menghilangkan kekesalan yang ada dalam hati Anda. Anda dapat bergembira
bersama, bertukar pendapat dan dapat juga menambah pengetahuan tentang
hal-hal yang ada dalam masyarakat. Anda butuh teman juga untuk
menumpahkan seluruh isi hati Anda yang memang belum tentu teman Anda
dapat membantu, tetapi minimal Anda merasa seolah-olah bebas bila Anda
telah mencurahkan isi hati Anda.
Dalam pergaulan Anda tidak boleh terlalu acuh atau akrab sebab dalam
pergaulan ada duka. Misalnya, Anda telah akrab dengan seseorang. Apabila
terjadi perselisihan dengan orang tersebut, rahasia Anda bisa dibongkar
semua. Sikap tersebut tidaklah benar bagi persahabatan. Adapun duka
pergaulan yang lain yang bisa Anda alami ialah jika seseorang dari teman-

228
teman Anda menjauhi Anda dengan alasan yang tidak jelas, mungkin iri
atau yang lain yang Anda sendiri tidak tahu pasti. Duka lain, misalnya, ada
teman yang mulai mengucapkan fitnah supaya nama Anda menjadi jelek dan
dijauhi oleh teman lain. Duka pergaulan yang lain lagi adalah terjadi salah
paham dalam pergaulan antara Anda dengan teman dan mengakibatkan
hubungan menjadi agak terganggu. Ada pula yang mau menghargai teman
yang bermobil saja, kaya raya, dan sebagainya, tetapi tidak mau
menghargai teman yang kurang mampu sehingga dalam pergaulan, Anda
dapat melihat adanya kelompok-kelompok dalam pergaulan. Yang kaya
dengan yang kaya, sedangkan yang miskin dengan yang miskin. Di dalam
bergaul, kita juga sering mendapat kesukaran karena tidak semua orang
mempunyai sifat yang sama, ada yang sombong, ada yang genit, ada yang
egois dan sebagainya.

Simaklah Amsal 20:19! Dalam Amsal 20:19 terdapat nasihat agar Anda jangan
bergaul dengan orang yang bocor mulut. Menurut Anda, mengapa Anda
dilarang bergaul dengan orang yang bocor mulut? Apa akibatnya jika Anda
bergaul dengan orang yang bocor mulut? Apa yang perlu Anda lakukan agar
tidak bergaul dengan orang yang bocor mulut? Apa maksud dan makna Amsal
20:19 yang menyatakan, “Siapa mengumpat, membuka rahasia, sebab itu
janganlah engkau bergaul dengan orang yang bocor mulut.” Silakan Anda
mengomunikasikan kepada rekan-rekan di kelas tahap-tahap pergaulan yang
harus dilewati dalam kehidupan manusia!
Tulus Tu’u (1988, 33-36) membagi pergaulan muda-mudi ke dalam lima
tahap. Pertama, sifatnya terbatas pada persahabatan biasa. Dalam tahap ini,
hubungan seorang dengan yang lain masih bebas tanpa ikatan. Seseorang
dapat bergaul dengan siapa saja. Tahap pertama ini adalah persahabatan
biasa baik dengan teman-teman sejenis maupun teman-teman lawan jenis.
Pada tahap ini, tidak ada pikiran tentang pernikahan atau hubungan seksual
dengan sahabat- sahabat itu. Pergaulan tahap ini dapat terjadi di sekolah, di
gereja, di rumah teman-teman, dan di tempat-tempat yang lain. Tahap ini
penting sekali karena di dalamnya kita mengenal teman lawan jenis sebagai
manusia dan bukan sebagai objek seksual saja. Di dalam persahabatan ini, kita
bertukar pikiran, bekerja sama, dan mengalami saat-saat biasa dan istimewa
dengan orang-orang lawan jenis tanpa hubungan asmara.

229
Sumber:http://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fm.hai

Kedua, persahabatan yang lebih istimewa. Adalah lumrah apabila ada dua jenis
manusia yang berbeda kelamin itu menjalin persahabatan yang lebih akrab
dan istimewa. Hubungan ini berdasarkan keinginan untuk lebih mengenal
seorang atau beberapa orang lawan jenis karena kita merasa tertarik kepada
mereka. Kita berusaha untuk mengenal mereka dengan lebih baik dengan
bercakap-cakap bersama di gereja, di kampus pada waktu santai. Pada tahap
ini pertemuan- pertemuan tidak selalu terjadi secara kebetulan saja, tetapi
berdasarkan usaha dan rencana untuk bertemu. Namun, pertemuan-
pertemuan ini tidak mengikat dua orang yang bertemu. Selalu ada kebebasan
untuk tidak bertemu lagi. Pertemuan- pertemuan semacam ini juga tidak
usah terbatas kepada satu orang lain saja. Seorang laki-laki bisa berusaha
untuk lebih mengenal beberapa orang wanita. Begitu juga seorang wanita
bisa berusaha untuk lebih mengenal beberapa orang laki-laki. Pada tahap
persahabatan yang lebih istimewa ini tidak ada kemesraan yang intim. Pada
tahap ini pertemuan diadakan dalam kelompok, bukan sebagai pasangan
yang terlepas dari kelompok. Misalnya, malam ini di pertemuan Pemuda
Gereja, Budi dapat bercakap-cakap dengan Tini dan Dewi. Besok di sekolah
ia bercakap-cakap dengan Yuli. Pada hari Sabtu, ia akan berenang dengan
rombongan pemuda. Ia mengetahui bahwa Tini juga akan mengikuti
rombongan itu, dan ia mempunyai harapan untuk berbicara dengan Tini,
walaupun ia juga akan bergaul dengan kawan-kawannya yang lain. Dengan
pertemuan-pertemuan seperti ini, ia dapat lebih mengenal beberapa orang
tanpa membentuk hubungan erat yang mengikat. Hubungan-hubungan pada
tahap ini masih dicurigai oleh banyak orang. Tahap ini sangat perlu

230
dikembangkan oleh pemuda-pemudi yang memerlukan kesempatan untuk
mengenal baik lebih banyak orang dari lawan jenis. Dengan demikian, mereka
dapat memilih bakal jodoh mereka dengan lebih matang. Perkembangan
tahap ini dapat juga mencegah kecenderungan untuk terlalu lekas
membentuk hubungan yang terlalu intim dengan seorang dari lawan jenis.
Tidak jarang terjadi bahwa dua orang yang masih muda jatuh cinta. Dengan
cepat mereka menjadi mesra sekali. Hubungan ini menghilangkan
kesempatan mereka untuk mengenal orang-orang lain dari lawan jenis dengan
lebih baik. Hubungan ini juga dapat menimbulkan godaan untuk mengadakan
hubungan seksual yang belum patut.
Ketiga, pacaran. Pergaulan tahap ini sepasang pemuda pemudi melakukan
suatu persetujuan bahwa mereka akan mengadakan hubungan khusus dan
akan menghentikan semua hubungan khusus dan akrab yang lain dengan
orang-orang dari lawan jenisnya. Mereka masih ingin saling mengenal dengan
lebih baik, tetapi sekarang ada unsur yang baru. Mereka masih bebas untuk
memutuskan hubungan mereka, tetapi sekarang tindakan putus itu perlu
disertai pembicaraan bersamadan keterangan bersama yang lebih dalam
daripada yang diperlukan pada tahap- tahap sebelumnya. Karena tujuan pokok
tahap ini adalah lebih mengenal pacar, mereka perlu banyak berbicara
bersama dan banyak menjalankan aktivitas- aktivitas bersama. Tahap ini perlu
makan waktu yang cukup lama sehingga mereka dapat mengetahui apakah
mereka benar-benar tepat untuk meneruskan hubungan mereka ke tahap
yang lebih dalam. Tahap pacaran ini tidak selamanya diakhiri dengan
perkawinan. Mungkin juga terjadi perpisahan apabila ternyata ada
ketidakcocokan yang hakiki. Oleh sebab itu, prinsip yang berlaku dalam
pacaran adalah tidak melangkah jauh kepada kemesraan yang membuat tidak
dapat mengendalikan diri, harus menjaga kesucian diri masing-masing dan
dapat menahan diri tidak terbuai oleh cinta berahi. Karena hubungan pacaran
jelas masih dapat putus!
Keempat, bertunangan. Berbeda dengan semua tahap sebelumnya,
pertunangan biasanya berdasar atas perjanjian resmi yang diumumkan
kepada orang-orang lain. Perjanjian ini berbunyi bahwa sepasang pemuda
pemudi akan menuju pernikahan. Tahap ini merupakan masa ujian. Mereka
memperdalam hubungan mereka dengan menguji apakah mereka tepat
menikah atau cocok membangun suatu rumah tangga. Ada persetujuan bahwa
mereka akan menikah kecuali kalau ternyata suatu alasan kuat untuk tidak
menikah. Pertunangan dapat dibatalkan, tetapi pembatalan harus disertai

231
dengan alasan-alasan yang penting yang penuh tanggung jawab. Biasanya
pertunangan akan berakhir dalam pernikahan. Bila ternyata bahwa mereka
sebaiknya tidak menikah, mereka sebaiknya berpisah sebelum pernikahan
mereka terjadi.
Kelima, pernikahan. Pada tahap ini, ada dua unsur baru. Pertama, hubungan
antara dua orang itu sekarang tidak boleh diceraikan. Menurut ajaran Kristen
mereka yang telah menikah tidak boleh dipisahkan kecuali oleh kematian.
Kedua, mereka mulai hidup bersama dan bersenggama. Unsur kedua
berhubungan erat dengan unsur pertama, karena senggama hanya tepat
kalau dilindungi oleh hubungan yang tidak dapat dihentikan. Dengan demikian,
senggama memperkuat hubungan itu. Sebaiknya, pernikahan di catatan sipil
diadakan pada waktu yang sama atau hampir sama dengan pemberkatan
pernikahan oleh gereja. Bila pemberkatan dua orang ditunda sesudah
pernikahan di catatan sipil, timbul kebingungan tentang status hubungan
mereka dalam mata orang banyak dan mungkin juga dalam pikiran mereka
sendiri.
Pada setiap tahap dalam proses ini ada derajat kesetiaan dan kemesraan yang
patut. Pada tahap-tahap pertama, hubungan tidak begitu mesra dan dapat
dibatalkan dengan aga mudah. Pada tahap-tahap terakhir hubungan menjadi
makin mesra dan makin sukar untuk dibatalkan. Dua orang perlu berusaha
supaya kemesraan dan keintiman mereka berjalan sejajar dengan kesetiaan
mereka. Kalau derajat kemesraan menjadi lebih tinggi daripada derajat
kesetiaan, banyak masalah bisa muncul. Pemuda-pemudi Kristen sering
bertanya, “Perilaku macam apa yang patut antara pemuda dan pemudi
sebelum mereka menikah? Kami tahu bahwa persetubuhan tidak baik.
Bagaimana dengan berciuman, berpeluk-pelukan dan meraba-raba?” Praktik
berciuman, berpeluk-pelukan dan meraba-raba dianggap oleh kaum muda
sebagai suatu tindakan “yang biasa,” yang “tidak perlu diganggu gugat lagi,”
yang “tidak usah dijadikan bahan cerita lagi.” Menurut Anda, benarkah
demikian?
Pertanyaan ini penting tetapi, sayang, tidak bisa dijawab dengan mudah.
Soalnya, arti perbuatan-perbuatan seperti mencium dan memeluk tidak sama
untuk semua orang. Misalnya bagi Tono mencium sekali waktu mengucapkan
“Selamat malam,” cuma sebagai tanda terima kasih, dan ia sama sekali tidak
merasa terangsang. Bagi Matius mencium dalam situasi yang sama adalah
tanda kemesraan yang sangat dalam yang sangat merangsang nafsu berahi.
Dalam masalah ini, seperti banyak masalah yan lain, Alkitab tidak memberikan

232
petunjuk-petunjuk yang menerangkan secara spesifik bagaimana kita
seharusnya berbuat. Namun ada hal-hal yang perlu kita pertimbangkan.
Misalnya, Matius 5:28 bisa dijadikan salah satu pertimbangan kita.
Ada pemuda-pemudi yang mencium, memeluk dan meraba-raba hanya
untuk mengalami sensasi tubuh. Kita perlu bertanya, “Kalau tubuhku adalah
bait Roh Kudus (1 Kor. 6:19), apakah aku patut menggunakan tubuhku dan
tubuh orang lain hanya untuk iseng-iseng?” Kemesraan seksual adalah
hubungan antara dua orang manusia. Kemesraan seksual seharusnya
menjadi tanda bahwa satu orang ingin memberikan dirinya kepada yang lain.
Kalau perbuatan-perbuatan seksual dipakai hanya untuk mencari sensasi
saja, makna hubungan antara pria dan wanita dikorbankan demi kepuasan
sementara dan dangkal.
Masalah menjadi lebih kompleks kalau dua orang sungguh-sungguh saling
mencintai. Wajarlah kalau kita ingin menyentuh orang yang kita cintai. Wajarlah
kalau kita ingin mengutarakan cinta kasih kita secara jasmani. Bila kita
sungguh- sungguh mencintai orang lain, kita menginginkan yang terbaik
baginya. Seorang wanita yang sungguh-sungguh mencintai seorang pria
tidak mau menciptakan situasi yang membuat pria itu sukar untuk membatasi
dirinya. Bila seorang pria sungguh-sungguh mengasihi seorang wanita, ia tidak
mau membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang membuat dia merasa
malu pada esok harinya. Ada tiga pertanyaan kepada diri sendiri yang dapat
menolong kita memutuskan apakah suatu perbuatan baik atau buruk
dalam hubungan kita dengan orang yang lain jenis kelaminnya. Pertama,
apakah saya berbuat demikian hanya untuk memuaskan nafsu seks saya
atau apakah perbuatan itu menyatakan hormat dan kasih saya kepada partner
saya? Kedua, dengan perbuatan demikian, apakah hubungan kita menjadi lebih
mulia atau apakah perbuatan itu merosotkan penghargaan partner saya
terhadap saya? Ketiga, sesudah perbuatan itu, apakah kita berdua akan
merasa puas dan dapat menguasai diri atau apakah perbuatan itu dapat
merangsang nafsu yang sukar untuk dikuasai dan menyebabkan perbuatan-
perbuatan yang akan kita sesali?
Pria dan wanita yang bergaul bersama perlu bersikap jujur. Misalnya, kalau kita
mempunyai banyak teman yang lain jenis kelaminnya di tahap kedua, kita
jangan berkata kepada salah satu orang, “Engkau yang satu-satunya bagiku.”
Kejujuran menjadikan hubungan kita lebih wajar dan memungkinkan dua
orang menentukan hubungan mereka tanpa kekecewaan yang berlebihan.

233
Ada empat ciri persahabatan yang baik. Pertama, persahabatan yang baik tidak
mementingkan diri sendiri. Kedua, persahabatan sejati bersifat teguh. Jika
Anda ingin sungguh-sungguh mengetahui berapa banyak sahabat yang Anda
miliki dan siapa mereka, buatlah kesalahan dan lihatlah apa yang terjadi.
Setelah Anda mengalami kesulitan, coba lihat berapa banyak sahabat Anda
yang masih setia kepada Anda. Persahabatan sejati itu teguh. Ketiga,
persahabatan sejati bersedia berkorban. Kalau Anda ingin menjadi sahabat,
Anda harus hidup dengan bersedia berkorban bagi orang yang menerima
persahabatan Anda. Keempat, persahabatan sejati bersifat menyucikan.
Ada enam prinsip pergaulan yang sesuai dengan kebenaran Alkitab. Pertama,
kemuliaan bagi Allah. Kedua, demi kebaikan manusia. Ketiga, kebaikan bagi diri
sendiri. Keempat, saling mempercayai. Kelima, saling menghargai. Keenam,
saling mengasihi. Kasih yang benar adalah kasih yang berasal dari Kristus.
Kasih yang seperti itu terlihat dari sifat tenggang rasa, tidak suka perhitungan
dengan teman, tahan diri untuk tidak selalu membicarakan diri sendiri, rela
berkorban dan suka mengalah untuk menang. Kasih yang seperti itu
mendasari pergaulan yang menjadi sahabat lebih baik daripada saudara.
Karena orang yang seperti itu rela menerima sahabatnya sebagaimana dia
adanya. Dalam keadaan bagaimanapun, pada saat kapanpun dan di mana pun
tempatnya, dia tetap menjadi “sahabat yang baik.”
Suka dan duka dalam pergaulan tentu saja ada, bahkan boleh dikatakan
banyak. Pergaulan mendatangkan banyak keuntungan. Misalnya, setelah Anda
mulai bergaul lebih dekat dengan teman-teman sekelas Anda memeroleh
keterangan bahwa dahulu mereka menganggap bahwa Anda merupakan
pribadi yang sombong, lebih senang bermain dengan teman yang sama sekali
tidak setingkat dengan Anda. Dalam pergaulan, Anda tidak boleh terlalu
acuh atau akrab sebab dalam pergaulan ada duka. Misalnya Anda telah akrab
dengan seseorang dan apabila terjadi perselisihan, bisa dibongkar semua
rahasia padahal sikap tersebut tidaklah benar bagi persahabatan.
Ada lima tahap dalam pergaulan muda-mudi. Pertama, sifatnya terbatas pada
persahabatan biasa. Kedua, persahabatan yang lebih istimewa. Ketiga,
pacaran. Keempat, bertunangan. Kelima, pernikahan.

234
Amatilah pergaulan muda-mudi yang terjadi di daerah sekitar Anda tinggal.
Setelah itu buatlah makalah dan presentasikan kepada dosen dan rekan-rekan
Anda di kelas!

235
DAFTAR ACUAN
Ariarajah, Wesley. 1989. Alkitab dan Orang-orang yang Berkepercayaan
Lain. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Barbour, Ian. 1993.Ethics in an Age ofTechnology. San Francisco: Harper.

Barbour, Ian. 1997.Religion and Science: Historical and Contemporary


Issues.San Francisco: Harper.

Barbour, Ian. 2000. When Science Meets Religion. San Francisco: Harper.

Baum, Gregory. 1975. Religion and Alienation: A Theological Reading of


Sociology. New York: Paulist Press.

Bertens, K. 2004. Sketsa-Sketsa Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Boland B.J. dan Niftrik. 1980. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK
GunungMulia. Brouwer, M.A.W. 1981. Pergaulan. Jakarta:
Gramedia.

Brownlee, Malcolm. 1986. Hai Pemuda, Pilihlah! Jakarta: BPK Gunung


Mulia.

Brownlee, Malcolm. 1993. Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan.


Jakarta: BPK GunungMulia.

Chandra, Robby I. 2006. Pendidikan Menuju Manusia Mandiri.


Bandung: Generasi Infomedia.

Cogley, John. 1968. Religion in a Secular Age: The Search for Final
Meaning. New York: Frederik A Praeger Publishers.

Darmaputera, Eka. 1987.Etika Sederhana Untuk Semua. Jakarta: BPK


Gunung Mulia.

Darmaputera, Eka. 1996. “Ekonomi dan Ekologi” dalam Banawiratma, J.B.


(eds.). 1996.Iman, Ekonomi, danEkologi. Yogyakarta: Kanisius
(hal.120-133.)

236
Darmaputera, Eka. 2011. “Bentuk dan Dimensi Kerukunan Hidup
Antarumat Beragama di Indonesia” dalam Weinata Sairin (ed.).
2011. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan
Berbangsa: Butir- butir Pemikiran. Jkarta: BPK Gunung Mulia.103-
106

Drummond, Celia Deane. 2001. Teologi & Ekologi. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. Fances, Eddy. 1993. Bertumbuh Menuju Kesempurnaan.
Yogyakarta: Yayasan ANDI.

Fletcher, Verne H. 2007.Lihatlah Sang Manusia: Suatu Pendekatan pada Etika


Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Gill, David W. 2000. Becoming Good: Building Moral


Character.DownerGrove: InterVarsity Press.

Groome, Thomas H. 1980. Christian Religious Education: Sharing Our Story and
Vision.SanFrancisco: Harper.

Gunarsa, Singgih D., dan Yulia Singgih D. Gunarsa. 1997. Psikologi untuk
Muda- Mudi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hauwerwas, Stanley. 1981. A Community of Character: Toward a Constructive


Christian Social Ethics. Notre Dame: University of Notre Dame Press.

Ismail, Andar. 1995. Selamat Panjang Umur: 33 Renungan tentang Hidup.


Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ismail, Andar. 2002. Selamat Sejahtera: 33 Renungan tentang Kedamaian.


Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ismail, Andar. 2007. Selamat Berteman: 33 Renungan tentang Hubungan.


Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Ismail, Andar. 2012. Selamat Berjuang: 33 Renungan tentang Perjuangan


Hidup.Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Kesler, Jay. 1994. “Keterbukaan: Kunci Menuju Persahabatan” dalam Kesler,


Jay (ed.) 1994. Pola Hidup Kristen. Malang: Gandum Mas (hal.975-
977).

237
Lickona, Thomas. 2004. Pendidikan Karakter.Yogyakarta: Kreasi Wacana.

McDonald, H.D. 1981.The Christian View of Man. Westchester: Crossway Book.

McGrath, Alister E. 1994.Christian Theology: An Introduction. Oxford: Blacwell


Publisher.

Ngelow, Zakaria J. 1993. “Dari Kerukunan Sampai Kritik Profetis: Fungsi


SosialAgama-agama di Indonesia Dewasa ini” dalam Sumartana
Th. (eds.). 1993. Terbit Sepucuk Taruk: Teologi Kehidupan 60
Tahun Dr. Liem Khiem Yang. Jakarta: P3M STTJ Balitbang PGI
(hal.70-84).

Niebuhr, Reinhold. 1964.The Nature and Destiny of Man. New York: Charles
Scribner’s Son.

Osborne, Cecil G. 1996. Seni Bergaul. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Pelikan, Jaroslav. 1990. The World Treasure of Modern Religious Thought.


Boston: Litle Brown and Company.

Polkinghorne, John. Belief in God in the Age of Science. New Haven: Yale
University Press.

Robun, Keely dkk. 1982. An Introduction to the Christian Faith. Oxford: Lynx.
Ryan, Kevin dan Bohlin, Karen E. 1999.Building Character in
Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. San
Francisco: Jossey- Bass.

Sairin, Weinata. 1996. Iman Kristen dan Pergumulan Kekinian. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

Selan, Ruth F. 1991. Membina Kepribadian yang Menarik. Jakarta: Yayasan


Pekabaran Injil “Immanuel.”

Singgih, E. G. 1999. “Hidup Kristiani dalam Masyarakat Keagamaan


yangBersifatMajemuk” dalam Tim Balitbang PGI (eds.). 1996.Meretas
Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum.
Jakarta: BPK Gunung Mulia (hal.100-121).

238
Singgih, E.G. 1993. “Dasar Teologis dari Pemahaman mengenai Keutuhan
Ciptaan” dalam Sumartana, Th. (eds.). 1993. Terbit Sepucuk Taruk:
Teologi Kehidupan 60 Tahun Dr. Liem Khiem Yang. Jakarta: P3M
STTJ Balitbang PGI (hal. 241-258).

Sitompul, Einar M. 2006. Gereja Menyikapi Perubahan. Jakarta: BPK Gunung


Mulia.

Smith, Huston. 2008.Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.

Sproul, R.C. 1995.Sifat Allah: Mencari dan Menemukan Allah. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.

Sreight, David. Ed. 2008.Parenting for Character: Five Experts, Five Practices.
Portland: CSEE.

Stott, John. 2005. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani.


Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.

Sumartana, Th. 1994. “Ekonomi, Ekologi dan Etika” dalam Banawiratma,


Y.B. (eds.) Merawat & BerbagiKehidupan. Yogyakarta: Kanisius
(hal.109-123).

Supardan, ed. 1991.Ilmu, Teknologi dan Etika. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Suseno, Franz Magnis. 2004. Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat


Majemuk. Jakarta: Obor.

Tu’u, Tulus. 1988. Etika dan Pendidikan Seksual. Bandung: Kalam Hidup.

Wagner, Michael F. An Historical Introduction to Moral Philosophy. New


Jersey: Prentice Hill.

Wilardjo, Liek. 2004. “Ilmu dan Agama di Perguruan Tinggi: Dipadukan atau
Diperbincangkan?” dalam Jurnal Waskita, Vol 1. No.1.

Yewangoe, A.A. 2002. Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.

239

Anda mungkin juga menyukai