Anda di halaman 1dari 31

Referat

Drug Induced Liver Injury pada Kasus Pengobatan Tuberculosis

Oleh :

Suci Wahyuni 1610070100027


Reni Apriza 1610070100028
Sandra Nabila 1610070100035
Ramadhani Nasir 1610070100069
Rahmad Ari Wibowo 1610070100059

Pembimbing :
dr. Jarmila Elmaco, M.Ked(PD)-Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RS DR. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
2020

/
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Referat
Kepaniteraan Klinik senior Ilmu Penyakit Dalam RSAM Bukit Tinggi dengan judul
“Drug Induced Liver Injury pada Kasus Pengobatan TB Milier” ini dengan sebaik-
baiknya.
Adapun tujuan dari penyusunan Referat ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik senior di RSAM Bukit Tinggi. Selain itu, penyusunan Referat ini
juga bertujuan agar penulis lebih memahami tentang DILI pada Kasus Pengobatan
TB Milier.
Dalam penulisan Referat ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terimakasih kepada dr. Jarmila Elmaco, M.Ked(PD)- Sp.PD selaku pembimbing
yang telah memberikan arahan dalam penyusunan Referat .
Kritik dan saran membangun tentu sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga Referat ini
dapat bermanfaat bagi mahasiswa kedokteran dalam memecahkan masalah tentang
Drug Induced Liver Injury pada Kasus Pengobatan TB Milier.

Bukittinggi, November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv
DAFTAR ISTILAH / SINGKATAN............................................................. v
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan.................................................................................. 2
1.2.1 Tujuan umum............................................................................... 2
1.2.2 Tujuan khusus.............................................................................. 2
1.3. Manfaat Penulisan .............................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3
2.1 Drug Induced Liver Injury (DILI)........................................................ 3
2.1.1 Definisi........................................................................................ 3
2.1.2 Epidemiologi............................................................................... 4
2.1.3 Faktor Resiko.............................................................................. 4
2.1.4 Biomarker DILI........................................................................... 6
2.1.5 Manifestasi Klinis....................................................................... 6
2.1.6 Patogenesis.................................................................................. 7
2.1.7 Indikasi Pemberian OAT............................................................. 10
2.1.8 Obat TB pada Intoksikasi............................................................ 12
2.1.9 Desintisasi OAT........................................................................... 15
2.1.10 Monitoring Fungsi Hati............................................................. 16
2.1.11 Pola Penyakit Hati Akibat Obat................................................. 17
BAB III KESIMPULAN............................................................................... 21
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 23

ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Biomarker DILI .................................................................................6
Tabel 2 Jenis dan Dosis OAT .........................................................................11
Tabel 3 Indeks Keparahan DILI......................................................................14

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambaran DILIsym ....................................................................... 3
Gambar 2 Patogenesis Drug Induced Liver Injury (DILI).............................. 8
Gambar 3 Mekanisme A-F yang menyebabkan cidera hati ........................... 9
Gambar 4 Gambaran umum untuk memprediksi DILI................................... 10
Gambar 5 Komposisi seluler dan arsitekstur hati. .......................................... 17

iv
DAFTAR ISTILAH / SINGKATAN

TB : Tuberkulosis
DILI : Drug induced liver injury
OAT : Obat anti tuberkulosis
HIV : Human immunodeficiency virus
ARV : Antiretroviral
INH : Isoniazid
AIDS : Acquired immune deficiency syndrome
SGOT : Serum glutamic oxaloacetic transaminase
SGPT : Serum glutamic pyruvic transaminase
ALT : Alanine aminotranferase
TBIL : Total bilirubin
AST : Aspartate aminotransferase
HMGB1 : High mobility group box protein 1
FL-K18 : Full length cytokeratin-18
CK-18 : Cleaved cytokeratin-18
SDH : Sorbitol dehydrogenase
Arg-1 : Arginase-1
mRNA : Messenger RiboNucleic acid
BAN : Batas atas normal
NADH : Nikotinamida adenosine dinukleotida
FADH : Flavin adenine dinukleotida hidrogen
ATP : Adenosina trifosfat
TNF : Faktor nekrosis tumor
BTA : Bakteri tahan asam
HRZES : Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol, Streptomisin
ATS : Australasian triage scale
ULN : Upper limir of normal
NAPQI : Nacetylpbenzoquinone imine
WHO : World health organization

v
CYP450 : Sistem sitokrom P450
NAT2 : N-acetyltransferase 2

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuh terhadap
terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, misalnya obat.
Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah
diekskresikan oleh ginjal, untuk itu maka system enzim pada mikrosom hati
akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentuk
metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui
urin dan empedu. Kerusakan hati akibat obat ( drugs induced liver injury)
pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan permanen tetapi dapat
berlangsung lama dan fatal.3
Drug Induced liver injury (DILI) sering terjadi dan hampir semua
kelas obat dapat menyebabkan penyakit hati. Sebagian besar kasus DILI
bersifat jinak, dan membaik setelah penghentian obat. Penting
untuk mengenali dan menghilangkan agen penyebab secepat mungkin untuk
mencegah perkembangan menjadi penyakit hati kronis dan / atau gagal hati
akut. Tidak ada faktor risiko pasti untuk DILI, tetapi penyakit hati yang
sudah ada sebelumnya dan kerentanan genetik dapat mempengaruhi individu
tertentu.1
Insiden kerusakan hati akibat obat (DILI) adalah sekitar 1/1000
hingga 1/10000 diantara pasien yang menerima dosis obat terapeutik.
Hepatotoksisitas akibat obat merupakan penyebab utama penyakit hati akut
dan kronis.Tingkat keparahan kerusakan hati berkisar dari perubahan non
spesifik dalam struktur hati hingga gagal hati akut,sirosis dan kanker hati.
Beberapa agen umum yang dapat menyebabkan kerusakan hati adalah
rifampisin, asetaminofen,antibiotik,statin,dan Isoniazid.2

Tuberculosis merupakan komplikasi dari suatu fokus infeksi


Tuberkulosis yang di sebarkan secara hematogen. Gambaran berupa bercak-

1
bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
Pemberian terapi OAT pada pasien TB dengan HIV perlu mendapat
perhatian khusus karena selain OAT sendiri dapat menimbulkan Drug
Induced liver injury, pemberian OAT dengan ARV harus dilakukan secara
benar agar tidak timbul efek samping obat pada pasien.1

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Referat ini di susun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RS. DR. ACHMAD MOCHTAR dan diharapkan agar menambah
pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan penulisan darai referat ini adalah untuk mengetahui tentang Drug
Induced Liver Injury pada Kasus TB Milier
1.3 Manfaat Penulisan
Melalui penulisan referat ini diharapkan meningkatkan pemahaman mengenai
Drug Induced Live Injury (DILI).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 Drug Induced Liver Injury (DILI)
2.1.1 Defenisi
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan hati
yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebab kan oleh karena terpajan
obat atau agen non infeksius. Gangguan fungsi hati atau DILI akibat OAT
merupakan hepatotoksisitas yang terjadi akibat konsumsi OAT, manifestasi dari
kerusakan hati ini bervariasi dari peningkatan enzim hati ringan hingga kegagalan
fungsi hati fulminant yang dapat menyebabkan kematian.4

Gambar 1. Gambaran DILIsym menunjukan interaksi kualitatif antara submodel.5

2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian DILI pada pasien yang diberikan OAT bervariasi. Insiden pada
Negara berkembang berkisar antara 8% - 39%, sedangkan pada Negara maju berkisar

3
antara 3% - 4%. Sebuah penlitian di Ethiopia selatan melaporkan bahwa sebanyak 16
dari 190 ( 8,4%) pasien TB mengalami DILI akibat OAT, sedangkan menurut
penlitian yang dilakukan oleh Govindan di Manado dilaporkan bahwa sebanyak 21
dari 51 pasien TB mengalami DILI akibat OAT, hingga saat ini data mengenai DILI
akibat penggunaan OAT di Indonesia tidak banyak, sehingga prevalensi dan
gambaran umum dari DILI akibat OAT pada pasien TB di Indonesia belum dapat di
pastikan. Estimasi insiden DILI adalah 14/100.000 pada penelitian pro spektif yang
dilakukan di prancis bagian utara yang berarti 10x lebih tinggi dari rata-rata yang di
laporkan oleh penelitian lain. Laporan terbaru mengindikasikan bahwa DILI terjadi
dalam 1/100 pasien yang di rawat di bagian penyakit dalam. DILI adalah kejadian
yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang serius. Diagnosis yang tepat dan
akurat sangat penting.1
2.1.3 Faktor Risiko6
a. Ras.
Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras.
Misalnya,orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap
toksisitas isoniazid(INH). Laju metabolisme berada dibawah kendali enzim P-
450 dan dapat bervariasi dari individu ke individu.
b. Konsumsi alkohol
Alkohol menyebabkan penipisan simpanan glutathione (hepatoprotektif) yang
membuat orang tersebut lebih rentan terhadap keracunan obat-obatan.
c. Penyakit hati
Penyakit hati yang sudah ada sebelumnya tidak dianggap membuat pasien
lebih rentan terhadap hati yang diinduksi obat cedera,tetapi mungkin
cadangan hati yang berkurang atau kemampuan untuk pulih dapat
menyebabkan konsekuensi cedera lebih buruk. Meskipun total sitokrom P-450
berkurang pada penyakit hati kronis,beberapa mungkin terpengaruh lebih dari
yang lain.
d. Faktor genetik

4
Gen unik mengkodekan setiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim
P-450 dapat terjadi reaksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi
idiosinkratik.
e. Formulasi obat
Obat kerja panjang dapat menyebabkan lebih banyak cedera daripada obat
kerja pendek.
f. Faktor host yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat, kemungkinan
menyebabkan penyakit hati :
1. Wanita - Halothane, nitrofurantoin, sulindac
2. Pria -Asam amoksisilin-klavulanat(Augmentin)
3. Usia tua - Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin- klavulanat
4. Usia muda - Salisilat, asam valproik∙Puasa atau malnutrisi-
Acetaminophen
5. Indeks massa tubuh besar / obesitas - Halothane∙Diabetes mellitus -
Methotrexate, niacin
6. Gagal ginjal - Tetrasiklin, alopurinol∙
7. AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazol∙
8. Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamide∙
9. Penyakit hati yang sudah ada sebelumnya - Niasin, tetrasiklin,
metotreksat
Berdasarkan pedoman American Thoracic Society, beberapa faktor risiko yang
diketahui menjadi prediposisi untuk terjadinya DILI, yaitu :
a. Konsumsi etanol yang lama
b. Hepatitis virus
c. Penyakit hati sebelumnya
d. Kehamilan atau 3 bulan post partum
e. Konsumsi obat hepatotoksik
f. Nilai baseline SGOT/SGPT/bilirubin yang abnormal
g. Infeksi HIV
h. Usia > 35 tahun

5
2.1.4 Biomarker DILI
Tabel 1. Biomarker DILIsym dengan kategori cedera yang sesuai dengan kategori penanda.5

Marker Category
Alanine aminotransferase (ALT) Necrosis
Total bilirubin (TBIL) Fucngtion/cholestasis
Aspartate aminotransferase (AST) Necrosis
Prothrombin time Fungtion
High mobility group box protein 1 Necrosis/apoptosis
Full length cytokeratin-18 (FL-K18) Necrosis
Cleaved cytokeratin 18 (Ck-18) Apoptosis
Sorbitol dehydrogenase (SDH) Necrosis
Arginase 1 (Arg-1) Necrosis
Liver derived Mrna and miRNA Necrosis

2.1.5 Manifestasi Klinis


Gangguan fungsi hati atau DILI akibat OAT merupakan hepatotoksisitas
yang terjadi akibat konsumsi OAT. Manifestasi dari kerusakan hati ini bervariasi dari
peningkatan enzim hati ringan hingga kegagalan fungsi hati fulminan yang dapat
menyebabkan kematian. Kriteria definisi DILI akibat OAT sesuai dengan American
Thoracic Society adalah 2
(i) peningkatan alanin aminotransferase (ALT) atau aspartate
aminotransferase
(AST) ≥ 5x Batas Atas Normal (BAN) tanpa disertai gejala atau
(ii) peningkatan ALT atau AST ≥ 3x BAN disertai dengan gejala (mual,
muntah,
nyeri perut kanan atas, anoreksia) atau disertai adanya gejala ikterik.5

2.1.6 Patogenesis Drug Induced Liver Injury (DILI) 7,8

6
Patogenesis dari drug-induced Liver Injury dapat terjadi melalui 3 fase. Pada
fase pertama, komponen obat atau metabolit reaktifnya akan menimbulkan
kerusakan awal melalui 3 cara:
1. Toksisitas dari metabolit obat akan memicu stress pada sel dan mengaktifkan
protein pro-apoptosis yang akan merusak permeabilitas membran
mitokondria.
2. Metabolit obat akan merusak mitokondria melalui penginhibisian proses beta
oksidasi, yaitu proses katabolik dimana asam lemak diubah menjadi asetil
KoA, NADH, dan FADH2. Hal ini akan menimbulkan penumpukan lipid
dalam sel yang menghambat fungsi respirasi sel dan menurunkan produksi
ATP.
3. Metabolit obat berikatan dengan protein karier dan membentuk hapten yang
immunogenic atau berikatan langsung dengan reseptor imun sel T dan
menimbulkan reaksi imun yang dimediasi sel T. Reaksi imun ini juga akan
mengaktifkan death-inducing signalling complex, kompleks protein yang akan
menginisiasi terjadinya apoptosis, dengan cara meningkatkan sensitivitas dari
TNF-alfa sebagai pemicunya.
Pada fase kedua, kerusakan dari mitokondria akan meningkatkan permeabilitas
membran mitokondria yang menyebabkan molekul-molekul kecil masuk ke
mitokondria, mengubah osmolaritas, dan membuat mitokondria membengkak.
Pembengkakan ini menyebabkan ruptur pada membran dan keluarnya protein
sitokrom C dari mitokondria.
Fase ketiga yaitu kematian sel hepatosit akibat apoptosis atau nekrosis.
Apoptosis terjadi apabila masih ada produksi ATP di mitokondria. Sitokrom C yang
keluar dari mitokondria akan menggunakan sisa ATP untuk menginisiasi kaskade
apoptosis. Bila tidak ada lagi sisa ATP di mitokondria, sel akan mengalami nekrosis
melalui proses autolysis

7
Gambar 2. Patogenesis Drug Induced Liver Injury (DILI) 6,7

8
Gambar 3. Mekanisme A-F yang menyebabkan cidera hati mode tindakan yang
dijelaskan mengacu pada gangguan homeostasis kalsium intraseluler, kolestasis,
penghambatan pompa transportasi, aktivasi metabolik. Sistem sitokrom P-450 yang
menghandung heme, ikatan kovalen obat dengan enzim, respon imun, aktivasi jalur
apoptosis, penghambatan fungsi mitokondria, dan pembentukan spesies oksigen
reaktif.9

9
Gambar 4. Gambaran umum dari beberapa model invitro yang tersedia untuk
memprediksi DILI pada manusia9

2.1.7 Indikasi pemberian OAT10


Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu di
awasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat sebagian
besar penderita TB BTA+ menjadi BTA- dalam 2 bulan.
2. Tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam
jangka waktu yang lebih lama, tahap ini penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Panduan OAT dalam
program nasional penanggulangan TB :
 Kategori 1 (2HRZE/4H3R3).
2 bulan obat Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid , Etambutol dan 4
bulan Isoniazid dan Rifampisin 3 kali seminggu (2HRZE/4H3R3).
Obat ini diberikan untuk :
a. Penderita baru TB Paru BTA+
b. Penderita baru TB Paru BTA- rontgen positif

10
c. Penderita TB ekstra Paru kasus baru
 Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan
dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE selama
setiap hari setelah itu di teruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan
dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu lama pengobatan
8 bulan obat ini diberikan untuk penderita TB Paru BTA+ yang
sebeulumnya pernah diobati yaitu :
a. Penderita kambuh/relaps
b. Penderita gagal (failure)
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai after di fault
 OAT sisipan HRZE
bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru bta+ dengan
kategori 1 atau penderita bta+ pengobatan ulang dengan kategori 2,
hasil pemeriksaan dahak masih bta+ diberikan obat sisipan hrze setiap
hari selama 1 bulan paduan oat sisipan untuk penderita dengan bb
antara 33-50 kg 1 tablet isoniazide 300 mg 1 kaplet rifampisin 450 mg,
3 tab pirazinamide 500 mg, 3 tab etambutol 250 mg, 1 paket obat
sisipan berisi 30 blister hrze yang dikemas dalam satu dosis kecil

Tabel 2. Jenis dan dosis OAT10


Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg)/BB(kg)
(mg/kgBB Harian (Mg/ Intermitte maksimal <40 40- >60
/hari) kgBB/hari) (mg/kgBB/kali) (mg) 60
R 8 - 12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20 - 30 25 35   750 1000 1500
E 15 - 20 15 30   750 1000 1500
S 15 - 18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB

11
2.1.8 Obat TB pada Intoksikasi11,12
Sebagian besar pasien TB menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping,
namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan dalam pengobatan.
1. Isoniazid (INH)
Toksisitas langsung : hepatitis yang terinduksi isoniazide merupakan efek
toksik utama yang paling sering terjadi, hal ini berbeda dengan sedikit
peningkatan pada aminotransferase hati, yang tidak membutuhkan
penghentian obat dan dijumpai pada 10% - 20% pasien yang biasanya
asimtomatis. Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu makan, mual,
muntah, icterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada 1% resipien
isoniazide dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak segera dihentikan.
Secara histologis terjadi kerusakan nekrosis hepatoselular, resiko hepatitis
bergantung pada usia dan jarang terjadi pada usia <20 tahun resiko hepatitis
lebih besar pada pecandu alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta
pada pasca kehamilan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazide menjadi
kontraindikasi bagi kelanjutan pemberian obat isoniazide.
2. Rifampisin
Rifampisin dapat menimbulkan icterus kolestatik dan hepatitis. Efek samping
ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatik
adalah :
a. sindrom perut berupa sakit perut, mual, muntah, tidak nafsu makan,
dan diare
b. hepatitis imbas obat atau ikterik bila terjadi hal tersebut OAT harus di
stop dan penatalaksanaan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan
khusus
c. bisa purpura, anemia hemolitik akut, syok dan gagal ginjal bila itu
terjadi rifampisisn harus segera di hentikan dan janagn diberikan
walaupun gejala sudah menghilang.

12
3. Pirazinamid
Efek samping utama meliputi hepatotoksisitas (pada 1%-5% penderita)
a. General
Demam, porphiri, dysuria, dan hiperurisemia di alami oleh semua
penggunanya dan tidak menjadi alasan pengehntian terapi. Hiperurisemia
dapat mencetuskan artritis pirai akut.
b. Gastrointestinal
Efek samping utama adalah reaksi hati, hepatotoksisitas tampaknya
berhubungan dengan dosis dan dapat muncul kapan saja selama terapi.
c. Hematologi dan limfatik
4. Etambutol
Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan
asimtomatik dari liver function test terjadi pada 10% pasien, biasanya tanpa
perubahan dari bilirubin tadi peningkatan ini menghilang secara spontan
ketika pemberian obat di hentikan.
5. Streptomisin
Secara umum streptomisin bersifat ototoksik dan nefrototoksik lebih sering
dijumpai jika terapi diberikan lebih dari 5 hari pada dosis yang lebih tinggi.
Regimen OAT untuk pasien TB dengan DILI dan pemberian OAT yang tidak
bisa di tunda setelah desintisasi adalah sebagai berikut:
1. Regimen dengan 2 OAT hepatotoksik
a. 9 bulan INH, rifampisin, dan etambutol (9RHE)
b. 2 bulan INH, rifampisin, etambutol, dan streptomisin, dilanjutkan 6 bulan
INH dan rifampisin (2 HRES/6 HR)
c. 6-9 bulan rifampisin, pirazinamide, dan etambutol (6-9 RZE)
2. Regimen dengan 1 OAT hepatotoksik
a. 2 bulan INH, etambutol dan streptomisin, dilanjutkan 10 bulan INH dan
etambutol (2HES/10HE).
3. Regimen tanpa OAT hepatotoksik

13
a. 18-24 bulan etambutol, fluorokuinolon, sikloserin dan kapreomisin atau
aminoglikosida.
DILI merupakan kelainan pada kinerja dan fungsi hati disebabkan penggunaan
obat hepatotoksik, misalnya OAT. DILI akibat OAT biasanya terjadi sekitar 20 hari
setelah memulai terapi OAT dan berlangsung selama kurang lebih 14 hari. Spektrum
DILI pada TB bervariasi, mulai dari asimtomatik pada 2,3%–28% kasus hingga gagal
hati akut. Gejala yang ditemukan adalah jaundice, nyeri perut, mual, muntah, dan
anoreksia. Tingkat hepatotoksisitas karena obat dibagi menjadi berdasarkan kriteria
WHO, yaitu sebagai berikut:
a. Derajat 1 (ringan): peningkatan SGPT 2,5 kali batas atas normal (51–125 U/L)
b. Derajat 2 (ringan): peningkatan SGPT 2,5 sampai 5 kali batas atas normal (126-
250 U/L)
c. Derajat 3 (sedang): peningkatan SGPT 5 sampai 10 kali batas atas normal (251-
500 U/L)
d. Derajat 4 (berat): peningkatan SGPT 10 kali batas atas normal (500 U/L)
Berdasarkan pedoman ATS, beberapa faktor risiko yang diketahui menjadi
predisposisi untuk terjadinya DIH akibat OAT yaitu konsumsi etanol yang lama,
hepatitis virus, penyakit hati sebelumnya, kehamilan atau 3 bulan post partum,
konsumsi obat hepatotoksik, nilai baseline SGOT/SGPT/bilirubin yang abnormal,
infeksi HIV, dan usia 35 tahun.
Tabel 3. Indeks keparahan DILI13

Skor Grade Definisi


Mengalami peningkatan ALT dan atau
1 Ringan kadar fosfatase alkali tapi total serum
bilirubin <2,5 mg/dl dan INR <1,5
Mengalami peningkatan ALT dan atau
2 Sedang kadar fosfatase alkali dan bilirubin serum
≥ 2,5 mg/dl atau INR ≥1,5
3 Sedang-berat Mengalami peningkatan ALT, alkali
fosfatase, bilirubin dan atau kadar INR dan

14
pasien dirawat di rumah sakit atau sedng
berlangsung rawat inap berkepanjangan
karena DILI
Pasien parah mengalami peningkatan ALT
dan atau tingkat fosfatase alkali dan total
serum bilirubin adalah ≥ 2,5 mg/dl dan
setidaknya ada 1 berikut ini :
 Penyakit kuning
4 Berat berkepanjangan dan gejala-
gejala lainnya 3 bulan
 Gagal hati (INR≥1.5, asites
atau ensepalopati)
 Kegagalan organ lain yang
diyakini karena DILI
Penderita fatal meninggal dunia atau
5 Fatal menjalani transplantasu hati karena
kejadian DILI

2.1.9 Desintisasi OAT14


Desensitisasi obat adalah induksi sementara keadaan toleransi terhadap obat.
Desensitisasi obat dapat melibatkan mekanisme imunologik yang diperantarai IgE,
mekanisme imunologik non-IgE, mekanisme farmakologis, dan mekanisme yang
tidak terdefinisi. Desensitisasi obat merupakan bagian dari induksi toleransi obat,
dimana sel efektor menjadi kurang atau tidak responsif terhadap respons imun yang
diperantarai IgE. Berdasarkan literatur, hasil desensitisasi obat akan lebih baik pada
individu yang mengalami reaksi hipersensitivitas dalam waktu 24 jam setelah minum
obat.
Gangguan fungsi hati pertama kali harus diatasi agar pengobatan OAT dapat
dimulai kembali. Apabila muncul kembali gejala gangguan fungsi hati dan adanya
abnormal pada hasil pemeriksaan, maka pemberian OAT terakhir harus dihentikan.

15
Setelah dilakukan pemeriksaan ALT/SGPT dan hasil ALT kurang dari 2 kali
ULN (upper limit of normal), rifampisin dapat diberikan kembali dengan atau tanpa
etambutol. Setelah pemberian 3-7 hari , isozianid dapat diberikan kembali kemudian
periksa ulang ALT. jika gejala berulang atau ALT meningkat , obat terakhir yang
ditambahkan harus dihentikan. Bagi yang telah mengalami hepatotoksisitas yang
berkepanjangan atau parah tetapi mentolerir reintroduksi dengan rifampisin dan
isozianid, jika ditambah dengan pirazinamid akan dapat berbahaya. Dalam keadaan
ini pirazinamid dapat dihentikan secara permanen, dengan pengobatan diperpanjang
hingga 9 bulan. Meskipun pirazinamid dapat diberikan kembali dalam beberapa kasus
hepatotoksisitas yang lebih ringan , manfaat dari pengobatan yang lebih singkat
kemungkinan tidak lebih besar dari pada risiko hepatotoksisitas berat dari pemberian
ulang pirazinamid.
Pada kasus ini dilakukan desensitisasi rifampisin mulai dengan dosis 150 mg
pada hari pertama, 300 mg pada hari kedua, dan 450 mg pada hari ketiga. Kemudian
dilanjutkan desensitisasi INH dimulai dengan dosis 100 mg pada hari pertama, 200
mg pada hari kedua, dan 300 mg pada hari ketiga dengan evaluasi fungsi hati dalam
batas normal, sehingga pasien mendapatkan regimen rifampisin, INH, dan etambutol
yang diberikan selama 9 bulan.
Diperlukan suatu pendekatan untuk deteksi dini liver injury pada kasus TB.
Berdasarkan pedoman dari WHO, apabila ditemukan baseline enzim liver yang tinggi
serta faktor risiko untuk terjadinya DILI pada pasien TB, maka pemeriksaan enzim
liver harus dilakukan tiap 2 minggu sekali dalam 2-3 bulan awal pengobatan.

2.1.10 Monitoring Fungsi Hati15


Pemeriksaan fungsi hati diindikasikan untuk penapisan atau deteksi adanya
kelainan atau penyakit hati, membantu menegakkan diagnosis, memperkirakan
beratnya penyakit, membantu mencari etiologi suatu penyakit menilai hasil
pengobatan dan membantu mengarahkan upaya diagnostik selanjutnya serta menilai
prognosis penyakit atau disfungsi hati. Uji fungsi hati dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

16
a. Mengukur aktivitas enzim yaitu enzim transaminase dan alkaline phosphatase.
Pengukuran aktifitas enzim hepatoseluler seperti SGPT dan SGOT digunakan
untuk menilai integritas sel hati.
b. Penilaian fungsi hati yang di periksa adalah fungsi sintesis hati yaitu albumin,
globulin, elektroforesis protein, protrombin time, dan cholinesterase, fungsi
ekresi diukur kadar bilirubin dan asam empedu dan uji detoksifikasi dapat
digunakan pemeriksaan ammonia serum.
c. Mencari etiologi penyakit digunakan penanda hepatitis autoimun, keganasan
sel hati atau penanda hepatitis virus.
Transaminase serum AST dan ALT adalah transaminase yang paling umum
digunakan dalam pengaturan klinis. SanaSering kali tidak ada aturan yang ditetapkan
untuk obat tertentu. Konsentrasi enzim ini harus diperoleh kira-kira setiap 4 minggu ,
tergantung pada karakteristik reaksi yang dilaporkan. Methotrexate harus dipantau
setiap 4 minggu, karena toksisitas biasanya berkembang selama beberapa minggu
sampai bulan.

2.1.11 Pola Penyakit Hati Akibat Obat

Gambar 5. Komposisi seluler dan arsitekstur hati. Hepatosit memiliki dua sisi
basolateral yang menghadap pembuluh darah sinusoidal. Sisi apical terdiri dari

17
invaginasi membrane plasma yang berdekatan hepatosit. Invaginasi ini membentuk
kanalikuli empedu yang saling berhubungan erat.9

1. Cedera hepatoseluler6
Cedera hepatoseluler ditandai dengan peningkatan yang signifikan pada
aminotransferase dalam serum yang biasanya mendahului peningkatan kadar bilirubin
total dan kadar fosfatase basa. Acarbose, allopurinol, fluoxetine, dan losartan mampu
menyebabkan cedera hepatoseluler. Cedera hepatoseluler dapat dibagi lagi menjadi
pola histologis spesifik dan gambaran klinis. Nekrosis sentrolobular, steatohepatitis
(steatonekrosis), fosfolipidosis, dan nekrosis hepatoseluler umum.

2. Nekrosis Centrolobular Nekrosis


Centrolobular seringkali merupakan reaksi yang berhubungan dengan dosis dan
dapat diprediksi sebagai reaksi sekunder terhadap obat-obatan seperti acetaminophen;
namun, hal ini juga dapat dikaitkan dengan reaksi idiosinkratik, seperti yang
disebabkan oleh anestesi halotan. Juga disebut hepatotoksisitas langsung atau terkait
metabolit, nekrosis sentrolobular biasanya merupakan hasil produksi metabolit toksik.
Kerusakan menyebar ke luar dari tengah lobus hati. Reaksi obat ringan, yang
melibatkan hanya sejumlah kecil jaringan hati parenkim, dapat dideteksi sebagai
peningkatan asimtomatik dalam serum aminotransferase. Bentuk yang lebih parah
dari nekrosis sentrolobular disertai dengan mual, muntah, nyeri perut bagian atas, dan
penyakit kuning. reaksi ini dapat diprediksi, seringkali efek terkait dosis di hati yang
disebabkan oleh agen tertentu. Ketika diambil dalam overdosis, acetaminophen
menjadi bioaktivasi menjadi zat antara beracun yang dikenal sebagai Nacetylp-
benzoquinone imine (NAPQI).
3. Steatohepatitis
Steatohepatitis (juga dikenal sebagai steatonekrosis) adalah jenis khusus nekrosis
akut yang diakibatkan oleh penumpukan asam lemak dalam hepatosit. Obat atau
metabolitnya yang menyebabkan steatonekrosis melakukannya dengan
mempengaruhi lemak-oksidasi asam dalam mitokondria hepatosit. Vesikula hati

18
menjadi membengkak dengan asam lemak, akhirnya mengganggu homeostasis
hepatosit. Alkohol adalah obat yang paling sering menyebabkan perubahan
steatonekrotik di hati. Ketika alkohol diubah menjadi asetaldehida, sintesis asam
lemak meningkat. Ketika hepatosit telah membengkak seluruhnya dengan lemak
mikrovesikuler, ia sering pecah, tumpah ke dalam darah. Jika cukup banyak hepatosit
yang pecah, respons inflamasi dimulai.
4. Fosfolipidosis
Fosfolipidosis adalah akumulasi fosfolipid, bukan asam lemak. Fosfolipid
biasanya membengkak tubuh lisosom hepatosit. Amiodarone dikaitkan dengan reaksi
ini. Pasien yang diobati dengan amiodarone yang mengembangkan penyakit hati yang
nyata cenderung menerima dosis obat yang lebih tinggi. Pasien-pasien ini juga
memiliki rasio amiodarone-to-N-desethyl-amiodarone yang lebih tinggi,
menunjukkan akumulasi senyawa induk yang lebih besar. Amiod aroneand metabolit
utamanya N-desethyl-amiodarone tetap berada di hati semua pasien selama beberapa
bulan setelah terapi dihentikan. Sistem sitokrom P450 (CYP450) cenderung
memetabolisme substrat lipofilik yang secara aktif dipompa ke dalam hepatosit oleh
anion organik (atau kation) yang mengangkut protein. Subspesies CYP450 2C, 2D,
3A, dan 4A diatur oleh reseptor xenobiotik yang sangat terinduksi pada DNA
komplementer. Reseptor ditemukan di hati, dan pada tingkat yang lebih rendah di sel-
sel yang melapisi saluran usus, dan bertanggung jawab atas katabolisme kolesterol
dan homeostasis asam empedu. Aktivitas reseptor ini juga tunduk pada polimorfisme
genetik.
5. Sirosis Toksik
Efek jaringan parut dari hepatitis di hati menyebabkan perkembangan sirosis.
Beberapa obat cenderung menyebabkan kasus hepatitis yang ringan sehingga
mungkin tidak terdeteksi. Pasien akhirnya datang bukan dengan hepatitis, tetapi
dengan sirosis. Methotrexate menyebabkan fibrosis periportal pada kebanyakan
pasien yang mengalami hepatotoksisitas. Hasil lesi dari aksi metabolit yang
dibioaktivasi yang dihasilkan oleh CYP450.30 proses ini terjadi paling sering pada
pasien yang dirawat untuk psoriasis dan arthritis.

19
6. Cedera
Pola kedua dari kerusakan hati adalah cedera yang terutama melibatkan sistem
saluran empedu dan dikenal sebagai cedera kolestatik. Pada penyakit kolestatik,
gangguan pada filamen aktin subselular di sekitar kanalikuli mencegah pergerakan
empedu melalui sistem kanalikuli. Ketidakmampuan hati untuk membuang empedu
menyebabkan akumulasi asam empedu beracun dan produk ekskresi intrahepatic.
Kolestasis yang diinduksi obat dapat terjadi sebagai gangguan akut (misalnya,
kolestasis dengan atau tanpa hepatitis dan kolestasis dengan cedera saluran empedu)
atau sebagai gangguan kronis (misalnya, sindrom saluran empedu menghilang,
kolangitis sklerosis, dan kolelitiasis). Namun, bentuk kolestasis yang diinduksi obat
yang paling umum adalah kolestasis dengan hepatitis.
7. Campuran
Cedera hepatoseluler dan kolestatik pada beberapa pasien, cedera dapat dimulai
sebagai hepatoseluler (atau kolestatik) dan menyebar begitu cepat sehingga pada saat
pasien datang untuk diagnosis dan pengobatan, semua area hati terpengaruh. Pada
pasien lain, mekanisme kerusakan yang mendasari adalah sel terluka terlepas dari
lokasi anatomis atau peran metabolik utama.
8. Gangguan Vaskular Hati
Lesi fokal pada venula hepatik, sinusoid, dan vena porta terjadi dengan berbagai
obat. Obat yang paling seringdikaitkan adalah agen sitotoksik yang digunakan untuk
mengobati kanker, alkaloid pyrrolizidine, dan hormon seks.

BAB III
KESIMPULAN

20
3.1 Kesimpulan
Kerusakan hati akibata (drug induced liver injury) adalah kerusakan hati yang
berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpanjan obat
atau agen noninfeksiun lainnya. Kerusakan hati akibat obat ini paling banyak
menyebabkan kerusakan pada hati terutama obat TB.
Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat sangat bervariasi
mulai dari peningkatan enzim-enzim hati yang tanpa gejala sampai terjadinya gagal
hati.
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien dengan penyakit hati, riwayat pemakaian obat
dan faktor risiko harus diperhatikan dengan seksama. Terapi efek hepatotoksik obat
terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai dapat menyebabkan drug
induced liver injury.
Kerusakan hati akibata (drug induced liver injury) adalah kerusakan hati yang
berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpanjan obat
atau agen noninfeksiun lainnya. Kerusakan hati akibat obat ini paling banyak
menyebabkan kerusakan pada hati terutama obat TB.
Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat sangat bervariasi
mulai dari peningkatan enzim-enzim hati yang tanpa gejala sampai terjadinya gagal
hati. Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien dengan penyakit hati, riwayat pemakaian obat
dan faktor risiko harus diperhatikan dengan seksama. Terapi efek hepatotoksik obat
terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai dapat menyebabkan drug
induced liver injury.
DILI akibat OAT biasanya terjadi sekitar 20 hari setelah memulai terapi OAT
dan berlangsung selama kurang lebih 14 hari. Spektrum DILI pada TB bervariasi,
mulai dari asimtomatik pada 2,3%–28% kasus hingga gagal hati akut. OAT dapat
dihentikan jika terdapat kriteria DILI menurut American thoracic Sosiety yaitu
peningkatan alanin aminotransferase (ALT) atau aspartate aminotransferase (AST)

21
≥ 5x Batas Atas Normal (BAN) tanpa disertai gejala atau peningkatan ALT atau
AST ≥ 3x BAN disertai dengan gejala (mual, muntah, nyeri perut kanan atas,
anoreksia) atau disertai adanya gejala ikterik
OAT dapat dilanjutkan jika gejala ikterik atau gejala lainnya telah
menghilang, kemudian dilakukan desintisasi OAT dimulai dengan pemberian
rifampisin mulai dengan dosis 150 mg pada hari pertama, 300 mg pada hari kedua,
dan 450 mg pada hari ketiga. Kemudian dilanjutkan desensitisasi INH dimulai
dengan dosis 100 mg pada hari pertama, 200 mg pada hari kedua, dan 300 mg pada
hari ketiga dengan evaluasi fungsi hati dalam batas normal, sehingga pasien
mendapatkan regimen rifampisin, INH, dan etambutol yang diberikan selama 9 bulan.
Berdasarkan pedoman dari WHO, apabila ditemukan baseline enzim liver
yang tinggi serta faktor risiko untuk terjadinya DILI pada pasien TB, maka
pemeriksaan enzim liver harus dilakukan tiap 2 minggu sekali dalam 2-3 bulan awal
pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

22
1. Multisite, D. I. H. pada T. P. dengan, & Ekstraparu, T. (2019). JURNAL
RESPIRASI, 5.

2. Pranata, J. R., Mariadi, I. K., Somayana, G., & Studi, P. (2019). Prevalensi
dan Gambaran Umum Drug-Induced Liver Injury Akibat Obat Anti
Tuberkulosis pada Pasien Tuberkulosis di RSUP Sanglah Denpasar Periode
Agustus 2016 – Juli 2017 Penanganan TB di Indonesia ini obatnya adalah
Drug Induced Liver akibat OAT sesuai deng. Jurnal Medika Udayana, 9(9).

3. Setiabudy R. Hepatitis karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1979; 15:8-12

4. Saukkonen, J. J., Cohn, D. L., Jasmer, R. M., Schenker, S., Jereb, J. A.,
Nolan, C. M.,Sterling, T. R. (2006). An official ATS statement:
Hepatotoxicity of antituberculosis therapy. American Journal of Respiratory
and Critical Care Medicine, 174(8), 935–952.
https://doi.org/10.1164/rccm.200510-1666ST

5. Christina Battista, Brett A. Howell, Scott Q. Siler, and P. B. W. (2018). An


Introduction to DILIsym® Software, a Mechanistic Mathematical
Representation of Drug-Induced Liver Injury (U. Minjun Chen Division of
Bioinformatics and Biostatistics National Center for Toxicological Research
U.S. Food and Drug Administration Jefferson, AR & U. Yvonne Will Drug
Safety Research and Development Pfizer Inc. Groton, CT, eds.).

6. Pal, A., Kumar Chinnaiyan, S., Mallik, A., & Bhattacharjee, C. (2019). ):
e5209. Averrhoa carambola Linn. International Journal of Pharmacological
Research, 09(05). https://doi.org/10.7439/ijpr

7. Russmann et. al. current concept of mechanism in drugs induced


hepatotoxicity. Current. Medicinal .chemistry, 2009,16,3041-3053

8. Russman S.; Jetter A; Kullak-Ublick G.A.;Pharmacogenetics of Drug


Induced Liver Injury. Hepatology. Vol.52, No.2,2010

9. Nicolas, F. A. A. and J.-M. (2018). Prediction of Human Liver Toxicity Using


In Vitro Assays: Limitations and Opportunities (U. Minjun Chen Division of
Bioinformatics and Biostatistics National Center for Toxicological Research
U.S. Food and Drug Administration Jefferson, AR & U. Yvonne Will Drug
Safety Research and Development Pfizer Inc. Groton, CT, eds.).
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/978-1-4939-7677-5
10. An, H. R., & Wu, X. Q. (2010). Antituberculosis drugs and hepatotoxicity.
Chinese Journal of Antibiotics, 35(10), 727–733.
https://doi.org/10.1164/ajrccm.175.8.858a

23
11. Dahlan, Z 1997. Diagnosis dan Penatalaksaan Tuberkulosis. Cermin Dunia
Kedokteran, No. 115. Jakarta. Hal 8-12

12. RYC chan, et. al, 2006 occular toxicity of etambutol: riview article.
Hongkong. Medical Journal. Vol 12. No 1. Februari 2006.

13. Muñoz, M. I. A. and M. A. (2018). Perspectives on the Regulatory and


Clinical Science of Drug-Induced Liver Injury (DILI) (U. Minjun Chen
Division of Bioinformatics and Biostatistics National Center for Toxicological
Research U.S. Food and Drug Administration Jefferson, AR & U. Yvonne
Will Drug Safety Research and Development Pfizer Inc. Groton, CT, eds.).
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/978-1-4939-7677-5

14. Soeroto, A. Y. (2016). Tatalaksana Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus.


http://www.papdi.or.id/pdfs

15. Suryaatmadja M. pemeriksaan laboratorium uji fungsi hati. Buletin


ABC.2009;11:2-8.

24

Anda mungkin juga menyukai