YULIASIH
2020
PERKEMBANGAN PATOGENESIS
DAN TATA LAKSANA SYSTEMIC
LUPUS ERYTHEMATOSUS
YULIASIH
2020
2
Dilarang keras
Memproduksi atau memperbanyak seluruh atau sebagian
dari buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penulis dan
penerbit
Penulis
Yuliasih
Penerbit
ISBN ………
Cetakan 2020
3
PRAKATA
Alhamdulillah penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas selesainya
penyusunan buku referensi ini. Buku ini disusun untuk para klinisi dan para peneliti yang
ingin memperluas pengetahuan tentang “Perkembangan Patogenesis dan Tata Laksana
Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”. SLE merupakan penyakit autoimun yang banyak
dijumpai di bidang Ilmu Penyakit Dalam khususnya bidang Reumatologi. Penyakit ini di
klinik masih menjadi tantangan tersendiri dalam hal menegakkan diagnosis dan pelaksanaan
terapi. Diagnosis menjadi masalah besar di klinik karena manifestasinya yang luas
menyerupai penyakit sistemik yang lain. Keterlambatan diagnosis dapat mempersulit
perawatan dan dapat mengakibatkan kematian. Penulis mencoba mengurai dalam buku ini
tentang patogenesis, manifestasi klinik dan contoh-contoh kasus yang berat yang telah
dianalisis, serta pengobatan yang harus dilakukan.
Dalam buku ini dijelaskan tentang patogenesis SLE yang terkait dengan faktor
genetik. Seberapa besar faktor genetik memengaruhi respons imun. Diketahui bahwa respons
imun yang terjadi pada SLE tidak disebabkan oleh satu gen namun banyak gen yang terlibat
di dalam patogenesis, sehingga masih banyak peluang bagi para peneliti dalam mengungkap
misteri gen-gen yang kemungkinan memiliki korelasi dalam menimbulkan respons imun
yang tidak terkendali. Selain peran gen, peneliti juga mengungkap peran sel-sel imun
terutama sel T dalam mencetuskan inflamasi sistemik yang ditangkap oleh klinisi sebagai
gejala klinik. Sel T yang aktif mensekresi berbagai sitokin yang berperan dalam memicu
manifestasi klinik dan terkait dengan aktivitas penyakit. Untuk menilai aktivitas penyakit
klinisi tidak hanya berpedoman pada gejala klinis namun juga dievalusi peranan komplemen
dalam menilai aktivitas penyakit. Berpedoman dengan tata laksana yang benar maka akan
menurunkan angka kematian SLE yang menurut penulis sangat penting mengingat angka
kematian SLE di RSUD Dr. Soetomo masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara-
negara yang sudah cukup maju dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
mendukung, dan memberikan masukan dan pendapat sehingga buku ini dapat diterbitkan.
Kepada Prof. Dr. Soetojo dr., Sp.U(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga atas dukungan Beliau dalam memfasilitasi pelatihan penulisan buku; Dr. Soebagijo
Adi S, dr, Sp.PD,K-EMD selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; Prof. Dr. H. Joewono Soeroso, dr, MSc, Sp.PD,K-R
4
selaku Ketua Divisi Reumatologi; Prof. Dr. Widji Soeratri, DEA., Apt., atas koreksi dan
masukan yang diberikan sebagai penyempurnaan buku ini. Tidak lupa juga Penulis ucapkan
terima kasih kepada sejawat Staf Divisi Reumatologi: Awalia, dr, Sp.PD, K-R; Lita Diah
Rahmawati, dr, Sp.PD, K-R; Cahyo Wibisono N, dr, Sp.PD.
Penulisan buku ini tidak menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan dalam
mengungkap bab demi bab mengingat penyakit SLE sedemikian luasnya dan pesatnya
perkembangan penelitian. Harapan penulis buku ini dapat bermanfaat dan memberikan
informasi bagi para pembaca tentang penyakit SLE.
Penulis
5
DAFTAR ISI
Prakata
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Singkatan
DAFTAR TABEL
Tabel 3.4 Gilliam Classification of Skin Lesions Associated with Lupus ......
Tabel 3.5 Dosis obat pada Fenomena Raynaud .............................................
Tabel 3.6 Klasifikasi Lupus Nefritis oleh International Society of
Nephrology/Renal Pathology Society (ISN/RPS) ..........................
Tabel 3.7 Manifestasi Pleuropulmonal pada SLE ..........................................
Tabel 4.1 The American College of Rheumatology criteria for
the diagnosis of lupus (revised 1997) .............................................
Tabel 4.2 Autoantibodi pada SLE dan Karakteristik Klinis yang Terkait .....
Tabel 5.1 Rekomendasi Pemberian Obat untuk SLE .....................................
Tabel 5.2 Indikasi Terapi Imunosupresi pada SLE ........................................
Tabel 5.3 Protokol Pemberian dan Pengawasan Siklofosfamid oleh
National Institutes of Health ...........................................................
Tabel 6.1 Klasifikasi Keparahan Lupus Nefritis ............................................
Tabel 6.2 Tata Laksana Lupus Nefritis ..........................................................
Tabel 6.3 Manajemen Gangguan Hematologi pada SLE ...............................
8
DAFTAR GAMBAR
RANGKUMAN
BAB 1
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit sistemik dengan gambaran klinis yang
sangat luas dengan penyebab multifaktor antara lain genetik, lingkungan, dan hormonal. SLE
merupakan penyakit autoimun non organ spesifik. Seringkali disebut dengan penyakit seribu
wajah karena manifestasinya sangat luas dan merupakan penyakit yang fatal. Manifestasinya
dapat ringan hanya mengenai kulit atau sendi dan manifestasi berat yang mengancam jiwa
misalnya neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE), lupus nefritis,
pneumonitis, karditis, dan organ lainnya. Pada umumnya banyak dijumpai pada wanita muda
dengan aktivitas hormonal yang masih tinggi (Lahita, 2004; Rahman & Isenberg, 2008).
Patogenesis SLE sebagian dimengerti namun dengan adanya perkembangan terapi
target biologi maka patogenesis SLE masih perlu diungkap lebih dalam tentang peran sel
imun sehingga klinisi dapat melakukan terapi dengan tepat sesuai mekanisme imunologinya
yang terlibat. Sampai saat ini, patogenesis SLE masih fokus tentang peran sel B sebagai sel
yang menyintesis autoantibodi yang selanjutnya membentuk kompleks imun dan
mengaktivasi komplemen sehingga terjadi inflamasi pada berbagai organ dengan derajat
inflamasi yang berbeda-beda (Pathak & Mohan, 2011).
Manifestasi klinik, aktivitas penyakit, morbiditas, mortalitas, dan prevalensinya
berbeda pada berbagai kelompok populasi di dunia. Faktor genetik dan lingkungan berperan
besar dengan patogenesisnya (Mok & Lau, 2003; Tsao, 2007; Tutuncu & Kalunian, 2007).
Penyakit ini cukup banyak di masyarakat, namun pengetahuan para klinisi masih kurang
sehingga perlu sekali meningkatkan ilmu pengetahuannya sehingga dapat mendiagnosis
dengan cepat dan tepat dan dapat melakukan referral dengan tepat.
Sampai saat ini terapi kuratif masih belum ditemukan terapi lebih ditujukan untuk
mengatasi inflamasi serta meredakan sel yang autoreaktif dengan kortikosteroid dan
immunosupresan agresif. Beberapa dekade akhir ini telah berkembang terapi SLE yang
disebut terapi target molekul atas dasar keberhasilan terapi dengan metode yang sama pada
rheumatoid arthritis (RA) yang mengeliminir sel B sebagai target terapi utama (Nayak et al.,
2008). Sejak itu, dimulai terapi target molekul sel B pada SLE dan dari tahun ke tahun,
ternyata terapi ini makin berkembang sesuai perkembangan teori molekuler patogenesisnya
dengan melakukan penghambatan baik menghambat sitokin, kostimulator, perkembangan sel
13
T dan B. Terapi baru ini sementara masih dikhususkan pada pasien yang refrakter terhadap
terapi konvensional (Berstias, 2012).
penyakit jantung koroner akibat efek samping obat-obatan dan aterosklerosis akibat proses
autoimun itu sendiri. Saat ini, 10 year survival rate-nya bisa mencapai 90% namun pada
dekade 1950, survival 4 years rate hanya mencapai 52%, tetapi sejak diterapkannya
diagnosis dini dan terapi agresif, mortalitas SLE makin turun (Urowitz, 1976; Benedek,
2019).
Penemuan besar saat Hargraves (1948) melaporkan adanya sel LE yaitu sel yang
memakan inti sel (LE phenomenon) yang selanjutnya LE phenomenon tersebut digunakan
untuk konfirmasi diagnosis (Hargraves et al., 1948), kemudian ditemukan komplemen yang
rendah pada penderita SLE penemuan ini mendasari model patogenesis SLE bahwa
autoantibodi membentuk kompleks imun, dan kompleks imun ini akan mengaktivasi
komplemen. Akibat komplemen dikonsumsi sangat banyak sehingga terdapat defisiensi
komplemen. Dengan berkembangnya waktu ke waktu ternyata untuk menemukan sel LE ini
sangat sulit, kemudian Sarjana Friou pada tahun 1957 dari USA menggantinya dengan
pemeriksaan anti-nuclear antibody (ANA) (Friou, 1958). Penemuan ANA ini atas dasar
laporan dari penelitian yang dilakukan pada pasien-pasien lupus ditemukan antibodi seperti
tubuh saat terinfeksi bakteri atau virus, tetapi antibodi pada lupus adalah antibodi terhadap sel
tubuh sendiri yang dikenal dengan antibodi ANA dan dianggap antibodi ini menyebabkan
penyakit (Benedek, 2019).
Hughes, Harris, Gharavi, Asherson, dan Alarcón-Segovia (1988) menemukan antibodi
terhadap cardiolipin yang menyebabkan sumbatan pembuluh darah pada penderita lupus dan
sarjana ini juga menemukan antibodi dsDNA yang diduga menyebabkan lupus nefritis
(Harris, 1988). Studi tentang patologi ginjal pasien dengan lupus nefritis, menunjukkan
adanya deposisi imunoglobulin, komponen komplemen, dan autoantibodi anti-DNA di
glomerulus, mendukung konsep yang menyatakan bahwa autoantibodi, terutama antibodi
anti-DNA, bersifat patogenik (Lahita, 2004). Berkembangnya penelitian tentang lupus baik
pada manusia maupun binatang untuk mengetahui penyebab penyakit menyimpulkan bahwa
lupus merupakan penyakit disfungsi sistem imun yang memproduksi autoantibodi sehingga
menimbulkan kerusakan organ. Penelitian-penelitian lain juga menemukan bahwa lupus
merupakan penyakit genetik dan menjelaskan berbagai gen yang terlibat dalam menimbulkan
penyakit lupus (Berstias, 2012; Crow 2017).
Mekanisme imunopatogenesis yang menjelaskan autoimunitas dan kerusakan jaringan
pada pasien dengan SLE telah diteliti dalam puluhan tahun. Manifestasi klinis SLE berupa
kerusakan multi sistem organ yang sering melibatkan kulit, sendi, ginjal, jantung, dan sistem
saraf, yang dibuktikan dengan berbagai macam studi histologi. Di era-era awal penelitian-
15
penelitian tentang SLE, perubahan pembuluh darah pada berbagai organ dipandang sebagai
komponen penting dari SLE, dengan tanda-tanda patognomonis seperti “onion skinning" dari
pembuluh arteriol lien, infiltrasi sel dan kerusakan glomeruli ginjal, serta vaskulopati pada
kulit dan otak (Crow, 2017).
Pada tahun 1970, ditemukan reseptor antigen sel T mengarahkan pada peran sel T
self-reactive sebagai regulator penting dalam patogenesis SLE, yang perannya memicu
diferensiasi sel B untuk memproduksi autoantibodi. Penemuan Toll-like receptors (TLR)
pada 1990 yang menunjukkan fungsi TLR dalam memperantarai aktivasi sistem imun
merupakan suatu kemajuan besar yang signifikan. Akhirnya, studi-studi yang banyak tentang
peran genetik dan lingkungan meningkatkan pemahaman peneliti tentang patogenesis lupus.
Asam nukleat menjadi komponen yang paling relevan dalam peningkatan aktivasi sistem
imun dan autoimunitas pada SLE (Crow, 2017).
100.000 penduduk dengan prevalensi 33,4 per 100.000 (Peschken, 2000). Di Spanyol
dilaporkan prevalensi SLE sekitar 91 per 100.000 penduduk; data ini hampir sama pada suku
oriental daripada suku minoritas di Amerika Serikat ataupun Inggris (Cortes Verdu, 2020).
Pada laporan sebuah studi, risiko SLE pada suku asian lebih tinggi dari suku indian, pakistan,
dan bangladesh (Samanta, 1992). Insiden SLE pada suku asian, yakni 46,7 per 100.000
penduduk dibandingkan kaukasian, yakni 20,7 per 100.000 penduduk. Di Inggris, dilaporkan
insiden SLE sekitar 24,7 per 100.000 penduduk (Johnson, 1995) dan pada afro-karibian
insidennya sangat tinggi (207/100.000), diikuti chinese (92,9/100.000), kemudian
subcontinent asians (48,8/100.000), dan kulit putih (20,3/100.000) (Segasothy, 2001). Studi
tersebut menunjukkan SLE banyak dijumpai pada nonkaukasian yang disebabkan genetik dan
biologi yang heterogen. Faktor sosial hanya memengaruhi kualitas perawatan pasien (Lau,
2006).
Demikian juga dengan angka mortalitasnya sangat bervariasi (Rahman, 2008).
Mortalitas SLE tinggi bila manifestasi kliniknya melibatkan organ-organ vital, misalnya paru,
jantung, otak, dan ginjal. Pada populasi asian, mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan
populasi kaukasian karena manifestasi klinik populasi asian lebih berat terutama mengenai
organ ginjal dan otak (Mok, 2003; Tutuncu, 2007). Laporan angka kematian SLE dari Center
for Disease Control and Prevention (2002) mulai tahun 1979–1998 mencapai 1.406,
sedangkan penelitian kohort di Toronto melaporkan angka kematiannya menurun dari tahun
1970 sampai dekade 1994 dari 10,1 menjadi 3,3 (Roubenolf, 1991; Urowitz, 2000).
Prevalensi SLE bervariasi pada setiap negara terkait dengan faktor genetik (Stojan & Petri,
2018).
Mortalitas SLE lima kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Pola kematian
SLE menurut Urowitz fase awal diakibatkan aktivitas penyakit dan akhir kehidupan
disebabkan penyakit kardiovaskular. Pada lima dekade terakhir, tingkat kematian SLE
menurun, 10 year survival rate dapat mencapai 90%, sedangkan 15 year survival rate
mencapai 80%. Hal ini disebabkan pendekatan terapi agresif telah diterapkan lebih dini dan
majunya penggunaan imunosupresan beserta biologic agent dapat menekan aktivitas penyakit
yang refrakter terhadap terapi konvensional, namun tidak semua populasi dapat mencapai
angka tersebut (Urowitz et al., 1997; Urowitz & Gladman, 2000). Menurut data dari RSUD
Dr. Soetomo, dari 153 penderita SLE yang berada di rawat inap didapatkan 30%
menunjukkan aktivitas penyakit yang berat dengan mayoritas manifestasi klinik lupus
nefritis, hematologi, dan lupus serebral dengan angka mortalitasnya mencapai 22,9%
(Yuliasih, 2004). Dibanding dengan angka kematian di dunia, angka tersebut cukup tinggi
17
karena angka kematian rerata di seluruh dunia hanya mencapai 0,025% penduduk (Rus et al.,
2007). Survival pasien SLE saat ini makin membaik dibandingkan beberapa dekade yang lalu
10- years survival rates saat ini mencapai antara ~95% and ~90%. Perbaikan sirvival ini
hanya terjadi pada negara maju namun daerah India, black Caribbean. Angka kematian di Dr.
Soetomo Surabaya sekitar 22,5% (Ghafira & Yuliasih, 2018).
SLE umumnya terjadi pada wanita usia produktif. Perbandingan wanita dan laki-laki
pada masing-masing etnis berbeda. Perbedaan ini terkait dengan prevalensi dan faktor
genetik. Perbandingan antara lelaki dan wanita dilaporkan adalah 9:1. Mehrian et al. (1998)
mendapatkan frekuensi penderita SLE wanita 90,5%, Mok et al. (1998) mendapatkan 95%,
D‟Alfonso et al. (2000) 87,8%, dan Fernandez et al., 2007 mendapatkan 90% dari 617 pasien
terdiri dari populasi Hispanik 36%, Afrika-Amerika 36%, Kaukasian 28%. Berdasarkan dari
bukti-bukti para peneliti di atas dapat menjelaskan bahwa penderita SLE lebih banyak
penderita wanita dibandingkan laki-laki (Somers, 2014).
Umur
Sebagian besar pasien SLE mengalami manifestasi klinis antara usia 15–64 tahun. SLE
cenderung memiliki manifestasi yang parah pada kelompok pasien laki-laki dan pasien anak-
anak (< 16 tahun). Late-onset SLE (> 50 tahun) ditandai dengan onset manifestasi klinis yang
cenderung subklinis (insidious). Sering kali pada pasien lansia, manifestasi SLE yang sering
muncul adalah serositis dan keterlibatan sistem respirasi dan jarang terjadi ruam malar,
fotosensitivitas, alopesia, fenomena Raynaud, penyakit neuropsikiatri, dan nefritis (Boddaert,
2004). Umur berkontribusi sangat besar terhadap manifestasi klinik dan prognosis SLE dapat
muncul pada semua umur tetapi insiden yang paling tinggi di usia 12–-32 tahun dan
manifestasi klinik pada dewasa muda hampir sama dengan SLE pada anak-anak. Manifestasi
yang sering dijumpai adalah kelainan ginjal, neurologi, dan hematologi. Oleh karena itu, pada
umur muda maka aktivitas penyakitnya makin berat. The 5-year survival di negara-negara
Barat saat ini mencapai 94–100%; namun di Asia hanya mencapai 65% hal ini berhubungan
dengan manifestasi pada ginjal yang dilaporkan dengan mortalitas sangat tinggi. Manifestasi
ginjal frekuensinya sekitar 46% biasanya muncul pada dua tahun pertama. Pada SLE yang
terjadi pada umur di atas 50 tahun (late onset lupus) manifestasinya sering kali insidious
dengan manifestasi nonspesifik, antara lain artralgia, kelemahan, cepat lelah, mialgia,
penurunan berat badan, demam, dan penurunan fungsi kognitif. Keterlibatan mayor organ
sangat jarang, meskipun manifestasinya tidak berat tetapi mortalitasnya cukup tinggi
(Wallace, 2007; Dall‟era & Wofsy, 2017).
18
Etnisitas memengaruhi sistem biologi dan sosial termasuk bahasa, kepercayaan, dan
kebiasaan sosial. Perbedaan ini memengaruhi perbedaan manifestasi klinik dan prognosis.
Amerika dan Afrika berisiko terhadap terjadinya lupus nefritis. Populasi Eropa mempunyai
risiko tinggi terhadap lupus nefritis dan sintesis autoantibodi tetapi risikonya rendah dengan
gejala diskoid dan fotosensitif. Pada populasi Eropa sangat kecil risikonya terhadap CNS
lupus oleh karena perbedaan phenotype SLE antara kaukasian dan nonkaukasian. Lupus
nepritis lebih sering dijumpai pada suku hispanik, meksiko, afrikan, dan asian. Pada populasi
tersebut, lupus nefritis sering kali memburuk menjadi kondisi gagal ginjal. Etnisitas juga
menentukan respons terapi terhadap MMF dan siklophospamid. Populasi kaukasian maupun
nonkaukasian memberi respons yang baik terhadap kedua imunosupresan tersebut, tetapi
populasi hispanik lebih respons dengan MMF dari pada siklophospamid. Hispanik dan
afrikan mempunyai aktivitas penyakit yang tinggi dibanding dengan populasi kaukasian.
Sedangkan kelompok hispanik, asian, dan afrikan lebih sering terjadi kerusakan organ
(Lahita, 2004; Stojan & Petri, 2018).
19
BAB 2
Sel –sel sistem imun bawaan (innate) yang terlibat dalam patogenesis SLE, antara lain
makrofag, dendritic cells (DCs), dan netrofil sel B dan T. Sel B selanjutnya memproduksi
antibodi (dapat dilihat dalam Gambar 2.1) (Neves, 2012). Sel DCs merupakan antigen
presenting cells (APC), fungsinya mengenali perubahan microenviroment lokal yang
kemudian informasinya disampaikan ke sel imun adaptif (Banchereau & Steinman, 1998;
Banchereau et al., 2000). Sel dendrit yang mature berasal dari sel plasmactoid dendritric
(pDC) yang memicu maturasi dendritik bila sel pDC mengenali antigen. Sel dendrit yang
mature masuk dalam sirkulasi yang selanjutnya ke jaringan limfanodus dan bermigrasi ke
tempat zona sel T, kemudian sel T berdiferensiasi menjadi sel efektor Th1, Th2, T17, sel T
sitotoksik, dan Treg atas bantuan sitokin yang ada di microenvironment (Sporri & Reis e
Sousa, 2005; Diebold, 2009). Bila terjadi gangguan keseimbangan antara Th1 dan Th2, Th17,
dan Treg akan memicu proses inflamasi. Inflamasi ini bisa berlanjut terus-menerus bila sel
dendritik banyak yang mature. Sel T yang berdiferensiasi menjadi Th2 mensekresi sitokin
untuk memicu diferensiasi dan pada keadaan normal sel dendritik mempertahankan
hemostasis respons imun agar tidak timbul autoimun dan pada SLE aktif ditemukan banyak
sel dendrit yang mature (Neves, 2012).
Gambar 2.1 Proses sel dendritik merupakan penghubung imun bawaan dengan imun adaptif (Neves,
2012)
PAMP. Domain kedua sitoplasmik bertugas meneruskan signalling. Domain ini homolog
dengan IL-IR sering disebut TIR domain dan pada manusia ada 10 tipe TLR. Berdasarkan
lokasinya ditemukan pada permukaan membran sel dan intraseluler. TLR 1-5 terlibat dalam
pengenalan struktur kimia bakteri dan lokasinya di permukaan membran sel, sedangkan TLR
7-9 lokasinya intraseluler. Bila terjadi signalling pada TLR maka akan menginduksi sitokin
proinflamasi, interferon tipe I, kemokin, dan kostimulator. TLR signalling melalui 2 jalur
yaitu melalui MyD88 atau TRIF dependent pathway (Neves 2012). Fungsi TLR adalah
menstimulasi signalling serta aktivasi IFN-regulatory (NF-κB) dan mitogen-activated protein
(MAP). Interferon memegang kunci dalam proses patogenesis SLE dengan identifikasi
sitokin ini yang ke depannya dapat dipikirkan terapi interferon pada SLE. Hal ini terbukti
bahwa interferon dapat memengaruhi perubahan signalling intraseluler (cross talk
signalling). Pada penelitian in vitro yang dilakukan oleh Yuliasih (2010), interferon I
mempunyai sifat pleotropik dan berefek pada berbagai sel, antara lain aktivasi sel B, yang
menstimulasi pembentukan autoantibodi, proliferasi sel dendritik dan aktivasi sel T dalam hal
ini memengaruhi survival serta ekpansi sel T, juga mempercepat monosit jadi dendritik,
meningkatkan ekspresi MHC dan CD80 (Neves 2012; Klarquist et al., 2016).
“IFN signature” merupakan cerminan peran TLR dalam menginduksi sitokin
interferon. Laporan studi menjelaskan Toll-like Receptors (TLR) berperan signifikan
terhadap patogenesis SLE. Interferon berperan dalam hilangnya toleransi dan aktivasi
autoreaktif sel T dan B yang selanjutnya sekresi autoantibodi. Beberapa manifestasi klinis
SLE antara lain rash pada kulit, demam, dan leukopenia berhubungan dengan peningkatan
kadar IFN, namun tidak semua pasien SLE kadarnya meningkat. Biasanya pada pasien SLE
fase awal sering didapatkan kadar interferon meningkat (interferon signature) yang bisa
berasal dari paparan sinar matahari atau infeksi virus. Pada umumnya, kompleks imun yang
mengandung asam nukleat dapat memicu pDC mensekresi IFN seperti pada studi genetik
yang melaporkan hubungan antara SLE dan gen yang terlibat dalam produksi dan efek IFN,
diduga pada SLE terjadinya peningkatan interferon diduga karena adanya plimorfisme pada
interferon regulatory factor (IRF)- 5 yang terekspresi pada sel dendritik dan regulasi gen
interferon yang terganggu (Crow, 2017).
Pembentukan NET akibat apoptosis neutrophil, maka banyak di keluarkan
materialnya antara lain histone, kondensasi kromatin dan protein sitoplasma yang membentuk
Web-like structure. Pasien SLE dilaporkan adanya peningkatan produksi NET dan adanya
gangguan fungsi enzim DNA sel yang menyebabkan ekpresi asam nukleat dan protein yang
menyebabkan sel B teraktivasi dan membentuk autoantibodi. NET ini juga mengaktivasi
22
pDC melalui TLR9 untuk memproduksi interferon yang sangat tinggi (Leffler et al, 2015;
Lande et al., 2011). Pada penderita SLE banyak ditemukan DNA mikrokondrial yang
teroksidasi yang dapat memicu sekresi interferon melalui jalur cGAS yang mengaktivasi jalur
STING dalam memproduksi interferon (Lood et al, 2016). Derivat dari NET yang berupa
kompleks kationik antimikrobial peptide LL37-DNA memicu aktivasi sel B, dari data ini
menyimpulkan bahwa Sel imun yang terpapar konpleks imun akan terpicu untuk produksi
interferon. Selain itu, aktivasi sel B, NK, dan T dapat memengaruhi pDC meningkatkan
sekresi IFN saat pDC menangkap imun kompleks. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 2.2
berikut ini (Ronnblom & Leonard, 2019).
Gambar 2.2 Skema sel pDC dalam meregulasi sekresi interferon. APC, antigen-presenting
cell; GM-CSF,granulocyte-macrophage colony-stimulating factor; IC, immune complex;
IFN, interferon; IL-3, interleukin 3; LFA1, lymphocyte function–associated antigen 1; MIP-
1β, macrophage inflammatory protein-1β; NET, neutrophil extracellular traps; PECAM-1,
platelet and endothelial cell adhesion molecule 1; ROS, reactive oxygen species (Ronnblom
& Leonard, 2019)
23
Berdasarkan studi epidemiologi beberapa faktor lingkungan telah diidentifikasi, secara umum
masih banyak yang belum diketahui tentang mekanisme berbagai faktor pencetus lingkungan
yang dapat menyebabkan SLE. Faktor lingkungan memiliki peran besar dalam memicu
terjadinya SLE. Dari hasil laporan studi menjelaskan beberapa faktor lingkungan antara lain
paparan sinar matahari, infeksi mikroba ataupun virus, serta obat-obatan dapat mencetuskan
SLE. Sinar UV memiliki banyak efek terhadap sel-sel kulit, seperti merusak rantai DNA
sehingga dapat mengubah ekspresi gen atau menyebabkan apoptosis maupun nekrosis sel.
Walaupun sel yang rusak akibat UV tidak mengalami kematian sel, kerusakan rantai DNA
dapat berperan sebagai antigen yang menstimulasi respons imun. Radiasi UVB menyebabkan
terjadinya translokasi antigen Ro/SSA dan La/SSB dan yang memicu terbentuknya
autoantibodi. Dibuktikan bahwa pasien SLE yang mengalami gejala fotosensitif berkorelasi
dengan autoantibodi tersebut ultraviolet menyebabkan apoptosis dan merangsang produksi
IFN yang akan mengaktifkan sistem imun dengan memicu terbentuknya kompleks imun dan
aktivasi sel imun (Bertsias, 2017)
Radiasi ultraviolet (UV) mempunyai gelombang pendek dan mempunyai energi yang
tinggi, panjang gelombangnya sekitar 100–400 nm dan dibagi dalam tiga komponen UV A
24
(320–400 nm), UV B (290–320), dan UV C 200–290 nm. Dari ketiga ultraviolet yang
memengaruhi secara biologi hanya UV B. Radiasi UV B dapat memicu terjadinya metilasi
DNA, komponen UV C diabsorsi oleh atmosfer oleh lapisan ozon sedangkan UV A tidak
diabsorsi oleh atmosfer dan 95% radiasinya sampai pada permukaan bumi dan sangat sedikit
diabsorsi oleh protein dan asam nukleat (IARC, 2012).
Sinar ultraviolet menyebabkan perubahan susunan DNA yang disebut proses
epigenetik dalam proses epigenetik Metilasi DNA mungkin merupakan epigenetik yang
paling banyak dipelajari menambahkan gugus metil ke posisi 5 ′ karbon sitosin dalam
dinukleotida citosin-fosfat-guanosin (CpG) mekanisme epigenetik yang sangat kuat.
Fungsinya mengontrol aksesibilitas terhadap faktor transkripsi, co-activators transkripsi, dan
RNA polimerase. Metilasi DNA dalam patofisiologi SLE juga mempunyai peran penting
dalam patogenesis SLE (Javierre et al., 2010). Mekanisme epigenetik bersifat reversibel dan
juga diturun. Epigenetik merupakan proses yang mengatur ekspresi gen tanpa mengubah
yang Urutan DNA. Fungsinya mengontrol aksesibilitas DNA terhadap kompleks transkripsi,
termasuk faktor transkripsi dan RNA polimerase. Epigenetik bertanggung jawab bila DNA
metilasi ini terlepas uraiannya maka DNA ini banyak mengandung CpG, pada umumnya
lebih dari 200 base pair. CpG ini banyak ditemukan pada daerah promoter yang akan
menghambat transkripsi dan mengganggu regulasi silencing pada target gen. Sinar ultraviolet
lainnya misalnya UV A masih berpengaruh secara tidak langsung pada kertatinosit melalui
produksi radikal bebas dan ROS yang dapat merusak dsDNA menjadi single strand.
Sebagian besar pasien secara genetis cenderung untuk berkembang jadi SLE
Namun, bila hanya mempunyai alel risiko saja maka tidak kuat untuk memunculkan
penyakit diperlukan faktor pendukung, misalnya faktor hormonal, infeksi, obat-obatan,
paparan terhadap racun, dan bahan kimia), faktor pengaturan kekebalan tubuh, dan adanya
proses epigenetik barulah muncul ekspresi penyakit. Tidak hanya sinar ultraviolet saja
sebagai faktor lingkungan yang dapat men-trigger SLE, namun beberapa obat-obatan juga
diduga dapat memicu SLE, antara lain Hydralazine, Procainamide, Isoniazid, Hydantoins,
Chlorpromazin Methyldopa Penicillamie Minocycline, dan TNF inhibitor (Hedrich, 2017).
Polusi udara adalah salah satu faktor lingkungan yang tak kalah pentingnya dengan
sinar matahari. Bahan-bahan polutan yang ditolerir dan menilai aktivitas polusi udara.
Partikel yang kecil atau lebih kecil 2,5 m. Polusi debu rumah dan diduga bertanggung
jawab terjadinya beberapa penyakit autoimun dan perubahan kondisi inflamasi dan
berdampak lain pada kesehatan. Diduga adanya polutan menimbulkan ROS yang merupakan
25
faktor terpenting pada polusi. Beberapa komponen mayor dari PM25, antara lain polycyclic
aromatic hydrocarbons dan trace elements dilaporkan ada hubungan dengan prevalensi SLE.
Infeksi juga diduga sebagai salah satu faktor lingkungan yang terkait dengan
patogenesis SLE. Suatu studi epidemiologi menunjukkan prevalensi yang tinggi antibodi
antigen virus Epstein-Barr (EBV) pada pasien SLE dibandingkan dengan populasi sehat.
Infeksi virus ini meningkatkan kadar interferon (IFN) tipe 1 yang memicu aktivitas sel B.
Toksin-toksin yang terdapat di lingkungan sekitar juga diduga memiliki potensi
menyebabkan SLE, namun dugaan tersebut belum dieksplorasi lebih lanjut secara
komprehensif. Saat ini, merokok secara aktif telah dianggap sebagai faktor risiko untuk SLE
karena memberikan stimulus inflamasi ke sel epitel atau mononuklear di paru-paru dan
menginduksi terjadinya modifikasi protein atau peradangan nonspesifik. Selain faktor-faktor
di atas, faktor ekonomi terbukti berkontribusi terhadap keparahan manifestasi klinik SLE
yang kemungkinan terkait dengan akses yang buruk terhadap pelayanan kesehatan (Jung et
al., 2019.)
Faktor Genetik
Peran gen merupakan faktor yang sangat penting dalam mendasari patogenesis SLE. Major
histocompatibility complex (MHC) merupakan gen yang pertama dikenali sebagai faktor
risiko MHC ini merupakan gen yang padat aktif melakukan transkripsi terletak di kromosom
chromosome 6p21.3 (Ramos et al., 2010). MHC ini terdiri dari klas I dan Klas II yang
terlibat dalam penyajian antigen MHC klas II dengan alel tertentu HLA-DR2 (DRB1*1501)
dan HLA-DR3 (DRB1*0301) merupakan gen yang konsisten sebagai faktor risiko terhadap
penyakit SLE terutama pada populasi kaukasian. Pada alel ini, seseorang berisiko SLE
sebanyak 2–3 kali lipat (Tsao & Wu, 2007). Sedangkan allele HLA-DQ dan –DR diduga kuat
berhubungan dengan sintesis autoantibodi (Fernando et al, 2007). Meskipun telah dilaporkan
bahwa suku African –American mempunyai aktivitas penyakit yang tinggi, namun HLA klas
II tidak konsisten sebagai risiko terhadap lupus pada populasi tersebut (Tsao & Wu, 2007).
Penyebab SLE bukan gen tunggal namun suatu penyakit yang didasari dengan multi genetik
antara lain tumor necrosis factor α (TNF or TNFA), PTPN22, interferon, sitokin, gen
superkiller viralicidic activity 2 (SKIV2L) sangat banyak terekspresi di Sel T, B, dan
dendritik. Gen G-protein-coupled receptor olfactory receptor 2 (OR2H2), c-AMP
responsive element binding protein-like 1 (CREBL1) MHC class I polypeptide-related
sequence B (MICB) (Ramos et al., 2010).
26
Gambar 2.4 Gagalnya sistem imun pada systemic lupus erythematosus (SLE). APC, antigen-
presenting cell; HLA klas II, HLA-DRB1, human leukocyte antigen-DRB1; gen yang memengaruhi
Sel B BANK1, (B-cell scaff old protein with ankyrin repeats 1) BLK, (B lymphoid tyrosine kinase;)
IFIH1, interferon-induced helicase 1;IL10, interleukin-10; IRF, interferon regulatory factor;
ITGAM, integrin alpha M; LYN, V-yes-1 Yamaguchi sarcoma viral-related oncogene homolog;
NCF2, neutrophil cytosolic factor 2; PRDM1-ATG5, PR domain containing 1, ZNF domain-
autophagy-related 5 homolog; PTPN22, protein tyrosine phosphatase, non-receptor type 22; Ras
GRP3, RAS guanyl releasing protein 3; STAT4, signal transducer and activator of transcription 4;
TCR, T-cell receptor; TNFAIP3, tumor necrosis factor, alpha-induced protein 3; TNFSF4, tumor
necrosis factor superfamily, member 4; TNIP1, TNFAIP3-interacting protein 1; UBE2L3, ubiquitin-
conjugating enzyme E2L (Guerra et al, 2012)
27
Meskipun banyak studi menyimpulkan bahwa gen yang mendasari penyakit ini adalah
multigenik namun ada beberapa studi yang melaporkan SLE bisa ditimbulkan oleh gen
tunggal misalnya, antara lain complement component 1q (C1q) subcomponent A (C1QA),
C1QB, C1QC, three-prime repair exonuclease 1 (TREX1), atau deoxyribonuclease 1-like 3
(DNASE1L3), masing-masing gen ini berperan sendiri-sendiri dalam menimbulkan
disregulasi sistem imun dan setiap individu mempunyai variasi genetik yang menyebabkan
perbedaan dalam manifestasi klinik, aktivitas penyakit, morbiditas, mortalitas dan prevalensi
(Lahita, 2004; Rus et al., 2007). Badai sitokin tampaknya lebih penting dalam memicu
disregulasi sistem imun sebelum terbentuknya autoantibodi, diduga tidak mutlak adanya
autoantibodi dan kompleks imun saja yang mendasari patogenesis SLE. Oleh karena itu,
masih banyak peluang riset untuk membuka lagi wawasan para klinisi dalam mendiagnosis
maupun terapi SLE (Nayak et al., 2008; Guerra et al., 2012)
Berkembangnya penelitian tentang single nucleotide polymorphisms (SNPs) membuat
penemuan varian-varian genetik pada SLE semakin pesat. Data dari studi asosiasi genome
menunjukkan bahwa polimorfisme dalam sebanyak 50 gen berkontribusi terhadap kerentanan
SLE (Crow, 2017). Penelitian terbaru berfokus pada gen yang terkait dengan reseptor Toll-
like (TLRs), interferon tipe I, jalur regulasi imun, dan pembersihan kompleks imun yang
berhubungan dengan SLE. Berbagai macam varian gen tersebut memproduksi jenis protein
tertentu yang dapat memengaruhi dan mengubah fungsi sistem imun. Hal ini membuktikan
bahwa sistem imun berkontribusi signifkan terhadap terjadinya inflamasi dan kerusakan
organ luas pada penyakit SLE. Seperti halnya dengan aktivasi sistem imun oleh suatu antigen
asing, gen yang terkait SLE dapat memproduksi suatu protein tertentu yang bertindak sebagai
self-antigen dan mengaktifkan respons imunitas bawaan maupun adaptif (De Azevêdo et al.,
2014).
Mempertahankan kontrol yang tepat terhadap ekspresi gen merupakan hal mendasar
untuk semua organisme. Meskipun banyak yang diketahui tentang bagaimana individu hidup
yang diatur pola aktivasi gen. Setiap gen meskipun berdekatan dengan gen lain, tetapi
aktivitas setiap gen berbeda-beda dan masing-masing gen mempunyai faktor transkripsi yang
akan mengaktifkan gen tersebut. Dalam menjalankan proses kehidupan sel melakukan
metabolisme yang merupakan reaksi biokimia yang dibantu dengan proses enzimatik
sehingga ada berbagai proses dan hasil metabolisme yang ditentukan oleh enzim yang
terlibat dalam reaksi tersebut. Susunan enzim (baik struktur maupun susunan asam
aminonya) sangat ditentukan oleh susunan cetakannya yaitu asam deoksiribonukleat (DNA).
Ruas DNA yang menjadi cetakan untuk menyintesis enzim (protein) disebut dengan gen. Gen
28
mempunyai banyak basa AT maka sangat kuat mengikat faktor transkripsi karena ikatan
antara faktor transkripsi dengan basa AT sangat kuat dibanding dengan ikatan GC. Kotak
TATA merupakan sequence DNA yang penting karena merupakan posisi awal transkripsi
(Goodrich & Tjian, 2006; Wang, 2006; Weaver, 2008).
Proksimal promoter terdiri dari Kotak GC dan kotak CAAT. Lokasinya -100 bp di sisi
kiri dari tempat inisiasai transkripsi, proksimal promoter merupakan element regulator yang
ditandai dengan adanya GC box (5 GGGCGG-3), CCAAT box (5CCAAT3), octamer motif
(5 ATGCAAAT -3). Kotak GC dan TATA saling berdekatan jarak antara keduanya sekitar -
47 sampai -105, bila kotak GC jauh letaknya dengan kotak TATA akan menimbulkan fungsi
transkripsi menurun, yang menjadi dasar cepat tidak proses transkripsi yaitu tergantung
jarak jarak antara kotak GC dengan kotak TATA seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3
(Weaver, 2008; Brown, 2008; Becker et al., 2006).
Faktor lain yang menyebabkan promoter sebagai regulator transkripsi kotak GC, bila
proksimal promoter Urutan DNA nya mempunyai kotak GC banyak maka promoter makin
sensitif terhadap aktivasi faktor transkripsi. Perubahan susunan nukleotida pada tempat
sangat menentukan fungsi regulator transkripsi (Goodrich & Tjian, 2006). Aktivasi faktor
transkripsi yang melekat pada promoter maka memicu inisiasi transkripsi yang penting
dalam proses sintesis protein. Kondisi normal proses ini berjalan dengan kecepatan basal dan
tidak akan meningkatkan kadar protein yang disentesis. Perubahan terhadap susunan
promoter terutama daerah regulator transkripsi misalnya terjadinya SNP di regio ini, akan
mengubah aktivitas dari pada promoter. Beberapa peneliti melaporkan single nucleotide
polymorphism (SNP) di promoter gen IL-10 menyebabkan peningkatan kadar IL-10 (Becker
et al., 2006; Weaver, 2008; Campbell 2008).
30
Pada dekade 20, banyak studi yang lebih difokuskan pada perubahan nukleotida pada satu
titik (allele) atau sering disebut single-nucleotide polymorphisms (SNPs) yang terjadi pada
regio coding atau non-coding. Adanya SNP pada gen-gen tertentu mungkin dapat
menyebabkan perubahan faktor transkripsi dan ekspresi gen. Gen yang mengungkap berat
ringannya penyakit antara lain juga menyebutkan adanya SNP pada sitokin proinflamasi,
antara lain IL-10, TNFα, IL-6, dan IFN terkait dengan aktivitas penyakit. Diduga sitokin ini
berperan dalam menjaga stabilitas sel T dan B autoreaktif. Dilaporkan adanya polimorfisme
pada gen sitokin yang menyebabkan perubahan fungsi dan ekspresinya. Dalam hal ini, sitokin
sebagai faktor pencetus ataupun sebagai faktor modulasi sistem imun (Deng & Tsao, 2013).
IL-10 mempunyai efek modulator pada sistem imun karena adanya perubahan ekspresi.
Perubahan ekspresi sitokin ini akibat dari adanya polimorfisme di daerah promoter dan masih
diteliti lebih lanjut peran polimorfisme pada gen ini. IL-10 diproduksi oleh sel T CD 4, CD 8,
dan sel B yang teraktivasi oleh monosit makrofag (Lalani et al., 1997; Moore et al., 2001).
IL-10 sebagai anti inflamasi sekresinya diregulasi Th2. Fungsi IL-10 menstimulasi FcγR
pada semua sel dan memperpanjang survival sel B, menstimulasi sel B diferensiasi, dan
proliferasi dan sintesis autoantibodi (Lalani et al., 1997; Moore et al., 2001; Llorente et al.,
31
1995). Peran pada sel B inilah yang diduga IL-10 sebagai peran penting pada penyakit
autoimun. Selain itu, IL-10 mengatur keseimbangan yang memperburuk autoimun (Gibson et
al., 2013).
Studi pada binatang coba melaporkan bahwa terdapat perubahan kadar IL-10 pada
binatang yang menderita autoimun dan berhubungan dengan aktivitas penyakit. Bukti dari
uji binatang diperkirakan produksi IL-10 memegang peran penting dalam menyebabkan
manifestasi organ tertentu. Demikian juga laporan studi pada SLE ternyata didapatkan
peningkatan IL-10 pada penderita SLE yang aktif hal ini diduga karena disregulasi ekspresi
IL-10 yang diduga berperan dalam penyakit (Lalani et al., 1997; Moore et al., 2001;
Houssiau et al., 1995; Gibson et al., 2013). Pada penelitian lain dibuktikan pada kultur
PBMC pada pasien SLE Aktif terjadi spontan sintesis kadar IL-10 dengan kadar yang tinggi
pada pasien dengan SNP di regio proksimal promoter IL-10 (Yuliasih, 2010).
Disregulasi sintesis IL-10 terjadi pada proses transkripsi dan diperkirakan proses ini
diturunkan yang menyebabkan individu satu berbeda dengan individu lainnya. Terjadinya
disregulasi ini telah dibuktikan hal ini karena eksistensi regulasi post-transcriptional dengan
destabilising RNA atau AU-rich elements di posisi 3'-untranslated of IL-10 mRNA (Powell
et al., 2000). Kondisi ini dibuktikan pada kembar monozigot didapatkan produksi kadar IL-
10 yang sama. Kadar IL-10 ini terkait dengan kepekaan individu terhadap penyakit autoimun
atau dengan aktivitas penyakit (Lalani et al., 1997; Houssiau et al., 1995). Pada studi-studi
tentang SNP IL-10 di region promoter telah terindentifikasi sepanjang 1,3 kb upstream dari
PIC karena daerah promoter gen IL-10 dilaporkan sangat polimorfis (Kube et al., 1997). Dari
laporan lain pada region promoter sepanjang 8kb didapatkan 23 SNP (Gibson et al., 2001;
Eskdale et al., 1999). Temuan yang berbeda-beda ini diperkirakan adanya perbedaan karena
perbedaan suku dan letak geografis. Selama dekade terakhir dilaporkan ada SNP promoter
IL-10 penderita SLE pada lokus di -1082G/A, -819C/T, dan -597C/A yang membentuk
haplotipe GCC, ACC, dan ATA telah terindentifikasi di region 1,0 kb di daerah promoter
(Schotte et al., 2004; Mehrian et al., 1998; D‟Alfonso et al., 2000; Price et al., 2001; Chong
et al., 2004; Hirankan et al., 2006). GTA hanya ditemukan di populasi China (Chong et al.,
2004). Alel G pada titik -1082 terkait dengan peningkatan kadar IL-10 sedangkan A pada alel
A dikaitkan tidak ada peningkatan kadar IL-10. Dengan adanya hasil yang tidak konsisten
antara kadar IL-10 dan perbedaan alel SNP promoter IL-10. Sampai sekarang penelitian
belum jelas apakah promoter polimorfisme yang menyebabkan masing-masing individu
berbeda (Gibson et al., 2013). Data yang diperoleh Yuliasih (2015) tentang promoter gen IL-
10 mendapat titik mutasi yang berbeda dengan yang dilaporkan sebelumnya. Pada pasien
32
SLE yang dirawat di RSUD Dr. Soetomo didapatkan SNP ada di daerah promoter terdapat
tiga posisi yang didapatkan yaitu SNP pada posisi -294 AG, -296 AT dan -301 AG.
Ketiga SNP ini membentuk kombinasi:
1. -294 AG, -296 AA, -301 AG; (GAG) ditemukan pada SLE berat dengan
aktivitas penyakit SLAM -= dengan kadar rerata IL 10 meningkat 20 kali normal
2. -294 AG, -296 AT, -301 AG (GTG)
3. -294 AA, -296 AA, -301 AA. ( AAA)
Penemuan titik mutasi yang berbeda terkait dengan perbedaan suku dengan peneliti
sebelumnya Mekanisme peningkatan kadar IL-10 dengan aktivitas penyakit SLE terkait
dengan aktivitas sel B, diketahui bahwa IL-10 meningkatkan proliferasi dan diferensiasi IL-
10 yang menyebabkan sintesis autoantibodi meningkat. Dengan dasar pemikiran bila sel B
berproliferasi sangat banyak maka sintesis autoantibodi akan meningkat. Autoantibodi SLE
ada 100 lebih, karena pada SLE semua komponen sel menjadi antigen. Autoantibodi yang
didapatkan antara lain ANA, anti-dsDNA, anti-sm, anti-RNP, anti-Jo, anti-La, dan anti-Ro.
Cohen et al. (1997) dan Mehrian et al. (1998) melakukan studi peran IL-10, kedua
peneliti ini membuktikan bahwa kadar IL-10 signifikan terhadap survival sel B melalui
mekanisme ekspresi bcl2 yang meningkat. Ronnelid et al. (2003) meneliti tentang kompleks
imun pada SLE. Mendapatkan bahwa kompleks imun yang meningkat bisa memicu makrofag
menyintesis IL-10 lebih banyak yang menyebabkan sel B selalu dalam kondisi hiperaktif.
Wang et al. (2005) melaporkan bahwa kadar IL-10 yang meningkat menyebabkan sel T
banyak yang mengalami apoptosis. Penelitian Mongan et al. (1997) mendukung penelitian
Wang et al. (2005) bahwa kadar IL-10 akan meningkatkan apoptosis tetapi melalui jalur fas
dan fas ligand.
Sarjana Mongan, et al., (1997) melaporkan IL-10 merupakan inhibitor radikal bebas
oksigen, yang mengakibatkan apoptosis, dan IL-10 mampu mengubah protein sebagai
neoantigen. Schotte et al. (2004) yang meneliti tentang pembentukan autoantibodi dan
mendapatkan hasil bahwa peningkatan IL-10 signifikan dengan kadar anti-Sm, demikian
juga Price et al. (2001) peningkatan IL-10 signifikan dengan kadar dsDNA. Namun, tidak
demikian yang didapatkan Yuliasih (2010), peningkatan IL-10 tidak signifikan dengan kadar
ANA dan dsDNA. sel B yang berproliferasi tidak banyak mensekresi ANA dan ds DNA
mungkin karena perbedaan suku yang menimbulkan perbedaan sintesis ANA dan dsDNA.
ANA hanya ditemukan pada 57,4% sedangkan dsDNA 42,6 %.
Sumber utama IL-10 adalah monosit dan sel B hal ini pertama kali dilaporkan oleh
33
Llorente et al. (1993) dan penemuan ini juga dikonfirmasi oleh peneliti lain. Dari berbagai
studi IL-10 pada SLE didapatkan bahwa kadar IL-10 meningkat berkorelasi dengan aktivitas
SLE. Dari penelitian Yuliasih (2010) juga mendapatkan hal sama bahwa peningkatan kadar
IL-10 berhubungan dengan aktivitas penyakit yang diukur dengan SLAM. Bila IL-10
dihubungkan dengan parameter aktivitas penyakit yang lain yaitu C3 dan C4 namun pada
penelitian gen promoter IL-10 pada SLE, peningkatan kadar IL-10 signifikan dengan
penurunan C3 namun tidak dengan C4, hal ini diduga C4 telah melakukan kompensasi segera
setelah dilakukan pemecahan kompensasi ini diduga untuk tidak terjadi pemecahan yang
lebih lanjut SLE dengan Aktivitas penyakit berat yang terutama mengenai organ-organ vital
pada studi in vivo. Teori lain menyatakan pada SLE aktif didapatkan penurunan C1, C4, C2
dan penurunan C3 bisanya didapatkan SLE yang berat kadar C3 dipertahankan normal karena
merupakan regulator aktivasi komplemen jalur klasik . Mayes et al. (1984), Valentijn et al.
(1984) dan Urowitz et al. (1997) menyatakan aktivitas penyakit berat akan meningkatkan
mortalitas, sedangkan Ishida et al. (1994) melaporkan studi pada binatang coba, IL-10
banyak ditemukan pada jaringan ginjal pada penderita lupus nefritis khususnya grade IV dan
grade Vb dan pemberian antibody monoclonal IL-10 dapat memperbaiki lupus nefritis. Rood
et al. (1999) dan Peng et al. (2008) meneliti peran IL-10 sebagai parameter risiko CNS lupus.
Fungsi sitokin Interleukin-10 (IL-10) sangat banyak atau bersifat pleotropik, antara
lain mempunyai sifat dapat menstimulasi Macrophage Colony-Stimulating Factor (MCSF),
merupakan sitokin yang berfungsi diferensiasi dan proliferasi makrofag. Adanya peningkatan
sitokin ini menimbulkan inflamasi akibat makrofag, memicu sel T berproliferasi dan
deferensiasi, memicu sel B berdiferensiasi, serta memicu sintesis autoantibodi sehingga
terjadi proses inflamasi. Bila kejadian ini terus menerus akan menimbulkan inflamasi kronis
atau inflamasi bertambah berat dan menimbulkan banyak organ yang mengalami inflamasi.
Bila banyak organ vital yang mengalami inflamasi maka aktivitas penyakit menjadi berat
(Hann, 2007). Akibat aktivasi sel T menyebabkan sekresi sitokin proinflamasi meningkat
antara lain IL-1, IL-6, IL-12, IFN, TNF-α, dan reaktif oksigen. Inflamasi pada SLE
disebutkan akibat badai sitokin yang mungkin memperberat aktivitas penyakit. TNF-α adalah
sistemik sitokin yang menimbulkan gejala demam, kelelahan, demam, nafsu makan turun,
dan peningkatan katabolisme. Selain itu, TNFα dapat meningkatkan ekspresi cyclooxygenase
type-2 (COX-2), adhesi molekul, rekruitmen sel monosit, sekresi sitokin pro-inflamasi,
kemokin, serta merangsang ekspresi MHC. TNF-α juga bertanggung jawab terhadap maturasi
sel B melalui reseptor Baff (BlyS) (Aringer & Smolen, 2008).
Berdasarkan laporan studi-studi tentang interferon pada SLE bahwa interferon
34
diproduksi pada awal penyakit akibat dipicu oleh infeksi dan kadarnya sangat tinggi pada
SLE aktif. Sistem imun bawaan sebagai lini pertama sistem pertahanan tubuh terhadap
serangan mikro organisme dan sebagai regulator sistem imun adaptif. Sistem bawaan
memegang peran penting dalam patogenesis SLE. Beberapa dekade terakhir di laporan studi
yang membahas peran sistem imun bawaan dalam patogenesis SLE (Ronnblom & Leonard,
2019). Penelitian-penelitian tersebut dibuat berdasarkan laporan studi sebelumnya yang
melaporkan adanya peningkatan produksi interferon yang sangat tinggi pada SLE aktif
karena adanya peningkatan ekspresi gene (IFN signature). Interferon tipe I pada kondisi
normal diproduksi sel plasmacytoid dendritic cells (pDC) dalam merespons infeksi virus.
Pada SLE, peningkatan sintesis interferon melalui TLR yang mengenali asam nukleat.
Interferon berperan dalam hilangnya proses toleransi dan aktivasi sel T dan Sel B.
Sebenarnya proses autoimun adalah mirip sistem imun tubuh yang melawan bakteri, namun
pada SLE material sel tubuh dapat memicu aktivasi sistem bawaan maupun adaptif.
Peningkatan IFN mengubah milieu sekitar sel yang dapat mengubah signalling IL-10
(Ronnblom & Leonard, 2019). Adanya interferon menyebabkan terjadinya cross talk
signalling dengan IL-10 yang menjadikan aktivasi STAT3 berubah menjadi STAT1. Studi in
vitro Sharif et al. (2004) dan Herrero et al. (2003) melaporkan perubahan fungsi IL-10
berubah menjadi pro-inflamasi karena adanya IFN.
Yuliasih (2010) melakukan uji in vitro dengan PBMC untuk mengetahui perubahan
fungsi IL-10 pada penderita SLE aktif dan mempunyai polomorfisme gen IL-10 pada region
promoter. Pada penelitian ini, melihat kadar TNF-α pada kultur PBMC. Studi Studnicka-
Benke et al. (1996) pada SLE yang sedang aktif, terdapat peningkatan kadar TNF-α, sama
dengan studi Sua‟rez et al. (2005). Mongan (1997) yang juga melakukan kultur PBMC SLE
aktif dan dilihat kadar TNF-α reratanya : 0,076 ± 0,059 ng/ml dan pada populasi normal
kultur PBMC kadar TNF-α : 0,019 ng/ml. Studi in vitro dengan penambahan paparan (IFN,
IL10, IL-10 + con A dan IFN + IL-10) paparan ini dimaksudkan untuk mengubah milieu sel.
Perubahan milieu mengubah fungsi IL-10. Hasil uji statistik didapatkan kultur PBMC yang
terpapar dengan IL-10 saja hasil kadar TNF-α tidak berubah, di sekitar sel banyak
mengandung IL-10 yang secara spontan disekresi oleh PBMC. Pada kultur PBMC yang
terpapar IL-10 dan con-A di mana con-A dipakai sebagai LPS didapatkan kadar TNFα tidak
meningkat bermakna. Kultur PBMC diberi dengan dosis IFN yang berbeda-beda. Hasilnya
menunjukkan perbedaan hasil kadar TNF-α. dapat disimpulkan bahwa IL-10 sinergisme
dengan IFN dalam merangsang sekresi sitokin pro-inflamasi (TNFα) melalui jalur JAK-
35
STAT sesuai yang dilaporkan Herrero et al. (2003) dan Sharif et al. (2004). Perubahan
signalling yang terjadi membutuhkan sitokin tertentu serta dosis yang lebih tinggi seperti saat
infeksi.
Hubungan antara kadar TNF-α pada kultur PBMC dengan SNP di promoter gen IL-
10. Didapatkan haplotipe GAG, GTG dan AAA di -294 AG, -296 AT dan -301 AG,
ketiganya signifikan terhadap peningkatan sekresi TNF-α. Kombinasi dari ketiga SNP
signifikan dengan peningkatan sekresi TNF-α pada berbagai paparan. Pada kelompok GAG,
kadar TNF-α (1,279 ± 0,290 ng/ml) 60 kali pada SLE berat. Hal ini sesuai Studnicka-Benke
et al. (1996) dan studi Sua‟rez et al. (2005). Pada kombinasi GTG, kadar TNF (0,354 ± 0,03
ng/ml) meningkat 10 kali lipat. Perubahan milieu dengan IFN dan kombinasi SNP gen
promoter IL-10 (11,01±3,219 ng/ml) dan kombinasi SNP GAT (2,116 ± 0,307 ng/ml). Pada
SLE yang berat kadar interferonnya sangat tinggi dengan penambahan IFN dari paparan
makin merangsang sekresi TNF-α. Proses ini dapat diterangkan bahwa IFN berperan sebagai
inducer dengan melakukan cross signalling dengan TNF-α. Disimpulkan bahwa IFN
memengaruhi IL-10 menjadi pro-inflamasi, makin tinggi kadar IFN dan IL-10 maka
perubahan cross talk signalling makin besar karena IFN merangsang sintesis STAT1.
Sel T
Fungsi dari sel T (T-cells) pada pasien SLE telah diketahui banyak perannya dalam
patogenesis SLE. Fungsinya antara lain mensekresi sitokin, memicu proliferasi sel, dan
fungsi regulasi sistem imun melalui Treg pada SLE dilaporkan kadar Treg menurun sehingga
tidak ada pengontrol sel T yang autoreaktif (Crispin et al., 2010). Peran lain dari sel T CD4+
(Th2) menstimulasi sel B untuk menyintesis autoantibodi. Meskipun beberapa percobaan in
vitro mendukung peran sitokin seperti IL-21 dan B-cell activating factor (BAFF)/B
lymphocyte stimulator (BLyS) dan ligan TLR untuk memperantarai produksi antibodi sel B,
namun sel T dilaporkan sebagai mediator yang paling efisien memicu diferensiasi sel B
(Ettinger et al., 2007). Sel T setelah teraktivasi mengekspresikan ligan CD40 (CD154) dan
mempertahankan ekspresi molekul stimulan lain lebih lama daripada sel T sehat sehingga
semakin meningkatkan kemampuan sel T dalam aktivasi dan diferensiasi sel B (Crow, 2017).
Gangguan Th1 dan Th2 merupakan paradigma patogenesis SLE, namun sejak
ditemukannya Th17 paradigma tersebut mulai bergeser. Diduga mempunyai peran besar
dalam patogenesis SLE adalah gangguan keseimbangan Th17 dan Treg (Alunno et al., 2012).
Hal ini diperkuat oleh penelitian studi Ma et al. (2010) dan Xing et al. (2012). Studi terbaru
36
telah membuktikan keberadaan subset sel T efektor ketiga setelah Th1 dan Th2, yaitu Th17.
Subset ini berdiferensiasi dari sel T naif dengan dikendalikan oleh TGF-β dan IL-6 atau IL-
23. Sel Th17 memiliki kemampuan untuk menghasilkan IL-17A dan IL-17F,
mengekspresikan reseptor permukaan IL-23, serta mempunyai faktor transkripsi spesifik
RORc (RORγt pada mencit) (Mellanby et al., 2009; Actor, 2012). Sel CD4 + naif
berdiferensiasi menjadi sel T helper (Th1, Th2, Th9, Th17) dan sel T (Treg) untuk
menjalankan aktivitas fungsionalnya. Sel Th1, Th2 dan Th17 memainkan peran penting
dalam respons imun protektif terhadap patogen intraseluler dan parasit ekstraseluler, namun
respons imun berlebihan menyebabkan penyakit autoimun dan inflamasi. Sel Fox3 T reg +
sangat penting untuk toleransi imun dan memainkan peran penting dalam pembatasan
respons imun dan inflamasi meskipun sel Treg dan Th17 memiliki fungsi yang sama sekali
berbeda dalam respons imun, diferensiasi kedua himpunan bagian sel memang membutuhkan
TGF-β (Zheng, 2013).
Fungsi TGF-β menghambat diferensiasi, proliferasi, dan fungsi berbagai sel imun
termasuk sel Th1, Th2 dan Tfh. TGF-β bersama sitokin lainnya juga memicu diferensiasi sel
iTreg, menjadi Th9 dan Th17. Selain itu, TGF-β menghambat pematangan dan fungsi sel-sel
imun lainnya seperti CD8 + CTL, sel NK, DC, dan makrofag. Baik nTreg dan iTregs
menekan Th1 dan Th2, hanya iTregs yang menekan sel Th17. nTreg dikonversi menjadi sel
Th1, Th2, Th17, dan Tfh dan kehilangan aktivitas supresif, iTregs resistan terhadap
dikonversi menjadi sel efektor T kecuali Th1 yang dapat diinduksi jadi iTreg (Gambar 2.6)
(Zheng, 2013).
Pada awal 1970-an, Gershon et al. melaporkan bahwa timosit dari model hewan
percobaannya mengandung populasi sel seperti yang mereka sebut “cell T supresor” dan
berasumsi sel ini termasuk subset sel CD8 + (1). Selanjutnya, Sakaguchi et al. menemukan
bahwa populasi sel CD4 + CD25 + subset sel T CD8 + di timus memang memiliki aktivitas
imunosupresif yang sekarang disebut sebagai sel T regulasi atau sel T regulator alami, nTregs
(Sakaguchi et al, 1995). Baru-baru ini, sel CD4 + CD25 + CD127- CD45RO + Foxp3 +
diidentifikasi sebagai sel supresor (Miyara et al, 2009 4). Faktor transkripsi nuklir Foxp3
telah diidentifikasi sebagai penanda yang spesifik untuk sel Treg. Foxp3 secara kritis terlibat
dalam pengembangan dan fungsi sel Treg. Banyak penelitian telah mengungkapkan bahwa
jumlah sel CD4 + CD25 + dan sel CD4 + FOXP3 pada pasien dengan berbagai penyakit
autoimun kadarnya menurun dan defisit Treg ini terkait dengan tingkat keparahan penyakit
dan aktivitas penyakit. Pada sel mononuklear darah perifer (PBMC) mengandung campuran
37
nTreg yang berasal dari timus dan yang diinduksi (dinduksi iTregs). Sampai hari ini, tidak
ada penanda spesifik yang dapat membedakan nTreg dari iTregs (Zheng, 2013).
nTreg secara tidak stabil dan dapat dikonversi menjadi sel efektor Th1, Th2, Th17,
dan Tfh ketika ada perubahan lingkungan inflamasi (Ding et al., 2010). Jadi nTreg tidak
dalam kondisi inflamasi dalam hal ini nTreg menjadi sel Th17 akibat pengaruh IL-6. Sangat
mungkin bahwa iTreg stabil kondisi inflamasi. Subset CD4 + Treg dapat diklasifikasikan
lebih lanjut menjadi tiga populasi utama adalah jumlah CD4 + CD25 + Foxp3 + sel (nTreg)
Treg yang diinduksi secara endogen in vivo dan yang dapat diinduksi secara ex vivo dari
CD25- precursor di limfoid perifer (Zheng et al., 2002). Secara fenotipe, baik nTreg dan
iTreg mengekspresikan molekul yang sama seperti CD25, CD122, CTLA-4, GITR, CCR4,
CD62L, PD1 dan Foxp3, dan CD45RO pada manusia. Sel CD4 + CD25 + Foxp3 + di perifer
dianggap sebagai populasi campuran yang terdiri dari nTreg dan iTreg (Thornton et al., 2010;
Yadav et al., 2012). Meskipun IL-2 dan TGF-β memainkan peran penting dalam
menginduksi nTreg, kedua sitokin itu redundan untuk perkembangan sel Treg. IL-2 dan TGF-
β mempengaruhi CD4 + CD25 + Foxp3 + sel T regulatori dalam timus TGF-β dan IL-2
penting perkembangan ntreg maupun iTreg (Marie et al., 2005). Diketahui bahwa Treg ada
beberapa tipe, namun dominannya berasal dari CD4. Aktivasi daripada sel Treg ini akan
menetralisir sel-sel efektor akibat aktivasi sel T. Regulasi ini tergantung dari tipe sel
regulator, di mana sel Treg ini menekan supresif sitokin yaitu TGFβ dan IL-10. Treg dikenali
dari tingginya ekspresi terhadap IL-2 receptor-α chain CD25 dan faktor transkripsi FOXP3.
Foxp3 berasal dari timus, merupakan pengontrol fenotipe dan fungsi Treg. Adanya mutasi
pada gen ini akan menimbulkan disregulasi imun, dibuktikan pada beberapa penyakit
autoimun yang fatal. Sel T naïf juga akan bisa berkembang menjadi Treg namun ini berasal
dari perifer bukan berasal dari timus, dan proses ini akan berhasil bila adanya TGFβ yang
tinggi (Sakaguchi et al., 2010; Zheng, 2013).
Sel T CD4 + naif dapat diinduksi dan menjadi berbeda-beda sel dengan beberapa
fenotipe karena pengaruh lingkungan sitokin lokal, sel CD4+ naif dapat menjadi Th1, Th2,
Th9, Th17 dan Treg. Peran faktor transkripsi juga penting dalam proses diferensiasi sel T ini.
Pengaruh IL-4 dan aktivasi faktor transkripsi GATA-3, CD4+ menjadi Th2 (Zheng & Flavell,
1997). Untuk menjadi iTreg maka dibutuhkan IL-2 dan TGF-β serta aktivasi faktor
transkripsi Foxp3 sedangkan pengaruh TGF-β dan IL-6 aktivasi faktor transkripsi faktor
reseptor inti RORγ. CD 4+ akan menjadi sel Th17. Sinyal TGF-β sangat penting untuk
diferensiasi sel Th17, defisiensi TGF- β menghambat proliferasi Sel Th17. Meskipun ada IL -
38
2 namun defisiensi TGF makan tidak CD4+ tidak akan menjadi sel Foxp3 + iTreg. Demikian
juga dalam perkembangan untuk menjadi Th17 mutlak membutuhkan TGF meskipun ada IL
-6 atau IL21. Laporan studi menyebutkan bahwa IL-6 memiliki efek dominan pada
diferensiasi sel CD4 menjadi sel Th17 (Zheng, 2013). Yang et al. telah melaporkan bahwa
Foxp3 menghambat diferensiasi Th17 dengan menghambat faktor transisi RORγt dan ROR.
Namun, IL-6 menghambat aktivasi faktor transkripsi Foxp3 pada diferensiasi Th17 (Yang et
al., 2008; Zheng, 2013).
Sel nTreg mengekspresi TGF-β yang terikat membran dan TGF-β ini memiliki
aktivitas fungsi dengan memengaruhi IL-6 sehingga nTreg dapat diubah menjadi Th17 (Xu
et al., 2007). TGF-β endogen yang diproduksi oleh nTreg sangat diperlukan untuk memblokir
sinyal TGF-β yang mengakibatkan kegagalan konversi Treg ke Th17. Selain itu, aktivasi
nTregs karena pengaruh IL-6 menghasilkan penurunan ekspresi Foxp3 dan aktivitas supresif
hal ini ditunjukkan pada studi in vitro maupun in vivo. nTreg manusia juga dapat dikonversi
menjadi sel Th17 ketika distimulasi dengan IL-1 dan IL-6 meskipun peran TGF-β dalam
konversi ini kurang jelas. Dengan demikian, dalam lingkungan inflamasi yang banyak
mengandung IL-1 dan / atau IL-6, membuat nTregs tidak stabil dan kehilangan aktivitas
fungsional. Selain dapat ber konversi menjadi sel Th17, nTregs dapat juga dikonversi
menjadi subset lain dari sel efektor T misalnya menjadi Th2 ini dibuktikan oleh Wan dan
Flavell bahwa Foxp3 + nTregs dapat dikonversi ke sel Th2 dengan cara menghambat ekspresi
gen Foxp3 dalam sel-sel ini (Wan & Flavell, 2007). Pada kondisi inflamasi, sitokin-sitokin
seperti IL-6, IL-21, dan IL-23, merangsang fosforilasi STAT3, STAT3 yang teraktivasi akan
mengaktivasi gen promoter IL-17 dan meningkatkan sekresi IL-17. Deplesi STAT3 akan
diikuti dengan penurunan ekspresi RORc dan diferensiasi Th17. Diduga IL-6 mengatur IL-17
dengan meregulasi kadar RORc dan bila ada penurunan IL-17 maka terdapat peningkatan
kadar Treg (Zheng, 2013).
39
Peran IL-6 pada SLE dilaporkan berhubungan dengan aktivitas penyakit. Yuliasih et
al. (2019) melaporkan bahwa IL-6 berhubungan dengan aktivitas penyakit. IL-6 merupakan
sitokin proinflamatori yang diekskresi bersamaan dengan TNFα dan IL-1 saat respons imun
merespons suatu infeksi atau antigen. IL-6 dilaporkan merupakan sitokin yang sangat kuat
menginduksi, aktivasi dan diferensiasi, sel limfoid dan miloid, serta memproduksi CRP.
Selain itu juga hubungan dengan proses eritroporesis. Studi-studi sebelumnya melaporkan
adanya hubungan antara aktivitas penyakit dengan kadar IL-6 dan tidak berhubungan dengan
aktivitas masing-masing organ. Kadar IL-6 berkorelasi dengan aktivitas penyakit SLE dan
dari hasilnya masih kontroversi, ada data yang menyebutkan berhubungan ada yang tidak.
Chun et al. (2007) membuktikan bahwa kadar IL-6 serum memiliki korelasi dengan
aktivitas penyakit yang diukur dengan SLEDAI. Spronk et al. (1992) menemukan kadar IL-6
serum berhubungan dengan peningkatan C reactive protein (CRP), turunnya kadar C3 dan
C4, dan indeks aktivitas penyakit. Sedangkan Sabry et al. meneliti kadar IL-6 berhubungan
dengan aktivitas lupus nefritis. Pada penelitian Yuliasih et al. (2019) didapatkan rerata kadar
serum IL-6 23,93 pg/ml, serum pada penderita SLE aktif yang dirawat inap di RSUD Dr.
40
Soetomo. Kadar IL-6 serum pada semua pasien sampel lebih tinggi dari nilai tertinggi orang
normal yaitu 3,12 pg/ml.
IL-6 bersama dengan TGFβ meningkatkan diferensiasi sel T naive menjadi sel Th17
efektor di mana sel ini mengeluarkan IL-17 yang dikenal sebagai sitokin proinflamasi. IL-17
sebagai proinflamasi bekerja dengan cara mengaktivasi monosit, neutrofil, GMCSF, G-CSF,
merangsang sekresi sitokin proinflamasi, dan bersinergi dengan sitokin IL-1beta, TNFα,
interferon menginduksi respons inflamasi lokal (Miossec, 2012). Adanya peningkatan kadar
IL-17 maka sitokin makin mengaktivasi respons imun tersebut sehingga proses disfungsi
regulasi sistem imun menjadi kacau dan tidak terhentikan. Penelitian yang dilakukan Yuliasih
et al. (2019) melaporkan sel Th17 dengan aktivitas penyakit tidak berkorelasi, hal ini
didukung oleh penelitian dari Ma et al. (2010) dan Xing et al. (2012). Peningkatan persentase
Th17 pada pasien SLE dilaporkan secara konsisten oleh sebagian besar studi. Namun,
korelasi antara Th17 dengan aktivitas penyakit SLE masih banyak kontroversi.
Peningkatan Th17 pada pasien SLE mengakibatkan produksi sitokin proinflamasi
dan kemokin secara berlebihan sehingga lingkungan (milieu) tubuh pasien SLE akan selalu
dalam kondisi mengalami inflamasi. Pada pasien SLE juga didapatkan kegagalan mekanisme
toleransi yang mengakibatkan self selalu dikenali sebagai antigen dan sebagai responsnya
maka terbentuk autoantibodi. Antibodi ini disintesis oleh sel plasma yang berasal dari sel B
proses proliferasi dan diferensiasinya sangat oleh sitokin yang dihasilkan oleh Th2 dalam.
Berdasarkan ini, sitokin Th2 masih lebih berperan untuk sintesis autoantibodi meskipun IL 17
dilaporkan mampu menstimulasi sel (Mesquita et al., 2009).
Di samping itu, proses diferensiasi sel T sangat kompleks. Hal ini terjadi akibat sifat
plastisitas sel T, yang mana sel T mampu berdiferensiasi menjadi Treg, belum tentu tetap
menjadi Treg. Adanya pengaruh sitokin IL-6 sel nTreg dapat berubah menjadi Th17 sehingga
pada pasien SLE kemungkinan akan didapatkan peningkatan Th17 (Mellanby et al., 2009;
Actor, 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Dolff et al. (2011) menyatakan bahwa
gangguan keseimbangan antara Th1 dan Th2 lebih berperan dalam patogenesis SLE apabila
dibanding dengan gangguan keseimbangan antara Th17 dan Treg. Penelitian dari Ma et al.
(2010) juga menyatakan bahwa Th17 sendiri tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit
SLE, namun rasio Th17/Treg yang berhubungan dengan aktivitas penyakit SLE.
Penelitian Ma et al. (2010) ada dua. Pertama, tingginya persentase IL-6 pada pasien
SLE yang menginhibisi ekspresi Foxp3+ sehingga menghambat fungsi supresi dari Treg.
Akibatnya Th17 meningkat. Kedua, berkurangnya persentase IL-2 pada pasien SLE yang
41
imunitas dan toleransi (Zheng, 2013). Dalam induksi sel T untuk menjadi Treg,
membutuhkan ekspresi IL-2. Mizui dan Men (2018) pada studi in vivo in vitro dengan
menetralisir TGFβ memengaruhi kadar FOXP3 sel Treg.
Gambar 2.7 Milieu sel memengaruhi diferensiasi dan plasticity sel T (Tuomela &
Lahesmaa, 2013)
Sel T mempunyai peran besar dalam respons imun terhadap bakteri maupun penyakit
autoimun karena sel T mempunyai peran besar dalam meregulasi sel B dan CD8. Diferensiasi
sel T ini terjadi di timus dan penting dalam menjaga toleransi. Sel milieu menentukan
diferensiasi sel T mengarah ke efektor sel T. Diferensiesi sel T ke Th17 diinduksi oleh
adanya TGFβ, IL-21, IL-6, IL-1β, dan sel T ini sangat berperan dalam melawan patogen
ekstraseluler. Sel Th17 ini berperan besar pada penyakit autoimun. Sel CD4 berdiferensiasi
menjadi Th1 dan Th2 dan paradigma ini sudah dikenal lama dan sangat kecil variasinya,
tetapi data yang terbaru membuktikan oleh karena pengaruh lingkungan muncul Th17 dan
Treg sel yang menunjukkan besarnya kemampuan plasticity yaitu perubahan fenotipe dan
fungsi dari masing-masing sel (Tuomela & Lahesmaa, 2013).
Th17 diidentifikasi dari kemampuan mensekresi IL-17, IL-21, GMCSF dan IL-22.
Faktor transkripsi daripada Th17 adalah retinoic acid receptor-related orphan receptor-γ
(RORγ) yang mengontrol perkembangan dan fungsi sel T. Faktor transkripsi ini berhubungan
dengan faktor transkripsi lainnya, antara lain RORα, STAT3, BATF, dan IRF4 (Ciofani et
43
al., 2012). Pada percobaan binatang ditunjukkan bahwa sel Th17 berasal dari CD4 naif yang
dipengaruhi oleh TGFbeta, IL-6, dan IL-21. TGFβ penting peranannya dalam induksi
RORγc. Pada studi manusia juga menunjukkan hal sama. Sitokin IL-23 juga mempunyai
peran besar dalam menginduksi Th17 yang merupakan survival factor Th17. Th17 juga dapat
ditemukan pada kondisi sistem imun yang tenang. Fungsi dari Th17 adalah untuk melawan
bakteri ekstraseluler, infeksi jamur pada gastrointestinal (Tuomela & Lahesmaa, 2013;
Martin et al., 2014).
Dari beberapa catatan studi bahwa Th17 juga mampu mensekresi interferon baik pada
manusia dan binatang coba sehingga Th17 dianggap populasi Th1 like-features. Sejak
ditemukannya interferon dapat menghambat perkembangan Th17. Stabilitas Th17 tergantung
pada TGFβ dan IL-2. Fleksibilitas Th17 ini akibat adanya epigenetik status dari sel ini. Th17
ini dapat dibedakan dengan Th1 berdasarkan ekspresi CD161 (Kleinewietfeld & Hafler,
2013). Fleksibilitas dan plasticity cell Th17 menjadi Th1 fenotipe tergantung pada sitokin
microenvironment. Jadi Th17 akan berperan menjadi patogenik atau inflammatory tergantung
pada antigen yang menstimulasi, misalnya staphylococcus yang menginduksi Th17
mensekresi sitokin IL-10. Sedangkan kandina albican menginduksi Th17 untuk mensekresi
IFNγ (Zielinski et al., 2012). Kesamaan diferensiasi analog plasticity antara Th17 dan Th1,
dari laporan data terakhir menunjukkan sel Th17 bisa berasal dari Th2 sel T. Hal ini
dibuktikan dengan adanya infeksi cacing pada binatang coba menunjukkan perubahan IL-17
mensekresi IL-4 seperti pada Th2. Hal ini yang menerangkan korelasi antara Th17 dan
infeksi dan autoimun (Martin et al., 2014).
Sel Th1-like akan berkembang menjadi Treg bila ada Foxp2 dan Tbet. Hal ini
dibuktikan dengan mendelesi FOXP3 akan menghambat sel T mengsekresi IFNγ. Sifat
plasticity ini tidak hanya terjadi pada sel bagian yang sama tapi juga pada sel antagonis.
Dibuktikan pertama kali pada uji binatang coba bahwa IL-6 yg disekresi oleh Treg dapat
menginduksi Th17. Fenomena plasticity tergantung pada sitokin IL-6, IL-1β apakah akan
mengaktivasi fungsi STAT3, RORγt, dan RORα (Zheng, 2013). Fenomena yang sama
dilaporkan bahwa FOXP3 Treg yang mengekspresi IL-17 berkonversi menjadi Th17-like
Treg dan tergantung adanya IL-1β. Dilaporkan hubungan antara Th17 like fenotipe dengan
ekspresi RORc, meskipun ekspresi ini tidak meretriksi perkembangan Treg untuk menjadi
Th17. Sebaliknya Th1-like Treg, IL-17 bila diinduksi oleh Th17 yang dikeluarkan oleh Treg
akan berfungsi menekan respons imun dan kemampuan ini hilang bila ada IL-1β dan IL-6
(Martin et al., 2014).
44
Jadi, perkembangan sel T naif menjadi sel T efektor tergantung dari milieu sel, bila
banyak sitokin proinflamasi disekresi, maka akan berkembang mengarah sel T yang
mengaktivasi respon imun dimana sel T akan berkembang menuju Th17 dan Th17 yang
dihasilkan berkembang menjadi Th1-like dimana sitokin ini sama-sama mensekresi sitokin
proinflamasi. Treg akan dihambat perkembangannya oleh sitokin proinflamasi. adanya
sitokin proinflamasi maka Treg mampu untuk berdiferensiasi menjadi Th17 atau Treg/Th17.
Penelitian lain juga menyatakan bahwa sel T pada SLE memproduksi lebih sedikit IL-2
dibandingkan pada sel T sehat sehingga terjadi gangguan produksi sel T regulator (Treg).
Mekanisme signalling sel T dapat membaik apabila gangguan tersebut dapat diperbaiki. Sel
Treg bertugas dalam supresi respons imun yang berlebihan. Sedangkan sel T-helper 17
(Th17) memiliki fungsi sebagai sekresi IL-17 yang berfungsi sebagai sitokin pro inflamasi.
TH 17 dan IL 17 saat ini menjadi fokus penelitian tentang perannya dalam pathogenesis SLE.
Namun hasil studi sementara masih kontroversial. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
penurunan kadar Treg dan peningkatan Th17 dan IL-17 pada SLE aktif (Zheng, 2013).
Pada SLE, produksi sitokin-sitokin banyak yang berubah. IL-2 merupakan salah satu
sitokin yang produksinya menurun. Awalnya penurunan kadar IL-2 pada SLE diduga karena
buruknya respons proliferasi sel T yang terstimulasi antigen. Dengan menurunnya kadar IL-2
yang berperan dalam mengatur Treg maka menurun pula keseimbangan regulasi sistem imun.
Regulasi sel B (B-cells) juga terganggu pada SLE. Sel B berkontribusi terhadap diferensiasi
produksi autoantibodi dan sitokin. Sel B aktif pada SLE memiliki potensi untuk
meningkatkan efisiensi presentasi self-antigen yang spesifik kepada sel T. Belum sepenuhnya
jelas apakah perubahan fungsi sel B hanya disebabkan oleh peningkatan sel T helper atau
disfungsi sel B sendiri yang mempengaruhi terhadap autoimunitas (Lieberman & Tsokos,
2010).
Banyak penelitian-penelitian terbaru saat ini mengidentifikasi kemungkinan adanya
kategori tertentu dari turunan sel B yang secara spesifik menyebabkan munculnya
autoimunitas. Sel plasma di dalam sumsum tulung yang regulasinya diatur oleh kemokin dan
produk sel stroma diduga menjadi salah satu sumber antibodi seperti anti-Smith (Sm) dan
anti-Ro (Hiepe et al., 2011). Kedua antibodi tersebut dapat di tekan dengan terapi
imunosupresan, sedangkan sel plasma yang disirkulasi dalam darah menjadi sumber dari
antibodi anti-dsDNA yang kadarnya berfluktuatif dan tergantung dengan variasi aktivitas
penyakit dan dapat dikontrol dengan terapi anti sel B (Jacobi et al., 2010). Disregulasi sel T
dan sel B telah banyak dijelaskan pada berbagai penelitian merupakan suatu refleksi adanya
45
variasi genetik tertentu yang memengaruhi ambang aktivasi sistem imun dan efisiensi cell
signalling. Perubahan mendasar tersebut pada akhirnya memengaruhi keseluruhan proses
regulasi imun termasuk interaksi antar limfosit, mekanisme antigen-presenting, hingga
seiring berjalannya waktu menyebabkan hiperaktivitas respons imun. Peningkatan IFN tipe 1
dan adanya antibodi anti-nuclear pada anggota keluarga pasien SLE yang sehat membuktikan
bahwa faktor genetik menjadi salah satu faktor predisposisi SLE yang signifikan (Niewold et
al., 2007). Anggota keluarga yang telah memiliki predisposisi tersebut akan mudah jatuh
sakit bila suatu saat ada faktor-faktor dari lingkungan yang mencetuskan (Crow, 2017).
atau menerima antigen dari sel T maka sel B tersebut akan diapoptosis dan dibersihkan oleh
makrofag, sedangkan sel B yang mampu menyeleksi antigen meninggalkan germinal center
menjadi sel B memori atau plasmablast melalui proses yang tidak sepenuhnya dipahami. Sel
plasma yang berumur panjang dipertahankan secara aktif di bone marrow dilengkapi dengan
reseptor faktor survival yaitu IL-6, faktor pengaktif sel B (BAFF), dan proliferation
inducing ligand (APRIL). Trafficking sel B di organ limfoid dan target jaringan merupakan
cara dalam mekanisme regulasi aktivasi dan diferensiasi sel B. Sel B dapat mengenali
antigen yang berasal dari darah dan membentuk FDC di limpa. Germinal center tempat di
mana sel B berdiferensiasi menjadi tipe sel B dengan karakteristik menyintesis antibodi
dengan kualitas high affinity. Hal ini menandakan perbedaan diferensiasi sel B di tempat lain
dibanding dengan di germinal center di Limpa (Yong-Rui et al., 2017).
Siklus hidup sel B sangat kompleks. Dalam perkembangannya sel B dibagi menjadi 2
lineage, yaitu B1 dan B2. B1 mempunyai umur yang panjang, berada pada perkembangan
awal sel B. Biasanya terdapat pada peritoneal dan pleura. Sel-sel ini memproduksi
immunoglobulin M yang merupakan antibodi natural. Jenis sel B2 mempunyai kapasitasi
menghasilkan hypermutated antibody dan merupakan bagian dari sel B yang berperan pada
sistem imun adaptif. Jenis sel B2 berkembang dan berdiferensiasi di bone marrow. Pada bone
marrow inilah sel B dilakukan edukasi, yang merupakan tempat sentral toleransi. Setelah
maturasi, sel B dilepas ke perifer dan menuju lien yang merupakan tempat toleransi perifer.
Di lien, sel B terbagi berdasarkan tempatnya yaitu di mature follicular sel B atau marginal
zone. Sel B yang berada di follicular zone bermigrasi ke limfoid sekunder dan merupakan
elemen sistem imun adaptif. Sel B1 dan marginal sel B mempunyai peran dalam sistem imun
yaitu merespons dengan cepat teraktivasi terhadap respons patogen (Yong-Rui et al., 2017).
Pengembangan sel B saat janin terjadi di liver tetapi saat dewasa terjadi di sumsum
tulang. Sel B berasal dari hemapoitic stem cell yang akan berkembang menjadi berbagai
macam sel. Selama perkembangan di sumsum tulang, sel B diedukasi terhadap sel-sel self
antigen supaya terjadi toleransi. Sel preB reseptor (preBCR) memainkan peran penting
selama tahap awal pengembangan sel B. Dalam pengembangan sel B yang paling penting
adalah pembentukan preBCR karena menentukan sel B menerima signal untuk
berdiferensiasi maupun berproliferasi. Bila kondisi imatur dapat mengenali self-antigen maka
tubuh akan segera melakukan apoptosis (Yong-Rui et al., 2017).
Dalam perkembangannya sel B diberi marker spesifik antara lain: CD20, CD22,
CD19, BAFF-R (B cell activating factor receptor). Marker spesifik ini mempunyai peran
sendiri-sendiri. BAFF-R fungsinya meningkatkan lama hidup sel B menjadi panjang. Sel B
47
penting untuk proteksi mikroba dan penting dalam memegang peran patogenesis penyakit
autoimun. Sitokin BAFF mengontrol penting proses toleransi proliferasi, diferensiasi,
aktivasi, dan survival sel B. BAFF juga dikenal dengan nama B lymphocyte stimulator
(BLyS), yang merupakan sitokin yang mencegah apoptosis Sel B yang autoreaktif The
BAFF family terdiri dari 2 ligand yaitu, proliferation-inducing ligand (APRIL) and
BAFF; Baff ini mempunyai 3 membran reseptor yaitu BCMA (B cell maturation
antigen), TACI (transmembrane activator calcium modulator, and cyclo phylin ligand
interactor) dan BAFF-R. Interaksi antar ligan dan reseptor terjadi beberapa, BAFF dapat
berinteraksi dengan BR3 tetapi juga dapat berinteraksi dengan 2 reseptor lainnya
sedangkan APRIL dapat berinteraksi dengan TACI dan BCMA, tetapi tidak dengan BR3.
BAFF memengaruhi survival sel B dan memicu sel B mengalami maturasi pada fase
early transitional stages, dan menghentikan sifat sel B sebagai humoral tolerance melalui
penyelamatan sel B dari proses apoptosis. Untuk menghindari pembentukan autoantibodi
patogen maka tubuh mengatur jumlah sel limfosit yang selama pengembangan dan
pematangan sel B. Ada mekanisme yang efektif untuk mencegah aktivasi kekebalan limfosit
self-reaktif. Berdasarkan profil ekspresi reseptornya, BAFF tidak berpengaruh pada toleransi
sel B dalam bone marrow tetapi bekerja pada periferal artinya BAFF berperan utama dalam
toleransi B yang belum matang (Mackay & Schneider, 2009). Sel B self-reactive dapat
bermigrasi ke sirkulasi perifer. sel B yang self reaktif persisten dalam keadaan anergik. Sel B
yang reaktif sendiri membutuhkan BAFF sitokin untuk mempertahankan kelangsungan hidup
dan pematangannya. Karena kadar BAFF terbatas pada kondisi normal sehingga sel B yang
autoreaktif ini mengalami apoptosis. Pada penyakit autoimun didapatkan ekspresi BAFF
yang meningkat, fungsi BAFF pada sel B adalah merangsang proliferasi dan lama hidup sel
B. Pada penderita penyakit autoimun didapatkan kadar BAFF yang tinggi dibandingkan
orang normal (Yong-Rui et al., 2017).
diduga memalui kompleks imun atau autoantibodi merusak langsung target organ yang
akhirnya menimbulkan kerusakan (Suzuki et al., 1998; Mok & Lau, 2003). Adanya Fas
mediated apoptosis merupakan inti terjadinya kegagalan self tolerance. Dilaporkan bahwa
pada penderita SLE, FasR mempunyai ekspresi yang lebih tinggi dibanding populasi normal.
Antigen driven autoantibody production adalah karakteristik dari penyakit SLE. Pada intinya
proses autoimun dimulai dengan hilangnya toleransi baik central dan perifer sehingga sel T
mengenali self-antigen. Setelah hilang faktor toleransi ini maka dimulailah sel T autorektif
dan diikuti sel B yang akhirnya membentuk autoantibodi (Craft, 2011).
Autoantibody mediated tissue injury merupakan mekanisme kerusakan organ pada
SLE contohnya Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE). Autoantibodi ini
selanjutnya membentuk imun kompleks dan mengaktivasi kaskade inflamasi melalui
komplemen. Dasar gangguan fungsi organ karena SLE adalah adanya inflamasi pada
vaskuler yaitu yang sering disebut vaskulitis. Beberapa sitokin yang diduga terlibat yaitu
TNFα, interferon, IL-6, dan sitokin proinflamasi lainnya. Manifestasi organ pada SLE sulit
diprediksi, pada beberapa laporan dikatakan ada kaitannya dengan antibodi yang terbentuk,
misalnya dsDNA dikaitkan dengan manifestasi pada ginjal dan pada serebral. Autoantibodi
yang terbentuk sangat terkait dengan faktor genetik. Oleh karena itu, manifestasi klinik
berbeda-beda pada tiap individu (Bertsias et al., 2012).
Peran antibodi ini juga masih dipertanyakan terkait mekanisme yang menyebabkan
kerusakan pada organ. Pada beberapa laporan, autoantibodi ini mempunyai peran direct
effects atau merusak langsung pada target organ, atau melalui indirect effects yaitu melalui
kompleks imun yang menimbulkan inflamasi (Hahn, 2007; Bertsias et al., 2012). Peran
antibodi di dalam menimbulkan gejala klinis masih belum diketahui dengan pasti, beberapa
peneliti melaporkan kerusakan organ bisa akibat efek langsung autoantibodi, atau melalui
pembentukan kompleks imun. Pembentukan kompleks imun yang terdeposit pada organ
merangsang aktivasi komplemen yang akhirnya menimbulkan keradangan pada organ atau
jaringan. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinik pada SLE (Mok & Lau, 2003).
Pembentukan autoantibodi-autoantibodi ini dari beberapa penelitian dilaporkan sangat
terkait dengan faktor genetik yang multigenik hal inilah yang mungkin dapat menerangkan
mengapa manifestasi klinik dari masing-masing individu atau suku berbeda-beda. Antibodi-
antibodi yang dikenal pada lupus, yaitu antinuclear antibody (ANA), double stranded DNA
(dsDNA), anti SS-A (Ro), anti SS-B (La), RNP, antiribosomal-P antibodi, anti Sm, Scl-70
(Mok & Lau, 2003). Beberapa autoantibodi dipakai sebagai marker untuk manifestasi klinik
tertentu misalnya dsDNA menandakan lupus yang aktif, berhubungan dengan manifestasi
49
CNS lupus atau lupus nefritis. Anti RNP dan anti-Sm spesifik untuk SLE, Anti-Ro dan La
berkaitan dengan mata kering, blok jantung janin, serta berhubungan dengan manifestasi kulit
yang fotosensitif dan neonatal lupus. Selain antibodi, peran sitokin juga sangat krusial,
sitokin IL-6, Blys, IL-17, tipe I interferon, TNFα dan IL-18. Sitokin ini menginduksi
disregulasi sistem imun yang menimbulkan inflamasi lokal dan kerusakan jaringan hal ini
akan memicu inflamasi yang makin luas.
Autoantibodi pada umumnya dijumpai hampir 90% kasus positif ANA tetapi tidak
demikian hasilnya di RSUD Dr. Soetomo, hanya didapatkan 50–60%, sedangkan
Anti
ds-DNA positif ≥ 92,6 WHO Unit/m hanya sekitar 58%, sedangkan insiden lupus nefritis
sebesar 69,4% (Yuliasih, 2010). Hal ini mungkin bukan dsDNA saja autoantibodi yang
bertanggung jawab terhadap patogenesis lupus nefritis. Populasi di Indonesia menunjukkan
kadar antibodi ANA dan dsDNA rendah tidak sesuai laporan yang dilakukan di luar.
Mungkin perbedaan ini dipengaruhi latar belakang genetik sehingga perlu diteliti lebih lanjut.
Raissi, et al., (2018) melaporkan kadar dsDNA pada saat diagnosis pada 1.000 pasien di
Kanada hanya mendapatkan sekitar 60%. Laporan penelitian Meyer et al. (2009) menyatakan
bahwa anti-dsDNA ditemukan pada 93,3% pasien SLE dengan lupus nefritis. Hasil yang
hampir sama penelitian oleh Kuei et al. (2006) di Taiwan menyebutkan bahwa didapatkan
anti-dsDNA yang positif sebesar 95% pada pasien SLE dengan lupus nefritis. Terdapat
perbedaan prevalensi ANA dan dsDNA pada masing-masing suku, namun perbedaan ini
tidak menjadi fokus para peneliti. Para peneliti sering melaporkan perbedaan antibodi yang
lain misalnya antibodi anti-Ro (~60%) ditemukan pada penderita SLE di daerah Cina selatan
dan Afrika selatan 18%. Antibodi Anti-Sm banyak dilaporkan pada penderita SLE suku
Afrika- Amerika, Afrika selatan, Saudi Arabia, dan Vietnam. Antibodi anti-ribosomal P
banyak ditemukan pada penderita SLE di Jepang (42%), Cina-Malaysia (38%), Kaukasian
(13%), dan Afro-Caribbean (20%). Perbedaan ini terkait dengan gen MHC-II. Kadar
antibody berbeda–beda pada masing suku mendukung teori bahwa pembentukan antibody
terkait genetik (Choi et al, 2020).
SLE penyakit dengan manifestasi sangat heterogen yang ditandai dengan disfungsi sel
T dan sel B yang menyebabkan kerusakan banyak organ akibat immune mediated. Belum ada
standar baku emas laboratorium untuk diagnosis SLE meskipun pemeriksaan serologi standar
untuk SLE adalah pemeriksaan ANA dan dsDNA serta pengukuran kadar komplemen akan
menjadi masalah diagnosis apabila ANA atau dsDNA hasilnya negatif. Kondisi ini sering
dihadapi para klinisi di perifer, sering kali tidak terdiagnosis, namun bisa terjadi over
50
diagnosis kalau laboratorium sebagai acuan untuk diagnosis SLE. Pada contoh kasus
misalnya pasien wanita muda, demam hilang timbul selama satu bulan dan dari pemeriksaan
fisik tidak dapat kelainan dan hasil laboratorium ANA positif dengan titer 1: 360. Diperlukan
pemahaman patogenesis perjalanan penyakit serta pemeriksaan muskuloskeletal dengan baik
maka diagnosis bisa ditegakkan.
C4, dalam hal ini diduga kompleks imun yang terbentuk tidak hanya oleh dsDNA saja
mungkin dari autoantibodi yang lain. Komplemen C3 dan C4 bila dipakai sebagai parameter
untuk menilai aktivitas penyakit masih kontroversial. Vaneet dan Michele (2017) melaporkan
bahwa aktivasi komplemen merupakan bagian dari patofisiologi SLE dan penurunan
komplemen tidak konsisten dengan aktivitas penyakit.
C1q adalah komponen komplemen yang pertama kali mengenali molekul sel yang
mengalami apopotosis. C1q adalah molekul yang pertama kali dalam proses aktivasi
komplemen pada jalur klasik, aktivasi komplemen diperlukan untuk kliren sel apoptosis bila
ada defisiensi komplemen maka banyak bleb dari sel mengalami apoptosis beredar disirkulasi
yang memicu terbentuknya autoantibodi yang merupakan ciri khas pasien SLE. Dilaporkan
antara 33% pasien SLE didapatkan defisiensi C1q. C1q yang mengikat antigen atau
atutoantibodi akan mengaktifkan serine protease Cr1 dan Cis dan selanjutnya dilakukan
pemecahan C2 dan C4. C2a dan C4a memicu aktivasi enzim convertase yang memecah C3
menjadi C3a dan C3b. Fragment C3a dan C5a yang mengikat C3aR, C5aR1 dan C5aR2
memicu sel mast atau basofil degranulasi yang menyebabkan mediator inflamasi. C3a dan
C5a rmenstimulasi rekruitmen lekosit pada area inflamasi selain itu C3a dapat sebagai
modulator inflamasi neutrophil (Leffler et al, 2014).
Kelainan genetik defisiensi komplemen sering kali dikaitkan dengan SLE hal ini
terlihat pada pasien homozigot dengan defisiensi C1q, 88% mengidap SLE dan 30%
mengalami glomerulonefritis. Menurut observasi pada kembar homozigot dengan defisiensi
komplemen yang merupakan bagian komplemen dalam proses aktivasi jalur klasik
dilaporkan pada penderita tersebut tidak berkembang menjadi SLE, dalam hal ini defisiensi
C1q proteksi individu menderita SLE, data ini tanpa ditunjang dengan studi eksperimen.
Komplemen merupakan bagian dari respons imun bawaan maka penderita dengan defisiensi
komplemen ini maka pertahanan terhadap bakteri menurun.
Adanya autoantibodi C1q (anti-C1q) dilaporkan pertama kali pada tahun 1971.
Sarjana Flierman menjelaskan patogenesis lupus nefritis, yaitu dimulai adanya defek uptake
dan klirens sel-sel apoptosis, yang menyebabkan adanya paparan nukleosom pada sistem
imun dan menghasilkan autoantibodi terhadap beberapa antigen yang berada di bleb antara
lain dsDNA dan nukleosom. Autoantibodi dan antigen selanjutnya membentuk kompleks
imun. Kompleks imun ini kemudian terdeposit di glomerulus melalui interaksi dengan
membran basalis glomerulus, yang selanjutnya segera diikat oleh protein disirkulasi, yang
dikenali sebagai C1q. Akibat ikatan dengan C1q selanjutnya kompleks imun-C1q
menyebabkan perubahan konformasional, yang membentuk antigen baru (neoepitop)
52
terhadap autoantibodi anti-C1q yang berada di sirkulasi (Potter et al. 2003). Selanjutnya
kompleks antara Anti-C1q dan C1q mengakibatkan aktivasi jalur klasik pada sistem
komplemen sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang diperantarai oleh membrane
attack complex yang menyebabkan lisis osmotik sel, influx sel-sel inflamasi, serta ekskresi
mediator inflamasi (Holers, 2004; Flierman & Daha, 2007; O‟Flynn, 2011).
Pada studi in vitro, konsentrasi fisiologis C1q menghambat sel dendritik
memproduksi interferon alfa yang distimulasi dengan asam nukleat dan kompleks imun. Hal
ini menunjukkan efek C1q bertanggung jawab terhadap pembersihan kompleks imun. Pada
pasien SLE yang flare lupus nefritis didapatkan kadar C1q yang rendah. Antibodi C1q (anti-
C1qCLR) banyak ditemukan pada membran basalis glomerulus, pasien lupus nefritis
proliferatif , konsentrasinya mencapai 50 kali lebih tinggi dibandingkan kadar di serum.
Kondisi ini menunjukkan peran anti C1q pada patogenesis lupus nefritis. Pasien dengan
nefritis lupus aktif memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari anti-C1q yaitu 74%
dibandingkan mereka yang tidak menderita lupus nefritis, hanya 32% (p < 0,0001) (Marto,
2005).
Marto et al, (2005) melaporkan kadar anti-C1q yang tinggi pada manifestasi
hematologis. Armstrong et al. (2005) melaporkan adanya korelasi antibodi anti-C1q dengan
manifestasi hematologis selain manifestasi ginjal. Katsumata et al. (2011) melaporkan kadar
anti-C1q yang tinggi pada pasien dengan leukopenia dan hipokomplemen, serta adanya
korelasi signifikan antara antibodi anti-C1q dengan SLEDAI, aktivitas SLE secara global,
namun tidak spesifik dengan nefritis lupus aktif. Moura et al. (2009) juga melaporkan
korelasi yang signifikan antara kadar antibodi anti-C1q dan SLEDAI.
Anti-C1q banyak dijumpai di negara-negara Asian dari pada Kaukasian atau Afrika,
tetapi perbedaan ini tidak terlalu signifikan. Anti C1q dapat juga dijumpai pada penyakit
rematik lainnya (Orbai, 2015). Penelitian oleh Trendelenburg et al. (2005) prevalensi
antibodi anti-C1q lebih banyak dan signifikan pada SLE aktif dibandingkan normal (nilai cut
off 40U/ml). Pada penelitian oleh Katsumata et al. (2010), antibodi anti-C1q didapatkan pada
62,69% pasien SLE. Prevalensi dan titer antibodi anti-Cq signifikan lebih tinggi pada SLE
(nilai cut off 15 U/ml, p < 0,0001), namun tidak signifikan berhubungan dengan lupus nefritis
aktif (p=0,462, p=0,366). Meyer et al. (2009) meneliti 33 pasien SLE, melaporkan bahwa
antibodi anti-C1q ditemukan pada 100% pasien dengan lupus nefritis, 45% pada pasien
dengan SLE aktif non nefritis dan 23% pada SLE inaktif dan non nefritis. Median kadar anti-
C1q pada pasien non nefritis adalah 28 U/mL, 116 U/mL pada nefritis lupus dan 10 U/mL
pada kelompok SLE inaktif-non nefritis.
53
Rerata kadar antibodi anti-C1q pada penelitian (Yuliasih, 2020) kadarnya meningkat
yaitu 43,08 44,06 U/mL, dengan rentang 1,9–146,2 U/mL. Dari 36 pasien SLE yang
menjadi sampel penelitian, sebanyak 33 pasien (91,7%) memiliki kadar antibodi anti-C1q
yang meningkat (≥ 10 U/mL), hanya 3 pasien (8,3%) yang memiliki kadar antibodi anti-C1q
normal (< 10 U/mL). Pada penelitian tersebut peningkatan kadar antibodi anti-Cq pada pasien
SLE ditemukan pada 97,1% pasien, lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya. Hal ini
dapat disebabkan batas cut off peningkatan antibodi anti-C1q yang digunakan sesuai merek
ORGENTEC® cukup rendah, yaitu >10 U/mL sehingga didapatkan prevalensi yang tinggi.
Selain itu, penelitian yang dilakukan pada pasien di RSUD Dr. Soetomo juga hasilnya
tidak berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang melaporkan titer antibodi anti-
C1q yang tinggi pada lupus nefritis sehingga diduga peningkatan kadar antibodi anti-C1q
berhubungan dengan aktivitas lupus nefritis. Trendelenburg (2005) dan Moroni et al. (2009)
melaporkan bahwa antibodi anti-C1q berkorelasi dengan kejadian dan aktivitas lupus nefritis,
khususnya lupus nefritis proliferatif (Matrat et al., 2011). Yang et al. (2012) melaporkan
bahwa sebesar 74 dari 136 pasien (54,4%) mempunyai antibodi anti-C1q positif. Antibodi
anti-C1q berkorelasi dengan skor SLEDAI yang tinggi (P < 0,003). Pasien dengan antibodi
anti-C1q mempunyai indeks kerusakan ginjal akut yang lebih tinggi.
Namun, beberapa peneliti menyatakan bahwa hubungan antibodi anti-C1q pada
pasien dengan nefritis lupus aktif masih kontroversial. Heidenreich et al. melaporkan bahwa
hubungan anti-C1q dengan lupus nefritis ternyata hasilnya lebih rendah daripada hubungan
anti-dsDNA dengan nefritis lupus. Grootscholten et al. melaporkan bahwa kekambuhan renal
tidak didahului dengan peningkatan kadar antibodi anti-C1q. Marto et al. (2005) tidak
menemukan perbedaan signifikan kadar antibodi anti-C1q antara nefritis proliferatif dan non
proliferatif. Peranan antibodi anti-C1q pada SLE dan nefritis lupus belum signifikan dan
belum dapat dipakai secara rutin di klinis (Gunnarsson et al., 2002).
54
Gambar 2.8 Manifestasi histopatologis karakteristik lupus nefritis proliferatif difus (Sterner, 2014)
yaitu sebesar 69,4%. Hal ini sesuai dengan peranan antibodi anti-C1q pada patogenesis
nefritis lupus. Pada penelitian ini tidak dikorelasikan antara kadar antibodi anti-C1q dengan
nefritis lupus karena manifestasi klinis pada SLE sering kali tumpang tindih, sangat jarang
penderita yang hanya mengalami satu manifestasi klinis saja (Mok, 2003).
Dilaporkan pada SLE sering kali didapatkan defisiensi CR1 dan C1q (Mok, 2003).
CR1, reseptor komplemen yang terekspresi pada eritrosit dan sel sistem imun. Nama lain dari
CR1 adalah CD35 protein yang terlibat pada immune adheren receptor. Reseptor ini sangat
spesifik terhadap C3b, C4b dan iC3b. Pada eritrosit CR1 jumlahnya sangat rendah jumlahnya
antara 70 and 700 molecules per sel. Kadar CR1 eritrosit pada pasien SLE sangat rendah.
Complement receptor type-1 (CR1) mempunyai beberapa aktivitas biologi yaitu berfungsi
dalam pengikatan serta transport molekul dalam suatu partikel yang terikat oleh C3b. Sel
eritrosit juga berfungsi dalam sebagai partikel pembawa patogen terikat dengan C3b dan C4B
disirkulasi yang kemudian mengangkutnya ke arah makrofag atau proses fagositik. Protein
ini juga berperan dalam pemecahan C3b menjadi tidak aktif dalam hal ini protein ini sebagai
kofaktor. Protein ini terlibat dalam pemecahan komplemen iC3b menjadi C3dg dan C3c.
CR1 berperan dalam pengenalan uptake serta destruksi pathogen. Kadar CR1
bervariasi di antara individu dan variasi ini dilaporkan karena faktor genetik. Dilaporkan pada
pasien SLE terdapat penurunan kadar CR1 pada eritrosit dan terkait dengan aktivitas
penyakit. Penyebab lain adalah adanya polimorfisme gen CR1 yang menyebabkan
penurunan kadar CR1, pembersihan kompleks imun akan diikuti deposit C4 dan C3 pada
eritrosit yang menyebabkan CR1 menurun karena terjadi proteolisis proses ini telah diuji
secara in vitro. Adanya defisiensi CR1 menyebabkan terjadi fasilitasi opsonisasi kompleks
imun dan patogen dari sel darah merah untuk difagositosis oleh makrofag. CR1 komplemen
reseptor terekspresi di eritrosit (CD35) reseptor yang mempunyai afinitas binding yang
tinggi dengan C3b, C4b, dan iC3b. Pada pasien dengan defisiensi CR1 menunjukkan
kehilangan kemampuan protein DAF dalam mempertahankan stabilitas membran (Roberts,
1985).
Contoh Kasus
Berikut contoh kasus “Paroximal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH) pada Penderita Lupus
Eritematosus Sistemik” (Thamrin et al., 2004).
Salah satu contoh kasus penderita dengan defisiensi CR1. Seorang wanita 27 thn,
datang ke UGD dengan keluhan utama nyeri sendi sejak satu bulan disertai, panas badan
hilang timbul serta dua bercak hitam di wajah, punggung dan perut. Bila kena sinar matahari
timbul bercak kemerahan, pasien juga mengeluh cepat capek untuk melakukan aktivitas
56
sehari hari disertai nafsu makan turun dan berat badan menurun 5 kg dalam dua bulan.
Pernah mengalami kejang dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kondisi umum sangat lemah, G.C.S: 4.5.6, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi
120x/m, respiratory rate 32x/mnt, suhu 38,50C didapatkan malar rash (+), discoid rash (+),
lesi makulopapular rash/fotosensitivitas (+), dan anemia. Pada pemeriksaan laboratorium
menunjukkan Hb.7,4 g/dl; leukosit 12.600/mm3, trombosit 588.000/mm3, LED 55/jam,
limfosit 1000/mm3., i.v, Drip Methyl Prednisolon 750 mg/24jam, cyklopospamid 1 gram/luas
tubuh. Selama perawatan sampai hari kedelapan keadaan umum membaik, pada hari
kesembilan pasien tiba-tiba mengeluh kencing berwarna kecokelatan dan beberapa hari
kemudian matanya kuning disertai penurunan hemoglobin (Hb). Warna urine yang berubah-
ubah pada pagi dan malam hari dengan hasil laboratorium penurunan Hb 5,2g/dl (menurun).
lekosit 420/mm3 (menurun), Hct 16,4%, limfosit 290/mm3 bilirubin total 1,26mg/dl.
Bilirubin direct 0,61mg/dl. Sucrose Water test (+). Diagnosis PNH didasarkan pada gejala
klinis yang khas yaitu kencing berwarna merah pada pagi hari, di mana disertai tanda-tanda
klinis anemia hemolitik yang lain serta sucrose Water Test yang positif. PNH pada pasien ini
terkait dengan SLE yang masih aktif dan non-responder dengan kortikosteroid dan
siklophospamid (Thamrin et al., 2004).
Gambar 2.9 Warna urine pada pasien SLE dengan PNH (Koleksi pribadi)
Peran Hormon
Hormon yang diduga terkait dengan SLE yaitu estrogen dan prolaktin. Berdasarkan studi dari
Yurino et al., (2004), pada hewan coba menunjukkan bahwa estrogen meningkatkan
proliferasi sel B dan sintesis antibodi. Pada pasien SLE didapatkan kadar estrogen dan
57
prolaktin yang tinggi dibanding populasi normal. Reseptor estrogen dan prolaktin terdapat
pada sel B, sel T, makrofag dan sel endotel. Peran estrogen pada SLE mengaktifkan
proliferasi sel T dan sel B. Dibuktikan pada pasien SLE kadar estradiol lebih tinggi pada
wanita-wanita yang menderita SLE. Kehamilan meningkatkan risiko terjadinya kekambuhan
SLE (Ackerman, 2006). Efek estrogen pada sel T dan Sel B masih belum dimengerti
sepenuhnya. Dari laporan studi uji coba binatang menyebutkan bahwa timus sensitif terhadap
hormon gonadal yang ditunjukkan dengan cara tikus yang diberi estrogen. Dilaporkan juga
adanya reseptor estrogen dapat ditemukan pada sel T dan B, estrogen mempunyai efek
langsung pada sel T Dan B. Efek lain estrogen yaitu memicu sekresi sitokin dan
meningkatkan fungsi sitokin. Pada binatang coba dilaporkan pemberian estrogen dosis tinggi
akan memengaruhi produksi sitokin IL-2. Selain itu, estrogen juga memengaruhi homing
lymphocytes, dengan cara meningkatkan ekspresi molekul adhesi dan limfosit pada endotel
sehingga menyebabkan Leukocyte trafficking. Dari studi lain dilaporkan 17 estradiol
meningkatkan ekspresi molekul adhesi antara lain E-selectin, VCAM-1, VCAM-1, dan
ICAM-1.
Pengaruh estrogen pada sel T diduga melalui peningkatan calcineurin yang
mempermudah dimerisasi Nucleor Factor Activated T-Cell (NFAT). NFAT merupakan
faktor transkripsi IL-2. Sitokin ini berfungsi untuk diferensiasi sel T sehingga mempengaruhi
keseimbangan Th1 dan Th2, dimana Th2 lebih dominan yang menyebabkan terjadi gangguan
keseimbangan antara sitokin anti-inflamasi dan pro-inflamasi. Estrogen berperan juga
meregulasi NF-κB yang merupakan faktor transkripsi pro-inflamasi (Kassi & Moutsatsou,
2010). Estrogen lebih mengaktifkan respons imun Th2, sedangkan testosteron lebih
mengaktifkan respons imun Th1 (Fairweather et al., 2008). Kadar dehydroepiandroster-one
(DHEA) dan dehydroepiandroster-one sulfate (DHEAS), hormon ini dapat mengubah
produksi IL-2 pada binatang coba dan manusia. Pada percobaan tikus NZB/NZW yang diberi
DHEA terjadi penurunan kadar antibodi dsDNA. Pemberian estradiol 17-beta (E2) tikus
model SLE NZB/NZW juga memperburuk penyakit.
Meskipun estrogen dapat untuk menjelaskan perbedaan insiden antara perempuan dan
laki-laki, tetapi pengukuran kadar estradiol plasma tidak mengungkapkan perbedaan yang
signifikan antara wanita normal dan wanita dengan SLE; namun bukan kadar estrogen yang
mempunyai peranan dalam patogenesis SLE, namun yang diduga kuat memengaruhi SLE
adalah tingkat metabolisme estrogenik yang abnormal. Metabolit ini termasuk 2-hidroksi dan
16-hydroxyestrone dan turunannya diproduksi oleh oksidasi enzimatik estrogen. Selain itu,
kehamilan sering dikaitkan dengan flare penyakit pada SLE karena kehamilan bisa
58
BAB 3
MANIFESTASI KLINIK SLE
Tabel 3.1 Kriteria Klasifikasi SLE American College of Rheumatology tahun 1997
(Hochberg, 1997)
Kriteria Definisi
Ruam Malar Eritema, datar maupun menonjol, muncul di daerah pipi, tidak
(Malar rash) mengenai lipatan nasolabial
Bercak eritema yang menonjol menyerupai penebalan
Ruam discoid
keratotik (plaque) dan pembuntuan folikel; scar atrofik dapat
(Discoid rash)
muncul pada lesi yang sudah lama
Fotosensitivitas Ruam akibat reaksi terhadap sinar matahari (ditentukan
60
Kriteria Definisi
berdasarkan anamnesis atau pengamatan langsung)
Stomatitis Ulkus pada mukosa mulut, orofaring, atau nasofaring yang
(Oral ulcers) biasanya tidak nyeri
Artritis non-erosiva yang melibatkan 2 atau lebih sendi-sendi
Artritis perifer yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri tekan, atau
efusi sendi
Riwayat nyeri dada khas pleuritis, pleural rub yang terdengar
saat pemeriksaan fisik, atau adanya efusi pleura
atau
Serositis
Ditemukannya perikarditis pada hasil elektrokardiogram,
pericardial rub yang terdengar saat pemeriksaan fisik, atau
adanya efusi pericardial
Proteinuria persisten >0.5 gram/hari (lebih dari 3+) atau
Gangguan ginjal terdapat cellular casts (eritrosit, haemoglobin, granular
tubular, atau campuran)
Kejang tanpa adanya riwayat penggunaan obat yang memicu
kejang atau adanya gangguan metabolik (contoh: uremia,
asidosis, gangguan elektrolit)
Gangguan neuropsikiatri atau
Psikosis tanpa adanya riwayat penggunaan obat yang memicu
psikosis atau adanya gangguan metabolik (contoh: uremia,
asidosis, gangguan elektrolit)
Anemia hemolitik dengan retikulositosis
Gangguan hematologik atau
Leukopenia <4000/mm3
T ab el 3.2 Frekuensi Munculnya Berbagai Manifestasi Klinis SLE (Dall‟era & Wofsy, 2017)
Manifestasi Frekuensi (%)
Gejala konstitusi (demam, rasa lelah, dan penurunan berat badan) 90-95
Gangguan sistem mukokutaneus (ruam malar, alopesia, ulkus pada mukosa, lesi
diskoid, dll.) 80-90
Gangguan sistem muskuloskeletal (artritis/artralgia, nekrsis avaskular, myositis,
dll.) 80-90
Serositis (pleuritis, perikarditis, peritonitis) 50-70
Glomerulonefritis 40-60
Gangguan neuropsikiatri (gangguan kognitif, depresi, psikosis, kejang, stroke,
sindroma demyelinasi, neuropati perifer, dll.) 40-60
Autoimmune cytopenia (anemia, trombositopenia) 20-30
61
dsDNA
Negatif < 92,6 WHO unit/ml 57,4
Positif ≥ 92,6 WHO unit/ml 42,6
Dari tabel ini jelas sekali frekuensi gejala yang muncul pada populasi di RS.Soetomo berbeda
dengan yang dilaporkan oleh Dall‟era & Wofsy, 2017.Hal ini menunjukkan bahwa variasi
manifestasi klinik pada masing-masing etnis berbeda.
SLE memiliki manifestasi klinis bervariasi luas, begitu juga dengan tingkat keparahan
penyakitnya.Hal ini diduga terkait dengan faktor genetik perjalanan penyakityang ditandai
remisi dan relapsing/kambuh. Beberapa pasien memiliki gejala yang relatif ringan, sedangkan
yang lain dapat memiliki gejala yang begitu berat hingga dapat menyebabkan kematian.
Tingginya tingkat variasi manifestasi klinik SLE menjadi tantangan besar dalam menegakkan
diagnosis. Pada umumnya fase awal manifestasi klinis tidak spesifik, sehingga sering disebut
gejala konstitusi seperti demam, rasa lelah, dan penurunan berat badan.Manifestasi klinis ini
muncul bersamaan pada 50% pasien saat pertama kali terdiagnosis SLE. Gambaran klinis lain
dapat muncul seiring perjalanan penyakit SLE (Dall‟era & Wofsy, 2017).Berikut ini
penjelasan gambaran klinis SLE pada masing-masing organ.
Manifestasi kulit pada SLE merupakan manifestasi yang relatif sering dijumpai.
Beberapa manifestasi kulit menentukan morbiditas antara lain manifestasi kulit yang
nyeridan alopecia. Manifestasi kulit pada SLE dibagi menjadi lesi spesifik dan lesi
nonspesifik.Akut kutaneus lupus merupakan manifestasi kulit yang nonspesifik berhubungan
dengan penyakit yang sistemik, sedangkan lesi nonspesifik berhubungan dengan aktivitas
penyakit.Oleh karena itu, manifestasi kulit juga harus dimengerti sehingga dapat membantu
diagnosis dan melakukan terapi yang efisien. Manifestasi kulit juga merupakan manifestasi
yang sangat penting dievaluasi dalam menentukan terapi serta menilai prognosis. Manifestasi
kulit ini sangat heterogen,tiap etnis memiliki manifestasiberbeda-beda.Hal ini menunjukkan
bahwa manifestasi kulit tergantung faktor genetik (Kole & Gosh, 2009).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kole dan Gosh (2009), hampir 30% dari 150
pasien SLE mempunyai gejala pada kulit, yaitu malar rash ditemukan pada 80% pasien,
fotosensitif ditemukan sebanyak 50%, rash maculopapulo yang generalized ditemukan
sekitar 26,67%, diskoid rash ditemukan pada 20%, SCLE ditemukan 3,34%, lupus panikulitis
3,34%, alopecia 86,67%, oral ulcer 56,67%, vaskulitis 33,34%,dan pyoderma gangrenosum
1,34% (Kole & Gosh, 2009). Sedangkan dari hasil yang diteliti olehYuliasih (2010)
dilaporkan manifestasi kulitnya ruam malar 40,4%, ruam discoid 23,4%, dan fotosensitif
68,1%. Manifestasi kulit di RSUD Dr. Soetomo tidak terlalu menonjol, gambaran ini akan
berbeda pada masing-masing etnis. Aktivitas penyakit tidak hanya ditentukan oleh
manifestasi kulit, namun bisa menjadi petunjuk parameter bahwa aktivitas dan prognosis
penyakit berat bila ada manifestasi klinik kutaneus lupus yang tidak spesifik, antara lain nail
fold infark, periungual eritema, plantar eritema.
Manifestasi lupus yang spesifik,Gilliam telah mengategorikan lesi cutaneous lupus
erythematosus (LE)sebagai “lupus spesifik” atau “lupus nonspesifik” berdasarkan gambaran
histopatologi (Tabel 3.4)(Gilliam, 1982). Pada pasien dengan lupus, adanya lesi spesifik
mengonfirmasikan diagnosis cutaneus LE, sedangkan temuan lesi nonspesifik dapat terjadi
pada penyakit selain lupus.Lesi spesifik lupus dikategorikan lebih dalam lagi menjadi lesi
acute cutaneous lupus erythematosus (ACLE), subacute cutaneous lupus erythematosus
(SCLE), dan chronic cutaneous lupus erythematosus (CCLE).Lupus discoid merupakan
bentuk paling umum dari subtipe CCLE. SCLE dan CCLE dapat menjadi kondisi yang sama
sekali terpisah atau bagian dari manifestasi SLE (Grönhagen,2014)
.
63
T ab el 3.4 Gilliam Classification of Skin Lesions Associated with Lupus (Gilliam, 1982)
A. Lupus erythematosus (LE)-specific skin lesions
1. Acute cutaneous LE (ACLE)
Localized ACLE
Generalized ACLE
2. Subacute cutaneous LE (SCLE)
Annular SCLE
Papulosquamous SCLE
3. Chronic cutaneous LE (CCLE)
Classic discoid LE (DLE): (a) localized; (b) generalized
Hypertrophic DLE/verrucous DLE
Lupus panniculitis/profundus
Mucosal DLE
LE tumidus
Chilblain LE
Lichenoid DLE (DLE-lichen planus overlap)
B. LE-nonspecific skin lesions
1. Cutaneous vascular disease
Vasculitis
Leukocytoclastic vasculitis
Polyarteritis nodosa–like
Vasculopathy
Degos disease–like
Atrophe blanche–like
Periungal telangiectasia
Livedo reticularis
Thrombophlebitis
Raynaud’s phenomenon
Erythromelalgia
2. Nonscarring alopecia
“Lupus hair”
Telogen effluvium
Alopecia areata
3. Sclerodactyly
4. Rheumatoid nodules
5. Calcinosis cutis
6. LE-nonspecific bullous lesions
7. Urticaria
8. Papulonodular mucinosis
9. Cutis laxa/anetoderma
10. Acanthosis nigricans (type B insulin resistance)
11. Erythema multiforme (Rowell’s syndrome)
12. Leg ulcers
13. Lichen planus
64
Malar Rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik pada SLE, yaitu bentukan ruam
pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan nasolabial dan ditandai dengan adanya ruam
pada hidung membentuk jembatan yang menyambungkan kedua ruam di pipi. Tanda-tanda
ruam pada penyakit kulit lain, seperti akne vulgaris, akne rosasea, dermatitis seboroik,
dermatitis atopi, dan erisipelas, dapat menyerupai gambaran ruam malar
(Grönhagen,2014).Ruam malar ini tidak semua pasien SLE ditandai ruam malar menurut
hasil yang didapatkan Yuliasih et al (2019) sekitar 13,3%dari 30 pasien.
Ruam psoriasis diwajah seringkali dianggap ruam malar, hal ini karena pada pasien
psoriasis berat sering ditandai dengan ruam seperti ruam malar, disertai febris serta rambut
rontok dan nyeri, bila klinisi tidak teliti maka pasien psoriasis dianggap pasien SLE. Dalam
hal ini, penting sekali dilakukan pemeriksaan GALS (Gait, Arm, Leg, Spine) untuk skrening
penyakit muskuloskletal. Pada SLE gejala artritis tidak melibatkan spinal, sedangkan
psoriasis melibatkan artritis pada spinal yang didapatkan kaku pada sendi terutama bahu atau
hip.Ruam malar biasanya ditemukan pada kasus SLE yang aktif, dari hasil penelitian
Yuliasih (2010) hampir 40,4% dari 47 pasien dan Yuliasih et al (2020) 57,5% dari 40 pasien
aktif SLE ditemukan malar rash. Berikut ini gambaran malar rash yang sangat spesifik.
Gambar 3.1Ruam Malar / Butterfly rash yang tampak sebagai eritema makulopapula pada regio malar tanpa
mengenai lipatan nasolabial (Koleksi Departemen Penyakit Dalam)
65
Gambar 3.2Acute cutaneous lupus erythematosus. Lesi ini ditandai dengan onset tiba-tiba
setelah paparan sinar matahari yang ditandai dengan edema dan kemerahan(BertsiasG,2012)
66
Gambar 3.3 Seorang laki-laki SLE dengan manifestasi klinis TEN (Koleksi Departemen Penyakit
Dalam)
Lesi ACLE dapat sembuh tanpa jaringan parut, meskipun hiperpigmentasi post-
inflamasi dapat terjadi. Apabila diagnosis masih meragukan setelah pemeriksaan klinis dan
serologis yang ekstensif, biopsi kulit pada lesi membantu membedakan lupus kutaneus dari
kondisi gangguan kulit lain (Dall‟era & Wofsy, 2017).
3.1.2 Subakut kutaneus lupus
Manifestasinya berbentuk annular dan papulo squamosa, kedua bentuk ini dapat
terjadi bersamaan pada pasien yang sama. SCLE (Subacute cutaneous lupus erythematosus)
memiliki predileksi pada punggung, leher, bahu, dan sisi ekstensor lengan, tanpa melibatkan
bagian tengah wajah. Lesi biasanya berlangsung selama berminggu-minggu sampai berbulan-
bulan dan sembuh tanpa jaringan parut. Ruam menyerupai TEN dapat muncul dari SCLE
setelah paparan sinar matahari walaupun sangat jarang dan pada umumnya bersifat
fotosensitif dan bila sembuh tidak menimbulkan parut. Manifestasi lain dari subakut ini yaitu
bisa berbentuk hipo maupun hiperpigmentasi. Manifestasi subakut lupus diduga ada
kaitannya dengan keberadaan antibodi Ro (Gilliam, 1982).SCLE sering digolongkan sebagai
sindroma paraneoplastic, sedangkan lesi subtipe annular sangat terkait dengan munculnya
antibodi anti-SS-A/Ro. Beberapa obat yang diketahui menyebabkan SCLE yaitu golongan
ACE inhibitor, terbinafine, hydrochlorothiazide, dan calcium channel blockers.Bentuk ruam
67
yang sering dijumpai yaitu papulosquamosa dan ptiriasis (Perera, 2004; Chaudhry, 2005;
Kim & Chong, 2013).
Gambar 3.4Subacute cutaneous lupus (varian papulosquamosa) dengan ruam yang biasa
muncul pada punggung, leher, bahu, dan sisi dorsal lengan tanpa mengenai area sentral wajah
(Gordon, 2019).
Gambar 3.5Subacute cutaneous lupus lesions.Gambaran khas berbentuk simetris tersebar luas, lesi
superficial tidak menimbulkan scaring, pada umumnya ditemukan dileher, punggung, dan bagian
ekstensor lengan.Sifat lesi ini fotosensitif, bisa berbentuk psoriasisform, anular polisiklik, lesi ini
berhubungan dengan anti-Ro/SS-A antibodies, genetik, defisiensi komplemen C2 dan C4, lupus
karena obat misalnya hydrochlorothiazide (Bertsias G., 2012).
localized discoid lupus (terbatas pada kepala dan leher) dan generalized discoid (di luar
kepala dan leher) (Gambar 3.9 dan 3.10). Istilah "diskoid" mengacu pada lesi eritematus
berbatas tegas yang berbentuk koin dan pada perabaan terasa seperti ada kulit yang timbul,
yang biasanya ditemukan di area kulit kepala, wajah, dan leher. Pipi, hidung, telinga, dan
bibir atas merupakan predileksi klasik untuk lesi ini, bila terjadi penyebuhan ditandai dengan
pembentukan jaringan sikatrik pada tengan lesi. Biasanya, batas eritematus yang meninggi
menunjukkan adanya komponen yang aktif meluas. Follicular plugging merupakan temuan
khas pada lesi ini.DLE yang ada dikulit kepala jika tidak ditangani, dapat menyebabkan
alopesia permanen karena terbentuk jaringan parut dan kecacatan (disfigurement). DLE bisa
berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa, maka disarankan melakukan evaluasi intensif
(Perniciaro, 1995; Parikh, 2010; Dall‟era & Wofsy, 2017).
Bentukan lain dari kutaneus kronik adalah Lupus panikulitis/profundus. Lupus
profundus yang pertama kali melaporkan adalah sarjana Kaposi pada tahun 1883. Lupus
panikulitis ini sering muncul bersamaan dengan discoid lupus atau manifestasi sistemik atau
muncul sebagai phenomena isolated. Diagnosis panikulitis akan sulit bila manifestasinya
hanya berupa panikulitis saja. Panikulitis ini banyak dijumpai pada wanita daripada pria.Lesi
ini sangat jarang hanya ditemukan sekitar 2% pada penderita. Manifestasinya ditandai dengan
inflamasi pada lapisan bawah dari dermis dan jaringan subkutan. Gambaran kliniknya berupa
nodul yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3 cm dengan permukaan seperti
kulit jeruk (Chang & Werth, 2013).
Contoh kasus
Berikut contoh kasus “Penatalaksanaan Penderita dengan SLE dan Paniculitis” (Yuniani et al,
2004).
Berikut ini kasus SLE dengan panikulitis: Wanita 31 tahun dengan keluhan kulit
menebal keluhan ini berlangsung sekitar satu minggu. Kulit yang menebal didapatkan di paha
kanan, pinggul kanan, lengan kanan dan kiri teraba hangat, sedikit nyeri, agak kemerahan.
Keluhan ini berulang-ulang sejak 3 tahun.Penderita mempunyai riwayat SLE sejak tahun
1998, dengan manifestasi malar rash, oral ulcer, arthralgia, ANA positif, anti ds DNA positif,
dan ditemukan sel LE .Anak III dan V keguguran, anak II meninggal dalam kandungan, anak
I dan IV hidup. Kulit yang menebal teraba hangat terletak di paha kanan, pinggul kanan,
lengan kanan dan kiri, tidak berbatas tegas tapi teraba keras. Hasil biopsi: jaringan terdiri
atashiperkeratosis, sedikit sel radang mononuklear, dinding pembuluh darah menebal,
hiperplasi sel endotel, dan perivaskular infiltrat. Tampak timbunan kalsium, dan tidak tampak
69
tanda keganasan. Kesimpulan: gambaran bisa didapatkan pada panikulitis. Penderita diberi
terapi Siklofosfamid 750 mg drip tiap bulan. Diberi steroid 30 mg/hari, chloroquin Setelah
pemberian Siklofosfamid IV penderita merasa kulit mulai melunak, hangat kadang-kadang,
dan penderita lebih leluasa dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Yuniani et al, 2004).
Panikulitis (lupus kutaneus spesifik) adalah inflamasi pada jaringan subkutan dalam,
diawali dengan infiltrasi netrofil, limfosit, histiosit, dan berakhir dengan fibrosis. Gambaran
klinis : nodul subkutan, nyeri, eritematus, sering tampak sebagai kulit yang normal, namun
bila diraba terasa menebal. Diagnosispanikulitis ditegakkan dengan pemeriksaan
histopatologi.Gambaran patologi anatomi (PA) panikulitis dapat berupa lobular, septal,
campuran lobular dan septal, dan panikulitis dengan vaskulitis.Kematian jarang terjadi pada
penyakit ini, prognosisdikatakan baik bila penyakit berdiri sendiri, bila didapatkan bersama
dengan SLE, maka prognosisnya dapat mengikuti aktivitas penyakitnya. Lupus panikulitis
merupakan inflamasi di daerah subkutan fat dengan angka kejadian yang sangat jarang, yaitu
berkisar 1-3% pasien dengan SLE. Area yang paling sering ditemukan antara lain lengan atas,
bahu, wajah, pantat. Pada permukaan atas kadang menyerupai DLE atau kulit yang normal.
Lesi yang progresif meninggalkan bekas dengan area subkutan yang hilang disertai fibrosis.
Bentuk panikulitis ada yang bersepta atau lobuler yang biasanya terlihat pada biopsi kulit.
Pada 50% kasus, petunjuk histologi diagnosis dari bentuk kronik discoid termasuk epidermal
atropi, penebalan basal membran superfisial atau bagian yang dalam infiltrasi limfosit
perivaskuler dan periadnesal dan peningkatan mucin kadang ditemukan berbentuk germinal
center. Infiltrasi limfosit menunjukkan nuklear fragmentasi. Kadang-kadang berbentuk
lobular panikulitis. Gambaran immunofloresensi menunjukkan deposit immunoglobulin dan
C3 pada dermoepidermal junction, deposit didaerah subcutis merupakan gambaran yang tidak
konsisten. Lupus panikulitis merupakan penyakit yang sering relap dengan lesi yang nyeri,
terapinya bisa dilakukan injeksi steroid pada lesi atau diberikan secara sistemik dan diberi
immunosupresan MMF, siklosporin. Dapsone talidome sebagian kasus mempunyai prognois
baik, namun kasus diatas pasien meninggal karena sepsi setelah diberi cyclophospamid
(Yuniani et al, 2004).
3.1.4 Nonspesifik kutaneus lupus
Lesi non-spesifik lupus yang dapat muncul pada pasien dengan SLE antara lain
leukositoklastik vaskulitis, lesi bulosa, eritema periungual, dan livedo reticularis
leukositoklastik. Vaskulitis paling sering muncul sebagai purpura yang teraba pada
ekstremitas bawah, sedangkan bullous lupus erythematosus adalah manifestasi kulit langka
yang ditandai oleh perubahan subepidermal vesiculobulosa yang muncul sebagai erupsi
70
bulosa nonscarring (Gambar 80-5). SLE dapat dikaitkan dengan gangguan bulosa lainnya
seperti pemfigoid bulosa dan dermatitis herpetiformis periungal. Eritema merupakan
pelebaran kapiler di pangkal kuku. Dokter dapat memeriksa kapiler-kapiler ini dengan
menggunakan dermatoskop atau oftalmoskop. Gangguan lain yang terkait dengan periungual
eritema termasuk skleroderma dan mixed connective tissue disease (MCTD). Tidak seperti
skleroderma dan MCTD, SLE tidak berhubungan dengan insufisiensi kapiler. Livedo
reticularis gambaran klinisnya ditandai dengan lesi eritematosa dengan pola retikuler pada
kulit. Lesi tersebut berhubungan erat dengan sindrom antibodi anti-fosfolipid (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
Manifestasi kulit yang nonspesifik bentuk yang paling sering dijumpai adalah
kutaneus vaskulitis dan ditemukan hampir pada 80% pasien. Manifestasi vaskulitis ini
tergantung pada pembuluh darah yang terkena sehingga mempunyai bentuk bermacam-
macam. Pada umumnya biopsi pada tempat ini leukositoklastik vaskulitis(Chang & Werth,
2013).
Macam dari vaskulitis yang dijumpai antara lain:
Urtikaria vasculitis: ditandai rash urtikaria yang lebih dari 24 jam dan gambaran
histopatologi didapatkan leukoklastik vaskulitis. Kondisi ini ditemukan lebih dari 100 tahun
yang lalu. Sebagian besar urtikaria vaskulitis etiologinya masih belum diketahui, beberapa
pasien diduga terkait dengan infeksi, keganasan, dan autoimun. Sebanyak 20% pasien SLE
dilaporkan mempunyai gejala urtakaria vaskulitis. Patofisiologi urtikaria vaskulitis terkait
reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu penumpukan antigen dan antibodi kompleks pada
vaskular lumina yang selanjutnya mengaktivasi komplemen.Berdasarkan konsumsi
komplemen, urtikaria vaskulitis dibagi menjadi normokomplemen dan
hipokomplemen.Kasus yang sangat jarang adalah hypocomplementemic urticarial vasculitis
syndrome (HUVS) atau dikenal dengan McDuffie syndrome.Pada biopsi dari lesi didapatkan
ekstravasasi erythrocyte, infiltrasi pmn vascular dan perivascular,membentuk dust
(leukocytoclasis), dan fibrinoid necrosis. Pada pemeriksaaanDirect immunofluorescence
(DIF) menunjukkan deposit komplemen.Reaksi anaphylatoxin C3a dan C5a menginduksi
degranulasi sel mast dan sintesissitokin. Sel Mast melepaskan TNFα, prostaglandin, histamin,
heparin, PAF, leukotrin, Neutrophil chemotactic factor-A, trytase. Peningkatan sitokin dan
kemokin menyebabkan edema dan reaksi jaringan antibodiyang dominan adalah IgG, IgM,
IgA (Koc, 2017).
Livedo retikularis: merupakan manifestasi kulit yang terlihat seperti jaring-jaring pembuluh
darah (net-like, lace-like) diduga karena proses trombosis divaskuler
71
Gangrene: karena vasculitis di pembuluh darah kecil yang mungkin terkait dengan
antiphospolid syndrome
Eritema: pada tenar dan hipotenar warna kemerahan pada telapak tangan atau kaki dan
terkait pada lupus yang berat atau pronosis yang buruk
Gambar 3.9Discoid lupus erythematosus pada wajah dan kulit kepala yang dapat
menyebabkan alopesia dan kecacatan permanen (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Gambar 3.10 Discoid lupus erythematosus tipe generalized pada dorsum palmae (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
73
Gambar 3.11 Bullous lupus erythematosus dengan bula yang tidak menimbulkan jaringan
parut (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Fotosensitivitas
Sinar ultraviolet berhubungan dengan lesi pada kulit sudah diteliti secara
mendalam.Sinar ultra violet menimbulkan inflamasi melalui antibody-mediated cytotoxicity
yang menyebabkan kerusakan jaringan sinar ultraviolet A. UVA (320–400 nm) dan B (UVB)
(290– 320 nm) diperkirakan pemicu perbedaaan mekanisme. Dalam suatu penelitian, tes
provokasi terhadap sinar ultraviolet A, ultraviolet B, atau cahaya tampak dapat menyebabkan
reaksi kulit abnormal pada lebih dari 90% pasien lupus. Sinar ultraviolet B memicu apoptosis
yang menyebabkan kerusakan keratinosit. Apoptosis ini memicu timbulnya autoantigen yang
74
kemudian mengaktifkan respons imun.Selain itu, sinar UVB memodulasi sistem imun dengan
cara mengaktifkan sistem imun melalui sitokin yang beredar antara lain IL-1, TNF-α,
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan HLA-DR yang terekspresi di sel kulit.
Potosensitivitas ini pada umumnya ditemukan sekitar 50-93% (Kim & Chong,2013). Pada
penelitian yang dilakukan olen Yuliasih (2010) melaporkan fotosensitivitas terjadi pada
68,1% dan Yuliasih et al., (2019) sebesar 43,3% pada pasien SLE di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
Kebanyakan reaksi kulit yang tidak wajar terjadi 1-2 minggu setelah paparan cahaya
dan bertahan dalam beberapa minggu hingga bulan. Pasien yang fotosensitif melaporkan
memburuknya gejala penyakit sistemik, seperti kelelahan dan nyeri sendi setelah paparan
sinar matahari. Selama evaluasi, polymorphous light eruption (PMLE) menjadi pertimbangan
diagnosis banding yang penting. Membedakan PMLE dan lupus sangat penting karena
pengobatan PMLE dilakukan dengan fototerapi radiasi ultraviolet, yang mana metode
tersebut akan membuat kondisi lebih buruk pada pasien lupus. Akan tetapi, PMLE juga dapat
terjadi bersamaan pada pasien dengan SLE (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Gambar 3.13 Mekanisme Ultraviolet A dan Ultraviolet B pada Lupus. Sinar ultraviolet baik yang A
maupun yang B tumpang tindih menimbulkan kerusakan kulit, yang akhirnya
menimbulkan gejala lesi kutaneus lupus erythematosus. UVB mempunyai efek yang
lebih luas yang memengaruhi signalling sitokin, kemokin dan kerusakan sel secara
langsung. UVA menyebabkan kerusakan DNA secara langsung yang menginduksi
apoptosis dan gangguan fungsi system imun, melalui pembentkan ROS. (Kim &
Chong,2013)
75
Alopesia
Alopesia pada SLE yaitu kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait dengan
aktivitas penyakit biasanya bersifat difus. Kerontokan rambut biasanya dimulai pada garis
rambut depan dan cepat diganti dengan pertumbuhan rambut baru (lupus hair). Pada kasus
SLE yang berat, kerontokan rambut pada keadaan tertentu bisa menimbulkan alopesia yang
menetap disebabkan oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut. Alopesia yang
berat terkait pada lupus yang sangat berat (Uva et al., 2012; Dall‟era & Wofsy, 2017).
Gambar 3.14 Pasien SLE dengan alopesia akibat rambut rontok (Koleksi Departemen
Penyakit Dalam )
Ulkus Mukosa
Lesi pada lapisan mukosa nasal atau oral umumnya berkembang pada pasien dengan
SLE (Nico et al, 2008). Lesi oral dapat berupa palatal eritematus, petechiae/eritema palatum,
erosi, atau ulserasi. Lesi ini biasanya tidak nyeri. Secara umum, ulkus oral pada lupus
memiliki onset bertahap dan dapat terjadi di mana saja pada mukosa mulut dengan lokasi
paling sering yaitu palatum durum, mukosa bukal, dan garis batas bibir. Lesi mukosa paling
sering muncul unilateral atau asimetris. Hubungan antara munculnya lesi mukosa dan
aktivitas penyakit sistemik lesi oral subakut jarang terjadi dan ditandai dengan bercak-bercak
yang tegas, bulat, dan merah. Lesi oral bisa muncul sebagai lesi yang nyeri, berbatas tegas,
bulat, merah dengan striae hiperkeratotik putih. Mukosa bukal menjadi area yang paling
sering terkena lesi ini. Lesi ini bisa berevolusi dan tampak seperti honeycomb appearance.
Lupus oral sering melibatkan bibir dan menyebar dari garis batas bibir ke kulit sekitarnya
76
(Jonsson et al, 1984). Lesi mukosa juga dapat terjadi pada konjungtiva dan daerah genital
masih belum jelas. Perlu diperhatikan bahwa kandidiasis oral dan lichen planus oral dapat
memiliki gambaran yang mirip dengan ulkus oral SLE. Histopatologi dan imunopatologi lesi
mukosa serupa dengan perubahan pada kulit (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Manifestasi pada oral umumnya didapatkan pada SLE adalah oral ulcer, honeycomb
plaque, raised keratotic plaque, keratotic plaque non spesifik erythema, purpura,
pethechie,dan cheilitis. Prevalensi lesi oral dilaporkan 7–52% dari berbagai laporan studi
angka kejadian sekitar 25-41% dan umumnya ditemukan pada lupus aktif, studi di Venezuela
pada pasien SLE didapat 11% dengan manifestasi oral ulcer. Di Saudi Arab, dilaporkan
gejala oral ulcer didapatkan 72% dari 46 penderita SLE aktif. Gejala lain yang ditemui pada
kavum oral antara lain peodontitis (Uva et al., 2012). Namun penelitian lain melaporkan
bahwa oral ulcer tidak nyeri, beberapa studi melaporkan angka kejadian lupus sekitar 57%
ulkus dimulut nyeri, lesi discoid pada mukosa mulut dilaporkan lesinya lebih nyeri adanya
oral ulcer, rash akut kutaneus lupus, alopecia, periungual eritema, plantar eritema
menunjukkkan lupus yang aktif. Manifestasi oral ulcer banyak ditemukan di hard palatum
bentuk discoid daerah sentral berwarna eritema dan sekitarnya white spot dan terlihat striea
dan telengektasis (Schiodt, 1984).
Gambar 3.15 Oral ulcer khas di palatum durum (Koleksi Departemen Penyakit Dalam)
Fenomena Raynaud
Suatu kelainan aliran darah arteri yang bersifat lokal area, terutama dikulit yang
berfungsi sebagai termoregulator (Flavahan, 2015). Kelainan ini terkait dengan anastomos
77
arteri dan vena yang banyak mengandung serabut saraf simpatetik. Pada kondisi normal,
aretial kulit tidak meresponspada rangsangan simpatetis, tetapi pada raynaud arteriol pada
vaskuler kulit sangat merespons sehingga menimbulkan gejala vasospasme dan hubungan
arteriol dan venulenya terbuka. Adanya disfungsi sel endotel menurunkan aktivitas
vasodilatator terhadap nitrik oksida dan prostasiklin dan dapat mengekspresi resikotrombosis
dan aktivitas inflamasi termasuk peningkatan vasokontriksi endotelin-1. Gangguan proteksi
mekanisme ini merupakan kombinasi membatasi fungsi vaskuler. Mekanisme ini bisa dilihat
pada Gambar 3.16 Mediator alpha-2 adrenoreseptor yang membuat vasokrostriksi makin
memberat sehingga vaskuler sensitif menurunkan suhunya. Gambaran kliniknya kepucatan
bila terkena paparan dingin yang merupakan gangguan vasokontriksi arteri, vena, dan
anastomos. Pada saat dingin, arterovenous ini tidak akan berhubungan,tetap tertutup, dan
akan terbuka bila suhu sekitar hangat atau panas. Suhu dingin memicu vasokontriksi karena
refleks dari simpatetis, jari-jari berwarna keburan dan berubah menjadi kemerahan bila
terkena panas dan kadang-kadang disertai dengan nyeri. Manifestasinya ditemukan pada
ujung jari, ujung hidung, dan telinga. Manajemen utamanya adalah menghindari dingin dan
pemberian obat hanya diberikan pada fenomena raynaud sekunder antara lain calcium
channel blocker, sintetik prostasiklin yang mempunyai bukti cukup, sedangkan yang lain
masih memiliki bukti yang sangat terbatas (Wigley, 2016).
Gambar 3.17. Fenomena Raynaud fenomena pada lidah (koleksi Departemen Penyakit
79
Dalam) )
Gambar 3.18 Gambaran fenomena Raynauddi jari-jari tangan (National Heart, Lung, and Blood
Institute, 2020)
Berikut ini adalah jenis obat serta dosisnya untuk terapi fenomena raynaud.
1. Sebagai obat lini pertama pada kasus fenomena raynaud ringan sampai berat sebagai
langkah awal adalah pemberian dihydropyridine class calsium channel blocker
(nifedipine, amlodipine, felodipidine) sebagai monoterapi yang dimulai dengan dosis
rendah. Pasien yang tidak tahan pada efek samping dari obat tersebut dapat diberi
PDE-5 inhibitor, nitrate topical, angiotensin reseptor bloker atau SSRI.
81
2. Untuk obat lini kedua yaitu bila ada gejala yang ditandai dengan lesi iskemia di
digital, maka terapinya kombinasi antara lini pertama dengan lini kedua.Lini kedua
adalah PDE-5 inhibitor (sildenafil, tadafil) atau nitrat topical, calcium channel blocker
dan ditambahkan aspirin dosis 81mg.
3. Lini ketiga ditujukan untuk kasus yang berat yang berulang-ulang atau iskemia jari
yang berulang-ulang, maka perlu titambahkan terapi dengan prostanoid (epoprostenol,
Iloprost) atau injeksi botulinum toxin atau endothelin-1 inhibitor (bosentan) bila ada
gejala digital iskemia yang berat dan mengancam jiwa atau membutuhkan amputasi,
maka dianjurkan dilakukan selektif digital symphatectomy.
Angioedema
Angioedema merupakan edema yang terjadi akibat peningkatan permeabilitas
submukosa, terjadi kebocoran submukosa antara dermis dan subkutis. Angioedema sering
mengenai daerah kepala-leher, pada wajah, bibir, dasar mulut, lidah, dan laring, namun
edema dapat mengenai seluruh bagian tubuh.Pada kasus yang berat, angioedema dapat
menyebabkan obstruksi saluran napas,namunkematian umumnya disebabkan laryngeal
edema. Patogenesisnya terjadi pelepasan sel mast yang berasal dari kulit yang menyebabkan
arteriol vasodilator yang meningkatkan permeabilitas endotel dan terjadi ekstravasasi cairan
dan menimbulkan edema. Angka kejadian angioedema sangat jarang. Diperkirakanangka
kejadian angioedema sekitar 168 kasus pada 100.000 penduduk (Kaplan, 2008).
Angioedema yang herediter biasanya diketahui dari riwayat penyakit, antara lain
gejala klinis yang muncul pada usia dini dan ada riwayat keluarga. Penyebab herediter
angioedema disebabkan adanya defek kontrol penghambatan komponen komplemen C1
esterase inhibitoryang mempunyai peran sangat penting pada regulasi komplemen dan sistem
kinin. Inflamasi menyebabkan upregulasi aktivasi komplemen dan kalikrein yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan ekstravasasi yang menyebabkan subkutan dan
mukosal edema. Terapi defisiensi CI inhibitor adalah diberi C1 inhibitor yang berasal dari
plasma atau B2 reseptor antagonis.Beberapa kasus angioedema dilaporkan terkait dengan
SLE dan biasanya ditemukan pada kasus yang berat.Pada SLE dilaporkan hubungan
angioedema karena komplemen yang rendah, C1 inhibitor, dan rendahnya C1q diduga
adanya konsumsi komplemen karena aktivasi jalur klasik. Pemeriksaan C1q untuk
membedakan antara herediter dan acquired adalah pemeriksaan C1q, namun bagaimana
hubungan yang pasti belum diketahui (Kaplan, 2008). .Penyebab dan klasifikasi angioedema
sebagai berikut ini adalah klasifikasi Angioedema:.(Kaplan 2008).
82
Pada HAE tipe 1, 80-85% kasus didapatkan kadar C1 esterase inhibitor (C1-INH)
serum yang sangat rendah. Pada HAE tipe II, didapatkan disfungsi C1-INH walau kadar C1-
INH normal atau sedikit meningkat. Disfungsi C1-INH akan menyebabkan aktivasi spontan
komplemen dan pelepasan kinin, yang mengakibatkan edema pada jaringan subkutan dan
submukosa (Kaplan, 2008). C1 esterase inhibitor (C1-INH) –serin protease inhibitor-
merupakan plasma inhibitor C1r dan C1s- protease aktif dari komponen pertama komplemen.
Sistem komplemen merupakan suatu reaksi kaskade rangkaian komplemen yang apabila
kaskade ini tidak dihalangi, maka akan terjadi aktivasi komplemen yang tidak terkontrol,
menyebabkan produksi C2 kinin yang berlebihan, suatu molekul vasoaktif yang
menyebabkan angioedema. C1-INH membentuk kompleks yang stabil dengan ikatan aktif
dengan C1r dan C1s. Selain itu,juga membentuk kompleks dengan komponen koagulasi,
plasmin, dan kallikrein.C1-INH merupakan inhibitor utama kallikrein yang mengubah
kinogen menjadi bradikinin. C1 esterase inhibitor (C1-INH) –serin protease inhibitor-
merupakan plasma inhibitor C1r dan C1s- protease aktif dari komponen pertama C1-INH
83
membentuk kompleks yang stabil dengan ikatan dekat atau pada tempat aktif C1r dan C1s.
Angioedema saluran napas bagian atas yang mengancam jiwa merupakan manifestasi
yang sangat jarang pada SLE. Beberapa pustaka menyebutkan adanya hubungan angioedema
dan SLE. Thong et al., (2001) dari Tan Tock Seng Hospital, Singapore, melaporkan tiga
kasus angioedema mengancam jiwa, tanpa riwayat keluarga angioedema herediter yang
didahului infeksi saluran napas dengan keterlibatan organ mayor. Selain itu, Cacoub et al.,
(2001) dari Hospital La Pitie-Salpetriere Paris, melaporkan tiga penderita SLE dengan
angioedema pada kulit dan mukosa, namun tidak satupun dari penderita tersebut
menunjukkan keadaan klinis SLE aktif (Thong, 2001; Cacoub, 2001). Novira dan
Yuliasih(2005) melaporkan kasus SLE dengan manifestasi angioedema pada mulut sampai
saluran napas atas dengan CNS lupus (seorang laki-laki, 14 tahun kejang seluruh
tubuh,dsDNA > 300 IU/ml).Pasien tertolong dengan pemberian pulse dose kortikosteroid dan
siklophospamid.
Slerodaktili
Slerodaktili ditandai adanya sklerotik dan bengkak berwarna kepucatan pada tangan
akibat dari perubahan kulit seperti skleroderma, danhanya terjadi pada 7% pasien SLE.
Reumatoid nodul mungkin juga dapat dijumpai pada penderita lupus, hal ini dikaitkan dengan
antibodi Ro yang positif dan adanya reumatoid like artritis. Manifestasi lainnya yaitu
perubahan pigmen kulit bisa berbentuk hipo atau hiper pigmentasi terutama pada daerah yang
terpapar sinar matahari.
84
Dermatopatologi danImunopatologi
Biopsi kulit berguna dalam diagnosis lupus kutaneus ketika menemui manifestasi
klinis yang atipikal. Imunofloresensi harus selalu dilakukan bersamaan dengan histologi
konvensional. Lesi-lesi kulit yang spesifik lupus ditandai dengan terjadinya interface
dermatitis, yaitu kondisi infiltrasi sel-sel mononuklear di dermal-epidermal junction. Temuan
patologis lain yang ada pada lesi kutaneus termasuk degenerasi vaskulopati lapisan basal
keratinosit, inflamasi perivaskular dan periadneksa, penyumbatan folikel, deposisi musin, dan
hiperkeratosis. Gambaran histopatologi tersebut terjadi dalam tingkat yang bervariasi pada
berbagai lesi kulit spesifik lupus. Lesi diskoid menunjukkan perubahan histopatologi yang
paling buruk. Sebaliknya, lesi ACLE tahap awal memiliki gambaran histopatologis yang
minimal dengan sedikit infiltrasi limfositik (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Imunofluoresensi menunjukkan deposisi granular imunoglobulin (Ig) dan komplemen
di sepanjang dermal-epidermal junction. IgG dan IgM merupakan subtipe imunoglobulin
yang paling sering ditemukan. Berbagai komponen komplemen, seperti C3 dan C1q juga
telah diidentifikasi.Direct immunofluorescence (DIF) yang dilakukan pada kulit sehat yang
terpapar sinar matahari disebut sebagai “lupus band test”. Selain pasien SLE, pasien dengan
RA dan pada orang sehat pun dapat memiliki hasil yang positif. Pada penelitian, 20% orang
dewasa muda sehat pemeriksaan DIF bisa positif pada kulit yang terpapar sinar matahari.
Penting untuk dicatat bahwa tes serologi ANA, anti-dsDNA, dan anti-Smith (anti-Sm) telah
menggantikan penggunaan lupus band test untuk konfirmasi diagnosis SLE. DIF pada kulit
yang terlindung sinar matahari lebih spesifik untuk SLE (Dall‟era & Wofsy, 2017).
3.2.1 Artritis
Artritis dijumpai pada 70% pasien SLE aktif, namunjarang dijumpai gambaran frank
arthritis.Artritisterkadang didapatkan menyerupai Artritis Reumatoid, bedanya pada SLE
sifatnya nonerosif, selain itu bisa juga ditemukan gejala artralgia (Edworthy, 2005). Artritis
pada SLE tidak mempunyai lokasi spesifik seperti RA dan tidak menyebabkan deformitas.
Deformitas yang terjadi pada SLE akibat akibat kelenturan kapsul sendi dan subluksasi sendi.
Manifestasi tersebut disebut sebagai artropati yang menyerupai Jaccoud (Jacaud’s-like
arthropathy). Biopsi sinovial pasien artritis lupus menunjukkan berbagai kelainan, seperti
85
penumpukan fibrin, proliferasi synovial lining cell, oklusi vaskular, infiltasi limposit,
vaskulitis, dan kerusakan lumen pembuluh darah (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Gambar 3.21Jaccoud’s-like arthropathy yang menyerupai kelainan pada demam rematik (Santiago et
al., 2015)
dengan SLE pertama kali dicatat pada tahun 1960 oleh Du Bois dan Cozen. Banyak peneliti
melaporkan prevalensi AVN yang berbeda-beda, sehingga apabila dirangkum, prevalensinya
berkisar antara 2,8-40%. Perbedaan persentase ini dapat disebabkan karena derajat penyakit
SLE yang berbeda-beda (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Pada penderita SLE, nekrosis avaskular sebagian besar terjadi di pinggul, tetapi dapat
juga terjadi pada sendi-sendi yang lain seperti pada lutut, lengan, dan pergelangan kaki.
Nekrosis avaskular ini menimbulkan rasa nyeri dan keterbatasan gerak sendi.
Penatalaksanaan medis pada penyakit yang masih dini meliputi analgesik dan mengurangi
beban tubuh. Pada stadium lanjut dimana tulang telah kolaps dan persendian rusak, intervensi
dokter ahli bedah ortopedi diperlukan (Mont, 2000).
Berikut contoh kasus “Nekrosis Avaskular Caput Femoris pada Seorang Penderita
Lupus Eritematosus Sistemik” (Tjempakasari & Yuliasih, 2004). Seorang wanita, Nn. L, 26
tahun keluhan utama nyeri di pinggul kanan sejak 1 tahun sebelum MRS nyeri semakin
bertambah jika digunakan berdiri dan berjalan. Jika digunakan duduk atau beristirahat nyeri
terasa berkurang. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Selain itu, penderita juga sering
menderita demam, demam turun sendiri tanpa obat.Penderita juga mengeluh rambutnya
sering rontok dan pada wajah sering timbul bercak-bercak kemerahan.Bercak kemerahan ini
kadang gatal dan sering timbul bila terkena sinar matahari dan demam.Pasien menderita SLE
sejak tahun 1998, yang pada waktu itu ditegakkan berdasar adanya malar rash, discoid rash,
ulkus oral, fotosensitif, arthritis, dan tes ANA positif.Penderita mendapat pengobatan
prednison, chloroquin, dan Ca + vit. D3. Penyakitnya terkontrol dengan prednison 1 tablet
per hari.Selanjutnya pasien tidak pernah kontrol. Pada pemeriksaan Hip kanan didapatkan
nyeri pada ekso, endorotasi, dan nyeri pada pinggul kanan.
Pada foto pelvis AP didapatkan opasitas tulang baik, caput femoris kanan agak
kecil, sklerotis sedang. Joint space baik. Kesan dugaan suatu nekrosis avaskular coxsae
kanan.Pada pasien ini terjadi avaskuler nekrosis akibatover steroid karena konsumsisteroid
yang diatur oleh penderita sendiri.
Nekrosis avaskular dapat terjadi setelah pemberian terapi kortikosteroid di atas 7,5
mg lebih dari 3 tahun. AVN yang disebabkan kortikosteroid adalah lebih berat daripada yang
disebabkan oleh kondisi lain, karena demineralisasi mempercepat osteolisis permukaan
penyangga badan pada caput femoris (Klippel JH,2001). Akibat nekrosis avaskular
meningkatkan morbiditas serta memengaruhi kualitas hidup.
Patogenesisnya diduga fase awal kemungkinan tulang kekurangan suplai darah pada
daerah epifise yang terlihat di gambaran radiologi sebagai osteoporosis. Pada stadium ini
87
secara radiologis terdapat batas antara tulang yang nekrosis dan tulang yang baik. Selanjutnya
area yang mengalami nekrosis densitasnya meningkat dibandingkan dengan tulang-tulang
osteoporotik di sekitarnya. Pada fase penyembuhan, terdapat pertumbuhan pembuluh darah
baru dan terjadi proses reparasi. Tulang yang baru tumbuh sifatnya lunak. Dengan adanya
tekanan pada permukaan yang berlanjut, dapat terjadi kolaps tulang (Wallace DJ,2002).
Mekanisme terjadinya nekrosis avaskular pada pemberian kortikosteroid belum
sepenuhnya diketahui. Mekanisme yang mungkin dapat terjadi adalah (Aiello MR,2003):
a. oklusi pembuluh darah kecil karena emboli lemak dari hepar
b. penekanan tekanan intra-osseous karena peningkatan ukuran sel-sel lemak intra
medullaris tanpa kompensasi yang bermakna dari hilangnya trabekel dan tulang
kortikal.
c. emboli lemak dihidrolisismenjadi asam lemak bebas yang toksik terhadap endotel
pembuluh darah menyebabkan koagulasi intravaskular.
d. angiogenesis dihambat oleh penurunan aktivitas proteolitik dengan sintesisantibodi
poliklonal hormon antitiroid reseptor alfa–1.
e. efek toksik langsung terjadi pada sel-sel osteogenik.
f. penggunaan steroid menyebabkan konversi dari hematopoietic marrow ke
fattymarrow. Konversi mungkin berhubungan dengan steroid yang menyebabkan
penurunan aliran darah.
Pada penelitian lain dikatakan bahwa nekrosis avaskular karena kortikosteroid
disebabkan oleh apoptosis osteosit dimana ini akan mengganggu jaringan mekanosensoris
dan menyebabkan kolaps caput femoris (Weinstein, 2000). Caput femoris merupakan tempat
tersering untuk terjadi AVN (95%) dan 72% adalah bilateral. Selain itu dapat juga terjadi di
lutut (13%), humerus (3%), dan tulang karpal (3%).Gambaran klinis AVN adalah
nonspesifik, kadang-kadang penderita tidak merasakan gejalanya.Hal initerutama bila lesi
kecil atau area tidak berdekatan dengan persendian. Keluhan awalnya adalah nyeri yang
dalam yang lokasinya pada tulang karena berhubungan dengan peningkatan tekanan intra
osseous dan iskemik jaringan atau microfracture dan kolaps permukaan sendi. Nyeri ini
semakin progresif sehingga ekstremitas bawah menjadi sulit untuk berjalan ditambah dengan
kondisi keterbatasan gerak. Pada umumnya, nyeri akan berkurang dengan istirahat dan
meningkat dengan adanya aktivitas dan upaya untuk menyangga berat badan. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri ROM (range of motion) pada pinggul, terutama forced
internal rotation (Steinberg ME,1989 ; Hanna MW, 2002 ; Hamer AJ, 2004).
88
MRI merupakan alat evaluasi diagnostik yang paling sensitif untuk mendiagnosis
AVN. Alat ini noninvasif, lebih spesifik, dan sensitif daripada CT-scan atau planar
scintigraphy dan lebih sensitif daripada foto polos.MRI sensitif terhadap perubahan awal dan
dapat mendeteksi abnormalitas lemak dan sumsum tulang sebelum perubahan pada tulang
terjadi. Pada saat ini, MRI merupakan metode terbaik untuk diagnosis awal AVN. Nekrosis
avaskular caput femoris dapat dideteksi pada T1 & T2 weighted images irisan coronal.Pada
stadium lanjut AVN, sering terdapat gambaran efusi sendi dan fraktur intra-osseous (Khanna,
2000).
Pada foto polos pelvis penderita didapatkan opasitas tulang baik, caput femoris kanan
agak kecil, sklerosis sedang,joint space sedang. Sedangkan pada pemeriksaan MRI tanpa
kontras, didapatkan nekrosis avaskular persendian pinggul kanan tipe 2 segmental disertai
joint effusion pada irisan axial dan coronal T1-T2 WI (sesuai klasifikasi ficat stadium IV).
Penatalaksanaan konservatif pada AVN meliputi tigahal, yaitu:
1. Modifikasi aktivitas dengan mengurangi menyangga berat badan
2. Simulasi perbaikan dengan ultrasound atau electric signals
3. Terapi obat-obatan
Cara-cara ini efektif pada stadium awal sebelum tulang kolaps. Terapi intervensi
minimal adalah mengurangi menyangga berat badan, fisioterapi, dan analgesik sederhana.
Stimulasi elektrik dan penggunaan ultrasound merangsang osteogenesis dan
neovaskularisasi. Alat ini telah digunakan secara klinis untuk penyembuhan fraktur.
Penatalaksanaan dengan obat-obatan lebih efektif pada stadium preradiologi, yaitu dengan
menggunakan vasodilator untuk menurunkan tekanan intra-osseous. Vasodilator melebarkan
pembuluh darah pada tulang yang terkena. Terapi dengan nifedipin menurunkan rasa nyeri
dibanding grup kontrol (Mont MA,2000).
Pada stadium 0-II dapat dilakukan terapi konservatif atau core decompression. Core
decompression mengatasi nyeri, melalui mekanisme memperbaiki edema sumsum tulang dan
hipertensi intra-osseous.Core decompression dilakukan pada penderita yang gagal dengan
konservatif. Pada penderita dengan nyeri yang menetap dan penurunan gangguan fungsional
yang progresif dianjurkan untuk melakukan arthroplasti. Pada stadium III & IV biasanya
dilakukan bedah rekonstruktif (hip replacement /hip arthroplasty) (Koo KH,1999).Pada hasil
pemeriksaan foto polos pelvis dan MRI penderita, didapatkan nekrosis avaskular stadium IV
sehingga dianjurkan untuk dilakukan arthroplasti.
89
3.2.3 Miositis
Meskipun gejala mialgia sering terjadi pada pasien SLE, terjadinya mialgia yang
disebabkan oleh miositis relatif jarang terjadi. Suatu studi pasien SLE di National Institutes
of Health (NIH) menemukan prevalensi miositis sekitar 8%. Miositis biasanya melibatkan
ekstremitas atas dan bawah bagian proksimal. Biasanya selain ditandai gejala klinis, juga
didapatkan kadar kreatinin kinase yang meningkat dan pemeriksaan EMG yang spesifik
(Dall‟era & Wofsy, 2017).
Penting untuk membedakan miositis sekunder akibat SLE dibandingkan dengan
miopati akibat glukokortikoid, agen antimalaria, kolkisin, atau statin karena pengobatannya
sangat berbeda. Enzim-enzim otot seperti creatine phosphokinase (CPK) dan aldolase
biasanya masih dalam kadar normal pada pasien-pasien dengan miopati akibat glukokortikoid
dan hydroxychloroquine. Pemeriksaan biopsi otot umumnya dapat menunjukkan tanda-tanda
khas, termasuk perubahan vakuolar dalam miopati hydroxychloroquine dan atrofi fiber tipe II
pada miopati glukokortikoid tanpa adanya peradangan. Sedangkan kolkisin dapat
menyebabkan miopati atau neuromiopati melalui peningkatan kadar serum CPK. Penting
untuk mederensial diagnosis penyebab miopati dan miositis lainnya, termasuk penyakit
tiroid, kelainan elektrolit, dan miositis infeksi. Pemeriksa juga harus mempertimbangkan
kemungkinan MCTD (Dall‟era & Wofsy, 2017).
GFR, seperti rumus Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) atau rumus Chronic
Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI). Rumus CKD-EPI lebih akurat
daripada rumus MDRD pada pasien dengan GFR yang lebih tinggi. Apapun metode yang
dipilih, deteksi perubahan fungsi ginjal selama periode waktu lebih penting (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
4. Gambaran Biopsi Ginjal lupus Nefritis
Biopsi ginjal tidak harus dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis, tetapi lebih
penting untuk mengevaluasi tingkat aktivitas penyakit dan menentukan pengobatan yang
tepat. Menurut panduan ACR, biopsi sangat dianjurkan untuk pasien yang memenuhi salah
satu kriteria berikut:
(1) peningkatan kreatinin serum tanpa penyebab lain yang kuat,
(2) proteinuria yang dikonfirmasi 1 g/24 jam,
(3) proteinuria >0,5 g/24 jam dan hematuria, atau
(4) proteinuria>0,5 g/24 jam dan adanya cellular casts.
Proteinuria dapat diukur dengan urine tampung 24 jam atau rasio protein-kreatinin.Sebelum
biopsi ginjal, ultrasonografi direkomendasikan untuk menilai ukuran dan struktur ginjal,serta
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya trombosis vena renalis. Ukuran ginjal kurang dari
75% dari normal merupakan kontraindikasi relatif untuk biopsi. Glomerulonefritisyang
diakibatkan SLE diklasifikasikan oleh International Society of Nephrology/Renal Pathology
Society (ISN/RPS) menjadi enam kategori berdasarkan temuan mikroskop cahaya,
imunofloresensi, dan mikroskop elektron (Tabel 3.4 dan Gambar 3.7) (Dall‟era & Wofsy,
2017).
Tipe
Keterangan
WHO
Focal Lupus Nephritis
Class Glomerulonefritis endokapiler/ekstrakapiler (aktif/inaktif) tipe difusa, segmental, atau global yang
III melibatkan <50% dari semua glomerulus, biasanya disertai deposit imun subendothelial fokal,
dengan atau tanpa perubahan mesangial
Gambar 3.22 Hasil biopsi berdasarkan tipe lupus nefritis menurut WHO.(A) Glomerulus normal;(B)
Mesengial proliferative (class II); (C) Proliferasi mesengium dan endokapiler dengan pola lobular
yang dapat terjadi pada class III bila melibatkan <50% glomerulus dan class IV bila >50%; (D)
Nefropati membranosa (Class V); (E) Nekrosis fibrinoid dengan karyorhexis pada fokal proliferatif
94
glomerulonephritis (class III), (F) Sel-sel bulan sabit dengan proliferasi sel-sel endothelium dan
infiltrat sel-sel mononuklear pada kapsula Bowman dan interstisial, (G) (sama dengan F), (H) Fibrosis
interstisial dan atrofi tubulus berat (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Contoh Kasus
Berikut contoh kasus “Lupus Nefritis pada Kehamilan” (Jumali & Yuliasih, 2004).
Seorang wanita, 29 tahun, ibu rumah tangga dengan keluhan bengkak kedua tungkai sejak
hamil 6 bulan dan bengkak semakin memberat sampai vaginanya juga bengkak. Nyeri sendi
hilang timbul disertai bercak di wajah, pemeriksaan fisik keadaan umum, tekanan darah
normal, didapatkan lesi diskoid rash, di daun telinga dan bercak malar. Pemeriksaan jantung
didapatkan kardiomegali dan tidak didapatkan bising serta suara galop. Pemeriksaan paru
tidak didapatkan ronki basah halus dikedua lapangan paru. Pada pemeriksaan abdomen tidak
didapatkan spenomegali atau hepatomegali, didapat asites minimal dengan tinggi fundus uteri
sesuai kemamilan 29-30 minggu serta kedua tungkai bengkak sangat besar. Darah lengkap
HB 10 mg/DL. Leukosit 3500 mg/DL, Trombosit 167 mg/dl LED 100. Kimia darah SGOT:
40 SGPT 20 .Albumin 1,5 gr/dl kolesterol total 300 mg/dl, trigliseri 450 mg/dl. HDL 45
mg/dl, LDL 100 mg/dl. BUN 20; SK 1,5. Urine Lengkap: leukosit 10-15; Protein +4; epitel
4-6 eritrosit +3. Tidak dilakukan pemeriksaan ANA serta ANA profile,C3 dan C4 karena
biaya tidak ada.Dari data diatas, disimpulkan penderita SLE dengan manifestasi lupus nefritis
aktif. Diberikan pulse dose 750 mg selama 3 hari dan azatiprine 2x50 kalsium dan vitamin D
dalam perjalanannya pasien ini melahirkan prematur dengan berat janin 950 gram.Lupus
nefritis sering didapatkan pada SLE dengan kehamilan terutama pada SLE yang aktif.Pasien
ini terdiagnosis SLE saat hamil dan manifestasinya yang menonjol adalah lupus nefritis yang
ditandai ptroteinuria dan hematuria serta edema ansarka, hipoalbumin, dan dislipidemia.
Gejala klinis lupus nefritis aktif dan eklamsia hampir sama, yang bisa dibedakan adalah kadar
C3 dan C4. Pada pasien ini, didiagnosis lupus nefritis karena tensi dalam batas normal dan
tanda akut kutaneus lupus (malar rash) positif, maka diagnosis masih dipikirkan sebagai
lupus nefritis dengan pertimbangan tersebut diatas kemudian diberi pulse dose steroid 750
mg dalam 3 hari berturut-turut dan memberikan hasil yang baik dengan bengkak berkurang
96
dan ulangan protein uria menjadi negatif setelah dirawat hari kesepuluh. Imunosupresan
diberikan golongan azatioprine karena ada kehamilan namun sayangnya penderita mengalami
abortus dengan bayi lahir, berat badan yang sangat kecil.
16-50% pada foto thoraks. Data yang diperoleh Yuliasih (2010) 4,3%, Yuliasih et al,(2019)
46,7%. Pada umumnya, efusi pleuranya ditemukan dari gambaran klinis dan radiologis.
Gambaran pleuritis ditandai dengan nyeri dada, sesak batuk, dan demam. Patogenesis akibat
deposit kompleks pleura efusi.Terkadang untuk diagnostik efusi pleura diperlukan tes biopsi
untuk menyingkirkan TBC atau kanker, gagal jantung, dan emboli paru. Pemeriksaan CRP
dan LED sangat penting untuk membedakan efusi pleura karena infeksi atau karena lupus
pada infeksi biasanya didapatkan kadar peningkatan CRP dan LED yang sama, sedangkan
pada lupus aktif terjadi peningkatan LED, namun tidak disertai dengan peningkatan CRP.
Pemeriksaan lain yang tidak boleh diabaikan adalah infeksi tuberkulosis karena pada daerah
endemis infeksi TB sangat tinggi. Maka perlu pemeriksaan TB paru untuk menyingkirkan
adanya infeksi TB. Pada efusi pleura karena TB pemeriksaan ADA (adenosine deaminase)
didapatkan kadar>50 IU (Bertsias et al., 2012).
Interstisial pnemonitis didapatkan pada 3-13% pasien SLE, bentuknya bisa akut
maupun kronik. Pada kasus yang kronik seringkali asimtomatik dan hanya terdeteksi saat
dilakukan CT-scan paru. Pnemonitis lupus akut ditandai dengan gejala batuk, sesak, nyeri
dada, hipoksia, dan demam.Angka kejadiannya sekitar 1-4% penderita. Gambaran radiologi
ditemukan bercak infiltrasi bilateral atau unilateral dengan gambaran histopatologi
nonspesifik, ditandai kerusakan alveolar, infiltrasi sel inflamasi, edema, perdarahan, dan
bentukan membran hialin (Haupt et al., 1981; Pego-Reigosa et al., 2009; Bertsias et al., 2012).
2. Pneumonitis Lupus
Pada kondisi normal, alveolus merupakan tempat pertukaran gas dari darah kejaringan
paru.Anatomi alveolus terdiri atassel epitel dan matriks ekstraseluler yang mengelilingi
pembuluh darah sekitar alveoli dan berfungsi sebagai barrier alveoli. Alveoli normal berisi
kolagen dan serabut elastik. Jaringan elastik ini berfungsi pengembangan alveoli saat
inhalasi. Sel dari alveoli terdiri atasskuamosa alveolar sel yang merupakan struktur dinding
dari alveoli. Sel lainnya yaitu sel great alveolar tipe II yang mensekresi surfaktan dan
makrofag yang menghancurkan material yang merusak alveoli, misalnya bakteri (Haupt et
al., 1981; Dall‟era & Wofsy, 2017).
Idiopatic interstitial pneumonia (IIPs) merupakan kelompok penyakit parenkim
paru,atau sering juga disebut intersisial lung diseases (ILD).Idiopatik interstisial pneumonia
merupakan kelompok heterogen yang ditandai dengan kerusakan parenkim paru karena
inflamasi dan fibrosis.Pneumonitis lupus merupakan nonspesifik interstisial pneumonia. Pada
pneumonitis lupus terjadi kerusakan pada jaringan interstisial paru, yaitu jaringan antara
epitel dan membran basalis endotel.Namun tidak hanya melibatkan jaringan interstisial,tetapi
98
juga melibatkan jaringan alveoli, saluran napas bawah, dan pembuluh darah disekitarnya.
Kriteria akut pneumonitis ditandai dengan inflamasi saluran napas bawah yang disertai
dengan gambaran radiologi, yaitu adanya infiltrate bilateral pada paru dan gambaran
histopatologi kerusakan aevolar diffuse yang bukan disebabkan infeksi atau bahan-bahan
toksik (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Pneumonitis lupus merupakan salah satu manifestasi paru dengan mortalitas yang
sangat tinggi. Pneumonitis lupus dapat muncul sebagai gejala awal penyakit yang seringkali
tidak terpikirkan bila tidak disertai gejala lupus lainnya.Namun pada umumnya pneumonitis
lupus terjadi pada pasien SLE yang aktif. Pneumonitis lupus merupakan interstisial
pneumonitis nonspesifik ditandai dengan adanya kelainan pada sistem pernapasan dengan
progresivitas yang sangat cepat mudah terjadi gagal napas dengan gejala prodromal demam
dan batuk.Oleh karena itu, pneumonitis lupus harus cepat penanganannya dan membutuhkan
perawatan yang khusus dan lengkap karena penyebab pneumonitis adalah vaskulitis yang
menyebabkan eksudasi protein ke dalam alveolar yang disertai fibrin dan membran
hialin.Adanya membran hialin dan adanya eksudat pada alveoli merupakan prediktor
progresivitas,yaitu menggambarkan kerusakan alveolar yang sangat luas. Membran hialin
adalah membran protein yang menghambat terjadinya oksigenasi di dalam paru. Selain itu,
vaskulitis menyebabkan alveolar kolaps, diikuti dengan apoptosis dan nekrosis sel (great
alveolar) .Adanya membran hialin memudahkan sel-sel inflamasi bermigrasi ke dalam
alveolar, dan sel-sel mio fibroblas.Selain itu, banyak ditemukan sitokin-sitokin TNFα dan IL-
1β, serta sitokin yang memicu terjadinya fibrosis misalnya TGFα, TGFβ, dan PDGF (Dall‟era
& Wofsy, 2017).
Teori baru mengenai kerusakan paru akibat penyakit autoimun terkait dengan gen
AIRE (Autoimmune Regulator), gen yang bertanggung jawab terhadap penyakit autoimun
poly endocrine. Dari studi binatang coba, pada penyakit autoimun yang melibatkan paru
sebagai target organ setelah dievaluasi didapatkan autoantibodi pada epitel bronkus. Setelah
dieksplorasi kembali,epitel bronkus yang sebagai target antigen ditemukan suatu protein
vomeromodulin yang terekspresi pada epitel saluran napas.Dibuktikan pula akibat respons
autoantibodi terhadap vomeromodulin, disekresi interferon oleh sel T. Pada manusia,
vomeromodulin homolog dengan LPLUNC1(C20orf114) yang merupakan faktor transkripsi
dari vomeromodulin pseudogene (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Diagnosis pneumonitis lupus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, laboratoris,
serta radiologis.Diagnosis banding dari pneumonitis lupus adalah pneumonia karena infeksi.
Gejala klinis dari kedua penyakit ini hampir sama dan kadang terjadi bersamaan.Oleh karena
99
Gambar 3.23. Foto thoraks pasien dengan pneumonitis lupus tampak bercak yang merata
pada kedua lapangan paru (Koleksi Departemen Penyakit Dalam)
batuk akut/subakut disertai munculnya infiltrat alveoli (tampak pada roentgen thoraks) dan
penurunan kadar hemoglobin. Secara keseluruhan kasus, hemoptisis tidak selalu terjadi.
Bronkoskopi dengan bronchoalveolar lavage (BAL) penting dalam menyingkirkan
kemungkinan infeksi dan mengonfirmasi diagnosis DAH. Temuan khas seperti darah di
saluran pernapasan dan cairan serosanguinus pada BAL. Makrofag yang mengandung
hemosiderin dapat ditemukan dalam cairan BAL. Berbagai macam pola histopatologi telah
banyak ditemukan pada DAH, antara lain perdarahan paru, kapiler, kerusakan alveolis difus,
dan vaskulitis arteriol pulmonalis (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Akut lupus pneumonitis dan diffuse alveolar haemorhage (perdarahan paru)
manifestasi pada paru yang sangat jarang namun sangat mengancam jiwa. Patogenesisnya
diduga adanya injury pada alveolar dan capilary unit. Angka kejadian pneumonitis sekitar 1-
4% .Gambaran kliniknya adalah demam, batuk, sesak dapat disertai batuk darah dengan
gambaran hypoxemia berat dan hipocapnea,sertacepat jatuh gagal napas yang membutuhkan
ventilator. Pada foto radiologi biasanya didapatkan bercak pada kedua lapangan paru. Akut
lupus pneumonitis ditandai dengan kerusakan alveoli yang luas yang ditandai dengan
kerusakan dinding alveole, nekrosis,membentukan membran hialin infiltrasi sel-sel inflamasi
dan perdarahan alveolar. Selain itu, didapatkan inflamasi dan trombosis pada kapiler disertai
penimbunan imunoglobulin dan komplemen namun gambaran ini tidak spesifik (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
Perdarahan paru manifestasinya sekitar 0,5 -5,7%, bisa sebagai manifestasi awal lupus
gejalanya ditandai batuk darah, Hb turun dengan cepat disertai gambaran analisis gas darah
yang buruk. Manifestasi yang menyertai adalah mukokutaneus, CNS lupus, dsDNA yang
tinggi, dan komplemen yang rendah. Patogenesisnya terkait dengan deposit immunoglobulin
dan komplemen pada basal membran alveoli,kapiler, dan vaskulitis. Pada gambaran
histopatologi terjadi diffus injuri pada pembuluh kapiler atau kapilaritis denganinfiltrasi
netrofil pada septa alveolar dan pada pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) terdapat
hemosiderinladen macrophages yaitu gambaran darah dan fibrin mengisi alveoli (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
Gambaran akut pneumonitis kadang sulit dibedakan dengan pneumonia karena
infeksi, yaitukarena gambaran klinik dan radiologi hampir sama. Secara histopatologi antara
akut pneumonitis dan perdarahan paru berbeda namun gambaran radiologinya hampir sama.
Gambaran radiologinya didapatkan infiltral bilateral atau ground glass opacities yang
dominan daerah lubus inferior monitoringcarbon monoxide diffusing capacity (DLCO) dapat
membantu diagnosis perdarahan (Dall‟era & Wofsy, 2017).
101
Terapi pada kedua kondisi ini lebih baik dilakukan ICU, karena pada umumnya jatuh
gagal napas.Sterid pulse dose menjadi lini pertama pengobatan dan selanjutnya pemberian
siklofospamid bila tidakmerespons dapat diberi plasma pharesis atau antibodi monoklonal
CD20 terapi supportif lainnya, misalnya pemberian antibiotik karena risiko infeksinya yang
sangat tinggi.Baik pneumonitis maupun pulmonary hemorrhage mempunyai mortalitas yang
tinggi, yaitu sekitar 50-70% (Bertsias et al., 2012).
Meskipun angka kejadianperdarahan paru pada SLE jarang, tetapi mortalitasnya
sangat fatal sekitar 50-90%. Gambaran klinisnya tidak spesifik, pada gambaran radiologi
didapatkan infiltrate alveolar yang difus, hypoxemia, sesak, dan penurunan Hb secara
mendadak merupakan gejala yang khas.Pada umumnya, perdarahan baru terjadi pada
penderita SLE aktif, dilaporkan alveolar hemorrhage sebagai manifestasi awal lupus
diagnosisnya ditegakkan dengan biopsi paru atau pemeriksaan bronchial lavage (BAL)
adanya darah segar pada saluran napas serosanguinus pada pemeriksaanBAL dan tidak
adanya infeksi sangat mendukung diagnosis perdarahan paru (Inoue et al., 1979; Pego-
Reigosa et al., 2009; Bertsias et al., 2012).
Manifestasi paru lainnya acute reversible hypoxemia syndrome, hipertensi pulmonal,
emboli paru sering dihubungkan dengan antiphospholipid syndrome, disfungsi diagfragma
“shrinking lung syndrome” ditandai dengan sesak yang progresif dengan gambaran radiologis
didapatkan volume paru yang berkurang dan ateletaksis di daerah basal paru (Pego-Reigosa
et al., 2009; Bertsias et al., 2012).
Contoh Kasus
Berikut contoh kasus “Seorang Penderita SLE dengan Manifestasi Perdarahan Paru”
(Stephanie & Yuliasih, 2008).
Seorang wanita, Nn.M, usia 25 tahun, datang ke IRD RS Dr.Soetomo dengan keluhan
utama perdarahan di bawah kulit. Perdarahan di bawah kulit berupa bintik-bintik kemerahan
dengan ukuran sekitar satu sentimeter pada seluruh tubuh dan perdarahan pada mata kanan
sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS), perdarahan terjadi tanpa didahului
adanya trauma atau panas badan. Penderita juga mengeluh badannya mudah letih, lesu, mual,
kadang disertai muntah, nafsu makan berkurang, berat badan turun, rambut rontok, nyeri
persendian, sering sariawan, serta panas badan sumer-sumer yang hilang timbul. Semua
keluhan dirasakan penderita sejak 5 bulan yang lalu. Riwayat penyakit sebelumnya
Idiopathic Trombocytopenic Purpura (ITP) dan mendapat terapi prednison 3x16 mg,
102
ranitidin 2x1. Selama ini penderita kontrol rutin ke poli hematologi. Riwayat dalam keluarga
ada yang memiliki penyakit serupa disangkal.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum sakit sedang, kompos mentis,
tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100x/menit teratur dengan pengisian cukup, frekuensi
pernapasan 22x/menit, dan suhu badan aksiler 37,80C. Pada pemeriksaan kepala dan leher
didapatkan anemia, dan perdarahan subkonjungtival mata kanan, ulkus oral pada bibir dan
palatum durum, pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal, pemeriksaan abdomen
dalam batas normal, pemeriksaan ekstremitas akral hangat, kering, merah, tidak didapatkan
edema. Didapatkan ptekie dan purpura pada dada, perut, punggung, kedua ekstremitas atas
dan bawah. Perawatan hari keempat penderita gelisah, sesak napas,dan batuk darah, buang air
besar hitam seperti petis, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 90x/m, pernapasan 36x/m,
didapatkan pernapasan cuping hidung, dan ronki basah kasar.
Hasil laboratorium Hb 6,4 g/dL (setelah transfusi PRC 7 kolf), leukosit 6.200/cmm,
trombosit 18.000/cmm paska transfusi. Trombosit konsentrat 10 kolf. Gula darah acak
(GDA) 125 g/dL, SGOT 19 U/I, SGPT 7 U/I, bilirubin direk 0,1 mg/dL, bilirubin total 0,6
mg/dL, BUN 14 mg/dL, serum kreatinin 1 mg/dL, kalium 3,1 mEq/L, natrium 142 mEq/L,
albumin 3,5. Hasil tes ANA dan anti dsDNA positif,setelah dirawat 3 hari pasien mengeluh
sesak dan batuk darah.Pada foto thoraks didapatkan infiltrat menunjukkan adanya infiltrat di
kedua lapang paru 4 hari sebelumnya dalam batas normal, analisisgas darah (AGD)
menunjukkan hipoksia berat dengan nilai pH: 7,47; pCO2: 43; pO2: 51; HCO3-: 31; BE: -6,8;
Saturasi O2: 88%. Dari datadiatas, penderita didiagnosis sebagai SLE aktif dengan
manifestasi perdarahan paru,dialih rawat ke ICU untuk pemasangan ventilator mendapat
terapi oksigen masker 8 lpm, pulse dose metilprednisolon 1000mg selama 3 hari dilanjutkan
50mg intravena, siklofosfamid 500m,selama diICU juga diberikan terapi konsentrat trombosit
10 kolf/hari jika ada perdarahan, dan PRC 2 kolf/hari hingga mencapai Hb 10 g/dL, untuk
profilaksi infeksi sekunder diberi seftazidim 3x1g dan siprofloksasin 2x400 mg. Dari hasil
laboratorium pada saat awal penderita dirawat di ICU, didapatkan Hb 11,1 g/dL, leukosit
12.800/cmm, trombosit 7000/cmm, netrofil 96%, CRP 76 mg/L, UL: lekosit +1, protein +2,
urobilinogen +1, dan eritrosit +4. Hasil kultur urine ditemukan kuman Klebsiella oxytoca
yang sensitif terhadap imipenem, terapi antibiotik diganti dengan imipenem 2x1 gr.Hasil
pemeriksaan ulang AGD (tanpa O2) pada hari ke XX perawatan di ICU menunjukkan pH:
7,48; pCO2: 40,5; pO2: 98; HCO3-: 19,4; BE: -4,2; Saturasi O2: 98,3%, dan DL ulang
menunjukkan hasil: Hb 11,0 g/dL, lekosit 6.900/cmm, limfosit 700/cmm, trombosit
18.000/cmm.Karena kondisi penderita terus membaik, penderita dialih rawat ke RPI
103
Manifestasi Karakteristik
Dapat terjadi secara asimtomatik
Biasanya sedikit, bilateral, dan cairan bersifat eksudat
Efusi pleura
Khas terjadi pada lupus akibat medikasi
Harus mengeksklusi kemungkinan infeksi, keganasan, dan gagal jantung
Gangguan sistem respirasi berat ditandai dengan adanya demam, batuk,
infliltrat, dan hipoksemia
Dapat disertai efusi pleura
Pneumonitis akut
Mortalitas tinggi
Bronkoskopi mungkin diperlukan untuk mengeluarkan kemungkingan
infeksi
Bisa terjadi setelah pneumonitis akut atau dengan cara yang lebih
berbahaya
Penyakit paru interstisial
Memiliki karakteristik seperti dyspnea on effort, nyeri dada pleuritik, dan
kronis
batuk kering
(Chronic interstitial lung
CT-scan resolusi tinggi lebih sensitif daripada rontgen dada dalam
disease)
mendeteksi penyakit
Harus mengeksklusi kemungkinan infeksi, edema paru, dan keganasan
Muncul dengan tanda-tanda dyspneu, batuk, infiltrat alveoli, penurunan
kadar Hb
Diffuse alveolar Hemoptisis tidak selalu terjadi
hemorrhage Kapasitas difusi karbon monoksida meningkat
Bronkoskopi dapat mengonfirmasi diagnosis dan mengeksklusi infeksi
Mortalitas tinggi
Ditandai dengan dyspnea on effort, kelelahan, nyeri dada, dan batuk kering
Hipertensi arteri pulmonalis
Diagnosis harus dikonfirmasi dengan kateterisasi jantung kanan
Dyspneu, volume paru kecil, elevasi diafragma
Shrinking lung syndrome
Parenkim paru tidak terlibat
histopatologi dan HRCT. Sebelum membuat diagnosis penyakit paru interstisial, penting
untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi, edema paru, dan keganasan.
3 Hipertensi Pulmonal
Hipertensi pulmonal merupakan suatu komplikasi yang jarang terjadi pada SLE yang
didefinisikan sebagai tekanan arteri pulmonalis lebih besar dari 25 mmHg saat istirahat yang
diukur saat kateterisasi jantung kanan. Hipertensi pulmonal dapat terjadi sekunder akibat
berbagai gangguan, seperti penyakit paru hipoksemia, penyakit tromboemboli kronis,
penyakit vena-oklusi paru, atau penyakit jantung kiri. Hipertensi arteri pulmonal adalah
subtipe hipertensi pulmonal yang mana terjadi peningkatan resistansi kapiler paru yang
diukur pada kateterisasi jantung kanan. Gejala PH termasuk dyspnea on effort, kelelahan,
nyeri dada, dan batuk non-produktif. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara katup
pulmonal yang prominen dan tanda-tanda volume overload. Roentgen thoraks dan HRCT
penting untuk menyingkirkan pneumonitis lupus.Pada roentgen thoraks dapat muncul
kardiomegali dan segmen arteri pulmonalis yang prominen. Elektrokardiogram sering
menunjukkan deviasi aksis kanan. Pemeriksaan faal paru menunjukkan penurunan DLCO.
Meskipun ekokardiografi Doppler merupakan tes skrining yang memadai untuk hipertensi
pulmonal, diagnosis ini harus dikonfirmasi dengan kateterisasi jantung kanan. Pada pasien
SLE yang telah didiagnosis dengan hipertensi pulmonal, evaluasi harus dilakukan untuk
mencari penyebab sekunder. Pemeriksaan ventilasi dan perfusi (V/Q) dan/atau CT-scan
heliks berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit tromboemboli kronis.
Ekokardiografi berguna untuk menyingkirkan kemungkinan gagal jantung kiri dan
intracardiac shunting.
Contoh kasus
Berikut contoh kasus “Seorang Pasien Systemic Lupus Erythematosus dengan Manifestasi
Klinis Hipertensi Pulmonal Berat” (Hendyatama et al, 2016).
Wanita 20 tahun yang belum menikah bernama …. datang ke poli Rematologi RS dr.
Soetomo dengan keluhan sesak napas. Pasien merupakan rujukan dari RSUD Bangkalan.
Dari anamnesis didapatkan keluhan sesak napas yang dirasakan sejak duabulan sebelum
masuk rumah sakit dan memberat dalam satuminggu ini. Sesak dirasakan terutama saat
beraktivitas. Pasien mengeluh sesak walaupun hanya melakukan aktivitas ringan seperti
berjalan beberapa langkah. Sesak berkurang dengan istirahat atau dengan posisi duduk.
Pasien bisa tidur dengan satu bantal. Pasien tidak pernah mengeluh sesak sebelumnya. Pasien
106
juga mengeluh demam yang hilang timbul selama satu bulan. Demam dirasakan sepanjang
hari, membaik dengan obat parasetamol. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri sendi lutut
kanan dan kiri dalam satubulan nyeri terutama pada saat bangun tidur disertai dengan kaku
sendi yang dirasakan lebih dari 30 menit. Tidak ada keluhan sariawan dan bercak merah di
wajah. Pasien mengeluh rambut rontok dalam duatahun ini dan penurunan berat badan sekitar
5 kg dalam 2 bulan, yang disertai nafsu makan menurun, terasa mual,dan badan lemah.
Lemah badan dirasakan satubulan disertai dengan badan pucat.Pemeriksaan fisik didapatkan
penderita dengan kesadaran kompos mentis, keadaan umum sangat lemah. Tekanan darah
110/70 mmHg, denyut nadi 110 kali per menit teratur, frekuensi pernapasan 30 kali per
menit, saturasi perifer 99%, suhu badan axilla 36,4°C. Dari pemeriksaan kepala dan leher
didapatkan konjungtiva anemis tanpa adanya sklera yang ikterus. Tidak didapatkan
pembesaran kelenjar getah bening leher, tekanan vena jugularis normal. Tidak didapatkan
bercak kemerahan pada wajah. Pada pemeriksaan dada didapatkan pengembangan dada yang
simetris, tidak ada retraksi dinding dada. Didapatkan batas jantung melebar, iktus jantung
pada Intercostal Space V dan 2 cm lateral dari Mid Clavicular Line kiri, bunyi jantung S1
terdengar jelas, S2 mengalami fixed splitting di Intercostal Space II dan Parasternal Line kiri.
Tidak didapatkan murmur, gallop, dan ekstra sistol. Pada pemeriksaan paru, didapatkan suara
napas vesikuler pada kedua lapang paru, tidak didapatkan ronki maupun wheezing pada
kedua lapang paru. Abdomen tampak datar, bising usus normal, teraba supel, hati dan lien
tidak teraba membesar. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak didapatkan edema pada kedua
tangan dan kedua tungkai.
Hasil laboratorium sebagai berikut: Hemoglobin 8,76 g/dL, eritrosit 4.870.000/ul,
MCV 82, MCH 30, MCHC 32, leukosit 4230/mm3, neutrofil 62,1%, limfosit 20,6%,
trombosit 259.000/mm3, natrium 134 mmol/L, kalium 4 mmol/L, klorida 111 mmol/L, gula
darah acak 89 mg/dL, SGOT 44 U/L, SGPT 43 U/L, albumin 4 g/dL, BUN 9 mg/dL,
kreatinin 0,7 mg/dL, bilirubin direk 0,09 mg/dL, bilirubin total 0,48 mg/dL, HbsAgnegatif,
HIV rapid test negatif, ANA tes positif (110,18), C3 39,5 mg/L, C4 13,3 mg/dL. Dari
pemeriksaan urine lengkap didapatkan hasil sebagai berikut: kencing jernih, warna kuning,
pH 7,5, berat jenis 1,022, tidak didapatkan leukosit, protein, nitrit, glukosa, bilirubin, dan
keton. Dari pemeriksaan analisisgas darah didapatkan pH 7,36 pCO2 32 PO2 116 HCO3 22
BE -4,5 SO2 99%. Dari pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan irama sinus takikardi 105
kali per menit dengan sumbu frontal Right Axis Deviation dan sumbu horizontal counter
clockwise rotation serta terdapat pembesaran ventrikel kanan. Hasil foto thoraks didapatkan
kardiomegali dengan cardiothoracic ratio sebesar 60%, konus pulmonalis menonjol, apeks
107
rounded, dan terdapat inverted comma sign. Dari pemeriksaan Trans Thoracal
Echocardiography (TTE) didapatkan Pulmonary Capillary Wedge Pressure(PCWP) 10.58,
Systolic Vascular Resistance(SVR) 1060.24, Mean Pressure Artery Pulmonary (mPAP) 30.4,
regurgitasi trikuspid dan pulmonal berat, Right Ventricle Hypertrophy dengan hipertensi
pulmonal berat (Estimated Pulmonary Artery Sistolic Pressure/EST PASP 92,90 mmHg) dan
efusi perikardium minimal di apikal, basal, lateral kanan dan lateral kiri. Fungsi sistolik
(Ejection Fraction 71%) ventrikel kiri dan fungsi sistolik ventrikel kanan normal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, pasien didiagnosis
ditegakkan berdasarkan serositis berupa efusi perikard, limfopeni 831 mm3(<1000 mm3), dan
kriteria imunologis yang ditandai dengan adanya ANA tes positif (110,16) serta adanya
komplemen yang menurun (C3 39,5 mg/L dan C4 13,3 mg/dL). Menurut kriteria SLICC,
didapatkan adanya empatkriteria, dengan duakriteria klinis dan duakriteria imunologis yang
berarti memenuhi kriteria SLE menurut SLICC.Selain itu, adanya hipertensi pulmonal berat
Functional Class III yang terkait SLE.Pasien mendapatkan terapi awal oksigen nasal canule 3
liter per menit, diet tinggi kalori tinggi protein rendah garam 1900 kkal/hari, transfusi Packed
Red Cell (PRC) 1 kolf per hari, drip metilprednisolon pulse dose 500 mg intravena tiap 24
jam selama 3 hari, injeksi furosemid 20 miligram tiap 24 jam, injeksi ranitidin 50 miligram
tiap 12 jam, Pada hari kedua perawatan keluhan sesak dan lemas pada pasien sudah
berkurang. Keadaan umum cukup, GCS 456, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 96 kali per
menit teratur, pernapasan 26 kali per menit, suhu aksila 36,5oC.Produksi urine pasien 1500 cc
per hari. Pasien mendapat terapi pulse dose metilprednisolon 500 mg hari kedua, injeksi
furosemid 20 miligram tiap 24 jam, injeksi ranitidin 50 miligram tiap 12 jam, beraprost tablet
20 miligram tiap 8 jam, minum maksimal 1000cc/24 jam minum maksimal 1500 cc/24 jam
dan dilakukan kesimbangan cairan. Pada hari ketiga perawatan pasien tidak mengeluh sesak.
Keadaan umum cukup, GCS 456. Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 86 kali per menit
teratur. Pada hari kelima perawatan, pasien sudah tidak ada keluhan dengan keadaan umum
membaik. Dilakukan TEE ulang didapatkan regurgitasi trikuspid dan pulmonal serta
interatrial septum yang intak. Diagnosis pasien adalah SLE dengan hipertensi pulmonal berat
dengan dekompensasi kordis fungsional class I dan anemia membaik. Pasien dipulangkan
dengan obat oral metilprednisolon tablet 16 Mg 3 tab,Azatioprin 50 mg tiap 12 jam,
furosemid tablet 40 miligram tiap 24 jam, dorner tablet 20 miligram tiap 8 jam.
Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri
pulmonal atau mean pulmonary arterial pressure (mPAP) ≥25 mmHg pada kondisi istirahat
yang diukur dengan kateterisasi jantung kanan disertai dengan pulmonary capillary wedge
108
pressure (PCWP) ≤15 mmHg dan pulmonary vascular resistance (PVR) ≥3 Wood Units
(Dhala, 2012; Hoeper et al., 2013). Hipertensi pulmonal terkait SLE sering terjadi pada
wanita usia muda. Resistensi dari pembuluh darah paru menyebabkan sisi kanan jantung akan
memompa dengan jumlah yang lebih besar yang dapat menyebabkan palpitasi, fatigue, nyeri
atau rasa tidak nyaman pada dada, sesak napas saat aktivitas dan pingsan. Gejala gagal
jantung kanan juga bisa muncul pada hipertensi pulmonal terkait SLE. Pada pemeriksaan
fisik auskultasi jantung, dapat terdengar murmur pansistolik dengan nada tinggi akibat
insufisensi pulmonal maupun insufisiensi trikuspid. Selain itu juga dapat terdengar bunyi S2
splitting atau P2 yang mengeras (Prabu & Gordon, 2013; Schreiber et al., 2013; Condliffe &
Howard, 2015).
Gambaran radiologis foto dada pada hipertensi pulmonal sering menunjukkan adanya
penebalan hilus arteri pulmonal dan pembesaran ventrikel kanan. Pada elektrokardiografi
(EKG) sering ditemukan gelombang S yang persisten yang menunjukkan adanya pembesaran
ventrikel kanan. Kateterisasi jantung kanan merupakan standar baku (gold standard) untuk
diagnosis definitif, namun Trans Thoracic Echocardiography (TTE) digunakan secara luas
untuk diagnosis hipertensi pulmonal karena keamanan, kemudahan, kenyamanan, dan
sensitivitasnya yang cukup tinggi dibanding kateterisasi jantung. Gambaran TTE
menunjukkan pembesaran jantung kanan dan nilai Pulmonary Artery Sistolic Pressure
(PASP) yang meningkat. Digolongkan hipertensi pulmonal berat jika nilai PASP >70 mmHg,
sedang jika nilai PASP 50–69 mmHg dan ringan jika nilai PASP 25–49 mmHg (Dhala, 2012;
Hoeper et al., 2013; Lang, 2015; Xia et al., 2012).
Dari anamnesis pasien, didapatkan sesak napas yang memberat dengan aktivitas. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan suara S2 splitting, batas jantung kiri melebar. Dari pemeriksaan
penunjang foto dada didapatkan kardiomegali, konus pulmonalis yang menonjol dan inverted
comma sign. Dari pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) didapatkan Right Ventricle
Hypertrophy. Dari pemeriksaan Trans Thoracal Echocardiography (TTE) didapatkan
regurgitasi trikuspid dan regurgitasi pulmonal berat, Right Ventricle Hypertrophy dengan
hipertensi pulmonal berat (EST PASP 92,90 mmHg) dan efusi perikardium minimal di
apikal, basal, lateral kanan, dan lateral kiri.
Berdasarkan penyebabnya, WHO mengklasifikasikan hipertensi pulmonal ke dalam 5
subgrup, yaitu: (I) Hipertensi arteri pulmonal karena vaskulopati; (II) Hipertensi pulmonal
karena penyakit jantung kiri; (III) Hipertensi pulmonal karena penyakit paru-paru atau
hipoksia; (IV) Hipertensi pulmonal karena tromboemboli kronis; (V) Hipertensi pulmonal
karena penyebab lain (miscellanous) (Galie, 2015; Ciang, 2015). Hipertensi pulmonal karena
109
SLE dikategorikan sebagai Grup I. Hipertansi arteri pulmonal pada Grup I disebabkan karena
perubahan struktur pembuluh darah pada arteri pulmonal. Selain itu, hipertensi pulmonal
terkait SLE juga bisa dikategorikan Grup 4 karena tromboemboli kronis. Hipertensi pulmonal
pada SLE dapat disebabkan oleh banyak faktor, namun perubahan struktur pembuluh darah
atau vaskulopati merupakan penyebab tersering hipertensi pulmonal pada pasien SLE
(Molina et al., 2003; Dhala, 2012; Schreiber et al., 2013; Prabu & Gordon, 2013; Ciang,
2015).
Patogenesis hipertensi pulmonal pada SLE masih belum dapat dimengerti
sepenuhnya. Diduga abnormal vasospasme, fenomena Raynaud, abnormalitas platelet,
vaskulitis, trombosis, dan tromboemboli merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada
patogenesis hipertensi pulmonal pada SLE. Disfungsi endotel diduga memiliki implikasi kuat
dalam patogenesis penyakit vaskulitis autoimun termasuk lupus (Xia et al., 2013).
Dilaporkan bahwa terdapat peningkatan antiendotel cell antibody (aECA) pada pasien
SLE dengan hipertensi pulmonal.Namun, berbagai macam auto antibodi pada pasien lupus
dapat menyebabkan injury pada sel endotel pembuluh darah, misalnya ACL, LA, ANA, ds-
DNA.Auto antibodi tersebut merusak sel endotel secara langsung atau membentuk kompleks
imun dan menumpuk pada dinding pembuluh darah, menyebabkan vasokonstriksi, agregasi
platelet, dan membentuk trombosis. Kerusakan endotel akan menyebabkan penyempitan
pembuluh darah paru, terhambatnya aliran darah, dan meningkatnya resistansi vaskuler paru
(Galie et al., 2015; Xia et al., 2013).
World Health Organization (WHO) membagi status fungsional dari hipertensi
pulmonal menjadi empatkelas, yaitu (1) Kelas I: pasien hipertensi pulmonal tanpa hambatan
aktivitas fisik, dimana aktivitas fisik sehari-hari biasa tidak menyebabkan sesak napas, nyeri
dada, atau sinkop; (2) Kelas II: pasien hipertensi pulmonal dengan hambatan ringan pada
aktivitas fisik, dimana aktivitas sehari-hari dapat menimbulkan gejala dan keluhan membaik
dengan istirahat; (3) Kelas III: pasien hipertensi pulmonal dengan hambatan yang bermakna
pada aktivitas fisik, aktivitas yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari dapat menimbulkan
gejala dan keluhan membaik dengan istirahat; (4) Kelas IV: pasien hipertensi pulmonal
dengan gejala sesak napas, kelelahan, nyeri dada yang muncul walaupun saat istirahat dan
terdapat tanda gagal jantung kanan (Galie et al., 2015). Pada pasien didapatkan sesak napas
yang memberat dengan aktivitas namun keluhan dirasakan membaik dengan istirahat,
sehingga pasien dikategorikan fungsional kelas III WHO.
Penyakit SLE dikategorikan berdasarkan derajat keparahan manifestasinya, yaitu SLE
ringan, sedang, atau berat (mengancam nyawa). Pengobatan SLE berat yaitu dengan
110
pemberian glukokortikoid dosis tinggi 500–1000 mg/hari selama 3 hari berturut-turut dan
dapat disertai terapi induksi siklofosfamid intravena 0,5-0,75 gram/m2/bulan.Apabila tidak
merespons, dapat diberikan rituximab, inhibitor calcineurin (siklosporin), atau imunoglobulin
intravena.
Terdapat tiga golongan utama dalam pengobatan hipertensi pulmonal, yaitu analog
prostasiklin, antagonis reseptor endotelin, dan penghambat fosfodiesterase-5.Defisiensi
prostasiklin berhubungan dengan perubahan pada pembuluh darah seperti trombosis,
vasokonstriksi, dan proliferasi otot polos pembuluh darah.Prostasiklin sintetik dapat
menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah dan memiliki aktivitas antiproliferasi dengan
meningkatkan siklikAMP melalui aktivasi adenylate cyclase.Contoh golongan ini adalah
epoprostenol, treprostinil, iloprost, beraprost, dan selexipang.Efek samping yang sering
adalah sakit kepala, mual, dan nyeri di rahang (Galie et al., 2015; Prabu & Gordon, 2013).
Selain tiga golongan utama tersebut, tatalaksana hipertensi pulmonal juga meliputi
tindakan suportif seperti pemberian oksigen, diet rendah garam, diuretik, antikoagulan,
penyekat kalsium, vasodilator, dan antiplatelet. Diuretik bermanfaat untuk mengurangi gejala
sesak dan kelebihan cairan yang berhubungan dengan gagal jantung kanan. Penyekat kalsium
yang dapat digunakanadalah nifedipin, diltiazem, dan amlodipin. Adapun pemilihannya
berdasarkan denyut jantung pasien pada kondisi awal (Tachman et al., 2014; Humbert, 2004;
Ruiz-Irastorza & Khamashta, 2013). Pertimbangan pengobatan hipertensi pulmonal
didasarkan pada evaluasi tingkat keparahan penyakit. Pasien dengan stadium II atau stadium
III awal yang diukur dengan disfungsi RV minimal, 6MWT yang masih panjang, elevasi
BNP minimal dapat dimulai dengan satu agen oral seperti antagonis reseptor endotel
(Besentan, Ambricentan), PDE-5 Inhibitor (Sildenafil, Tadalafil), analog prostasiklin oral
seperti beraprost maupun agen inhalasi analog prostasiklin seperti Iloprost dan treprostinil
kemudian dinilai ulang untuk mempertimbangkan terapi kombinasi (McLaughin et al., 2009;
Ahmed & Palevsky, 2014). Pasien termasuk dalam stadium III awal tanpa adanya disfungsi
RV. Pasien mendapatkan terapi oksigen nasal kanul 4 liter per menit, injeksi furosemid 20
miligram tiap 24 jam, dan beraprost tablet 20 miligram tiap 8 jam.
Secara keseluruhan pada saat rawat inap pasien mendapatkan terapi oksigen kanul
nasal 3 lpm, diet tinggi kalori (1900 kkal/hari) tinggi protein (1 g/kgBB/hari) rendah
garam.Transfusi Packed Red Cell 1 kolf per hari, balans cairan, drip metilprednisolon pulse
dose 500 mg tiap 24 jam selama 3 hari dilanjutkan tapering down 1x62,5 mg, injeksi
furosemid 20 mgtiap 24 jam, injeksi ranitidin 50 mgtiap 12 jam, beraprost (dorner) tablet 20
mgtiap 8 jam, azatioprin 50 mg tiap 12 jam, klorokuin 1x150 mg, minum maksimal 750 cc
111
per 24 jam. Pada saat rawat jalan pasien mendapatkan terapi metilprednisolon tapering down
2x16 mg dan azatioprin 50 mg tiap 12 jam.
Target terapi pada pasien hipertensi pulmonal adalah modifikasi fungsional NYHA
menjadi kelas I atau II, 6-min walk distance 380 sampai 440 m, tes exercise cardio pulmonal
konsumsi oksigen >15 ml/menit/kg dan ventilasi ekuivalen dengan karbondioksida <45
l/menit/l/menit, level BNP mendekati normal, ukuran dan fungsi ventrikel kanan normal atau
mendekati normal pada ekokardiografi atau MRI, serta hemodinamik ventrikel kanan normal
dengan tekanan atrium kanan <8 mmHg dan indeks kardiak >2.5-3.0 l/menit/m2(Huang et al.,
2014; McLaughlin et al., 2013). Hipertensi pulmonal diketahui sebagai prediktor morbiditas
dan mortalitas pada pasien SLE. Hipertensi pulmonal terkait SLE adalah manifestasi yang
jarang ditemukan namun merupakan komplikasi yang fatal. Gagal jantung dan kematian
mendadak karena aritmia merupakan penyebab kematian yang paling umum (Ruiz-Irastorza
& Khamashta, 2013).
Pada sebuah studi metaanalisis didapatkan angka harapan hidup 1, 3, dan 5 tahun
pasien hipertensi pulmonal terkait SLE sebesar 88, 81, dan 68%. Fungsional kelas III atau IV,
mean pulmonary arterial pressure (mPAP), pulmonary vascular resistance (PVR) yang
tinggi, six minutes walking distance (6MWD) yang rendah, brain natriuretic peptide
(BNP),danN- terminal proBNP (NT-proBNP) yang tinggi terkait dengan angka harapan
hidup yang rendah (Min HK et al., 2015; Benza, 2013). Pada saat keluar rumah sakit dan
pada saat kontrol melalui rawat jalan pasien dengan hipertensi pulmonal functional class I
sehingga target perawatan pada pasien ini sudah tercapai. Prognosis pada pasien ini adalah
dubia ad malam, dimana didapatkan fungsional kelas III, mPAP yang tinggi 30.4, PVR yang
tinggi, sedangkan tes 6MWD, BNP, dan NT- proBNP belum dilakukan pada pasien.
Penyakit kardiovaskular menjadi komplikasi yang cukup sering terjadi pada pasien
SLE dan dapat melibatkan perikardium, miokardium, katup jantung, dan arteri koroner.
1. Perikarditis
Perikarditis, disertai atau tanpa efusi perikardium, merupakan manifestasi jantung
paling umum terjadi pada pasien SLE. Perikarditis terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan
SLE selama perjalanan penyakit mereka. Efusi perikardium dapat terjadi namun ringan,
asimtomatis dan biasanya terdeteksi pada ekokardiokrafi (pada saat pemeriksaan untuk
indikasi lain). Efusi perikardial didefinisikan sebagai peningkatan cairan dalam kavum
perikard, yang merupakan komplikasi perikarditis (66%). Efusi dapat sedikit (<1 cm), sedang
(1-2 cm) atau banyak (>2 cm), terlokulasi atau di sekeliling perikardium (Rosenbaum, 2009).
Faktor yang berperan penting pada terjadinya efusi perikardial pada penderita SLE adalah
inflamasi perikardial dan retensi cairan akibat abnormalitas hemodinamik dan atau penurunan
tekanan osmotik koloid (Sugiura,2009).
Perikarditis yang simtomatis secara klasik muncul sebagai nyeri dada akut area
prekordial yang membaik ketika pasien dalam posisi tegak. Suara gesek perikardium dan
takikardia dapat ditemukan saat auskultasi jantung. Elektrokardiogram menunjukkan elevasi
segmen ST pada semua sandapan. Mirip dengan pleuritis, perikarditis biasanya terjadi pada
SLE aktif. Meskipun jarang, efusi masif dan tamponade pernah dilaporkan terjadi pada
perikarditis SLE. Perikarditis dan tamponade jantung merupakan interaksi ventrikular, seperti
peningkatan tekanan vena sentral, vena pulmonal dan tekanan diastolik ventrikular, pulsus
paradoksus, dan disfungsi diastolik. Tamponade perikardial didefinisikan sebagai
abnormalitas hemodinamik yang disebabkan akumulasi cairan perikardial sehingga terjadi
gangguan pengisian diastolik pada ventrikel (Palacios,1999). Tamponade perikardial
merupakan akibat lebih lanjut dari efusi perikard mulai dari akibat minimal yang diketahui
sampai dengan kolapsnya sirkulasi. Secara klinis, titik kritis akan terjadi saat mulai turunnya
volume ruangan jantung akibat tekanan efusi, dan mengakibatkan turunnya cardiac output.
Faktor penentu gangguan hemodinamik pada efusi perikard adalah tingkat tekanan pada
sakus perikard dan kemampuan jantung untuk mengompensasi peningkatan tekanan tersebut.
Respons kompensasi pada efusi perikard yang signifikan meliputi peningkatan stimulasi
adrenergik dan penurunan parasimpatik. Hal ini mengakibatkan takikardia dan meningkatkan
kontraktilitas (Libby,2007). Patofisologi yang tampak jelas adalah adanya ekualisasi yang
tidak konstan antara atrium kanan, vena pulmonalis, dan tekanan diastolik ventrikel pada
113
siklus respirasi. Pada saat inspirasi tekanan vena pulmonalis akan turun, sedangkan tekanan
atrium kanan tidak. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan venous return sistemik dan
membesarkan jantung kanan dan mendesak ke kiri (Schwefer,2009). Penurunan level C4,
wanita, disertai dengan kelainan ginjal, hemolitik anemia, dan pleurisy kemungkinan
berpotensi untuk menjadi prediktor terjadinya tamponade pada SLE yang disertai perikarditis
dan efusi perikard (Rosenbaum,2009). Diagnosis banding dari nyeri dada prekordial pada
pasien dengan SLE termasuk kostokondritis, gastroesophageal reflux disease (GERD),
emboli paru, iskemia miokard, pleuritis, pneumonitis, dan hipertensi pulmonal.
Contoh kasus
Berikut ini contoh kasus “Penderita Lupus Eritematosus Sistemik dengan Tamponade
Jantung” (Agung & Yuliasih, 2010)
Seorang Ny. A, 22 tahun. Keluhan utama sesak napas selama satu bulan dan makin
memberat disertai keluhan gagal jantung. Selain itu, pasien demam duaminggu sering
sariawan berulang, rambut banyak yang rontok, lemas dan terlihat pucat, sering nyeri sendi di
lutut, siku, dan jari-jari.Keadaan umum yang lemah, Glasgow Coma Scale 4-5-6, tekanan
darah 90/50 mmHg, didapatkan pulsus paradoksus, nadi 120 x/menit, lemah, teratur,
pernapasan 32x/menit, suhu aksiler 37,50C. Konjungtiva anemis, tidak didapatkan sianosis,
terlihat sesak.Di mulut terlihat ulkus (stomatitis) di mukosa pipi dan lidah. Pada leher terlihat
peningkatan pelebaran vena jugularis eksterna, arteri karotis teraba lemah.Pemeriksaan paru
didapatkan suara vesikuler, ronki basah halus di bagian bawah kedua lapangan
paru.Pemeriksaan jantung kardiomegali, Anemia (hemoglobin 7,8 g/dL), leukosit 3.800 /
µL, trombosit 396.000 / µL, MCV 83 (N 80,0-99,9), MCH 29,3 (N 27,0-31,0), MCHC
35,1 (N 33,0-37,0), LED 115 mm/jam, SGOT 136 IU/L, SGPT 123 IU/L, gula darah 65
mg/dL, BUN 9 mg/dL, kreatinin serum 0,7 mg/dL, Pemeriksaan urin didapatkan hasil BJ
1,015, pH 6, Lekosit negatif, nitrit negatif, protein +2, glukosa negatif, keton negatif,
urobilinogen normal, bilirubin negatif, hasil pH7,493, pO2 154,3 mmHg, pCO2 34,5 mmHg,
HCO3 29 mmol/L, BE -3,5 mmol/L, SaO2 89%..
Pada penderita ini pada pemeriksaan fisik didapatkan trias Beck yaitu pelebaran vena
jugularis eksterna, suara jantung menjauh (lemah), disertai dengan penurunan tekanan darah
(hipotensi) disertai nadi yang cepat dan lemah dan didapatkan pulsus paradoksus. Foto toraks
penderita ini disimpulkan sebagai kardiomegali (CTR 65%) dengan gagal jantung kongestif.
Pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan adanya gambaran low voltage di semua tempat.
Sedangkan gambaran ekokardiografi didapatkan hasil efusi perikardium moderate di anterior,
114
posterior, lateral kanan dan lateral kiri, dengan tamponade. Analisis cairan perikardial
menunjukkan jumlah sel 3800 sel/L, sel mononuklear 51%, sel polinuklear 49%, glukosa 95
g/dl, protein 8,7 g/dl, LDH 13.500 U/L, tes Rivalta positif, hemoglobin 6,4 g/dl. Pemeriksaan
analisis gas darah didapatkan pH 7,35, pO2 97 mmHg, pCO2 43 mmHg, HCO3 23,7
mmol/L, BE -1,9 mmol/L, SaO2 97%. Diagnosis kerja efusi perikardial dengan tanda-tanda
tamponade jantung yang diduga disebabkan Lupus Eritematosus Sistemik.
Penatalaksanaan awal adalah perikardiosentesis (gagal) dilanjutkan dengan
pericardialwindow dengan anestesi lokal. Terapi metilprednisolon pulse dose 500 mg selama
3 hari dimulai, dilanjutkan metilprednisolon tablet 50 mg perhari. Pada penderita ini
mempunyai risiko terhadap tamponade jantung karena penurunan level C4, wanita, disertai
dengan kelainan ginjal, hemolitik anemia, dan pleurisy kemungkinan berpotensi untuk
menjadi prediktor terjadinya tamponade pada SLE yang disertai perikarditis dan efusi
perikard (Rosenbaum,2009).
Foto thoraks tipikal pada penderita tamponade perikardial adalah bayangan jantung
melebar dengan sedikit abnormalitas pada paru. Pada efusi yang sedang dan besar, bayangan
jantung anteroposterior terkesan membulat, tampak seperti botol labu. Pada posisi lateral
tampak tanda pericardial fat pad sign, yaitu garis lusens antara dinding dada dan permukaan
anterior jantung yang memisahkan lemak perikardial parietal dari epikardium (Libby, 2007).
Gambaran elektreokardiografi (EKG) pasien dengan efusi perikardial biasanya
menunjukkan low voltage yang disertai dengan depresi segmen PR. Kelainan elektrik ini
kemungkinan berhubungan dengan kelainan posisi anatomis jantung, dan lebih spesifik
ditemukan pada pasien dengan efusi perikardial (Palacios, 1999; Sugiura, 2003; Libby,
2007). Angka survival penderita SLE adalah 90-95% pada 2 tahun, 82-90% pada 5 tahun, 71-
80% pada 10 tahun, dan 63-75% pada 20 tahun. Prognosis yang buruk (50% pada 10 tahun)
dipengaruhi oleh tingginya kadar kreatinin serum, hipertensi, sindrom nefrotik, anemia,
hipoalbuminemia, hipokomplementemia, dan aPL (Hahn,2008).Pada penderita ini didapatkan
kelainan anemia, hipoalbuminemia, dan hipokomplementemia. Sehingga prognosisnya
kurang baik.
2. Miokarditis
Miokarditis merupakan manifestasi yang jarang terjadi pada SLE. Maka dari itu,
apabila pasien mengalami miokarditis harus dicurigai pula adanya kombinasi fitur klinis
berikut, yaitugagal jantung yang tidak dapat dijelaskan atau kardiomegali, takikardia yang
115
Veruka biasanya tidak mengandung sel polimorfonuklear. Apabila ditemukan sel-sel PMN,
maka harus segera mencurigai endokarditis infeksi. Studi imunologi menunjukkan
penumpukan imunoglobulin dan komplemen dalam pola granular pada dasar katup, di
sepanjang katup, dan di dalam veruka itu sendiri (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Bising jantung sering terdengar pada pasien SLE. Bising jantung kemungkinan dapat
terjadi hanya karena disebabkan aliran darah yang tinggi seperti pada demam dan anemia,
atau mungkin mencerminkan patologi jantung seperti prolaps katup mitral atau endokarditis
infektif. Ketika bising jantung ditemukan pada auskutasi, transthoracic echocardiograrphy
(TTE) merupakan modalitas pertama yang cocok untuk dilakukan selanjutnya. Namun,
apabila hasil TTE terbukti nondiagnostik/nonspesifik atau pasien dicurigai mengalami
tromboemboli, pemeriksaan transesophageal echocardiography (TEE) perlu dilakukan. TEE
telah terbukti lebih unggul daripada TTE untuk mendeteksi endokarditis Libman-Sacks
(Dall‟era & Wofsy, 2017).
4. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit jantung koroner atau penyakit arteri koroner tipe intramural dan ekstramural
meningkat pada pasien dengan SLE. Penelitian nekropsi telah menunjukkan terjadinya
fibrosis tunika intima dari arteri koronaria dan obstruksi oleh materi hialin. Lesi ini mirip
dengan yang diamati pada studi patologis jaringan sistem saraf pusat dan ginjal pada pasien
SLE. Arteri koroner epikardium mungkin terhalang karena emboli arteri, trombosis,
vaskulitis, atau aterosklerosis. Vaskulitis arteri koroner sebenarnya sangat jarang terjadi.
Sebaliknya, aterosklerosis merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada penelitian
tentang SLE. Otopsi menunjukkan kejadian aterosklerosis pada 25-40% pasien SLE. Suatu
studi epidemiologi menunjukkan bahwa wanita muda dengan SLE memiliki risiko 50 kali
lipat lebih tinggi mengalami infark miokard dibandingkan dengan wanita sehat pada usia
yang sama. Meskipun pasien SLE lebih cenderung memiliki faktor risiko aterosklerosis
klasik seperti hipertensi dan paparan glukokortikoid, faktor risiko ini saja tidak sepenuhnya
memengaruhi peningkatan risiko aterosklerosis yang terlihat pada pasien dengan SLE.
Meskipun mekanisme aterosklerosis pada SLE belum bisa sepenuhnya dipahami, ada
kemungkinan bahwa interaksi antara faktor-faktor risiko kardiovaskular dan faktor-faktor
terkait autoimun saling berhubungan (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Kemungkinan terjadinya penyakit jantung koroner harus dipertimbangkan pada setiap
pasien SLE yang mengeluh nyeri dada dan/atau sesak napas. Seorang pasien harus memiliki
ambang batas nyeri rendah untuk evaluasi cardiac stress test. Kateterisasi jantung mungkin
juga diperlukan untuk diagnosis dan intervensi terapeutik. Evaluasi dan pengobatan faktor
117
risiko yang dapat dimodifikasi seperti obesitas, merokok, hipertensi, dan hiperlipidemia
sangat penting dalam mengurangi progresivitas aterosklerosis (Dall‟era & Wofsy, 2017).
patogenesis bervariasi dan tergantung pada apakah manifestasi yang muncul melibatkan SSP
atau PNS. Mekanisme yang mendasari manifestasi SSP dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori besar, yaitu jejas primer vaskular dan jejas primer parenkim otak. Kombinasi dari
keduanya juga dapat terjadi. Jejas vaskular dapat terjadi dalam beberapa bentuk, termasuk
yaitu:
(1) kerusakan pada pembuluh besar dan kecil yang disebabkan tromboemboli,
seringkali dipicu antibodi anti-fosfolipid;
(2) suatu vaskulopati pembuluh-pembuluh kecil yang ditandai oleh hialinasi
vaskular, peradangan perivaskular, dan proliferasi endotel;
(3) lesi aterosklerotik. Jejas primer parenkim otak dapat terjadi akibat autoantibodi,
sitokin, kemokin, dan sel-sel infiltrasi yang menembus sawar darah otak.
Beberapa subtipe autoantibodi diyakini berperan dalam beberapa manifestasi SSP
pada SLE. Selain perannya dalam kejadian trombotik hingga menyebabkan
iskemia serebral, antibodi anti-fosfolipid dapat berikatan langsung dengan sel-sel
neuron yang menyebabkan kerusakan sel neuron.
Antibodi anti-fosfolipid telah dikaitkan dengan gangguan kognitif yang luas, bahkan
tanpa didahului iskemia. Antibodi anti-ribosomal P telah dikaitkan dengan manifestasi SSP
dari psikosis, depresi, dan gangguan mood dalam beberapa penelitian. Meskipun antibodi
anti-ribosom P terdeteksi hanya pada sekitar 14% pasien SLE, spesifisitas antibodi ini untuk
SLE diperkirakan lebih besar dari 90%. Akhirnya, sebagian dari antibodi anti-DNA yang
bereaksi silang dengan N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) diduga terlibat dalam
disfungsi kognitif pada SLE. Autoantibodi tersebut dapat menyebabkan apoptosis sel-sel
saraf apabila mengikat sel-sel saraf. Studi histopatologis pada jaringan otak manusia post-
mortem telah menunjukkan beberapa kelainan SSP, termasuk infark multifokal besar dan
kecil, perdarahan, vaskulopato, atrofi korteks serebri, edema serebri, dan demielinasi.
Evaluasi diagnostik pasien dengan potensial NPSLE disesuaikan dengan manifestasi
neuropsikiatri yang ada. Konsultasi dengan ahli saraf dan/atau psikiater wajib dilakukan.
Langkah pertama yang paling penting adalah menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan
non-SLE yang dapat menimbulkan gejala dan tanda neuropsikiatrik. Pungsi lumbal untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) berguna untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Adanya pleositosis limfositik ringan dan protein CSS tinggi terkadang terjadi pada SLE
tetapi. Temuan CSS tidak cukup sensitif dan spesifik untuk mengonfirmasi diagnosis SLE
neuropsikiatri. Penting untuk mengetahui bahwa infeksi adalah penyebab umum gejala SSP
pada pasien SLE rawat inap yang mengalami perubahan status mental. Maka dari itu,
119
Pasien dengan SLE memiliki risiko tinggi mengalami stroke. Terjadinya stroke
iskemik pada pasien SLE lebih sering dibanding stroke hemoragik. Penelitian telah
menunjukkan hubungan antara antibodi anti-fosfolipid (aPL) dan risiko stroke. CT-
scan dan MRI kepala merupakan modalitas diagnostik yang baik untuk stroke.
Magnetic resonance angiography (MRA) dapat mendeteksi aneurisma pembuluh
darah. Ekokardiografi, USG karotis, dan elektrokardiografi (EKG) menjadi modalitas
diagnostik yang penting dilakukan apabila penyakit serebrovaskular yang terjadi
dicurigai disebabkan oleh tromboemboli.
a. Sindrom stroke
b. TIA
c. Kronik multifokal
d. Perdarahan sub-intrakranial
e. Trombosis sinus
5. Sindrom Demyelinating
6. Nyeri kepala
7. Pusing: Gejala nyeri kepala dilaporkan terjadi pada lebih dari 50% pasien SLE,
namun gejala ini sangat sulit untuk dihubungkan dengan suatu kondisi spesifik
tertentu. Nyeri kepala tipe migrain dan tipe mengikat (tension) dapat terjadi pada
pasien SLE. Prevalensi gejala nyeri kepala primer pada SLE tidak spesifik terkait
dengan aktivitas penyakit SLE. Evaluasi nyeri kepala pada pasien SLE sama dengan
pasien non-SLE dan harus memperhatikan tanda-tanda berbahaya seperti demam,
meningismus, perubahan status mental, dan tanda-tanda neurologis fokal.
a. Migrain
b. Tension headache
c. Cluster headache
d. Pusing karena hipertensi intrakranial (pseudotumor atau intrakranial
hipertensi)
8. Mononeuropati single atau multipel
9. Chorea
10. Myasthenia Gravis
11. Myelopati (Transverse myelitis)
Meskipun jarang, sindrom demielinasi seperti neuritis nervus optikus dan mielitis
dapat terjadi sebagai bagian dari spektrum NPSLE. Neuritis nervus optikus ditandai
oleh nyeri gerakan bola mata dan hilangnya lapang pandang sentral. Neuritis nervus
121
optikus harus dibedakan dari neuropati iskemik nervus optikus, yang biasanya disertai
dengan kehilangan penglihatan akut, tanpa rasa sakit, dan turunnya tajam penglihatan.
Sedangkan mielitis ditandai oleh timbulnya parestesia dan kelemahan ekstremitas
bawah secara bilateral yang dapat dengan cepat berkembang hingga melibatkan
ektremitas atas dan otot-otot pernapasan. Gangguan saraf otonom usus dan kandung
kemih sering terjadi. Nyeri yang terasa mengikat di sekitar perut merupakan gejala
yang khas. Penting untuk membedakan mielitis dari mielopati lain, seperti infeksi,
kelainan struktur medula spinalis, dan gangguan vaskular medula spinalis. MRI korda
spinalis menjadi prioritas pemeriksaan pertama yang harus dilakukan. Selain itu,
pemeriksaan CSF juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
12. Neuropati cranial
Gambar 3.24 Seorang pasien SLE dengan parese Nervus 6 (Koleksi Departemen
Penyakit Dalam)
13. Plexopati
14. Polineuropati Neuropati perifer
SLE juga berhubungan dengan neuropati perifer. Jenis neuropati yang paling
umum adalah polineuropati aksonal tipe sensorik atau tipe sensorik-motorik.
Polineuropati aksonal merupakan subtipe neuropati perifer yang semakin banyak
muncul namun tidak terdapat dalam definisi kasus ACR 1999 untuk NPSLE. Serabut
122
saraf tipe C yang mengalami gangguan dapat menimbulkan sensasi terbakar dan
parestesia. Diagnosis neuropati perifer ditegakkan dengan biopsi area kulit yang
menunjukkan penurunan kepadatan serabut saraf intraepidermal. Neuropati vaskulitis
serabut saraf besar yang menyebabkan mononeuritis multipleks juga dapat terjadi
pada pasien SLE. Neuropati otonom, neuropati kranial, polineuropati demielinasi
inflamatorik, dan kelainan neuromuscular junction yang menyerupai miastenia gravis
juga pernah muncul pada SLE. Ketika bertemu pasien SLE dengan neuropati perifer,
penting bagi dokter untuk mempertimbangkan dan menyingkirkan etiologi non-SLE
seperti infeksi (HIV, sifilis, penyakit Lyme, lepra), keganasan, gangguan endokrin
(diabetes mellitus, hipotiroidisme), racun (alkohol, logam berat), kekurangan vitamin
(B12, B6), dan obat-obatan (hidroksiklorokuin, kolkisin, kelebihan vitamin B6).
15. Kejang
a. Kejang umum: tonic klonik, atonik, petit mal, myoklonik
b. Kejang fokal
Delirium akut:
Pasien dengan kejang, dapat memiliki gambaran MRI seperti di bawah ini:
16. Kecemasan
Manifestasi disfungsi kognitif muncul dalam bentuk kemunduran kemampuan
berpikir, retensi memori, dan kemampuan konsentrasi. Prevalensi disfungsi kognitif
123
terjadi sebanyak 80%, meskipun gangguan serius jarang terjadi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa disfungsi kognitif mungkin terkait dengan antibodi anti-
fosfolipid, tetapi hubungan kausal belum terbukti secara definitif. Keparahan
disfungsi kognitif dapat dinilai melalui tes neuropsikiatri yang dapat digunakan
sebagai baseline atau tolok ukur yang dapat diikuti selama periode waktu tertentu
ketika pasien menjalani intervensi terapeutik.
17. Gangguan emosi
18. Psikosis Gangguan Psikiatri
Gangguan kejiwaan seperti psikosis, depresi, dan gangguan cemas dapat terjadi pada
pasien SLE. Konsultasi psikiater sangat dianjurkan untuk evaluasi pasien yang
memiliki gejala-gejala tersebut. Mengevaluasi pasien SLE dengan gejala psikosis
merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk seorang klinisi dalam menegakkan
diagnosis dan melakukan tata laksana. Diagnosis banding gangguan kejiwaan pada
SLE dapat meliputi infeksi SSP, skizofrenia primer, kelainan sistemik-metabolik, dan
psikosis akibat efek samping terapi glukokortikoid atau penggunaan zat terlarang.
Psikosis yang diinduksi steroid bergantung pada dosis dan biasanya terjadi dalam dua
minggu pertama inisiasi pengobatan.
Contoh Kasus
Berikut contoh penderita dengan NPSLE “Parese Nervus Kranialis Vi Bilateral dan Vii
Perifer Bilateral pada Penderita Lupus Eritematosus Sistemik” (Retno & Yuliasih, 2006).
Seorang wanita Ny.S, 30 tahun, Jawa, ibu rumah tangga, datang ke RSUD Dr.
Soetomo dikonsulkan dari poliklinik neurologi dengan keluhan nyeri kepala. Sejak 6 bulan
sebelum MRS disertai pandangan dobel dan kabur, tidak dapat menggerakkan kedua bola
matanya ke samping. Selain itu penderita mengeluh kesulitan mengangkat kedua alisnya,
muka terasa kaku dan sulit tersenyum. Penderita juga mengeluh kaku sendi-sendi tangan,
bahu, pergelangan tangan dan kaki, kesemutan pada kedua tangan dan kaki, serta sering
sariawan, rambut rontok dan nafsu makan yang berkurang. Penderita juga merasa lemas
terutama pada kedua tungkai dan sering capai. Penderita merasa cemas dan depresi sejak
sakit kepala. Tante penderita meninggal karena lupusnepritis. Penderita pernah kejang 2
minggu sebelum MRS disertai muntah dan nyeri kepala, kemudian penderita berobat ke
rumah sakit swasta dan dirujuk serta rawat inap di bagian neurologi karena diduga SOP dan
diberi injeksi kortikosteroid dosis tinggi selama 7 hari tetapi setelah dievaluasi lebih lanjut
hasil ds-DNA positif, kemudian dirujuk ke rematologi.
124
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum cukup, kompos mentis dengan
tekanan darah 120/80, nadi 86x/menit isi cukup, teratur, pernapasan 18x/menit teratur, suhu
tubuh 36,7◦C. Pemeriksaan kepala leher didapatkan alopecia, oral ulcer, diplopia, tidak
didapatkan anemia, ikterus, sianosis, sesak napas, maupun pembesaran kelenjar getah bening.
Pupil diameter 3mm/3mm, bulat, refleks cahaya +/+. Tidak dapat menggerakkan bola mata
ke arah temporal. Didapatkan parese nervus VI bilateral dan parese nervus VII perifer
bilateral. Pemeriksaan anggota gerak didapatkan akral hangat, poliartralgia, parestesia kedua
tangan dan kaki, tidak didapatkan edema. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan darah
lengkap: Hb 14 g/dl, lekosit 2200/cmm, trombosit 322.000, limfosit 1000/cmm, LED 70
mm/jam, kalium 3,5 mmol/l, Anti ds DNA: borderline 106,3 u/ml. ANA test hybrid:
moderate positif: 20,3 unit, antifosfolipid antibodi (anticardiolipin antibodi): negatif. Hasil
MRI didapatkan parenkim otak tak tampak kelainan, hasil C3: 108 mg/dl (N: 82-160) C4:
22,1 mg/dl (N:15-43).
CT-scan kepala tidak tampak kelainan. Dari data-data tersebut, penderita didiagnosis:
CNS lupus dan parese nervus kranialis VI bilateral dan VII perifer bilateral, dikonsulkan ke
bagian mata karena gangguan pergerakan bola mata, pandangan kabur, dan diplopia
didapatkan ODS esotropia alternate paralitik karena parese musculus rectus lateralis ODS,
disarankan untuk oklusi ODS bergantian 6 jam sekali dan diberi neurotropik 1x1 tablet. Hasil
konsultasi psikiatri didiagnosis dengan szisoprenia paranoid mendapat terapi dengan
trifloperazin 2x5 mg, trihexilphenidil 2x2 mg serta lorazepam 1x1 tablet. Penderita
didiagnosis dengan CNS lupus dan parese nervus kranialis VI bilateral dan VII perifer
bilateral, polineuropati lupus, dan szisoprenia. Penderita respons dengan terapi drip
methylprednisolon 750 mg selama 3 hari dilanjutkan dengan injeksi methyprednisolon 1x40
mg iv/hari, cloroquin 1x200 mg, dan calvit D3 3x1 tablet, injeksi methycobal 1x1 ampul iv 2
hari sekali dan injeksi alinamin F 2x1 ampul.
Menurut definisi ACR 1999, neuropati nervus kranialis adalah kelainan fungsi
sensori dan/atau motorik nervus kranialis I sampai XII. Bila nervus VI yang terkena akan
mengakibatkan gangguan abduksi bola mata, sedangkan bila nervus VII yang terkena akan
terjadi paralisis unilateral atau bilateral otot ekspresi wajah, gangguan merasa, dan
hiperakustik (nyeri terhadap sensitivitas suara). Inflamasi pada SLE dapat merusak sistem
sensori penglihatan dari nervus optikus sampai lobus occipital dan sistem okulomotorius dari
korteks cerebri sampai muskulus ekstraokuler. Kelainan neuropati nervus kranialis terkait
dengan SLE yang paling sering terjadi adalah terlibatnya nervus kranialis II sampai VII
dengan manifestasi berupa optalmoplegi intranuklear, paresis nervus okulomotor, paresis
125
nervus trochlear, dan paresis nervus abducent, ptosis, paralisis nervus facialis, dan neuralgia
trigeminal. Optik neuropati yang ditandai dengan neuritis atau infark saraf dapat
menyebabkan kebutaan (Lee 2000, West 2002, Cavazos 2004). OMP (Oculomotor Palsy)
merupakan manifestasi neurologi fokal yang melibatkan satu atau lebih nervus kranialis III,
IV, dan VI yang ditandai oleh penglihatan ganda, mata kabur, mual, dan muntah (Genevay
2002). Menurut definisi ACR 1999, polineuropati lupus adalah kelainan sensori dan/atau
motorik nervus perifer secara akut atau kronik bagian distal secara simetris. Kriteria
diagnosisnya bila ditemukan satu atau lebih dari manifestasi klinis berupa defisit sensori atau
motorik bagian distal, dengan tanda atau gejala yang simetris dan/atau kelainan EMG berupa
denervasi otot atau neuropati demielinisasi dan axonal serta disingkirkan keadaan defisiensi
vitamin B12, tiamin, niacin, dan hipotiroidisme (ACR 1999).
Psikosis pada penderita SLE menurut definisi ACR adalah gangguan berat dalam
persepsi terhadap realitas yang ditandai oleh delusi dan/atau halusinasi dan harus
disingkirkan keadaan seperti psikosis yang terkait dengan obat (NSAID, antimalaria,
kortikosteroid), kelainan psikosis primer yang tidak terkait dengan SLE dan reaksi psikologi
lainnya seperti psikosisi reaktif singkat dengan stres yang utama (ACR 1999). Untuk
menyatakan disfungsi CNS adalah primer pada NPSLE, penyebab sekunder yang terkait
dengan infeksi, kelainan metabolik, obat-obatan, toksin harus disingkirkan terlebih dahulu
(Cavazos 2004).
Patogenesis NPSLE memang belum banyak diketahui, mekanisme yang terlibat
adalah multifaktor meliputi vaskulitis, vaskulopati dengan diastesis trombosis, efek langsung
autoantibodi dan produksi sitokin setempat, seperti pada (West, 1994; Shoenfeld, 1999;
Hanly, 2004). Autoantibodi berupa antineuronal antibodi terlibat pada patogenesis NPSLE.
Pada 75% penderita NPSLE didapatkan peningkatan antineuronal antibodi atau anti
limfositotoksik antibodi yang bereaksi silang dengan jaringan saraf. Antibodi ini juga
berhadapan langsung dengan gangliosida, neurofilamen maupun antigen dalam membran
plasma dari terminal sinaptik di otak serta ribosomal P-protein yang homolog dengan protein
pada permukaan sel neuroblastoma. Antibodi ini selain dari serum masuk ke cairan
serebrospinal melewati blood brain barrier karena adanya proses iskemik, mikroinfark akibat
oklusi vaskuler, antibodi ini juga ada karena pelepasan serotonin dari trombus platelet.
Antineuronal antibodi juga diproduksi dalam CNS itu sendiri akibat aktivasi sel-T, sel-B,
monosit, dan makrofag melalui blood brain barrier (West, 2002; Wyllie, 2002).
126
dan/atau imunosupresan lain, tanda-tanda klinis akut abdomen, seperti nyeri tekan, dapat
mengalami masking. Akut abdomen yang berhubungan dengan SLE antara lain peritonitis,
pankreatitis, dan vaskulitis mesenterika. Meskipun penelitian otopsi telah mengungkapkan
adanya bukti peritonitis pada 72% pasien SLE, asites jarang terjadi. Jika seorang pasien SLE
mengalami nyeri abdomen dan asites, parasentesis boleh dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Peritonitis juga dapat terjadi pada iskemia mesenterika, infark usus,
dan pankreatitis. Maka dari itu, pemeriksaan radiologis abdomen merupakan bagian penting
dari evaluasi awal (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Pankreatitis yang disebabkan oleh SLE jarang terjadi dan biasanya terkait dengan SLE
aktif pada organ lain. Ketika mempertimbangkan kemungkinan pankreatitis, perlu diingat
bahwa peningkatan serum amilase dapat menyebabkan kerancuan karena peningkatan
amilase juga dapat terjadi pada pasien SLE tanpa pankreatitis. Menyingkirkan penyebab-
penyebab pankreatitis non-SLE, seperti penyakit bilier, konsumsi alkohol, dan
hipertrigliseridemia, juga perlu dilakukan (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Vaskulitis mesenterika sangat jarang terjadi pada pasien SLE. Pasien dengan kondisi
ini dapat dilihat dengan berbagai gejala, mulai dari kram, meteorismus, anoreksia, hingga
diare dan perdarahan gastrointestinal. Diagnosis yang akurat dan tata laksana yang cepat
sangat penting untuk mencegah potensi terjadinya komplikasi nekrosis usus, perforasi, dan
sepsis. Radiografi abdomen dapat menunjukkan distensi usus, penebalan dinding usus,
dan/atau udara bebas di kavum abdomen (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Ultrasonografi mungkin bermanfaat dalam menunjukkan edema dan penebalan
dinding usus. CT abdomen dianggap sebagai modalitas pencitraan yang paling berguna untuk
diagnosis dini iskemia mesenterika dan dapat menunjukkan pembuluh mesenterika dengan
pola palisade yang memberikan vaskularisasi usus, asites, dan penebalan dinding usus dengan
double-halo sign. Gastroskopi dan kolonoskopi dapat menunjukkan terjadinya tanda-tanda
iskemia dan ulserasi. Mengingat vaskulitis mesenterika SLE biasanya melibatkan pembuluh-
pembuluh kecil (arteriol dan venula) dari submukosa usus, angiografi mesenterika tidak
membantu dalam diagnosis, namun dapat menyingkirkan kemungkinan gangguan pada
pembuluh darah besar yang dapat menyebabkan iskemia mesenterika, seperti poliarteritis
nodosa, aterosklerosis, atau trombosis akibat antibodi anti-fosfolipid (Dall‟era & Wofsy,
2017).
Kelainan tes fungsi hati dapat ditemukan pada 60% pasien SLE selama perjalanan
penyakit mereka. Akan tetapi, gangguan hati yang berat secara klinis jarang disebabkan
langsung oleh SLE. Maka dari itu, apabila terjadi gangguan hati pada pasien SLE, klinisi
128
harus segera mencari penyebab non-SLE, antara lain penggunaan obat-obatan seperti obat
anti-inflamasi nonsteroid (OAINS), metotreksat, dan azatioprin. Enzim-enzim hati yang
abnormal dapat disebabkan oleh steatosis hati akibat obesitas, diabetes mellitus, atau
pengobatan dengan kortikosteroid. Kemungkinan infeksi oleh virus hepatitis, sitomegalovirus
(CMV), dan virus Epstein-Barr (EBV) juga harus disingkirkan. Setelah itu, harus segera
dilakukan pemeriksaan dengan USG perut dan apabila memungkinkan, biopsi hati. Hepatitis
lupus diyakini sebagai kondisi yang sama sekali berbeda dari hepatitis autoimun. Hepatitis
lupus biasanya ditandai dengan adanya peradangan lobular tanpa disertai infiltrat limfoid.
Temuan ini berbeda dengan hepatitis autoimun, yang mana didominasi dengan tanda-tanda
peradangan dan infiltrat limfoid. Meskipun ANA test sering muncul positif pada kedua
kelainan tersebut, antibodi anti–smooth muscle dan anti-LKM lebih sering ditemukan pada
hepatitis autoimun daripada hepatitis lupus. Selain itu, pasien SLE dengan hepatitis dapat
mengalami hiperplasia regeneratif nodular walaupun jarang sekali terjadi. Gangguan ini
menyebabkan kemunculan nodul hepar yang difus disertai fibrosis yang dapat menyebabkan
hipertensi portal. Hiperplasia regeneratif nodular berhubungan dengan adanya antibodi anti-
fosfolipid pada beberapa pasien (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Manifestasi gastrointestinal langka lainnya yang dapat terjadi pada SLE antara lain
pseudo-obstruksi usus dan protein-losing enteropathy. Pseudo-obstruksi usus ditandai dengan
penurunan motilitas usus yang disebabkan oleh disfungsi otot polos organ viseral atau
disfungsi sistem saraf enterik. Usus halus lebih sering mengalami kondisi tersebut dibanding
usus besar. Gejala yang muncul yaitu nyeri perut, mual, muntah, dan meteorismus. Pasien
dengan protein-losing enteropathy dapat mengalami nyeri perut, edema pitting, dan diare
akibat mengalami hipoalbuminemia. Penyebab lain hipoalbuminemia, seperti sindrom
nefrotik akibat suatu penyakit ginjal, harus disingkirkan terlebih dahulu (Dall‟era & Wofsy,
2017).
dan skleritis dapat terjadi pada SLE, namun uveitis sangat jarang terjadi. Ruam diskoid SLE
dapat mengenai palpebra inferior dan konjungtiva. Glukokortikoid dan agen antimalaria, dua
obat yang biasa digunakan untuk pengobatan SLE, dapat memberikan efek samping pada
mata. Katarak subkapsular posterior (PSC), peningkatan tekanan intraocular (TIO), dan
makulopati serosa sentral merupakan contoh komplikasi akibat terapi dengan glukokortikoid.
Sedangkan penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin dapat menyebabkan komplikasi
serius berupa makulopati walaupun jarang terjadi. Risiko toksisitas retina tergolong rendah
apabila dosis harian dipertahankan di bawah 3 mg/kg berat badan ideal untuk klorokuin dan
di bawah 6,5 mg/kg berat badan ideal untuk hidroksiklorokuin (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Ketika mengevaluasi seorang pasien dengan kelainan hematologis seperti yang akan
dijelaskan di bawah ini, klinisi perlu untuk mempertimbangkan potensi terjadinya kondisi
myelosupresi akibat konsumsi obat-obatan seperti metotreksat, azathioprine, mikofenolat
mofetil, dan siklofosfamid. Selain itu, glukokortikoid juga merupakan penyebab utama
limfopenia dan/atau neutrofilia (Dall‟era & Wofsy, 2017).
1. Anemia
Anemia penyakit kronis merupakan anemia yang paling umum terjadi pada SLE.
Anemia ini ditandai dengan sel eritrosit normokromik-normositik, besi serum rendah,
transferin rendah, dan feritin serum normal hingga meningkat. Anemia penyakit kronis dapat
terjadi bersamaan dengan anemia yang disebabkan dari proses lain. Anemia Hemolitik
Autoimun atau Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) harus dicurigai apabila terdapat
kelainan hasil laboratoris seperti peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, peningkatan enzim
laktat dehidrogenase (LDH), peningkatan jumlah retikulosit, dan menurunnya haptoglobin.
Tes Coombs direct biasanya memiliki hasil positif karena AIHA diduga dimediasi oleh IgG
anti-eritrosit. Hapusan darah tepi AIHA menunjukkan sferositosis. AIHA umumnya
merupakan manifestasi SLE yang menandakan adanya aktivitas penyakit yang sedang
berlangsung aktif. Akan tetapi AIHA juga dapat muncul terlebih dahulu jauh onset SLE
dimulai (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Apabila pada pasien SLE terjadi Microangiopathic hemolytic anemia (MAHA), yang
ditandai dengan adanya schistocytes pada hapusan darah tepi, maka harus segera
dipertimbangkan kemungkinan terjadinya thrombotic thrombocytopenic purpura-hemolytic
uremic syndrome (TTP-HUS). TTP adalah sindrom yang terdiri atas MAHA,
130
diduga merupakan faktor predisposisi terjadinya SLE, namun teori ini masih bersifat
kontroversial karena belum dapat dijelaskan mekanismenya (Lahita, 2004).
Penatalaksanaan ITP pada penderita SLE sama dengan penatalaksanaan ITP pada
umumnya, yaitu metil-prednisolon dosis 1 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi. Sedangkan
pada ITP berat diberikan metil-prednisolon dosis tinggi. Kebanyakan penderita menunjukkan
respons yang baik dalam 1-8 minggu. Jika tidak tercapai peningkatan jumlah trombosit yang
bermakna dalam 1-3 minggu atau jika muncul efek samping yang tidak dapat ditoleransi,
maka dapat dicoba terapi dengan azatioprin, siklofosfamid, Intravenous immunoglobulin
IVIG, mofetil mikofenolat atau rituximab (Lahita, 2004).
4. Limfadenopati dan Splenomegali
Limfadenopati umumnya berhubungan dengan SLE aktif dan ditandai dengan adanya
kelenjar getah bening yang membesar, lunak, dan tidak nyeri. Limfadenopati dapat bersifat
lokal atau general, dengan predileksi daerah leher, aksila, dan inguinal. Pemeriksaan
histopatologis kelenjar getah bening dapat menunjukkan hiperplasia reaktif dengan berbagai
tingkatan nekrosis koagulatif. Bentukan badan hematoksilin (hematoxylin bodies) merupakan
temuan khas untuk limfadenopati SLE. Diagnosis banding limfadenopati pada pasien SLE
meliputi infeksi dan/atau proses limfoproliferatif. Biopsi kelenjar getah bening terkadang
diperlukan untuk diagnosis. Sedangkan splenomegali dapat terjadi pada pasien dengan SLE
dan dikaitkan dengan hepatomegali. Studi histopatologis menunjukkan fibrosis periarterial
(onion-skin lesion). Kasus atrofi lien dan asplenisme fungsional juga pernah ditemukan
(Dall‟era & Wofsy, 2017).
132
BAB 4
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS FISIK
Diagnosis SLE tidak mudah karena gambaran klinik penyakit bervariasi sangat luas.
Klinisi bisa curiga bila ada wanita usia muda dengan penyakit sistemik yang bermanifestasi
pada satu organ atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dengan keadaan umum
yang sangat berat dan dengan gejala hilang timbul. Gambaran kliniknya didahului dengan
gejala konvensional, antara lain demam, nafsu makan turun, berat badan turun biasanya
terjadi pada SLE yang berat, dan fatigue. Selanjutnya diikuti dengan gejala pada organ, pada
individu masing-masing berbeda, gejala fullbloun bisa terjadi dalam waktu bulan atau
bertahun-tahun dengan gejala inflamasi pada satu organ baru diikuti pada berbagai organ.
Pada kulit didapatkan gambaran bercak, disertai gejala muskuloskeletal nyeri sendi. Bila
manifestasinya berat maka muncul gejala-gejala pada organ yang sifatnya lifethreating
diseases. Manifestasi klinik pada masing-masing organ yang telah dijelaskan pada Bab 2.
American College of Rheumatology (ACR) telah menetapkan kriteria untuk
klasifikasi (bukan untuk diagnosis), yaitu minimal empat dari sebelas kriteria memenuhi
kriteria (Smith & Shmerling, 1999). Meskipun demikian banyak para klinisi menggunakan
kriteria klasifikasi untuk membantu dalam membuat diagnosis di klinik. Keterbatasan
klasifikasi bila digunakan untuk membuat diagnosis adalah ketika kondisi pasien yang jelas
secara klinis SLE, tetapi belum memenuhi kriteria ACR maka akan terlambat dilakukan
diagnosis. Hal ini akan menimbulkan kondisi yang fatal bila organ yang terserang sangat
serius. Keterbatasan lain, yaitu manifestasinya yang sangat luas sedangkan kriteria hanya
mencakup beberapa organ yang masing-masing suku berbeda-beda.
Kriteria klasifikasi SLE menurut American College of Rheumatology ditetapkan
tahun 1982 dan direvisi tahun 1997, dengan sensitivitas dan spesifitas 96%.
133
Tabel 4.1. The American College of Rheumatology criteria for the diagnosis of lupus
(revised 1997).
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus Oral
5. Artritis
6. Serositis (a. pleuritis or b. perikarditis)
7. Gangguan ginjal
a. proteinuria > 0,5 g/hari atau + 3, menetap atau
b. sedimen
8. Gangguan Neurologis
a. Kejang atau
b. Psikosis, yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau kelainan metabolik
9. Gangguan Hematologis
a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau
b. Leukopenia kurang dari 4000/mm3 total pada 2 atau lebih pemeriksaan atau
c. Limfopenia kurang dari 1500/mm3 pada 2 atau lebih pemeriksaan atau
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3 pada 2 atau lebih pemeriksaan.
10. Gangguan Imunologis
a. peningkatan antibodi anti-DNA atau
b. adanya antibodi anti-Sm atau
c. positif antibodi antifosfolipid berdasarkan:
1. kadar abnormal IgG atau IgM antibodi anticardiolipin
2. lupus anticoagulant positif atau
3. false positive test serologi sipilis selama 6 bulan
11. Antibodi Antinuclear (ANA) meningkat
Memenuhi kriteria ACR bila ada 4 dari 11 item
CLINICAL CRITERIA
1. Kutaneus lupus akut:
a. Ruam malar lupus (malar discoid tidak termasuk)
b. Lupus bulosa
c. toksik epidermal nekrolitik SLE
d. Ruam mukulopapular lupus
e. Ruam fotosensitif
f. Tanpa adanya dermatomiositis
134
g. ATAU kutaneus lupus subakut (psoriaform nonindurated dan / atau lesi poliklik annular yang
sembuh tanpa jaringan parut, meskipun kadang-kadang disertai dispigmentasi postinflamasi atau
telangiectasias)
8. Gangguan neurologis
a. Kejang
b. Psikosis
c. Mononeuritis multiplek
tanpa adanya penyebab lain yang diketahui seperti vaskulitis primer
d. Mielitis
e. Neuropati perifer atau kranial Peripheral or cranial neuropathy
tanpa adanya penyebab lain yang diketahui seperti vaskulitis primer, infeksi, dan diabetes mellitus
f. Acute confusional state
tanpa adanya penyebab lain, termasuk toksik / metabolik, uremia, obat-obatan
9. Anemia hemolitik
10. Leukopenia <4,000/mm3 setidaknya sekali)
tanpa adanya penyebab lain seperti Felty’s syndrome, obat-obatan, dan portal hypertension
ATAU
Limfopenia (<1,000/mm3 setidaknya sekali)
tanpa adanya penyebab lain yang diketahui seperti kortikosteroid, obat-obatan, dan infeksi
11. Trombositopenia (<100,000/mm3) setidaknya sekali
135
tanpa adanya penyebab lain seperti obat-obatan, portal hypertension, dan thrombotic thrombocytopenic
purpura
KRITERIA IMUNOLOGI
1. Kadar ANA diatas referensi normal laboratorium
2. Kadar antibodi dsDNA diatas rentang referensi laboratorium, dianjurkan melakukan straight cut off
pemeriksaan ELISA
3. Anti-Sm: keberadaan antibodi terhadap antigen nuklear Sm
4. Antibodi Antiphospholipid positif bila:
a. Positif tes lupus antikoagulan dengan menggunakan metode standar
b. False positif tes terhadap sipilis selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan treponema pallidum
imobilisasi atau flurescent antibodi asbsorption test.
c. Didapatkan high titer atau medium titer antibodi anticardiolipin, IgG, IgA atau IgM
d. Positif tes untuk β2GP1, IgA, IgG, IgM
5. Komplemen rendah
a. C3 rendah
b. C4 rendah
c. CH50 rendah
6. Pemeriksaan Coombs secara langsung tanpa anemia hemolitik
memenuhi kriteria bila ada 3 gejala klinis dan 1 gejala imunologis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Laboratorium adalah bagian integral untuk mengonfirmasi diagnosis awal.
Diagnosis banding seringkali dipersempit menjadi satu diagnosis tunggal ada pemeriksaan
laboratorium dan radiologis. Namun bila gejala klinis ini sudah jelas, laboratorium
pendukung tidak terlalu banyak membantu karena pada penyakit rematik dalam hal ini
laboratorium termasuk serologis bukan merupakan gold standard. Penanda inflamasi seperti
laju endap darah (LED) atau protein C-reaktif dijumpai pada artritis inflamasi. Pemeriksaan
darah lengkap, urine lengkap, faal ginjal, dan faal hati merupakan pemeriksaan dasar yang
dianjurkan selain untuk melihat organ yang terlibat juga dipakai sebagai patokan keberhasilan
pengobatan. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat dijumpai anemia, leukopenia,
trombopenia, dan LED yang meningkat. Pada pemeriksaan urine lengkap untuk melihat
proteinuria, hematuria, pada sedimen urine didapatkan cast eritrisit atau lekosit. Tidak ada
gambaran khas pada pemeriksaan laboratorium. Gambaran laboratorium hanya menunjukkan
organ yang terlibat.
C-Reactive Protein (CRP)
C-Reactive Protein (CRP) adalah protein yang digunakan untuk membersihkan sel
yang nekrosis atau apoptosis. Merupakan bagian dari sistem inate. Protein ini terkait dengan
inflamasi, kadarnya meningkat sekitar 25% pada saat inflamasi (Morley & Kushner, 1982).
Protein yang termasuk dalam akut fase protein adalah seruloplasmin, komplemen amiloid A,
fibrinogen, α-Anti-chymotrypsin, haptoglobin, feritin, albumin, transferrin, dan transhiretin.
136
modulator (Bell et al., 1998; Figueredo et al., 2006). Pada studi in vitro sitokin IL-6 yang
menstimulasi hepar menyintesis CRP (Castell et al., 1989). Pada SLE aktif IL-6 berhubungan
dengan aktivitas penyakit (Tackey et al., 2004; Chun et al., 2007) namun CRP tidak
berhubungan dengan IL-6 (Williams et al., 2005; Meijer et al., 1993; Gabay et al., 1993).
Dari studi hepatoma cell lines, dilaporkan IL-1 juga dapat menginduksi sintesis CRP
(Ganapathi et al., 1991). Beberapa studi melaporkan bahwa IL-1β meningkat pada aktif lupus
(Dellalibera-Joviliano et al., 2003), namun studi lain melaporkan tidak ada hubungannnya
(Liou, 2001). Perubahan fungsi IL-1 yang diduga menyebabkan kadar CRP rendah terkait
patogenesis SLE. Diduga adanya polimorphisme gen CRP, rendahnya CRP merupakan
predisposisi lupus, sintesis ANA serta lupus nefritis kedua. Adanya defek kliren autoantigen
selama apoptosis memicu imunogenesitas dari antigen dan fragmen sel CRP mempunyai
peran efisiensi kliren bleb apoptosis. Kemungkinan lain CRP dapat mencegah timbulnya
SLE. Pada uji coba hewan mencit yang diberi CRP hasilnya munculnya lupus tertunda dan
progres lupus nefritis tidak terjadi penurunan autoantibodi dsDNA. Adanya CRP
menyebabkan defek proses apoptosis. CRP yang rendah diduga pengaruh interferon yang
tinggi yang merupakan signature SLE, diduga interferon menghambat sintesis CRP
(Gaitonde, 2008).
Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap tidak selalu terjadi kelainan, yang perlu diperhatikan
adalah kadar HB, leukosit, trombosit, limfosit, dan LED. Pada fase awal, CRP mungkin
hanya ditandai limfopenia saja, sedangkan yang lain-lain dalam batas normal.
Urine Lengkap
Pemeriksaan ini melihat adanya proteinuria atau pada sedimen diperhatikan adanya cast
urine dan cast eritrosit. Bila terdapat gejala ini, maka kemungkinan lupus nepritis dan
dikonfirmasi dengan protein loss dalam 24 jam sehingga dapat diperkirakan grade Lupus
nefritis. Diagnosis lupus nepritis diperkuat dengan pemeriksaan kimia klinik dengan melihat
kadar albumin dan adanya dislipimia .
PEMERIKSAAN SEROLOGI
Tes ANA merupakan pemeriksaan serologi yang dianjurkan sebagai pemeriksaan
serologi awal sebelum pemeriksaan antibodi lainnya. Bila kadar tinggi dengan pola yang
homogen dengan pemeriksan metode Hep2cel sangat menyokong diagnosis SLE. Selain
untuk membantu menegakkan diagnosis. Antibodi-antibodi lainnya mempunyai sensitivitas
138
dan spesifisitas yang berbeda-beda, selain itu antibodi–antibodi ini seringkali dikaitkan
dengan manifestasi kliniknya. Misalnya, kadar ds-DNA yang tinggi dikaitkan dengan
timbulnya lupus nefritis dsDNA, histone, Sm, RNP, Ro, dan La atau antibodi phospholipid
(Meroni & Schur, 2010; Quismorio & Torralba, 2013).
Menegakkan diagnosis SLE dapat menjadi suatu tantangan karena manifestasi
penyakitnya yang heterogen dan hilang timbul. Tidak ada manifestasi klinis atau pemeriksaan
laboratorium yang dapat berfungsi sebagai tes diagnostik definitif untuk SLE. Diagnosis SLE
ditegakkan berdasarkan kumpulan karakteristik gejala, tanda, dan temuan laboratoris yang
didukung dengan kondisi klinis yang sesuai. Kriteria SLE menurut ACR (Tabel 4.1)
berfungsi sebagai petunjuk yang berguna untuk identifikasi berbagai manifestasi klinis yang
dapat dilihat pada SLE, meskipun kriteria tersebut tidak selalu mutlak untuk diterapkan dan
dapat berbeda pada pasien masing-masing (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Uji serologis berperan penting dalam diagnosis SLE. SLE adalah penyakit autoimun
humoral sistemik prototipik yang ditandai dengan produksi berbagai macam autoantibodi
yang bermakna secara diagnostik (Tabel 4.2). Penelitian yang menggunakan teknologi
antigen array telah menunjukkan keberadaan lebih dari 100 autoantibodi yang berbeda pada
pasien dengan SLE. Ciri khas penting SLE, yaitu adanya Antinuclear Antibody (ANA) yang
dibuktikan dengan oleh ANA test positif. Metode baku emas untuk mendeteksi ANA, yaitu
imunofluoresensi indirek menggunakan human epithelial cell tumor line (HEp2 cell line).
Dengan metode tersebut, tes ANA menjadi modalitas pemeriksaan yang sensitif dan
menunjukkan hasil positif pada lebih dari 95% orang yang mengalami SLE. Beberapa
laboratorium menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau
metode multipleks sebagai metode tes ANA dengan pertimbangan kemudahan (otomatisasi)
dan biaya yang lebih murah. Namun, metode ELISA dan multipleks menghasilkan tingkat
false-negative yang tinggi dan kurang akurat bila dibandingkan dengan metode
imunofluoresensi. Metode tradisional tes ANA adalah imunofluoresensi. Teknik ini masih
merupakan baku emas dalam mendeteksi ANA. Pengujian imunofluoresensi terdiri dari
inkubasi pengenceran serum dengan monolayer sel-sel tetap yang mempunyai permiabilitas.
Antibodi yang melekat pada monolayer sel divisualisasikan dengan imunoglobulin subtract
manusia yang telah terkonjugasi dengan label fluoresen. Hasil yang dibaca adalah floresensi
dan titer (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Dekade terakhir, sebagian besar laboratorium di seluruh dunia menganjurkan untuk
menggunakan substrat human cell line atau garis sel tumor manusia (garis sel HEp-2) untuk
pengujian ANA rutin. Substrat HEp-2 sebagian besar telah menggantikan jaringan hewan
139
tikus dan telah menjadi substrat standar untuk melakukan tes ANA. Ada beberapa perbedaan
penting antara 2 metode pengujian ANA ini. Human cell line lebih sensitif dari cell line
rodent untuk mendeteksi ANA. Akibatnya, hampir semua pasien SLE memiliki ANA positif
dengan penggunaan substrat HEp-2. Sensitivitasnya lebih tinggi. Misalnya, subtract rodent
tidak mengekspresikan antigen Ro (SS-A), sentromer, nukleolus, dan organ seluler lainnya.
Beberapa pasien memberikan hasil ANA-negative lupus karena subtract rodent karena tidak
mengekspresi anti Ro (SS-A) (Quismorio & Quismorio, 2019).
Gambar 4.1 Pola ANA positif dengan imunofluoresens. (a) homogeneous, (b) speckled, (c) nuclear
dots, (d) nucleolar, dan (e) centromeres. Pola-pola antibodi lainnya dapat dikenali sebagai (f) nuclear
membranes, (g) cytoplasmic, dan yang terakhir adalah hasil negatif atau tidak spesifik (h) (Krause et
al., 2015).
Tes ANA positif juga bisa muncul pada banyak penyakit autoimun lainnya, seperti
RA, skleroderma, polimiositis, dan tiroiditis autoimun. ANA juga dapat terdeteksi pada titer
rendah (<1: 80) pada banyak orang yang tidak memiliki penyakit autoimun, terutama pada
golongan lansia (Tan et al., 1997). Oleh karena itu, tes ANA positif saja tidak cukup untuk
menegakkan diagnosis SLE. Di sisi lain, tes ANA yang negatif dapat membantu dalam
menyingkirkan kemungkinan SLE. Penggunaan utama tes ANA adalah sebagai alat
diagnostik. Jika diagnosis telah tegak secara klinis maka tidak diperlukan tes ANA. Perlu
dicatat bahwa 57% dari tes ANA yang dipesan oleh dokter dalam satu studi prospektif adalah
pasien-pasien yang sudah tegak secara klinis. Studi-studi tentang tes ANA menunjukkan
bahwa hasil tes tidak memberikan informasi mengenai aktivitas penyakit. Perubahan titer
140
ANA tidak dikaitkan dengan aktivitas penyakit SLE karena tidak semua antibodi bisa
digunakan menilai aktivitas penyakit namun hanya kadar dsDNA saja yang dapat untuk
mengevalusi aktivitas penyakit. Test ANA juga terbatas untuk diagnosis, karena tes ANA
positif juga ditemukan pada populasi sehat, wanita hamil atau pada pasien infeksi (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
Profil ANA memiliki fungsi yang lebih baik daripada tes ANA saja. Tes profil ANA
dapat digunakan untuk diagnostik serta prognostik, misalnya antibodi terhadap DNA sangat
spesifik untuk lupus, antibodi topoisomerase I spesifik untuk skleroderma. Berbagai teknik
pengujian dapat digunakan untuk melakukan tes yang membentuk panel ANA. Hasil ANA
profil memberikan gambaran autoantibodi yang lebih lengkap. Secara umum, tes
laboratorium dapat membantu dokter dalam diagnosis, prognosis, atau menentukan aktivitas
penyakit (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Tabel 4.2 Autoantibodi pada SLE dan karakteristik klinis yang terkait.
Prevalensi pada
Autoantibodi Karakteristik Klinis
SLE (%)
Anti-nuclear Antibody (ANA)
Spesifisitas 95% untuk SLE; dapat berfluktuasi seiring
Anti-dsDNA 60
aktivitas penyakit dan berhubungan dengan glomerulonephritis
Spesifisitas 99% untuk SLE; berhubungan dengan antibodi
Anti-Smith 20-30
anti-U1RNP
Antibodi yang berhubungan dengan penyakit mixed connective
Anti-U1RNP 30
tissue dan glomerulonephritis
Berhubungan dengan sindrom Sjögren, fontosensitivitas,
Anti-Ro/SS-A 30 SCLE, lupus neonatal, dan gangguan konduksi jantung
kongenital
Berhubungan dengan sindrom Sjögren, fontosensitivitas,
Anti-La/SS-B 20 SCLE, lupus neonatal, gangguan konduksi jantung kongenital,
dan anti-Ro/SS-A
Anti-histone 70 Berhubungan dengan drug-induced lupus
Berhubungan dengan trombosis arteri/vena dan morbiditas
Anti-phospholipid 30
dalam kehamilan
(Sumber: Dall’era & Wofsy, 2017)
Antibodi anti-dsDNA muncul pada 50-60% pasien SLE, sehingga hasil anti-dsDNA
yang negatif tidak mengesampingkan kemungkinan SLE. Namun sebaliknya, keberadaan
antibodi ini sangat spesifik untuk SLE, oleh karena itu anti-dsDNA sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis yang pasti. Demikian pula dengan antibodi anti-Sm yang memiliki
spesifisitas tinggi untuk SLE (Dall‟era & Wofsy, 2017). Pada penelitian Yuliasih et al.
(2019) mendapatkan nilai ANA positif 73.3%% dan dsDNA 46.7%.
Antibodi anti-Sm lebih jarang ditemukan positif pada pasien SLE (~ 30%). Antigen
Sm merupakan salah satu komponen extractable nuclear antigens (ENA), sebuah istilah yang
141
mengacu pada sekelompok variasi nuclear antigen non-DNA dari sel tubuh yang dapat
"diekstraksi" di laboratorium. Komponen antigen-antigen tersebut didominasi
ribonukleoprotein yang dapat dibagi menjadi dua golongan besar berdasarkan kerentanannya
terhadap ribonuklease. Antigen yang sensitif terhadap ribonuklease disebut RNP. Antigen
yang resistan terhadap ribonuklease disebut Sm (karena antibodi ini pertama kali terdeteksi
pada pasien bernama Smith). Tidak seperti anti-Sm, anti-RNP tidak spesifik untuk SLE.
Namun, titer antibodi anti-RNP yang tinggi dapat membantu dalam mendukung diagnosis
MCTD (Sharp et al., 1972; Dall‟era & Wofsy, 2017).
Banyak autoantibodi lain dapat ditemukan pada pasien dengan SLE. Antibodi
terhadap antigen sitoplasma, seperti Ro dan La (SS-A dan SS-B), dapat ditemukan pada
beberapa pasien SLE. Walaupun autoantibodi tersebut tidak memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup baik untuk diagnosis SLE, terkadang Anti-Ro dan Anti-La dikaitkan
dengan sindrom klinis tertentu pada SLE. Kasus yang paling menarik perhatian, yaitu
munculnya antibodi anti-Ro pada lebih dari 90% kasus lupus neonatal (Watson et al., 1984).
Antibodi anti-Ro juga dapat meningkat pada pasien SCLE (David-Bajar et al., 1992).
Autoantibodi lain mungkin menyerang molekul permukaan sel atau menyerang protein yang
bersirkulasi dalam darah. Sebagai contoh, antibodi terhadap komponen darah dapat
menyebabkan anemia hemolitik, neutropenia, atau trombositopenia, dan antibodi terhadap
fosfolipid dan protein pengikat fosfolipid dapat dideteksi pada beberapa pasien SLE dengan
atau tanpa sindrom anti-fosfolipid. Perlu dicatat bahwa faktor rheumatoid (anti-IgG) dapat
ditemukan pada 15-20% dari pasien SLE, tanpa maupun disertai penyakit sendi (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
KOMPLEMEN
Penemuan sel 'LE' Hargraves et al.. tahun 1947 pada sistemik lupus erythematosus
merupakan fenomena sel yang intinya sedang dicerna oleh sel T autoreaktif (Hargraves et al.,
1948). Sejalan dengan temuan, muncul temuan tentang aktivitas komplemen. Selanjutnya
temuan ini mengarah pada model patogenesis SLE. Inflamasi jaringan adalah akibat
terbentuknya autoantibodi dan kompleks imun dengan autoantigennya, mengaktivasi
komplemen, dan menyebabkan kerusakan jaringan karena proses inflamasi (Wedgwood &
Janeway, 1953; Lachmann et al., 1962). Komplemen pada SLE bersifat kawan dan lawan.
Selain itu, defisiensi komplemen disebabkan adanya antibodi terhadap C1q. Beberapa studi
menyebutkan bahwa pasien SLE secara homozigot didapatkan defisiensi komplemen C4
(Botto & Walport, 1993). Sistem komplemen merupakan bagian dari sistem imun inat yang
142
berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap mikroba. Selain itu komplemen berfungsi
membersihkan kompleks imun dan sel-sel yang mengalami apoptosis dan merupakan
komponen sistem imun yang menghubungkan antara sistem imun inate dan adaptif.
Autoantibodi mempunyai afinitas tinggi berikatan protein kompleks imun yang membentuk
'neoepitopes'. Ini merupakan epitop baru yang sebelumnya tidak diekspresikan dalam protein
asli dan hanya diekspos pada protein yang telah dimodifikasi dengan mengubah strukturnya.
Perubahan struktur ini untuk memperlihatkan neoepitop yang dapat dilakukan pemecahan
secara proteolitik (Bienenstock & Bloch, 1967). Autoantibodi ini berikatan dengan produk
aktivasi C3 yang dikenal sebagai iC3b protein yang terikat dengan C3 bersifat nefritik C3,
secara histopatologi menginduksi glomerulonephritis mesangiocapillary dengan mikroskop
elektron deposit komplemen dan autoatibodi padat elektron di membran basal glomerulus
(Walport et al., 1994). Autoantibodi lain yang penting, walaupun jarang, terhadap protein
komplemen adalah autoantibodi anti-C1 terjadi terutama pada beberapa pasien dengan
limfoma (Walport, 2002).
Aktivasi komplemen melalui tiga jalur, yaitu jalur klasikal, alternatif, dan jalur lectin.
Aktivasi jalur klasik diawali dengan pengikatan Fc dari IgM atau IgG oleh C1q yang
merupakan bagian dari komplemen C1, selain imunoglobulin komplemen juga menangkap
sel apoptosis. Sel apoptosis berperan besar terhadap fungsi toleransi. Ikatan antara C1q dan
jaringan target memicu aktivasi C1r (serine protease), dan selanjutnya diikuti aktivasi C1s.
Aktivasi C1 memecah C4 dan C2 menghasilkan C4a/C4b and C2a/C2b. C4b2a berperan
sebagai C3 convertase yang akan memecah C3. Sedangkan jalur alternatif secara spontan
mengaktivasi C3 proses ini berjalan pelan namun tidak berlangsung terus menerus
menghasilkan hidrolisis C3 (C3(H2O). C3 yang mengalami hidrolisiss ini selanjutnya
mengikat faktor B selanjutnya B‟s yang dipecah oleh faktor D (adisin) dan selanjutnya C3
convertase baru dibentuk. (C3(H2O)Bb bentuknya yang stabil. Pemecahan C3 dan C5
menghasilkan C3a and C5a anaphylatoxins, C3b opsonins, dan C5b untuk membentuk C5b-9
membrane attack complex, yang menyebabkan kematian seluler dan aktivasi membran.
Untuk mencegah injuri jaringan host aktivasi komplemen diregulasi secara ketat oleh cell
membrane associated protein Decay-accelerating factor (DAF) yang merupakan
glycosylphosphatidylinositol (GPI)-anchored membrane protein, yang mengikat C3b dan C4b
dan mempercepat C3 convertase untuk tidak diaktifkan. Komplemen terlibat dalam
patogenesis lupus namun masih banyak yang belum jelas karena terkadang pasien lupus berat
namun tanpa disertai penurunan komplemen, secara klinik mungkin bisa diasumsikan belum
ada pemakain komplemen yang cukup banyak. Ada defisiensi komplemen secara herediter
143
pada jalur klasikal, maka populasi tersebut berisiko terkena penyakit lupus sangat besar yang
sering adalah defisiensi C4 untuk menilai aktivitas penyakit kadar C3 dan C4 yang diukur
namun bisa memberikan arti yang banyak bila C3 turun dan C4 dalam batas normal maka
prognosisnya lebih baik karena C4 merupakan komplemen yang protektif. Bila kadar C3 dan
C4 sama menurun dalam kadar yang sangat rendah maka prognosis pasien yang demikian
sangat buruk. Apalagi bila sudah mendapat terapi yang optimal perubahan kadar C3 dan C4
tidak kembali pada posisi normal maka bisa diprediksikan SLE-nya berat dan jelek
prognosisnya (Trouw, 2017).
Pada SLE, autoantibodi yang paling penting untuk protein komplemen adalah anti-
C1q, yang ditemukan pada sekitar sepertiga pasien SLE. Antibodi ini mirip dengan
immunoconglutinin yang diduga mempunyai sifat patologis. Gambaran klinis utama dari
sindrom klinis hypocomplementaemic urticarial vasculitis (HUVS). Sindrom ini dikaitkan
dengan kuatnya aktivasi jalur klasik, dengan kadar C1q, C4, dan C2 yang sangat rendah, dan
kadar C3 yang berkurang secara moderat. Sindrom ini didefinisikan secara serologis dengan
adanya titer autoantibodi yang sangat tinggi terhadap C1q (Wisnieski & Naff, 1989).
Autoantibodi ini bereaksi dengan neoepitop di daerah kolagen C1q yang tidak terpapar dalam
kompleks C1. Kompleks C1q terdiri dari satu molekul C1q yang digabungkan dengan dua
molekul C1r dan dua C1 hanya terekspos ketika kompleks C1 diaktifkan dengan
menghilangkan molekul C1r dan C1s (Walport, 2002).
Selain urtikaria kronis, dengan vaskulitis leukositoklastik kulit yang menyertainya,
gambaran klinis ini dapat berupa angioedema, glomerulonefritis, neuropati, dan obstruksi
saluran napas (Wisnieski et al., 1995). Tidak ada autoantibodi lain yang diidentifikasi dalam
HUVS tetapi beberapa sindrom ini dapat ditemukan pada pasien dengan SLE full-blown yang
juga memiliki autoantibodi anti-C1q. Hubungan antara HUVS dan SLE analog dengan
hubungan antara sindrom antifosfolipid primer dan SLE. Dalam kasus hubungan yang
terakhir, pasien dengan sindrom antifosfolipid primer memiliki sindrom klinis trombosis
berulang dan aborsi dengan adanya autoantibodi terhadap kardiolipin dan β2- glikoprotein-I.
Sekitar sepertiga dari pasien dengan SLE juga memiliki autoantibodi ini sebagai bagian dari
spektrum autoantibodi dan mungkin juga memiliki beberapa gambaran kliniss dari sindrom
antifosfolipid (Walport, 2002).
Maka dari itu, sebelum diagnosis SLE ditegakkan, evaluasi yang komprehensif terhadap
kemungkinan infeksi, keganasan, dan penyakit autoimun lainnya harus dilakukan (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
Beberapa infeksi virus dapat memunculkan gejala dan tanda yang juga dimiliki SLE.
Selain itu, banyak infeksi virus dikaitkan dengan produksi autoantibodi. Anamnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (seperti uji serologis terhadap
patogen tertentu) dapat membantu penegakan diagnosis yang tepat. Pasien yang terinfeksi
parvovirus B19 dapat mengalami demam, ruam, poliartritis inflamatorik bilateral, dan
sitopenia. Selain itu, munculnya ANA, anti-dsDNA, dan hipokomplementemia juga pernah
terjadi pada beberapa kasus. Infeksi virus Sitomegalo dan EBV juga dapat memberikan
gambaran klinis yang mirip dengan SLE seperti gejala malaise, sitopenia, nyeri perut, dan
kelainan tes fungsi hati. Pasien dengan infeksi HIV akut juga dapat mengalami demam,
limfadenopati difusa, dan sariawan. Artritis inflamatorik dan autoantibodi yang positif juga
dapat terjadi pada pasien dengan hepatitis B dan C (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Keganasan, terutama limfoma non-Hodgkin, dapat memiliki manifestasi klinis seperti
gejala konstitusional, artralgia, sitopenia (termasuk anemia hemolitik autoimun),
limfadenopati, ruam, dan ANA positif. Klinisi harus waspada terhadap kemungkinan
keganasan terutama pada pasien lansia yang memiliki tanda dan gejala mirip lupus onset
baru. Penting untuk memastikan bahwa pasien menjalani tes skrining yang tepat untuk
diagnosis keganasan (Dall‟era & Wofsy, 2017).
Penyakit autoimun lain, seperti RA (Rheumatoid Arthritis) dan dermatomiositis sering
memiliki gambaran klinis yang menyerupai SLE. Pada fase-fase awal penyakit cukup sulit
membedakan gangguan-gangguan tersebut dari SLE . Pasien-pasien dengan RA dan SLE
sama-sama dapat mengalami artritis inflamatorik bilateral dengan predileksi pergelangan
tangan dan sendi-sendi kecil tangan. Kadar ANA dan faktor reumatoid (RF/Rheumatoid
Factor) dapat meningkat pada kedua gangguan tersebut, dengan ACPA menunjukkan RA
dan anti-dsDNA/anti-Sm menunjukkan SLE. Ruam-ruam eritematosa pada dermatomiositis
dan pada SLE dapat tampak identik secara klinis dan histopatologis. Penggalian riwayat
pasien dengan seksama dan uji serologis pendukung dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis dengan benar. Dokter juga harus mempertimbangkan kemungkinan Mixed
Connective Tissue Disease (MCTD) ketika mengevaluasi pasien untuk kemungkinan SLE.
MCTD adalah suatu sindrom yang ditandai dengan titer antibodi anti-RNP yang tinggi
bersamaan dengan gambaran klinis yang mirip dengan SLE, skleroderma, dan/atau
145
polimiositis. Pasien sering terlihat dengan tangan yang bengkak disertai fenomena Raynaud
(Dall‟era & Wofsy, 2017).
Pemeriksaan yang seksama terhadap kemungkinan lupus yang dipicu obat-obatan
(drug-induced lupus) harus dilakukan pada setiap pasien baru yang diduga SLE. Hal ini
penting dilakukan terutama pada orang tua yang memiliki sindrom menyerupai lupus.
Artralgia, mialgia, demam, dan serositis menjadi manifestasi yang umum terjadi. Berbagai
macam obat telah terbukti berhubungan dengan lupus, antara lain minosiklin, prokainamid,
hidralazin, isoniazid, inhibitor IFN-α, dan inhibitor TNF. Hidroklorothiazid dikaitkan dengan
Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE). Semua obat tersebut dapat menyebabkan
ANA positif. Minosiklin dan inhibitor TNF dapat menyebabkan antibodi anti-dsDNA positif.
Antibodi anti-histone terdapat pada lebih dari 95% kasus lupus yang diinduksi obat, dengan
pengecualian pada kasus-kasus yang disebabkan oleh minosiklin. Namun, antibodi anti-
histon tidak dapat digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis drug-induced lupus karena
hingga 80% pasien kasus SLE idiopatik juga dapat memiliki antibodi anti-histon (Dall‟era &
Wofsy, 2017).
146
BAB 5
TATA LAKSANA SLE
Tata laksana SLE telah menunjukkan perbaikan sejak beberapa dekade yang lalu
sehingga meningkatkan harapan hidup, namun demikian pasien SLE masih mempunyai risiko
kematian dua kali lipat dibandingkan populasi normal. Tujuan utama tata laksana SLE adalah
mengendalikan aktivitas penyakit dengan meminimalkan kerusakan organ serta efek samping
obat-obatan. Tata laksana SLE sangat bervariasi, oleh karena itu sedikit sekali konsensus atau
studi tentang penilaian konsep remisi atau aktivitas penyakit yang rendah dan petunjuk
bagaimana peratawan SLE jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan tata laksana kurang
optimal, karena pendekatan terapi dilakukan secara personal. Dalam menjalankan tata
laksana SLE, diagnosis awal amat sangat penting. Pada tahun 1980, rata-rata pasien
terdiagnosis membutuhkan waktu 50 bulan sejak penyakit timbul, namun sejak tahun 2000
waktu yang dibutuhkan lebih pendek, yaitu sekitar 6-25 bulan sejak adanya pemeriksaan
ANA untuk diagnosis awal SLE. Jeda waktu ini tidak pasti karena abnormalitas SLE terjadi
10 tahun sebelum manifestasi klinik muncul (Doria, 2010). Selain itu dalam menginterpretasi
data autoantibodi seringkali klinisi hanya mengandalkan ditemukannya autoantibodi spesifik
misalnya dsDNA, padahal dsDNA bisa ditemukan infeksi, keganasan, dan penyakit autoimun
lainnya. Adanya perbedaan teknik laboratorium juga akan memengaruhi deteksi autoantibodi
dan hal ini seringkali diabaikan (Gatto, 2019).
Diagnosis dini mempermudah klinis dalam merawat SLE, serta dapat mengurangi
kerusakan organ dan angka kekambuhan sangat rendah apabila pasien dapat di diagnosis
secara dini. Dekade terakhir, banyak upaya penelitian mencari biomarker aktivitas penyakit
dengan mendeteksi kadar sitokin proinflamasi antara lain IL-5, IL-6, IFN gamma, dan alpha.
STRATEGI PENCEGAHAN
Konsep pencagahan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu berdasarkan
penyakit sitemik autoimun yang bersifat kronik dan progresif dengan angka kematian yang
sangat tinggi, untuk itu diperlukan diagnosis dan terapi yang tepat supaya dengan cepat
mengendalikan aktivitas penyakit. Apabila aktivitas penyakit sudah terkendali, maka dapat
mencegah pasien kambuh, mengingat perjalanan penyakit SLE bersifat relap (kambuh) dan
remisi. Pasien SLE yang tidak respons dengan terapi konvensional sesegera mungkin
147
melakukan tindakan terapi yang lebih baik atau lebih mendekati patofisiologi dengan
menggunakan biologic agent yang disebut treat to target. Tindakan ini dilakukan pada pasien
yang menderita SLE untuk dilakukan pencegahan primer, yaitu tindakan diagnosis yang
tepat. Pada pasien yang sudah terdiagnosis SLE dilakukan pencegahan supaya tidak kambuh
(secondary prevention) dan mencegah progresivitas penyakit (tertiary prevention) selain
tindakan pencegahan maka juga dianjurkan melakukan perawatan komorbid (Gatto, 2019).
global improvement mungkin karena diagnosis dibuat lebih awal. Selain itu, pada fase awal
pasien lebih dini mendapatkan mycophenolate mofetil (MMF), antimalarial, dan biologic
treatment. Tindakan ini dapat menunda perburukan fungsi ginjal (Gatto, 2019). Penetapan
remisi masih belum ada guideline yang tetap, beberapa peneliti menetapkan remisi
berdasarkan kebutuhan dosis prednisone sekitar ≤5 yang menyatakan SLE mencapai T2T,
yaitu mencapai remisi secara klinik dan prednison yang digunakan sekecil mungkin low
disease activity. Dalam upaya untuk mencapai hasil yang baik setelah 2 tahun dengan
monitoring. Low diseases activity merupakan konsep klinik primer dalam merawat lupus.
Skor SLEDAI tidak bisa menilai aktivitas penyakit secara komplit tetapi SLEDAI hanya bisa
membedakan ringan dan beratnya lupus berdasarkan organ yang terserang demikian juga
dengan SLEDAI -2K. PGA threshold berbeda dengan definisi remisi pasien dengan aktif
lupus nefritis maka target terapi adalah proteinuria ≤0.7 g/hari dan pengobatan harus dimulai
pada 2-5 bulan sejak munculnya penyakit. Cara tata laksana dengan pendekatan T2T, dalam
merawat pasien SLE yang terpenting adalah konsep „right the first time‟ dengan memberikan
pengobatan yang adekuat, bila remisi didapat sejak awal maka klinisi akan mendapatkan hasil
yang baik dalam waktu jangka panjang (Gatto, 2019). Pada gambar berikut ini lebih jelasnya
untuk langkah pencegahan primer, sekunder, dan tertier.
149
Treat-to-Target Approach
Pada Rheumatoid Artritis (RA) target terapi adalah remisi atau disebut low diseases
activity. Pada SLE, sampai sekarang protokol atau parameter low diseases activity masih
dalam taraf validasi (Golder et al., 2016; van Vollenhoven et al., 2017; Polachek et al., 2017;
Franklyn, 2016; Zen et al., 2017). Remisi disebut komplit remisi bila tidak ada gejala klinik
maupun laboratorium, SLE quiescent (tenang) ditandai dengan secara klinik tenang namun
secara laboratorium masih belum remisi. Dengan menggunakan kriteria remisi diharapkan
akan memperbaiki pengetahuan dan tata laksana penyakit. Kriteria remisi pada SLE bila
pasien mendapatkan remisi secara klinik dan mendapat minimal dosis kortikosteroid atau
tidak perlu kortikosteroid sama sekali (Gatto 2018).
Low disease activity (LDA). Konsep penggunaan istilah low diseases activity yang
merupakan target terapi pada SLE. Penyakit SLE ditandai dengan fase remitting-relapsing.
Namun, hanya sedikit pasien yang bisa memiliki periode tenang (quiescence) yang lama.
150
Inflamasi persisten yang luas menyebabkan kerusakan organ yang reversibel, yang terkait
dengan penurunan kualitas hidup dan meningkatnya mortalitas (Gatto, 2018). Tata laksana
SLE yang utama ditujukan untuk mengurangi inflamasi sistemik dalam hal ini untuk
mencapai LDA. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan (Gatto, 2018):
1) diagnosis awal secara cepat dan tepat;
2) penilaian yang akurat tentang aktivitas penyakit secara klinis dan laboratorium
sampai saat ini belum ada pedomannya;
3) penggolongan pasien sesuai dengan tingkat keparahan keterlibatan organ;
4) penggunaan obat yang aman dan efektif untuk mencapai remisi dengan cepat dan
mencegah flare, serta kerusakan organ yang permanen; dan
5) pencegahan dan penatalaksanaan komorbiditas terkait efek samping obat.
mengendalikan aktivitas imunologis dan untuk menghentikan kerusakan jaringan lebih lanjut,
lalu diikuti dengan periode pemeliharaan untuk mencapai remisi dan mencegah flare
(Bertsias, 2017).
Pasien SLE seringkali mengalami penurunan kualitas hidup, yang mana terkait
dengan aktivitas penyakit dan kerusakan organ. Pasien sering kali mengalami kelemahan
badan, fibromialgia, depresi, dan disfungsi kognitif. Dokter yang merawat harus secara
teratur mengidentifikasi masalah-masalah tersebut dan memberikan terapi definitif maupun
simptomatis sesuai indikasi. Munculnya banyak komorbiditas terkait penyakit maupun
pengobatan telah mendorong klinisi untuk memberikan terapi tambahan dan strategi
pencegahan primer seperti upaya perlindungan terhadap ginjal dan pengurangan risiko
penyakit kardiovaskular (Bertsias, 2017).
FARMAKOTERAPI SLE
Glukokortikoid (GC)
Sintesis glukokortikoid endogen atau Steroidogenesis terjadi di korteks adrenal
menghasilkan, mineralokortikoid (MC), dan androgen adrenal. Kortisol (hidrokortison)
adalah GC endogen manusia utama dan disekresikan terutama sebagai respons terhadap
hormon adrenokortikotropik (ACTH). Sekresi mengikuti ritme sirkadian yang mencapai
konsentrasi plasma maksimum pada 8 A.M (16 μg/dL) rangsangan aksis hipotalamus-
hipofisis-adrenal (HPA) dapat meningkatkan sintesis hingga lebih dari 60 μg/dL.
Kemampuan suatu organisme untuk mempertahankan kadar GC yang tepat sebelum dan
selama stres sangat penting untuk kelangsungan hidupnya (Kirou & Boumpas, 2007).
GC sintetis mempunyai kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan GC endogen
dan pada umumnya efek mineralokortikoid lebih rendah daripada kortisol. Pengembangan
glukokortikoid liposom lebih stabil berada di jaringan yang mengalami inflamasi. Bentuk GC
liposom mudah difagositosis oleh makrofag, sehingga bentuk GC liposom lebih efektif
dibandingkang dengan GC yang konvensional (Metselaar et al., 2004). Dosis tunggal
liposomal GC dapat menghambat artritis kolagen tipe II selama 10 hari GC sintetis dengan
cara menghambat pemisahan protein aktivator-1 (AP1) dan faktor transkripsi faktor nuklir κB
(NF-κB) maka GC sebagai (anti-inflamasi) (Kirou & Boumpas, 2007).
Efek glukokortikoid terutama melalui reseptor GC spesifik (GR). GR adalah protein
sitoplasma sebagai regulator transkripsional yang diaktifkan hormon Hydrocortisone dan
beberapa GC lainnya juga mampu mengikat reseptor mineralokortikoid (MR) dengan afinitas
yang lebih tinggi daripada mengikat GR yang menimbulkan efek seperti aldosterone
152
(Paliogianni & Boumpas, 2000; Schimmer & Parker, 1996). Perkembangan terbaru dari studi
tikus transgenik yang buat menjadi homodimerization deficient GR (GRdim/dim). Hal ini
mampu menjawab hipotesis bahwa efek anti-inflamasi dari GC terutama dimediasi oleh
transrepresi, sedangkan efek samping oleh transaktivasi. Dalam tikus-tikus ini GR tidak dapat
membentuk dimer dan karenanya tidak dapat memiliki efek yang dimediasi GRE (Kirou &
Boumpas, 2007).
Efek biologis dari GC beragam, memengaruhi semua jaringan, dan sangat penting
untuk homeostasis tubuh selama kondisi normal atau stres. Meskipun dalam kedokteran
klinis GC digunakan untuk menekan inflamasi respons imun patologis. Semakin banyak
penelitian yang "secara paradoks" mengaitkan efek peningkatan kekebalan tubuh dengan
agen-agen ini. Tampaknya GC endogen memiliki peran regulasi keseluruhan yang penting
dalam memodulasi respons imun (Wilckens, 1995; Wiegers et al, 1995; Buttgereit et al.,
1999). Sebagai contoh, GC di satu sisi bertindak permisif untuk membantu respons kekebalan
berkembang secara memadai dan tepat waktu untuk melawan organisme yang menyerang. Di
sisi lain, bertindak secara supresif untuk menahan "overshoot" yang berpotensi merusak dari
respons yang sama (Kirou & Boumpas, 2007).
Parameter yang menentukan efek imun GC mencakup terutama kadar serum dan
waktu paparan. Tingkat yang lebih tinggi (farmakologis) seperti yang terjadi setelah inisiasi
stres pada umumnya imunosupresif, sedangkan kadar fisiologis GC yang lebih rendah yang
muncul sebelum inisiasi stres dapat meningkatkan respons imun. Khususnya, stres akut (atau
paparan singkat terhadap GC) meningkatkan respons imun, sedangkan paparan kronis
153
terhadap stres atau GC memiliki efek sebaliknya (Kirou & Boumpas, 2007).
GC terapi utama pada SLE digunakan sejak 60 tahun yang lalu. Pada umumnya
digunakan pada lupus yang berat misalnya lupus nefritis, NPSLE, carditis, effusion pleura
masif, hepatitis autoimun atau SLE yang mengancam jiwa. Selama ini dosis yang digunakan
belum ada acuan yang pasti. Belum ada penelitian random control trial tentang dosis
glukokortikoid yang dipakai pada lupus berat. Pada lupus nefritis, fase induksi dengan
menggunakan dosis steroid minimal meskipun fase induksi maupun fase maintenenance
sama sama baiknya. Pada studi RCT antara dosis 3gr per hari dibandingkan 20 mg per hari
didapatkan hasil bahwa dengan menggunakan dosis steroid yang rendah diperoleh hasil yang
lebih bagus pada akhir pemantauan. Dosis rendah dilaporkan lebih aman pada trial RCT
RITUXILUP (Trial of Rituximab and Mycophenolate Mofetil Without Oral Steroids for
Lupus Nephritis). Treatment induksi terdiri dari rituximab 1 gr and intravenous
methylprednisolone 500 mg selama 4 hari dilanjutkan dengan MMF tetapi tanpa
kortikosteroid. Hasilnya, 52% pasien mencapai complete remission dan 34% pasien mencapai
partial remisi renal dalam waktu satu tahun. Pada evaluasi tahun ke 5 lebih dari 80% pasien
masih dalam posisi remisi (complete or partial) dan 77% masih tidak menggunakan
kortikosteroid (Pepper, 2009; Porter, 2014; Gatto 2018).
Steroid dosis rendah sama efektif seperti dosis besar steroid ≥ 30 mg/hari untuk terapi
SLE dengan non renal manifesatasi (Ruiz-Arruza et al., 2015). Studi tersebut menganjurkan
penggunaan steroid serendah mungkin yang masih dapat mengontrol aktivitas penyakit, dan
tiap bulan dievaluasi dosisnya. Hal yang sangat penting dalam terapi steroid adalah klinisi
harus tahu betul bahwa tipe SLE pada pasien adalah relapsing–remitting disease yang
membutuhkan perawatan jangka panjang dan membutuhkan dosis prednisone ≥5 mg/hari
atau dosis ekuivalen dan progresif. Untuk mencapai remisi biasanya hanya membutuhkan
glukokortikoid dosis tunggal (Gatto, 2018).
Glukokortikoid dipandang efektif dalam mengontrol manifestasi SLE akut karena
glukokortikoid dapat memberikan efek inhibisi pada respons imun yang dimediasi oleh sel T
dan sel inflamasi lainnya, juga menginhibisi fungsi efektor monosit dan neutrofil. Secara
umum, glukokortikoid dosis rendah (ekuivalen prednison ≤7,5 mg per hari) diberikan apabila
pasien SLE tidak toleran atau tidak merespons terhadap pemberian anti-malaria. Pada kasus
sedang dan berat, glukokortikoid biasanya diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi
bersama imunosupresan, dengan dosis tunggal 0,5-1 mg/kgBB ekuivalen Predison pagi hari.
Apabila dikombinasi dengan imunosupresan, dosis glukokortikoid yang diberikan sebisa
154
mungkin jangan melebihi 0,5-0,6 mg/kgBB ekuivalen prednison, mengingat efek toksisitas
dan risiko infeksi. Dosis glukokortikoid mulai diturunkan secara bertahap (tapering off)
setelah 4-6 minggu terapi hingga mencapai dosis rumatan 0,125-0,25 mg/kgBB/hari selama
2-3 bulan. Kombinasi imunosupresan juga dapat membantu tapering off dan mengurangi efek
samping penggunaan glukokortikoid secara berlebihan (Bertsias, 2017).
Glukokortikoid pulse-dose dapat diberikan pada kasus SLE berat dengan progresivitas
penyakit yang cepat atau pada kasus berat yang memerlukan dosis > 0,6 mg/kgBB ekuivalen
prednison untuk mengontrol aktivitas penyakit. Sediaan yang sering digunakan, yaitu
metilprednisolon (MP) 500-1.000 mg/hari selama 1-3 hari secara intravena untuk
mempercepat remisi, setelah itu dosis diturunkan 1 mg/kg/BB selama 4-6 minggu setelahnya
diturunkan 8 mg/minggu sampai mencapai dosis maintenance 4 mg/hari. Sebaiknya diberikan
dosis tunggal supaya tidak menggganggu circardian ritme (Bertsias, 2017). Algoritma
pemberian glukokortikoid pada SLE sesuai dengan berat ringannya aktivitas penyakit dapat
dilihat pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3 Algoritma penggunaan terapi kortikosteroid pada SLE (Fanouriakis & Bertsias,
2019).
Dosis steroid mulai dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol karena berpotensi
155
menimbulkan efek samping. Tapering harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
kembalinya aktivitas penyakit, dan defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) kronis. Tapering secara bertahap memberikan
pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit,
dosis dan lama terapi, serta respons klinis (Kirou & Boumpas, 2007).
Glukokortikoid dapat menyebabkan efek samping seperti gangguan mood, akne,
mialgia, infeksi, gangguan metabolik, osteoporosis, avascular bone necrosis, katarak, dan
penyakit kardiovaskular (Gladman et al., 2003). Meskipun efek samping tersebut dapat saling
tumpang tindih dengan kerusakan organ akibat SLE, gangguan akibat efek samping
glukokortikoid masih bisa dibedakan. Paparan glukokortikoid jangka panjang dengan dosis
ekuivalen prednison lebih dari 6-7,5 mg per hari dapat meningkatkan risiko osteoporosis.
Maka dari itu, pemberian glukortikoid harus disesuaikan dengan kondisi umum pasien dan
aktivitas penyakit yang berlangsung (Thamer, 2009; Ruiz-Arruza, 2014; Bertsias, 2017).
dilakukan untuk mencegah efek samping obat anti-malaria, terutama klorokuin dan
hidroksiklorokuin (Gatto, 2018). Selain itu, sering berjalannya waktu, obat anti-malaria
digunakan sebagai terapi ajuvan dalam mempercepat tercapainya remisi. Penggunaan anti-
malaria sebagai ajuvan dapat mengurangi aktivitas penyakit dan flare. Hidroksiklorokuin
ditoleransi baik oleh tubuh dengan efek samping kulit dan gastrointestinal ringan. Toksisitas
pada retina tidak umum terjadi (diperkirakan pada 0,1% pasien yang menjalani pengobatan
dengan hidroksiklorokuin >10 tahun), namun pemeriksaan oftalmologi tetap perlu dilakukan
rutin setiap tahun terutama untuk pasien yang mendapatkan dosis >6,5 mg/kg (Bertsias,
2017).
2. Obat Imunosupresan
a. Methotrexate
Methotrexate (MTX) digunakan sebagai pengobatan pengganti steroid pada
SLE ringan hingga sedang, khususnya untuk manifestasi sendi dan kulit SLE.
MTX diberikan sekali seminggu baik secara oral maupun parenteral.
Pemberian asam folat 1-2 mg/hari secara bersamaan MTX direkomendasikan
untuk meminimalisasi toksisitas (Tabel 5.1) (Bertsias, 2017).
b. Leflunomide
Leflunomide telah digunakan pada pasien SLE dengan aktivitas penyakit
ringan hingga sedang, serta pada lupus nefritis (LN) yang sulit disembuhkan
atau tidak toleran terhadap terapi imunosupresif standar. Obat ini memiliki
paruh waktu eliminasi sekitar 14-18 hari dan dikontraindikasikan pada pasien
yang sedang hamil atau yang merencanakan kehamilan karena
teratogenisitasnya. Mengingat waktu paruh yang panjang, seorang pasien
perempuan yang pernah menggunakan leflunomide harus diperiksa kadar
luflunamide dalam serumnya sebelum merencanakan program kehamilan
(Bertsias, 2017).
157
Cyclosporin A 100-400 mg/hari terbagi Hindari apabila ada Gangguan fungsi DL, Cr, Asam Urat, Cr setiap 2 minggu ingga
dalam 2 dosis diminum gangguan fungsi ginjal ginjal, anemia, AST/ALT, Alb, ALP, tercapai dosis stabil, lalu
pada jam yang sama hipertensi tekanan darah dilanjut setiap bulan; DL,
bersamaan atau setelah kalium, AST/ALT, Alb, dan
makan ALP setiap 1-3 bulan; kadar
obat dalam serum bila
pemberian >3 mg/kg/hari
Tacrolimus 1-4 mg/hari terbagi dalam 2 Hati-hati apabila terdapat Gangguan fungsi Cr, kalium, AST/ALT, Pemeriksaan lab dilakukan
dosis diminum pada jam gangguan hati atau ginjal ginjal, neurotoksik, gula darah, tekanan setiap minggu selama 3-4
yang sama setiap hari keganasan, infeksi, darah minggu, lalu dilanjut 1-3
hiperkalemia bulan
Leflunomide 100 mg/hari dosis tunggal Hindari pada gangguan Mielosupresi, DL, Cr, AST/ALT, DL, AST/ALT, Alb, dan ALP
selama 3 hari, dilanjutkan fungsi hati (serum Bil 3,1- hepatotoksik, Alb, ALP setiap bulan selama 6 bulan,
10-20 mg/hari 5 mg/dL or transaminase fetotoksik lalu setiap 3 bulan;
>3x batas atas) Evaluasi setiap bulan apabila
dikombinasi MTX
Rituximab† 1000 mg pada hari pertama - Reaktifasi HBV DL, Cr, AST/ALT, DL termasuk trombosit
dan ke-15 (jarang) serologi HBV (pasien
risiko tinggi), TST
159
Obat-obat yang dipakai untuk imunosupresif dalam merawat SLE antara lain
alkylating agents (cyclophosphamide), inosine monophosphate dehydrogenase
(IMPDH), inhibitors (MMF and mycophenolic acid), selective inhibitors of
purine and/or pyrimidine synthesis (azathioprine dan methotrexate), dan
calcineurin inhibitors (cyclosporine dan tacrolimus) (Pego-Reigosa et al.,
2013). Meskipun obat-obatan ini tidak mempunyai target molekul yang
spesifik. Limfosit, termasuk sel plasma merupakan sel yang banyak terlibat
pada SLE, sel ini sangat proliferatif dan metabolismenya tinggi (Allison &
Eugui, 1996). Pada umumnya anjuran penggunaan imunosupresan adalah
tunggal (Bertsias et al., 2008; Bertsias et al., 2012). Dari beberapa studi mulai
meneliti terapi kombinasi imunosupresan misal calcineurin dan MMF
khususnya pada kasus lupus nefritis. Kombinasi yang memberikan hasil yang
baik, yaitu tacrolimus dan MMF dibandingkan dengan yang mendapat terapi
siklofosfamid. Studi tersebut menyimpulkan bahwa efek samping lebih
minimal dibandingkan dengan terapi tunggal. Efek samping umumnya
leukopenia, gangguan fungsi hati namun pada fase induksi lebih banyak yang
mengalami efek samping yang serius misalnya infeksi berat, herpes zooter
(Zhang et al., 2017; Chen et al., 2012; Gatto, 2018).
Efektivitas calneurin inhibitor dengan dosis rendah atau tinggi yang
dikombinasi MMF. Angka pencapaian remisi lebih tinggi pada kelompok
dosis tinggi dibandingkan dengan kelompok MMF saja. Efek sinergi
calceneurin inhibitor dan MMF pada lupus nefritis didapatkan bahwa beberapa
ekspresi gen proinflamatori tidak terekspresi dengan terapi kombinasi
dibandingkan pemberian tunggal. Namun hal ini perlu data dukung yang lebih
banyak lagi untuk bisa digunakan sebagai panduan terapi di klinik (Gatto,
2018).
c. Siklofosfamid (CYC)
Siklofosfamid (Cyclophosphamide/CYC) adalah alkylating agent yang
berfungsi mengurangi jumlah limfosit dan mengurangi produksi autoantibodi
lupus (Tabel 5.2). Pemberian CYC parenteral dapat menghasilkan konsentrasi
plasma yang cepat, dengan waktu paruh serum sekitar 6 jam. CYC
dimetabolisme menjadi berbagai metabolit aktif oleh sitokrom P450 di hati
atau jaringan lain. Tidak dianjurkan pemberian secara oral. Obat-obatan yang
160
Uji klinis yang dilakukan National Institutes of Health (NIH) menunjukkan bahwa
pemberian CYC parenteral 0,5-1 gram per luas tubuh memiliki efikasi yang setara dengan
rejimen oral namun dengan toksisitas yang lebih rendah. Oleh sebab itu, penggunaan CYC
intravena dalam praktik klinis lebih dominan daripada penggunaan sediaan oral (Tabel 5.3).
Mielotoksisitas yang masih reversibel sering terjadi pada pemberian CYC dan bergantung
dengan dosis yang diberikan. Setelah pemberian pulse-dose CYC, jumlah limfosit pasien
akan mencapai titik terendah pada hari ke-7 hingga ke-10. Sedangkan jumlah granulosit akan
mencapai titik terendah pada hari ke-10 hingga ke-14. Dosis harus selalu disesuaikan untuk
menjaga agar jumlah sel darah putih pasien masih lebih tinggi dari 3000 sel/mm 3. Kondisi
granulositopenia biasanya akan menjadi normal kembali setelah 21-28 hari. Trombositopenia
jarang terjadi pada monoterapi CYC. Rasa mual dan alopesia reversibel sering terjadi pada
pemberian CYC. Sedangkan infeksi (terutama herpes zoster), toksisitas gonad, dan keganasan
lebih jarang terjadi walaupun efek sampingnya jauh lebih serius. Cyklophospamid diberikan
pada lupus yang berat dan tidak ada panduan resmi berapa kali diberikan kecuali pada ginjal
dengan manifestasi lupus nefritis yang berat dapat diberikan CYC per bulan sampai tujuh
161
bulan dan diberikan kembali per tiga bulan sekali sebanyak 3 kali. Untuk lupus yang berat
misalnya NPSLE, tranverse myelitis dapat diberikan hanya sampai 3-4 bulan saja bila tidak
respons maka dianjurkan pemakaian biologic agent (Bertsias, 2017).
Tabel 5.3 Protokol pemberian dan pengawasan siklofosfamid oleh National Institutes of
Health.
1. Estimasi GFR dengan metode standar (Cockcroft-Gault atau Formula Modifikasi Diet untuk Penyakit
Ginjal) (Modification of Diet in Renal Disease formula)
2. Menghitung luas permukaan tubuh (m2): LPT = ✓ [Tinggi (cm) × Berat (kg) / 3600]
3. Pemberian dosis Siklofosfamid :
Dosis awal 0,75 g/m2 (0,5 g/m2 jika GFR < sepertiga nilai normal)
Berikan Siklofosfamid dalam 150 mL NS selama 30-60 menit secara intravena
Periksa leukosit pada hari ke 10 dan 14 setelah pulse-dose siklofosfamid
Sesuaikan dosis Siklofosfamid berikutnya ke dosis maksimum 1g/m2 untuk menjaga jumlah terendah
leukosit> 1500 / mm3. Jika leukosit turun <1500 / mm3, turunkan dosis berikutnya sebesar 25%.
4. Ulangi pulse Siklofosfamid intravena setiap bulan selama 6 bulan (total 7 pulse), kemudian setiap 3
bulan selama 1 tahun setelah tercapai remisi (sedimen urine tidak aktif, proteinuria <1 g/hari, kadar normal
komplemen dan anti-dsDNA, dan aktivitas lupus ekstrarenal yang minimal atau tidak ada)
5. Mencegah sistitis hemoragik yang disebabkan Siklofosfamid
Diuresis menggunakan D5 ¼NS (2L dengan kecepatan 250 mL / jam). Teruskan pemberian cairan per
oral selama 24 jam. Pertimbangkan rawat inap jika pasien tidak dapat mempertahankan asupan cairan
yang memadai.
Pertimbangkan pemberian Mesna per oral atau parenteral pada jam ke-0, 2, 4, dan 6 setelah pemberian
Siklofosfamid. Setiap dosis Mesna diberikan sebanyak 20% dari total dosis Siklofosfamid. Mesna
sangat penting untuk digunakan ketika diuresis berkelanjutan mungkin sulit untuk dicapai atau jika
pulse Siklofosfamid diberikan secara poliklinis.
Apabila diuresis sulit tercapai karena gangguan ginjal (misalnya, sindrom nefrotik parah) atau
gangguan berkemih (misalnya, neurogenic bladder), pasang three-way Folley catheter irigasi
kandung kemih dengan antibiotic irrigating solution astandar atau NS selama 24 jam untuk
meminimalisasi risiko sistitis hemoragik.
6. Antiemetik (umumnya per oral)
Dexamethasone 10 mg single dose, dan
Serotonin receptor antagonists: Granisetron 1 mg 2 kali sehari (umumnya bersamaan dengan pulse
Siklofosfamid) atau Ondansetron 8 mg 3 kali sehari selama 1-2 hari
7. Pantau keseimbangan cairan selama hidrasi. Gunakan diuresis jika pasien mengalami akumulasi cairan.
8. Komplikasi pulse Siklofosfamid
Mual dan muntah (efek sentral) sebagian besar dikendalikan oleh antagonis reseptor serotonin
Rambut rontok sementara (jarang parah pada dosis CYC ≤1g / m2)
Efek lain yang dapat terjadi: infeksi oportunistik jika leukopenia tidak terkontrol dengan baik, infeksi
herpes zoster (risiko penularan sangat rendah), infertilitas (pria dan wanita), amenore (bergantung
lama pengobatan dan dosis kumulatif). Pada wanita yang berisiko tinggi terhadap amenore persisten,
pertimbangkan untuk menggunakan leuprolide 3,75mg secara subkutan 2 minggu sebelum setiap
dosis Siklofosfamid
(Sumber: Bertsias, 2017)
162
Anti-Metabolit
1. Azathioprine
Azathioprine (AZA) bekerja dengan cara menghambat konversi basa purin seperti
inosin menjadi ribonukleotida adenin dan guanin. AZA (2-2,5 mg/kg/hari) tergolong
aman untuk dikonsumsi jangka panjang tanpa meningkatan risiko infeksi yang
signifikan, namun memiliki risiko terjadinya malignansi. Keluhan gastrointestinal sering
terjadi dan sering menyebabkan 15-30% kasus putus obat dalam waktu 6 bulan.
Peningkatan ringan dari enzim hati dapat terjadi, tetapi jarang hingga terjadi disfungsi
hati. AZA juga memiliki efek depresi sumsum tulang yang reversibel dan bergantung
terhadap dosis yang diberikan. Leukopenia dijumpai pada 4,5% kasus dan
trombositopenia pada 2% kasus (lihat Tabel 5.1). Toksisitas AZA dikaitkan dengan
polimorfisme genetik yang mengakibatkan penurunan aktivitas tiopurin metiltransferase
(TPMT) dan gangguan kemampuan untuk mendetoksifikasi metabolit (44). Penggunaan
alopurinol secara bersamaan dengan AZA harus diwaspadai dan dihindari karena
alopurinol dapat menghambat xanthine oksidase (enzim yang memetabolisme AZA)
sehingga dapat meningkatkan toksisitas (Bertsias, 2017).
Pasien dengan manifestasi klinis seperti lupus nefritis tipe proliferatif ringan,
trombositopenia dengan kisaran 20.000-50.000 sel/mm3, dan serositis dapat merespons
AZA dengan baik dan biasanya mendapat kombinasi dengan glukokortikoid dosis sedang
hingga tinggi (lihat Tabel 5.2). AZA hanya dapat digunakan pada lupus nefritis ringan
atau pada pasien yang sangat tidak dapat menoleransi CYC atau Mycophenolate Mofetil
(MMF). AZA juga telah digunakan dalam kombinasi dengan GC pada nefropati lupus
membranosa murni, meskipun sekitar satu dari tiga pasien mungkin mengalami
kekambuhan selama masa follow-up (Bertsias, 2017).
2. Mikofenolat Mofetil
Mikofenolat mofetil adalah prodrug dari asam mikofenolat. Asam mikofenolat
merupakan suatu inhibitor kuat inosin monofosfat dehidrogenase yang sangat diperlukan
untuk sintesis de novo nukleotida guanosin. Mikofenolat mofetil diberikan secara oral
baik sebagai mikofenolat mofetil (MMF) atau sebagai natrium mikofenolat salut enterik.
Dosis natrium mikofenolat salut enterik, yaitu 720 mg yang kurang lebih setara dengan 1
gram dosis MMF. MMF bekerja secara selektif pada limfosit yang sudah tidak dapat lagi
melakukan sintesis nukleotida melalui jalur mitosis. MMF memiliki bioavailabilitas oral
yang sangat baik, dengan kadar puncak terjadi dalam 1-2 jam setelah konsumsi dan
memiliki waktu paruh 17 jam. Antasida dan kolestiramin dapat mengurangi
163
bioavailabilitas MMF, dan pemberian bersama dengan AZA harus dihindari. MMF
bersifat teratogenik dan tidak boleh diberikan selama kehamilan (Bertsias, 2017).
Inhibitor Kalsineurin
1. Siklosporin A
Siklosporin A (CsA) adalah senyawa hasil biositesis jamur Tolypocladium inflatum yang
berfungsi sebagai inhibitor kalsineurin hingga menonaktifkan sel T dan mengurangi produksi
sel B lupus serta menghambat kerja sel B dalam presentasi antigen. Konsentrasi serum
puncak terjadi dalam 1 hingga 8 jam setelah konsumsi oral. Konsentrasi obat dalam darah
tidak perlu dievaluasi kecuali pada pemberian 3 mg/kg/hari. Respons klinis mulai muncul
sekitar 1-2 bulan setelah memulai pengobatan. Sejumlah obat dapat berinteraksi dengan CsA
dan menyebabkan berkurangnya konsentrasi CsA seperti rifampisin, fenitoin, fenobarbital,
dan nafcillin. Beberapa obat juga dapat menyebabkan turunnya konsentrasi CsA seperti
eritromisin, klaritromisin, golongan azol, calcium channel, amiodaron, alopurinol, dan
kolkisin. Obat lain dapat menambah efek nefrotoksik CsA seperti NSAID, aminoglikosida,
kuinolon, ACE inhibitor, dan amfoterisin B. Efek samping yang paling sering termasuk
keluhan gastrointestinal, hirsutisme, hiperplasia gingiva, dan peningkatan kadar alkali
fosfatase serum. Tremor, parestesia, gangguan elektrolit (hiperkalemia dan hipomagnesemia),
dan hiperurisemia juga dapat terjadi. Hipertensi terjadi pada hampir 20% pasien yang
mendapatkan terapi CsA dan dapat dikendalikan dengan pengurangan dosis CsA atau
pengobatan anti-hipertensi. Efek samping yang signifikan adalah nefrotoksisitas, yang
reversibel setelah penyesuaian dosis atau penghentian obat. Dokter harus menghindari
penggunaan CsA pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (lihat Tabel 5.1) (Bertsias,
2017).
2. Takrolimus
Takrolimus (TAC) adalah inhibitor kalsineurin yang memiliki potensi 10-100 kali lebih
kuat daripada CsA. TAC memiliki nefrotoksisitas reversibel yang bergantung dosis dan dapat
meningkatkan tekanan darah, walaupun lebih jarang bila dibandingkan dengan CsA. Efek
samping lainnya, yaitu kardiomiopati pada anak-anak, kecemasan, kejang, delirium dan
tremor, diabetes, dan hiperlipidemia. Pada pasien dengan manifestasi SLE kulit dan
muskuloskeletal, TAC dengan dosis 1-3 mg/hari selama 1 tahun dapat menghasilkan
penurunan aktivitas penyakit yang signifikan (Bertsias, 2017).
164
1. Belimumab
B lymphocyte stimulator protein (BLyS), juga dikenal sebagai faktor aktivasi sel B, dan
proliferation-inducing ligand (APRIL) adalah growth factor yang penting untuk menjaga
kelangsungan hidup dan pematangan sel B. BLyS mengikat tiga reseptor sel B yang
berbeda, yaitu aktivator transmembrane activator and calcium-modulating cyclophilin
ligand interactor (TACI), B cell maturation antigen (BCMA), dan reseptor BAFF.
Sedangkan APRIL memberi sinyal melalui TACI dan BCMA (Vincent et al., 2014).
Belimumab adalah antibodi monoklonal anti-BLyS yang murni berasal dari antibodi
manusia. Pemberian Belimumab dapat mengurangi aktivitas penyakit SLE pada sistem
muskuloskeletal (radang sendi), sistem mukokutan (alopesia, borok, ruam malar), dan
sistem imun. Belimumab dapat bermanfaat untuk mengurangi risiko flare berat dan
memoderasi dosis GC. Belimumab pada umumnya ditoleransi dengan baik tanpa adanya
peningkatan risiko infeksi yang signifikan. Namun, reaksi alergi dapat ditemui terutama
selama tiga infusi Belimumab pertama. Belimumab dapat dipertimbangkan sebagai
165
pengobatan pasien dengan SLE non-renal/non-SSP aktif dengan kriteria pada Tabel 5.4
(Bertsias, 2017).
TERAPI LAIN
Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Intravenous immunoglobulin (IVIG) memberikan efek imunosupresif melalui
interaksi dengan antibodi anti-idiotipik, gangguan dengan komplemen dan sitokin, sitolisis
sel target, induksi apoptosis melalui reseptor Fc, dan modulasi molekul ko-stimulatorik
(Zandman-Goddard, 2009). IVIG (dosis 400 mg/kg dalam 5 hari berturut-turut yang
dilakukan setiap bulan selama 18 bulan) sama efektifnya dengan pulse CYC intravena (1
g/m2 setiap 2 bulan selama 6 bulan, kemudian setiap 3 bulan selama 1 tahun) sebagai terapi
pemeliharaan lupus nefritis proliferatif (Boletis et al., 1999). IVIG dapat menurunkan
aktivitas penyakit SLE dan meningkatkan kadar komplemen serum (Sakthiswary, 2014).
166
IVIG juga telah dilaporkan dapat mengurangi keparahan sitopenia, terutama trombositopenia
imun dan anemia hemolitik, proteinuria, radang sendi, demam, artralgia, perubahan suasana
hati, dan psikosis telah dilaporkan. Adverse event yang biasa terjadi, yaitu demam, mialgia,
nyeri kepala, dan artralgia. Sedangkan kejadian sampingan yang kurang umum antara lain
meningitis aseptik, nefropati pada pasien yang menerima sediaan yang mengandung sukrosa,
dan komplikasi tromboemboli pada pasien lanjut usia dengan faktor risiko aterosklerotik.
IVIG dikontraindikasikan pada pasien dengan defisiensi IgA berat (Bertsias, 2017).
167
BAB 6
Dari laporan data perspektif beberapa trial pengunaan obat biologis ternyata
efektivitasnya tidak seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan manifestasi yang sangat
beragam mekanisme patogenesis sangat luas, biomarker yang akurat dan desain percobaan
kinis yang kurang tepat. Manifestasi yang luas sehingga secara molekuler dan selulernya
memerlukan pendekatan personal dalam hal diagnostik, respons terapi, dan prognosis.
Lupus nefritis masih manifestasi yang mortalitasnya sangat tinggi pada diagnostik
klinis. Biasanya diperiksa antio dsDNA, komplemen, kreatinin, dan proteinuria. Hal ini tidak
cukup relevan dalam hal menilai fungsi ginjal dan kerusakan ginjal ini merupakan faktor
yang krusial. Dalam proses pathogenesis, kerusakan ginjal pada SLE terjadi lebih dulu dari
pada gangguan fungsi ginjal. Hal ini perlu marker untuk mendiagnosis patologis biomarker
antara lain beberapa sitokin, kemokin, adhesive molecule growth factor, miRNA, TWEAK,
MCP-1, IP10, CXCL 16, IL-6, IL-17, VCAM, TGF-β, dan mRNA.
Diagnosis awal dan tepat sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas SLE.
Penelitian terbaru untuk biomarker antara lain tipe II IFN untuk deteksi sebelum muncul SLE
yang selanjutnya pemeriksaan anti dsDNA dan IFN I. Studi ini mendukung konsep
patogenesis SLE yang gradual dan kronis dimulai dari gejala asimtomatik, gejala preklinikal
dan klinis yang full blown. Dengan mengetahui tahap-tahap ini diharapkan dapat
mendiagnosis lebih awal dan melakukan terapi awal sehingga dapat menurunkan angka
mortalitas dan biaya perawatan bila pasien datang dengan kondisi sudah lanjut.
European League Against Rheumatism (EULAR) dan ACR telah mengembangkan
rekomendasi yang mencakup aspek-aspek paling penting untuk diagnosis, manajemen, dan
pemantauan manifestasi SLE. Berikut akan dijelaskan tentang manajemen untuk manifestasi
mukokutan, sendi, ginjal, hematologi, dan neuropsikiatri pada pasien dengan SLE (Bertsias,
2017).
168
Gambar 6.1 Algoritma manajemen SLE dengan manifestasi kutaneus. (CI, Calcineurin inhibitors;
GC, glucocorticoids; HCQ, hydroxychloroquine; IV CYC, pulse intravenous
cyclophosphamide; MMF, mycophenolate mofetil; MTX, methotrexate.) (Berstias,
2017).
Pada artritis lupus ringan, terapi awal yang diberikan, yaitu anti-malaria. Pada
gangguan yang persisten atau agresif, penggunaan DMARDs dianjurkan, khususnya untuk
MTX. Sedangkan leflunomide sendiri lebih jarang digunakan dibanding MTX. Pasien yang
tidak merespons secara adekuat terhadap pemberian DMARDs dapat diberikan terapi dengan
Belimumab. RTX juga dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan artritis lupus berat atau
pada kasus SLE yang saling tumpang tindih dengan RA dan refrakter terhadap DMARDs
(Berstias, 2017).
170
2011) dosis pemeliharaan selama 3 tahun dapat menurunkan 50% kegagalan pengobatan
(didefinisikan sebagai kematian), penyakit ginjal stadium akhir, penggandaan konsentrasi
kreatinin serum, lupus nepritis flare superioritas mikofenolat mofetil terhadap azathioprine.
Namun, meta-analisis menemukan bahwa mikofenolat mofetil lebih unggul daripada
azathioprine dalam mencegah flare selama perawatan (Dorner & Furie, 2019).
Inhibitor Calcineurin menghambat respons imun yang diperantarai sel T dan
menstabilkan podosit, melindungi terhadap podocytopathy dan proteinuria. Efek samping dari
penghambat kalsineurin, yaitu peningkatan risiko infeksi, hirsutisme, hipertensi,
hiperlipidemia, dan hiperplasia gingiva. Inhibitor kalsineurin juga dapat digunakan untuk
terapi perawatan. Efek toksik akut inhibitor kalsineurin (misalnya, neurotoksisitas,
diabetogenisitas, dan nefrotoksisitas akut) biasanya dapat diminimalkan dengan memantau
dan menyesuaikan dosis obat. Nephrotoxicity inhibitor kalsineurin kronis (kehilangan
progresif dalam fungsi glomerulus dan tubular) lebih rendah dengan tacrolimus dibandingkan
dengan ciclosporin karena potensi vasokonstriktif yang lebih rendah dan potensi tacrolimus
yang bersifat vasokonstriktif lebih rendah. Namun, tidak ada bukti mengenai insiden
nefrotoksisitas inhibitor kalsineurin kronis pada lupus nefritis dan hubungannya dengan
paparan sistemik dan aktivitas SLE residual pada ginjal (Mok, 2017). Pedoman EULAR dan
ACR merekomendasikan azathioprine atau mikofenolat mofetil sebagai terapi setelah
induksi. RCT Italia membandingkan ciclosporin (2,5–3 mg/kg per hari) dengan azathioprine
(2 mg/kg per hari) untuk dosis pemeliharaan. Satu studi pada pasien Cina melaporkan
proporsi yang serupa dari pasien dengan flare ginjal antara tacrolimus (konsentrasi serum
target 4-6 ng/mL) dan azathioprine (2 mg/kg/hari) sebagai terapi pemeliharaan pada 70
pasien dengan lupus nefritis. Meta-analisis menunjukkan bahwa tacrolimus lebih efektif
dibandingkan siklofosfamid dalam mencapai induksi remisi lengkap pada lupus nefritis kelas
III dan IV (Dorner & Furie, 2019).
Kombinasi agen imunosupresif dengan mekanisme aksi yang berbeda-beda yang
bertujuan untuk mencapai sinergisme. Studi tersebut pertama mengevaluasi terapi multitarget
(tacrolimus 4 mg per hari ditambah mikofenolat mofetil 1 g per hari) dibandingkan
siklofosfamid pada 368 pasien dengan lupus nefritis untuk induksi (24 minggu). Respons
lengkap terjadi pada 46% pasien yang menggunakan terapi multitarget versus 26% pada
cyclophosphamide 0,5–1 g / m2 (p <0, 001) (Dorner & Furie, 2019).
172
Gambar 6.2. Algoritma terapi pada lupus nefritis sesuai subtipe (Dorner & Furie, 2019).
Strategi terapeutik untuk LN meliputi (1) fase induksi awal, yang bertujuan
menurunkan aktivitas penyakit secara signifikan (atau bahkan hingga mencapai remisi),
diikuti oleh (2) fase pemeliharaan, yang bertujuan untuk memaksimalkan efek terapi dan
menstabilkan respons terhadap terapi. Stratifikasi risiko dapat memudahkan identifikasi
pasien yang berisiko mengalami disfungsi ginjal, ESRD, atau keduanya, yang mungkin
mendapat manfaat dari terapi sitotoksik yang agresif (Tabel 6.1). Stratifikasi risiko dilakukan
berdasarkan patologi ginjal dan karakteristik demografi, klinis, dan laboratorium pasien.
Gambar 6.3 dan Tabel 6.2 merangkum rekomendasi perawatan untuk lupus nefritis (Bertsias
et al., 2012; Berstias, 2017).
173
Sedang Proteinuria yang tergolong dalam rentang nefrotik dengan fungsi ginjal normal.
Proteinuria yang tergolong dalam rentang nefrotik dengan gangguan fungsi ginjal (peningkatan
Berat
kadar kreatinin ≥30%)
(Sumber: Berstias, 2017)
Gambar 6.3 Rekomendasi terapi lupus nefritis proliferatif. Evaluasi dilakukan 3-4 bulan setelah
terapi dimulai. Induksi menggunakan pulse-dose MP intravena (1 g/pulse selama 3x),
diikuti dengan prednison oral (0,5-0,6 mg/kg untuk 4 minggu pertama selama induksi,
lalu tapering off (lihat Tabel 6-2). (AZA, Azathioprine; CNI, calcineurin inhibitors; IV
CYC, intravenous cyclophosphamide; MMF, mycophenolate mofetil) (Berstias, 2017).
174
berat
Indikator Terapi
1. Respon awal terapi pada 6 bulan pertama merupakan prediktor untuk prognosis ginjal jangka panjang.
Perbaikan kadar Kreatinin pada rentang normal dan penurunan proteinuria ≥50% atau <1 gram/hari menjadi
indikator prognosis baik. Apabila tidak ada respon perbaikan fungsi ginjal dalam 3-4 bulan, pertimbangkan
untuk menaikkan dosis atau mengganti regimen terapi.
(Sumber: Berstias, 2017)
Gambar 6.4 Manajemen pasien SLE dengan manifestasi neuropsikiatri. (APA, Anti-phospholipid
antibodies; AZA, azathioprine; CSF, cerebrospinal fluid analysis; CYC,
cyclophosphamide; GC, glucocorticoids; MRI, magnetic resonance imaging of brain
and/or spine that includes T1, T2, FLAIR, and diffuse-weighed imaging protocols;
NPLSE, neuropsychiatric systemic lupus erythematosus; RTX, rituximab.) (Berstias,
2017).
Sindrom Anti-Fosfolipid
Anti-phospholipid Antibodies (APAs) dapat ditemukan pada 30- 40% pasien SLE dan
meningkatan risiko kejadian trombosis. Kombinasi dari trombosis vaskular atau morbiditas
obstetrik, atau keduanya, disertai dengan APA positif dalam 12 minggu mengindikasikan
suatu Sindrom Anti-fosfolipid (Anti-phospholipid Syndrom/APS). Prinsip-prinsip pengobatan
APS pada SLE (anti-platelet atau anti-koagulasi, target INR) tidak berbeda antara APS
primer dapat meningkatkan risiko terjadinya end-stage renal disease (Ruiz-Irastorza, 2010).
Nefropati vaso-oklusif pembuluh kecil dengan gambaran histologis mikroangiopati
trombotik dan lesi vaskular kronis yang disebut nefropati APS harus dicurigai pada pasien
SLE dengan APA positif dan disertai hipertensi, proteinuria (sub-nefrotik), hematuria, dan
gangguan ginjal. Terapi anti-platelet atau anti-trombotik dapat memperbaiki kondisi pasien-
pasien dengan APS (Canaud, 2014).
terapi RA dengan antibodi monoklonal anti TNFα maka pengembangan terapi pada penyakit
autoimun dirancang khusus untuk memblokir jalur yang terlibat dalam patogenesis penyakit
(Bertsias, 2017).
Anti-CD22 (Epratuzumab)
Adalah monoklonal antibodi anti CD22 yang merupkan spesifik surface antigen yang
fungsinya untuk mudulasi obat ini masih masuk fase IIb (Liu et al., 2015; Wallace et al.,
2013).
Abetimus (LJP-394)
Suatu obat yang sifatnya tolerogen sel B. Tolerogen sel B adalah molekul yang berikatan
dengan imunoglobulin yang menyebabkan sel mengalami, anergi (inaktivasi fungsional) atau
penghilangan sel B yang mengekspresikan antigen BCR yang reaktif. LIP-394 adalah
tolerogen sel B pertama yang dikembangkan untuk terapi SLE dan telah dipelajari dalam uji
coba pada manusia untuk pengobatan lupus non-ginjal dan lupus nefritis. Kandungan obat ini
adalah empat untai double-stranded (ds) yang terikat dengan DNA pembawa dan sangat
terikat pada antibodi anti-dsDNA. Indikasinya untuk pengurangan flare ginjal pada pasien
yang memiliki antibodi afinitas tinggi terhadap DNA epitop yang terkandung dalam molekul
abetimus. Pada pasien yang mengalami flare ginjal dilaporkan memiliki antibodi yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap epitop DNA yang terkandung dalam molekul abetimus.
Namun, ada percobaan yang gagal untuk menunjukkan perbedaan antara kelompok yang
diobati dan yang tidak diobati dalam pencegahan flare ginjal. Setelah uji coba ASPEN Fase
III, percobaan ini tidak ada hasilnya (Yildirim-Toruner, 2011).
berkhasiat dalam uji coba fase II dengan peningkatan dosisnya, yang dilakukan secara
double-blind, dan dibandingkan dengan plasebo (Yildirim-Toruner, 2011).
BCMA (antigen maturasi sel B), dan BAFF-R (reseptor faktor pengaktiv sel B).
Kadar BAFF meningkat pada pasien SLE dan pada penelitian kadar BAFF berkorelasi
dengan aktivitas penyakit. Belimumab dilaporkan dalam uji coba fase II, peningkatan dosis,
double-blind, terkontrol plasebo memberikan hasil yang baik. Meskipun uji coba tidak
memenuhi titik akhir peningkatan skor aktivitas penyakit SELENA-SLEDAI pada minggu ke
52. Aktivitas biologis Belimumab ditunjukkan dengan peningkatan jumlah total sel B, sel B
naif, plasmablast, IgG, IgA, IgM, dan titer IgG anti-dsDNA menurun pada kelompok yang
diobati dengan Belimumab. Secara keseluruhan, belimumab telah ditoleransi kostimulatori
(anti-CD40L, anti-CTLA4, blokade ICOS-ICOSL) dan penurunan jumlah sel B (anti-CD22,
anti-CD20). Namun, karena dampak sistemik dari terapi tersebut dan sebagian besar uji fase
II gagal karena infeksi parah sebagai komplikasi dan khasiatnya sangat terbatas (Liu dan
Davidson, 2012; Xiong dan Lahita, 2014).
Indikasi belimumab untuk pengobatan pasien positif-antibodi dengan SLE aktif
direkomendasikan oleh (FDA) pada 16 November 2010. Deplesi sel B menyebabkan
peningkatan kadar BAFF serum secara nyata. Peningkatan BAFF menyebabkan makrofag
aktif dan meningkatkan kelangsungan hidup sel B autoreaktif. Menggabungkan
penghambatan BAFF dan pengurangan jumlah sel B mungkin memiliki efek sinergis
sehingga secara imunologis bisa diterima pada pengobatan (Yildirim-Toruner, 2011).
Sifalimumab (MedImmune)
Adalah antibodi monoklonal manusia yang menghambat beberapa subtipe IFN-α. Setelah
fase I studi acak-ganda, penurunan dosis tergantung pada ekspresi gen yang diinduksi IFN
pada pasien terdeteksi (Lauwerys et al., 2013). Rontalizumab (Genentech) adalah antibodi
anti-IFN-α tikus monoklonal yang dimanusiakan. Pada lebih dari 50% pasien yang dirawat,
penurunan set representatif gen IFN tipe I yang dapat diinduksi dan meningkatkan harapan
untuk uji coba di masa depan. Kedua terapi anti-IFN-α sekarang memiliki percobaan acak
tahap II yang sedang berlangsung yang dapat memvalidasi nilai tambah dari strategi terapi ini
di SLE (Lauwerys et al., 2013).
182
KOMORBIDITAS SLE
Infeksi
Infeksi menyumbang 20-55% dari semua kematian pada pasien SLE. Infeksi sekunder
pada SLE paling sering melibatkan sistem respirasi, sistem urologi, dan sistem saraf pusat
dengan patogen penyebab infeksi meliputi bakteri, mikobakteri, virus, jamur, dan parasit.
Faktor risiko penyebab infeksi pada pasien SLE antara lain: peningkatan aktivitas penyakit
maupun serologis, atau keduanya; keterlibatan organ utama (terutama ginjal dan paru-paru);
limfopenia; neutropenia persisten (<1000/mm3); hipoalbuminemia (terutama untuk infeksi
SSP berat); pemberian steroid dosis tinggi (setiap peningkatan dosis prednison 10 mg/hari
dapat meningkatkan risiko infeksi berat sebesar 11 kali lipat); dan penggunaan obat
imunosupresif (terutama AZA dan CYC) dalam 6 bulan terakhir.
Pasien dengan lupus yang mendapatkan terapi imunosupresan dan tampak gejala atau
tanda infeksi cukup sulit untuk dievaluasi karena tanda/gejala infeksi dapat menyerupai flare
lupus (Gambar 6.5). Temuan klinis yang mendukung terjadinya infeksi antara lain demam,
leukositosis, dan/atau neutrofilia (terutama pada pasien yang tidak mendapat steroid). Demam
yang diakibatkan flare SLE didukung dengan adanya leukopenia, CRP normal, C3/C4
rendah, dan peningkatan antibodi anti-DNA. Apabila dengan pemberian prednison 20-40 mg
per hari demam masih tidak turun, kemungkinan demam yang terjadi disebabkan oleh infeksi.
Antibiotik empiris spektrum luas direkomendasikan untuk diberikan pada pasien yang
dicurigai mengalami infeksi sebelum pemeriksaan kultur dilakukan.
183
Gambar 6.5 Manajemen pasien SLE yang mendapatkan terapi imunosupresi dengan gejala demam dan/atau
tanda-tanda Infeksi. (AZA, Azathioprine; BAL, bronchoalveolar lavage; CBC, complete blood count; CSF,
cerebrospinal fluid; G-CSF, granulocyte colony-stimulating factor; GM, galactomannan; H1N1, influenza
H1N1; HRCT, high-resolution chest tomography; IV CYC, intravenous cyclophosphamide; MMF,
mycophenolate mofetil; MRSA, methicillin-resistant Staphylococcus aureus; MTX, methotrexate; PCR,
polymerase chain reaction; T, temperature; VATS, video-assisted thoracoscopy.) (Berstias, 2017).
*SIRS: T ≥38° C atau <36° C, takikardia (nadi > 90x/menit), takipneu (pernapasan > 20x/menit), Leukosit >12.000/mm3;
komorbiditas: usia > 65 tahun, diabetes mellitus, penyakit kardiopulmonal kronis.
†
Pertimbangkan terapi empiris untuk Pneumonia Pneumocystis yang disertai hipoksemia berat dan infiltrat luas alveoli.
‡
Pertimbangkan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi oportunistik SSP yang lain.
Imunisasi
Meskipun imunisasi secara hipotetis dapat mengaktivasi sel poliklonal pada lupus dan
memicu munculnya flare, imunisas masih dianggap aman untuk diberikan. Imunisasi tidak
boleh diberikan kepada pasien dengan SLE aktif. Vaksin hidup yang dilemahkan (campak,
mumps, rubella, polio, virus varicella-zoster, dan varicella) dikontraindikasikan pada pasien
SLE yang memperoleh steroid dosis tinggi (>20 mg/hari) dan imunosupresan. Vaksin
184
influenza masih tergolong aman dan efektif meskipun tingkat seroproteksi dan serokonversi
vaksin lebih rendah pada pasien SLE dibanding pada individu sehat. Vaksin pneumokokus
juga masih aman, tetapi titer antibodi yang dihasilkan lebih rendah pada pasien SLE.
Sedangkan toksoid tetanus dan Haemophilus influenzae tipe B dapat memberikan respons
imun protektif secara optimal dan aman untuk pasien SLE. Vaksin Varicella Zoster Vaccine
(VZV) harus diberikan pada pasien usia lanjut (> 60 tahun) setidaknya 14 hari sebelum
memulai terapi steroid atau imunosupresan lain, atau harus ditunda setidaknya 1 bulan setelah
penghentian dosis terapi. Imunisasi hepatitis B dengan vaksin rekombinan masih memiliki
efikasi baik dan aman pada pasien SLE tidak aktif yang diobati dengan steroid dosis rendah
dan tidak menerima terapi imunosupresif (Kamen, 2017).
Morbiditas Kardiovaskular
Kontrol ketat terhadap faktor risiko CVD direkomendasikan untuk pasien SLE.
Hipertensi perlu dikontrol hingga di bawah 130/80 mmHg. Untuk sebagian besar kasus, ACE
inhibitor atau angiotensin-receptor blocker (ARB) atau keduanya menjadi obat anti-
hipertensi awal yang menjadi pilihan pada pasien SLE. Untuk dislipidemia, pedoman terapi
185
masih tetap mengikuti pedoman umum. Kontrol agresif dislipidemia (target LDL-C < 100
mg/dL dan trigliserida <150 mg/dL) direkomendasikan untuk pasien dengan berbagai faktor
risiko, terutama yang memiliki aktivitas lupus sedang hingga berat atau yang telah
memperoleh terapi steroid jangka panjang (Bertsias, 2017).
tahun sekali. EULAR merekomendasikan vaksinasi HPV untuk pasien SLE perempuan
dengan usia 25 tahun (seperti pada individu sehat) (Bernatsky et al., 2013; Bertsias, 2017).
hormonal umumnya aman untuk sebagian besar pasien SLE dengan aktivitas penyakit stabil
atau quiescent (Bertsias, 2017).
KESIMPULAN
Dalam beberapa dekade terakhir ini, telah banyak kemajuan besar di bidang SLE,
seperti penentuan faktor risiko dan fenotipe, patogenesis, dan metode-metode pengobatan
SLE. Penemuan peran faktor-faktor yang dapat meningkatkan produksi interferon tipe I
melalui Toll-like receptor (TLR) telah menumbuhkan ide-ide baru dalam target terapi SLE
selain melibatkan sel B dan sel T. Penemuan faktor-faktor genetik dan lingkungan yang dapat
menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya autoimunitas pada akhirnya dapat memudahkan
identifikasi individu-individu yang berisiko terhadap SLE. Obat-obatan baru telah
ditambahkan ke dalam strategi terapi baru yang ditujukan untuk mempercepat tercapainya
remisi dan pencegahan flare dengan terapi yang lebih intens namun tetap aman. Strategi
pencapaian remisi, terapi rumatan, dan manajemen komorbiditas menjadi kunci penting
dalam perawatan pasien SLE. Maka dari itu, manajemen penyakit SLE sangat menekankan
perlunya pendekatan multidisiplin ilmu dan keahlian dalam bidang penyakit dalam,
khususnya rematologi.
188
REFERENSI
Ackerman LS. 2006. Sex Hormones and the Genesis of Autoimmunity. Arch Dermatol,
142:371-376
Actor, J.K. 2012. Immunology and microbiology. Elsevier’s Integrated Review. 2nd ed.
Philadelphia: W.B. Saunders..
Agung PP & Yuliasih. 2010. Penderita Lupus Eritematosus Sistemik Dengan Tamponade
Jantung. Laporan Kasus Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga RSUD dr Soetomo Surabaya. 29 September 2010.
Aiello MR. 2003. Avascular Necrosis, Femoral Head. Available from:
www.emedicine.com/radio/topic70.htm
Alba P. 2003. Mycophenolate mofetil as a treatment for autoimmune hemolytic anemia in
patients with systemic lupus erythematosus and antiphospholipid syndrome 12thEd.
p.633.
Allison AC & Eugui EM. 1996. Purine metabolism and immunosuppressive effects of
mycophenolate mofetil (MMF). Clin. Transplant. 10, 77–84.
Alunno A, Bartoloni E, Bistoni O, Nocentini G, Ronchetti S, Caterbi S, et al. 2012. Balance
between Regulatory T and Th17 Cells in Systemic Lupus Erythematosus: The Old
and the New. Clinical and Developmental Immunology, 2012:823085.
https://doi.org/10.1155/2012/823085
Ames PR, Alves J, Pap AF, Ramos P, Khamashta MA, Hughes GR. 2000. Fibrinogen in
systemic lupus erythematosus: more than an acute phase reactant?. J Rheumatol.
27:1190–5.
Appel GB, Contreras G, Dooley MA, et al. 2009. Mycophenolate mofetil versus
cyclophosphamide for induction treatment of lupus nephritis. J Am Soc Nephrol. 20:
1103–12.
Badsha H, et al. 2004. Pulmonary hemorrhage in systemic lupus erythematosus. Semin
Arthritis Rheum, 33rd Ed. p.414.
Banchereau J & Steinman RM. 1998. Dendritic cells and the control of immunity. Nature,
392(6673):245-52. ISSN 0028-0836
Banchereau J, Briere F, Caux C, Davoust J, Lebecque S, Liu YJ, Pulendran B, & Palucka K.
2000. Immunobiology of dendritic cells. Annu Rev Immunol, 18(767-811). ISSN
0732-0582
Bastian, H. M., Roseman, J. M., Mcgwin, G., Alarcón, G. S., Friedman, A. W., Fessler, B. J.,
Baethge, B. A. & Reveille, J. D. 2002. Systemic lupus erythematosus in three ethnic
groups. XII. Risk factors for lupus nephritis after diagnosis. Lupus, 11, 152-160.
Becker WM, Kleinsmith LJ and Hardin J. 2006. The regulation gen expression. Dalam The
word of the Cell. 6th ed. hlm. 715-726. Disunting oleh Becker WM, Kleinsmith LJ
and Hardin J Pearson. San Francisco: Benyamin Curmings.
Bell SA, Faust H, Schmid A, Meurer M. 1998. Autoantibodies to C-reactive protein (CRP)
and other acute-phase proteins in systemic autoimmune diseases. Clin Exp Immunol.
113:327–32.
Benedek TG. 2019. 1 - History of Lupus. In: Wallace, D. J. & Hahn, B. H. (eds.). Dubois'
Lupus Erythematosus and Related Syndromes (Ninth Edition). London: Elsevier, 1-
14.
Bernatsky S, Ramsey-Goldman R, Labrecque J, et al. 2013. Cancer risk in systemic lupus: an
updated international multi-centre cohort study. J Autoimmun. 42:130-135.
Bertsias B, Fanouriakis A, Boumpas BT. 2017. Chapter 81 - Treatment of Systemic Lupus
Erythematosus. In: Firestein, G. S., Budd, R. C., Gabriel, S. E., Mcinnes, I. B. & O'dell,
189
Breuer GS, Deeb M, Fisher D, et al. 2005. Therapeutic options for refractory massive pleural
effusion in systemic lupus erythematosus: a case study and review of the literature.
Semin Arthritis Rheum, 34:744-749.
Bultink IE. 2012. Osteoporosis and fractures in systemic lupus erythematosus. Arthritis Care
Res (Hoboken). 64(1):2-8.
Buttgereit, F., Brand, M. D. & Burmester, G.-R. 1999. Equivalent doses and relative drug
potencies for non-genomic glucocorticoid effects: a novel glucocorticoid hierarchy.
Biochemical Pharmacology, 58, 363-368.
Cacoub P, Frémeaux-Bacchi V, Isabelle De L, Guillien F, Kahn MF, Kazatchkine MD,
Godeau P, & Piette JC. 2001. A new type of acquired C1 inhibitor deficiency
associated with systemic lupus erythematosus. Arthritis & Rheumatism, 44:1836-1840.
Campbell. 2008. Regulation of gene expression in biology. 8th ed. San Fransisco: Pearson.
Canaud G, Bienaime F, Tabarin F, et al. 2014. Inhibition of the mTORC pathway in the
antiphospholipid syndrome. N Engl J Med. 371(4):303-312.
Castell JV, Gomez-Lechon MJ, David M, Andus T, Geiger T, Trullenque R, et al.. 1989.
Interleukin-6 is the major regulator of acute phase protein synthesis in adult human
hepatocytes. FEBS Lett. 242:237–9.
Cervera R, et al. 2003. Morbidity and mortality in systemic lupus erythematosus during a 10-
year period. A comparison of early and late manifestations in a cohort of 1,000 patients.
Medicine Baltimore, 82:299.
Chang YC & Werth VP. 2013. Update on Epidemiology and Clinical Assessment Tools of
Cutaneous Lupus Erythematosus and Dermatomyositis. Current Dermatology Reports,
2: 48-57.
Chaudhry SI, Murphy LA, White IR. 2005. Subacute cutaneous lupus erythematosus: a
paraneoplastic dermatosis?. Clin Exp Dermatol. 30:655-658.
Chen W, et al. 2012. Outcomes of maintenance therapy with tacrolimus versus azathioprine
for active lupus nephritis: a multicenter randomized clinical trial. Lupus, 21, 944–952.
Choi, M. Y., Fitzpatrick, R. D., Buhler, K., Mahler, M. & Fritzler, M. J. 2020. A review and
meta-analysis of anti-ribosomal P autoantibodies in systemic lupus erythematosus.
Autoimmunity Reviews, 19, 102463.
Chun HY, Chung JW, Kim HA, Yun JM, Jeon JY, Ye YM, et al.. 2007. Cytokine IL-6 and
IL-10 as biomarkers in systemic lupus erythematosus. J Clin Immunol. 27:461–6.
Ciofani M, Madar A, Galan C, et al. 2012. A validated regulatory network for Th17 cell
specification. Cell, 151(2):289–303
Cloutier BT, Clarke AE, Ramsey-Goldman R, et al. 2014. Systemic lupus erythematosus and
malignancies: a review article. Rheum Dis Clin North Am. 40(3):497-506.
Cohen SBA, Crawley JB, Kahan MC, Feldmann M dan Foxwell BMJ. 1997. Interleukin-10
rescues T cells from apoptotic cell death: association with an upregulation of Bcl-2.
Immunology, 92:1-5
Contreras, G., Pardo, V., Leclercq, B., Lenz, O., Tozman, E., O'nan, P. & Roth, D. 2004.
Sequential Therapies for Proliferative Lupus Nephritis. New England Journal of
Medicine, 350, 971-980.
Cortés Verdú, R., Pego-Reigosa, J. M., Seoane-Mato, D., Morcillo Valle, M., Palma Sánchez,
D., Moreno Martínez, M. J., Mayor González, M., Atxotegi Sáenz De Buruaga, J.,
Urionagüena Onaindia, I., Blanco Cáceres, B. A., Silva-Fernández, L., Sivera, F.,
Blanco, F. J., Sánchez-Piedra, C., Díaz-González, F., Bustabad, S. & Episer, F. T. W.
G. P. 2020. Prevalence of systemic lupus erythematosus in Spain: higher than
previously reported in other countries? Rheumatology.
191
Doria A, et al. 2010. SLE diagnosis and treatment: when early is early. Autoimmun. Rev. 10,
55–60.
Dorner T & Furie R. 2019. Novel paradigms in systemic lupus erythematosus. The Lancet,
393:2344-2358.
Durcan L & Petri M. 2016. Immunomodulators in SLE: clinical evidence and immunologic
actions. J. Autoimmun. 74,73–84.
Edworthy SM. 2005. Chapter 75 - Clinical Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus.
In: Harris Jr ED, Budd RC, Firestein GS, et al (eds.). Kelley and Firestein's Textbook of
Rheumatology, 7th Edition. Philadelphia:Elsevier.
Eiser AR, Katz SM, Swartz C. 1979. Clinically occult diffuse proliferative lupus nephritis: an
age-related phenomenon. Arch Intern Med. 139:1022-1025.
Eskdale J, Keijsers V, Huizinga T. et al. 1999. Microsatellite alleles and single nucleotide
polymorphisms (SNP) combine to form four major haplotype families at the human
interleukin-10 (IL-10) locus. Genes Immun, 1:151–155.
Ettinger R, Sims GP, Robbins R, et al. 2007. IL-21 and BAFF/BLyS synergize in stimulating
plasma cell differentiation from a unique population of human splenic memory B cells.
J Immunol, 178(5):2872-2882
Fairweather D, Frisancho-Kiss S and Rose NR. 2008. Sex Diffrence in Autoimmune Disease
from a Pathological Perspective. The American Journal of Pathology, 173:600-609.
Familia AC, Yuliasih Y, Rahmawati LD. 2019. Correlation between Serum IL-6 Level and
Th17/Treg Ratio with Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity. Biomolecular
and Health Science Journal, 2(2):107-112
Fanouriakis A and Bertsias G. 2019. Changing paradigms in the treatment of systemic lupus
erythematosus. Lupus Science & Medicine, 6, e000310.
Fernandez M, Alarcon GS, Calvo-Alen J, Andrade R, McGwin G, Vila LM, and Reivelle JD.
2007. A Multiethnic, multicenter cohort of patient with systemic lupus erythematosus
(SLE) as a model for the study of ethnic disparities in SLE. Arthritis & Rheumatism,
57:576-584.
Fernando MM, Stevens CR, Sabeti PC, Walsh EC, McWhinnie AJ, Shah A, et al. 2007.
Identification of two independent risk factors for lupus within the MHC in United
Kingdom families. PLoS Genet, 3:e192.
Fessel WJ, Solomon GF. Psychosis and systemic lupus erythematosus. A review of the
literature and case reports. Calif Med. 1960;92:266–270.
Figueredo MA, Rodriguez A, Ruiz-Yague M, Romero M, Fernandez-Cruz A, Gomez-de la
Concha E, et al.. 2006. Autoantibodies against C-reactive protein: clinical associations
in systemic lupus erythematosus and primary antiphospholipid syndrome. J Rheumatol.
33:1980–6.
Flavahan NA. 2015. A vascular mechanistic approach to understanding Raynaud
phenomenon. Nature Reviews Rheumatology, 11:146-158.
Flierman, R. & Daha, M. R. 2007. The clearance of apoptotic cells by complement.
Immunobiology, 212, 363-370.
Franklyn K, Lau CS, Navarra SV, Louthrenoo W, Lateef A, Hamijoyo L, Wahono CS, Chen
SL, Jin O, Morton S, Hoi A, Huq M, Nikpour M, & Morand EF. 2016. Definition and
initial validation of a Lupus Low Disease Activity State (LLDAS). Annals of the
Rheumatic Diseases, 75:1615–1621.
Gabay C, Roux-Lombard P, de Moerloose P, Dayer JM, Vischer T, Guerne PA. 1993.
Absence of correlation between interleukin 6 and C-reactive protein blood levels in
systemic lupus erythematosus compared with rheumatoid arthritis. J Rheumatol.
20:815–21.
193
Gaitonde S, Samols D, & Kushner I. 2008. C-reactive protein and systemic lupus
erythematosus. Arthritis Care & Research, 59:1814-1820.
Ganapathi MK, Rzewnicki D, Samols D, Jiang SL, Kushner I. 1991. Effect of combinations
of cytokines and hormones on synthesis of serum amyloid A and C-reactive protein in
Hep 3B cells. J Immunol. 147:1261–5.
Gatto M, Zen M, Iaccarino L, & Doria A. 2019. New therapeutic strategies in systemic lupus
erythematosus management. Nature Reviews Rheumatology, 15:30-48.
Ghafirah B dan Yuliasih. 2018. Insiden Mortalitas Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Aktif
Di Rsud Dr. Soetomo Surabaya Periode Mei 2016 – Mei 2017. (Skripsi). Surabaya:
Universitas Airlangga.
Gibson AW, Edberg JC, Wu J. et al. 2001. Novel single nucleotide polymorphisms in the
distal IL-10 promoter affect IL-10 production and enhance the risk of systemic lupus
erythematosus. J Immunol, 166:3915–3922.
Gilliam JN, Sontheimer RD. Skin manifestations of SLE. Clin Rheum Dis. 1982:8:207–18.
Ginzler EM, et al. 2014. Disease control and safety of belimumab plus standard therapy over
7 years in patients with systemic lupus erythematosus. J. Rheumatol. 41:300–309.
Gladman DD, Urowitz MB, P Rahman, et al. 2003. Accrual of organ damage over time in
patients with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol. 30(9):1955-1959.
Gladue H, Maranian P, Paulus HE, Khanna D. 2013. Evaluation of test characteristics for
outcome measures used in Raynaud’s phenomenon clinical trials. Arthritis Care Res
(Hoboken). 65: 630-6.
Golder V, Kandane-Rathnayake R, Hoi AYB, et al. 2016. Frequency and predictors of the
lupus low disease activity state in a multi-national and multi-ethnic cohort. Arthritis
Research & Therapy, 18:260.
Gordon H. 2019. Photograph of Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus. Available from:
https://dermnetnz.org/topics/subacute-cutaneous-lupus-erythematosus/.
Gracia-Tello B, et al. 2017. The use of rituximab in newly diagnosed patients with systemic
lupus erythematosus: long- term steroid saving capacity and clinical effectiveness.
Lupus. Sci. Med. 4, e000182.
Greenberg B. 1999. Systemic Lupus Erythematosus. Postgraduate Medicine, 106(6): 213-
223.
Grönhagen CM & Nyberg F. 2014. Cutaneous lupus erythematosus: an update. Indian
Dermatology Online Journal, 5(1):7–13. doi:10.4103/2229-5178.126020.
Guerra SG, Vyse TJ, & Cunninghame Graham DS. 2012. The genetics of lupus: a functional
perspective. Arthritis Research & Therapy, 14:211.
Gunasegaran K, Yao J, de Castro S, Ramasamy S, Pandian NG. 2000. Large Pericardial
Effusions. Large Pericardial Effusions. Current Treatment Options In Cardiovascular
Medicine, 2(4), 357–364.
Gupta P, McCarthy JB, Verfaillie CM. 1996. Stromal fibroblast heparan sulfate is required
for cytokine-mediated ex vivo maintenance of human long-term culture-initiating cells.
Blood, 87:3229-3236
Hahn B, et al. 2012. American College of Rheumatology guidelines for screening, treatment,
and management of lupus nephritis. Arthritis Care Res. (Hoboken) 64:797–808.
Hahn BH. 2001. Systemic Lupus erythematosus. In: Braunwald E, Hauser SL, Fauci AS,
Kasper DL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles Of Internal Medicine.
15thEd. New York: McGraw-Hill … 311:1922-1927.
Hahn BH. 2007. Overview of pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Dalam Dubois’
lupus erythematosus. 7th ed. hlm. 46–53. Disunting oleh Wallace DJ and Hahn BH.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
194
Hahn BH. 2008. Systemic Lupus Erythematosus. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL (Eds.). Harrison’s Principles Of Internal
Medicine, 17th Edition. New York: McGraw-Hill. pp.1960-1967.
Hamer AJ. 2004. Pain in the hip and knee. British Medical Journal, 328:1067-1069.
Hanna MW. 2002. Update on hip and knee arthroplasty. Bulletin on the Rheumatic Diseases,
51 (11):201-208.
Hargraves MM, Richmond H, Morton R. 1948. Presentation of two bone marrow elements:
the ―tart‖ cell and the ―L.E.‖ cell. Proc Staff Meetings Mayo Clinic. 23:25-28.
Harris, E. N., Gharavi, A. E., Wasley, G. D., and Hughes, G. R. V. 1988. Use of an enzyme
linked immunosorbent assay and of inhibition studies to distinguish between
antibodies to cardiolipin from patients with syphilis or autoimmune disorders. J Inf
Dis, 157:23–31.
Haupt HM, Moore GW, & Hutchins GM. 1981. The lung in systemic lupus erythematosus:
analysis of the pathologic changes in 120 patients. Am J Med. 71:791-798.
Hedrich1 CM. 2017. Epigenetics in SLE. Curr Rheumatol Rep, 19:58
Hendyatama TH & Rahmawati LD. 2018. Seorang Pasien Systemic Lupus Erythematosus
Dengan Manifestasi Klinis Hipertensi Pulmonal Berat. Laporan Kasus Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. 6 Juni 2018.
Hepburn AL, Narat S, Mason JC. 2010. The management of peripheral blood cytopenias in
systemic lupus erythematosus. Rheumatology (Oxford). 49(12):2243-2254
Hesselink DA, Aarden LA, Swaak AJ. 2003. Profiles of the acutephase reactants C-reactive
protein and ferritin related to the disease course of patients with systemic lupus
erythematosus. Scand J Rheumatol. 32:151–5.Meroni, P. L. & Schur, P. H. 2010.
ANA screening: an old test with new recommendations. Annals of the Rheumatic
Diseases, 69, 1420.
Hiepe F, Dorner T, Hauser AE, et al. 2011. Long-lived autoreactive plasma cells drive
persistent autoimmune inflammation. Nat Rev Rheumatol, 7(3):170-178
Hirankarn N, Wongpiyabovorn J, Haviivatvong O, Netsawang J, Akkssillpa S, Wongchinsri J
Handivandhanakul ,Korkit W and Avihingsanon Y. 2006. The synergistic effect of FC
gamma receptor IIa and IL -10 gene on the risk to development to systemic lupus
erythematosus in thai population, Tissue Antigen, 68(5):399-406.
Hochberg MC. 1997. Updating the American College of Rheumatology revised criteria for
the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum, 40:1725.
Hofmann SC, Leandro MJ, Morris SD, & Isenberg DA. 2013. Effects of rituximab- based B
cell depletion therapy on skin manifestations of lupus erythematosus—report of 17
cases and review of the literature. Lupus, 22:932–939.
Holers, V. M. 2004. Anti-C1q autoantibodies amplify pathogenic complement activation in
systemic lupus erythematosus. The Journal of clinical investigation, 114, 616-619.
Houssiau FA, Lefebvre C, Vanden Berghe M. et al. 1995. Serum interleukin 10 titers in
systemic lupus erythematosus reflect disease activity. Lupus, 4:393–395
Houssiau FA, Vasconcelos C, D’Cruz D, et al. 2010. The 10-year follow-up data of the Euro-
Lupus Nephritis Trial comparing low-dose and high-dose intravenous
cyclophosphamide. Ann Rheum Dis. 69:61–64.
Hsu CY, et al. 2018. Adherence to hydroxychloroquine improves long- term survival of
patients with systemic lupus erythematosus. Rheumatology (Oxford), 57:1743–1751.
Huisstede BM, Hoogvliet P, Paulis WD, et al. 2011. Effectiveness of interventions for
secondary Raynaud’s phenomenon: a systematic review. Arch Phys Med Rehabil.
92:1166-80.
195
Iaccarino L, Bartoloni E, Carli L, et al. 2015. Efficacy and safety of off-label use of
rituximab in refractory lupus: data from the Italian multicentre registry. Clin Exp
Rheumatol. 33:449–56.
Iaccarino L, et al. 2017. Effects of belimumab on flare rate and expected damage progression
in patients with active systemic lupus erythematosus. Arthritis Care Res. (Hoboken) 69,
115–123.
IARC Working Group on the Evaluation of Carcinogenic Risk to Humans. Radiation. Lyon
(FR): International Agency for Research on Cancer; 2012. (IARC Monographs on the
Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans, No. 100D.) SOLAR AND ULTRAVIOLET
RADIATION. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK304366/?report=classic
Inda-Filho A, Neugarten J, Putterman C, et al. 2013. Improving outcomes in patients with
lupus and end-stage renal disease. Semin Dial. 26(5):590-596.
Isbagio H. 2006. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: J Soeroso, H Isbagio, H Kalim, RPR
Broto, R Pramudyo … Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing,
pp.1224-1231.
Jacobi AM, Mei H, Hoyer BF, et al. 2010. HLA-DRhigh/CD27high plasmablasts indicate
active disease in patients with systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis, 69
(1):305-308
Jacobsen S, Starklint H, Petersen J, et al. 1999. Prognostic value of renal biopsy and clinical
variables in patients with lupus nephritis and normal serum creatinine. Scand J
Rheumatol. 28:288-299.
Javierre BM, Fernandez AF, Richter J, Al-Shahrour F, Martin-Subero JI, Rodriguez-Ubreva
J. 2010. Changes in the pattern of DNA methylation associate with twin discordance
in systemic lupus erythematosus. Genome Res, 20(2):170–9.
Jessop S, Whitelaw DA, Delamere FM. 2009. Drugs for discoid lupus erythematosus.
Cochrane Database Syst Rev. (4).
Jng CR, Chen WT, Lee RY, & Hwang BF. 2019. Long-term exposure to traffic-related air
pollution and systemic lupus erythematosus in Taiwan: A cohort study. Science of The
Total Environment, 668:342-349
Johnson AE, Gordon C, Palmer RG, Bacon PA. 1995. The prevalence and incidence of
systemic lupus erythematosus in Birmingham, England. Arthritis Rheum, 38: 551–
558.
Johnsson R, Heyden G, Westberg NG, et al. 1984. Oral mucosal lesions in systemic lupus
erythematosus—a clinical, histopathological and immunopathological study. J
Rheumatol. 11:38-42.
Jumali M, Yuliasih Y, & Soeroso J. 2004. MB-25: Lupus Nefritis pada Kehamilan. Makalah
Lengkap Temu Ilmiah Reumatologi (TIR) 2004. 27-29 Agustus. Jakarta. p:213.
Kamen DL. 2013. 52 – Adjunctive and Preventive Measures. In: Wallace DJ & Hahn BH
(Eds.). Dubois' Lupus Erythematosus and Related Syndromes 8th. Elsevier.
Philadelphia: 633-639.
Kaplan AP. 2008. Angioedema. The World Allergy Organization Journal, 1(6):103–113.
doi:10.1097/WOX.0b013e31817aecbe.
Kaposi, M. K. 1872. Neue Beitrage zur Keantiss des lupus erythematosus. Arch Dermatol
Syphilol, 4:36.
Karim MY, Miranda LC, Tench CM, et al. 2002. Presentation and prognosis of the shrinking
lung syndrome in systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum, 31:289-298.
Khanna AJ, Yoon TR, Mont MA, Hungerford DS, Bluemke DA. 2000. Femoral head
osteonecrosis: detection and grading by using a rapid mr imaging protocol. Radiology,
217: 188-192.
196
Martin JC, Baeten DL, & Josien R. 2014. Emerging role of IL-17 and Th17 cells in systemic
lupus erythematosus. Clinical Immunology, 154:1-12.
Mehrian R, Quismorio FP, Strassman G, Stimmer MM Horwits DA, Kitridou RC,
Gauderman WJ, Morrison J, Brauter C and Jacob Co. 1998. Synergistic effect
between IL 10 and BCL 2 genotype in determining susceptibility to systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum, 41:596-602.
Meijer C, Huysen V, Smeenk RT, Swaak AJ. 1993. Profiles of cytokines (TNF and IL-6) and
acute phase proteins (CRP and 1AG) related to the disease course in patients with
systemic lupus erythematosus. Lupus. 2:359–65.
Mellanby RJ, Thomas DC, & Lamb J. 2009. Role of regulatory T-cells in autoimmunity.
Clinical Science, 116(8):639–49.
Merrill JT, et al. 2010. Efficacy and safety of rituximab in moderately- to-severely active
systemic lupus erythematosus: the randomized, double- blind, phase II/III systemic
lupus erythematosus evaluation of rituximab trial. Arthritis Rheum. 62:222–233.
Mesquita D, Cruvinel WM, Câmara NOS, Kállas EG, & Andrade LEC. 2009. Autoimmune
diseases in the Th17 era. Brazilian Journal of Medicine and Biology Research;
42(6):476–486.
Metselaar, J. M., Van Den Berg, W. B., Holthuysen, A. E. M., Wauben, M. H. M., Storm, G.
& Van Lent, P. L. E. M. 2004. Liposomal targeting of glucocorticoids to synovial
lining cells strongly increases therapeutic benefit in collagen type II arthritis. Annals of
the Rheumatic Diseases, 63, 348.
Meyer, O. C., Nicaise-Roland, P., Cadoudal, N., Grootenboer-Mignot, S., Palazzo, E.,
Hayem, G., Dieudé, P. & Chollet-Martin, S. 2009. Anti-C1q antibodies antedate patent
active glomerulonephritis in patients with systemic lupus erythematosus. Arthritis
Research & Therapy, 11, R87.
Michet CJ, McKenna CH, Elveback LR, Kaslow RA, Kurland LT. 1985. Epidemiology of
systemic lupus erythematosus and other connective tissue disease in Rochester,
Minnesota, 1950 through 1979. Mayo Clin Proc, 60: 105–113.
Miller ML. 2019. Patient education: Polymyositis, dermatomyositis, and other forms of
idiopathic inflammatory myopathy (Beyond the Basics). In: Targoff IN (Ed.),
UpToDate. Retrieved March 26, 2020, Available from:
https://www.uptodate.com/contents/polymyositis-dermatomyositis-and-other-forms-of-
idiopathic-inflammatory-myopathy-beyond-the-basics/print
Miossec P & Kolls JK. 2012. Targeting IL-17 and TH17 cells in chronic inflammation.
Nature Reviews Drug Discovery, 11(10):763–776.
Miyara, M., Yoshioka, Y., Kitoh, A., Shima, T., Wing, K., Niwa, A., Parizot, C., Taflin, C.,
Heike, T., Valeyre, D., Mathian, A., Nakahata, T., Yamaguchi, T., Nomura, T., Ono,
M., Amoura, Z., Gorochov, G. & Sakaguchi, S. 2009. Functional Delineation and
Differentiation Dynamics of Human CD4+ T Cells Expressing the FoxP3
Transcription Factor. Immunity, 30, 899-911.
Mizui M & Tsokos GC. 2018. Targeting Regulatory T Cells to Treat Patients With Systemic
Lupus Erythematosus. Frontiers in immunology, 9:786.
https://doi.org/10.3389/fimmu.2018.00786
Mok CC & Wong RWS. 1998. Risk factors for avascular bone necrosis in Systemic Lupus
Erythematosus. British Journal of Rheumatology, 37:895-900.
Mok CC & Lau CS. 2003. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin. Pathol,
56:481-490.
Mok CC, Lanchbury JS, David WC, & Chak SL. 1998. Interleukin-10 promoter
polymorphisms in southern chinese patients with SLE. Arthritis & Rheumatis,
41(6):1090-1095.
199
Mok, C. C. 2017. Calcineurin inhibitors in systemic lupus erythematosus. Best Practice &
Research Clinical Rheumatology, 31, 429-438.
Mok MY, Farewell VT, & Isenberg DA 2000. Risk factor avascular necrosis of bone in
patients with Systemic Lupus Erythematosus: Is there a role for anti phospholipid
antibodies?. Ann. Rheum. Dis., 59:462-467.
Mongan AE, Ramdahin S, Warrington RJ. 1997. Interleukin-10 response abnormalities in
systemic lupus erythematosus. Scand J Immunol, 46:406-412.
Mont MA & Jones LC. 2000. Management of osteonecrosis in Systemic Lupus
Erythematosus. Rheumatic Diseases Clinics of North America. 26(2):279-309.
Moore KW, de Waal Malefy tR, Coffman RL. et al. 2001. Interleukin-10 and the interleukin-
10 receptor. Annu Rev Immunol, 19:683–765
Morley JJ & Kushner I. 1982. Serum C-Reactive Protein Levels In Disease. Annals of the
New York Academy of Sciences, 389, 406-418.
Moroni G, et al. 2007. The long-term outcome of 93 patients with proliferative lupus
nephritis. Nephrol. Dial. Transplant. 22, 2531–2539.
Moroni G, Gallelli B, Sinico RA, et al. 2012. Rituximab versus oral cyclophosphamide for
treatment of relapses of proliferative lupus nephritis: a clinical observational study. Ann
Rheum Dis. 71(10):1751-1752.
Moroni G, Quaglini S, Maccario M, et al. 1996. ―Nephritic flares‖ are predictors of bad long-
term renal outcome in lupus nephritis. Kidney Int. 50(6):2047-2053.
Namendys-Silva SA, Baltazar-Torres JA, Rivero-Sigarroa E, et al. 2009. Prognostic factors
in patients with systemic lupus erythematosus admitted to the intensive care unit.
Lupus. 18(14):1252-1258.
Narvaez J, Rios-Rodriguez V, de la Fuente D, et al. 2011. Rituximab therapy in refractory
neuropsychiatric lupus: current clinical evidence. Semin Arthritis Rheum. 41(3):364-
372.
National Heart, Lung, and Blood Institute. 2020. Raynaud's. Available from:
https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/raynauds.
Nayak LM, Ridge, N,Fields, M . Park,AY and Erikson J. 2008. Role of B cells in Systemic
Lupus Erythematosus and Rheumatoid Arthitis. Current opinion in immunology,
20(6), 639–645
Neves BM, Lopes MC, Cruz MT. Pathogen strategies to evade innate immune response: a
signaling point of view. In: GDS Xavier (ed). Protein Kinases. Croatia: InTech, 123–
164. Diakses dari: http://www.intechopen.com/books/protein‐kinases/pathogen‐
strategies‐to‐evade‐innate‐immune‐response‐a‐signaling‐point‐of‐view
Nico MM, Vilela MA, Rivitti EA, et al. 2008. Oral lesions in lupus erythematosus:
correlation with cutaneous lesions. Eur J Dermatol. 18:376-381.
Niewold TB, Hua J, Lehman TJ, et al. 2007. High serum IFN-alpha activity is a heritable risk
factor for systemic lupus erythematosus. Genes Immun, 8:492-502
Novira W & Yuliasih. 2005. Seorang Penderita Lupus Eritematosus Sistemik dengan
Angioedema. Laporan Kasus Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 20 Juli 2005.
Obermoser G & Pascual V. 2010. The interferon-alpha signature of systemic lupus
erythematosus. Lupus, 19(9):1012–1019. https://doi.org/10.1177/0961203310371161.
O’flynn, J., Flierman, R., Van Der Pol, P., Rops, A., Satchell, S. C., Mathieson, P. W., Van
Kooten, C., Van Der Vlag, J., Berden, J. H. & Daha, M. R. 2011. Nucleosomes and
C1q bound to glomerular endothelial cells serve as targets for autoantibodies and
determine complement activation. Molecular Immunology, 49, 75-83.
Palacios IF. 1999. Pericardial effusion and tamponade. Current Treatment Options in
Cardiovascular Medicine, 1(1), 79-89.
200
176. doi:10.1016/j.semnephrol.2010.01.007.
Rees F, Doherty M, Grainge MJ, Lanyon P, & Zhang W. 2017. The worldwide incidence and
prevalence of systemic lupus erythematosus: a systematic review of epidemiological
studies. Rheumatology, 56:1945-1961.
Retno E, Yuliasih Y, Soeroso J. 2006. MB-28: Parese Nervus Kranialis Vi Bilateral dan Vii
Perifer Bilateral pada Penderita Lupus Eritematosus Sistemik. Makalah Lengkap Temu
Ilmiah Reumatologi (TIR) 2006. 28-30 April. Jakarta. p:126.
Ronnblom L & Leonard Dag. 2019. Interferon pathway in SLE: one key to unlocking the
mystery of the disease. Lupus Science & Medicine, 6:e000270. doi:10.1136/lupus-
2018-000270.
Ronnelid J, Tejde A, Mathson L, Ekdhal KN, and Nilson B. 2003. Immune complex from
SLE sere induce IL-10 production from normal pheripheral blood mononuclear cells
by an FCγRII dependent mechanism; implication for a possible vicious cycle
maintaining B cell hyperactivity in SLE. Ann Rhum Dis, 62:37-42.
Rood MJ, Keishers V, Linden MW, Tong TQT, Bourgreevee SE, Verweij CL, Bredveld FC,
Huizinga TWJ. 1999. Neuropsyciatric systemic lupus erythematosus is associated
imbalance in IL-10 promoter haplotypes. Ann Rheum Dis, 58:85-89.
Rosenbaum E, Krebs E, Cohen M, Tiliakos A, Derk CT. 2009. The spectrum of clinical
manifestations, outcome and treatment of pericardial tamponade in patients with
systemic lupus erythematosus: a retrospective study and literature review. Lupus, 18:
608-612.
Roubenoff R & Hochberg MC. 1991. Systemic lupus erythematosus. In: BELLAMY, N. (ed.)
Prognosis in the Rheumatic Diseases. Dordrecht: Springer Netherlands.
Ruiz-Arruza I, et al. 2015. Comparison of high versus low-medium prednisone doses for the
treatment of systemic lupus erythematosus patients with high disease activity at
diagnosis. Autoimmun. Rev. 14:875–879.
Ruiz-Arruza I, Ugarte A, Cabezas-Rodriguez I, et al. 2014. Glucocorticoids and irreversible
damage in patients with systemic lupus erythematosus. Rheumatology (Oxford). 53
(8):1470-1476.
Ruiz-Irastorza G, Crowther M, Branch W, et al. 2010. Antiphospholipid syndrome. Lancet.
376(9751):1498-1509.
Rus V, Maury EE, and Hochberg MC. 2007. The epidemiology of systemic lupus
erythematosus. Dalam Dubois’ lupus erythematosus. 7th ed. hlm. 34–44. Disunting
oleh Wallace DJ & Hahn BH. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins
Sajjan VV, Lunge S, Swamy MB, & Pandit AM. 2015. Livedo reticularis: A review of the
literature. Indian Dermatology Online Journal, 6(5):315–321. doi:10.4103/2229-5178.
Sakaguchi, S., Sakaguchi, N., Asano, M., Itoh, M. & Toda, M. 1995. Immunologic self-
tolerance maintained by activated T cells expressing IL-2 receptor alpha-chains
(CD25). Breakdown of a single mechanism of self-tolerance causes various
autoimmune diseases. The Journal of Immunology, 155, 1151.
Sakaguchi S, Miyara M, Costantino CM, & Hafler D. 2010. FOXP3+ regulatory T cells in
the human immune system. Nature reviews: Immunology; 10(7):490–500.
Sakthiswary R, D'Cruz D. 2014. Intravenous immunoglobulin in the therapeutic
armamentarium of systemic lupus erythematosus: a systematic review and meta-
analysis. Medicine (Baltimore). 93(16):e86.
Sandhu V & Quan M. 2017. SLE and Serum Complement: Causative, Concomitant or
Coincidental?. The Open Rheumatology Journal, 11:113-122.
Santiago MB, Machicado V, & Ribeiro DS. 2015. Mutilans-typejaccoud arthropathy. The
Journal of Rheumatology, 42:725.
202
Stephanie I, Yuliasih Y, & Soeroso J. 2008. MB-16: Seorang Penderita LES dengan
Manifestasi Perdarahan Paru. Makalah Lengkap Temu Ilmiah Reumatologi (TIR)
2008. Jakarta. pp:146.
Sterner R, Hartono S, & Grande J. 2014. The Pathogenesis of Lupus Nephritis. Journal of
clinical & cellular immunology, 5(2), 205. 10.4172/2155-9899.1000205.
Stojan G & Petri M. 2018. Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus: an update. Curr
Opin Rheumatol, 30(2): 144–150. doi:10.1097/BOR.0000000000000480.
Sugiura T, Kumon Y, Kataoka H, Matsumura Y, Takeuchi H, & Doi YL. 2009.
Asymptomatic pericardial effusion in patients with Systemic Lupus Erythematosus.
Lupus, 18:128–132.
Tackey E, Lipsky PE, Illei GG. 2004. Rationale for interleukin-6 blockade in systemic lupus
erythematosus. Lupus. 13:339–43.
Talbot JH. 1974. Historical Background of discoid and systemic lupus erythematosus. Dalam
Lupus Erythematosus. hlm. 1. Disunting oleh E.L. Dubois. Los Angeles: University of
California Press.
Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al. 1982. The 1982 revised classification of Systemic Lupus
Erythematosus. Arthritis Rheum. 11:1271-1277.
Tan EM, Feltkamp TE, Smolen JS, et al.. 1997. Range of antinuclear antibodies in ―healthy‖
individuals. Arthritis Rheum. 40:1601-1611.
Thamer M, Hernan MA, Zhang Y, et al. 2009. Prednisone, lupus activity, and permanent
organ damage. J Rheumatol. 36(3):560-564.
Thamrin H, Yuliasih Y, Soeroso J. 2004. MB-22: Paroximal Nokturnal Hemoglobinuria
(PNH) pada Penderita Lupus Eritematosus Sistemik. Makalah Lengkap Temu Ilmiah
Reumatologi (TIR) di Jakarta.
Thong BY, Thumboo J, Howe HS, & Feng PH. 2001. Life-threatening angioedema in
Systemic Lupus Erythematosus. Lupus, 10:304-308.
Thornton AM, Korty PE, Tran DQ, Wohlfert EA, Murray PE, Belkaid Y and Shevach EM.
2010. Expression of Helios, an Ikaros transcription factor family member, differentiates
thymic-derived from peripherally induced Foxp3+ T regulatory cells. J Immunol,
184:3433-3441.
Tjempakasari A, Yuliasih Y, & Soeroso J. 2004. MB-19: Nekrosis Avaskular Caput Femoris
Pada Seorang Penderita Lupus Eritematosus Sistemik. Makalah Lengkap Temu Ilmiah
Reumatologi (TIR) 2004. 27-29 Agustus. Jakarta. p:211.
Trouw LA. 2017. Chapter 23 - Complement System. In: Firestein GS, Budd RC, Gabriel SE,
Mcinnes IB, & O'dell JR (eds.). Kelley and Firestein's Textbook of Rheumatology
(Tenth Edition). Philadelphia: Elsevier.
Tsao BP & Wong M. 2006. Current topic in human SLE genetics. Springer Semin Immun,
28:97-107.
Tsao BP & Wu H. 2007. The genetics of human lupus. Dalam Dubois’ lupus erythematosus.
7th ed. hlm. 54–81. Disunting oleh Wallace DJ, Hahn BH, editors. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Tsokos GC. 2011. Systemic Lupus Erythematosus. New England Journal of Medicine,
365:2110-2121.
Tuomela S, Lahesmaa R. 2013. Early T helper cell programming of gene expression in
human. Diakses dari: https://www.researchgate.net/publication/258640997
Tutuncu ZN and Kalunian KC. 2007. The definition and classification of systemic lupus
erythematosus. In Dubois’ lupus erythematosus . Wallace DJ and Hanh BH (Eds.).
Seven edition. Lippincott Williams & Wilkin. Philadelpia. 16-20.
204
Ugarte-Gil MF and Alarcon GS. 2016. History of systemic lupus erythematosus. Dalam
Systemic Lupus Erythematosus. Disunting oleh Gordon C & Isenberg D. Oxford:
Oxford University Press.
Urowitz and Gladman DD. 2000. How to improve morbidity and mortality in systemic lupus
erythematosus. Rheumatology, 39:238-244.
Urowitz MB, Gladman DD, Abu-Shakra M, Farewell VT. 1997. Mortalities studies in
systemic lupus erythematosus. Results from a single center. III. Improved survival
over 24 years. J Rheumatol, 24:1061-1065
Urowitz MB, Gladman DD. 1998. Measures of disease activity and damage in SLE.
Baillieres Clin Rheumatol, 12:405–13.
Uva L, Miguel D, Pinheiro C, Freitas JP, Marques GM & Filipe P. 2012. Cutaneous
manifestations of Systemic Lupus Erythematosus. Autoimmune Diseases, 2012,
834291-834291.
van Vollenhoven R, Voskuyl A, Bertsias G, et al. 2017. A framework for remission in SLE:
consensus findings from a large international task force on definitions of remission in
SLE (DORIS). Annals of the Rheumatic Diseases, 76:554–561.
Vincent FB, Morand EF, Schneider P, et al. 2014. The BAFF/APRIL system in SLE
pathogenesis. Nat Rev Rheumatol. 10(6):365-373.
Von F, et al. 1995. Systemic Lupus Erythematosus. Recognizing its various presentation.
Postgrad Med, pp.79.
Wallace DJ. 2002. The Musculoskeletal System. In: Wallace DJ, Hahn BH (eds.).
Dubois`Lupus Erythematosus. 6thEdition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
635-639.
Wallace DJ. 2007. The Clinical Presentation of Systemic Lupus Erythematosus. Dalam
Dubois’ lupus erythematosus. 7th ed. hlm. 638-646. Disunting oleh Wallace DJ &
Hahn BH. Philadelphia: Lippincott Williams &Wilkins.
Wallace, D. J., Gordon, C., Strand, V., Hobbs, K., Petri, M., Kalunian, K., Houssiau, F., Tak,
P. P., Isenberg, D. A., Kelley, L., Kilgallen, B., Barry, A. N., Wegener, W. A. &
Goldenberg, D. M. 2013. Efficacy and safety of epratuzumab in patients with
moderate/severe flaring systemic lupus erythematosus: results from two randomized,
double-blind, placebo-controlled, multicentre studies (ALLEVIATE) and follow-up.
Rheumatology, 52, 1313-1322.
Walport M. J. 2002. Complement and systemic lupus erythematosus. Arthritis research, 4
Suppl 3(Suppl 3), S279–S293. https://doi.org/10.1186/ar586
Walport MJ, Davies KA, Botto M, Naughton MA, Isenberg DA, Biasi D, Powell RJ, Cheung
NT, Struthers GR. 1994. C3 nephritic factor and SLE: report of four cases and review
of the literature. QJM. 87:609-615.
Wan YY and Flavell RA. 2007. Regulatory T-cell functions are subverted and converted
owing to attenuated Foxp3 expression. Nature, 445:766-770.
Watson RM, Lane AT, Barnett NK, et al.. 1984. Neonatal lupus erythematosus: a clinical,
serological and immunogenetic study with review of the literature. Medicine. 63:362-
378.
Weaver R.F. 2008. Eukaryotic and their promoter in Molecular Biology. 4th ed. New York:
McGraw Hill.
Wedgwood RJP, Janeway CA. 1953. Serum complement in children with ―collagen
diseases‖. Pediatrics. 11:569-581.
Weinstein RS, Nicholas RW, & Manolagas SC. 2000. Apoptosis of osteocytes in
glucocorticoid-induced osteonecrosis of the hip. The Journal of Clinical Endocrinology
& Metabolism, 85:2907-2912.
205
Wiegers, G. J., Labeur, M. S., Stec, I. E., Klinkert, W. E., Holsboer, F. & Reul, J. M. 1995.
Glucocorticoids accelerate anti-T cell receptor-induced T cell growth. The Journal of
Immunology, 155, 1893.
Wigley FM & Flavahan NA. 2016. Raynaud’s phenomenon. New England Journal of
Medicine, 375:556-565.
Williams RC Jr, Harmon ME, Burlingame R, Du Clos TW. 2005. Studies of serum C-
reactive protein in systemic lupus erythematosus. J Rheumatol. 32:454–61.
Wisnieski JJ, Baer AN, Christensen J, Cupps TR, Flagg DN, Jones JV, Katzenstein PL,
McFadden ER, McMillen JJ, Pick MA. 1995. Hypocomplementemic urticarial
vasculitis syndrome. Clinical and serologic findings in 18 patients. Medicine
(Baltimore). 74:24-41.
Wisnieski JJ, Naff GB. 1989. Serum IgG antibodies to C1q in hypocomplementemic
urticarial vasculitis syndrome. Arthritis Rheum. 32:1119-1127.
Xu L, Kitani A, Fuss I and Strober W. 2007. Cutting edge: regulatory T cells induce
CD4+CD25-Foxp3- T cells or are self-induced to become Th17 cells in the absence of
exogenous TGFbeta. J Immunol, 178:6725-6729.
Yadav M, Louvet C, Davini D, Gardner JM, Martinez-Llordella M, Bailey-Bucktrout S,
Anthony BA, Sverdrup FM, Head R, Kuster DJ, Ruminski P, Weiss D, Von Schack D
and Bluestone JA. 2012. Neuropilin-1 distinguishes natural and inducible regulatory T
cells among regulatory T cell subsets in vivo. J Exp Med, 209:1713-1722.
Yang XO, Nurieva R, Martinez GJ, Kang HS, Chung Y, Pappu BP, Shah B, Chang SH,
Schluns KS, Watowich SS, Feng XH, Jetten AM and Dong C. 2008. Molecular
antagonism and plasticity of regulatory and inflammatory T cell programs. Immunity,
29:44-56.
Yazdany J & Dall’era M. 2013. Chapter 1 - Definition and Classification of Lupus and
Lupus-Related Disorders. In: Wallace DJ& Hahn BH (eds.). Dubois' Lupus
Erythematosus and Related Syndromes, 8th Edition. Philadelphia: WB Saunders.
Yazdany J, Panopalis P, Gillis JZ, et al.. 2009. A quality indicator set for systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. 61(3):370-377.
Yildirim-Toruner, C. & Diamond, B. 2011. Current and novel therapeutics in the treatment of
systemic lupus erythematosus. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 127:303-
312.
Yong-Rui Z, Grimaldi C, Diamond B. 2017. B Cell. In: Firestein, G. S., Budd, R. C., Gabriel,
S. E., Mcinnes, I. B. & O'dell, J. R eds. Kelley and Firestein's Textbook of
Rheumatology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier. 207–230.
Yuliasih Y, Diah Rahmawati L, Maulidya Putri R. 2019. Ratio of Th17/Treg and Disease
Activity in Systemic Lupus Erythematosus. Caspian J Intern Med, 10(1):65-72
Yuliasih Y, Rahmawati LD, Amrita PAN, Widyaningrum S, Kriswanto D. 2020. Cytokines.
Autoantibodies, and Complements in Active Sle Patients From Javanese Population.
IJCP. (proses publikasi).
Yuliasih. 2004. Disease activity in newly diagnosed Systemic Lupus Erythematosus patients
at
Yuliasih. 2007. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XXII Ilmu Penyakit Dalam. pp.41-60.
Yuliasih. 2010. Single nucleotide polimorphisms promoter gen IL-10 sebagai predictor
aktivitas penyakit systemic lupus erythematosus. (Disertasi). Surabaya: Universitas
Airlangga.
Yuliasih. 2015. Single Nucleotide Polymorphisms Promoter Gen IL-10 as Predictor Disease
Activities of Systemic Lupus Erythematosus in Javanese Patients. IAMURE
International Journal of Science and Clinical Laboratory, 1(7).
206
Yuniani A, Yuliasih Y, & Soeroso J. 2004. MB-31: Penatalaksanaan Penderita dengan SLE
dan Paniculitis. Makalah Lengkap Temu Ilmiah Reumatologi (TIR) 2004. 27-29
Agustus. Jakarta. pp.215.
Zamora MR, et al. 1997. Diffuse Alveoli Hemorrhage and Systemic Lupus Erythematosus
Medicine, 77thEd. … pp.192.
Zandman-Goddard G, Blank M, Shoenfeld Y. 2009. Intravenous immunoglobulins in
systemic lupus erythematosus: from the bench to the bedside. Lupus. 18(10):884-888.
Zeĉević RD, Vojvodić D, Ristić B, Pavlović MD, Stefanović D, & Karadaglić D. 2001. Skin
lesions - an indicator of disease activity in systemic lupus erythematosus?. Lupus,
10(5):364–367. https://doi.org/10.1191/096120301675962535
Zen M, Iaccarino L, Gatto M, et al. 2017. The effect of different durations of remission on
damage accrual: results from a prospective monocentric cohort of Caucasian patients.
Ann. Rheum. Dis. 75, 562–565.
Zhang H, et al. 2017. Multitarget therapy for maintenance treatment of lupus nephritis. J. Am.
Soc. Nephrol. 28:3671–3678.
Zheng SG, Gray JD, Ohtsuka K, Yamagiwa S and Horwitz DA. 2002. Generation ex vivo of
TGF-beta-producing regulatory T cells from CD4+CD25- precursors. J Immunol, 169:
4183-4189.
Zheng SG. 2013. Regulatory T cells vs Th17: differentiation of Th17 versus Treg, are the
mutually exclusive? American journal of clinical and experimental immunology,
2:94-106.
Zheng W and Flavell RA. 1997. The transcription factor GATA-3 is necessary and sufficient
for Th2 cytokine gene expression in CD4 T cells. Cell, 89:587-596.
Zielinski CE, Mele F, Aschenbrenner D, Jarrossay D, Ronchi F, Gattorno M, et al. 2012.
Pathogen-induced human TH17 cells produce IFN-gamma or IL-10 and are regulated
by IL-1beta. Nature, 484:514–518.