Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KESLING KAWASAN PESISIR DI MALUKU

NAMA : RADA WALEULU


NIM : P07133019029
TINGKAT : 3A

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALUKU


AMBON
PRODI SANITAS
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur atas rahmat Allah SWT, berkat


rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul Kesling
Kawasan Pesisir Di Maluku dapat selesai.Makalah ini dibuat dengan tujuan
memenuhi tugas akhir semester 3 dari Bapak M.Natsir Ely S.ST pada
bidang mata kuliah Kesling Kawasan Pesisir. Selain itu, penyusunan
makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada pembaca tentang
Kesling Kawasan Pesisir Di Maluku.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak M.Natsir
Ely S.ST selaku dosen mata kuliah Kesling Kawasan Pesisir. Berkat tugas
yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan
topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah
ini masih melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon
maaf atas kesalahan dan ketaksempurnaan yang pembaca temukan dalam
makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca
apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Ambon,23 September 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
A. LATAR BELAKANG...................................................................
B. TUJUAN.....................................................................................
C. RUMUSAN MASALAH..............................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
A. KAWASAN PESISIR..................................................................
B. KAWASAN PESISIR NUSANTAR.............................................
C. PUSAKA BUDAYA KAWASAN PESISIR DI MALUKU.............
D. EKOSISTIM PESISIR................................................................
E.IKLIM............................................................................................
BAB III PENUTUP.....................................................................................
A. KESIMPULAN............................................................................
B. SARAN.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut merupakan sumber potensi terbesar yang
dimiliki oleh indonesia, negara indonesia yang hampir sebagian besar
mencakup wilayah maritim tentunya penggalian potensi pesisir untuk
meningkatkan nilai ekonomi dan taraf hidup masyarakat akan menunjang
pembangunan berkelanjutan. Salah satu potensi perairan yang dapat
dimanfaatkan adalah eksploitasi dan eksplorasi minyak. Kegiatan
eksploitasi dan eksplorasi tersebut meliputi pengeboran dan penyelesaian
sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan
pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak bumi sering
mengakibatkan terjadinya pencemaran minyak pada lahan-lahan di area
sekitar aktivitas tersebut berlangsung. Potensi eksploitasi dan eksplorasi
minyak yang tidak di imbangi dengan upaya pengendalian kelestarian
perairan akan menimbulkan ancaman serius bagi keberlanjutan
sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan eksploitasi dan eksplorasi
minyak di laut memiliki dampak negatif yaitu tumpahan minyak.
Tumpahan minyak dapat berasal dari kebocoran pipa minyak, tabrakan
kapal tanker minyak, kegiatan ekploitasi minyak lepas pantai (off shore)
kegiatan bongkar muat minyak.
Pengendalian pencemaran di wilayah pesisir dan laut merupakan
salah satu wujud usaha pelestarian lingkungan pesisir dan sumberdaya
alam yang dikandungnya. Keberhasilan kegiatan ini sangat ditentukan
oleh penggunaan metode yang tepat dan tersedianya informasi keadan
lingkungan yang lengkap.Salah satu metode yang tepat digunakan untuk
mengumpulkan informasi mengenai keadaan lingkungan sekitar wilayah
pesisir adalah dengan pendekatan Indeks Kepekaan Lingkungan.
Indeks Kepekaan lingkungan (IKL) atau ESI (Environmental
Sensitivity Index) merupakan pendekatan multidicipline yang meliputi
penginderaan jauh, sistem informasi geografi, biologi, hidro oseanografi,
sosial, ekonomi, dll. Hasil akhir dari IKL dapat digunakan untuk
membantu upaya pengendalian, pemantauan dan tanggap darurat di
daerah. Selain itu, dapat digunakan untuk menemukan caracara yang
dapat dengan cepat dan akurat menginformasikan tingkat sensitivitas
lingkungan yang disajikan dalam bentuk spasial peta indeks kepekaan
lingkungan.
Pemetaan IKL adalah salah satu sistem klasifikasi dan ranking
kepekaan juga kerentanan suatu ekosostem perairan dari ancaman
tumpahan minyak yang menjadi komponen utama dalam program
rencana pembangunan kelautan dan pesisir berbasis lingkungan. Pada
setiap wilayah pesisir mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda
terhadap gangguan lingkungan yang diterima, baik faktor alam maupun
kegiatan dan aktivitas manusia.
Pemetaan nilai kepekaan lingkungan dapat di lakukan dari hasil
pengukuran insitu dan data dari penginderaan jarak jauh yang di
integrasikan dengan sistem informasi geografis (SIG). Selain itu
pemetaan IKL juga berguna untuk membuat zonasi tingkat kerentanan
terhadap tumpahan minyak di wilayah pesisir pantai sebagai acuan untuk
menghitung klaim ganti rugi serta menyusun berbagai kebijakan
lingkungan dan kebijakan yang berhubungan dengan rencana
pengelolaan wilayah tersebut. Menurut Samawi dalam penelitiannya
diacu dalam Maulina et al (2011), menunjukkan bahwa penggunaan
aplikasi penginderaan jauh dengan penggunaan model dinamik secara
sistematik dalam pengendalian pencemaran dapat mengurangi biaya
dalam pengambilan keputusan, yang lebih efisien.
Pemetaan sensitivitas lingkungan terhadap kemungkinan terjadinya
pencemaran minyak adalah suatu upaya penting yang harus dilakukan
dalam upaya mendukung pengembangan strategi respon dan kesiapan
dalam suatu insiden tumpahan minyak. Berbagai jenis komponen
lingkungan dan sumberdaya pesisir yang berpotensi terkena tumpahan
minyak sebagai dasar dalam prioritas perlindungan dan pembersihan
sangat penting untuk diidentifikasi. Pemetaan sensitivitas lingkungan juga
sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terjadinya kerusakan
sumberdaya pesisir pantai.
Keberadaan hutan mangrove, serta keanekaragaman flora dan
fauna laut merupakan potensi yang memiliki nilai ekonomi yang
menjanjikan, baik di bidang produksi maupun di bidang pariwisata. Saat
ini ekosistem pantai terancam kelestariannya terutama oleh kegiatan
manusia. Sumber daya pantai merupakan anugerah alam yang sangat
berharga bagi mahluk hidup yang perlu dikelola dan dikembangkan
secara baik untuk kepentingan saat ini dan dimasa yang akan datang.
B. Tujuan
1. Mengidentifikasi kondisi ekosistem dan sumberdaya serta aktifitas
masyarakat yang ada di wilayah pesisir pantai
2. Menganalisis tingkat kepekaan lingkungan (Indeks Kepekaan
Lingkungan/ IKL) untuk setiap entitas di pesisir pantai
3. Melakukan proyeksi informasi atribut IKL tersebut ke dalam bentuk
informasi spasial (peta).
C. Rumusan Masalah
Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya menurun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
Kebanyakan rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat
aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan
pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak.
Ekosistem lainnya yang mengalami kerusakan cukup parah adalah
ekosistem terumbu karang
BAB II
PEMBAHASAN

Pesisir adalah sebuah wilayah yang unik, karena bila diamati dari
kondisi bentang alamnya, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya
daratan dan lautan (Kay dan Alder 1999). Di kawasan ini juga terjadi proses-
proses marin, seperti erosi, deposisi, dan badai alam yang mempengaruhi
proses pembentukan daratan dan laut. Dengan karakteristik yang mencakup
dua bentang alam ini, batasan wilayah pesisir hingga saat ini masih menjadi
perdebatan. Hingga kini, bisa dikatakan belum ada sebuah definisi yang
benar-benar baku tentang wilayah pesisir. Namun demikian, terdapat
kesepakatan umum secara internasional, bahwa wilayah pesisir merupakan
wilayah peralihan antara daratan dan laut (Bengen 2001: 44-48).
Sebagai sebuah zona peralihan, kawasan pesisir bisa membentang
ratusan hingga ribuan meter bergantung pada kemiringan, substrat dan
margin pantai. Bahkan menurut Ford (2001), jika dampak-dampak iklim turut
menjadi pertimbangan, maka margin kawasan yang serupa dengan wilayah
lain di Nusantara, perlu dikelola dengan semestinya untuk kemajuan dan
kesejahteraan bersama. Makalah ini merupakan langkah awal untuk
mencoba mengamati potensi pusaka budaya kawasan pesisir di Maluku
serta membuka ruang diskusi bagi arah pengelolaan ke depan.
Sebuah keputusan yang bermuara pada upaya pembenahan dan
pengembangan tata-kelola bahari nasional. Perhatian atas sektor strategis
dimaksud selama ini melekat pada aspek geopolitik dan ekonomi. Dengan
wilayah perhatian yang melekat pada kawasan laut dan perairan; dan isu
pengelolaan batas negara serta perikanan. Kawasan pesisir sebagai bagian
dari bentang bahari kiranya belum banyak mendapat perhatian. Demikian
halnya dengan aspek-aspek lain yang berkarakter sosialbudaya, termasuk
yang berkaitan dengan isu pengelolaan pusaka budaya. Padahal rekam
sejarah budaya menunjukan dengan jelas, peran sentral kawasan pesisir
dalam tumbuh kembang peradaban Nusantara. Sebaran luas pusaka budaya
dan situs-situs arkeologi di kawasan pesisir merupakan cermin nilai strategis
wilayah ini secara kultural.
Potensi kolosal yang kiranya perlu untuk diperhatikan dan dikelola
dengan semestinya, termasuk di Maluku. Bercermin pada kondisi tersebut
maka permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimana profil dan karakteristik potensi pusaka budaya
kawasan pesisir di Maluku ditinjau dari sudut pandang studi
arkeologi?
2. Bagaimana bentuk pendekatan pengelolaan yang relevan bagi
potensi spesifik ini di wilayah Maluku?
Sebagai upaya awal untuk membuka ruang diskusi akademis bagi
pengelolaan pusaka budaya kawasan pesisir maka perhatian pada aspek
konseptual menjadi fokus dalam makalah ini. Karena itu pendekatan yang
pesisir bisa melebar hingga beberapa ratus kilometer ke arah daratan. Dalam
pandangan Ford, definisi kawasan pesisir sebaiknya tetap dibiarkan terbuka
untuk kemudian dimaknakan sesuai dengan konteks kawasan dan
pertanyaan penelitian.
A. KAWASAN PESISIR
Kawasan pesisir ditetapkan sebagai batas antara daratan dan air
laut. Biasanya penghitungan dilakukan dari batas teritori pemerintahan,
contohnya dari batas teritorial laut.Biasanya penghitungan dilakukan dari
batas teritori pemerintahan, contohnya dari onbatas teritorial laut. Kedua,
melalui pendekatan yang disebut variable distance definitions. Batas
kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan beberapa ukuran yang ada di
kawasan ini, misalnya diukur dari batas air tertinggi.Dalam Konteks ini,
batas kawasan tidak ditentukan secara pasti, namun bergantung pada
variabelvariabel tertentu yang ada di kawasan tersebut. Antara lain
konstruksi tapal batas; tanda-tanda alam baik berupa fisik maupun
biologis; dan batas administratif. Ketiga, penetapan kawasan pesisir
berdasarkan definisi yang akan dipakai. Dalam konteks ini, suatu
kawasan ditetapkan sebagai kawasan pesisir berdasarkan masalah atau
isu apa yang akan dipakai. Pendekatan ini biasanya digunakan oleh
negara besar atau lembaga internasional tertentu. Keempat, pendekatan
yang dikenal sebagai definisi hibrid. Pendekatan ini mengadopsi lebih dari
satu definisi atau mengkombinasikan lebih dari dua pendekatan untuk
memaknakan kawasan pesisir.
Dalam konteks nasional, definisi wilayah .pesisir sejatinya telah
ditetapkan secara yuridis melalui UU No 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal tersebut dituangkan
dalam pasal 1 ayat 2 UU dimaksud yang menyebutkan “Wilayah pesisir
adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan darat dan laut”.Dalam terminologi ini, batas
wilayah pesisir di Indonesia dapat dipahami sebagai wilayah daratan
yang berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah
yang tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses marin
seperti pasangsurut, angin laut, dan intrusi garam. Batas di laut adalah
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan
seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-
daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia di daratan.
Fungsi pertama adalah kawasan pesisir menjadi wilayah sumber
untuk sumberdaya alam yang produktif, baik yang dapat dikonsumsi
langsung maupun tidak langsung, meliputi sumber daya alam hayati
seperti perikanan, terumbu karang, dan rumput laut; dan sumber daya
alam non-hayati yang terwakili dalam sumber mineral seperti minyak
bumi dan gas alam. Fungsi kedua adalah sebagai zona penerima limbah,
ekosistem pesisir menjadi tempat menampung limbah yang dihasilkan
dari kegiatan manusia.
Selain nilai penting dalam dimensi ekologis di atas, kawasan pesisir
juga memiliki peran kunci secara politik, sosial, dan ekonomi. Secara
politis dalam konteks kedaulatan negara, kawasan pesisir merupakan
ranah terdepan dalam matra daratan kewilayahan negara. Gerbang
utama akses ke daratan Nusantara. Keberadaan kawasan pesisir menjadi
pilar utama kedaulatan teritori yang harus dikawal dan dikelola. Hal itu
menyebabkan pengawasan atas kawasan pesisir nasional semakin
menjadi perhatian dalam dekade terakhir. Pembentukan Badan
Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) sebagai pelembagaan
kebijakan yang diantaranya meliputi pengawasan kawasan pesisir
Nusantara merupakan salah satu implementasi upaya dimaksud.
Ditinjau dari segi sosial, kawasan pesisir juga menjadi wilayah kunci
dalam peta kewilayahan negara. Wilayah ini menjadi rumah bagi
sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan bentang demografi yang
sedemikian besar, segenap kompleksitas yang menyertai pengelolaan
penduduk juga melekat pada kawasan pesisir. Hal mana membuat aspek
sosial selayaknya juga menjadi perhatian dalam upaya pengelolaan dan
pengembangan kawasan pesisir.
Sejarah budaya Nusantara telah menunjukan bahwa kawasan
pesisir menjadi gerbang bagi tumbuh kembang budaya dan peradaban.
Kemunculan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara hampir sebagian
besar didukung oleh kemampuan mengelola potensi karakteristik
geografisnya yang berada di wilayah pesisir. Imperialisme Eropa yang
mendominasi Nusantara selama hampir tiga abad, merupakan hasil dari
kemampuan mengelola titik-titik kekuasaan di kawasan pesisir secara
efektif.
Wilayah pesisir juga memiliki nilai penting bagi arkeologi dan studi
sejarah budaya. Bertautan dengan latar historisnya, kawasan pesisir
menjadi rumah bagi ribuan pusaka budaya yang ada di Nusantara. Situs
hingga kota dengan nilai sejarah budaya tinggi, membentang di
sepanjang pesisir Nusantara. Hal tersebut membuat wilayah pesisir
memiliki peran sentral dalam konteks pengelolaan pusaka budaya.
Segenap warisan budaya nasional ini memerlukan pendekatan
pengelolaan yang selaras dengan potensinya dan keunikan karakteristik
lingkungannya.
B. KAWASAN PESISIR NUSANTARA
Dalam perjalanan menuju Kepulauan Maluku, Fransisco Serrao dan
armadanya singgah di Pelabuhan Gresik. Di sini orang-orang Portugis
mengisi perbekalan dan merekrut beberapa nahkoda asal Jawa sebagai
pemandu. Pemimpin armada bahkan menikah dengan seorang
perempuan setempat. Kapal-kapal Portugis kemudian melanjutkan
perjalanan menyusuri pesisir utara Kepulauan Sunda Kecil, hingga
kemudian mencapai Kepulauan Rempah-Rempah. Para pendatang ini
membangun hubungan dengan para penguasa setempat dan dimulailah
simpul niaga Maluku-Eropa langsung oleh orang-orang kulit putih.
Selanjutnya, sejarah sudah menuliskan semua dengan jelas
(Abdurahman 2008: 1-22)
Kawasan pesisir di Nusantara mulai memiliki peran sentral sejak
awal kedatangan manusia ke wilayah ini. Pesisir, setidaknya hingga saat
itu, menjadi batas bentang alam penjelajahan kelompok migran pertama
ke wilayah ini. Salah satu jejak tertua dinamika budaya pesisir kiranya
diwakili oleh keberadaan gundukan sampah kerang yang ada di pesisir
timur Pulau Sumatera (Soejono dkk. 2008: 183). Hal itu mewakili
pendekatan adaptasi manusia pada era prasejarah yang melekat pada
wilayah pesisir sebagai kawasan sumber substensi.
Jejak paling khas kiranya diwakili oleh praktek penguburan
tempayan yang ditemukan secara luas di Nusantara dan umumnya
memiliki lokus di kawasan pesisir. Situs-situs penguburan tempayan yang
ditemukan, hampir semuanya memiliki kedekatan dekat geografi pesisir.
Hasil studi arkeologis selama beberapa dekade terakhir juga telah
menemukenali situs-situs dari awal masa sejarah yang ada di
Nusantara.Geografi situs-situs ini umumnya memang berada di kawasan
pesisir, yaitu di pantai atau muara sungai. Keletakan ini agaknya terkait
dengan posisi yang memungkinkan dan memudahkan untuk membuka
komunikasi, interaksi, serta persentuhan dengan dunia luar.
1. Ada beberapa definisi mengenai wilayah pesisir dari berbagai
sumber,antara lain:
a. Menurut Dahuri (2001) memberikan penjelasan mengenai wilayah
pesisir
sebagai berikut :
“Sampai sekarang belum ada definisi wilayah pesisir yang baku.
Namu demikian, kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah
pesisir adalah suatuwilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai(coastal), maka suatu wilayah
pesisir memiliki dua macam batas (boundaries),yaitu batas yang
sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus
terhadap garis pantai (cross-shore) (Dahuri, 2001 : 6)”
b. Menurut Poernomosidhi (2007) memberikan pengertian mengenai
wilayah pesisir sebagai berikut :
Wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan
darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama
lainnya, baik secara biogeofisik maupun sosial ekonomi. Wilayah
pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat
interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di
lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat
laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin;
sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di
darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran (Poernomosidhi, dalam Supriharyono,
2009 tentang “Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di
Wilayah Pesisir dan Laut Tropis”).
Daerah pinggir laut atau wilayah darat yang berbatasan
langsung dengan bagian laut disebut sebagai pantai. Pantai juga
bisa didefinisikan sebagai wilayahpertemuan antara daratan dan
lautan. Lebih lanjut pengertian "pesisir" bisa dijabarkan dari dua
segi yang berlawanan, yakni:
1) Dari segi daratan, Pesisir adalah wilayah daratan sampai
wilayah laut yangmasih dipengaruhi sifat-sifat darat (seperti:
angin darat, drainase air tawar dari sungai, sedimentasi).
2) Dari segi laut, Pesisir adalah wilayah laut sampai wilayah
darat yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut (seperti: pasang
surut, salinitas, intrusi air laut ke wilayah daratan, angin laut).
C. PUSAKA BUDAYA KAWASAN PESISIR DI MALUKU
Serupa dengan Nusantara, Maluku juga dibentuk oleh geografi
kepulauan. Terdapat lebih dari seribu pulau yang membentang dari
Morotai di utara hingga Selaru di selatan. Pulau Halmahera di utara dan
Pulau Seram di bagian tengah Maluku merupakan pulau terbesar.
Dengan karakteristik yang demikian rupa, maka Maluku menjadi salah
satu wilayah dengan bentang kawasan pesisir terpanjang di Indonesia.
Selama ini wajah sejarah budaya Maluku biasanya melekat dengan gelar
sebagai Kepulauan Rempah-Rempah. Kepulauan ini memang menjadi
rumah bagi dua komoditi penting berabad silam, yaitu cengkeh dan pala.
Keberadaan kedua komoditi inilah yang membawa para pendatang asing
hadir di wilayah ini sejak awal Masehi hingga mencapai puncaknya ketika
orang-orang Eropa tiba dan menguasai kepulauan ini.
Peran kawasam d pesisir Maluku di awal Masehi kiranya tercermin
oleh sebaran luas nekara Don Son di pulau-pulau kecil di wilayah
ini.Sejauh ini tercatat ada 13 objek masa logam awal yang tersebar di
pulau-pulau kecil di selatan Maluku. Keberadaan nekara ini kiranya
menjadi refleksi keberadaan jaringan niaga antara Maluku dan wilayah
sebelah barat Nusantara hingga Asia Daratan. Dengan karakteristik
sebaran yang terfokus di pulau-pulau kecil, kawasan pesisir hadir sebagai
ruang interaksi antara pemukim awal dan para pendatang (Ririmasse
2015: 25-35).
Peran ini semakin mengemuka menyusul tumbuh dan
berkembangnya pengaruh Islam di Maluku. Pusat-pusat pertumbuhan
Islam sebagaimana terwakili lewat keberadaan kerajaan-kerajaan Islam
awal di Maluku semuanya melekat dengan kawasan pesisir. Kerajaan
Ternate-Tidore dikenal sebagai bandar niaga dengan tradisi pelabuhan
yang kuat. Serupa dengan kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Maluku
Tengah seperti Hitu dan Hoamoal yang menyatu dengan geografi
lingkungan pesisir dan menjadi bandar niaga utama bagi perdagangan
cengkih.
Dinamika kawasan pesisir dalam sejarah budaya Maluku kemudian
mencapai puncaknya menyusul kedatangan orang-orang Eropa. Hadir
untuk tujuan niaga pada awalnya, para pendatang Eropa mendominasi
kekuatan politik di wilayah ini untuk menguasai tata niaga rempah-
rempah atas kawasan. Pada era ini kawasan pesisir menjadi simpul-
simpul untuk tujuan niaga tersebut. Hal itu dapat diamati dari pola
sebaran benteng di Kepulauan Maluku yang hampir semuanya terletak di
kawasan pesisir. Di sini, benteng-benteng kolonial tidak hanya berfungsi
sebagai wahana pertahanan, namun juga dimanfaatkan sebagai titik
distribusi niaga rempa ke dunia luar.
Dalam jalinan sejarah budaya yang sedemikian panjang, kawasan
pesisir menjadi bentang alam utama tempat situs-situs arkeologi di
Maluku tersebar. Karakter wilayah kepulauan dengan pulau-pulau kecil,
membuat kawasan pesisir menjadi gerbang persentuhan dengan dunia
luar dan zona interaksi antar masyarakat.
1. Gambaran Umum Provinsi Maluku
Maluku merupakan provinsi di wilayah timur Indonesia dengan
posisi strategis antara seluruh wilayah barat dan tengah Indonesia
dengan Papua di bagian timur. Demikian juga dapat menghubungkan
wilayah selatan termasuk Australia dan Timor Leste dengan wilayah
utara seperti Maluku Utara dan Sulawesi. Posisi ini menyebabkan
provinsi Maluku sebagai titik persilangan yang memiliki peranan
penting sebagai wilayah transit. Kondisi wilayah kepulauan ini
memberikan arti penting bagi prospek pengembangan ekonomi
wilayah yang tidak hanya bertumpu pada wilayah daratan, tapi
sebagian besar akan mengarah pada pesisir, laut dan pulau-pulau
kecil
a. Letak Geografis
Secara geografis Provinsi Maluku berbatasan dengan
Provinsi Maluku Utara di bagian Utara, bagian Timur berbatasan
dengan Provinsi-provinsi Papua Barat, bagian Barat berbatasan
dengan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah dan bagian
Selatan berbatasan dengan Negara Timor Leste dan Australia.
Secara Astronomi Provinsi Maluku terletak antara 2 30’ – 8
30’ Lintang Selatan dan 124 – 135 30’ Bujur Timur, dengan luas
wilayah 712.479,65 Km2 (7,6%) ialah luas daratan dan 658.294,69
Km2 (92,4%) adalah luas lautan.Sebagai provonsi kepulauan,
Maluku memiliki 32 pulau besar dan kecil. Pulau-pulau dimaluku
antara lain Pulau Seram, Pulau Buru, Pulau Yamdena dan Pulau
Wetar. Dengan kondisi wilayah yang dominan perairan, Provinsi
Maluku sangat terbuka untuk berintegrasi dengan provinsi-provinsi
dan negara sekitar.
b. Iklim
Provinsi Maluku beriklim tropis dan iklim muson, iklim ini
sangat dipengaruhi oleh eksistensi perairan laut yang luas dan
berlangsung seirama dengan iklim musim yang ada. Suhu
minimum rata-rata sebesar 23,8 derajat cecius dan suhu
maksimum rata-rata sebesar 31,1 derajat celcius. Kelembaban
udara berdasarkan stasiun meteorologi Ambon ialah 83,%
terendah, terendah pada bulan Januari sebesar 76% dan tertinggi
pada bulan September sebesar 91%.
c. Topografi
Rata-rata topografi wilayah Kota Ambon agak datar mulai
dari pesisir pantai sampai dengan wilayah pemukiman. Morfologi
daratan Kota Ambon bervariasi dari datar, berombak,
bergelombang dan berbukit serta bergunung dengan lereng
dominan agak landai sampai dengan curam.Keadaan topografi
wilayah Maluku Tengah, Seram bagian Barat dan Seram bagian
Timur umumnya berbukit. Topografi wilaya Maluku Tenggara
dibagi atas daratan, berbukit dan bergunung dengan lereng datar,
landai/berombak, bergelombang, curam dan agak curam.
D. EKOSISTIM PESISIR
Ekosistem pesisir yang terdapat di Kawasan Teluk Ambon adalah
ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Hutan mangrove
merupakan hutan hujan yang terdapat di sepanjang garis pantai perairan
tropis sampai sub-tropis dan mempunyai ciriciri tersendiri dengan
kekhasan biota yang hidup disana. Menurut Bengen (2003), ekosistem
mangrove mempunyai beberap fungsi ekologis penting.
1. sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari
abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh
aliran air permukaan.
2. Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal
dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari
detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para
pemakan detritus, dan
3. sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara
yang berperan dalam penyuburan perairan
4. Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan
(feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam
biota perairan (ikan, udang dan kerang-kerangan) baik yang hidup di
perairan pantai maupun lepas pantai.
Kawasan teluk Kota Ambon merupakan wilayah pesisir, kondisi
ekosistem pesisir di Kawasan Teluk Ambon dipengaruhi oleh
polapemanfaatan lahan saat ini dibandingkan dengan daya dukung
dan kesesuaian lahan terjadi pegeseran pemanfaatan, yaitu :
kawasan lindung berubah fungsi menjadi kawasan campuran dan
pertanian lahan kering sebesar 83,12%, sempadan pantai yang
berubah fungsi menjadi kawasan bandara, kawasan campuran,
permukiman, pertanian lahan kering sebesar 96,02%, pertanian lahan
kering yang berubah fungsi menjadi kawasan permukiman, kawasan
campuran adalah sebesar 8,70%. Hal ini mengakibatkan penurunan
terhadap kualitas perairan sehingga dapat mempengaruhi yang
mempunyai pengaruh erhadap kondisi perairan teluk yang dapat
mempengaruhi kondisi ekosistem pesisir. Hal ini dapat dilihat dari
status ekosistem pesisir.
Status ekosistem pesisir dapat dinilai berdasarkan pada kriteria
kerusakan ekosistem dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tahun
2004. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201
tahun 2004 dengan indikator penilaian adalah kerapatan pohon, status
ekosistem mangrove di kawasan teluk termasuk dalam kriteria sedang
hingga jarang, dengan kerapatan 780-1420 pohon/ha. Status
ekosistem lamun berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No. 200 tahun 2004 termasuk dalam kriteria kurang kaya atau kurang
sehat dengan penutupan sebesar 33,13% hingga 44,39%. Status
ekosistem terumbu karang yang didasarkan pada Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup nomor 04 tahun 2001 tentang Kriteria baku
kerusakan terumbu karang, status ekosistem terumbu karang
termasuk sedang hingga baik, dengan tutupan karang hidup sebesar
29,4 ±51,71%. Kondisi ekosistem kawasan teluk ini mengalami
penurunan rata-rata sebasar 11,23% (2003-2008).
E. IKLIM
Iklim di Kota Ambon sangat dipengaruhi oleh kondisi laut dan musim
yang berlangsung di wilayah tersebut. Hal ini dapat dipahami karena
selain letak kota tersebut berada pada suatu pulau yang dikelilingi
perairan laut/samudera juga dikarenakan dalam periode tertentu terjadi
perputaran arah angin yang bertiup (terutama yang dan arah lautan ke
daratan). Oleh karenanya ikim Kota Ambon termasuk iklim laut tropis dan
iklim musim. Iklim musim yang dimaksud adalah musim Barat (Utara) dan
musim Timur (Tenggara), yang diantaranya diselingi oleh musim
Pancaroba.
Berdasarkan data yang tercatat di Stasiun Meteorologi Ambon (di
Lanud Pattimura), ternyata curah hujan di wi!ayah Kota Ambon selama
peniode tahun 1993 -- 1997 cukup tinggi, yaitu sebesar 14.096,4 mm atau
rata-rata 2.819 mm/tahun, dan jumlah hari hujan tercatat sekitar 1.085
hari atau rata-rata hari hujan 217 hari per tahun (18,1 hari per bulan).
Curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 1996 yaitu sebesar 4.494,6 mm
dan terendah pada tahun 1993 yaitu sebesar 1.865,2 mm. Sedangkan
ditinjau per bulan, ternyata curah tertinggi terjadi pada bulan Juli yaitu
rata-rata sebesar 487,9 mm, dan curah hujan terendah terjadi pada bulan
September yaitu rata-rata sebesar 82,7 mm. Kemudian jumlah hari hujan
terbanyak ternyata pada bulan Juni yaitu rata-rata 24,2 hari dan paling
sedikit hari hujan terjadi pada bulan Nopember, yaitu 9,8 hari. Jadi musim
hujan terjadi di Kota Ambon antara bulan AprilAgustus, sedangkan saat
kemarau berlangsung antara bulan September - Maret.
Kawasan terbangun yang terjadi saat ini secara umum
memperlihatkan bentuk/pola linier melingkar sepanjang pesisir Pantai
Teluk Ambon dan Teluk Dalam. Pola lingkungan permukiman / kawasan
perumahan yang banyak dibangun saat mi adalah berpola grid, yang
dalam perkembangannya pembangunan kawasan perumahan tersebut
cenderung memanfaatkan daerah-daerah perbukitan yang terletak pada
kemiringan lereng antara 15-30%. Keadaan ini perlu diwaspadai, untuk
mencegah terjadmnya menurunnya daya dukung/kerusakan lingkungan.
untuk itu diperlukan adanya kegiatan pengawasan dan pengendalian
yang lebih kontinu terhadap segala bentuk kegiatan pembangunan yang
memerlukan lahan dalam skala besar. Selain itu berdasarkan informasi
terakhir banyak terdapat kawasan permukiman yang terbakar sebagai
akibat dan kerusuhan yang terjadi/berlangsung di wilayah Propinsi
Maluku dan khususnya di wilayah Kota Ambon, termasuk dibeberapa
kawasan desa/kelurahan yang ada d kawasan pengamatan
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan
(Kay dan Alder 1999). Di kawasan ini juga terjadi proses-proses marin,
seperti erosi, deposisi, dan badai alam yang mempengaruhi proses
pembentukan daratan dan laut. Dengan karakteristik yang mencakup dua
bentang alam ini, batasan wilayah pesisir hingga saat ini masih menjadi
perdebatan.
B. Saran
Menghindari terjadinya pencemaran yang lebih lanjut di masa
mendatang dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang daerah
mempunyai kerentanan dan kepekaan tinggi di daerah nya.
DAFTAR PUSTAKA

https://repository.unja.ac.id/958/4/Pendahuluan.pdf

https://www.boyyendratamin.com/2013/09/model-pengelolaan sumber- daya-


pesisir.html?amp=1&m=1

https://ejournal.unpatti.ac.id/ppr_iteminfo_lnk.php?id=188

Anda mungkin juga menyukai