Anda di halaman 1dari 10

Neuroinfeksi

ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS

Candra Arisandi (C155172007)

Pembimbing:
Dr. dr. Jumraini Tammase, Sp.S(K)

Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
2021
PENDAHULUAN
Virus herpes simpleks (VHS) merupakan anggota dari subfamily alphaherpesvirus,
memiliki karakteristik siklus replikasi yang pendek, dektruksi cepat pada sel inang, dan
kemampuan latensi pada ganglion sensorik manusia. Meskipun lebih sering dikenal sebagai virus
yang menyerang mukokutan, VHS juga dapat menyebabkan ensefalitis herpes simpleks (EHS)
yang berakibat fatal. Terdapat dua tipe VHS yang pathogen pada manusia. Virus herpes simpleks
tipe 1 (VHS-1) dihubungkan dengan infeksi pada orofasial dan merupakan penyebab EHS
terutama pada anak dan dewasa, sedangkan VHS tipe 2 (VHS-2) dihubungkan dengan infeksi
genital juga merupakan penyebab EHS pada masa neonatus. Pada anak dan usia dewasa, EHS
terdapat pada lobus temporalis dan frontalis. Pada neonatus, kerusakan otak yang ditimbulkan
lebih luas dan disebabkan oleh VHS-2 yang biasanya didapatkan saat persalinan. Meningitis
herpes simpleks paling banyak disebabkan VHS-2 dan sering berhubungan dengan infeksi herpes
genital yang terjadi bersamaan.

EPIDEMIOLOGI
Infeksi herpes simpleks pada susuan saraf pusat (SSP) Merupakan infeksi SSP yang
paling berat dan sering berakibat fatal. Angka kejadiannya diperkirakan satu kasus per 250.000
sampai 500.000 orang per tahun. Seperti pada penelitian yang dilakukan di Universitas Alabama,
Birmingham, Amerika Serikat (AS), yang menegakkan diagnosanya berdasarkan hasil biopsy
otak dan menemukan insiden satu kasus per 300.000 orang. Di AS ditemukan 10-2-% kasus
infeksi virus SSP adalah EHS. Dewasa ini, penegakkan diagnosis dengan biopsy otak mulai
diganti seagai pemeriksaan polimare chain reaction (PCR). Angka kematian pada kasus tanpa
pengobatan berkisar 70% sedangkan pada kasus dengan pengobatan angka kematian sekitar 19%
dan lebih dari 50% pasien dapat bertahan mengalami deficit neurologi sedang hingga berat.

Penyakit EHS merupakan penyakit endemic dan tidak terdapat kaitan dengan musim.
Terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Terdapat distribusi bimodal
pada kasus EHS, yaitu satu per tiga kasus terjadi di usia 6 bulan – 20 tahun dan setengah kasus
terjadi pada pasien usia di atas 50 tahun. Di antara pasien dewasa rerata umur yang terjadinya
kasus ini adalah 58 tahun.
STRUKTUR HSV

(Gambar 1) Struktur HSV-1. Gen HSV terletak di inti kapsid yang dikelilingi oleh tegumen dan dilindungi oleh selubung (envelope).

Pada kondisi infeksius, struktur HSV tersusun dari 4 komponen penting yaitu, inti,
kapsid, tegumen dan envelope (Gambar 1). Pada inti terdapat single molekul linear double
stranded (ds) DNA. Inti ini dikelilingi oleh nucleocapsid yang tersusun atas 162 kapsomer dan
berdiameter 100 nm. Antara nucleocapsid dan envelope terdapat area yang amorf, asimetris yang
dikenal dengan nama tegumen. Area ini mengandung enzim penting yang berfungsi dalam
proses replikasi dan mengambil alih komponen sel inang (Singh et al., 2005).

PATOFISIOLOGI
Patogenesis EHS masih belum banyak dipahami. Sekitar 30% kasus EHS terkait infeksi
HSV Primer (lebih sering pada anak – anak dan remaja), sementara 70% kasus merupakan
reaktivasi kasus HSV sebelumnya. Manifestasi klinis antara pasien infeksi primer dan pasien
reaktivasi tidak menunjukkan perbedaan.

Berikut ini adalah jalur potensial kemungkinan terjadinya infeki EHS:

1. Infeksi primer HSV-1 pada orofaring dengan invasi SSP via traktus trigeminus dan
olfaktorius.
2. Infeksi primer VHS -1 dengan infeksi SSP melalui penyebaran hematogen.
3. Invasi SSP setelah episode infeksi VHS orofasial berulang, menggambarkan reaktivasi
virus di perifer diikuti penyebaran secara aksonal.
4. Infeksi SSP tanpa adanya infeksi VHS di perifer sebelumnya, menggambarkan reaktivasi
virus laten di dalam SSP.
Secara histopatologi, EHS memiliki karakteristik ensefalitis dengan nekrosis yang
melibatkan lobus temporal, lobus infero-frontal, dan korteks insular hemisfer serebri. Pada awal
penyakit, biasanya terjadi secara unilateral, namun keterlibatan bilateral seringkali ditemukan
pada autopsi. Hal ini menunjukkan diikutinya ekstensi penyebaran ke hemisfer kontralateral.
Seiring dengan progresi penyakit, terjadi perdarahan di area inflamasi dan terjadi kavitasi di area
nekrosis. Nekrosis melibatkan semua tipe sel, termasuk neuron, astrosit, dan oligodendrosit.

Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya EHS tidak diketahui. Walaupun EHS sering
didapatkan pada pasien dengan penurunan sistem imun, sebagian besar pasien tidak pernah
mengalami supresi imun. VHS asimtomatik sering dijumpai berdasarkan tingginya prevalensi
antibodi terhadap VHS pada populasi. Infeksi VHS laten dalam otak merupakan bagian terbesar
dari penyakit neurologis asimtomatik. Dari hasil otopsi, VHS dijumpai di otak pada 35%
populasi tanpa gejala neurologis hingga pasien meninggal. Pada sebagian besar kasus, EHS
berkembang progresif yang diawali dengan kelainan neurologi. Dengan berkembangnya metode
diagnosis noninvasif yang sangat sensitif, pasien dengan gejala ringan dan tidak khas dapat
didiagnosis. Kasus-kasus tersebut mencapai 20% dari kasus total dan termasuk pasien
imunodefisien, kelainan lobus temporalis nondominan atau infeksi VHS-2.

MANIFESTASI KLINIS
Pada dewasa, EHS muncul sebagai ensefalitis akut (terkadang subakut) dengan lesi awal
khas yang melibatkan regio frontal dan temporal unilateral. Lokasi lesi anatomi yang spesifik ini
akan memberikan gambaran klinis berupa beberapa tanda dan gejala seperti di Tabel 1 berikut.

Tabel I. Tanda dan gejala pasien EHS


Gambaran Klinis Persentase
Demam 80 %
Disorientasi / Bingung 72%
Gangguan perilaku / kepribadian 59%
Nyeri kepala 58%
Gangguan status mental 58%
Kejang 54%
Defisit neurologis fokal 41%
Mual dan muntah 40%
Afasia 40%
Koma 33%
Meningismus 28%

Gejala awal yang biasa sering muncul adalah demam, nyeri kepala, gangguan perilaku,
dan terkadang halusinasi olfaktorik. Tanda dan gejala biasanya progresif dalam hitungan hari.
Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial terutama akibat edema atau perdarahan di lobus
temporal dapat menyebabkan herniasi. Hal ini memberikan tanda utama berupa gangguan
kesadaran.

DIAGNOSIS
Pada kasus suspek EHS, pemeriksaan harus dimulai dengan cepat dan tidak harus
menunda pengobatan. Pemeriksaan laboratorium umum tidak membantu dalam diagnosis tetapi
dapat menunjukkan bukti infeksi atau mendeteksi penyakit ginjal (pengobatan harus
disesuaikan).

1. Pemeriksaan Laboratorium: Pungsi lumbal harus segera dilakukan pada semua pasien yang
dicurigai EHS, kecuali pada pasien yang memiliki kontraindikasi seperti peningkatan
tekanan intrakranial yang bermakna. Analisis cairan serebrospinal (CSS) secara khas
menunjukkan pleositosis mononuklear dengan peningkatan ringan kadar protein sedangkan
kadar glukosa normal atau sedikit menurun (Tabel 2). Pada fase awal penyakit, kadang
jumlah sel normal, walaupun pada pemeriksaan serial selalu dijumpai peningkatan jumlah
sel dan protein.

Tes cairan Serebrospinal Temuan


Leukosit 25-45/mm3
Persentase limfosit 75-90%
Glukosa 60-75 mg/dL
Protein 65-85 mg/dL
Tabel 2. Temuan cairan serebrospinal pada pasien EHS

Analisis polymerase chain reaction (PCR) pada CSS telah dikembangkan dan sangat
berguna terutama pada fase awal infeksi. Tes ini bersifat sensitif (94-98%) dan spesifik (98-
100%) untuk menegakkan diagnosis EHS walaupun sudah mendapat terapi antivirus. Dalam
memenuhi standar kriteria diagnosis, pemeriksaan PCR tersedia dalam 24 jam sejak setelah
dilakukannya pemeriksaan CSS. Dengan PCR menunjukkan aktivitas DNA virus. Pemeriksaan
PCR tidak dilakukan secara rutin pada pemeriksaan CSS, pemeriksaan hanya dilakukan jika
terdapat kecurigaan adanya EHS. DNA VHS sangat stabil dengan pembekuan, pendinginan atau
dalam temperatur ruangan tempat penyimpanan CSS. Oleh karena itu pemeriksaan dapat
dilakukan beberapa hari atau beberapa minggu setelah spesimen diambiI.

2. Pemeriksaan Radiologis :
a. Magnetic resonance imaging (MRI) otak merupakan pemeriksaan radiologis terdipilih.
Pemeriksaan ini mampu menunjukkan perubahan patologis yang biasanya unilateral
(dapat bilateral jika sudah terjadi progresivitas), pada bagian medial, lobus temporalis
dan bagian inferior lobus frontalis. Adanya lesi pada lobus temporalis merupakan hal
bermakna dalam dugaan EHS. Sekuens diffusion weighted imaging (DWI) dilaporkan
lebih superior dibandingkan sekuens fluid attenuated inversion recovery (FLAIR) dalam
mendiagnosis fase awal EHS. MRI secara noninvasif dapat menegakkan banyak
diagnosis banding yang potensial dari EHS. Pada awal EHS, Citra MRI menunjukkan
perubahan (edema) pada girus cinguli dan lobus temporal medial. Pada pemeriksaan
ulangan mungkin sudah dijumpai perdarahan.
b. Computed tomography scan (CT scan) kepala dapat menunjukkan perubahan pada lobus
temporalis dan frontalis tetapi kurang sensitif dibanding dengan MRI. Edema dan
perdarahan dapat terlihat pada CT scan tetapi pada sepertiga pasien EHS dijumpai CT
scan kepala normal.

3. Pemeriksaan EEG menunjukkan abnormalitas pada pasien EHS, seperti spike dan slow-
wave atau pola periodic sharp-wave pada lobus temporalis. EEG dikatakan cukup sensitif
untuk mendeteksi pola abnormal pada EHS tetapi tidak spesifik. Pola EEG yang paling
banyak ditemukan pada pasien EHS adalah periodic lateralized epileptiform discharges
(PLED) yang berasal dari lobus temporal yang terlibat. Biopsi otak merupakan satu-satunya
pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis EHS. Mortalitas dan morbiditas yang
berhubungan dengan prosedur pemeriksaan dikatakan rendah dan dapat digunakan untuk
menentukan diagnosis alternatif dan apakah jenis penyakit masih dapat diterapi atau tidak.
Pada penelitian terbaru dikatakan hasil pemeriksaan PCR sama akurat dengan biopsi otak
dalam menegakkan diagnosis EHS.
Algoritme untuk manajemen dasar suspek ensefalitis herpes simpleks (EHS)

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada pasien EHS adalah ensefalitis viral lain yang dapat menyerupai
EHS (termasuk varicella zoster virus/VZV, cytomegalovirus/CMV, Ebstein-Barr virus/EBV,
enterovirus, adenovirus, dan virus influenza). Etiologi Iain seperti meningitis atau abses serebri
dapat disebabkan Oleh bakteri dan infeksi jamur. Perlu dipikirkan juga kemungkinan Iain seperti
kejadian vaskular, keganasan pada SSP, sindrom paraneoplastik, atau proses autoimun pada SSP.

TATA LAKSANA

Tujuan pengobatan adalah memperpendek perjalanan klinis penyakit, mencegah


komplikasi dan mencegah berkembangnya rekurensi penyakit. Manajemen terapi pada pasien
EHS adalah terapi suportif intensif, kendali kejang, dan inisiasi awal terapi antiviral.
a. Terapi Antiviral
Obat pilihan adalah aciclovir, yang merupakan bahan antivirus yang secara selektif
menghambat replikasi virus tanpa merusak sel normal dengan mengadakan kompetisi dengan
guanosid pada proses polimerasi DNA virus. Aciclovir dikatakan mempunyai efek ikutan
minimal. Obat ini diekskresi melalui ginjal dan dosis harus diturunkan pada pasien dengan
disfungsi ginjal.
Aciclovir terbukti dalam penelitian randomized clinical trial (RCT) menurunkan
mortalitas dari 70% (tanpa terapi antiviral) menjadi 25%. Aciclovir juga merupakan satu-
satunya obat yang disetujui Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat sebagai
terapi EHS. Dosis aciclovir intravena adalah 10 mg/kgBB/dosis setiap 8 jam selama 10—21
hari.
Jika kelarutan maksimum fraksi bebas aciclovir melebihi batas akan terjadi kristalisasi
yang dapat menginduksi terjadinya nefropati. Faktor risiko timbulnya nefropati adalah cara
pemberian intravena, pemberian dalam infus secara cepat, dehidrasi, diberikan bersama
dengan pemberian Obat Iain yang juga bersifat nefrotosik, memiliki penyakit ginjal sebagai
penyakit dasar, dan dosis pemberian terlalu tinggi. Risiko terjadi toksisitas dapat dihindari
dengan melakukan hidrasi secara adekuat (misalnya 1 ml cairan perhari tiap 1 mg aciclovir
yang diberikan tiap hari). Karena Ph yang ditimbulkan tinggi, pemberian intravena
mengakibatkan flebitis dan inflamasi Iokal jika terjadi ekstravasasi. Gangguan pencernaan,
nyeri kepala, dan ruam kulit sering dijumpai sebagai efek samping. Aciclovir dapat
digunakan pada ibu hamil yang mengalami infeksi berat.
Ensefalitis herpes simpleks adalah penyebab tersering kasus ensefalitis virus di negara-
negara industri sehingga terapi aciclovir dapat segera diberikan tanpa menunggu hasil
konfirmasi EHS dari PCR.

b. Kortikosteroid
Secara teori, kortikosteroid dapat menekan respons inflamasi di SSP selama ensefalitis
dan mengurangi proses patologi yang dimediasi sistem imun. Namun demikian, perlu
diperhatikan juga bahwa efek imunosupresi akibat kortikosteroid dapat memicu replikasi
virus dan meningkatkan risiko terjadinya diseminasi. Bukti ilmiah yang ada saat ini belum
dapat merekomendasikan penggunaan steroid sebagai terapi rutin pada pasien EHS. Saat ini
sedang berjalan penelitian RCT (GACHE Trial) terapi kortikosteroid plus aciclovir pada
pasien EHS yang mungkin dapat memberikan jawaban di kemudian hari.

KOMPLIKASI

Kejang sering dijumpai dan beberapa penulis merekomendasikan terapi profilaksis Obat
antikejang pada pasien dengan EHS berat. Edema Otak yang terjadi kadang-kadang dapat diatasi
dengan terapi steroid walaupun penggunaan steroid pada EHS masih kontroversial, Terapi
tambahan untuk edema otak meliputi hiperventilasi dan barbiturat. Komplikasi lain yang mirip
dengan penyulit pada pasien penyakit kritis dan gangguan kesadaran berat lain (misalnya
pneumonia aspirasi, trombosis vena dalam dan dekubitus).

PROGNOSIS
Usia pasien, status neurologis, durasi gejala sebelum pemberian terapi aciclovir
merupakan prediktor klinis, Pasien dengan koma pada saat diagnosis ditegakkan mempunyai
prognosis yang lebih buruk tanpa memperhitungkan usia. pasien dengan kesadaran nonkomatosa,
prognosisnya tergantung usia. prognosis lebih baik jika usia <30 tahun.

Status neurologis pasien yang bertahan hidup meliputi: 46% tanpa defisit atau defisit
yang sangat ringan, 12% defisit sedang dan 42% mengalami defisit berat. Diperkirakan 5-10%
pasien yang berhasil hidup akan mengalami kekambuhan dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu setelah terapi selesai. Pada beberapa pasien, kekambuhan disebabkan karena reaktivasi
virus, sedangkan yang lain terkait reaksi immune-mediated setelah EHS.

Sekuele jangka panjang, dapat berupa disfungsi bahasa, disfasi amnesia, gangguan
memori, amnesia anterograd, perubahan fungsi eksekutif, disinhibisi, perseverasi, halusinasi,
gangguan belajar, disnomia dan gangguan kognitif berat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Scheld W, Whitley R, Marra C. Infections of the Nervous System. 4 thed. Philadelphia:


Wolters Kluwer Health; 2014.
2. Whitley R. Herpes simplex encephalitis: Adolescents and adults. Antiviral Research.
2006;71(2-3):141-148.
3. Fenichel GM. Clinical pediatric neurology a signs & symptoms approach. 5 thed.
Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005. H.1-43.
4. George B, Schneider E, Venkatesan A. Encephalitis Hospitalization Rates and Inpatient
Mortality in the United States, 2000-2010. PLoS ONE. 2014;9(9): e104169.
5. Gnann J, Whitley R. Herpes Simplex Encephalitis: an Update. Current Infectious
Disease Reports. 2017;19(3).
6. Corey L, Spear P. Infections with herpes simplex viruses. N EnglJ Med. 1986;314: 749-
757.
7. Kohl S. Postnatal herpes simplex virus infection. In: Feign RD,Cherty JD, eds.
Textbook of pediatric infectious diseases. Philadelphia: VVB Saunders; 1992.
8. Ropper A, Samuels M, Klein J, Prasad S. Adams and Victor's principles of neurology.
11th ed. New York: McGraw-Hill; 2019.
9. Baringer JR, Pisani P. Herpes Simplex virus genomes in human nervous system tissue
analyzed by polymerase chain reaction. Ann Neurol. 1994; 36:823-829.
10. Solomon T, Michael BD, Smith PE, Sanderson F, Davies NWS, Hart IJ, et al.
Management of suspected viral encephalitis in adult - Association of British
Neurologists and British Infection Association National Guidelines. Journal of
Infection. 2012;64: 347-373.
11. Sili U, Kaya A, Mert A. Herpes simplex virus encephalitis: Clinical manifestations,
diagnosis and outcome in 106 adult patients. Journal of Clinical Virology.
2014;60(2):112-118.
12. Whitley R. Diseases that mimic herpes simplex encephalitis. Diagnosis, presentation,
and outcome. NIAD Collaborative Antiviral Study Group. JAMA: The Journal of the
American Medical Association. 1989; 262(2):234-239.

Anda mungkin juga menyukai