Disusun untuk memenuhi Ulangan Akhir Semester mata kuliah Fikih Ibadah
Disusun oleh:
KELAS C
FAKULTAS SYARIAH
2021
1
I. Pendahuluan
Menurut terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang
mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah, akhlak, maupun amaliah
(ibadah), yakni sama dengan arti syariah islamiyyah. Namun, pada perkembangan
selanjutnya, fikih diartikan sebagai bagian dari syariah islamiyyah, yaitu
pengetahuan tentang hukum syariah islamiyyah yang berkaitan dengan perbuatan
manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang
terinci. Fiqih adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai zan,
karena ditarik dari dalil-dalil yang zanny. Bahwa hukum fikih itu adalah zanny
sejalan pula dengan kata “almuktasab”dalam definisi tersebut yang berarti
“diusahakan” yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran
manusia dalam penarikannya dari al-qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Sementara
ibadah secara bahasa berarti patuh (al-tha‟ah), dan tunduk (al-khudlu). Ubudiyah
artinya tunduk dan merendahkan diri. Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat
disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah SWT.
Menurut kamus Al-Muhith alabdiyah, al-ubudiyah, dan al-íbadah artinya taat.
Dan dalam Mukhtar AshShihhah6 , makna dasar al-ubudiyah adalah ketundukan dan
kepasrahan, sementara atta‟bid artinya kepasrahan. Dikatakan thariq (jalan) muábbad
dan unta yang muábbad artinya yang sudah disiapkan. Semua makna ini sesuai
dengan isytiqaq-nya.
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal 7Hasan
Saleh, Kajian Fiqih Nabawi dan Kontemporer, (Jakarta: Karisma Putra Utama Ofset,
2008), hlm. 4 yang dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti
yang khusus adalah perbuatan ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Ibadah dalam arti yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat, Shaum,
Hajji, Kurban, Aqiqah Nadzar dan Kifarat. Dari pengertian diatas jika digabungkan,
maka Fiqih Ibadah adalah ilmu yang menerangkan tentang dasardasar hukum-hukum
syar‟i khususnya dalam ibadah khas seperti meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum,
hajji, kurban, aqiqah dan sebagainya yang kesemuanya itu ditujukan sebagai rasa
bentuk ketundukan dan harapan untuk mecapai ridla Allah SWT.
2
Wabah Corona Virus Disease atau lebih dikenal dengan nama virus Corona atau
covid-19 yang pertama kali terdeteksi muncul di Cina tepatnya di Kota Wuhan
Tiongkok pada akhir tahun 2019. Virus ini kemudian mendadak menjadi teror
mengerikan bagi masyarakat dunia, terutama setelah merenggut ribuan nyawa
manusia dalam waktu yang relatif singkat. Hampir kurang lebih 200 Negara di Dunia
terjangkit virus corona termasuk Indonesia. Berbagai upaya dalam rangka
pencegahan, pengobatan, dan sebagainya pun telah dilakukan dalam mencegah
penyebaran virus corona, hingga lockdown dan social distancing di kota-kota besar
sudah dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus korona.
Dalam Islam wabah virus korona ini merupakan sebuah ujian bagi suatu kaum
agar selalu mendekatkan diri kepada Allah. Islam juga mengajarkan istilah lockdown
dan social distancing dalam rangka pencegahan penularan penyakit, sebagian para
ulama menyebutkan Istilah penyakit ini disebut dengan Tho’un yaitu wabah yang
mengakibatkan penduduk sakit dan berisiko menular.
3
II. Pembahasan
1. A. Fikih Shalat Jama’ah
Pada dasarnya, azan dan iqamah adalah syiar Islam, sebagai tanda
masuknya waktu shalat fardhu. Persoalannya bagaimana mengumandangkan
azan di masa pandemi Covid-19 ini, di mana imbauan pemerintah dan fatwa
Majlis Ulama Indonesia (MUI) atas masukan dari ahli kesehatan untuk
menjaga jarak fisik atau sosial dalam memutus rantai penyebaran Covid-19.
Di satu sisi, azan adalah panggilan shalat berjamaah (hayya ‘ala shalah). Di
sisi lain, ada larangan berjamaah di masjid karena dianggap melanggar
penerapan physical distancing. Sebenarnya, di masa pandemi Covid-19 ini
dalam lafal azan “hayya ala shalah” dapat diganti menjadi redaksi shallu fi
buyutikum atau shallu fi rihalikum yang artinya “Shalatlah di rumah atau
kediaman kalian”.
Yang intinya warga diberikan rukhsah shalat di rumah masing-masing
secara berjamaah dengan anggota keluarga. Ini kondisi darurat, menjaga jiwa
dari tertularnya virus yang mematikan hukumnya wajib. Bahkan berdasarkan
sejarah, Masjidil Haram ditutup pada tahun 827H karena wabah melanda
Mekkah dan menelan korban 1.700 jiwa. Dan hal yang sangat penting yaitu
“Qunut Nazilah” atas adanya musibah di masa pandemi ini, karena bahaya
yang menimpa kaum Muslimin, baik secara keseluruhan ataupun kawasan
tertentu.
Pembacaan doa qunut nazilah ini sangat tepat dilaksanakan setiap waktu
shalat, terlebih telah difatwakan oleh MUI di tengah pandemi Covid-19 ini
sudah masuk kategori musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Adapun
bacaan doa qunut nazilah tidak ada teks khusus, sehingga doa yang dibacakan
sesuai dengan konteksnya.
4
apabila ada uzur misal sakit, hujan lebat, termasuk di masa pandemi Covid-
19. Terkait pandemi Covid-19 ini, diharamkan bagi yang terpapar Covid-19
mengikuti shalat jumat di mesjid dengan dalil hadits, “Jangan yang sakit
bercampur baur dengan yang sehat” (HR. AlBukhari dan Muslim), di hadits
lain, “Jika kalian mendengar kabar tentang merebaknya wabah Tha’un di
sebuah wilayah, janganlah kamu memasukinya. Dan, jika kalian tengah
berada di dalamnya, maka janganlah kamu keluar darinya”. (HR. Bukhari dan
Muslim). Bagi yang uzur shalat jumat, agar melaksanakan shalat dhuhur
empat rakaat di rumah. Dengan demikian, yang uzur shalat jumat karena
Covid-19 ini agar menggantinya shalat dhuhur di rumah, akan memperoleh
seperti pahala shalat jumat, dalilnya adalah hadits “Jika seorang hamba
tertimpa sakit, atau tengah bepergian, maka ia dicatat memperoleh ganjaran
serupa ketika ia melakukannya dalam kondisi muqim dan sehat”. (HR. Al-
Bukhari)
Fatwa tentang penyelenggaraan ibadah tersebut, mengatur juga pelaksanaan
shalat Jumat di tengah wabah.
Dalam fatwa tersebut diingatkan untuk melaksanakan sholat Jumat, selain tata
cara dan sesuai Rukun Shalat Jumat, yang perlu ditingkatkan adalah protokol
kesehatan, seperti:
Memakai masker
Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
Menjaga jarak.
Ini yang dikenal dengan 3M.
2. Fikih I’tikaf
Menurut para ulama fiqih, i’tikaf adalah berdiam dirinya seorang muslim
di dalam masjid dengan niat ibadah. Memang pendapat yang rajih (kuat)
mensyaratkan berdiam diri di masjid dalam ibadah i’tikaf. Hal ini bisa kita
lakukan dalam keadan normal. Akan tetapi selama masa PSBB, yang
mengharuskan kita untuk social distancing maka kita boleh mengambil
pendapat sebagian ulama malikiyah yang membolehkan untuk i’tikaf di
5
masjid rumah. memilih pendapat marjuh yang membolehkan i’tikaf di
mushalla rumah bisa menjadi alternatif pilihan selama kendala yang dihadapi
masyarakat masih berlangsung, yaitu pandemi Covid-19. Jika kendala hilang
dan keadaan kembali seperti sedia kala, maka kembali ke hukum asal i’tikaf
yaitu i’tikaf harus berdiam diri di masjid mengikuti pendapat rajih yang
dipegang mayoritas ulama. Dengan memilih pendapat yang membolehkan
i’tikaf di rumah memiliki pengaruh yang besar karena dengan demikian kita
bisa melaksanakan sunnah i’tikaf sekaligus menjaga keluarga agar terhindar
dari tertular pandemi Covid-19.
6
dengan syarat jenazah dimandikan tetap memakai pakaian.
Jika tidak, maka ditayamumkan.
4) Petugas membersihkan najis (jika ada) sebelum memandikan;
5) Petugas memandikan jenazah dengan cara mengucurkan air
secara merata ke seluruh tubuh;
6) Jika atas pertimbangan ahli yang terpercaya bahwa jenazah
tidak mungkin dimandikan, maka dapat diganti dengan
tayamum sesuai ketentuan syariah, yaitu dengan cara:
a) Mengusap wajah dan kedua tangan jenazah (minimal
sampai pergelangan) dengan debu.
b) Untuk kepentingan perlindungan diri pada saat
mengusap, petugas tetap menggunakan APD.
7) Jika menurut pendapat ahli yang terpercaya bahwa
memandikan atau menayamumkan tidak mungkin dilakukan
karena membahayakan petugas, maka berdasarkan ketentuan
dlarurat syar’iyyah, jenazah tidak dimandikan atau
ditayamumkan
b. Mengafani
Pedoman mengafani jenazah yang terpapar COVID-19 dilakukan
sebagai berikut:
1) Setelah jenazah dimandikan atau ditayamumkan, atau karena
dlarurah syar’iyah tidak dimandikan atau ditayamumkan,
maka jenazah dikafani dengan menggunakan kain yang
menutup seluruh tubuh dan dimasukkan ke dalam kantong
jenazah yang aman dan tidak tembus air untuk mencegah
penyebaran virus dan menjaga keselamatan petugas.
2) Setelah pengafanan selesai, jenazah dimasukkan ke dalam peti
jenazah yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan
ke kanan sehingga saat dikuburkan jenazah menghadap ke
arah kiblat.
7
3) Jika setelah dikafani masih ditemukan najis pada jenazah,
maka petugas dapat mengabaikan najis tersebut.
c. Mengshalati
Pedoman menyalatkan jenazah yang terpapar COVID-19 dilakukan
sebagai berikut:
1) Disunnahkan menyegerakan shalat jenazah setelah dikafani.
2) Dilakukan di tempat yang aman dari penularan COVID-19.
3) Dilakukan oleh umat Islam secara langsung (hadhir) minimal
satu orang. Jika tidak memungkinkan, boleh dishalatkan di
kuburan sebelum atau sesudah dimakamkan. Jika tidak
dimungkinkan, maka boleh dishalatkan dari jauh (shalat
ghaib).
4) Pihak yang menyalatkan wajib menjaga diri dari penularan
COVID-19
d. Menguburkan
Pedoman menguburkan jenazah yang terpapar COVID-19 dilakukan
sebagai berikut:
1) Dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan protokol
medis.
2) Dilakukan dengan cara memasukkan jenazah bersama petinya
ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan
kafan.
3) Penguburan beberapa jenazah dalam satu liang kubur
dibolehkan karena darurat (al-dlarurah al-syar’iyyah)
sebagaimana diatur dalam ketentuan Fatwa MUI nomor 34
tahun 2004 tentang Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Jana’iz)
Dalam Keadaan Darurat.
4. Fikih Zakat
8
Zakat merupakan salah satu rukun agama, serta merupakan salah satu
budaya luhur Islam, yang datang memproklamirkan persamaan, kasih
mengasihi, kerjasama, dan dapat menjamin kelestarian manusia untuk
kemaslahatan dunia dan akhirat. Allah SWT menjadikan zakat sebagai sarana
penyuci bagi pelakunya dari kebakhtilan serta sebagai wahana menumbuhkan
sikap-sikap solidaritas atau moralitas, serta sebagai sarana penyamarataan di
antara hamba-Nya dari harta yang Allah titipkan kepada mereka, juga sebagai
wujud bantuan orang-orang yang kaya kepada orang-orang fakir, yang tidak
mampu mencukupi kebutuhan hartanya, dan tidak punya kekuatan untuk
bekerja. Zakat juga sebagai sarana mewujudkan ketentraman, yang tidak akan
terwujud jika masih adanya komunitas masyarakat yang kelaparan.
Proses pengumpulan zakat dalam konteks masa kini lebih banyak
mengikuti konsep fundraising, yaitu suatu kegiatan yang memiliki tujuan
penggalangan dana untuk tujuan tertentu. Fundraising zakat berarti upaya
mengumpulkan zakat dari perorangan atau badan usaha untuk mencapai
tujuan zakat. Sumber utama fundraising zakat adalah muzakki. Maka,
mengingat proses fundraising zakat merupakan hal yang mendasar bagi upaya
pengelolaan zakat, pihak-pihak yang telah diberi wewenang untuk mengelola
zakat harus mampu meyakinkan masyarakat muslim mengenai pentingnya
zakat.
Program penyaluran khusus meliputi program darurat kesehatan dan
program darurat sosial ekonomi :
Pada program darurat kesehatan, BAZNAS telah melaksanakan langkah-
langkah strategis, seperti menyelenggarakan edukasi kepada masyarakat
untuk menjaga Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penyemprotan
disinfektan di tempat-tempat publik, memasang wastafel sehat di beberapa
pusat keramaian, menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga
kesehatan yang tersebar di rumah sakit rujukan Covid -19, serta menyediakan
ruang isolasi bagi pasien yang memiliki gejala terinfeksi Covid-19 di Rumah
Sehat Baznas (RSB). Pada program darurat sosial ekonomi, BAZNAS
memprogramkan pemenuhan paket logistik keluarga, program Cash For
9
Work (CFW) yang melibatkan pekerja informal, memprioritaskan penyaluran
zakat fitrah kepada masyarakat yang terkena dampak, serta melakukan
bantuan secara langsung kepada mereka yang membutuhkan.
Program penyaluran pengamanan dengan menerapkan beberapa penyesuaian
di antaranya:
a. Adaptasi proses: adaptasi cara berbisnis mustahik, pengamanan
produk mustahik dari paparan Covid-19, mengubah pola pemasaran,
mengubah pola pembinaan, dan lain-lainnya.
b. Adaptasi output: salah satunya pada perubahan produksi para penjahit
menjadi produksi masker kain, contoh lainnya para produsen madu
dapat meningkatkan volume produksi madu, dan lain-lainnya.
10
III. Penutup
Fiqih Ibadah adalah pemahaman terhadap yang berkaitan dengan peribadahan
manusia kepada Allah SWT. Ibadah adalah segala bentuk hukum, baik yang dapat
dipahami maknanya (ma‟qulat al-ma‟na) seperti hukum yang menyangkut dengan
muamalah pada umumnya, maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair
ma‟qulat ma‟na).Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah
adalah ilmu yang menerangkan tentang dasardasar hukum-hukum syar‟i khususnya
dalam ibadah khas seperti meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban,
aqiqah dan sebagainya yang kesemuanya itu ditujukan sebagai rasa bentuk
ketundukan dan harapan untuk mecapai ridla Allah SWT. Islam menegakkan ibadah
atas beberapa sendi yang dapat membersihkan jiwa dan usaha melaksanakan dengan
11
sewajarnya dan dengan semestinya, dan tetap memelihara inti sari ibadah dan Setiap
ibadah memiliki hikmah.
12
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2005),
hlm. 67.
VI. Biodata
Nama : Satria Budiman
13
Tempat Tanggal Lahir : Pekalongan, 22 Juli 2002
Alamat : Jl. KH Dewantoro Landungsari Gg.2 No.1
Pekalongan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Berat Badan : 80 kg
Tinggi Badan : 178 cm
14