Anda di halaman 1dari 11

“Salah satu tujuan syariat agama adalah menjaga jiwa (hifdz an-

fas). Oleh sebab itu, perlu dicari satu formula agar pelaksanaan
agama (hifz ad din) sejalan dengan tujuan menjaga jiwa (hifdz an-
fas)

Pelaksanaan ibadah haji di masa pandemi berbeda dalam kondisi


normal. Jamaah haji tidak bisa leluasa melaksanakan amalan-
amalan sunnah.

1. Kelonggaran Hukum Manasik Haji dan Umrah di Masa


Pandemi

2. Istitha’ah Haji di Masa Pandemi. “Ini akan dikaitkan dengan


adanya kebijakan pembatasan umur, vaksinasi, syarat bebas
komorbid, dan lainnya,” ujar Arsyad.

3. Ihram dan Miqat di Masa Pandemi. Antara lain membahas


miqat jemaah Indonesia ketika diberangkatkan dalam skema dua
gelombang (Jeddah dan Madinah) atau hanya satu gelombang
(Jeddah), dan kaitannya dengan proses karantina kedatangan.

4. Thawaf, Sai dan Cukur/Tahallul. Bagaimana hukum


meninggalkan istilam hajar aswad dan rukun yamani,
meninggalkan munajat di multazam dan hijir Ismail, meninggalkan
salat di Maqam Ibrahim, kemungkinan meninggalkan Tawaf
Wada’, akan dibahas pada bagian ini. “Termasuk juga
pembahasan tentang kemungkinan larangan berdoa di Shafa dan
Marwah untuk menghindari kerumunan, serta ketentuan protokol
bercukur dengan alat yang tidak bergantian,”
5. Arbain dan Ziarah Madinah di Masa Pandemi. Bagian ini akan
membahas dasar hukum pelaksanaan Arbain dan bagaimana jika
ditinggalkan? Termasuk kemungkinan ziarah ditiadakan selama di
Madinah?

6. Denda Pelanggaraan Haji/Dam di Masa Pandemi. Menurut


Arsyad, dalam konteks pandemi, perlu ada bahasan hukum
tentang pemberlakuan dam, jenis dam apa saja yang harus
dibayar dan dam apa yang gugur.

7. Wukuf, Mabit di Muzdalifah dan Mina, Melontar Jumrah dan


Nafar di Masa Pandemi. Ini akan mengupas ragam pendapat fiqih
tentang batasan waktu wukuf. Misalnya, bagaimana hukum
meninggalkan Arafah sebelum magrib, pelaksanaan safari wukuf
bagi jemaah sakit, dan badal haji bagi jemaah terpapar Covid dan
jemaah isolasi.

“Jika pada masa normal, jamaah haji Indonesia bisa


melaksanakan umroh sunnah berulangkali, hal ini tidak bisa lagi
dilaksanakan,” demikian seperti ditulis dalam buku Tuntutunan
Manasik Haji dan Umrah di Masa Pandemi yang disusun tim
Kementerian Agama.

Haji saat pandemi bisa diibaratkan dalam keadaan perang (qital)


karena mempertaruhkan nyawa. Ibadah haji dilaksanakan dalam
bayangan rasa takut (fi syiddah al-khauf).

Dalam hal pelaksanaan yang ideal tak bisa terlaksana akibat


pandemi, maka jamaah haji melaksanakan ibadah sesuai
dengan batasan-batasan yang dimungkinkan sesuai
dengan tuntutan realitas di masa pandemi.

Walau demikian, pelaksanaan haji di masa pandemi tetap harus


memenuhi rukun dan wajib haji terutama rukun dan wajib haji
yang disepakati para ulama. Beberapa wajib haji yang
diperselisihkan para ulama seperti mabit di Muzdalifah masih
mungkin untuk ditawar demi menghindari resiko berkumpulnya
manusia yang dapat menyebabkan penyebaran Covid-19.

Pemerintah Kerajaan Arab Saudi tanggal 12 Juni 2021/2


Zulkaidah 1422 H telah mengumumkan keputusan penting yang
ditunggu-tunggu umat Islam sedunia. Arab Saudi akhirnya
memutuskan bahwa ibadah haji 1442 H/2021 M ditetapkan hanya
untuk warga negara Saudi dan penduduk negara lain yang telah
berada di negara tersebut. Karena situasi Pandemi COVID 19,
kuota haji tahun ini hanya 60 ribu orang untuk calon jemaah haji
yang sudah berdiam di Arab Saudi.

Sebelumnya, Pemerintah Republik Indonesia pada 3 Juni 2021


telah mengumumkan pembatalan keberangkatan jemaah pada
penyelenggaraan ibadah haji tahun 1422 H/2021 M. Keputusan
yang "pahit" tersebut diambil di tengah situasi penyebaran
Pandemi Covid 19 yang masih tinggi dan mengkhawatirkan.
Keselamatan dan keamanan jemaah haji menjadi pertimbangan
utama Pemerintah Indonesia, sebagaimana disampaikan Menteri
Agama RI Yaqut Cholil Qoumas.

Umat Islam yang merindukan mengunjungi Baitullah dalam


rangka beribadah haji harus tetap yakin ada hikmah di balik
halangan berhaji tersebut. Boleh jadi kita tidak menyukai sesuatu,
padahal itu yang terbaik. Allah Maha Mengetahui, sedang kita
tidak mengetahui.
Pelaksanaan ibadah haji sebagai mahkota ibadah dalam Islam
dan cita-cita seumur hidup umat Islam di mana pun, tidak seratus
persen ditentukan oleh manajemen dan kemampuan manusia
mengaturnya. Tetapi terdapat faktor X di luar perencanaan
manusiawi yang perlu disadari. Siapa yang pernah menduga dan
membayangkan situasi yang sukar seperti ini? Sebuah ujian yang
berat bagi negara, pemerintah dan umat Islam. Pada akhirnya
masalah ini harus dipulangkan kepada prinsip tauhid, takdir dan
tawakkal; manusia hanya berencana, Allah yang menentukan.

Keputusan pembatasan ibadah haji di Arab Saudi dan


ditiadakannya keberangkatan jemaah haji Indonesia dan jemaah
haji dari negara-negara lainnya semenjak dua tahun terakhir
(2020 dan 2021) adalah demi keselamatan jemaah haji dengan
segala pertimbangan yang melandasinya.

Para calon jemaah haji yang tertunda menunaikan ibadah haji


dianjurkan agar menjaga kesehatan, memperbanyak amal saleh
yang bermanfaat dan tepat guna untuk umat, serta tawakkal
kepada Allah. Niat dan segala proses yang telah dijalani untuk
beribadah haji, insya Allah tercatat sebagai kebaikan di sisi Allah
SWT.

Dalam Al Quran dinyatakan, "Dan Allah mewajibkan manusia


mengerjakan ibadah haji dengan mengunjungi Baitullah, yaitu
bagi siapa yang mampu sampai ke sana." (QS Ali Imran: 97).

Menurut tinjauan syariah, ibadah haji mensyaratkan istita'ah


sesuai bunyi firman Allah di atas. Istita'ah mencakup dimensi
kemampuan, keamanan, dan keselamatan. Para ulama Fikih
menegaskan salah satu jenis kemampuan dalam menunaikan
ibadah haji ialah "al-istita'ah al amniyyah". Yakni, aman dan
selamat dalam perjalanan pada setiap tempat yang dilalui. Islam
tidak mengajarkan ketaatan beragama yang irrasional, melawan
akal sehat atau mengingkari kaidah keilmuwan yang terkait.
Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, ada trilogi Pembinaan,
Pelayanan, dan Perlindungan bagi jemaah haji dan jemaah
umrah. Perlindungan dapat dipahami mencakup kondisi
perjalanan dan selama di tanah suci yang harus aman dan
selamat. Sementara pandemi Covid 19 yang belum terkendali,
membahayakan kesehatan, keamanan, dan keselamatan jiwa.
Pemerintah punya kewajiban melindungi keselamatan warga
negara, baik di dalam maupun di luar negeri.

Sosialisasi kebijakan dan alasan peniadaan keberangkatan


jemaah haji dari luar Arab Saudi dan menenangkan umat secara
mental spiritual dalam bingkai pemahaman maqashid syariah
(tujuan syariah secara universal) perlu dilakukan. Maqashid
Syariah tidak hanya dalam konteks ibadah, tetapi seyogianya
menjadi *inspirasi* pengambilan keputusan di segala bidang
kehidupan ketika seorang muslim dan pemimpin muslim harus
menentukan pilihan kebijakan menyangkut kepentingan orang
banyak.

Para Penghulu KUA, Penyuluh Agama Islam dan para pemimpin


umat memiliki peran terdepan dalam mensosialisasikan kebijakan
mengenai penyelenggaraan ibadah haji dan mengajak umat agar
senantiasa berpikir positif meski di dalam situasi tidak normal.

Mudah-mudahan tahun depan jemaah haji dari seluruh dunia


dapat berangkat ke tanah suci. Ibadah haji adalah pertemuan
terbesar umat Islam dari seluruh dunia. Semoga pandemi Covid
19 cepat diangkat Allah dari muka bumi agar umat Islam dapat
dengan leluasa beribadah kepada-Nya dan bersilaturrahmi
antarsesama tanpa dibayangi-bayangi kekhawatiran terpapar
Covid 19.

Sebuah doa yang ma'tsuurat, doa para sahabat nabi, amat baik
dimohonkan kepada Allah Rabbul Izzati, "Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu daripada hilangnya
kenikmatan yang telah Engkau berikan, daripada terlepasnya
kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, daripada siksa-Mu
yang datang secara tiba-tiba, dan daripada segala kemurkaan-
Mu."

Pandemi Covid-19 merupakan suatu kondisi atau keadaan


dimana penyakit infeksi baru ini (new-emerging disease) telah
menyebar ke wilayah yang luas yaitu di seluruh benua atau di
seluruh dunia. Data per-10 November 2020 tercatat 50.676.072
kasus Covid-19 di seluruh dunia dan di Indonesia, telah mencapai
444.384 kasus terkonfirmasi Covid-19. Pandemi ini telah
mempengaruhi berbagai aspek secara internasional dalam
bidang ekonomi, politik, sosial dan aktifitas keagamaan.
Transmisi COVID-19 terjadi terutama melalui kontak dekat
dengan orang yang terinfeksi virus melalui droplets, benda yang
terkontaminasi, dan transmisi udara (aerosol). Masa inkubasi
Covid-19 rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14
hari.

Sepanjang sejarah, setidaknya beberapa pandemi penyakit telah


terjadi, seperti cacar (variola), tuberkulosis dan flu spanyol. Salah
satu pandemi yang paling menghancurkan adalah maut hitam
(black death) yang menewaskan sekitar 75–200 juta orang pada
abad ke-14.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka mencegah dan


mengeliminasi penyakit yang disebabkan oleh virus SARS Cov-2
ini. Masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali diminta peran
aktifnya dalam mengatasi pandemi yang melanda sebagian besar
belahan dunia. Pendekatan promotive-preventif (pencegahan)
termasuk pembuatan vaksin dan upaya kuratif (pengobatan) di
berbagai rumah sakit telah dan sedang diupayakan semaksimal
mungkin.
Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia
sangat memerlukan dukungan atau peran serta masyarakatnya
dalam memerangi wabah Covid-19. Peran serta masyarakat
dalam memutus mata rantai penyakit Covid-19 dianggap memiliki
kontribusi yang paling besar dalam penanganan penyakit menular
ini. Karena sifatnya menular secara droplet melalui media udara,
maka upaya pemutusan rantai penularan (pemutusan transmisi)
menjadi salah satu strategi pengendalian Covid-19. Oleh sebab
itu, istilah 3M menjadi sangat popular dalam situasi pandemi kali
ini. Tiga M (3M) yang dimaksud adalah Menjaga jarak, Mencuci
tangan dengan sabun (menggunakan hand sanitizer)
dan Memakai masker. Selain itu, upaya isolasi mandiri (isoman),
karantina, bahkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga
merupakan penanganan strategis dan penting dalam rangka
memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di tengah-tengah
masyarakat tidak saja di Indonesia tetapi di dunia.

Pola, metode dan petunjuk bagaimana seharusnya berperilaku


dan bertindak di masa pandemi Covid-19 saat ini dikenal dengan
istilah protokol kesehatan. Protokol kesehatan pada prinsipnya
merupakan guideline bagaimana mencegah terjadinya Covid-19
bagi individu dan kelompok. Protokol Kesehatan pertama kali
diinisiasi oleh organisasi kesehatan dunia (World Health
Organization). Sebagai tindaklanjutnya, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (Kemenkes RI) secara cepat telah
mengeluarkan beberapa pedoman bagi masyarakat bagaimana
berperilaku sehat di masa terjangkitnya Covid-19 yang dikenal
dengan sebutan protokol kesehatan.

Salah satu protokol kesehatan yang telah disusun oleh


pemerintah cq kementerian Kesehatan adalah protokol kesehatan
haji-umrah dalam bentuk pedoman pencegahan dan
pengendalian Covid-19 bagi petugas dan Jemaah haji-umrah.
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia merupakan negara terbesar
dalam mengirimkan Jemaah haji dan umrahnya sepanjang
sejarah. Hal ini disebabkan penduduk Indonesia yang besar
dengan prosentase penduduk muslim terbesar jika dibandingkan
negara muslim lainnya di dunia. Hadirnya protokol kesehatan haji-
umrah sangat dibutuhkan dan perlu disosialisasikan oleh seluruh
stakeholder terkait, terutama para penyelenggara travel haji-
umrah dan kelompok bimbingan ibadah haji-umrah (KBIU)
kepada seluruh umat muslim Indonesia yang akan berhaji dan
berumrah.

Kita ketahui bersama, setiap tahun, setidaknya 221.000 (dua


ratus dua puluh satu ribu) umat Islam Indonesia menunaikan
ibadah haji dan sekitar 1.200.000 (satu juta dua ratus) warga
neagara Indonesia melaksanakan umrah di masa sebelum
pandemi.

Namun di masa pandemi tahun ini, terdapat pembatasan jumlah


jemaah haji yang dapat melakukan prosesi ibadah haji oleh pihak
Saudi. Bahkan, pada 2 Juni 2020, Pemerintah Indonesia resmi
membatalkan keberangkatan seluruh jemaah haji melalui
Keputusan Menteri Agama (KMA) No 494 Tahun 2020. Hal ini
dilakukan demi kesehatan dan keselamatan jemaah haji.
Keputusan ini telah dipertimbangan secara matang demi
keselamatan dan perlindungan Warga Negara Indonesia.
Keputusan pemerintah Indonesia tidak memberangkatkan
Jemaah haji 2020 adalah selaras dengan sikap Pemerintah Saudi
yang menutup akses Jemaah haji yang berasal dari luar Saudi
untuk melaksanakan haji saat pandemi sedang merebak dan
meningkat tajam. Penyebaran virus yang sangat cepat ini
membuat Pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan
menutup dua kota suci Mekah dan Madinah.

Tidak hanya pelaksanaan haji, pelaksanaan umrah juga


mengalami kendala dimana pihak Saudi menutup akses kepada
umat Muslim di luar Saudi untuk ber-umrah sejak 27 Februari
2020. Penutupan akses ini merupakan upaya Saudi dalam
mencegah penyebaran Covid-19 yang lebih dikenal dengan istilah
lock-down.

Selang 7 bulan sejak ditutupnya pelaksanaan umrah, pada 1


November 2020, Pemerintah Saudi telah membuka kembali
akses kepada beberapa negara muslim untuk dapat
melaksanakan ibadah umrah. Pelaksanaan umrah saat ini, tentu
berbeda dengan pelaksanaan umrah di masa non-pandemi. Pada
masa pandemi, Jemaah umrah dibatasi usianya, hanya yang
memiliki usia 18-50 tahun yang dapat memperoleh visa umrah,
dan hanya mereka yang memiliki hasil Swab PCR Covid-19
dengan hasil negatif yang dapat melanjutkan penerbangan ke
Saudi. Pelaksanaan umrah pada masa pandemi merupakan
rangkaian ibadah umrah yang diatur melalui protokol kesehatan.
Pihak Saudi memiliki komitmen yang kuat dalam penerapan
protokol kesehatan yang ketat terhadap Jemaah umrah.
Pelaksanaan thawaf dan sai diatur secara tertib, jemaah tetap
menjaga jarak, sering mencuci tangan dengan menggunakan
sabun dengan air mengalir, serta menggunakan masker.
Penggunaan masker sangat bermanfaat dalam mencegah
transmisi penyakit menular, oleh sebab itu, penggunaan masker
sudah sewajarnya diperbolehkan dalam prosesi ibadah haji-
umrah terutama saat ber-ihram.

Walaupun penyelenggaraan umrah dijalankan dengan sistem P


(private) to P (private), artinya kerjasama bisnis antara
perusahaan swasta (travel), Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) di Indonesia dan pihak Muasasah di Arab Saudi,
namun dalam situasi pandemi Covid-19, manajemen
penyelenggaraannya perlu diatur dan diperkuat oleh pemerintah.
Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia, telah
menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 719 Tahun
2020 tentang Pedoman penyelenggaraan perjalanan ibadah
umrah pada masa pandemi corona virus disease 2019. Dalam
KMA tersebut, pada persyaratan Jemaah disebutkan bahwa
jemaah dapat diberangkatkan setelah memenuhi persyaratan
yaitu: usia sesuai ketentuan pemerintah Arab Saudi, tidak
memiliki penyakit penyerta (co-morbid), menandatangani surat
pernyataan tidak akan menuntut pihak lain atas risiko yang timbul
akibat Covid-19 dan adanya bukti bebas Covid-19 yang
dibuktikan dengan asli hasil Polimerase Chain Reaction/swab
test yang dikeluarkan oleh rumah sakit atau laboratorium yang
sudah terverifikasi oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan. Persyaratan mengenai tidak
memiliki penyakit penyerta (co-morbid), wajib memenuhi
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Maksud dari
ketentuan tersebut adalah, Jemaah yang hendak melaksanakan
umrah sebaiknya tidak memiliki penyakit co-morbid yang dapat
memperberat/memperparah kondisi sakitnya jika terinfeksi virus
Sarscov-2. Penyakit yang dapat memperberat kondisi Jemaah
jika terinfeksi virus dikenal dengan istilah co-morbid. Contoh
penyakit co-morbid antara lain adalah hipertensi berat, jantung
stadium lanjut, gangguan ginjal kronis terutama dengan
hemodialis dan diabetes melitus tidak stabil, penyakit paru
obtruksi menahun, serta penyakit degeneratif berat lainnya.

Pandemi Covid-19 telah memaksakan adanya perubahan


perilaku dalam mengerjakan prosesi ibadah haji-umrah yaitu
melalui penerapan protokol kesehatan. Protokol kesehatan dalam
berhaji-umrah harus dilaksanakan di setiap tahapan dan tempat
pelaksanaan, mulai dari Indonesia, di Saudi dan saat Kembali ke
Tanah Air. Dalam situasi pandemi, jemaah haji-umrah wajib
mengetahui dan mengenal gejala dan upaya pencegahan Covid-
19. Manajemen haji-umrah di masa pandemi tidak bisa
dilepaskan dengan sistem laboratorium pemeriksaan PCR dan
juga sistem pemberian vaksinasi Covid-19 jika vaksinasi sudah
tersedia.

Anda mungkin juga menyukai