Anda di halaman 1dari 8

HAJI BATAL LAGI

DANA HAJI DISOAL LAGI

Muhammad Saidun
Email : muhsaidun63@gmail.com

Pendahuluan
Persoalan ibadah haji di Indonesia adalah persoalan yang sangat kompleks,
karena ibadah haji tidak hanya berkaitan dengan urusan agama, namun juga menyentuh
wilayah hubungan politik, ekonomi dan bisnis baik secara nasional bahkan
internasional. Disisi lain, Indoensia a d a l a h negara yang memiliki jumlah calon
jamaah haji yang sangat banyak. Kuota jamaah haji pada tahun 2018 berjumlah
221.000 jamaah, tahun 2019 berjumlah 231.000 jamaah. Tahun 2020 yang lalu
semestinya memiliki kuota haji 221.000 jamaah, tetapi batal diberangkatkan, karena
adanya Pandemi Covid 19. Tahun 2021 ini batal lagi berangkat karena alasan yang
hampir sama, yaitu pandemi covid 19 yang belum kunjung mereda, Kerajaan Arab
Saudi yang masih gamang untuk memutuskan apakah berani menyelenggarakan haji
atau tidak, serta jeda waktu yang semakin pendek yang dimiliki Pemerintah, untuk
melalukan persiapan agar pelaksanaan haji bisa terselenggara dengan baik.

Kompleknya persoalan dalam penyelenggaraan haji inilah antara lain yang


menjadi salah satu latar belakang mengapa pemerintah bersama DPR RI memberanikan
diri memutuskan pembatalan penyelenggaraan haji tahun 1442 H/2021 M.

Tahun 1442 H/2021 M ini, haji dibatalkan lagi. Atas nama pemerintah Menteri
Agama RI mengumumkan keputusan pembatalan ini. Sambil menunggu kepastian
penyelenggaraan haji, pemerintahpun sesungguhnya telah melakukan berbagai
persiapan sebagaimana mestinya, dengan harapan haji tahun ini dapat diselenggarakan.
Namun, setelah menunggu dan semakin hari semakin pendek waktu yang tersisa,
pemerintah memutuskan untuk membatalkan penyelenggaraan haji tahun 1442 H/2021
M, pada tanggal 3 Juni 2021, melalui KMA No 660 tahun 2021, sementara Kerajaan
Arab Saudi belum memberikan kepastian tentang penyelenggaraan haji tahun ini.
Pemerintah tidak ingin mengambil resiko memberangkatkan jemaah haji di tengah
pandemi Covid-19 dengan persiapan yang tidak matang, karena pendeknya waktu yang
tersisa. Keselamatan warga negara adalah prioritas utama. (wartakota.tribun.com).
Lebih rinci dijelaskan dalam KMA No 660 tahun 2021 bahwa diantara yang lebih
mendasar menjadi pertimbangan pemerintah mengambil keputusan tersebut adalah
bahwa menunaikan Ibadah haji memang wajib bagi umat Islam yang mampu secara
ekonomi dan fisik, tetapi juga harus dipertimbangkan jaminan kesehatan,
keselamatan serta keamanan jemaah haji selama di perjalanan, saat berada di
embarkasi atau debarkasi, dan selama berada di Arab Saudi. Jamaah juga wajib
memperoleh jaminan perlindungan dari ancaman pandemi Covid 19 yang
sedang melanda hampir seluruh negara di dunia termasuk I ndonesia dan Arab
Saudi.

Dalam ajaran Islam, menjaga agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs),
akal (hifzh al-'aql), keturunan (hifzh an-nasal), dan harta (hifzh al-maal),
merupakan lima dari tujuan utama syariat (maqashid as-syari'ah) yang harus
dijadikan sebagai dasar pertimbangan utama dalam penetapan hukum atau
kebijakan oleh pemerintah. Penyelenggaran ibadah haji tahun 1442 H/2021 M
pada masa pandemi Covid 19. Kondisi ini dipastikan dapat mengancam kesehatan
dan keselamatan jiwa jemaah haji Indonesia. Oleh karena itu, seperti tahun
sebelumnya, pemerintah menjadikan prinsip menjaga jiwa (hifzh an-nafs) sebagai
salah satu dasar pertimbangan utama dalam menetapkan pembatalan
penye1enggaraan haji tahun 1442 H/2021 M ini (Zuhaili. Wahbah, Al Fiqhul Islami
Wa Adillatuhu. Damsyik : Dar Al Fikr ).

Sangat banyak akibat yang muncul dari pembatalan haji ini, ada yang
menerimanya secara ikhlas karena ia yakini sebagai “taqdir” Allah Ta’ala,
ada yang biasa-biasa saja dan apriori karena ia tidak ikut antrian sebagai
calon haji, ada yang “ngedumel”, karena bertambah panjang antrian (masa
tunggu) haji dan ia khawatir umurnya tidak sampai, ada yang menghujat
banyak pihak dan mencerca sana mencaci sini, mempersoalkan sistem
pengelolaan dana haji yang diyakininya tidak professional, menghujat para
pahak yang dianggapnya harus bertanggung jawab, karena dianggapnya tidak
amanah dan disalah gunakan sebagaimana mestinya.

Pengelolaan Dana Haji

Dana Haji adalah dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana
efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh
negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan
untuk kemaslahatan umat Islam. Sesuai UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Haji, yang diberi kewenangan sebagai pengelola dana haji adalah Badan
Pengelola Keuangan Haji (BPKH). BPKH bersifat mandiri dan bertanggung jawab
kepada Presiden melalui Menteri dan mengelola keuangan haji secara korporatif dan
nirlaba (UU No 34/2014, pasal 20).

BPKH memiliki tugas mengelola Keuangan Haji yang meliputi penerimaan,


pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji. Untuk
melaksanakan tugasnya, BPKH mempunyai fungsi perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian dan pengawasan, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan terkait
penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran Keuangan Haji. Sedangkan
wewenangnya adalah menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai
dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat; dan melakukan
kerja sama dengan lembaga lain dalam rangka pengelolaan Keuangan Haji. (UU No
34/2014 pasal 22-24).

BPKH berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai Amanah


UU. BPKH wajib mengelola keuangan haji secara transparan dan akuntabel untuk
sebesar-besarnya kepentingan Jemaah Haji dan kemaslahatan umat Islam; memberikan
informasi melalui media mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil
pengembangannya secara berkala setiap 6 (enam) bulan; memberikan informasi
kepada Jemaah haji mengenai nilai manfaat BPIH dan/atau BPIH Khusus melalui
rekening virtual setiap Jemaah Haji; melakukan pembukuan sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku; melaporkan pelaksanaan pengelolan keuangan haji, secara
berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri dan DPR; membayar nilai manfaat
setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus secara berkala ke rekening virtual setiap Jemaah
Haji; dan mengembalikan selisih saldo setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus dari
penetapan BPIH dan/atau BPIH Khusus tahun berjalan kepada Jemaah Haji. (UU No
34/2014, pasal 26).

BPKH juga berkewajiban mengembangkan keuangan haji, dengan


menginvestasikannya sesuai dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan aspek
keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas. Investasi dimaksud dapat
dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung
dan investasi lainnya, dan dilakukan atas persetujuan dewan pengawas. (pasal 46-49).

Konsep Investasi Berdasarkan Syariah & Investasi Dana Haji


Secara umum investasi dibedakan menjadi dua, yaitu investasi pada financial
asset dan investasi pada real asset. Investasi pada financial asset dapat dilakukan
dipasar uang misalnya berupa sertifikat deposito, commercial paper, Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU), dan sebagainya. Selain itu juga dapat dilakukan dipasar modal
misalnya berupa saham, obligasi, warant, opsi, dan sebagainya. Investasi real asset
dapat dilakukan dengan pembelian aset produktif, pendirian pabrik, pembukaan
pertambangan, perkebunan, dan sebagainya (Nurul dan Mustafa, 2014). Islam adalah
agama yang pro-investasi. Dalam Islam sumber daya atau harta yang ada, tidak hanya
disimpan tetapi harus diproduktifkan, sehingga bisa memberikan manfaat kepada umat
(Hidayat, 2011). Investasi adalah bagian dari aktivitas ekonomi sehingga juga berlaku
kaidah fikih muamalah, bahwa semua bentuk muamalah (termasuk didalamnya
aktivitas ekonomi) adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
(Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000). Disebutkan dalam QS. Al-Baqarah
261 :

“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir


biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah
melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha
Mengetahui”. Qs. Al-Baqarah ; 261.
Investasi adalah ajaran yang sangat dimuliakan. Betapa beruntungnya orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, yang menginfakkan hartanya untuk
pemberdayaan masyarakat yang kurang mampu melalui usaha produktif, maka
sesungguhnya dia sudah menolong ribuan atau bahkan ratusan ribu orang miskin untuk
berproduktif ke arah kehidupan yang lebih baik. Dalam menjalankan bisnisnya,
Rasulullah saw senantiasa memperkaya dirinya dengan kejujuran, keteguhan
memegang janji, dan sifat-sifat mulia lainnya, sampai dijuluki sebagai orang yang
terpercaya (al-amin). Para pemilik modal di Makkah semakin banyak yang membuka
kemitraan dengan Rasulullah saw. Salah seorang tersebut adalah Khadijah yang
menawarkan kemitraan berdasarkan mudharabah (bagi hasil). Khadijah bertindak
sebagai pemilik modal dan Rasulullah saw. sebagai pengelola (Antonio, 2007).

Akad dalam fikih klasik didefinisikan sebagai pertalian antara ijab dan qabul
yang dibenarkan oleh syariat dan memiliki konsekuensi hukum terhadap objeknya (al-
Zuhaily, 1085). Akad adalah perjanjian tertulis antara para pihak yang memuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Terdapat banyak pilihan dan skema akad yang menunjang kegiatan ekonomi,
bisnis, dan investasi baik di sektor riil maupun sektor non-riil, perusahaan privat
maupun publik, dan perusahaan swasta maupun perusahaan milik pemerintah, antara
lain : Musyarakah atau Syirkah, Mudarabah/qirad, Ijarah (sewa/jasa), Kafalah,
Wakalah.

Saham merupakan surat berharga bukti penyertaan modal kepada perusahaan dan
dengan bukti penyertaan tersebut pemegang saham berhak untuk mendapatkan bagian
hasil dari usaha perusahaan tersebut. Konsep penyertaan modal dengan hak bagi hasil
usaha ini merupakan konsep yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Prinsip
syariah mengenal konsep ini sebagai kegiatan musyarakah atau shirkah. Berdasarkan
hal tersebut, maka secara konsep saham merupakan efek yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. Obligasi syariah (sukuk) adalah efek syariah berupa sertifikat
atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan
atau tidak terbagi atas asset yang mendasarinya (underlying asset). Asset yang
dijadikan underlying dapat berupa barang berwujud seperti tanah, bangunan, proyek
pembangunan, atau asset tidak berwujud seperti jasa, atau hak manfaat atas asset.

Di dalam UU No 34/2014 telah diatur tata cara pengelolaan keuangan haji dengan
beberapa prinsip dasar, antara lain; kehati-hatian, transparansi, kemanfaatan, dan lain-
lain. Salah satu prinsip kehati-hatian yang perlu dicermati secara seksama adalah bahwa
dalam hal memanfaatkan dana haji dengan mengalihkannnya ke bidang investasi,
haruslah jelas dan nyata statusnya, jelas halalnya, tidak subhat apalagi haram. Jangan
sampai kesalahan dalam memilih sektor investasi ini nantinya akan mengaburkan
kembali status maqasidh al-syari’ah yang berujung pada penyuburan praktek ribawi.
Karena pada beberapa jenis investasi baik yang secara konvensional maupun yang
berbasis syari’ah, keduanya sama-sama memiliki standar take-return yang dapat diukur.
Pemilihan bidang investasi ini perlu benar-benar menjadi perhatian. Dengan
dilakukannya investasi pada keuangan haji, imbalan hasil investasi tersebut diharapkan
menghasilkan keuntungan yang signifikan, sehingga meningkatkan pelayanan dalam
rangka penyelenggaraan ibadah haji.

Pengembangan dana haji yang telah dilakukan oleh BPKH antara lain dalam
bentuk penerbitan Surat Berharga Syari’ah Negara (SBSN) dalam bentuk Sukuk Dana
Haji Indonesia (SDHI). Pengembangan keuangan haji dengan cara ini juga telah sesuai
dengan Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV tahun 2012 yaitu
bahwa dana setoran yang termasuk ke dalam daftar tunggu dalam rekening Menteri
Agama (sekarang BPKH) boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang produktif
(memberikan keuntungan), antara lain penempatan di perbankan syari’ah atau
diinvestasikan ke dalam bentuk sukuk. (Arie Haura, Pengelolaan Dana Haji Pada
SDHI, 2010).

Sesuai keterangan Ketua BPKH bahwa dana haji per-Mei 2021 berjumlah Rp150
Triliun, tetap aman, tidak ada hutang pemerintah Indonesia untuk membayar akomodasi
Arab Saudi dan tidak ada alokasi investasi di infrastruktur yang menimbulkan resiko
tinggi bagi dana haji. Dalam laporan Keuangan (LK) BPKH sampai dengan LK tahun
2020 tidak ada catatan hutang dalam kewajiban BPKH kepada pihak penyedia jasa
perhajian di Arab Saudi. Dana Haji telah diaudit oleh BPK sampai dengan tahun 2019
dinyatakan WTP, dan LK BPKH 2020 sedang dalam proses audit.

Meluruskan rumor yang banyak viral di media sosial, ditegaskan juga oleh Ketua
BPKH, bahwa BPKH tidak mengalami kesulitan keuangan dan gagal investasi. Tahun
2020, BPKH membukukan surplus keuangan sebesar > Rp. 5 Triliun dan dana kelolaan
tumbuh >15%. Laporan Keuangan BPKH 2020 Unaudited BPKH. Tidak ada investasi
BPKH yang dialokasikan ke pembiayaan infrastruktur. Investasi BPKH ditujukan
kepada investasi dengan profil risiko lowmoderate, 90% adalah dalam bentuk surat
berharga Syariah negara dan sukuk korporasi, dan atas ijin dari pemilik dana haji dalam
bentuk surat kuasa (akad wakalah) dari jemaah haji kepada BPKH sebagai wakil yang
sah dari jemaah untuk menerima setoran, mengembangkan dan memanfaatkan untuk
keperluan jemaah haji melakukan perjalanan ibadah haji (BPKH ; 7 Juni 2021).

Penutup

Ada beberapa point penting dalam KMA 660/2021, antara lain bahwa alasan
pembatalan haji adalah faktor keamanan, kesehatan dan keselamatan jemaah haji.
Jemaah Haji Lunas Tunda tahun 1441 H/2021 M akan menjadi prioritas keberangkatan
tahun 1443 H/2022 M, sepanjang kuota masih tersedia. Dana setoran lunas 2020 dapat
ditempatkan di Bank Syariah dan akan mendapatkan nilai manfaat dari BPKH.

BPKH bertanggung jawab mengelola keuangan haji, yang saat ini berjumlah Rp
150 triliun (BPKH ; 7 Juni 2021). Dana itu berasal dari setoran awal pendaftaran haji
sebesar Rp 25 juta per-jamaah. Dana tersebut dikelola oleh BPKH dengan beragam
instrument investasi, antara lain dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas,
investasi langsung dan investasi lainnya berdasarkan prinsip syariah dan
mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas.
BPKH bahkan mulai menjajaki investasi di Arab Saudi. Uang hasil pengelolaan dana
haji itu digunakan untuk subsidi atau indirect cost biaya haji.

BPKH juga bertanggung jawab apabila terjadi kerugian akibat kelalaian yang
dilakukan dalam mengembangkan keuangan haji. Bahkan anggota badan pelaksana dan
anggota dewan pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap
kerugian atas investasi keuangan haji secara keseluruhan yang ditimbulkan atas
kesalahan dan/ atau kelalaian dalam pengelolaanya.

Demikianlah, sistem telah dirumuskan dan diijtihadkan dipilih yang diyakini


paling tepat dan memberikan jaminan keamanan dalam pengelolaan dana serta
keuangan haji, personil juga telah dipilih (sesuai ketentuan) orang-orang yang dianggap
mempunyai kapasitas, kapabilitas, professional dan diyakini bisa amanah. Namun,
manusia hanya berikhtiar, pada akhirnya Allah Ta’ala-lah yang Maha Memberikan
jaminan keamanan dalam segala hal, termasuk dalam pengelolaan dana haji. Informasi
juga telah tersaji, bisa dibaca dari berbagai media yang ada, terserah kepada masing-
masing kita semua ; yang mana informasi yang kita yakini benar, setengah benar atau
salah sama sekali.

Wallahu al-Musta’an.

Semarang, 13 Juni 2021


Muhammad Saidun

Anda mungkin juga menyukai