Anda di halaman 1dari 9

ATURAN FIQIH SAAT HAJI DAN UMRAH TERHALANG

KARENA WABAH

Jurnal
Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Masail Fiqh Al-Haditsah
Dosen Inayatillah Ridwan, SHI, M.Pd

Oleh :

Erin Khairina Hakim (17121884)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) AT-TAQWA
CIPARAY BANDUNG
2020
ATURAN FIQIH SAAT HAJI DAN UMRAH TERHALANG
KARENA WABAH

Erin Khairina Hakim


Fakultas Tarbiyah STIT At-Taqwa Ciparay
erinkhairinahakim@gmail.com

Abstract. Hajj is the fifth pillar of Islam required for every able Muslim. So many
Muslims from all countries will come to the House during the Hajj season. Umrah
is a pilgrim, performs the tawaf around him, rides between Shafa and Marwah
and shaves or cuts hair in a certain way and can be performed at any time. Now
the whole world is plagued with a catastrophe, which is a plague. Outbreaks are
contagious and are close to each other, while performing pilgrimage and
pilgrimage are associated with many people around the world. This study aims to
understand the rules of jurisprudence when Hajj and Umrah are hindered by an
outbreak. Data collection was done by interviewing scholars who understood the
law of jurisprudence. It is then analyzed by descriptive narrative form. The
conclusion from the results of the study is Ihshar because of the plague and local
government regulations related to fears of disease outbreaks, often juxtaposed,
as had happened during the outbreak of swine flu and today due to the Corona
virus.

Keywords: hajj, umrah, plague

Abstrak. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi setiap
umat Islam yang mampu. Sekian banyak muslim dari semua negara akan
mendatangi Baitullah pada waktu musim haji. Umrah ialah menziarahi ka’bah,
melakukan tawaf di sekelilingnya, bersa’i antara Shafa dan Marwah dan
mencukur atau menggunting rambut dengan cara tertentu dan dapat
dilaksanakan setiap waktu. Sekarang seluruh dunia sedang dilanda musibah
yaitu dengan adanya suatu wabah. Wabah akan tertular jika berada dikeramaian
dan saling berdekatan, sedangkan untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah
berintareksi dengan banyak orang di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan untuk
memahami aturan fiqih saat haji dan umrah terhalang oleh suatu wabah.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara kepada para ulama yang
paham dengan hukum fiqih. Kemudian dianalisa dengan bentuk naratif deskriptif.
Kesimpulan dari hasil penelitian adalah ihshar sebab adanya wabah dan regulasi
pemerintah setempat terkait kekhawatiran serangan wabah penyakit, kerap
disandingkan, sebagaimana pernah terjadi pada masa merebaknya flu babi dan
dewasa ini sebab virus Corona.

Kata kunci : haji, umrah, wabah

1
2

I. PENDAHULUAN
Haji merupakan rukun Islam yang kelima. Ketika seseorang sudah berhasil
menunaikan keempat rukun Islam sebelum haji (syahadat, shalat, puasa, dan
zakat), maka seseorang terdorong untuk menunaikan haji. Dalam Islam,
penekanan haji tidak sekuat penekanan syahadat, shalat, puasa, dan zakat. Dengan
kata lain, ibadah haji memiliki dua status hukum, wajib bagi yang mampu dan
tidak wajib bagi yang tidak mampu. Kesimpulan ini didapatkan dari Al Qur’an
Surat Âli ‘Imrân ayat 97: “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”.
Mampu dalam ayat ini memiliki makna mampu secara keilmuan, finansial, fisik,
psikis, dan keamanan dalam perjalanan.
Tingginya minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji juga kemudian
membuat antrian dalam melaksanakan haji dalam suatu negara semakin banyak.
Berbagai karakteristik masyarakat, mulai dari yang berusia muda sampai berusia
tua dan lanjut usia, menginginkan untuk bisa menjalankan ibadah haji. Tulisan ini
akan memfokuskan pembahasan mengenai ibadah haji dan umrah yang
dilaksanakan ketika seluruh dunia sedang dilanda suatu wabah. Apakah ibadah
haji dan umrah tetap dilaksanakan atau ditiadakan.
Belum lagi terkait dengan fenomena kematian jamaah haji. Bagi
pemerintah, wajib menjaga keselamatan jamaah haji sejak keberangkatannya
sampai kepulangannya. Atas dasar ini, maka pemerintah memberikan fasilitas
kesehatan di setiap kloter. Fasilitas kesehatan tersebut misalkan dokter dan para
perawat. Salah satu ikhtiar untuk menjaga keselamatan ini misalkan menjaga pola
makan, olah raga, dan sikap hidup sehat. Di sisi lain, keluarga yang memiliki
anggota keluarga lansia yang mengikuti ibadah haji, secara mental sudah siap
untuk segala kemungkinan, dan kemungkinan terburuk ketika menunaikan ibadah
haji adalah kematian.
Menurut ilmu fiqh, manasik haji ada tiga komponen, yakni: rukun, wajib,
dan sunnah. Perkataan “wajib” dan “rukun” biasanya berarti sama, tetapi didalam
urusan haji ada perbedaan. Rukun adalah sesuatu yag tidak sah haji melainkan
dengan melakukannya, dan ia tidak boleh diganti dengan “dam” (menyembelih
binatang). Sedangkan wajib adalah sesuatu yang perlu dikerjakan, tetapi sahnya
haji tidak bergantung padanya, dan boleh diganti dengan menyembelih binatang.
3

Termasuk komponen rukun haji dan umrah, yakni; (1) niat ihrâm; (2) memakai
ihrâm; (3) wukuf di ‘Arafah; (4) thawaf ifadhah; dan (5) sa’i.
Wajib dalam ibadah haji atau umrah adalah sesuatu yang jika diabaikan
secara keseluruhan, atau tidak memenuhi syaratnya maka haji atau umrah tetap
sah, tetapi orang yang bersangkutan harus melaksanakan sanksi yang telah
ditetapkan. Misalnya, kewajiban melempar jumroh, bila ia diabaikan, maka ia
harus diganti dengan membayar dam (denda).
Sesuatu yang sunnah bila dilakukan, atau sesuatu yang makruh, jika ditinggalkan
dapat mendukung kesempurnaan ibadah haji dan umrah. Sedang sesuatu yang
mubah, tidak berdampak apa pun terhadap ibadah. Termasuk komponen wajib
haji, yakni: (1) mabit di Muzdalifah; (2) melempar jumrah; (3) mabit di Mina; dan
(4) thawaf wada’. Dan termasuk sunnah haji, yakni: (1) mandi; (2) memotong
kuku; (3) memotong/merapikan rambut; memakai wewangian di tubuh; (5) shalat
sunnah ihrâm; (6) doa memakai pakaian ihrâm; (7) doa di Multazam/searah
Multazam; (8) shalat sunnah di belakang maqam Ibrahim; (9) shalat sunnah di hijr
Ismail, dll.
Maka sebenarnya bila seseorang melakukan tahapan-tahapan haji dan
umrah sesuai yang disyariatkan (fiqh) Insya Allah tidak ada masalah/tidak ada
kesulitan. Misalnya, karena jamaah haji Indonesia mengambil model haji
tamattu’, tahapannya adalah umrah terlebih dahulu, dan dilanjutkan haji. Adapun
rangkaian umrah yakni: (1) mandi sunnah ihrâm; (2) memakai pakaian ihrâm; (3)
memakai wewangian di badan; (4) merapikan rambut/ kuku; (5) shalat sunnah
ihrâm; (6) niat memakai pakaian ihrâm; (7) niat umrah dan ihrâm-nya di miqat;
(9) thawaf; (10) sa’i; (11) tahallul; dan (12) tertib.
Sedangkan untuk tahapan-tahapan manasik haji; (1) mandi sunnah ihrâm;
(2) memakai pakaian ihrâm; (3) memakai wewangian di badan; (4) merapikan
rambut/kuku; (5) shalat sunnah ihrâm; (6) niat memakai pakaian ihrâm; (7) niat
haji dan ihrâm-nya di miqat; (8) wukuf di ‘Arafah; (9) mabit di Muzdalifah; (10)
mencari kerikil; (11) melempar jumrah ‘aqabah; (12) mabit di Mina; (13)
melempar jumrah ula, wustha, ‘aqabah pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah;
(14) thawaf ifadhah; dan (15) sa’i. Ketika akan meninggalkan Makkah, masih ada
thawaf lagi, yakni: thawaf wada’. Berdasarkan penjabaran mengenai rangkaian
4

ibadah haji dan segala resiko yang mungkin terjadi, maka penting untuk menggali
dinamika ibadah haji yang dilakukan ketika seluruh dunia sedang dilanda wabah.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik atau
metode wawancara. Penelitian ini mengambil pendapat salah satu ulama yaitu
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU
Center PWNU Jawa Timur. Dengan mengambil Ilustrasi Menurut kamus Lisan al-
Arab, juz 3, halaman 202, al-Fairuz Zabadi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Menurut kamus Lisan al-Arab, juz 3, halaman 202, al-Fairuz Zabadi
menyatakan sebuah istilah qaumun mahshurun idza hushiru fi hishnin (kaum yang
terkepung saat mereka berada di dalam suatu benteng). Di dalam rangkaian teks
tentang haji, juga disebutkan istilah mahshuruna fi al-hajji (tertahan dalam haji).
Allah subhanahu wata’ala berfirman: wa in uhshirtum, maksudnya adalah jika
kalian tertahan/terkepung. Masing-masing dari istilah ini bermuara pada
pendekatan ihshar dalam praktik bahasa keseharian dan teks.
Ihshar dalam perspektif yang kita bahas saat ini adalah kondisi di mana
kaum muslimin sedang terhalang dari menunaikan ibadah haji atau umrah secara
sempurna disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga sebelumnya. Asal kata
dari ihshar ini adalah Firman Allah Swt. QS al-Baqarah [2] ayat 196:

َ ‫س َر ِمنَ ْال َهدْي ِ ۖ َو ََل تَحْ ِلقُوا ُر ُءو‬


‫سكُ ْم َحت َّ ٰى يَ ْبلُ َغ‬ َ ‫ص ْرت ُ ْم فَ َما ا ْست َ ْي‬ِ ْ‫لِل ۚ فَإ ِ ْن أُح‬
ِ ِ َ ‫َوأَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْالعُ ْم َرة‬
ۚ ٍ‫صدَقَ ٍة أ َ ْو نُسُك‬ َ ‫صيَ ٍام أ َ ْو‬ِ ‫ضا أ َ ْو ِب ِه أَذًى ِمن َّرأْ ِس ِه فَ ِفدْيَةٌ ِمن‬ ً ‫ي َم ِحلَّهُ ۚ فَ َمن َكانَ ِمنكُم َّم ِري‬ ُ ْ‫ْال َهد‬
ۚ ِ ‫س َر ِمنَ ْال َهدْي‬ ِ ‫فَإِذَا أ َ ِمنت ُ ْم فَ َمن ت َ َمت َّ َع ِب ْالعُ ْم َرةِ ِإلَى ْال َح‬
َ ‫ج فَ َما ا ْست َ ْي‬

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika
kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat,
dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat
penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib ber-fidyah, yaitu berpuasa,
5

bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka


barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu
yang mudah didapat” (QS AL-Baqarah [2]: 196).
Terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam
menafsirkan ayat di atas. Perbedaan itu akhirnya berimbas pada perbedaan hukum
fiqihnya. Titik masalah yang diperdebatkan oleh para ulama adalah, apakah ihshar
itu disebabkan karena musuh, ataukah karena sakit? Sebagian ulama menjawab,
bahwa ihshar itu disebabkan musuh, sebagian lagi berpendapat bahwa ihshar itu
disebabkan karena sakit.
Ulama yang berpendapat bahwa ihshar yang dimaksud di sini adalah
disebabkan karena musuh, mereka berlandas pada dalil penggalan ayat:
‫ضا أ َ ْو بِ ِه أَذًى ِمن َّرأْ ِس ِه‬
ً ‫فَ َمن َكانَ ِمنكُم َّم ِري‬
Mereka juga berpedoman pada penggalan ayat berikutnya:

ِ ‫فَإِذَا أ َ ِمنت ُ ْم فَ َمن ت َ َمت َّ َع ِب ْالعُ ْم َرةِ ِإلَى ْال َح‬


‫ج‬

Penggalan ayat pertama, mengkabarkan adanya “faedah” berupa


kebolehan mencukur rambut setelah disebutkan adanya sakit. Disebutkannya
“faedah” setelah lafadh “sakit”, menggiring pada keharusan mengalihkan makna
sakit kepada makna tersirat (isti’arah). Alhasil, sakit itu bukanlah sakit yang
bersifat fisik, melainkan psikis. Contoh dari sakit psikis ini adalah ketakutan, dan
sejenisnya. Hal itu didukung dengan penggalan ayat berikutnya yang secara tegas
menyatakan “jika kondisi aman (fa idza amintum)”. Kondisi aman hanya bisa
dijumpai bila ada musuh. Pendapat ini diikuti oleh Imam Syafii.
Pendapat kedua berargumen bahwa yang dimaksud dengan muhshar
adalah orang yang ditawan/dikepung sehingga kemudian ia sakit (maradl).
Sebagaimana pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Rusyd :
،‫إن اآلية إنما وردت في المحصر بالمرض فإنه زعم أن المحصر هو من أحصر‬
‫ وإنما يقال حصره العدو وأحصره المرض‬،‫وَل يقال أحصر في العدو‬
“Sesungguhnya ayat itu diturunkan untuk orang yang tertahan hajinya
sebab sakit. Mereka berhipotesa bahwa muhshar adalah orang yang tercegah. Ayat
itu tidak boleh diterjemahkan tercegah akibat musuh, melainkan harus
diterjemahkan terkepung oleh musuh, sehingga terhalang oleh sakit.” (Abu al-
6

Faidl Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumary al-Hasany, al-Hidayah fi


Takhriji Ahadits al-Bidayah, Beirut: ‘Alamu al-Kutub, 1987, Juz 5,halaman 431)
Lantas, bagaimana dengan makna fa idza amintum? Menurut kalangan
terakhir ini, maksud dari amintum di dalam ayat tersebut adalah bagian dari
maradl (sakit). Mereka berargumen bahwa sakit pada penggalan ayat pertama
tidak boleh dialihkan pengertiannya dari makna dhahir ke makna isti’arah dengan
alasan ketiadaan qarinah (bukti penunjuk) keharusan pengalihan itu. Ulama yang
berpendapat bahwa ihshar adalah bukan disebabkan karena musuh, melainkan
karena sakit adalah Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
Berbekal pertentangan dua pendapat di atas, maka muncul pendapat ketiga
dan diikuti oleh jumhur ulama yang menyatakan bahwa ihshar itu ada kalanya
karena musuh dan ada kalanya karena sakit. Jadi, pendapat ini merupakan
gabungan dari dua pendapat sebelumnya (Abu al-Faidl Ahmad bin Muhammad
bin Shiddiq al-Ghumary al-Hasany, Al-Hidayah fi Takhriji Ahadits al-Bidayah,
Beirut: ‘Alamu al-Kutub, 1987, juz 5, halaman 431). Melalui pendapat ketiga ini,
ihshar sebab adanya wabah dan regulasi pemerintah setempat terkait kekhawatiran
serangan wabah penyakit, kerap disandingkan, sebagaimana pernah terjadi pada
masa merebaknya flu babi dan dewasa ini sebab virus Corona.
A. Tahallul
Ibnu Rusyd dalam karyanya Bidayatu al-Mujtahid, menyebutkan bahwa
para ulama yang berargumen bahwa ihshar hanya bisa terjadi sebab musuh,
mayoritas berargumen wajibnya ber-tahallul karena umrah atau karena hajinya.
‫فاتفق الجمهور على أنه يحل من عمرته أو حجه حيث أحصر‬
“Jumhur ulama sepakat bahwa bahwasanya ihshar sebab musuh adalah
hendaknya ber-tahallul karena umrah dan hajinya (seketika) di tempat mereka
terkepung.”
Meski demikian, ada juga ulama yang berargumen dari kalangan “ihshar
sebab musuh”, yang berbeda dengan pemahaman jumhur ulama tersebut di atas,
yaitu Syeikh al-Tsauri dan Hasan ibn Shalih. Keduanya berpendapat bahwa
tahallul hanya berlaku untuk haji saja. Jadi, kalau umrah, maka tidak perlu. Ia
cukup niat keluar dari rangkaian ibadah umrahnya.
B. Menyembelih Qurban dan Tempat Penyembelihan
7

Setidaknya ada tiga pendapat yang bisa kita himpun dari keterangan kitab
Bidayatu al-Mujtahid. Untuk kalangan yang sepakat wajibnya tahallul, baik dari
kalangan “ihshar sebab musuh” maupun “ihshar sebab sakit”, terdapat perbedaan
pendapat mengenai status wajibnya qurban dan tempat dilangsungkannya
penyembelihan.
Imam Malik menyatakan tidak wajib qurban dan cukup bertahallul saja.
Imam Syafii menyatakan wajib qurban dan bertahallul. Termasuk ulama’ dari
kalangan Syafiiyah yang menyatakan hal demikian ini adalah Asyhab. Akan
tetapi, Imam Syafii memiliki perincian yang panjang mengenai hal ini, dan kita
perlu merujuk lebih jauh. Ringkasnya, mengenai tempat, Imam Syafii menyatakan
haitsu ma halla, yang maksudnya: di mana saja sekira tahallul bisa dilakukan.
Sementara Iman Abu Hanifah menyatakan wajib qurban dan dilakukan di
tanah haram, serta tidak boleh di luarnya,

IV. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut, muncul beberapa kesimpulan. Di dalam
rangkaian teks tentang haji, juga disebutkan istilah mahshuruna fi al-hajji
(tertahan dalam haji). Allah subhanahu wata’ala berfirman: wa in uhshirtum,
maksudnya adalah jika kalian tertahan/terkepung. Masing-masing dari istilah ini
bermuara pada pendekatan ihshar dalam praktik bahasa keseharian dan
teks. Ihshar dalam perspektif yang kita bahas saat ini adalah kondisi di mana
kaum muslimin sedang terhalang dari menunaikan ibadah haji atau umrah secara
sempurna disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga sebelumnya.
Pendapat pertama kondisi aman hanya bisa dijumpai bila ada musuh.
Pendapat kedua berargumen bahwa yang dimaksud dengan muhshar adalah orang
yang ditawan/dikepung sehingga kemudian ia sakit (maradl). Kemudian pendapat
ketiga dan diikuti oleh jumhur ulama yang menyatakan bahwa ihshar itu ada
kalanya karena musuh dan ada kalanya karena sakit. Jadi, pendapat ini merupakan
gabungan dari dua pendapat sebelumnya. Melalui pendapat ketiga ini, ihshar
sebab adanya wabah dan regulasi pemerintah setempat terkait kekhawatiran
serangan wabah penyakit, kerap disandingkan, sebagaimana pernah terjadi pada
masa merebaknya flu babi dan dewasa ini sebab virus Corona.
8

DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, (2000). Haji, Bandung : Mizan.

Rasjid, H. sulaiman, (2001). Fiqih Islam, Bandung : PT. Sinar Baru Algensindo.

https://islam.nu.or.id/post/read/117729/aturan-fiqih-saat-haji-dan-umrah-
terhalang-karena-wabah (diakses pada tanggal 04 April 2020, pukul
08.15 WIB)

Anda mungkin juga menyukai