Anda di halaman 1dari 20

JURNAL FIQIH HAJI DAN UMRAH DENGAN PENDEKATAN

FILOSOFIS DAN FENOMENOLOGIS

Mohammad Ali Nur Khasan Email: alinurkhasan12@gmail.com

Tahiyatul Mubayyinah Email: takhiyatulmuhammad@gmail.com

Riza Aliyatul Muna Email: rizamuna234@gmail.com

Trirahmah Aulia Email: trirahmahaulia793@gmail.com

Kasiful Asror Email: kasifulasror27@gmail.com

Institut Agama Islam Negeri Kudus

Abstrak

Mempelajari fiqih haji dan umrah dengan pendekatan filosofis dan fenomologis
hanya menghasilkan pemahaman agama yang kering dari dimensi spiritual dengan
keimanan pribadi tetapi kurang berprioritaskan pada keimanan social. Oleh kerana itu,
kajian fiqih memerluakan berbagai pendekatan seperti, filosofis, fenomenalogis,
spikologis, dan sosiologis. Kajian fiqih haji dan umrah yang dilakukan dengan
pendekatan filosofis dan fenomenalogis, memberikan pengetahuan yang spesifik tentang
haji dan umroh untuk langkah-langkah fiqihnya, tetapi lebih ke perubahan, karena akan
memberikan pencerahan melalui pengetahuan makna haji dan umrah. Selain itu, kajian
ini juga dapat mengungkapkan pesan moral haji dan umrah agar pencapaian cita cita haji
mabrur. Haji mabrur dapat di artikan sebagai produktif dan fungsional yang menghasilkan
keimanan pribadi dan sosial.

Kata kunci: fiqih haji dan umrah, filosofis, fenomenologis.

1
PENDAHULUAN

Agama jika di pahami secara meluas merupakan petunjuk manusia dan alam
semesta (Rahmad Al’-alamin). Pemahaman islam yang menyeluruh setidaknya
mencakup dua aspek penting. Memahami bagaimana mengkontruksi sikap keagamaan
dan bagaimana memahami ajaran agama. Haji adalah rukun islam ke lima,setelah
syahadat,solat,puasa dan zakat. Pelaksanakan haji bagi yang mampu yang diikuti oleh
jutaan umat islam secara rutin setiap tahun sehingga dapat dikatakan sebagai muktamar
sosial tahunan, dimana Allah SWT mengundang umat islam dari berbagai penjuru dunia
terhimpun dalam kebaikan.1 Dalam pelaksanaannya jamaah haji harus melewati tahapan
tertentu seperti pemahaman haji, pelasanaan haji, dan fungsi haji bagi individu mauoun
sosial. 2 Karena sesungguhnya haji bermulti dimensi meliputi ritual politik, psikologis,
individual, dan sosial. Dari dimensi tersebut, para jamaah akan sampai pada sebuah
tahapan “haji mabrur” sebagai predikat filosofis yang berkaitan erat dengan kehidupan
sosial umat yang pahalanya adalah surge sebagaimana Nabi sekaligus sebagai
penyempurna orang Islam dalam melaksanakan perintah agama. 3 Dari sisi ini, dipahami
bahwa hakekatnya haji adalah aktivitas spiritual sosial bukan aktivitas sosial komersial
sebaimana fenomena kontemporer yang menunjukkan adanya komodifikasi dalam
perjalanan dan aktifitas dalam ritual ibadah haji. Semua rutinitas di dalamnya adalah
mendekatkan diri kepada Allah karena di dalamnya mengandung hal-hal yang
mengingatkan kita pada kekuasaan Allah sehingga predikat haji mabrur,dalam pandangan
Cak Nur merupakan sebuah gelar kehormatan haji yang mengacu pada implikasi spiritual
maupun sosial dalam kehidupan sehari-hari4.

1
Muhammad Ali Asabuni, Cahaya Al-Qur’an Tafsir Tematik 1, terjemah katur, Suhardi, ( Jakarta;Pustaka
Al Kautsar, 2000), h. 49
2
Budi Kiswaro, ‘’ Ibadah haji di tinjau dari berbagai aspek,’’ Alistimbat: Jurnal Hukum Islam, Vol.2,nomer
.1 2017,Hal.61
3
Hatman, Haji Dalam berbagai Perspektif,h.7
4
Athaoillah Islamy, Haji Mabrur Dalam Paradigma Fikih Sosial, Jurnal “Al-Qalam” Volume 26 Nomor 1
Juni 2020, hal 37

2
Secara historis ibadah haji merupakan perjalanan panjang trradisi ritual para nabi
Adam as. Pada fase-fase tertentu terdapat penyimpangan pelaksanaanya, yang kembali
diluruskan oleh nabi yang diutusi oleh Allah SWT. Nabi Ibrahim as dan nabi Muhammad
saw, adakah dua nabi berusaha mengembalikan ritual tersebut sesuai dengan ketentuan-
ketentuan aslinya baik dari sisi peribadatannya maupun pemanfaatan tempat-tempat suci
yang disebut sebagai masy’ar al-haram. Dengan penjelasan ini, pandangan- pandangan
yang keliru terkait dengan awal mula ibadah haji dapat terbantahkan seperti yang
disampaikan oleh beberapa orientalis bahwa haji adalah tradisi arab yang dirampus oleh
islam dengan muatan spiritual. Haji adalah kebiasaan- kebiasaan pra islam yang memiliki
ritual sendiri yang dimodifikasi oleh nabi Muhammad dan diintergrasikan dalam syariat
islam.

METODE PENELITIAN

Adapun jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah suatu jenis penelitian yang pada dasarnya
menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini berangkat dari suatu
perangkat teori, gagasan para ahli, maupun pemahaman peneliti berdasarkan
pengalamanya , kemudian di kembangkan menjadi permasalahan-permasalahan beserta
pemecahannya yang di ajukan untuk memperoleh pembenaran ( verivikasi) atau
penilaian dalam bentuk dukungan data empiris di lapangan.Metode penelitian kuantitatif
dapat di artikan juga sebagai metode penelitian yang berlandasan pada filsafat
positifisme, di gunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu.

KAJIAN TEORI

Fikih Haji dan Umroh

 Hukum dan Hikmah Haji dan Umrah

Haji adalah bagian dari rukun Islam. Dalam sebuah hadits haji disebut sebagai rukun
Islam yang kelima dan pada hadits lain disebut sebagai rukun yang keempat. Allah

3
mewajibkan seluruh umat yang beriman untuk berhaji bagi yang memiliki kemampuan,
sebagaimana tercantum dalam QS. Ali Imran: 97.

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran:97)

Pada masa sebelum nubuwwah, orang-orang arab juga telah menunaikan ibadah haji,
namun dengan cara-cara jahiliyah yang jauh dari ajaran tauhid Nabi Ibrahim, kemudian
Rasulullah ‫ ﷺ‬datang untuk meluruskan ibadah haji tersebut pada Haji Wada’ tahun 10 H.
Ibadah haji hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi yang mampu, dan haji berikutnya
hukumnya sunnah. Adapun umrah, hukumnya juga wajib (mengikuti hukum haji, sesuai
makna ayat QS. Al-Baqarah:196), karena seseorang yang berhaji juga hendaknya
menunaikan umrah (Haji tamattu’ maupun ifrad).

Hikmah ibadah haji dan umrah adalah untuk meninggikan derajat dan menghapus dosa-
dosa yang telah lampau.

 Syarat-syarat Orang yang Wajib Berhaji dan Umrah

Muslim, baligh, memiliki kemampuan, dalam arti mempunyai bekal (baik untuk
dirinya dan untuk keluarga yang ditinggalkannya), kendaraan, dan juga memiliki waktu
untuk menunaikannya.

Orang yang kondisi fisiknya lemah hendaknya ia berangkat bersama kerabat yang dapat
mengiringi/menemaninya. Jika tidak ada teman/kerabat yang mengiringinya maka dia
tidak wajib berhaji. Selain itu, pada masa sekarang ini, , maka seseorang yang telah
mendaftar haji namun dengan waktu tunggu haji yang lama dapat dikatakan belum
mampu untuk berhaji karena masih tertahan oleh waktu tunggu yang diberlakukan oleh

4
pemerintah.Orang yang mampu namun enggan berhaji maka Rasulullah ‫ ﷺ‬memberikan
ancaman, yaitu seseorang tersebut bisa meninggal dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.

 Rukun Haji

Dalam ibadah haji terdapat rukun haji dan wajib haji. Rukun haji adalah amalan yang
jika ditinggalkan maka batal/tidak sah hajinya. Sedangkan wajib haji adalah amalan yang
jika ditinggalkan maka hajinya tetap sah namun ia berkewajiban membayar denda/dam.

Rukun haji ada empat yaitu:

 Ihram
 Thawaf
 Sa’i
 Wukuf di Arafah
 Rukun Haji dan Umrah
1. Ihram
Ihram adalah berniat untuk haji/umrah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan
khusus selama ihram. Lafaz ihram haji/umrah adalah “Labbaikallahumma
hajjan/umratan”, yang berarti “Aku memenuhi panggilanmu ya Allah untuk
berhaji/umrah.” Disebut ihram karena berasal dari kata haram, dan lawan katanya
adalah ihlal (halal) karena dalam ihram berlaku larangan hal-hal tertentu yang pada
kondisi biasa hukumnya halal. Masa ihram haji adalah sejak tangal 8-10 Dzulhijjah,
dan masa ihram umrah lebih singkat dari itu.
 Kewajiban-kewajiban Ihram
1. Ihram dari miqat
Miqat adalah tempat dimana orang yang berhaji harus memulai ihram
sebelum memasuki Makkah. Miqat haji bagi orang yang berada di dalam batas
miqat, maka miqatnya adalah di rumahnya. Sedangkan miqat bagi orang-orang di
luar batas miqat berdasar hadits dari Ibnu Abbas adalah sebagai berikut:
 Bagi penduduk Madinah, miqatnya di Dzul Hulaifah, atau
sekarang dikenal sebagai Bir Ali.

5
 Bagi penduduk Irak, Nejed, atau yang datang dari arah timur,
miqatnya di Qarnul-Manazil.
 Bagi penduduk Yaman atau yang datang dari selatan, miqatnya di
Yalamlam.
 Miqat bagi Penduduk Syam atau yang datang dari arah barat,
miqatnya di Juhfah.

Miqat tersebut berlaku bagi penduduk dari wilayah tersebut, atau orang
yang hendak berhaji dari wilayah tersebut. Maka warga Indonesia/Jepang, ketika
berziarah di Madinah terlebih dahulu, maka ketika hendak berangkat haji dari
Madinah mengambil miqat di Bir Ali. Sedangkan untuk umrah, bagi penduduk
Makkah, maka miqatnya adalah di titik batas Tanah Haram yang terdekat. Titik
yang terdekat tersebut salah satunya adalah di Tan’im (Masjid Aisyah).Barang
siapa yang melewati batas miqat tanpa berihram, jika ia tidak kembali lagi ke
miqat untuk ihram maka haji/umrahnya tetap sah, namun ia berkewajiban
membayar denda/dam.

 Memakai pakaian ihram

Pakaian ihram untuk laki-laki adalah dua helai kain yang tidak berjahit yaitu
rida (selendang bagian atas) dan izar (kain yang disarungkan). Maksud pakaian
berjahit ini adalah pakaian yang disambung yang membentuk bentuk tubuh (misalnya
tsaub/jubah, gamis, celana panjang dan sejenisnya). Tidak boleh juga memakai
imamah (tutup kepala dan sejenisnya, misalnya topi, dsb) dan tidak boleh juga
memakai khuff (sepatu yang menutup mata kaki dan sejenisnya, misalnya kaos kaki,
dsb). Alas kaki yang dianjurkan adalah sandal yang terbuka ujung kaki dan mata
kakinya. Adapun pakaian ihram untuk perempuan adalah pakaian yang menutup
auratnya, tanpa memakai tutup wajah (cadar), sarung tangan.

6
 Membaca Talbiyah

Menurut penulis buku ini (yang dipengaruhi oleh madzhab Maliki) berpendapat
bahwa hukum membaca talbiyah adalah wajib. Sedangkan menurut jumhur ulama,
membaca talbiyah hukumnya adalah sunnah muakkadah.

Sunnah-sunnah ihram antara lain:

 Mandi sunnah sebelum ihram


Mandi sebelum ihram dianjurkan bagi orang yang hendak berhaji/ihram,
termasuk juga wanita yang sedang haid/nifas. Jika miqatnya jauh, maka
dibolehkan mandi sejak di rumah.
 Memakai dua helai kain ihram warna putih.
Berihram setelah menunaikan shalat.Shalat ini bukanlah shalat khusus ihram,
tetapi shalat apa saja, baik itu shalat sunnah (misalnya shalat tahiyatul masjid
atau shalat dhuha) atau shalat wajib. Membersihkan badan, misalnya
merapikan rambut, memotong kuku, mengulang-ulang bacaan talbiyah.

Pendekatan Filosofis

Pendekatan Filosofis dalam Studi Islam Pengaruh filsafat Yunani


membangkitkan umat Islam untuk mempelajari secara mendalam tidak hanya terbatas
pada bidang filsafat dan bidang ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, kimia,
astronomi dan matematika, tetapi sampai menyentuh ke seluruh aspek dalam
pemikiran umat Islam seperti halnya ilmu kalam, fiqih, tafsir dan tasawuf. Seperti
masuknya pengaruh filsafat dalam bidang ilmu kalam muncul persoalan tentang
kedudukan akal di samping wahyu dalam menemukan kebenaran, apakah Tuhan
mempunyai sifat atau tidak. Dalam bidang fiqih muncul persoalan yang sama apakah
seseorang dapat menetapkan hukum berdasarkan pada ijtihadakal. Dalam bidang
tafsir tentang penggunaan qiyas atau analogi, apakah seseorang dapat menafsirkan
atau menakwilkan ayat. Kemudian dalam bidang tasawuf muncul persoalan-persoalan
sekitar filsafat nilai, masalah martabat dalam tarekat yang dekat dengan masalah teori

7
emanasi. 5Pengaruh filsafat juga melahirkan filosof-filosof muslim yang terkenal
dalam dunia Barat dan Timur, seperti Al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu
Rusyd, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, Ikhwanushafa, Ibnu Maskawaih dan lain-lain.
Selain itu juga membangkitkan revolusi berpikir dalam dunia Islam, walaupun tidak
menutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat. Perkembangan yang menarik
adalah penolakan dan penerimaaan yang dilakukan oleh pemikir Islam terhadap
pengaruh filsafat Yunani karena mereka sudah mempelajari secara mendalam
terhadap filsafat tersebut. Al-Ghazali misalnya telah menolak hasil-hasil pemikiran
filosof muslim yang didasarkan atas pemikiran Yunani, yang nyata-nyata
bertentangan dengan ajaran Islam, dalam bukunya Tahafuth al Falasifah. Selanjutnya
Ibnu Rusyd membela filosof muslim dan menolak kesimpukan al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Tahafut.Pendekatan filosofis dalam kajian Islam berusaha untuk
sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal dengan meneliti dari akar
permasalahannya, metode ini bersifat mendasar dengan cara radikal dan integral
karena memperbincangkan sesuatu dari segi esensi atau hakikat sesuatu.6Pendekatan
filosofis diibaratkan sebagai pisau analisis untuk membedah Islam secara mendalam,
integral dan komprehensif untuk melahirkan pemahaman dan pemikiran tentang
Islam yang senantiasa relevan pada setiap waktu dan ruang atau shalih fi kulli zaman
wal makan. Filsafat berperan membuka wawasan berpikir umat dan digunakan
sebagai pilar dalam merekonstruksi pemikiran dan membongkar formalisme agama
dalam istilah M. Arkoun taqdis al-afkar al-dini sebagai salah satu sumber
ekslusivisme agama dan kejumudan umat.7Memahami agama melalui pendekatan
filosofis agar dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, menangkap
hikmah, hakikat atau inti yang terkandung dalam ajaran agama, bisa dimengerti dan
dipahami, sehingga dalam melakukan amal ibadah tidak merasa hampa, kekeringan
spiritual serta menimbulkan kebosanan dalam menjalankannya. Selain itu juga dapat

5
Sir Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thougt in Islam( New Delhi: Nusrat Ali
Nasri,1981), hal 4
6
Supiana,Metodologi Studi Islam (Jakarta:Ditijen Pendis Kemenag PI, 2012),hal 96
7
Husein Heriyanto, Nalar Saintifik Peradaban Islam( Bandung: Mizan, 2011),hal 355

8
meningkatkan sikap, penghayatan juga daya spiritualitasnya sehingga tidak terjebak
dalam pemahaman agama yang sekedar formalistik dan tidak menemukan nilai-nilai
di dalamnya.Pendekatan ini juga tidak menyepelekan bentuk ritual agama secara
formal, filsafat digunakan untuk mempelajari dari segi batin yang bersifat esoterik,
sedangkan bentuk formal memfokuskan segi lahiriahnya yang bersifat
eksoterik.pendekatan yang demikian sebenarnya sudah banyak digunakan oleh para
ahli seperti Muhammad Al-Jurjawi dalam bukunya Hikmah Al-Tasyri’ wa
Falsafatuhu buku tersebut berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik
ajaran-ajaran agama Islam. 8Perintah dalam ajaran Islam dalam bentuk ibadah
misalnya jika dipahami dengan pendekatan filosofis seperti shalat berjamaah hikmah
yang terkandung di antaranya bisa merasakan hidup secara berdampingan dengan
orang lain. Mengerjakan puasa agar seseorang dapat merasakan lapar dan
menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian
pula ibadah haji dalam menunaikan rukun Islam dapat merasakan nilai-nilai spiritual
yang terkandung di dalamnya, ibadah yang dilaksanakan di kota Makkah dalam waktu
bersamaan dengan bentuk gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan
lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasa
bersaudara dengan sesama muslim dari seluruh dunia.Thawaf yang dikerjakan
mengandung makna bahwa hidup harus penuh dengan dinamika yang tak kenal lelah,
namun semuanya itu harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata.Mengerjakan
sa’i yakni lari-lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus ada, terus
mencoba. Dimulai dari bukit Shafa yang artinya bersih dan berakhir pada bukit
Marwa yang artinya berkembang. Dengan demikian hidup ini harus diisi dengan
perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga dapat
memperoleh keberkahan. Sementara itu wukuf di Arafah maksudnya adalah saling
mengenal, yakni dapat mengenal siapa dirinya, mengenal tuhannya dan mengenal
sesama saudaranya dari berbagai belahan dunia. Demikian pula melontar jumrah
dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat-sifat negatif yang ada dalam

8
Abuddin Nata,Metodologi Studi Islam(Jakarta : Raja Grafinndo Persada,2008) hal 43

9
dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat yang positif, mengenakan pakaian serba putih
maksudnya adalah agar seseorang mengutamakan kesederhanaan, kesahajaaan dan
serba bersih jiwahnya sehingga tidak terganggu hubunganya dengan tuhan.
Pentingnya pendekatan ini, pendekatan filsafat juga digunakan dalam memahami
berbagai bidang lainnya selain agama. Misalnya filsafat hukum Islam, filsafat sejarah,
filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi, dan lain sebagainya. Pandangan filsafat yang
bercorak perenialis seperti ini secara metodologis beragama, sebab melalui metode
ini diharapkan tidak hanya sesama umat beragama dapat menemukan kesatuan
agama-agama pada wilayah transenden, melainkan juga dapat mendiskusikan secara
lebih mendalam, sehingga dapat terbuka kebenaran yang betul-betul benar, dan
tersingkirlah kesesatan yang betul-betul sesat, meskipun tetap dalam lingkup
kerelatifan.

Pendekatan Fenomenologis

Pendekatan fenomenologi ialah sebuah pendekatan ilmiah yang berupaya mencari esensi
atau hakikat dari apa yang sebenarnya terjadi dibalik segala macam bentuk manifestasi
agama yang terjadi dalam kehidupan manusia. Pendekatan fenomenologi disini tidak
menawarkan cara berpikir yang eksklusif sebagaimana aliranaliran filsafat yang ada
sebelumnya yang kesemuanya menghasilkan isme-isme besar tetapi dengan suatu metode
saja dalam menyelesaikan permasalahan.

Orientasi utama dari kajian fenomenologi agama yaitu aspek pengalaman dari
keberagamaan seseorang, kemudian dengan konsisten berupaya menggambarkan atau
mendeskripsikan yang berfokus pada keimanan atau kepercayaan objek penelitian.
Pendekatan ini meninjau agama sebagai suatu komponen yang unik dan berbeda
kemudian dikaji dengan hati-hati sesuai tradisi keagamaan seseorang untuk menemukan
sebuah pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama lahir sebagai usaha untuk
menghindari penggunaan pendekatan-pendekatan sempit, normatif dan etnosentris
dengan berusaha menggambarkan pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin.

10
Pendekatan fenomenologi dalam studi Islam mengungkapkan makna dari suatu gejala
sehingga gejala tersebut dapat dipahami dan dapat diterapkan dalam ajaran-ajaran
normatif, kegiatan-kegiatan keagamaan, institusi-institusi keagamaan, tradisi-tradisi dan
simbol-simbol keagamaan.

HASIL PEMBAHASAN

Studi Haji dan Umroh dengan Pendekatan Filosofis

Apabila dikaji dengan pendekatan filosofis, maka ibadah haji dan umroh mengandung
nilai-nilai hikmah yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai hikmah
tersebut sangat penting dikembangkan untuk membangun kehidupan yang lebih dinamis.
Haji adalah muktamar sosial tahunan, dimana Allah mengundang umat Islam dari
berbagai penjuru dunia berhimpun dalam kebaikan (Ash- Shabuny,2000: 49). Berbagai
macam ras, warna kulit, bangsa-bangsa dari seluruh penghuni bumi ini berkumpul
memenuhi undangan Allah sebagai peserta. Berbagai agenda muktamar itu telah disusun
dan mesti diikuti setiap peserta secara tertib, tidak boleh membuat agenda sendiri sesuai
selera peserta. Memang berat, untk menjadi peserta Muktamar haji ini membutuhkan
kemampuan biaya perjalanan yang banyak, fisik yang kuat dan kekuatan jiwa dalam
menghadapi berbagai hal dengan penuh kesabaran dan istiqamah. Karenanya Quraisy
Shihab (2000: 401) menyebutnya sebagai jihad ke dalam jiwa untuk mememlihara
kepribadian dan menjalin persatuan umat. Pendapat ini mengandung makna bahwa haji
mempunyai dua domain sekaligus yakni untuk menjaga kualitas keislaan setiap pribadi
dan kualitas keislaman umat, kesalehan individu sekaligus kesalehan sosial.

Haji tidak dikatakan sebagai sebuah perjalanan, karena setiap perjalanan mempunyai
akhir. Haji tidak dapat disebut sebagai sebuah ziarah karena setiap ziarah mempunyai
tujuan. Tetapi haji adalah sebuah tujuan mutlak dan sebuah gerakan eksternal menuju
tujuan tersebut (Shariati, 1983: 61). Berarti haji adalah menuju Allah sebagai tujuan, sejak
sebelum, saat dan sesudah menunikannya. Haji adalah menuju Allah sebagai titik pusat
aktivitas hidup muslim saat di tanah suci hingga kembali ke tanah air masing-masing.

11
Karenanya haji mabrur juga bermakna mabrur di tanah suci dan meneruskan /
melestarikan nilai-nilai kemabrurannya di tanah air, tiada berhenti hingga menghadap
Allah saat ajal menjemputnya.

Rangkaian prosesi ibadah haji adalah ritual yang penuh makna dari setiap setiap kegiatan
ibadah, antara lain :

1. Ihram dari miqat

Berihram, yakni melepaskan semua pakaian yang digunakan lalu menggunakan ihram
dengan dua lembar kain terutama yang berwarna putih tanpa jahitan bagi laki dan pakaian
biasa untuk wanita sejak dari miqat (waktu dan tempat yang ditentukan). Ada apa dengan
melepas dan berganti pakaian? Shariati (1983: 11) menyatakan karena pakaianlah yang
menutupi diri dan watak manusia. Pakaian melambangkan pola, preferensi, status, dan
perbedaan tertentu. Pakaian menciptakan “batas” palsu yang menyebabkan perpecahan
umat manusia. Dari perpecahan itu akan timbul konsep “aku”, bukan “kami/kita”. Dengan
demikian melepas pakaian mengandung makna. bersihnya seorang muslim dari segala
sesuatu yang mengotori dirinya terutama penyakit hati seperti riya, ujub dan syirk. Itulah
sebabnya bagi yang sudah berihram maka haram baginya melakukan perbuatan tertentu
yang dapat menyebabkan tertutupnya diri dari segala kemuliaan. Ia harus mengendalikan
lisanny dari segala ucapan yang tidak baik, pertengkaran, syahwat, membunuh, meotong
tanaman, twrsuk emakai parfum. Sayyid Quthb (2001; 459) memaknainya dengan
melepaskan diri dari ikatan selain ikatan Islam. Karena sesungguhnya ikatan Islam itulah
satu-satunya ikatan yang sejati, nasab Islam itulah nasab sejati, dan Islam itulah satu-
satunya sibghah yang sejati. Ihram juga bermakna prosesi melepaskan diri dari segala
ikatan nafsu untuk mencapai derajat yang suci dan tinggi. Cengkeraman hawa nafsu yang
telah menutup seluruh aspek dirinya hingga lupa kalau ia adalah manusia biasa yang
lemah. Kain ihram juga perlambang kain akhir kehidupan, penghantar ke liang lahat tanpa
yang lain. Setiap yang berihram disadarkan bahwa akhir kehidupan tidak ada yang
menyertai dirinya kecuali kain kafan tanpa lainnya. Inilah kesadaran bahwa seluruh

12
fasilitas hidup yang ada pada dirinya hanyalah hak pakai, bukan hak milik. Semuanya
milik adalah mutlak hak Allah.

2. Talbiyah

Dimulai dari miqat, seseorang yang telah berihram berikrar dengan kesungguhan
menyatakan “Labbaika Hajjan” (Aku penuhi panggilan-Mu untuk haji). Sesudah itu
seluruh jamaah bergerak menuju Baitullah di Makah dengan memperbanyak ucapan
talbiyah “Labbaika Allahumma labbaik, Labbaika laa syarika laka labbaik, inna al-hamda
wanni’mata laka wa al-mulka laa syariika lak”, terus dibaca hingga perjalanan sampai di
Baitullah. Talbiyah adalah ucapan yang bernilai perjanjian bahwa ia datang untuk
memenuhi panggilan Allah dengan penuh taat, syukur dan tiada sedikitpun membawa
syirk. Dengan demikian haji adalah ibadah suci yang membawa kesucian bagi setiap yang
melaksanakannya terutama suci dari segala syirk dalam ibadah, do’a, bekerja, dan
aktivitas lainnya. Talbiyah juga berarti penegasan terhadap perjanjian yang pertama
dengan Allah yaitu perjanjian dalam Syahadatain.

3. Thawaf

Thawaf adalah mengelilingi ka’bah tujuh kali putaran. Ka’bah melambangkan


ketetapan (konstansi) dan keabadian Allah. Allah adalah pusat eksisitensi, titik fokus dari
dunia yang fana ini (Shariati, 1983: 31). Mengelilingi ka’bah adalah transformasi seorang
manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua “aku” bersatu menjadi “kita” yang
merupakan “ummah” dengan tujuan Allah. Yang terlihat adalah totalitas dan universalitas
umat manusia. (Shariati: 32). Jika seseorang melakukan thawaf masih tertuju pada
identitas dan kelebihan diri, maka sesungguhnyaia tidak dapat menjadi bagian dari
lingkaran thawaf yang totalitas dan universalitas umat ini. Ia hanyalah seorang
pengunjung yang berdiri di tepian sebuah sungai dan tidak mencebur ke dalam sungai
tersebut (Shariati: 33). Artinya secara lahiriyah fisik ia thawaf, namun jiwanya belum
thawaf karena masih tertutup oleh pakaian yang penuh dengan atribut “akunya”. Thawaf
dimulai dari Hajar Aswad (batu hitam) dan berakhir di Hajar Aswad pula. Memulaithawaf

13
dari Hajar aswad adalah cara menemukan “orbit” untuk menemukan jalan keselamatan
(Shariati: 35). Gerakan berputar dari kiri ke kanan dengan arah berlawanan dengan jarum
jam adalah “Sunnatullah”yang berlaku bagi jagat raya dan manusia. Fakta ilmiah adalah
jawaban yang paling akurat karena planet-planet termasuk matahari dan bumi, berjalan
pada rotasinya dengan berputar dari kanan ke kiri, terbalik dengan arah jarum jam, bahkan
elektron-elektron juga demikian.

Simbolisasi dari tawaf berdasarkan pemaknaan di atas, adalah bahwa setiap


manusia harus memiliki kesadaran yang kuat mengenai pemahaman yang benar dan lurus
dari mana kehidupan ini berasal dan ke mana akan menuju. Hakikat hidup adalah dari,
oleh dan untuk Allah. Allah adalah pusat kehidupan manusia. Dimanapun dan kapanpun
ia berada, ia senantiasa menghadirkan Allah (ma’iyyat Allah) dan menghadirkan
kebaikan-kabaikan (ma’iyyat al-hasanah) untuk dirinya dan orang lain.Saat di hadapan
Hajar Aswad setiap peserta thawaf mencium atau mengusap atau melambaikan tangan
seraya mengucapkan asma Allah “Bismillahi Allahu Akbar”. Kalimat ini sangat agung
karena mengandung sumpah setia atau ikatan perjanjian dengan Allah untuk tidak
menyekutukan Allah. Dengan sumpah dan perjanjian ini, maka terbebaslah ia dari setiap
sumpah setia yang pernah ia buat dengan pihak lain di masa sebelumnya (Shariati: 36).
Sebagaimana saat memulai berihram dari miqat, maka seorang yang berhaji menegaskan
kembali sumpah setia dan perjanjiannya dengan Allah terbebas dengan dengan ikatan-
ikatan yang mendominasi dirinya kecuali dominasi ikatan Allah, Zat Yang Maha
Menguasai segala makhluk secara mutlak. Semua ikatan yang tidak sejalan dengan Allah
harus ia lepaskan, demi monoloyalitasnya dengan Allah dan Rasulullah SAW.

4. Sa’i

Secara harfiah sa’i berarti usaha. Shafa berarti suci, sedangkan Marwah berarti
kepuasan hati. Makna kontekstualnya berarti usaha sungguh-sungguh mencari sumber
kehidupan dengan memulainya dari yang suci dan berakhir dengan kepuasan hati yakni
kebahagiaan dunia dan akhirat/ balasan di sisi Allah (Shihab, 2000: 345). Sa’i adalah
sebuah “pencarian”. Pencarian “cinta” sejati yakni cinta kepada Allah sebagimana yang

14
dilakukan Hajar mencari air untuk Ismail. Cinta kepada Allah yang diraih dengan
perjuangan sungguh-sungguh, tidak berpangku tangan (Shariati: 46-51). Dengan
pemaknaan di atas, sa’i berarti bersungguh-sungguh berjuang menghadapi hidup agar
meraih kebahagiaan. Hajar bukanlah manusia berkelas di hadapan manusia bila diukur
dari status sosialnya, namun dia berkelas di hadapan Allah karena kualitas keimanan dan
amalnya. Ia menjadi mulia karena kesungguhannya dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya,
bermental baja dalam menghadapi realitas kehidupan yang berat penuh tantangan. Ia
adalah contoh peraih penghargaan hidup karena bersungguh-sungguh dalam menjemput
bahkan mengejar pertolongan Allah, tidak berpangku tangan dan hanya menunggu
pertolongan itu. Inilah etos kerja muslim yang harus dikembangkan dalam meraih setiap
target yang telah ditetapkan. Etos kerja penuh kesungguhan, totalitas dan kecintaan
terhadap pekerjaan serta tetap berharap pada pertolongan Allah.

5. Wukuf di Arafah

Wukuf secara bahasa berarti berhenti sejenak. Dalam hal ini berhenti sejenak dari
menuruti nafsu duniawi. Sedangkan Arafah memiliki arti mengetahui atau mengenal,
yakni mengetahui banyak hal tentang dirinya dan Tuhannya. Jadi wukuf di Arafah berarti
berhenti dari kesenangan dunia agar mengerti hakikat hidup sesuai ketentuan Allah SWT.
Mengetahui dirinya dan Tuhannya inilah puncak pengetahuan tertinggi yang diraih
melalui wukuf arafah sebagai puncaknya ibadah haji. Agar dapat meraih puncak
pengetahuan tertinggi itu, maka setiap peserta banyak melakukan perenungan,membuka
diri dengan penuh kejujuran di hadapan Rabbnya perihal perjalanan hidupnya, agar
meraih kasih sayang-Nya.

Dari hasil perenungannya itu akan muncul konsekuensi untuk melakukan


perbaikan diri dengan bertaubat. Inilah momentum Arafah agar setiap muslim yang
berhaji mengerti akan dirinya dan mengerti akan Tuhannya serta memiliki komitmen
perbaikan di tengah kehidupannya di dunia. Dengan demikian, dampak positif wukuf di
Arafah adalah evaluasi diri (muhasabah) dan pertaubatan (taubah al-nasuha) berdasarkan

15
pengetahuan tertinggi. Itulah sebabnya setiap mata yang hadir di arena wukuf banjir
airmata disebabkan muhasabah dan pertaubatannya itu.

6. Singgah di Muzdalifah atau Masy’ar

Masy’ar adalah “kesadaran” dan pengertian, yaitu kesadaran mulia yang


dikendalikan oleh kesalehan, kerendahan hati, dan kesucian. Kesadaran yang lahir dari
“pengetahuan” (arafat) dan sarat dengan “cinta”. Masy’ar atau Masy’ar al- Haram adalah
cahaya yang dinyalakan oleh Allah dalam hati orang-orang yang dikehendaki-Nya
(Shariati,1983: 73). Kalau Arafah dilakukan di siang hari dibawah terik sinar matahar,
maka masy’ar adalah malam hari yang gelap. Apa maksudnya? Shariati (1983: 72)
kembali menegaskan karena Arafah adalah tahapan pengetahuan yang membutuhkan
ketajaman pandangan dan oleh karenanya diperlukan cahaya yang terang. Adapun
Masy’aril Haram (Muzdalifah) adalah tahap kesadaran sehingga membutuhkan
kemampuan konsentrasi tajam di dalam kegelapan dan keheningan malam. Dengan
mengetahui dirinya, Robbnya, kesadaran evaluasi diri dan pertaubatan, serta berhenti
sejenak dari nafsu keduniaan pada dirinya, muncullah kesadaran membangun hari esok
yang lebih baik. Tidak mengulang kesalahan masa lalu, dan menjadikannya cambuk bagi
dirinya untuk lebih mawas diri (muraqabah) di tengah kehidupan yang penuh tantangan
dan godaan setan yang selalu berupaya menjauhkan dari jalan Allah.

7. Melempar jumrah

Melempar jumrah di Mina adalah simbol perlawanan terhadap setan. Bukan


melempari setan yang sebenarnya sebagaimana yang dilakukan Ibrahim AS dalam hadits
Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas, karena setan telah menghalangi Nabi
Ibrahim AS dalam melaksanakan haji dan juga menggoda Hajar untuk membatalkan
penyembelihan terhadap Ismail AS.

Melempar jumrah adalah melempar terhadap tiga tugu yakni ula, wustha dan
aqabah (aqabah pada hari nahr tanggal 10 Zulhijjah) dan ketiga tugu pada hari tasyrik
tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijjah saat tinggal di Mina. Semuanya adalah simbol sikap tegas

16
manusia untuk melakukan perlawanan terhadap segala setan dan segala pengaruhnya.
Karena setanlah yang telah menyesatkan manusia dari jalan Allah yang lurus. Mulai
Adam dan Hawa yang telah diturunkan Allah dari sorga menuju dunia, Nabi Ibrahim AS
dan Hajar yang digoda untuk membatalkan penyembelihan terhadap Ismail AS dan
seluruh abak turun Adam yang juga dihalangi menuju jalan Allah dan di sesatkan ke jalan
yang sesat.

Melempar jumrah dengan mengucapkan takbir “Allahu Akbar” adalah menjadi


syarat melawan pengaruh syaitan. Hanya dengan takbir yang bermakna pengakuan kuat
dan perlindungan kepada Allah yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa maka manusia dapat
melindungi diri dengan godaan setan dengan jalan selalu taat kepada Allah.

8. Tahallul

Tahallul adalah memendekkan, mencukur rambut kepala atau menggundulinya


setelah melempar jumroh aqabah dalam haji atau sesudah selesai sa’i saat umrah. Tahallul
artinya menjadi “halal/boleh” setelah setelah sekian lama diharamkan baginya melakukan
berbagai hal saat berihram haji maupun umrah. Orang akan mencapai kebahagiaan dan
mendapatkan karunia Allah yang halal setelah melakukan perjuangan panjang mulai dari
mengendalikan diri dari nafsu duniawi, mempertajam pengetahuan hingga memperoleh
pengetahuan puncak, kesadaran untuk perbaikan serta mau melakukan perlawanan
terhadap setan.

Fiqih Haji dan Umroh Pendekatan Fenomenologis

Fenomena pelaksanaan haji di Indonesia sesungguhnya menarik untuk dikaji.


Pasalnya, pendaftar haji membludak melebihi jumlah kuota tahunan sehingga
menyebabkan terjadinya penumpukan dan antrian panjang meski biayanya tidak murah.
Setiap hari ada muslim yang mendaftar sebagai calon peserta ibadah haji. Data di
Kementerian Agama menyebutkan bahwa setiap tahun setidaknya sekitar 210.000 orang
(sejak tahun 2013 dipangkas 20 % selama proyek renovasi Masjidil Haram menjadi 168
juta jamaah) berangkat ke Saudi untuk menunaikan rukun Islam kelima. Rata-rata

17
perbulan terdapat 40.000 pendaftar baru yang masuk daftar antrian. Hingga kini terdapat
2,2 juta calon haji mengantri secara variatif tiap propinsi dari masa tunggu minimal 7
tahun (Provinsi Sulut) hingga 19 tahun (Provinsi Sulsel dan Kalsel). Antrian akan terus
bertambah semakin panjang meski tahun 2016 Pemerintah Saudi menambah kuota
jamaah calon haji 20.000 bagi Indonesia (Baca kemenag.go.id). Fenomena haji di atas
setidaknya menggambarkan peningkatan dua hal penting bagi umat Islam. Pertama,
meningkatnya kesejahteraan umat Islam yakni meningkatnya pendapatan finansial, dan
kedua, meningkatnya kesadaran untuk beribadah. Peningkatan kesejahteraan dapat
dibuktikan dengan beberapa hal penting seperti meningkatnya pendapatan gaji guru dan
dosen dengan adanya program sertifikasi pendidik. Pengakuan dari sebagian jama’ah haji
menyebutkan bahwa mereka sangat terbantu untuk melaksanakan ibadah haji karena
program sertifikasi tersebut. Selain program serttifikasi, adalah munculnya banyak
tawaran kemudahan dari pihak perbankan dengan adanya program talangan haji. Dengan
program talangan haji ini orang dengan mudah mendapat porsi calon haji dengan cara
mengangsur kepada pihak bank walaupun harus mengantri jadwal keberangkatannya
beberapa tahun ke depan. Meningkatnya kesadaran untuk meribadah juga menjadi sebab
meningkatnya jumlah jamaah calon haji. Peningkatan kesadaran tersebut disebabkan
banyak faktor, diantaranya suburnya fasilitas untuk belajar dan memahami ajaran Islam
serta motivasi spiritual terbuka luas lewat berbagai media.

Haji oleh sementara kalangan dianggap sebagai gaya hidup. Apalagi gelar Haji
dan Hajjah bisa diperoleh sebagai sebutan atau gelar di depan namanya, sekan menambah
kuat status sosialnya. Kareanya banyak orang yang kemudian melaksanakan haji berkali-
kali atau umrah berkali-kali karena mengejar kepuasan hati yang dikemas sebagai wisata
spiritual. Akibatnya, muncullah fenomena yang justru menunjukkan kebalikannya. Para
Hujjaj yang telah pulang dari ibadah haji di tanah suci kondisinya belum optimal
sebagaimana yang diharapkan sebagai haji mabrur yang diidamkan. Tidak sedikit dari
mereka beberapa lama kemudian kembali kepada keadaan yang buruk. Banyak
pelanggaran-pelanggaran dilakukan oleh orang yang sudah berhaji, mulai dari
pelanggaran moral, norma Islam hingga perilaku tindak penyimpangan norma agama

18
mauoun masyarakat serta Terjadi penurunan semangat beribadah dan beramal saleh, tidak
seperti saat berada di tanah suci.

Fenomena di atas terjadi dapat diduga karena lemahnya motivasi dalam


menunaikan ibadah haji dan kurangnya pemahaman terhadap makna yang terkandung
dalam setiap kegiatan ibadah haji. Oleh karena itu memahamkan ibadah haji dengan
pendekatan filosofis kepada jamaah calon haji sangat penting sebagai bekal agar lebih
menghayati dan mampu menangkap pesan moral serta mengaplikasikan sesudah kembali
ke tanah air.

SIMPULAN

Studi haji dengan pendekatan filosofis dan fenomenologis sangat penting agar
pelaku ibadah haji mampu mengungkap pesan-pesan moral ibadah haji, sehingga cita –
cita meraih haji mabrur akan dapat diwujudkan. Haji mabrur dapat dimaknai sebagai
ibadah yang produktif dan fungsional, melahirkan kesalehan individu sekaligus kesalehan
sosial. Meraih haji mabrur dimulai dari pemahaman dari makna-makna yang terkandung
dalam ritual ibadah haji itu sendiri.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muslim, 2005: Islam yang memihak, Yogyakarta, LKIS.

Al-‘Ied, Ibnu Daqiq : Syarah Hadits Arba’in An-Nawawiyah, (terjemah Muhammad


Tholib),Yogyakarta, Media

Ancok, Djamaludin dan Suroso, Fuat Nashori, 2004: Psikologi Islami: Solusi Islam atas
problem-problem psikologi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Arkoun, M.,2000 : Membedah Pemikiran Islam (terjemah Hidayatullah), Bandung,


Pustaka.

Ash-Shabuny, Muhammad Ali, 2000: Cahaya Al-Qur’an tafsir tematik 1, (terjemah


Kathur Suhardi), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Azizy, A Qodri, A, 2000: Islam dan permasalahan sosial, mencari jalan keluar,
Yogyakarta, LKIS.

Nasr, Seyyed Hossein, 2003: Islam: Agama, sejarah dan peradaban, Surabaya, Risalah
Gusti.

Quthb, Sayyid, 2001: Tafsir fii zhilalil Qur’an, (terjemah: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid),
Jakarta, Robbani Press.

Shariati, Ali, 1983: Haji, (terjemah:Anas Mahyuddin), Bandung, Penerbit Pustaka


Perpustakaan Institut Teknologi Bandung.

Shihab, M. Quraish, 2000: Tafsir Al-Mishbah 6,Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an,
Jakarta, Penerbit Lentera Hati.

Tobroni, 2012: Relasi kemanusiaan dalam keberagamaan (mengembangkan etika sosial


melalui pendidikan), Bandung, Karya Putra Darwati.

20

Anda mungkin juga menyukai