Anda di halaman 1dari 3

MENSIKAPI MASALAH CIVID DALAM FIQIH

Sebelum munculnya pandemi Covid-19 atau istilah pribuminya pagebluk, siapa


yang membayangkan akan terjadi perubahan dalam kegiatan beribadah di
masjid. Kondisi pendemi beberapa lama, tidak memungkinkan ibadah dilakukan
di masjid sebagaimana keadaan normal. Pandemi yang diikuti dengan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat (PPKM) telah mendorong para ulama untuk menggali
kaidah-kaidah fiqih yang menjadi sebab (illat) dari sebuah hukum. 

Pandemi membuka mata dan pemahaman umat tentang dinamika dan elastisitas
hukum Islam, khususnya di bidang ibadah mahdhah (ibadah murni). Hukum
syariah dalam beribadah bukanlah hukum yang sempit dan kaku. Agama (ad-
dien) itu mudah, meski bukan berarti dapat dimudah-mudahkan. Pada kondisi
tertentu terdapat keluasan dan kelonggaran pelaksanaan ibadah berdasarkan
prinsip-prinsip keilmuwan ushul fiqih.

Dalam kitab (terjemahan) Mabadi Awwaliyah karya monumental ulama ahli


fiqih terkemuka di Nusantara, Abdul Hamid Hakim (1893 - 1959), saya
membaca beberapa kaidah ushul tentang fiqih yang merupakan prinsip-prinsip
pijakan pelaksanaan syariah, antara lain:  

Pertama, “Kesulitan dapat menarik kemudahan." Kedua, "Bahaya harus


dihilangkan."Ketiga, "Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik
kemaslahatan."Keempat, “Jika terjadi pertentangan antara kebaikan (maslahat)
dan kerusakan (mafsadat), maka yang diperhatikan adalah yang lebih unggul
dari keduanya.” Kelima, "Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus
dihubungkan dengan kemaslahatan". Keenam, “Keutamaan yang dipautkan
dengan ibadah itu sendiri lebih baik daripada yang dipautkan dengan
tempatnya.” Dan Ketujuh, “Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali
karena sesuatu yang wajib pula.”

Dalam mata-rantai keilmuwan Islam, dikenal metode pengambilan hukum dari


Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber murajaah (primer). Di samping itu,
umat Islam juga memerlukan hasil ijtihad ulama di lapangan hukum untuk
menyikapi permasalahan yang belum terbahas secara rinci di dalam Kitabullah
dan Sunnah Rasul. Upaya penggalian hukum dengan metode ijtihad dilakukan
melalui eksplorasi dalil Al-Quran, Hadits, dan kitab-kitab turats dalam rangka
menemukan komparasi makna teks yang bersifat umum lalu dihadapkan dengan
kondisi khusus, seperti penularan Covid-19 yang sedang dihadapi umat
manusia.  

Umat Islam di Tanah Air merasa lega dan tenang dengan adanya fatwa dan
panduan yang dikeluarkan oleh ormas-ormas Islam, seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI), NU, Muhammadiyah dan lainnya tentang tuntunan ibadah
dalam kondisi pandemi Covid-19. Fatwa ataupun edaran dari ormas-ormas
Islam diperkuat dengan Surat Edaran Menteri Agama mengenai panduan
kegiatan peribadatan di rumah ibadah di masa pandemi Covid 19. 

Menteri Agama lebih jauh mendorong masjid dan rumah ibadah lainnya agar
mengambil peran terdepan sebagai pusat edukasi umat dan opinion
leader tentang Covid-19. Pengurus dan jamaah masjid diharapkan menjadi
contoh kedisiplinan masyarakat dalam hal penerapan protokol kesehatan di
tempat umum.  

Saya mencatat sedikitnya tiga penyesuaian ibadah di masa pandemi


berlandaskan kaidah-kaidah syariah fiqhiyah,
sebagai berikut: (1) Salat Jumat boleh diganti dengan Salat Zuhur di rumah atas
pertimbangan mencegah penularan Covid-19; (2) Salat tarawih di masjid di
bulan Ramadan ditiadakan selama Covid-19 masih berjangkit; dan (3) Salat
Hari Raya Idulfitri dan Iduladha di lapangan terbuka atau di masjid ditiadakan.  

Setelah masjid kini dibuka kembali untuk kegiatan peribadatan


sesuai leveling PPKM yang dinyatakan aman, setiap jamaah tetap harus
menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Menggunakan masker dan
menjaga jarak aman antarjamaah ketika shalat berjamaah dibolehkan demi
untuk mencegah risiko penularan Covid-19.

Anda mungkin juga menyukai