Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

STUDI HUKUM ISLAM

(FLEKSIBILITAS FIQH)

Hayatul Islami,S.Th.i,M.Si.

Kelompok 2

Nuur Annaf 301210080


Bagus Rimawan 301210055
M.Nadif Ramadhan 301210085

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN THAHA SAIFUDDIN

JAMBI

2022-2023
2

KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Fleksibilitas
Fiqh”. Sholawat berangkaikan salam tak lupa kita junjungkan kepada Baginda kita
Nabi Muhammad Saw. Yang mana berkat Beliaulah kita dapat merasakan zaman
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Studi Hukum Islam”.
Terima kasih kepada Dosen pengampu bapak Hayatul Islami,S.Th.I.,M.Si. Karena
telah memberi motivasi dan bimbingan terhadap kami dalam menyelesaikan makalah
ini .

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah jauh dari kata sempurna, saran
–saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan, agar dapat memperbaiki
kesalahan-kesalahan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan khususnya pada pemakalah tersendiri. Semoga Allah SWT memberikan
rahmat ,taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua Aamiin…

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jambi, 01 November 2022


3

DAFTAR ISI
1

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Islam merupakan agama yang berpedoman utama
kepada Al-Qura>n dan As-Sunnah. Dari kedua pedoman ini diambil
pemahaman-pemahaman mengenai segala bentuk aspek dalam
kehidupan, tidak terkecuali dalam hal aturan yang mengatur seorang
mukallaf agar melakuan perbuatan dengan sebagaimana mestinya.
Aturan itu biasa dikenal dalam Islam dengan sebutan fiqh.
Fiqh secara bahasa berasal dari kata fa-qa-ha yang berarti
paham, tau, mengerti. Sedangkan jika ditilik secara istilah, ada
beragam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama. Ibnu Qa>sim
al-Gha>zy mendefinisikan fiqh sebagai:

‫العلم باألحكام الشرعية العملية املكتسب من أدلتها التفصيلية‬


“pengetahuan tentang hukum-hukum syariat bersifat amaliyah
yang sumbernya dipetik dari dalil-dalil terperinci”. 1 Sedangkan Syekh
Ibra>him al-Ba>ju>ri> mengatakan bahwa fiqh didefinisikan sebagai
pengetah uan tentang hukum-hukum syariat yang didapat melalui
proses ijtiha>d.2
Jika disandingkan dengan misi Islam sebagai agama yang
rah}matan lil-’a>lami>n, sudah seharusnya fiqh mampu merespon
segala bentuk perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam artian Islam harus memberikan hukum atau aturan sebagai
bentuk penyelesaian dari problem-problem yang muncul pada
masyarakat dari masa ke masa. Hukum fiqh pada beberapa hal yang
memang diperlukan hendaknya bersifat fleksibel, tidak kaku, luwes,
dan menyesuaikan dengan realitas yang ada.

1
Ibnu Qa>sim al-Gha>>zy, Fath{ul Qari>b al-Muji>b Fi> Syah{ri Alfa>z{i Taqri>b,
(Beirut, Daar Ibn Hazm. 2005), 22.
2
Muhammad Taufiq, “FLEKSIBILITAS HULUM FIQH DALAM MERESPONS
PERUBAHAN ZAMAN”, Jurnal Al-Nadhair Ma’had Aly Mudi, Vol. 1, No. 1 (2022), 45.
2

Fleksibel sendiri berarti luwes, lentur, dan dapat menyesuaikan


diri.3 Fleksibilitas fiqh bermakna bahwa fiqh yang merupakan hukum-
hukum Islam yang harus dan mutlak ditaati oleh setiap muslim bersifat
lentur atau dapat menyesuaikan dengan kemajuan zaman dan
kehidupan realitas yang ada. Tentu kelenturan dan perubahan hukum
tersebut dibatasi dengan beberapa aturan pokok dan baku yang sama
sekali tidak bisa dirubah.
Dengan segala sifat yang ada diharapkan hukum fiqh mampu
menyelesaikan segala permasalahan-permasalahan baik disebabkan
oleh kondisi waktu dan tempat yang berbeda maupun problematika
yang muncul dan belum pernah terjadi sebelumnya.4 Maka misi Islam
sebagai agama yang rah}matan lil-’a>lami>n berhasil ketika mampu
menjawab segala bentuk tantangan zaman, dalam pembahasan ini yaitu
aturan fiqh. Berikut ini penulis mencoba untuk memaparkan
fleksibilitas fiqh dari masa ke masa.
B. Rumusan masalah
.1Bagaimana fleksibilias fiqh pada masa Nabi SAW?

.2Bagaimana fleksibilitas fiqh pada masa sahabat?

.3Bagaimana fleksibilitas fiqh pada masa Imam-Imam Mujtahid?

.4Bagaimana fleksibilitas fiqh pada zaman modern?

C. Tujuan penulisan

.1Untuk mengetahui fleksibilitas fiqh pada masa Nabi SAW

.2Untuk mengetahui fleksibilitas fiqh pada masa sahabat

.3Untuk mengetahui fleksibilitas fiqh pada masa Imam-Imam


Mujtahid

3
“Fleksibel”, KBBI Daring, https://kbbi.web.id/fleksibel, pada 17 Oktober 2022.
4
Muhammad Taufiq, “FLEKSIBILITAS HULUM FIQH DALAM MERESPONS
PERUBAHAN ZAMAN”, Jurnal Al-Nadhair Ma’had Aly Mudi, Vol. 1, No. 1 (2022), 46.
3

.4Untuk mengetahui fleksibilitas fiqh pada zaman modern

II. PEMBAHASAN
A. Fleksibilitas fiqh pada masa Nabi SAW
Rasulullah SAW sebagai penyampai risalah Islam dan
memegang posisi tertinggi baik dalam hal keagamaan maupun politik
pada saat itu,5 tentunya membuat para sahabat dan kaum muslimin
pada umumnya bertanya kepada beliau ketika sedang terjadi
permasalahan atau hanya sekedar untuk mendapatkan ketentuan
hukum dari Rasulullah SAW.
Dalam memberikan hukum baik itu untuk menjawab suatu
pertanyaan atau memang menetapkan keputusan suatu hukum,
Rasulullah berpedoman kepada wahyu yang telah Allah SWT
sampaikan kepada beliau melalui malaikat Jibril. Terkadang juga
untuk beberapa hal tertentu, Rasulullah SAW mempertibangkan situasi
ataupun kondisi yang terjadi pada saat itu.6 Hal ini membuat hukum itu
terasa fleksibel dan mudah diterima untuk setiap kaum muslimin.
Pernah dikisahkan suatu perkara yang ada pada zaman Nabi
SAW, ketika itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi
tentang bolehkah mencium istri ketika sedang berpuasa. Waktu itu
datang seorang pemuda lalu berkata, “wahai Rasulullah SAW,
belehkah saya mencium (istri) ketika sedang shaum?” Rasulullah SAW
menjawab, “tidak”. Kemudian datang orang tua lalu ia bertanya,
“bolehkah saya mencium (istri) ketika sedang shaum?” Rasulullah
SAW menjawab, “ya”. Kemudian Nabi bersabda “sesungguhnya orang
tua bisa menahan syahwatnya”.7

5
Muzakir, “PERIODISASI FIQH (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai
Modern)”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, VII, No. 1 (2008), 26.
6
Muzakir, “PERIODISASI FIQH (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai
Modern)”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, VII, No. 1 (2008), 27.
4

Dalam perkara ini dapat dilihat Rasulullah menentukan hukum


bagi orang yang bertanya itu dengan mempertimbangkan aspek yang
ada antara pemuda dan orang tua. Rasulullah SAW membolehkan
orang yang tua itu untuk mencium istrinya karena dirasa mampu untuk
menahan syahwatnya dan bisa melanjutkan puasanya. Sedangkan
Rasulullah tidak membolehkan pemuda itu karena dikhawatirkan ia
tidak bisa membendung syahwatnya dan malah menyebabkan
puasanya batal.
B. Fleksibilitas fiqh pada masa sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup
dan adanya bimbingan Rasulullah SAW kepada masa dimana
Rasulullah SAW tidak lagi mendampingi umat Islam. Meninggalnya
Rasulullah SAW, memunculkan tantangan bagi para sahabat.
Munculnya kasus-kasus baru yang belum ada pada masa Rasulullah
SAW ataupun kasus serupa pada masa Nabi akan tetapi dipengaruhi
oleh berbagai faktor sehingga diperlukan penyelesaian yang berbeda.
Hal-hal yang seperti menuntut para sahabat untuk memecahkan hukum
dengan kemampuan mereka.8
Salah satu contoh ketetapan yang diambil oleh salah satu
sahabat yakni ‘Umar bin Khattab adalah tidak diterapkannya hukuman
potong tangan bagi pencuri sebagaimana yang terdapat dalam Al-
Quran surah Al-Ma’idah ayat 38 sebagai berikut:

‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُ ْٓوا اَيْ ِد َي ُه َما َجَزاۤ ۢ ًء مِب َا َك َسبَا نَ َكااًل ِّم َن ال ٰلّ ِه ۗ َوال ٰلّهُ َع ِز ْيٌز َح ِكْي ٌم‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬

“Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan

7
Arif Fikri, “FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL”,
Jurnal Asas, Vol 11, NO. 2 (2019), 152.
8
Fatkan Karim Atmaja, “Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa”, Mizan:
Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 5, No. 1 (2017), 26.
5

dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”.

Tidak diterapkan hukuman potong tangan bagi pencuri


dikarenakan pada saat itu kondisi sedang panceklik. Hal ini
menunjukkan kedalaman ilmu Umar bin Khattab yang hukumnya
mengikuti perubahan keadaan dan kondisi yang tengah dialami oleh
masyarakat pada saat itu.9
Kemudian pada masa ‘Umar juga, beliau mengubah hukum
talak tiga yang dijatuhkan pihak suami terhadap istrinya sekaligus pada
suatu tempat. Padahal di masa hidup Nabi, Abu Bakar dan awal
khalifah ‘Umar itu sendiri, talak tiga seperti itu dianggap jatuh satu
kali, sesuai dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim di dalam kitab shahihnya dari Ibn Taus dari ayahnya dari Ibn
‘Abbas katanya, di masa hidup Rasulullah SAW dan Abu Bakar serta
dua tahun pertama di masa pemerintahan ‘Umar adalah talak tiga yang
dijatuhkan sekaligus hanya dianggap satu kali (jatuh talak satu), ‘Umar
berkata: masyarakat telah terburu-buru dalam melaksanakan
tindakannya (menjatuhkan talak tiga sekaligus) yang seharusnya dapat
mereka lakukan secara bertahap. Hal itu apabila kami membiarkan
mesti merajalela di masyarakat, berarti kami membiarkan mereka
dalam kehancuran.10
Setelah ‘Umar melihat realitas sosial demikian, ditetapkanlah
bahwa talak itu berlaku penuh sebagai talak ba’in, sehingga suami
tidak bisa rujuk kembali kepada istrinya sebelum dinikahi oleh laki-
laki lain. Dnegan demikian maka para suami harus berpikir ulang

9
Arif Fikri, “FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL”,
Jurnal Asas, Vol 11, NO. 2 (2019), 152.
10
Misran, “Al-Mashlahah Mursalah: Suatu Metodologi Alternatif dalam Menyelesaikan
Persoalan Hukun Kontenporer”, Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan
Pranata Sosial, Vol. 1, No. 1 (2020), 147.
6

ketika menyebutkan tiga talak sekaligus dan tidak bisa semena-mena


dengan istrinya.
C. Fleksibilitas fiqh pada masa-masa Imam Mujtahid
Pada masa-masa Imam Mujtahid seiring dengan penyebaran
wilayah dan dakwah Islam ke berbagai daerah-daerah baru yang
menyebabkan semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum yang
membutuhkan ketetapan dari para Imam Mujtahid pada saat itu. Dalam
menetapkan hukumnya Imam Mujtahid dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang ada disekitar mereka. Salah satu contohnya yang terjadi
pada Imam Syafi’, pada fiqh Imam Syafi’i ada dikenal istilah fiqh qaul
qadim dan qaul jadid. Qaul qadim dapat diartikan pandangan fiqh
Imam Syafi’i versi masal lalu. Sedangkan qaul jadid dapat diartikan
sebagai pandangan fiqh Imam Syafi’i menurut versi terbaru.
Secara pengaruh geografis, Mesir lebih subur dibandingkan
dengan Irak, karena adanya sungai Nil yang selalu meluap, dan di
Mesir air lebih mudah untuk didapatkan jika dibandingkan dengan
Irak. Oleh karena itu dalam masalah yag ada kaitannya dengan air
(iklim), seperti thaharah, berwudhu, shalat dalam keadaan tidak ada air
dan lain sebagainya, Imam Syafi’i teah mengeluarkan hukum yang
bebeda pada saat di Mesir dengan hukum sebelumnya pada saat masih
di Irak.
Jika pada saat di Mesir dengan gampangnya mendapatkan air,
maka dalam keadaan bagaimanapun perintah Allah SWT yang ada
kaitannya dengan masalah thaharah harus dikerjakan, berbeda dengan
ketika di Irak yang dianggap sulit mendapatkan air, maka perintah
Allah SWT bisa saja ditunda atau tidak dikerjakan sama sekali. Salah
satu contoh hukum yang dikeluarkan oleh beliau adalah “apabila
datang waktu shalat, sedangkan air dan tanah tidak didapati, maka
menurut qaul jadid, shalatlah apa adanya dan ulangi sholat jika telah
7

didapati air. Sedangkan menurut qaul qadim, jangan shalat jika air dan
tanah tidak ada”.11
Contoh lain ketika ketika Imam Syafi’i di Mesir melihat
pergaulan sehari-sehari yang lebih terbuka, maka beliau mengeluarkan
hukum kepada perempuan untuk bebas menuntut ilmu sebagaimana
kaum laki-laki, sehingga pada waktu itu banyak kaum wanita yang
belajar kepada beliau. Lain hal ketika beliau di Irak yang pergaulannya
lebih tertutup, sehingga kaum perempuan pada waktu itu tidak diberi
kebebasan untuk menuntut ilmu, tetapi hanya diperkenankan untuk
menuntut ilmu sekedarnya saja, itupun kepada muhrimnya atau
suaminya.12 Dalam beberapa contoh ini kita bisa lihat bagaimana fiqh
itu fleksibel karena dipengaruhi faktor-faktor yang ada.

D. Fleksibilitas fiqh pada zaman modern


Pada zaman modern seperti saat ini, ketika perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi semakin melaju pesat. Tanpa disadari hal-
hal yang seperti ini membawa perubahan sosial di tengah masyarakat
modern saat ini. Dengan segala bentuk perkembangan yang terjadi
pada zaman modern membuat beberapa permasalahan, isu, ataupun
fenomena membutuhkan suatu kejelasan hukum mengenai perkara
tersebut. Lebih lagi sebagai seorang muslim, harus hati-hati terhadap
perkara yang belum menemukan kejelasan hukum, karena ketika ada
kejelasan hukum maka kita bisa melakukan sesuatu dengan
sebagaimana mestinya.
Dari banyaknnya hukum fiqh yang muncul atas problematika
yang terjadi saat ini, tidak jarang kita bisa melihat bagaimana fiqh itu
bersifat fleksibel dalam artian mampu menyesuaikan dengan

11
Lahaji dan Nova Effenty Muhammad, “QAUL QADIM DAN QAUL JADID IMAM
SYAFI’I: TELAAH FAKTOR SOSIOLOGISNYA”, Jurnal Al-Mizan, Vol. 11, No 1 (2015), 123.
12
Lahaji dan Nova Effenty Muhammad, “QAUL QADIM DAN QAUL JADID IMAM
SYAFI’I: TELAAH FAKTOR SOSIOLOGISNYA”, Jurnal Al-Mizan, Vol. 11, No 1 (2015), 125.
8

mempertimbangkan segala aspek yang memang diperlukan. Bisa


dicontohkan seperti beberapa tahun silam saat dunia dihadapkan
dengan pandemi covid-19, kita yang berada di Indonesia juga terkena
imbas dan harus melakukan karantina di tempat masing-masing sampai
keadaan kembali membaik.
Pada saat itu ditetapkan hukum oleh berbagai lembaga
keagamaan yang ada di Indonesia seperti mengganti sholat jum’at
dengan sholat dhuhur di rumah. Sholat jum’at yang semula hukumnya
fard{u’ain bagi laki-laki yang telah memenuhi syaratnya kemudian
berubah hukumnya disebabkan karena beberapa hal yang telah
dipertimbangkan akibat dari karantina pada masa pandemi.
Pertimbangan itu didasari oleh kaidah-kaidah yang telah digunakan.13
Contoh lain misalnya dalam bidang ekonomi keuangan,
muncul istilah perbankkan syari’ah yang sebelumnya belum ada dan
sekarang mulai dikembangkan oleh sejumlah bank Islam. Lembaga-
lembaga keuangan dan bank-bank negara Islam sudah banyak
mengeluarkan seperti kartu visa (kartu kredit) yang disesuaikan dengan
syari’at Islam, bebeas dari syubhat, dan kemungkinan-kemungkinan
nbunga riba. Dalam hal ini tentu tidak ada larangan menggunakannya.
Yusuf Qardawi dan beberapa ulama kontemporer lain membolehkan
penggunanaan kartu kredit selama didalamnya tidak terjadi kezaliman
atau nilai tambah (bunga).14
Dengan sedikit contoh tadi bisa dilihat bagaimana hukum bisa
memberikan kejelasan terhadap fenomena dan kemajuan yang terjadi
pada zaman modern ini, sehingga bisa menjawab permasalahan yang
semakin komplek. Tentu semua itu tidak bisa dipungkiri ketika tatanan
sosial dan ilmu pengetahuan serta teknologi semakin berkembang.

13
Rossa Ilma Silfiah, “FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DI MASA PANDEMI
COVID-19”, Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Vol. 8, No. 2 (2020), 84.
14
Muzakir, “PERIODISASI FIQH (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai
Modern)”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, VII, No. 1 (2008), 38.
9

III. KESIMPULAN
Saat masa Rasulullah SAW yang saat itu beliau menduduki
posisi tertinggi dalam kepemimpinan umat muslim tentunya membuat
segala persoalan dan pertanyaan dikembalikan kepada beliau dengan
harapan mendapatkan jalan keluar ataupun penjelasan mengenai hal
tersebut. Contohnya seperti kasus seorang yang masih muda dan yang
sudah tua menanyakan bagaimana jika mereka mencium istri saat
sedang berpuasa, maka Rasulullah mengizinkan orang yang sudah tua
dan melarang yang masih muda dengan mempertimbangkan aspek
yang ada.
Pada masa sahabat tatangan baru mulai muncul pada masa itu,
termasuk dalam perkara penyelesaian masalah yang belum pernah
terjadi ataupun masalah yang sudah pernah terjadi tetapi butuh
penyelesaian yang baru. Salah satu contohnya ketika Umar bin Khattab
tidak memberlakukan hukuman potong tangan bagi pencuri pada masa
panceklik saat itu. Ada juga pada masa Umar, mengubah hukum talak
tiga yang dijatuhkan pada satu waktu makah sah menjadi talak tiga.
Tentunya segala ketentuan yang dibuat oleh Umar bin Khattab itu telah
dipertimbangkan sebelumnya.
Ketika pada masa Imam Mujtahid saat wilayah-wilayah Islam
juga semakin meluas dan tentunya juga banyak muncul persoalan yang
semakin kompleks pada saat itu. Dalam penyelesaiannya terkadang
Imam Mujtahid juga dipengaruhi ataupun mempertimbangkan faktor
yang ada. Seperti contoh Imam Syafi’i ketika menetapkan hukum saat
beliau berada di Irak berbeda dengan ketika beliau berada di Mesir,
maka dikenal istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Pada zaman modern ketika semua ilmu pengetahuan dan
teknologi mengalami perkembangan yang berdampak terhadap
beberapa permasalahan, isu, ataupun fenomena membutuhkan suatu
kejelasan hukum mengenai perkara tersebut. Seperti contoh ketika
10

pandemi covid-19 yang menyebabkan adanya karantina untuk


memutus mata rantai penyebaran virus. sehingga menyebabkan
dibolehkannya mengganti shalat jum’at dengan shalat dhuhur pada
waktu itu. Contoh lain ketika kemajuan dalam bidang ekonomi
keuangan yang memunculkan istilah perbankkan syari’ah, sebagian
ulama memperbolehkan hal tersebut dengan memberlakukan beberapa
syarat.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Al-Gha>>zy, Ibnu Qa>sim. Fath{ul Qari>b al-Muji>b Fi> Syah{ri Alfa>z{i


Taqri>b. Beirut: Daar Ibn Hazm, 2005.

Atmaja, Fatkan Karim. “Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa”. Mizan:
Jurnal Ilmu Syariah. Vol. 5, No. 1 (2017), 23-38.

Fikri, Arif. “FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DALAM PERUBAHAN


SOSIAL”. Jurnal Asas. Vol 11, NO. 2 (2019), 147-157.

Fleksibel. KBBI Daring. https://kbbi.web.id/fleksibel. pada 17 Oktober 2022.

Lahaji dan Nova Effenty Muhammad. “QAUL QADIM DAN QAUL JADID
IMAM SYAFI’I: TELAAH FAKTOR SOSIOLOGISNYA”. Jurnal Al-
Mizan. Vol. 11, No 1 (2015), 119-135.

Muzakir. “PERIODISASI FIQH (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW


Sampai Modern)”. Jurnal Ilmiah Islam Futura. VII, No. 1 (2008), 25-
41.

Misran. “Al-Mashlahah Mursalah: Suatu Metodologi Alternatif dalam


Menyelesaikan Persoalan Hukun Kontenporer”. Jurnal Justisia: Jurnal
Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial. Vol. 1, No. 1
(2020), 133-157.
11

Taufiq, Muhammad. “FLEKSIBILITAS HULUM FIQH DALAM MERESPONS


PERUBAHAN ZAMAN”. Jurnal Al-Nadhair Ma’had Aly Mudi. Vol.
1, No. 1 (2022), 45-66.

Silfiah, Rossa Ilma. “FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DI MASA PANDEMI


COVID-19”. Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh.
Vol. 8, No. 2 (2020), 74-90.

Anda mungkin juga menyukai