FLEKSIBILITAS FIQH Kelompok 1 SHI
FLEKSIBILITAS FIQH Kelompok 1 SHI
(FLEKSIBILITAS FIQH)
Hayatul Islami,S.Th.i,M.Si.
Kelompok 2
JAMBI
2022-2023
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Fleksibilitas
Fiqh”. Sholawat berangkaikan salam tak lupa kita junjungkan kepada Baginda kita
Nabi Muhammad Saw. Yang mana berkat Beliaulah kita dapat merasakan zaman
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Studi Hukum Islam”.
Terima kasih kepada Dosen pengampu bapak Hayatul Islami,S.Th.I.,M.Si. Karena
telah memberi motivasi dan bimbingan terhadap kami dalam menyelesaikan makalah
ini .
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah jauh dari kata sempurna, saran
–saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan, agar dapat memperbaiki
kesalahan-kesalahan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan khususnya pada pemakalah tersendiri. Semoga Allah SWT memberikan
rahmat ,taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua Aamiin…
DAFTAR ISI
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Islam merupakan agama yang berpedoman utama
kepada Al-Qura>n dan As-Sunnah. Dari kedua pedoman ini diambil
pemahaman-pemahaman mengenai segala bentuk aspek dalam
kehidupan, tidak terkecuali dalam hal aturan yang mengatur seorang
mukallaf agar melakuan perbuatan dengan sebagaimana mestinya.
Aturan itu biasa dikenal dalam Islam dengan sebutan fiqh.
Fiqh secara bahasa berasal dari kata fa-qa-ha yang berarti
paham, tau, mengerti. Sedangkan jika ditilik secara istilah, ada
beragam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama. Ibnu Qa>sim
al-Gha>zy mendefinisikan fiqh sebagai:
1
Ibnu Qa>sim al-Gha>>zy, Fath{ul Qari>b al-Muji>b Fi> Syah{ri Alfa>z{i Taqri>b,
(Beirut, Daar Ibn Hazm. 2005), 22.
2
Muhammad Taufiq, “FLEKSIBILITAS HULUM FIQH DALAM MERESPONS
PERUBAHAN ZAMAN”, Jurnal Al-Nadhair Ma’had Aly Mudi, Vol. 1, No. 1 (2022), 45.
2
C. Tujuan penulisan
3
“Fleksibel”, KBBI Daring, https://kbbi.web.id/fleksibel, pada 17 Oktober 2022.
4
Muhammad Taufiq, “FLEKSIBILITAS HULUM FIQH DALAM MERESPONS
PERUBAHAN ZAMAN”, Jurnal Al-Nadhair Ma’had Aly Mudi, Vol. 1, No. 1 (2022), 46.
3
II. PEMBAHASAN
A. Fleksibilitas fiqh pada masa Nabi SAW
Rasulullah SAW sebagai penyampai risalah Islam dan
memegang posisi tertinggi baik dalam hal keagamaan maupun politik
pada saat itu,5 tentunya membuat para sahabat dan kaum muslimin
pada umumnya bertanya kepada beliau ketika sedang terjadi
permasalahan atau hanya sekedar untuk mendapatkan ketentuan
hukum dari Rasulullah SAW.
Dalam memberikan hukum baik itu untuk menjawab suatu
pertanyaan atau memang menetapkan keputusan suatu hukum,
Rasulullah berpedoman kepada wahyu yang telah Allah SWT
sampaikan kepada beliau melalui malaikat Jibril. Terkadang juga
untuk beberapa hal tertentu, Rasulullah SAW mempertibangkan situasi
ataupun kondisi yang terjadi pada saat itu.6 Hal ini membuat hukum itu
terasa fleksibel dan mudah diterima untuk setiap kaum muslimin.
Pernah dikisahkan suatu perkara yang ada pada zaman Nabi
SAW, ketika itu ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi
tentang bolehkah mencium istri ketika sedang berpuasa. Waktu itu
datang seorang pemuda lalu berkata, “wahai Rasulullah SAW,
belehkah saya mencium (istri) ketika sedang shaum?” Rasulullah SAW
menjawab, “tidak”. Kemudian datang orang tua lalu ia bertanya,
“bolehkah saya mencium (istri) ketika sedang shaum?” Rasulullah
SAW menjawab, “ya”. Kemudian Nabi bersabda “sesungguhnya orang
tua bisa menahan syahwatnya”.7
5
Muzakir, “PERIODISASI FIQH (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai
Modern)”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, VII, No. 1 (2008), 26.
6
Muzakir, “PERIODISASI FIQH (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai
Modern)”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, VII, No. 1 (2008), 27.
4
السا ِرقَةُ فَاقْطَعُ ْٓوا اَيْ ِد َي ُه َما َجَزاۤ ۢ ًء مِب َا َك َسبَا نَ َكااًل ِّم َن ال ٰلّ ِه ۗ َوال ٰلّهُ َع ِز ْيٌز َح ِكْي ٌم
َّ السا ِر ُق َو
َّ َو
7
Arif Fikri, “FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL”,
Jurnal Asas, Vol 11, NO. 2 (2019), 152.
8
Fatkan Karim Atmaja, “Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa”, Mizan:
Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 5, No. 1 (2017), 26.
5
dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha perkasa lagi Maha
bijaksana”.
9
Arif Fikri, “FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DALAM PERUBAHAN SOSIAL”,
Jurnal Asas, Vol 11, NO. 2 (2019), 152.
10
Misran, “Al-Mashlahah Mursalah: Suatu Metodologi Alternatif dalam Menyelesaikan
Persoalan Hukun Kontenporer”, Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan
Pranata Sosial, Vol. 1, No. 1 (2020), 147.
6
didapati air. Sedangkan menurut qaul qadim, jangan shalat jika air dan
tanah tidak ada”.11
Contoh lain ketika ketika Imam Syafi’i di Mesir melihat
pergaulan sehari-sehari yang lebih terbuka, maka beliau mengeluarkan
hukum kepada perempuan untuk bebas menuntut ilmu sebagaimana
kaum laki-laki, sehingga pada waktu itu banyak kaum wanita yang
belajar kepada beliau. Lain hal ketika beliau di Irak yang pergaulannya
lebih tertutup, sehingga kaum perempuan pada waktu itu tidak diberi
kebebasan untuk menuntut ilmu, tetapi hanya diperkenankan untuk
menuntut ilmu sekedarnya saja, itupun kepada muhrimnya atau
suaminya.12 Dalam beberapa contoh ini kita bisa lihat bagaimana fiqh
itu fleksibel karena dipengaruhi faktor-faktor yang ada.
11
Lahaji dan Nova Effenty Muhammad, “QAUL QADIM DAN QAUL JADID IMAM
SYAFI’I: TELAAH FAKTOR SOSIOLOGISNYA”, Jurnal Al-Mizan, Vol. 11, No 1 (2015), 123.
12
Lahaji dan Nova Effenty Muhammad, “QAUL QADIM DAN QAUL JADID IMAM
SYAFI’I: TELAAH FAKTOR SOSIOLOGISNYA”, Jurnal Al-Mizan, Vol. 11, No 1 (2015), 125.
8
13
Rossa Ilma Silfiah, “FLEKSIBILITAS HUKUM ISLAM DI MASA PANDEMI
COVID-19”, Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Vol. 8, No. 2 (2020), 84.
14
Muzakir, “PERIODISASI FIQH (Perbandingan Fiqh dari Masa Rasul SAW Sampai
Modern)”, Jurnal Ilmiah Islam Futura, VII, No. 1 (2008), 38.
9
III. KESIMPULAN
Saat masa Rasulullah SAW yang saat itu beliau menduduki
posisi tertinggi dalam kepemimpinan umat muslim tentunya membuat
segala persoalan dan pertanyaan dikembalikan kepada beliau dengan
harapan mendapatkan jalan keluar ataupun penjelasan mengenai hal
tersebut. Contohnya seperti kasus seorang yang masih muda dan yang
sudah tua menanyakan bagaimana jika mereka mencium istri saat
sedang berpuasa, maka Rasulullah mengizinkan orang yang sudah tua
dan melarang yang masih muda dengan mempertimbangkan aspek
yang ada.
Pada masa sahabat tatangan baru mulai muncul pada masa itu,
termasuk dalam perkara penyelesaian masalah yang belum pernah
terjadi ataupun masalah yang sudah pernah terjadi tetapi butuh
penyelesaian yang baru. Salah satu contohnya ketika Umar bin Khattab
tidak memberlakukan hukuman potong tangan bagi pencuri pada masa
panceklik saat itu. Ada juga pada masa Umar, mengubah hukum talak
tiga yang dijatuhkan pada satu waktu makah sah menjadi talak tiga.
Tentunya segala ketentuan yang dibuat oleh Umar bin Khattab itu telah
dipertimbangkan sebelumnya.
Ketika pada masa Imam Mujtahid saat wilayah-wilayah Islam
juga semakin meluas dan tentunya juga banyak muncul persoalan yang
semakin kompleks pada saat itu. Dalam penyelesaiannya terkadang
Imam Mujtahid juga dipengaruhi ataupun mempertimbangkan faktor
yang ada. Seperti contoh Imam Syafi’i ketika menetapkan hukum saat
beliau berada di Irak berbeda dengan ketika beliau berada di Mesir,
maka dikenal istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Pada zaman modern ketika semua ilmu pengetahuan dan
teknologi mengalami perkembangan yang berdampak terhadap
beberapa permasalahan, isu, ataupun fenomena membutuhkan suatu
kejelasan hukum mengenai perkara tersebut. Seperti contoh ketika
10
Atmaja, Fatkan Karim. “Perkembangan Ushul Fiqh Dari Masa Ke Masa”. Mizan:
Jurnal Ilmu Syariah. Vol. 5, No. 1 (2017), 23-38.
Lahaji dan Nova Effenty Muhammad. “QAUL QADIM DAN QAUL JADID
IMAM SYAFI’I: TELAAH FAKTOR SOSIOLOGISNYA”. Jurnal Al-
Mizan. Vol. 11, No 1 (2015), 119-135.