1) Paru-paru kanan, terdiri dari tiga lobus yaitu lobus superior, lobus media,
dan lobus inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen, 5 segmen
pada lobus superior, 2 segmen pada lobus medialis, dan 3 segmen pada
lobus inferior.
2) Paru-paru kiri, terdiri dari 2 lobus, yaitu lobus superior dan lobus
inferior. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen; 5 segmen pada lobus
superior, dan 5 segmen pada lobus inferior.
Paru paru dibungkus oleh selaput pleura, yang dibagi menjadi dua, yaitu
IV ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.
a. Faktor predisposisi
1) Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan faktor
pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa
diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan, seperti: debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut, seperti : makanan dan obat-
obatan.
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit, seperti :
perhiasan, logam dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
3) Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
4) Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
5) Olah raga/aktifitas jasmani yang berat.
6) Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
V. PATOFISIOLOGI
Suatu serangan akut asma akan disertai oleh banyak perubahan
dijalan nafas yang menyebabkan penyempitan: edema dan peradangan
selaput lender, penebalan membrane basa, hipersekresi kalenjar mucus
dan yang lebih ringan kontraksi otot polos. Perubahan histology yang
sama dpat dijumpai pada keadaan tanpa serangan akut akibat pajanan
kronik derajat rendah ke satu atau lebih pemicu asma. Melalui berbagai
jalur, zat-zat pemicu tersebut merangsang degranulasi sel mast dijalan
nafas yang menyebabkan pembebasan berbagai mediator yang
bertanggung jawab untuk perubahan yang terjadi. Mediator yang
terpenting mungkin adalah leukotrien C, D dan E tetapi terdapat bukti
bahwa histamine, PAF, neuropeptida, zat-zat kemotaktik, dan berbagai
protein yang berasal dari eosinofil juga berperan penting dalam proses
ini. obstruksi menyebabkan peningkatan resistensi jala nafas (terutama
pada ekspirasi karena penutupan jalan nafas saat ekspirasi yang terlalu
dini); hiperinflasi paru; penurunan elastisitas dan frekuensi-dependent
compliance paru; peningkatan usaha bernafas dan dispneu; serta
gangguan pertukaran gas oleh paru. Obstruksi yang terjadi tiba-tiba besar
kemungkinannya disebabkan oleh penyempitan jalan nafas besar, dengan
sedikit keterlibatan jalan nafas halus, dan biasanya berespon baik
terhadap terapi bronkodilator. Asma yang menetap dan terjadi setiap hari
hampir selalu memiliki komponen atau fase lambat yang menyebabkan
penyakit jalan nafas halus kronik dan kurang berespon terhadap terapi
bronkodilator saja. Eosinofil diperkirakan merupakan sel efektor utama
pada pathogenesis gejala asma kronik, dimana beberapa mediatornya
menyebabkan kerusakan luas pada stel epitel bronkus serta perubahan-
perubahan inflmatory. Walaupun banyak sel mungkin sitokin (termasuk
sel mast, sel epitel, makrofag dan eosinofil itu sendiri) yang
mempengaruhi diferensiasi, kelangsungan hidup, dan fungsi eosinofil, sel
T type TH2 dianggap berperan sentral, karena sel ini mampu mengenali
antigen secara langsung. Obstruksi pada asma biasanya tidak sama, dan
defek ventilasi-perkusi menyebabkan penurunan PaO2. Pada eksaserbasi
asma terjadi hiperventilasi yang disebabkan oleh dispneu. pada awalnya
banyak keluar dan Pa CO2 mungkin rendah namun seiring dengan
semakinparahnya obstruksi, PaCO2 meningkat karena hipoventilasi
alveolus. Efek obstruksi berat yang timbul mencakup hipertensi
pulmonaris, peregangan ventrik.
IV. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi
3 tipe, yaitu:
1) Ekstrinsik (alergik)
Asma ekstrinsik ditandai dengan adanya reaksi alergik yang
disebabkan oleh faktor-faktor pencetus spesifik (alergen),
seperti serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor
pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi
serangan asthma ekstrinsik. Pasien dengan asma ekstrinsik
biasanya sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi dalam keluarganya.
2) Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin
atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan
dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis
kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma
gabungan.
3) Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Berdasarkan Derajat Penyakit
Derajat
No Gejala Gejala Malam Faal Paru Pengobatan
Asma
1 Intermitte - Gejala <1x/minggu £ 2 kali sebulan - VEP1 atau APE ³80% - Inhalasi agonis B-2
n - Tanpa gejala antar serangan - Variabilitas APE <20% jangka pendek
- Serangan singkat
2 Persisten - Gejala >1x/minggu tetapi > 2 kali sebulan - VEP1 atau APE ³80% - Bronkodilator
ringan <1x/hari - Variabilitas APE 20-30% jangka pendek +
- Serangan dapat mengganggu obat anti inflamasi
aktivitas dan tidur
3 Persisten - Gejala setiap hari > 2 kali sebulan - VEP1 atau APE 60-80% - Setiap hari
sedang - Serangan mengganggu - Variabilitas APE >30% memakai agonis B-
aktivitas dan tidur 2 jangka pendek
- Bronkodilator
jangka
pendek+kortikoster
oid
inhalasi+bronkodlat
or jangka panjang
(asma malam)
4 Persisten - Gejala terus menerus Sering - VEP1 atau APE £60%
berat - Sering kambuh - (Depkes RI, 2009; Mulia,
- Aktivitas fisik terbatas 2000)
IX. PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
1) Riwayat kesehatan masa lalu :
Riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin
2) Riwayat kesehatan sekarang :
Keluhan sesak napas, keringat dingin.
3) Status mental :
Lemas, takut, gelisah
4) Pernapasan :
Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.
5) Gastro intestinal :
adanya mual, muntah.
6) Pola aktivitas :
Kelemahan tubuh, cepat lelah
b. Pemeriksaan Fisik
1) Dada
a) Contour, Confek, tidak ada defresi sternum
b) Diameter antero posterior lebih besar dari diameter transversal
c) Keabnormalan struktur Thorax
d) Contour dada simetris
e) Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna
merata
f) RR dan ritme selama satu menit.
2) Palpasi
a) Temperatur kulit
b) Premitus : fibrasi dada
c) Pengembangan dada
d) Krepitasi
e) Massa
f) Edema
3) Auskultasi
a) Vesikuler
b) Broncho vesikuler
c) Hyper ventilasi
d) Rochi
e) Wheezing
f) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Spirometri
b) Tes provokasi
c) Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
d) Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
e) Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
f) Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
g) Pemeriksaan sputum.
X. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola Napas Tidak Efektif
b. Bersihan Jalan Napas Tidak efektif
c. Gangguan pertukaran gas
Edukasi :
1. Anjurkan asuan
cairan
2000ml/hari
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
broncodilator.
3 Gangguan pertukaran gas b.d Setelah dilakukan Observasi :
ketidakseimbangan ventilasi- intervensi 1. Monitor frekuensi,
perfusi, dibuktikan dengan : keperawatan iraman, kedalaman
- Dispnea diharapkan dan upaya nafas
- Takikardi pertukaran gas 2. monitor adanya
- Bunyi nafas tambahan meningkat dengan sumbatan jalan
- PCO2 kriteria hasil : nafas
meningkat/menurun - Dispnea menurun 3. auskultasi bunyi
- P02 menurun - Bunyi nafas nafas
- Sianosis tambahan 4. monitor saturasi
- Gelisah menurun oksigen
- Nafas cuping hidung - Gelisah menurun 5. monitor kecepatan
- Pola nafas abnormal - Nafas cuping aliran oksigen
- Kesadaran menurun hidung menurun
- PCO2 membaik Teraupetik :
- PO2 membaik 1.pertahankan
- Takikardia kepatenan jalan
membaik nafas
- Soanosis 2. berikan tambahan
membaik oksigen jika perlu
- Pola nafas
membaik Kolaborasi :
1.kolaborasi penentuan
dosis oksigen
2.kolaborasi
penggunaan oksigen
saat aktivitas dan tidur
DAFTAR PUSTAKA