Anda di halaman 1dari 20

I.

ANATOMI SISTEM RESPIRASI

1. Anatomi sistem respirasi


a) Hidung
Merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang
dipisahkan oleh sekat septum nasi. Di dalamnya terdapat bulu-bulu untuk
menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis
inferior, konka nasalis superior dan konka nasalis media yang berfungsi
untuk mengahangatkan udara. (Gibson, Jon. 2003)
b) Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan
makanan. Terdapat di bawah dasar pernapasan, di belakang rongga hidung,
dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat
jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening.
(Gibson, Jon. 2003)
Pada kiri dan kanan dari faring terdapat dua buah tonsil. Rongga faring
dibagi dalam 3 bagian:
1) Nasofaring, sebelah atas tingginya sama dengan konka
2) Orofaring, bagian tengah yang tingginya sarna dengan istmus fausium.
3) Laringofaring, bagian bawah
c) Laring
Merupakan saluran udara dan bertindak sebelum sebagai pembentuk
suara. Terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh
selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglottis yang dilapisi oleh
sel epitelium berlapis. (Gibson, Jon. 2003)
d) Trakea
Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin
yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang
berfungsi untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah
dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel
bersilia, yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang masuk
bersama-sama dengan udara pernapasan. (Gibson, Jon. 2003)
e) Bronkus
Merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada
ketinggian vertebra thorakalis IV dan V. mempunyai struktur serupa dengan
trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar dan
lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari 6 – 8 cincin dan mempunyai
3 cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 – 12 cincin dan mempunyai 2 cabang.
Cabang bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus, disini terdapat
cincin dan terdapat gelembung paru yang disebut alveolli. (Gibson, Jon.
2003)
f) Paru-paru
Merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari
gelembung-gelembung. Di sinilah tempat terjadinya pertukaran gas, O2
masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah. (Gibson, Jon. 2003)

Paru-paru di bagi dua, yaitu :

1) Paru-paru kanan, terdiri dari tiga lobus yaitu lobus superior, lobus media,
dan lobus inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen, 5 segmen
pada lobus superior, 2 segmen pada lobus medialis, dan 3 segmen pada
lobus inferior.
2) Paru-paru kiri, terdiri dari 2 lobus, yaitu lobus superior dan lobus
inferior. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen; 5 segmen pada lobus
superior, dan 5 segmen pada lobus inferior.
Paru paru dibungkus oleh selaput pleura, yang dibagi menjadi dua, yaitu

1) Pleura visceral, yaitu selaput yang membungkus paru-paru


2) Pleura parietal, yaiut selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar
antara kedua pleura terdapat rongga yang disebut kavum pleura, dan
berisi sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk melumasi
permukaannya dan menghindari gesekan antara dinding dada pada saat
bernapas.

II. FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI


Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus.
Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun
dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus,
skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. (Gibson, Jon.
2003)
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-
gas melintasi membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang
dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih
tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial oksigen
dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada
waktu oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial
ini akan mengalami penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan
tekanan parsial ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi
tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran udara dan
dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan
alveolus yang jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi
kedalam alveolus. Karbondioksida ini kemudian dikeluarkan ke
atmosfir.

Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan


oksigen di kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira
0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan
waktu difusi. Pada beberapa penyakit, seperti fibosis paru, udara dapat
menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak
lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total
berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia,
tetapi tidak diakui sebagai faktor utama. (Gibson, Jon. 2003)

Menurut P.M. Mowschenson (2008), fungsi pernapasan adalah


sebagai berikut :

1) Mengambil O2 yang kemudian dibawa oleh darah ke seluruh tubuh


(sel-selnya) untuk mengadakan pembakaran.
2) Mengeluarkan CO2 yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran,
kemudian dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang.
3) Menghangatkan dan melembabkan udara.

III. PENGERTIAN ASMA


Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napasa yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa
mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam hari
atau dini hari yang umumnya bersifat revrsibel baik dengan atau tanpa
pengobatan (Depkes RI, 2009)
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel
dimana trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu (Smeltzer&Bare, 2002).
Asma Bronkial adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai
oleh spame akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi
aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus (Huddak & Gallo, 1997).
Jadi dapat disimpulkan bahwa asma adalah penyakit jalan napas
obstruktif yang disebabkan oleh berbagai stimulan, yang ditandai dengan
spasme otot polos bronkiolus.

IV ETIOLOGI
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.
a. Faktor predisposisi
1) Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan faktor
pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa
diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan, seperti: debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut, seperti : makanan dan obat-
obatan.
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit, seperti :
perhiasan, logam dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,
musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga
dan debu.
3) Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping
gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
4) Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang
yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
5) Olah raga/aktifitas jasmani yang berat.
6) Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

V. PATOFISIOLOGI
Suatu serangan akut asma akan disertai oleh banyak perubahan
dijalan nafas yang menyebabkan penyempitan: edema dan peradangan
selaput lender, penebalan membrane basa, hipersekresi kalenjar mucus
dan yang lebih ringan kontraksi otot polos. Perubahan histology yang
sama dpat dijumpai pada keadaan tanpa serangan akut akibat pajanan
kronik derajat rendah ke satu atau lebih pemicu asma. Melalui berbagai
jalur, zat-zat pemicu tersebut merangsang degranulasi sel mast dijalan
nafas yang menyebabkan pembebasan berbagai mediator yang
bertanggung jawab untuk perubahan yang terjadi. Mediator yang
terpenting mungkin adalah leukotrien C, D dan E tetapi terdapat bukti
bahwa histamine, PAF, neuropeptida, zat-zat kemotaktik, dan berbagai
protein yang berasal dari eosinofil juga berperan penting dalam proses
ini. obstruksi menyebabkan peningkatan resistensi jala nafas (terutama
pada ekspirasi karena penutupan jalan nafas saat ekspirasi yang terlalu
dini); hiperinflasi paru; penurunan elastisitas dan frekuensi-dependent
compliance paru; peningkatan usaha bernafas dan dispneu; serta
gangguan pertukaran gas oleh paru. Obstruksi yang terjadi tiba-tiba besar
kemungkinannya disebabkan oleh penyempitan jalan nafas besar, dengan
sedikit keterlibatan jalan nafas halus, dan biasanya berespon baik
terhadap terapi bronkodilator. Asma yang menetap dan terjadi setiap hari
hampir selalu memiliki komponen atau fase lambat yang menyebabkan
penyakit jalan nafas halus kronik dan kurang berespon terhadap terapi
bronkodilator saja. Eosinofil diperkirakan merupakan sel efektor utama
pada pathogenesis gejala asma kronik, dimana beberapa mediatornya
menyebabkan kerusakan luas pada stel epitel bronkus serta perubahan-
perubahan inflmatory. Walaupun banyak sel mungkin sitokin (termasuk
sel mast, sel epitel, makrofag dan eosinofil itu sendiri) yang
mempengaruhi diferensiasi, kelangsungan hidup, dan fungsi eosinofil, sel
T type TH2 dianggap berperan sentral, karena sel ini mampu mengenali
antigen secara langsung. Obstruksi pada asma biasanya tidak sama, dan
defek ventilasi-perkusi menyebabkan penurunan PaO2. Pada eksaserbasi
asma terjadi hiperventilasi yang disebabkan oleh dispneu. pada awalnya
banyak keluar dan Pa CO2 mungkin rendah namun seiring dengan
semakinparahnya obstruksi, PaCO2 meningkat karena hipoventilasi
alveolus. Efek obstruksi berat yang timbul mencakup hipertensi
pulmonaris, peregangan ventrik.
IV. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi
3 tipe, yaitu:
1) Ekstrinsik (alergik)
Asma ekstrinsik ditandai dengan adanya reaksi alergik yang
disebabkan oleh faktor-faktor pencetus spesifik (alergen),
seperti  serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor
pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi
serangan asthma ekstrinsik. Pasien dengan asma ekstrinsik
biasanya sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi dalam keluarganya.
2) Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin
atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan
dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis
kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma
gabungan.
3) Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Berdasarkan Derajat Penyakit
Derajat
No Gejala Gejala Malam Faal Paru Pengobatan
Asma
1 Intermitte -      Gejala <1x/minggu £ 2 kali sebulan -  VEP1  atau APE ³80% -  Inhalasi agonis B-2
n -      Tanpa gejala antar serangan -  Variabilitas APE <20% jangka pendek
-      Serangan singkat
2 Persisten -      Gejala >1x/minggu tetapi > 2 kali sebulan -  VEP1  atau APE ³80% -  Bronkodilator
ringan <1x/hari -  Variabilitas APE 20-30% jangka pendek +
-      Serangan dapat mengganggu obat anti inflamasi
aktivitas dan tidur
3 Persisten -      Gejala setiap hari > 2 kali sebulan -  VEP1  atau APE 60-80% -  Setiap hari
sedang -      Serangan mengganggu -  Variabilitas APE >30% memakai agonis B-
aktivitas dan tidur 2 jangka pendek
-  Bronkodilator
jangka
pendek+kortikoster
oid
inhalasi+bronkodlat
or jangka panjang
(asma malam)
4 Persisten -      Gejala terus menerus Sering -  VEP1  atau APE £60%
berat -      Sering kambuh -  (Depkes RI, 2009; Mulia,
-      Aktivitas fisik terbatas 2000)

c. Berdasarkan derajat serangan


Parameter
Klinis,
Ancaman Henti
Fungsi Faal Ringan Sedang Berat
Napas
Paru,Laborat
orium
Sesak Aktivitas: Berjalan Aktivitas:Berbicara Aktivitas:Istirahat
(breathless) Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis keras Tangis pendek dan Tidak mau makan/minum
lemah, kesulitan
menetek/makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka duduk Duduk bertopang lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Sianosis Tidak ada Ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering hanya pada Sulit/tidak terdengar
akhir ekspirasi
Penggunaan Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
otot bantu paradok torako-
napas abdominal
Retraksi Dangkal, retraksi Sedang,ditambah Dalam, ditambah napas cuping Takipnew
interkostal retraksi suprasternal hidung
Frekuensi Normal Takikardi Takikardi £90%
nadi
(Gina, 2006 dalam Depkes RI 2009)
VII. TANDA DAN GEJALA
a. Gejala awal berupa:
- Batuk terutama pada malam atau dini hari
- Sesak napas
- Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
- Rasa berat di dada
- Dahak sulit keluar.
- Belum ada kelainan bentuk thorak
- Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
- BGA belum patologis
b. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam
jiwa atau disebut juga stadium kronik. Yang termasuk gejala yang berat
adalah:
- Serangan batuk yang hebat
- Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
- Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
- Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
- Kesadaran menurun
- Thorak seperti barel chest
- Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
- Sianosis
- BGA Pa O2 kurang dari 80%
- Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007)
Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis dari asma,
diantaranya:
- Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan
asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam
dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi dan laborius.
- Sianosis karena hipoksia
- Gejala retensi CO2  : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.

VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dijumpai napas menjadi cepat dan
dangkal, terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan
sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah
lelah untuk bernapas)
b. Pemeriksaan Fungsi Paru
1) Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa
(KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1).
Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien
sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3
nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 <
80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%.
Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu
adanya perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator
oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2
minggu.Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan
diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan.
2) Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi.
Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan
perbaikan nilai APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam
yang berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%.
Cara pemeriksaan variabilitas APE
Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan
malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi.
APE malam – APE pagi
Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007)
c. Pemeriksaan Tes Kulit (Skin Test)
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
d. Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.Pemeriksaan ini hanya dilakukan
pada penderita dengan serangan asma berat atau status asmatikus.

IX. PENGKAJIAN
a. Identitas Klien
1) Riwayat kesehatan masa lalu :
Riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin
2) Riwayat kesehatan sekarang :
Keluhan sesak napas, keringat dingin.
3) Status mental :
Lemas, takut, gelisah
4) Pernapasan :
Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.
5) Gastro intestinal :
adanya mual, muntah.
6) Pola aktivitas :
Kelemahan tubuh, cepat lelah
b. Pemeriksaan Fisik
1) Dada
a) Contour, Confek, tidak ada defresi sternum
b) Diameter antero posterior lebih besar dari diameter transversal
c) Keabnormalan struktur Thorax
d) Contour dada simetris
e) Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna
merata
f) RR dan ritme selama satu menit.
2) Palpasi
a) Temperatur kulit
b) Premitus : fibrasi dada
c) Pengembangan dada
d) Krepitasi
e) Massa
f) Edema
3) Auskultasi
a) Vesikuler
b) Broncho vesikuler
c) Hyper ventilasi
d) Rochi
e) Wheezing
f) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Spirometri
b) Tes provokasi
c) Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
d) Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
e) Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
f) Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
g) Pemeriksaan sputum.

X. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola Napas Tidak Efektif
b. Bersihan Jalan Napas Tidak efektif
c. Gangguan pertukaran gas

XI. INTERVENSI KEPERAWATAN


a. Diagnosa 1 : pola napas tidak efektif
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam pola napas klien kembali efektif
No Diagnose keperawatan ( SDKI) SLKI SIKI
1 Pola nafas tidak efektif b.d Setelah dilakukan Observasi :
deformitas dinding dada intervensi 1 Monitor pola nafas
- Penggunaan otor bantu keperawatan (frekuensi,
pernafasan diharapkan pola kedalaman, usaha
- Fase ekspirasi memanjang nafas membaik nafas)
- Dispnea dengan kriteria hasil 2 Monitor bunyi nafas
- Pola nafas abnormal - Kapasitas vital tambahan ( gurgling,
(takinea,bradipnea,hipove membaik mengi, wheezing,
ntilasi) - Tekanan ronki)
- Pernafasan cuping hidung ekspirasi 3 Auskultasi bunyi
- Tekanan ekspirasi meningkat nafas
menurun - Tekanan 4 Monitor saturasi
- Tekanan inspirasi inspirasi oksigen
menurun meningkat Teraupetik :
- Dyspnea 1 Posisikan semi
menurun fowler
- Penggunaan 2 Lakukan fisioterapi
otot bantu nafas dada
menurun 3 Berikan oksigen jika
- Frekuensi nafas perlu
membaik Kolaborasi :
Kolaborasi
pemberian
bronkodilator

2 Bersihan jalan nafas b.d sekresi Bersihan jalan nafas Observasi :


yang tertahan, dibuktikan b.d sekresi yang 1. Monitor pola nafas
dengan : tertahan, dibuktikan 2. Monitor bunyi
- Sputum berlebih dengan : nafas
- Batuk tidak efektif - Sputum berlebih 3. Monitor sputum
- Tidak mampu batuk - Tidak mampu (jumlah,warna,aro
- Mengi, Wheezing, atau batuk ma).
ronki kering - Mengi, 4. Monitor
- Dispnea Wheezing, atau tanda&gejala
- Pola nafas berubah ronki kering infeksi saluran
- Frekuensi nafas berubah - Dispnea nafas.
- Pola nafas Teraupetik :
berubah 1. Posisikan semi
- Frekuensi nafas fowler
berubah 2. Berikan minum
air hangat
3. Lakukan
suction selama
15 detik
4. Berikan
oksigen, jika
perlu

Edukasi :
1. Anjurkan asuan
cairan
2000ml/hari

Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
broncodilator.
3 Gangguan pertukaran gas b.d Setelah dilakukan Observasi :
ketidakseimbangan ventilasi- intervensi 1. Monitor frekuensi,
perfusi, dibuktikan dengan : keperawatan iraman, kedalaman
- Dispnea diharapkan dan upaya nafas
- Takikardi pertukaran gas 2. monitor adanya
- Bunyi nafas tambahan meningkat dengan sumbatan jalan
- PCO2 kriteria hasil : nafas
meningkat/menurun - Dispnea menurun 3. auskultasi bunyi
- P02 menurun - Bunyi nafas nafas
- Sianosis tambahan 4. monitor saturasi
- Gelisah menurun oksigen
- Nafas cuping hidung - Gelisah menurun 5. monitor kecepatan
- Pola nafas abnormal - Nafas cuping aliran oksigen
- Kesadaran menurun hidung menurun
- PCO2 membaik Teraupetik :
- PO2 membaik 1.pertahankan
- Takikardia kepatenan jalan
membaik nafas
- Soanosis 2. berikan tambahan
membaik oksigen jika perlu
- Pola nafas
membaik Kolaborasi :
1.kolaborasi penentuan
dosis oksigen
2.kolaborasi
penggunaan oksigen
saat aktivitas dan tidur

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Indonesia.


Hudack&Gallo. 1997. Keperawatan Kritis Edisi VI Vol I. Jakarta. EGC.
Direktorat BIna Farmasi dan Klinik. 2007. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Asma.616.238 Ind P. Departemen Kesehatan RI.
Doengoes, Marilyn E, et al. 2010. Nursing Diagnosis Manual: Planning,
Individualizing, and Documenting Client Care 3th Edition . Philadelphia:
F. A. Davis Company
Mulia, J Meiyanti. 2000. Perkembangan Patogenesis Dan Pengobatan Asma
Bronkial. Jurnal Kedokteran Trisakti Vol 19 No. 3. Bagian Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Smeltzer & Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC. 2001
Diagnosa Keperawatan : Definisi Keperawatan 2015-2017. Jakarta: EGC
Padila. (2013). Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Yogyakarta :Nusa
Medika
Ikawati Zullies. (2016). Penatalaksanaan Terapi : Penyakit Sistem Pernafasan.
Yogyakarta : Bursa Ilmu
Tim Pokja SIKI DPP PPNI.(2018). Standar diagnose Keperawatan
Indonesia.Jakarta Selatan
Tim Pokja SLKI DPP PPNI.(2019). Standar diagnose Keperawatan
Indonesia.Jakarta Selatan

Anda mungkin juga menyukai