Anda di halaman 1dari 22

FATOSIOLOGI KELAINAN KONGENITAL PADA SISTEM DIGESTIVE DAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK : HERSCHPRUNG, ATRESIA ANI,


ATRESIA DUKTUS HIPATICUS DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMENUHAN
KEBUTUHAN MANUSIA (DALAM KONTEKS KELUARGA)

Disusun oleh :

Nama : Dela Adelia

Nim : SKP.19.02.002

Dosen pembimbing : Ns. Lisda Maria, S.Kep, M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MITRA ADIGUNA PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2021


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh
faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang mempelajari kelainan bawaan disebut dismorfologi.1
Menurut World Health Organization (WHO) , kelainan kongenital adalah suatu keadaan yang umum.
Dengan keberhasilan penanggulangan penyakit akibat infeksi dan gangguan gizi, masalah yang akan
muncul ke permukaan adalah masalah genetik (termasuk di dalamnya kelainan bawaan). WHO
memperkirakan adanya 260.000 kematian (7% dari seluruh kematian neonatus) yang disebabkan oleh
kelainan kongenital di tahun 2004. Di negara maju, 30% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah
sakit anak terdiri dari penderita dengan kelainan kongenital dan akibat yang ditimbulkannya.

Kelainan kongenital traktus gastrointestinal banyak menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Sebelas
bayi yang lahir dengan kelainan kongenital traktus gastrointestinal, 3 diantaranya meninggal karena
mempunyai hubungan dengan kelainan yang lain.
Faktor-faktor yang dipilih sebagai variabel dalam penelitian ini adalah yang paling mungkin dapat diukur
dan adanya keterbatasan dari pencatatan catatan medik. Faktor-faktor yang diperkirakan dapat
berpengaruh terhadap kejadian kelainan kongenital traktus gastrointestinal pada neonatus antara lain
usia ibu, infeksi intrauterin, diabetes mellitus, status sosial ekonomi, bayi prematur. Sampai saat ini
belum ada penelitian tentang faktor-faktor yang berpengaruh terjadinya kelainan kongenital traktus
gastrointestinal.

1.2 Tujuan Umur

Menambah ilmu pemgetahuan mahasiswa tentang fatofisiologi kelainan kongenital pada sistem
digestive dan asuhan keperawatan pada anak : Herschprung, atresia ani, atresia duktus hipaticus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Herschprung

2.1.1 Pengertian

Penyakit Hirschsprung adalah gangguan pada usus besar yang menyebabkan feses atau tinja terjebak di
dalam usus. Penyakit bawaan lahir yang tergolong langka ini bisa mengakibatkan bayi tidak buang air
besar (BAB) sejak dilahirkan.

Penyakit Hirschsprung terjadi karena kelainan saraf yang mengontrol pergerakan usus besar. Hal ini
menyebabkan usus besar tidak dapat mendorong feses keluar, sehingga menumpuk di usus besar dan
bayi tidak bisa BAB.

Walaupun umumnya sudah dapat diketahui sejak bayi baru lahir, gejala penyakit Hirschsprung juga bisa
baru muncul setelah anak sudah lebih besar, bila kelainannya ringan.

2.1.2 Penyebab Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung terjadi ketika saraf di usus besar tidak terbentuk dengan sempurna. Saraf ini
berfungsi untuk mengontrol pergerakan usus besar. Oleh karena itu, jika saraf usus besar tidak
terbentuk dengan sempurna, usus besar tidak dapat mendorong feses keluar. Akibatnya, feses akan
menumpuk di usus besar.

Penyebab masalah pada saraf tersebut belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa kondisi yang
diduga dapat meningkatkan risiko ketidaksempurnaan pembentukan saraf usus besar, antara lain:

• Berjenis kelamin laki-laki.

• Memiliki saudara yang menderita penyakit Hirschsprung.

• Memiliki orang tua, terutama ibu, yang pernah menderita penyakit Hirschsprung.

• Menderita penyakit bawaaan lainnya yang diturunkan, seperti Down syndrome dan penyakit jantung
bawaan.

2.1.3 Gejala Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung memiliki gejala yang berbeda-beda, tergantung pada tingkat keparahannya.
Gejala umumnya sudah dapat dideteksi sejak bayi baru lahir, di mana bayi tidak buang air besar (BAB)
dalam 48 jam setelah lahir.

Selain bayi tidak BAB, di bawah ini adalah gejala lain penyakit Hirschsprung pada bayi baru lahir:
• Muntah-muntah dengan cairan berwarna coklat atau hijau

• Perut buncit

• Rewel

Pada penyakit Hirschsprung yang ringan, gejala baru muncul saat anak berusia lebih besar. Gejala
penyakit Hirschsprung pada anak yang lebih besar terdiri dari:

• Mudah merasa lelah

• Perut kembung dan kelihatan buncit

• Sembelit yang terjadi dalam jangka panjang (kronis)

• Kehilangan nafsu makan

• Berat badan tidak bertambah

• Tumbuh kembang terganggu

• Kapan Harus ke Dokter

2.1.4 Pengobatan Penyakit Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung adalah kondisi serius yang perlu segera diobati dengan operasi, baik dengan
bedah laparoskopi ataupun bedah terbuka. Pasien yang kondisinya stabil biasanya hanya memerlukan
satu kali operasi, yaitu operasi penarikan usus.

Jika kondisi pasien tidak stabil, atau ketika pasien merupakan bayi yang lahir prematur, memiliki berat
badan yang rendah, atau sedang sakit, biasanya perlu menjalani operasi ostomi, untuk mengurangi
risiko terjadinya komplikasi.

• Prosedur penarikan usus (pull-through surgery)

Pada prosedur ini, dokter akan membuang bagian dalam dari usus besar yang tidak bersaraf, kemudian
menarik dan menyambungkan usus yang sehat langsung ke dubur atau anus.

• Prosedur ostomi

Prosedur ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah pemotongan bagian usus pasien yang
bermasalah. Setelah pemotongan usus, dokter akan mengarahkan usus yang sehat ke lubang baru
(stoma) yang dibuat di perut. Lubang tersebut menjadi pengganti anus untuk membuang feses. Prosedur
ini disebut juga kolostomi.

Setelah kondisi pasien stabil dan usus besar sudah mulai pulih, tahap kedua prosedur ostomi dapat
dilakukan. Tahap kedua ini dilakukan untuk menutup lubang di perut dan menyambungkan usus yang
sehat ke dubur atau anus.
Setelah menjalani prosedur operasi, penderita akan menjalani rawat inap di rumah sakit selama
beberapa hari, sambil diinfus dan diberi obat pereda rasa sakit sampai kondisinya membaik. Selama
masa perawatan, usus akan pulih secara bertahap hingga dapat berfungsi kembali secara normal.

Pada awal masa pemulihan, anak-anak yang sudah lebih besar dapat merasa sakit ketika buang air
besar. Sedangkan anak-anak yang lebih kecil, akan rewel saat buang air besar. Selain itu penderita juga
dapat mengalami sembelit. Dalam mengatasi sembelit, pasien perlu:

• Mendapat asupan air putih yang cukup

• Asupan air putih yang cukup berguna untuk membuat tinja lebih lunak, sekaligus memenuhi
kebutuhan cairan tubuh.

• Mengonsumsi makanan yang tinggi serat

Berikan buah dan sayuran bagi anak yang sudah bisa mencernanya. Bila belum, tanyakan kepada dokter
anak, makanan apa yang bisa diberikan kepada anak untuk mengatasi sembelit.

• Ajak bermain

Gerakan tubuh dapat membantu melancarkan sistem pencernaan dan meningkatkan pergerakan usus.

• Mengonsumsi obat pencahar sesuai petunjuk dokter

Manfaat dan risiko penggunaan obat pencahar perlu didiskusikan terlebih dahulu dengan dokter anak.

• Komplikasi dari Penyakit Hirschsprung

Anak yang menderita penyakit Hirschsprung sangat berisiko mengalami infeksi pada usus (enterocolitis),
yang dapat mengancam nyawa. Tidak hanya dari penyakitnya, tindakan operasi untuk mengobati
penyakit ini juga dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi setelah pasien menjalani
operasi meliputi:

• Munculnya lubang kecil atau robekan pada usus

• Inkontinensia tinja

• Kekurangan gizi dan dehidrasi

• Megakolon

2.2 Atresia Ani

2.2.1 Pengertian

Atresia ani atau anus imperforata adalah kelainan kongenital yang menyebabkan anus tidak terbentuk
dengan sempurna. Akibatnya, penderita tidak dapat mengeluarkan tinja secara normal. Kondisi ini
biasanya terjadi akibat gangguan perkembangan saluran cerna janin saat usia kehamilan 5–7 minggu.
Atresia ani merupakan kondisi yang cukup jarang terjadi. Kondisi ini hanya terjadi pada 1 dari 5.000
kelahiran dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki. Atresia ani perlu mendapatkan penanganan segera
untuk mencegah komplikasi

2.2.2 Penyebab Atresia Ani

Atresia ani merupakan salah satu bentuk kelainan kongenital. Penyebab terjadinya atresia ani belum
diketahui secara pasti. Atresia ani terjadi secara acak dan bisa dialami oleh siapa saja. Namun, ada
dugaan yang mengaitkan kondisi dengan kelainan genetik.

Atresia ani juga sering muncul bersamaan dengan kondisi VACTREL, yaitu kelompok kelainan kongenital
yang dapat memengaruhi berbagai sistem tubuh. VACTREL adalah singkatan dari vertebral defects, anal
atresia, cardiac defects, tracheoesophageal fistula, renal anomalies, dan limb defects.

Saat janin mengalami kelainan atau gangguan perkembangan saluran pencernaan, kehamilan juga bisa
terganggu. Salah satu kondisi yang sering berkaitan dengan atresia ani adalah terjadinya polihdramnion.
Polihidramnion adalah kondisi berlebihnya kadar cairan ketuban yang bisa diketahui saat ibu hamil
melakukan pemeriksaan kehamilan.

2.2.3 Faktor risiko atresia ani

Belum diketahui ada tidaknya faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya atresia ani. Namun,
kondisi ini lebih sering terjadi pada bayi laki-laki. Bayi yang mengalami atresia ani juga bisa mengalami
kelainan bawaan lain, termasuk gangguan saluran pencernaan, gangguan saluran kemih, dan kelainan
VACTREL.

2.2.4 Gejala Atresia Ani

Atresia ani ditandai dengan bentuk rektrum (bagian akhir usus besar) sampai lubang anus bayi tidak
berkembang dengan sempurna.Atresia ani terdiri dari beberapa bentuk, yaitu:

• Lubang anus menyempit atau tertutup total

• Rektrum tidak terhubung dengan usus besar

• Terbentuk fisula atau saluran yang menghubungkan rektum dengan kandung kemih, uretra, pangkal
penis, atau vagina.

Pada kondisi normal, perkembangan lubang anus, saluran kemih, dan kelamin, pada janin terjadi pada
trimester pertama kehamilan atau saat usia kehamilan mencapai 7–8 minggu. Atresia ani terjadi jika
perkembangan organ-organ ini mengalami gangguan pada masa ini. Bayi yang mengalami atresia ani
umumnya memiliki gejala sebagai berikut:

• Lubang anus tidak berada di tempat yang semestinya, atau tidak justru lahir tanpa lubang anus

• Lubang anus sangat dekat dengan vagina pada bayi perempuan


• Tinja pertama (mekonium) tidak keluar dalam jangka waktu 24–48 jam setelah lahir

• Perut tampak membesar

• Tinja keluar dari vagina, pangkal penis, skrotum, atau uretra.

2.2.5 Pengobatan Atresia Ani

Pengobatan atresia ani bertujuan untuk memperbaiki kondisi anus agar bayi bisa hidup normal. Sebelum
dilakukan pengobatan lebih lanjut, bayi yang tidak memiliki lubang anus akan diberi asupan nutrisi dan
cairan melalui cairan infus. Jika ada fistula yang terbentuk pada saluran kemih yang berisiko
meningkatkan terjadinya infeksi, dokter mungkin akan memberikan antibiotik.

Secara umum, pilihan pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi atresia ani adalah:

• Operasi

Operasi merupakan metode pengobatan utama untuk mengatasi atresia ani. Tujuan operasi adalah
untuk membuat fungsi saluran pencernaan berjalan dengan normal. Jenis operasi yang dilakukan
tergantung dari gejala, usia, jenis dan kerumitan bentuk atresia ani yang terjadi, serta kondisi kesehatan
bayi. Beberapa jenis operasi yang bisa dilakukan untuk mengatasi atresia ani adalah:

- Kolostomi, yaitu pembuatan lubang (stoma) di dinding perut yang sebagai saluran pembuangan
sementara. Kotoran yang keluar dari stoma akan ditampung di sebuah kantung (colostomy bag).

- Pull through, yaitu operasi untuk menyambungkan bagian rektum dan anus. Biasanya operasi ini
dilakukan beberapa bulan setelah operasi kolostomi pertama.

- Penutupan kolostomi, yaitu operasi lanjutan untuk menutup stoma, sehingga pasien bisa mulai
membuang kotoran melalui rektum dan anus.

- Anoplasti perineum, yaitu operasi untuk menutup fistula yang terhubung dengan saluran kemih atau
vagina. Prosedur ini bertujuan untuk membuat lubang anus berada di posisi yang seharusnya.

- Tingkat keberhasilan tindakan operasi dalam memperbaiki atresia ani dapat dikatakan cukup tinggi.

• Mengatur pola makan dan diet

Setelah menjalani operasi, penderita atresia ani disarankan untuk mengatur pola makan, seperti
mengonsumsi makanan tinggi serat dan suplemen serta vitamin. Hal ini bertujuan agar penderita tidak
mengalami sembelit.

2.2.6 Komplikasi Atresia Ani

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat atresia ani atau setelah tindakan operasi adalah:

• Konstipasi
• Robekan (perforasi) usus

• Infeksi saluran kemih

• Inkontinensia tinja atau urine

• Penyempitan anus (stenosis anus)

2.2.7 Pencegahan Atresia Ani

Atresia ani merupakan kelainan bawaan atau kongenita, sehingga sulit dicegah. Namun, ibu hamil dapat
melakukan beberapa langkah di bawah ini untuk menurunkan risiko terjadinya kelainan pada janin:

• Melakukan pemeriksaan genetik ke dokter jika memiliki riwayat atresia ani atau kelainan kongenital
lainnya sebelum merencanakan kehamilan

• Mengonsumsi makanan yang sehat, tidak merokok, serta tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan
obat-obatan di luar anjuran dokter selama hamil

• Melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin dan mengonsumsi suplemen sesuai ajuran dokter.

2.3 Atresia duktus hipaticus

2.3.1 Pengertian

Atresia Bilier suatu defek kongenital, yang terjadi akibat tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih
kandung empedu ekstrahepatik atau intrahepatik, yang menyebabkan penyimpanan drainase kandung
empedu (Morgan Speer, 2018)

Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus ekstrahepatik yang
menyebabkan hambatan aliran empedu atau karena adanya proses inflamasi yang berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepartik sehingga terjadi hambatan
aliran empedu (kolestasis) yang mengakibatkan terjadinya penumpukan garam empedu dan
peningkatan bilirubin direk dalam hati dan darah (Julinar, dkk, 2019).

2.3.2 Gejala

Gejala awal dari penyakit atresia bilier adalah mata dan kulit yang terlihat berwarna kuning atau disebut
sebagai penyakit kuning (jaundice). Perubahan warna pada kulit dan mata yang menjadi kuning ini
disebabkan oleh penumpukan cairan empedu di dalam tubuh akibat orgah hati dan saluran empedu
yang rusak.

Umumnya, bayi yang lahir dengan sakit kuning ringan mengalami kondisi ini selama usia 1 minggu
sampai usia 2 minggu pertama. Kemudian sakit kuning tersebut normalnya akan hilang di usia 2 minggu
sampai usia 3 minggu. Sayangnya, pada anak dengan kondisi ini, sakit kuning yang mereka alami dapat
bertambah parah.
Gejala atresia bilier seringnya mulai muncul di antara usia 2 minggu sampai usia 8 minggu atau 2 bulan
pertama kehidupan bayi. Berbagai gejala atresia bilier adalah sebagai berikut:

• Kulit dan mata berwarna kuning (jaundice)

• Warna urine gelap seperti teh

• BAB berwarna terang seperti abu-abu atau agak putih

• Perut membengkak

• Penurunan berat badan bayi

• Pertumbuhan lambat

Pembengkakan perut bayi bisa terjadi karena ukuran organ hati yang semakin membesar. Sementara
perubahan warna pada feses bayi disebabkan oleh tidak adanya cairan empedu atau tidak adanya
bilirubin di usus.

Bilirubin adalah cairan yang dihasilkan dari proses pemecahan hemoglobin atau sel darah merah. Begitu
pula dengan perubahan warna urine yang menjadi gelap dikarenakan penempukan cairan bilirubin di
dalam darah. Selanjutnya, bilirubin disaring oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urine sehingga
memengaruhi warna urine itu sendiri.

Penyebab

Atresia bilier adalah penyakit bawaan lahir yang sampai saat ini belum dapat diketahui penyebab
pastinya. Meski begitu, para ahli menyakini bahwa atresia bilier bukan penyakit genetik, artinya penyakit
ini tidak diturunkan dari orangtua ke anak. Selain itu, orangtua yang mengidap kondisi tidak berisiko
menurunkan gen penyebab penyakit kepada anaknya. Pada beberapa anak, kondisi ini disebabkan oleh
pembentukan saluran empedu yang kurang sempurna selama masa kehamilan. Sementara pada anak-
anak lainnya, penyebab atresia bilier adalah karena kerusakan saluran empedu oleh sistem kekebalan
tubuh dalam melawan infeksi virus saat bayi baru lahir. Beberapa pemicu yang mungkin dapat
berkontribusi menjadi penyebab atresia bilier adalah sebagai berikut:

Infeksi virus atau bakteri setelah lahir.

Masalah pada sistem imun atau sistem kekebalan tubuh.

Mutasi atau perubahan genetik, yang membuat perubahan permanen pada struktur genetik.

Masalah saat masa perkembangan organ hati dan saluran empedu selama janin masih berada di dalam
rahim.

Paparan racun atau zat kimia saat ibu sedang hamil.

2.3.4 Faktor-faktor risiko


Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko anak mengalami penyakit atresia bilier adalah sebagai
berikut:

Terkena infeksi virus atau bakteri setelah lahir

Memiliki kelainan autoimun yang menyerang hati atau saluran empedu

Mengalami mutasi atau perubahan genetik pada tubuh

Perkembangan organ hati dan saluran empedu bermasalah

Namun selain itu, risiko bayi untuk mengalami kelainan atau cacat lahir ini juga dapat semakin
meningkat bila berjenis kelamin perempuan. Sementara untuk bayi berjenis kelamin laki-laki, risiko
untuk mengalami kondisi ini cenderung lebih rendah. Bukan itu saja, bayi dengan ras Asia dan Afrika-
Amerika memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kondisi ini ketimbang ras kaukasia (Amerika
dan Eropa). Bayi prematur juga memiliki kemungkinan yang lebih besar terkait atresia bilier.

2.3.5 Obat & Pengobatan

Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, kondisi kelainan ini dapat
diatasi dengan metode operasi Kasai dan transplantasi hati. Pengobatan untuk atresia bilier adalah
sebagai berikut:

• Prosedur Kasai

Prosedur Kasai biasanya merupakan terapi awal untuk menangani kondisi kelainan ini. Saat prosedur
Kasai berlangsung, dokter bedah akan mengangkat saluran empedu yang tersumbat pada bayi dan
mengambil usus untuk menggantinya. Selanjutnya cairan empedu akan mengalir langsung ke usus kecil.
Jika operasi ini berhasil, kesehatan anak dapat membaik dan tidak mengalami masalah terkait organ
hati. Sementara jika operasi Kasai gagal, anak biasanya membutuhkan transplantasi hati dalam 1-2
tahun. Meskipun setelah terapi berhasil, kebanyakan anak berisiko mengalami penyakit sirosis bilier
obstruktif saat dewasa. Jadi, kesehatan anak perlu dikontrol secara teratur untuk mengetahui kondisi
dan perkembangan organ hati serta saluran empedu.

• Transplantasi Hati

Transplantasi hati merupakan prosedur yang dilakukan dengan cara mengambil hati yang rusak dan
menggantinya dengan hati baru dari pendonor. Setelah transplantasi hati dilakukan, fungsi hati yang
baru dapat mulai bekerja sebagaimana mestinya sehingga kesehatan anak juga semakin membaik.
Namun, anak disarankan untuk rutin minum obat guna mencegah sistem kekebalan tubuhnya
menyerang atau menolak organ hati yang baru. Tak perlu khawatir karena penolakan ini sebenarnya
merupakan cara normal dari sistem kekebalan tubuh dalam melawan infeksi virus dan zat asing lainnya..

• Pengobatan di rumah
Beberapa perubahan gaya hidup dan pengobatan rumahan yang dapat membantu Anda mengatasi
atresia bilier pada anak adalah:

- Bayi dengan kondisi ini biasanya mengalami kekurangan zat gizi sehingga membutuhkan aturan khusus
untuk memenuhi kebutuhan gizinya khusus.

- Jadi, anak butuh kalori lebih dalam diet hariannya. Anak dengan kondisi ini juga dapat mengalami
kesulitan dalam mencerna lemak yang selanjutnya mengakibatkan kekurangan vitamin dan protein.

- Jika diperlukan, sebaiknya konsultasikan lebih lanjut dengan ahli gizi anak untuk mendapatkan
rekomendasi yang tepat mengenai kebutuhan gizi si kecil setiap harinya.

- Setelah transplantasi hati, kebanyakan anak dapat makan dengan normal.


BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hipaticus

3.1.1 Definisi

Pengertian KolestasisKolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam jumlah
normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membran-basolateral dari hepatosit sampai tempat masuk
saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang
diekskresi kedalam empedu seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan
tubuh. Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu pada sel hati
dan sistem bilier (Arief & Sjamsul 2010).
Kolestasis adalah kondisi yang terjadi akibat terhambatnya aliran empedu dari saluran empedu ke
intestinal. Kolestasis terjadi bila ada hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi
hati (Arvin, 2012).
Kolestasis neonatal merupakan istilah nonspesifik untuk kelainan hati dengan banyak etiologi yang
mungkin terdapat pada neonatus. Pada 50% kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi.
Pasien penyakit ini ditemukan dengan hiperbilirubinemin terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal),
hepatomegali dan disfungsi hati dengan derajat yang bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia) (Price &
Wilson, 2016).
3.1.2 Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentik pir yng terletak tepat pada lobus kanan hat.
Empedu yang disekresi secara terus menerusoleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati.
Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang besar yang keluar dari permukaan
bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis (Price & Wilson, 2006).

Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung empedu
mampu menyimpan sekitar 40-60 ml empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum,
akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan ke kandung
empedu. Dalam kandung empedu pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dan garam-
garan anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira 5 kali lebih pekat dibandingkan
dengan empedu hati. Secara berkala kandung empedu mengosongkan isinya kedalam duodenum
melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi spingter Oddi. Horman kolesistokinin (CCK)
dilepaskan dari sel duodenal akibat hasil pencernaan dari protein dan lipid, dan hal ini merangsang
terjadinya kontraksi kandung empedu (Price & Wilson, 2006).
3.1.3 Etiologi Kolestasis
Penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 bagian yaitu: intrahepatik kolestasis dan ekstrahepatik kolestasis
(Arief & Sjamsul, 2010) :
1. Pada intrahepatik kolestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati yang terjadi akibat infeksi bakteri
yang menimbulkan abses pada hati, biliari sirosis primer, virus hepatitis, limphoma, kholangitis
sklerosing primer, infeksi tuberkulosis atau sepsis, obat-obatan yang menginduksi kolestasis.
2. Pada extrahepatik kolestasis, disebabkan oleh tumor saluran empedu, kista, striktur (penyempitan
saluran empedu), pankreatitis atau tumor pada pankreas, tekanan tumor atau massa sekitar organ,
kolangitis sklerosis primer. Batu empedu adalah salah satu penyebab paling umum dari saluran empedu
diblokir.
3.1..4 Klasifikasi Kolestasis
Secara garis besar menurut Arief & Sjamsul, (2010). Kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Kolestasis intrahepatik
Saluran Empedu digolongkan dalam 2 bentuk yaitu:

a. Paucity (atresia) saluran empedu

b. Disgenesis saluran empedu

2. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatikSecara umum kelainan ini
disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan
kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu
intrahepatik. Oleh karena secara embriologis saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya
dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya
saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik seperti
ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai saluran ekstrahepatik. Kelainan yang
disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Caroli’s disease mengenai kedua bagian saluran
intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai
dengan gangguan fungsi hepatoseluler.
3.1.5 Patofisiologi Kolestasis
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan kombinasi produksi
dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin
yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin terkonjugasi. Kolesterol dan asam empedu
merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonjugasi merupakan bagian kecil. Bagian
utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu.

Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal
sedang permukaan apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu.Hepatosit adalah epitel terpolarisasi
berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan
detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu. Salah satu contoh
adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak
terkonjugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral,
dikonjugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi bilirubin terkonjugasi yang
larut air dan dikeluarkan kedalam empedu oleh transporter mrp2. Mrp2 merupakan bagian yang
bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu.
Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa
aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin
terkonjugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Proses yang terjadi di hati
seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada transporter
hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonjugasi (Areif &
Sjamsul, 2010).

3.2 Atresia Ani

3.2.1 Definisi

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada dan trepsis yang berarti
makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang yang normal.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi anus, rektum,
atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak
adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003). Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan
embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001). Atresia ani atau anus
imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian endoterm
mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung
ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto,
2001).

3.2.2 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada umber yang mengatakan
bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :

1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan,
fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan
saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul.
Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian
beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari kedua
orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang
mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk
menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
• Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
3.2.3 Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum
berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi
kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya
penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan
perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat
juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada
pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan
sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga
letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M. puborektalis) dengan jarak antara
ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan
fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling
jauh 1 cm.

3.2.4. Manifestasi Klinik


Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi mekonium. Gejala ini
terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal
(dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung
kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
1.) Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.
2.) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

3.) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4.) Perut kembung.
5.) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.

3.2.5 Anatomi dan Fisiologi


3.3 Atresia Duktus Hipaticus

3.3.1. Definisi

Atresia Bilier suatu defek kongenital, yang terjadi akibat tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih
kandung empedu ekstrahepatik atau intrahepatik, yang menyebabkan penyimpanan drainase kandung
empedu (Morgan Speer, 2008) Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada
traktus ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu atau karena adanya proses inflamasi
yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepartik
sehingga terjadi hambatan aliran empedu (kolestasis) yang mengakibatkan terjadinya penumpukan
garam empedu dan peningkatan bilirubin direk dalam hati dan darah (Julinar, dkk, 2009).

Atresia Bilier adalah suatu penghambatan didalam pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu
(bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran. Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis
saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi
saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008).

3.2.2 Etiologi
Faktor penyebab dari Atresia Bilier ini belum jelas. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa
Atresia Bilier disebabkan oleh suatu proses inflamasi yang merusak duktus bilier dan juga akibat dari
paparan lingkungan (disebabkan oleh virus) selama periode kehamilan dan perinatal (Sodikin, 2011).

3.3.3. Manifestasi klinis

(Data Subyektif dan Data Objektif) Pada bayi dengan atresia bilier biasanya tampak sehat ketika baru
lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah lahir. Menurut Sodikin
(2011), gejala-gejala tersebut yaitu

a.Data Subjektif

• Iritabilitas (bayi menjadi rewel)

• Sulit untuk menenangkan bayi

b. Data Objektif

• Ikterus Terjadinya kekuningan pertama kali akan terlihat pada sklera dan kulit karena tingkat bilirubin
yang sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah. Mungkin terdapat sejak lahir. Biasanya tidak
terlihat sampai usia 2 hingga 3 minggu.

• Urine berwarna gelap dan menodai popok. Urine gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin
(produk pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang
dalam urine.

• Feses berwarna lebih pucat daripada yang perkirakan atau berwarna putih atau coklat muda karena
tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses

• Hepatomegali

• Distensi abdomen

• Splenomegali Keadaan ini menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal / tekanan
darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke
hati).

• Gangguan metabolisme lemak yang menyebabkan pertambahan berat badan yang buruk, dan
kegagalan tumbuh kembang secara umum.

• Letargi

• Pruritus (gatal disertai ruam)

• Asites
• Jaundice, disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir. Ini biasanya
hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier
biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir

• Anoreksia

• Lambat saat makan, kadang-kadang tidak ada nafsu untuk makan

• Kekeringan

• Kerusakan kulit

• Edema perifer

3.3.4 Patofisiologi

Secara embriologi, percabangan bilier berkembang dari divertikulum hepatik dari embrio foregut.
Duktus bilier intrahepatik berkembang dari hepatosit janin, sel-sel asal bipotensial mengelilingi
percabangan vena porta. Sel-sel duktus bilier primitif ini membentuk sebuah cincin, piringan duktal,
yang berubah bentuk menjadi struktur duktus bilier matang. Proses perkembangan duktus biliaris
intrahepatik dinamis selama embriogenesis dan berlanjut sampai beberapa waktu setelah lahir. Duktus
biliaris ekstrahepatik muncul dari aspek kaudal divertikulum hepatik. Selama stadium pemanjangan,
duktus ekstrahepatik nantinya akan menjadi, seperti duodenum, sebuah jalinan sel-sel padat.
Pembentukan kembali lumen dimulai dengan duktus komunis dan berkembang secara distal seringkali
mengakibatkan 2 atau 3 lumen untuk sementara, yang nantinya akan bersatu. Komponen intrahepatik
selanjutnya bergabung dengan sistem duktus ekstrahepatik dalam daerah hilus.

Patogenesis atresia bilier tetap tidak jelas meskipun terdapat beberapa teori etiologi dan investigasi.
Telah diusulkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh:

(a) kegagalan rekanalisasi

(b) faktor genetik

(c) iskemia

(d) virus

(e) toksin Saat ini, teori yang paling membangkitkan minat adalah bahwa atresia bilier merupakan hasil
akhir satu atau beberapa dari cemooh-cemooh ini yang nantinya menyebabkan epitel bilier menjadi
‘peningkatan susunan’ untuk mengekspresikan antigen pada permukaan sel (Dillon). Pengenalan oleh sel
T yang beredar kemudian memulai respon imun dimediasi-sel, mengakibatkan cedera fibrosklerotik yang
terlihat pada atresia bilier. Tampaknya terdapat dua kelompok terpisaah pasien dengan atresia bilier:
bentuk embrionik awal dihubungkan. dengan kemunculan berbagai anomali lainnya dan bentuk janin
kelak/perinatal yang biasanya terlihat terisolasi. Etiologi masing-masingnya mungkin berbeda.
Temuan patologis pada atresia bilier ditandai dengan sklerotik inflamasi yang kehilangan semua atau
sebagian percabangan bilier ekstrahepatik juga sistem bilier intrahepatik. Tidak seperti atresia traktus
gastrointestinal lainnya yang memiliki batasan tempat obstruksi jelas dengan dilatasi proksimal, dalam
varian atresia bilier yang paling umum, duktus biliaris diwakili oleh jalinan fibrosa tanpa dilatasi apapun
di proksimalnya. Sedangkan varian lainnya memiliki sisa nyata – distal, dari kandung empedu, duktus
sistikus dan duktus komunis, atau proksimal, dengan hilus kista Kandung empedu biasanya kecil namun
kemungkinan masih memiliki lumen berkerut yang berisi cairan jernih (“empedu putih”). Secara
mikroskopis, sisa bilier diwakili oleh jaringan fibrosa padat, distal. Proksimal, duktus biliaris dikelilingi
oleh fibrosis konsentris dan infiltrat peradangan disekitar struktur seperti-duktus yang kecil sekali,
duktus koledokus dan kelenjar bilier. Oklusi sclerosing duktus bilier menjadi lebih luas seiring dengan
pertambahan usia. Kasai dan rekan-rekannya memperlihatkan bahwa duktus intrahepatik berhubungan
dengan hepatis porta melalui kanal yang kecil sekali, setidaknya diawal masa bayi. Rekonstruksi bedah
berdasarkan pada pedoman ini.

Dalam 2 bulan pertama setelah kelahiran, perubahan histologis hati memperlihatkan pemeliharaan
arsitektur hepatik dasar dengan proliferasi duktulus empedu, sumbatan empedu dan fibrosis periportal
ringan pada bayi dengan atresia bilier. Nantinya, fibrosis membentang kedalam lobulus hepatikus,
akhirnya menghasilkan gambaran sirosis. Seperempat bayi yang memiliki infiltrat inflamasi portal dan
transformasi sel-raksasa yang tak dapat dibedakan dari temuan patologis hepatitis neonatorum.

3.3.5 Tipe - Tipe Atresia Bilier

Secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:

a. Tipe yang dapat dioperasi (yang dapat diperbaiki) Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya

b. Tipe yang tidak dapat dioperasi Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi
akhir-akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal.

3.3.6 Pemeriksaan Diagnosa

Menurut Sodikin (2011), Secara garis besar pemeriksaanyang dilakukan untuk mendeteksi atresia bilier
dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu pemeriksaan :

a.Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan serum darah Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar
komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan
pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak
sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT <
5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Pemeriksaan urine

2) Pemeriksaan Urine urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin
dalam urine negatif, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
3) Pemeriksaan feces Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja
berkurang karena adanya sumbatan.

b. Biopsi hati Biopsi hati dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan
dengan pengambilan jaringan hati.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyakit Hirschsprung adalah gangguan pada usus besar yang menyebabkan feses atau tinja terjebak di
dalam usus. Penyakit bawaan lahir yang tergolong langka ini bisa mengakibatkan bayi tidak buang air
besar (BAB) sejak dilahirkan.

Penyakit Hirschsprung adalah gangguan pada usus besar yang menyebabkan feses atau tinja terjebak di
dalam usus. Penyakit bawaan lahir yang tergolong langka ini bisa mengakibatkan bayi tidak buang air
besar (BAB) sejak dilahirkan. Penyakit Hirschsprung terjadi karena kelainan saraf yang mengontrol
pergerakan usus besar. Hal ini menyebabkan usus besar tidak dapat mendorong feses keluar, sehingga
menumpuk di usus besar dan bayi tidak bisa BAB.

Atresia Bilier suatu defek kongenital, yang terjadi akibat tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih
kandung empedu ekstrahepatik atau intrahepatik, yang menyebabkan penyimpanan drainase kandung
empedu (Morgan Speer, 2008) Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada
traktus ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu atau karena adanya proses inflamasi
yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepartik
sehingga terjadi hambatan aliran empedu (kolestasis) yang mengakibatkan terjadinya penumpukan
garam empedu dan peningkatan bilirubin direk dalam hati dan darah (Julinar, dkk, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Richard E. (1992). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 2. Jakarta: EGC.David. (1994). Buku Ajar Ilmu
Bedah. Jakarta: EGC.

Kumar, Robbins Cotran. (1999). Buku Saku Robbins Dasar Patologi Penyakit Ed. 5. Jakarta: EGC. Markum,
A. H. (1999). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Gaya Baru.

Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric Surgery, 4th Edition.
Carpenito, Lynda Juall. 2003.

Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Jakarta : EGC. Widodo Judarwanto. 2010.

Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang berkepanjangan. From : url
:http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2012/02/07/atresia-bilier waspadai-bila-kuning-
bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/ Steven M.

Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available From: url: http:// emedicine. medscape.com/ article/927029-
overview Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan
Anak FK UNAIR.Surabaya. 2006. Available from : url
:http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504- pkb.pdf

Anda mungkin juga menyukai