Anda di halaman 1dari 24

Pemahaman Nilai-nilai Tasawuf pada Kalangan Elit Organisasi Dakwah

Purmansyah Ariadi
FAI Universitas Muhammadiyah Palembang
Email: ariadipurmansyah@gmail.com
Rulitawati
FAI Universitas Muhammadiyah Palembang
Email: ita.ilet44@gmail.com
Muhammad Zainuddin Nawi, Lc., M.A
FAI Universitas Muhammadiyah Palembang
Email: hamada2011nawi@gmail.com

Abstract
Perkembangan agama Islam di Indonesia diwarnai dengan berkembangnya faham sufisme dan tarekat pada
organisasi dakwah di Indonesia sehingga menjadi wacana yang urjen dalam proses transmisi ajaran Islam di
dunia Melayu. Nilai-nilai tasawuf dikalangan elit Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama akan mewarnai
pemahaman terlembaga dalam bentuk tarekat yang membutuhkan bimbingan seorang mursyid. Penelitian
ini bertujuan untuk mengungkap pemahaman nilai-nilai tasawuf di kalangan elit Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama serta mengungkap perbedaan pemahaman tasawuf di kalangan elit Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama di Wilayah Sumatera Selatan. Metode penelitian yang digunakan penelitian lapangan
dengan teknik analisis data menggunakan diskriptif kualitatif. Pemahaman terhadap tasawuf elit di
lingkungan organisasi Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama dapat dibagi dalam beberapa dua kategori,
antara lain pimpinan atau pengurus yang mempunyai pemahaman dengan pengetahuan nilai-nilai tasawuf
dalam perilaku mengerjakan amalan dalam bentuk tasawuf substantif, pimpinan atau pengurus yang
mengerjakan nilai-nilai tasawuf yang teraktualisasi dalam bentuk tarekat, pemahaman tentang nilai-nilai
tasawuf yang berbeda-beda pada pimpinan akan menghasilkan pola pengamalan yang berbeda-beda pula.
Dari pola perilaku yang berbeda menghasilkan amal yang berbeda-beda.

Keywords: Pemahaman, Nilai Tasawuf Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama

A. Pendahuluan
Tasawuf atau sufisme di Nusantara berkembang seiring dengan proses awal
masuknya agama Islam, ketika ia secara intensif diperkenalkan kepada masyarakat
Indonesia bersama faktor lain yang bersifat sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Sufisme1 telah menjadi satu kategori penting dalam sejarah Islam di Indonesia.
Terminologi ini baru dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, dengan munculnya seorang
zahid, bernama Abu Hasyim al-Ku>fi yang digelari sebagai seorang sufi.
Penyebaran Islam melalui tasawuf telah menjadikan Islam memiliki daya tarik
tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya di abad ke-19,
sufisme bersama tarekat juga berkembang menjadi satu wacana yang sangat urgen dalam
1
Tasawuf oleh para pakar dari Barat disebut juga dengan sufisme, yang kemudian digunakan juga oleh
sebagian besar ilmuwan muslim. (Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1995), h. 56.

1
2

proses transmisi ajaran-ajaran Islam di dunia Melayu. Selanjutnya Islam yang disebarkan dari
tempat kelahirannya ke Nusantara berasimilasi dengan budaya, kepercayaan, dan adat istiadat
setempat. Sehingga dapat dipahami bahwa Islam yang datang telah mengalami proses fusi
dengan budaya lokal, India, dan China. Dalam perkembangan berikutnya memunculkan
pemahaman keagamaan bercorak modernis dan tradisionalis, dalam istilah Balek Bennabi
gerakan pembaharuan Islam dalam “dua wajah”2
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), sebagai produk modernitas merupakan
dua organisasi terbesar di Indonesia. Keduanya berdiri sebelum Indonesia merdeka dan
mempunyai andil besar dalam usaha kemerdekaan negara Indonesia. KH. Ahmad Dahlan
(KH. Dahlan) dan KH. Hasyim Asy ’ari (KH. Hasyim) sebagai pendiri organisasi, sama-sama
pernah berguru kepada syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.3 Di Indonesia mereka
berguru pada KH. Muhammad Shaleh bin H. Umar al-Samarani dikenal dengan kyai Shaleh
Darat, dari Semarang Jawa Tengah. Ketika muncul pemikiran Muhammad Abduh dan
muridnya Rasyid Rihdha di Mesir, Dahlan sangat tertarik dan mengembangkannya di
Indonesia, sedangkan KH. Hasyim justru mengkritisi pemikiran mereka
Nahdlatul Ulama didirikan oleh KH. Hasyim Asy´ari di Surabaya 16 Rajab 1344
Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 Miladiyah. 4 NU berbasis masyarakat
pedesaan, dikenal dengan gerakan tradisional, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Atas
kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila
bersedia untuk hidup bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan
menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan bathin, saling bantu mambantu dan kesatuan
merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan dan kasih sayang yang menjadi
landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis”.5
Dalam bidang tasawuf NU mengikuti Junaid al-Baghdadi, dan al-Ghazali. Untuk
kepentingan membentuk sikap mental dan kesadaran bat{in yang benar dalam beribadah bagi
warga NU, maka para tokoh NU membentuk suatu badan yang bernama Jam´iyah Ahlu al-
T{ari>qah al-Muktabarah. Badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam mengikuti

2
Balek Bennabi, Islam in History and society, (Kuala Lumpur: Berita publishing, 1988), h. 24 dalam
Syamsul B, Jombang Kairo, Jombang Chichago, (Solo: Tiga Serangkai, Cet. I, 2004), h. 18. Azyumardi (edit),
Toleransi Agama dalam Masyarakat Majemuk, (Jakarta: ICRP, 2009), h. 22
3
Ahmad Khatib, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, hari Senin 6 Dzulhijjah 1276
H/1860 M dan wafat di Mekah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H/1916 M.
4
Soeleiman F, dan Mohammad S, Ontologi NU, (Surabaya: Khalista, Cet. I, 2007), h.1.
5
Abdul Muchith M, NU dalam Perspektif Sejarah, (Surabaya: Khalista, 2007) h. 24.
3

ajaran tasawuf dan tarekat”.6 Tujuannya adalah untuk memberikan arahan agar para pengamal
tarekat di lingkungan organisasi ini tidak menyimpang dari ajaran agama.7  
Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330
Hijriyah bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta. 8 Secara geografis
berbasis pada masyarakat perkotaan dengan simbol modernis. Dalam pandangan
Muhammadiyah, ajaran Islam meliputi tiga bagian pokok, yaitu iman, Islam, dan Ihsan. KH.
Ahmad Dahlan sangat menganjurkan warga Muhammadiyah mengamalkan al- akhlaqul
kari’mah. Sifat-sifatnya yang menonjol antara lain zuhud, tidak tergila-gila dan serakah
mengejar harta, bahkan hartanya dikorbankan untuk membiayai kegiatan persyarikatan,
seperti pendidikan lain. KH. Dahlan telah berhasil menjelmakan spirit ruhani dan nilai-nilai
substansial tasawuf menjadi etos kerja warga Muhammadiyah dalam melaksanakan kegiatan
sosial keagamaan. Semua pedoman yang tertulis secara organisatoris dalam Muhammadiyah,
terdapat nilai-nilai tasawuf yang bentuknya seperti spiritualitas Islam pada umumnya sesuai
tuntunan al-Quran dan al-Sunnah. Akan tetapi, bentuk spiritualitasnya terimplementasi dalam
amal usaha, misalnya sekolah, rumah sakit, koperasi, anjuran untuk bermuhasabah,
pengendalian hawa nafsu dengan menjalankan ibadah ritual, dan lain-lain. Muhammadiyah
juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, zikir dan
wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas.
Dalam praktik kehidupan spiritual antara Muhammadiyah, terdapat banyak persamaan
dan perbedaan, terutama yang berhubungan dengan praktik nilai-nilai tasawuf. Hal ini
disebabkan dalam pandangan Muhammadiyah: Pertama, praktik ajaran tasawuf sarat dengan
muatan-muatan tahayul, bid´ah dan khurafa (TBC), seperti cara amalan, taubat, zikir, uzlah,
dan lain-lain. Kedua, sebagai gerakan pembaruan pemikiran Islam lebih mengutamakan aspek
rasional dan menekankan peranan akal. Ketiga, Muhammadiyah merujuk kepada al-Qur’an
dan al-Hadist secara langsung dalam menetapkan dasar hukum. Keempat, Muhammadiyah
dalam praktik ibadah tidak mengikuti salah satu mazhab.
Muhammadiyah organisasi keagamaan terbesar dan dapat dikatakan mewakili
pandangan umat Islam di Indonesia dalam pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Dalam
pandangan Zuriatul Khairi.9 Muhammadiyah adalah penganut Islam ortodoks yang

6
Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: al-Amin, 1996), h. 85.
7
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahts al- Masail 1926-1999, (Yogyakarta:
LKiS, 2004), h. 71.
8
Musthafa, Muhammadiyah Sebagai Gerakan.., (Yogyakarta: Pelajar, Cet. 3, 2003), h.119
9
Zuriatul Khairi, Teologi Muhammadiyah dan NU, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011). h.104
4

merupakan organisasi keagamaan sangat mapan. Pada tahun 1990-an, ketika gelombang
pluralisme dan kesetaraan gender mengayun pemikiran keagamaan di Indonesia,
Muhammadiyah terikut imbasnya. Organisasi Muhammadiyah tertantang pemikirannya dalam
mensikapi realitas sosial ini, sehingga eksistensinya tetap teruji. Ternyata memang terbukti,
bisa mensikapi arus perubahan dengan baik, sehingga eksistensinya semakin mapan,
walaupun Muhammadiyah memiliki pemikiran dan sikap yang berbeda
Berdasarkan observasi dilapangan, ada pertimbangan akademik mengapa peneliti
memilih tema ini diangkat, sebagai fokus kajian: Pertama, Muhammadiyah dan merupakan
organisasi terbesar di Indonesia yang menjadi rujukan umat dalam pemahaman dan
pengamalan agama Islam. Kedua, keduanya mengakomodir nilai-nilai spiritualitas walaupun
berbeda dalam mengaktualisasikan ajaran yang terkandung dalam tasawuf. Ketiga, merupakan
dua organisasi Islam yang memiliki kemampuan kognitif dan mempelajari aneka keilmuan
tradisional dan modern secara otodidak. Keempat, kegelisahan manusia dalam menghadapi
kehidupan yang perlu mencari solusi atas permasalahnnya. Nilai-nilai tasawuf merupakan
alternatif yang dapat menjadi solusinya, sekaligus menjadi kajian tren di era modern.
Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi keagamaan terbesar dan dapat
dikatakan mewakili pandangan umat Islam di Indonesia dalam pemahaman dan pengamalan
ajaran Islam. Dalam pandangan Zuriatul Khairi.10 keduanya adalah penganut Islam ortodoks
yang merupakan organisasi keagamaan sangat mapan. Pada tahun 1990-an, ketika gelombang
pluralisme dan kesetaraan gender mengayun pemikiran keagamaan di Indonesia,
Muhammadiyah dan NU terikut imbasnya. Keduanya sama-sama tertantang pemikirannya
dalam mensikapi realitas sosial ini, sehingga eksistensinya tetap teruji. Ternyata memang
terbukti, keduanya bisa sama-sama mensikapi arus perubahan dengan baik, sehingga
eksistensinya semakin mapan, walaupun keduanya memiliki pemikiran dan sikap yang
berbeda.
Dalam kajian Ach. Tijani dalam tesisnya berjudul, Studi Disktiptif Ajaran Tarekat
Tijaniyah dalam Kitab Jawaahir al-Ma’ani, kesimpulan dari tesisnya menjelaskan bahwa
tarika Tijaniyah mempunyai empat prinsip atau pijakan filosofis yang mendasari setiap ritual
yang ada dalam tarekat Tijaniyah. Pertama, cinta. Sebagai pondasi dasar dari setiap ritual
yang ada. Kedua, kepercayaan berjumpa dengan Allah (liqa ma’a Allah). Ketiga, hakekat nur
Muhammad yang berarti menempatkan Muhammad sebagai media pengantar pada
perjumpaan kepada Allah. Keempat, pandangan mengenai kewalian yang kemudian
menempatkan syaeik al-Tijadiyah sebagai wali khatam wa katm. Sedangkan pada tataran
10
Zuriatul Khairi, Teologi Muhammadiyah dan NU, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011).
5

praktis dalam tarekat Tijaniyah yang berbentuk ritual pengamalan wirid-wirid merujuk
kepada apa yang ditalkinkan Rasulullah Saw yaitu berupa pengamalan wirid yang berbentuk
istighfar, shalawat dan hailalah. Dalam prakteknya wiridan tersebut dibagi menjadi tiga
bentuk, yaitu wirid lazim, wirid whifa, dan wirid hailalah. Adapun tarekat ini secara praktis
berpola sunni sedangkan dalam tataran teoritis metafisis condong pada tasawuf falsafi.
Persamaan dalam penelitian ini sama-sama membehas pemahaman dan pengamalan tasawuf.
Dari latar belakang diatas Sehingga timbul pertanyaan pokok : ”Bagaimana Pemahaman dan
Pengamalam Tasawuf dilingkungan kaum Elit Muhammadiyah”. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut peneliti membuat sub-sub pertanyaan, pertama bagaimana pemahaman nilai-nilai
tasawuf di kalangan elit Muhammadiyah, kedua bagaimana pengamalan nilai-nilai tasawuf
dikalangan elit Muhammadiyah, ketiga Adakah perbedaan pemahaman dan pengamalan
tasawuf di wilayah sumatera selatan.

B. Metodologi
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif artinya penelitian yang
dilakukan dengan menjelaskan, menggambarkan, dan menguraikan pokok permasalahan yang
hendak di bahas dalam penelitian ini kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif.11Prosedur
kualitatif menurut Creswel menunjukkan pendekatan yang berbeda untuk penyelidikan ilmiah
dari pada metode penelitian kuantitatif.penelitian kualitatif menggunakan asumsi-asumsi
filosofis yang berbeda, strategi penyelidikan dan metode pengumpulan data, analisis dan
interpretasi. Meskipun proses serupa, prosedur kualitatif mengandalkan data teks dan gambar,
memiliki langkah-langkah unik dalam analisis data dan menarik pada strategi yang beragam
penyelidikan.12
Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam
tentang ucapan, tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari suatu individu. 13Melalui
pendekatan kualitatif ini maka peneliti mengharapkan terangkat gambaran mengenai kualitas,
realitas sosial dan persepsi sasaran peneliti tanpa tercemar oleh pengukuran formal.Dalam
penelitian kualitatif ini peneliti mengupayakan agar kehadiran peneliti tidak merubah situasi
dan perilaku orang yang diteliti yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara.
Situasi sosial (Social Setting) suatu keadaan atau tempat dimana subjek berdomisili yang
11
Saipul Annur, Metode Penelitian, (Palembang: Grafindo Telindo Press, 2008), h. 129
12
Creswell, John W. Research Design: Qualitative, Quantitative, And Mixed Methods (Singapore:
SagePublications Asia-Pacific Pte. Ltd. 2009), h. 162.
13
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.23.
6

mempengaruhi kegaitan, keadaan, data yang berhubungan dengan prilaku subjek atau situasi
dan kondisi lingkungan tempat yang berkaitan dengan masalah penelitian.14 Sedangkan Situasi
sosial menurut Sugiono adalah tempat dimana situasi sosial tersebut akan diteliti. 15 Yang
menjadi social setting dalam penelitian adalah budaya, kebiasan, yang dilakukan oleh warga
Muhammadiyah dalam mengamalkan ajaran agama.
Subjek Penelitian key informant dalam penelitian adalah Pimpinan Harian
Muhammadiyah Wilayah Sumsel dan Pengurus Tanfiziyah Wilayah NU Sumsel, Ketua
Jami’ah Ahl Tarekat Muktabarah (Jatman) an-Nahdliyah Sumatera Selatan, Ketua Jami’ah
Ahl Tarekat Muktabarah (Jatman) an-Nahdliyah kota Palembang, Badal Tarekat Satariyah
Samaniyah Sumatera Selatan, Mudir Pondok Pesantren aulia Cendikia Banyuasin Sumatera
Selatan. Yang mana menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu”.16
Jenis Data Menurut Mc. Leod sebagaimana yang dikutip oleh Husein Umar,
pengertian data dari sudut ilmu sistem informasi sebagai fakta-fakta maupun angka-angka
yang secara relatif tidak berarti bagi pemakai tetapi data yang sudah diolah menjadi informasi
maka data tersebut memiliki arti bagi pemakai.17 Dan data ini terbagi menjadi dua Pertama
data primer yang mana data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti atau petugas-
petugasnya dari sumber pertamanya. Atau data primer adalah data yang didapat dari individu
atau perseorangan seperti hasil dari wawancara atau hasil pengisian kuesioner yang biasa
dilakukan oleh peneliti yanag bisa dilakukan oleh peneliti. Data primer pada umumnya
melalui beberapa cara, yaitu wawancara, dokumentasi, observasi. Kedua data skunder
merupakan data penunjang dari data primer yang telah di oleh lebih lanjut dan disajikan baik
oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain misalnya dalam bentuk tabel-tabel atau
diagram-diagram. Data dikumpulkan dengan cara membaca hasil penelitian atau karya orang
lain atau dokumentasi mengenai sejarah dari tempat penelitian atau dokumentasi mengenai
situasi dan subjek penelitian yang diteliti peneliti berbentuk dokumen-dokumen. 18Hasil
dokumentasi mengenai situasi subjek penelitian yang diteliti oleh peneliti dalam bentuk
dokumen dan e-dokumen di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah. Sedangkan sumber
data di dapat dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah serta para kader-kader
14
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial Kuantitatif dan Kualitatif (Jakarta: GP Press,
2008), h. 219.
15
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (Bandung:
Alfabeta, 2009), h. 399.
16
Sugiono, MetodePenelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 300
17
Husien Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2008), h. 4
18
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 39
7

Muhamamdiyah.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan Pertama, observasi
dengan terjun langsung kelapangan secara sistematis terhadap objek yang diteliti oleh
peneliti.19Metode ini digunakan langsung terhadap objek penelitian, hal yang berkaitan
dengan Pada observasi partisipan ini, peneliti mengamati aktifitas-aktifitas sehari-hari objek
penelitian, karakteristik fisik situasi sosial dan bagaimana perasaan pada waktu menjadi
bagian dari situasi tersebut. Selama peneliti di lapangan, jenis observasinya tidak tetap. Hasil
observasi dalam penelitian ini, dicatat dalam catatan lapangan, sebab catatan lapangan
merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Pada penelitian kualitatif,
peneliti mengandalkan pengamatan dan wawancara dalam pengumpulan data di lapangan.
Pada waktu di lapangan membuat catatan, setelah sampai diruang kerja baru menyusun
catatan lapangan (apa yang dikerjkan). Kedua wawancara bertujuan memperoleh bentuk-
bentuk tertentu informasi dari semua responden, tapi susunan kata dan urutannya disesuaikan
dengan ciri-ciri responden.20Wawancara dilakukan dengan Pimpinan Harian Muhammadiyah
Wilayah Sumatera Selatan periode 2010-2015 berkenaan dengan rumusan pemahaman dan
pengamalan nilai-nilai tasawuf. Dalam wawancara yang tidak terstruktur, peneliti belum
mengetahui secara pasti data apa yang diperoleh, sehingga peneliti lebih banyak
mendengarkan apa yang diceritakan oleh responden. Ketiga Dokumentasi adalah cara
mengumpulkan data melalui peninggalan yang tertulis seperti arsip-arsip, buku dan lainnya.
Metode dokumentasi ini biasa digunakan untuk mengumpulkan data tentang jumlah penduduk
dan letak geografis wilayah penelitian.21Dokumentasi yang dikumpulkan mengenai
pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai tasawuf di kedua organisasi di wilayah Sumatera
Selatan. Sedangkan pengolahan data dan analisis data menggunakan teknik Miles dan
Huberman. Teknik analisa data dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 22
dengan langkak-langkah sebagai berikut: Pertama Reduksi data. Kedua, Penyajian data.
Ketiga, Penarikan Kesimpulan.

C. Pembahasan
1. Pemahaman Nilai-Nilai Tasawuf Di Kalangan Elit Muhammadiyah Sumatera
Selatan

19
M . Iqbal Hasan, Pokok-Pokok statistic I, (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 17
20
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 2011), h.180-181.
21
Anas Sujiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), h. 76-90

22
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, ( Jakarta: Raja Grafindo Peersada, 2016), h. 180
8

Memahami dan mengamalkan agama pada era modern ini memiliki tantangan yang
sangat kompleks, hal ini disebabkan makin banyaknya pemahaman dan pengamalan yang
berbeda-beda terhadap nilai-nilai agama itu sendiri, termasuk nilai-nilai yang terdapat dalam
tasawuf. Dalam pergaulan antar organisasi keagamaan, semakin hari semakin merasakan
intensnya pertemuan tokoh-tokoh untuk mencari titik persamaan dan mempersempit jurang
perbedaan. Secara individu hubungan antar tokoh agama di Indonesia umumnya dan di
Sumatera Selatan khususnya, menunjukkan suasana yang semakin baik, namun pada
tingkatan pemahaman teologis yang merupakan dasar dari agama muncul gesekan khususnya
berhubungan dengan pemahaman dan pengamalannya.
Amin Abdullah menyatakan perlunya sikap keberagamaan yang evaluatif progresif
untuk saling memahami dan menghormati perbedaan yang ada, baik di antara sesama muslim
sendiri, maupun dalam hubungan muslim-non muslim. Sikap keberagamaan era sekarang
tidak dapat menyalin atau mengkopi dengan begitu saja sikap dan keberagamaan abad tengah
yang pre-scientific… bukan untuk meninggalkan “wahyu” atau agama, tetapi untuk
merumuskan suatu rumusan etika keberagamaan Islam yang lebih fresh, dialogis, pluralitis,
challenging dan applicable dalam masyarakat kontemporer23. Amin menjelaskan, secara garis
besar keadaan tas{awu>f di Indonesia ada dua macam, yaitu: Pertama, pola tasawuf yang
berorientasi kepada kepuasan subjektif, yaitu seperti yang dilaksanakan di kalangan tarekat-
tarekat. Kedua, pola tasawuf yang berorientasi kepada kepuasan amal sosial. 24 Bahkan
menurutnya “Dalam era modernitas sekarang ini, dunia spiritualitas sebenarnya tidak harus
mempunyi keterikatan atau konotasi dengan kelembagaan tarekat atau tasawuf dalam bentuk
yang lama. Amin Abdullah mengomentari “Tasawuf muncul akibat respon terhadap pola
pikir yang terlalu kering dengan nilai, kedalam sepiritualitas” tidak heran juga masalah
tasawuf yang masih berkutat dengan keasyikan berkhalwat dengan Tuhan menjadi lupa
dengan masalah sosial.25
Sejalan dengan hasil wawancara dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah bahwah
Muhammadiyah juga mengambil tasawuf dalam bentuknya yang lain. Mengingat inti dan
tujuan tasawuf adalah akhlaq al-karimah, maka Muhammadiyah lebih mengelaborasinya ke
akhlaq karimah, bukan pada tariqat yang eksistensinya sangat variatif. Sebagian tarikat dinilai
muktabarah dan sebagian yang lain dikategorikan ghairu muktabarah. Setelah diadakan
penelitian lapangan melalui wawancara terbuka, pemahaman nilai-nilai tasawuf di kalangan

23
Amin A, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pelajar, 1995), h. 153.
24
Abdullah, dalam Fajar Samson, Muhammadiyah Menuju … ibid, h.1692.
25
Amin A, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Cet. 1, (Yogyakarta: Pelajar, 2009), h. 143.
9

elit Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan26 terhadap nilai-nilai tasawuf, dapat
digambarkan sebagi berikut:
Pertama, menurut Romli SA, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera
Selatan (PWM Sumsel). Narasumber menjelaskan bahwa sebagian orang melihat
Muhammadiyah anti tasawuf, pemahaman seperti itu kemudian termanifestasikan seolah-olah
dalam bentuk kekurangakraban Muhamadiyah dengan wirid-wirid, zikir, dan tahlil secara
qauli, dan lebih mengutamakan zikir qalbi dan fi’li sehingga orang memandang kering
spiritual. Karena itu, persyarikatan perlu memberikan penjelasan tentang pemahaman
Muhammadiyah mengenai spiritualitas Islam untuk menghilangkan kesalahpahaman terhadap
Muhammadiyah. Di samping itu, persyarikatan perlu mengimbau semua warganya agar
meningkatkan pengamalan spiritualitas Islam dalam rangka pengukuhan akidah,
penyempurnaan ibadah, dan keluhuran akhlak. Aktualisasi spiritualitas Islam itu juga
bersamaan dengan kehendak mengembangkan pemikiran tajdid. Dalam Anggaran Dasar
Muhammadiyah dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan Islam, berasas
Islam, bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah, yang gerakannya melaksanakan dakwah
amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, dengan maksud dan tujuan menjunjung tinggi agama
Islam sehinga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar benarnya. Rumusan tersebut
merupakan formulasi dari esensi dan eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang
bersifat pemurnian dan pembaruan di bawah tema utama kembali pada al-Quran dan al-
Sunnah yang shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan atau membuka pintu ijtihad
untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia. Pada awalnya paham tentang Islam melekat
dengan pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya, Djindar Tamimy
menjelaskan “Ber-Muhammadiyah itu, harus bersandar kepada pengertian dan keyakinan
agama, yang meliputi: 1) Memahami sungguh-sungguh ajaran agama Islam dengan tepat. 2)
Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran agama
Islam dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa berorganisasi.
Sedangkan dari pendapat Nofrizal Nawawi wakil ketua dua PWM Sumsel, dengan
mengutip pendapat Munir Mulkhan Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Aceh tahun
1995, Muhammadiyah mulai mengintrodusir program “spritualisasi syariah”.27 Majelis
Tarjih dan pengembangan pemikiran Islam juga mengenalkan pendekatan 'irfani sebagai
salah satu metodologi pengembangan pemikiran, melengkapi dua pendekatan yang sudah
lazim, yaitu Bayani dan Burhani. Pendekatan ‘irfani’ adalah pemahaman yang bertumpu pada
26
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan, Surat Keputusan PWM Sumsel Nomor:
002/KEP/II.0/B/2011 Tanggal 07 Rabiul Awwal 1432 H/ 10 Februari 2011 M.
27
Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri, (Jakarta: Erlangga, 2003) h.73
10

instrumen pengalaman batin, zawq, qalb, wijdan, bashrah dan intuisi. Dahlan telah
menggunakan istilah-istilah berkonotasi sufistik seperti “hati suci”, “Islam sejati”, “akal suci”
dan “Qu’an suci” dalam pidatonya pada konggres Islam tahun 1921 di Cirebon dan Konggres
Muhammadiyah bulan Februari 1922. Ungkapan-ungkapan yang “bernuansa bathiniah” di
atas dalam penilaian Mukhlan merupakan “gagasan sufistik” pendiri Muhammadiyah itu.
Muhammadiyah tidak alergi terhadap dimensi experiental dalam Islam ini. Penelitian
Nakamaru di Kota Gede tahun 1970-an menemukan unsur-unsur sufi di kalangan aktivis dan
pimpinan Muhammadiyah setempat seperti praktik dzikir dan wirid, tuntunan pentingnya
mengendalikan hawa nafsu dan mengedepankan nafsu mut{mainah, serta usaha membentuk
pribadi yang ikhlas dan berakhlak terpuji.28 Sakarangpun banyak warga Muhammadiyah yang
merindukan nuansa inner  experience, terbukti dengan makin intensnya permintaan baik
secara personal maupun atas nama amal usaha Muhammdiyah terhadap pelatihan, kursus-
kursus, pelatihan pengkaderan yang mengesplorasi pengalaman spritual.
Menurut M. Idris wakil ketua empat29 PWM Sumsel. Narasumber menjelaskan bahwa
awal ilmu bagian dari hidayah dari Allah Swt sehingga menjadi paham kemudian taufik dan
ma’unah menjadi hikmah dan mengetahui rahasia sesuatu menuju berkah/ridha Allah Swt
dunia dan akherat. Muhammadiyah lebih memilih kata “ihsan” dari pada tasawuf. Sebab kata
itulah yang secara explisit bisa dijumpai disalah satu hadis Nabi Saw. Menurutnya kata ihsan
berasal dari Bahasa Arab dari kata kerja fi’il yaitu : ‫احسن – يحسن – احسا نا‬  artinya perbuatan
baik ‫ل الحسن‬X‫فع‬.30 Menurut istilah dijelaskan oleh : a). Muhammad Amin al-Kurdi, ihsan ialah
selalu dalam keadaan diawasi oleh Allah dalam segala ibadah yang terkandung di dalam iman
dan Islam sehingga seluruh ibadah seorang hamba benar-benar ikhlas karena Allah,31 b).
Imam Nawawi, ihsan adalah ikhlas dalam beribadah dan seorang hamba merasa selalu
diawasi oleh Tuhan dengan penuh khusuk, khuduk dan sebagainya.32 Ihsân meliputi semua
tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan batin, dalam ibâdah maupun
muâmalah, sebab ihsân adalah jiwa dari îmân dan islâm. Îmân sebagai pondasi yang ada pada
jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya berupa
tindakan badâniyah disebut Islam. Perpaduan antara îmân dan islâm pada diri seseorang akan
menjelma sebagai pribadi dalam bentuk akhlâq al karîmah atau disebut ihsân.33 Ungkapan
Ihsan kepada kemanusian dalam kepribadian Muhammadiyah yang dipararelkan dengan
28
Nakamura, ibid, 1983.
29
Wawancara Rabu, 14 Januari 2015 pkl. 16.00-16. 30 di Ruang Rapat PWM Sumsel.
30
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid, ibid, h. 134. Izzah Rahman Nahrowi, ibid, h. 3.
31
Muhammad A, Tanwir al-Qulub, (Singapore: al-Haramain, tt), h. 84. Hawwa, ibid, h. 318.
32
Al-Qusyairi, ibid, h. 159.
33
M. Amin, Syukur, ibid, h. 5. Kartanegara, Mulyadhi, ibid, h. 187.
11

ibadah kepada Allah Swt. menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan hablu minallah
dan hablu minannaas.
Dari hasil wawancara di atas dapat dipahami bahwa sangat wajar bila dalam
perjalannya Muhammadiyah sebagai organisasi dan gerakan sosial keagamaan tidak
menjadikan tasawuf apalagi tarekat dalam langkah gerakannya, karena dari latarbelakang
berdirinya dipengaruhi oleh gerakan tajdî>d yang dimotori Muhammad ibn 'Abd al-Wahhab
yang menekankan pemurnian akidah, sehingga gerakannya lebih bersifat puritan, Muhammad
'Abduh, lebih menekankan pemanfaatan budaya modern dan menempuh jalur pendidikan, dan
karena itu, gerakannya lebih bersifat modernis dan populis. Muhammad Rasyîd Ridhâ,
menekankan pentingnya keterikatan  pada  teks-teks  al-Qurân  dalam  kerangka  pemahaman 
Islam,  yang dikenal dengan al-Ruju>’ ila> al-Qur’an wa al-Sunnah, karena itu, gerakannya
lebih bersifat tekstual.

2. Pemahaman Nilai-Nilai Tasawuf di Kalangan Elit Nahdatul Ulama Sumatera


Selatan
Pemahaman elit NU terhadap tasawuf dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama,
menurut Abd. Amri Siregar ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama Sumatera Selatan (NU
Sumsel) masa khidmat 2012-2015.34 Narasumber mengatakan pemahaman nilai-nilai tasawuf
dalam Islam menyangkut prilaku, persepsi tentang Tuhan. Pengamalan tasawuf terwujud
harus dalam bentuk mengikuti tarekat dan ritual-ritual. Pengamalan tersebut harus bertingkat
diawali dengan taubat. Sehingga mencapai tingkatan takhalli, tahalli dan tajalli.35 Tidak
diragukan lagi, bahwa Muhammadiyah dan NU merupakan organisasi terbesar di Indonesia.
Sebagian pengamat bahkan mengklaim, keduanya merupakan organisasi kaum muslim
terbesar di seluruh dunia Islam. Kedua organisasi ini mempunyai latar belakang yang berbeda,
akan tetapi kedua organisasi besar ini tentu mempunyai kelebihan-kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Persamaan dan perbedaan-perbedaan tersebut dalam perjalanannya
merupakan upaya untuk saling mengisi dan melengkapi. Bukan saling sibuk mencari
pembenaran bagi organisasinya dan sibuk menyalahkan organisasi orang lain.
Kedua, menurut Marjohan wakil ketua dua tanfiziyah NU Sumsel masa khidmat 2012-
2015.36 Sejalan dengan narasumber yang pertama, bahwa nilai-nilai tasawuf merupakan
perilaku Nabi Muhammad sejak diutus. Untuk pengamalan harus mengikuti tarekat dan
berguru tidak boleh membantah. Kehidupan dunia harus diimbangi dengan akherat. Guru
34
Wawancara hari Rabu, 11 Maret 2015 Pkl. 15.00 di Kantor Sekretariat PW NU Sumsel.
35
Yunasril Ali, Pilar-Pilar Tasawuf, ibid, h. 194.
36
Wawancara Rabu, 11 Maret 2015 Pkl. 14.00 di Kantor Sekretariat PW NU Sumsel.
12

mempunyai peranan penting dalam mengantarkan muridnya kepada tahapan ma’rifat.


Sehingga tata kerama etika yang mendasari komunitas masyarakat tarekat adalah atas dasar
hormat kepada guru berdasarkan tuntunan syariat Islam. Adab, sopan santun serta tata krama
murid kepada mursyid menurut syeikh Najmuddin Amin al-Qurdi dalam kitabnya, Tanwirul
Qulub  ada dua puluh tujuh, diantaranya yaitu: a. Murid harus menghormati mursyidnya lahir
batin, b). Murid harus menyerahkan diri, tunduk, dan rela kepada mursyidnya, c). Murid harus
berhidmat dengan tenaga dan harta, d). Murid tidak boleh menentang atau menyangkal
sesuatu yang diperbuat mursyidnya e. Murid tidak boleh mempunyai pamrih kepada
mursyidnya.37
Ketiga, menurut Amin Suyitno wakil ketua tiga tanfiziyah NU Sumsel masa khidmat
2012-2015.38 Narasumber sangat akomodatif terhadap nilai-nilai dan pengamalan tas{awu>f.
Pemahaman keagamaan yang hanya didasarkan pada dalil-dalil dan aturan-aturan yang
menjadi sumber pengalaman agama hanya akan menciptakan pemahaman agama yang kering
dan tanpa penghayatan. Dengan kata lain, pengalaman keagamaan hanya dilakukan atas dasar
formalitas dan rutinitas belaka. Model pemahaman semacam ini bisa jadi akan semakin
menjauhkan seorang penganut agama tertentu dari inti dasar atau nilai substansial dari
tuntutan agamanya. Eksistensi sufisme dapat menggerakakan manusia untuk mempertanyakan
hakikat kehidupannya. Nilai-nilai sufisme dapat mengembalikan manusia kepada identitas
kemanusiaannya, tasawuf adalah spirit yang mengilhami setiap manusia untuk melakukan
dialektika dengan misteri kehidupannya, serta menjadi spirit dialog antar umat beragama dan
dialektika kebudayaan dan peradaban. Dalam sufisme, tarekat laiknya sebuah madrasah yang
menuntun seorang mutasawwif untuk menjernihkan kerumitan hatinya dari tujuh nafsu:
ammârah bi al-sû‟, lawwâmah, mulhamah, mutmainnah, râdîyah dan mardîyah.
Keempat, menurut Periansya wakil ketua empat tanfiziyah NU Sumsel masa khidmat
2012-2015.39 Menurut narasumber ini untuk mencari kebahagiaan perlu dengan spiritual atau
tasawuf, zikir disetiap saat dan waktu. Namun narasumber ini menjelaskan mengikuti tasawuf
tidak menjadi keharusan. Tarekat merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mencapai
kebahagiaan itu. Mengikuti tarikat tidak terikat oleh satu saja, Antara NU dan
Muhammadiyah tidak ada masalah yang prinsip, bahkan kalangan pengurus pusat baik
Muhammadiyah maupun NU sudah nampak rukun, bergandengan tangan, bahkan harmonis,
walaupun di akar rumput atau pada masyarakat bawah kadang kala masih terjadi sedikit

37
M. Sayuti, Politik Tarekat…, (Yogyakarta: Galang Press, 2011), h. 171. Suhrawardi, Awa’arif al-
Ma’arif, Pent. Ilma Nugraha Ismail, Cet. 1, (Bandung: Hidayah, 1998), h. 41.
38
Wawancara Kamis, 4 Juni 2015 Pkl. 09.00 di KPA UIN Raden Fatah Palembang.
39
Wawancara Rabu, 11 Maret 2015 Pkl. 16.00 di Sekretariat PW NU Sumsel.
13

perbedaan. Hal tersebut perlu dipahami dan dimaklumi karena memang keduanya mempunyai
perbedaan baik latar belakang kelahirannya, basis massanya, maupun cara dalam penetapan
dan pemahaman hukum.
Kelima, menurut Achmad Sjaifuddin Zuber wakil ketua enam tanfiziyah NU Sumsel
masa khidmat 2012-2015.40 Narasumber sangat akomodtif dalam masalah tas{awu>f. Setiap
manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjadikan dirinya berbudi-pekerti luhur, lebih baik dari
keadaannya sekarang. Tahap terakhir, setelah seseorang telah mampu menguasai dirinya,
dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka sudah barang tentu hatinya
menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai
seseorang, yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya nur Ilahi dalam hatinya.
Dalam keadaan yang demikian ini, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq dan bisa mengenal Allah Swt. Di sinilah
letak kesempurnaan manusia, tajalli sebagai kristalisasi nilai-nilai religio-moral dalam diri
manusia yang berarti melembagakan nilai-nilai Ilahiyah yang selanjutnya akan direfleksikan
dalam setiap gerak dan aktivitasnya. Pada tingkatan ini seseorang yang telah mencapai tingkat
kesempurnaan dapat merealisasikan potensi keilahiannya dalam wujud akhlak-budi pekerti
yang luhur.
Keenam, menurut Ahmad Zainuri wakil ketua tujuh tanfiziyah NU Sumsel masa
khidmat 2012-2015.41 Istilah-istilah dalam dunia tasawuf, seperti zuhud dapat dijadikan
benteng untuk membangun diri dari dalam sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya
materi. Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti sifat qana’ah dan syukur, yakni
menerima nikmat dengan lapang dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya.
Demikian juga halnya seorang sufi yang ada pada maqam faqr, segala tindakan dan
gagasannya tidak dimotivasi oleh kepentingan pribadi tetapi dimotivasi oleh kepentingan
umum dan bersifat jangka panjang. Karakter-karakter tersebut secara substansial memiliki
beberapa kesamaan dengan karakter yang ada pada seorang yang mengaktualisasikan diri
secara lebih efisien. Dalam pengertian, bahwa ia hanya akan melakukan sesuatu yang
memang seharusnya dilakukan, bukan atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu yang
bersifat sesaat. Melihat realitas secara obyektif dan apa adanya, serta memilah secara tegas
antara kebenaran dan kesalahan. Maqam sabr, tawakkal dan ridla adalah juga karakter
signifikan yang memiliki kerupaan dengan karakter aktualisasi diri. Seorang yang sabar,
tawakal, dan ridla akan senantiasa konsisten terhadap kecenderungan dasarnya yaitu

40
Wawancara Rabu, 11 Maret 2015 Pkl. 15.30 di Sekretariat PW NU Sumsel.
41
Wawancara Sabtu, 21 Maret 2015 Pkl. 16.00 di Hotel Grand Zuri Muara Enim.
14

kebenaran. Segala sesuatu yang terjadi dan menimpa pada dirinya akan diterima secara apa
adanya. Sehingga ia akan senantiasa merasa tenang, tenteram dan bahagia, meskipun hidup
dalam kesusahan. Kebaikan dan keburukan yang menimpanya diterima sebagai wujud
kecintaan Tuhan pada dirinya. Semua dihadapi dengan rasa syukur dan bahagia yang tak
terhingga. Sikap sabar, tawakal dan ridla juga mengandung arti perasaan nyaman dan penuh
kebahagiaan yang senantiasa segar dan berkelanjutan, jauh dari rasa bosan dan jenuh terhadap
situasi yang dialami atau sesuatu yang dimiliki. Memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap
pengaruh lingkungan dan budaya yang ada di sekelilingnya. Ia merupakan pribadi yang
otonom dan mandiri, memiliki gagasan-gagasan yang bebas tanpa dipengaruhi kepentingan-
kepentingan atau tendensi-tendensi dari luar dirinya.42 Yang perlu diketahui bahwa sifat-sifat
itu merupakan bekal menghadapi kenyataan hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif,
seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, eksklusif dan menarik diri dari keramaian dunia,
tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah, yakni
membawa fungsi kekhalifahan, yang berarti sebagai pengganti Tuhan, pengelola, pemakmur
dan yang meramaikan dunia ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sikap batin dalam menyikapi
keadaan masing-masing individu.
Untuk mendapatkan informasi lebih dalam, peneliti mengadakan wawancara antara
lain dengan:
Pertama, menurut Mardi Abdullah wakil rais Syuriyah NU Sumsel masa khidmat
2012-201543. Menurut narasumber, seorang yang bertasawuf harus bertarekat dan mesti
berguru. Adab dengan guru tersebut antara lain: a). Seorang murid harus memiliki keyakinan,
bahwa maksud dan tujuan suluknya tidak mungkin berhasil tanpa perantaraan gurunya. b).
Harus pasrah... c)...harus berlari dari semua hal yang dibenci gurunya dan turut membenci apa
yang dibenci gurunya d. Jangan tergesa-gesa memberikan atau mengambil kesimpulan e).
Merendahkan suara di majelis gurunya… f). Kalau berniat menghadap guru jangan
sekonyong-konyong, atau tidak tahu waktu... g). Jangan menyembunyikan rahasia di hadapan
guru, tentang kata hati, impian, kasyaf... h). Tidak boleh menukil pernyataan guru kepada
orang lain, kecuali sekedar yang dapat dipahami oleh orang yang diajak bicara... i). Jangan
menggunjing, mengolok-olok, mengumpat memelototi, mengkritik dan menyebarluaskan aib
guru kepada orang lain. Dan murid tidak boleh marah ketika maksud dan tujuannya dihalangi
oleh guru. Dengan bimbingan guru seorang murid akan dapat menuju yang diinginkannya.
Narasumber menjelaskan Tarekat secara harfiyah berasal dari bahasa Arab yaitu al-Tharīqah

Ibid, h 122
42

43
Wawancara diadakan hari Sabtu 18 Maret 2015 pkl. 20.00 di Hotel Gran Zuri Muaraenim.
15

yang berarti jalan, keadaan, aliran atau garis pada sesuatu. 44 Adapun menurut istilah tasawuf,
tarekat berarti perjalanan seorang salik menuju Allah dengan cara menyucikan diri atau
perjalanan khusus bagi para seseorang yang menempuh jalan menuju kepada Allah Swt.
Perjalanan ini mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk-beluknya. Dengan tujuan
ingin bertemu langsung dengan sang Khāliq.45 Secara turun-temurun sampai kepada guru-
guru, sambung-menyambung dan rantai berantai. 46 Temuan pada penelitian ini sejalan dengan
kajian penelitian Katkova yang mengungkapkan bahwa seseorang yang berguru harus
mendapatkan contoh dan kontak pribadi dengan syekh secara langsung.47
Kedua, menurut KH. As’ad KH. Balqi ketua Jamiat ahlu at-Tarekat al-Muktabarah
an-Nahdliyah Sumatera Selatan (Jatman Sumsel).48 Sejalan dengan pendapat wakil Rais
Syuriyah, menurut narasumber seorang yang ingin mendalami tasawuf harus bertarekat dan
mengikuti maqam-maqam yang telah ditentukan. Sebagian orang berasumsi yang menempuh
kehidupan tasawuf cenderung memiliki semangat kerja rendah, yang dan berdampak pada
kemiskinan. Hal ini disebabkan karena di dalam tasawuf ada ajaran yang melemahkan etos
kerja seseorang. Misalnya ajaran tasawuf tentang zuhd, ‘uzlah tawakkal, qanâ’ah, faqîr dan
amalan lainnya. Ditambah lagi dengan kebiasaan membaca zikir, wirid dan doa yang amat
menyita waktu, sehingga mengurangi kesempatan untuk berkarya guna mematuhi kebutuhan
material. Benarkah orang yang menempuh kehidupan tasawuf memiliki etos kerja rendah,
malas bekerja sehingga taraf hidupnya menjadi miskin dan terbelakang. Hal ini perlu
dibuktikan dengan penelitian untuk mengetahui kebenarannya. Untuk dapat mengamalkan
ajaran tarekat harus dimulai dengan proses talqin dan bai’at49. Talqin adalah peringatan guru
kepada murid, seseorang yang sudah bertalqin berarti sudah masuk dalam silsilah (lingkaran)
pengamal ajaran tarekat. Sedangkan bai’at adalah kesanggupan dan kesetiaan murid di
hadapan mursyidnya untuk mengamalkan dan mengerjakan segala kebajikan yang
diperintahkan mursyidnya. Khataman adalah menamatkan atau menyelesaikan pembacaan
aurad (wirid-wirid) yang dilakukan seminggu sekali. Manaqib adalah pembacaan penggalan
sejarah hidup Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan amalan-amalan lain yang dilakukan minimal

44
Rasihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 165.
45
Zainul Adzfar, Epistemologi Pengalaman Keagamaan…, (Suryalaya: 2006), h. 89.
46
Aboe Bakar Aceh, ibid, h. 67.
47
I. R. Katkova, “Sufi Authority in ‘Post-Modern’ Muslim Societies” (KALAM, 2020),
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/5908/4118.
48
Wawancara, Jum’at, Mei 2015 pkl. 13.00 di Masjid Ikhlas Jalan Talang Banten Palembang.
49
Suhrawardi, Awa’arif al-Ma’arif, Cet. 1, (Bandung: Hidayah, 1998), h. 279. Bai’at dapat juga
diartikan transaksi jual beli dengan berjabat tangan menyatakan bahwa akad yang telah disetujui kedua bela
pihak (Purmansyah A, Konsep Bai’at… Cet. 1, (Palembang: Tunas Gemilang, 2012), h. 24. Choiruddin,
Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 182.
16

satu bulan sekali. Di samping itu, ada tradisi ziarah, uzlah, khalawat dan lain-lain.
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber yang kedua maka penelitian ini sejalan
dengan penelitian oleh Ihsan, Mudin dan Sahidin, dimana mereka mengungkapkan bahwa al-
Jilani seorang ulama sufi mengintegrasikan zuhd dengan gerakan islâhnya yaitu memaknai
zuhd yang benar; dalam Pendidikan dan pengajaran; dan dalam ceramah dan dakwahnya.50
Dari hasil wawancara di atas, pemahaman tasawuf di kalangan elite NU Sumatera
Selatan terbagi kepada dua kategori, yaitu menerima secara mutlak, akomodatif terhadap
tasawuf, pluralis dalam artian bebas memilih menurut pemahaman para anggota masing-
masing.
.
3. Perbedaan Pemahaman Tasawuf Di Wilayah Sumatera Selatan
Yûsuf al-Qardhâwî menjelaskan bahwa, agama Islam memiliki beberapa karakteristik,
di antaranya adalah wasatîyah atau tawâzun, yaitu sikap seimbang antara kehidupan material
dan spiritual.51 Ini berarti setiap Muslim harus dapat menyeimbangkan antara kehidupan
material yang bersifat duniawi dan kehidupan spiritual yang berorientasi akhirat.
Perbedaan dalam pemahaman dan pengamalan tasawuf merupakan suatu keniscayaan.
Pengalaman yang disebut Durheim the sacred dan the profane. Kedua pengalaman tersebut
dikategorikan sebagai pengalaman sakral atau pengalaman iman dan pengalaman yang
sekuler. Menurut Durkheim pengalaman yang sakral mempunyai ciri-ciri spesifik. Pertama,
pengalaman itu menyerukan suatu pengakuan atau kepercayaan pada kekuasaan dan kekuatan
supra natural yang menjadi inti dari sikap keberagamaan atau ketakwaan. Kedua, pengalaman
sakral biasanya bersifat samar dan berwajah ganda, bersifat fisik sekaligus moral, bersifat
manusiawi tetapi juga bersifat kosmik, beraura positif sekaligus negatif, memiliki jiwa
pengasih sekaligus pembenci, menarik dan sekaligus menyebalkan, bersifat menolong dan
sekaligus membahayakan manusia. Ketiga, pengalaman sakral pada dasarnya tidak bersifat
utilitarian yang mengandalkan prinsip untung dan rugi. Keempat, pengalaman sakral biasanya
bersifat non empiris dan tidak terlalu melibatkan ilmu pengetahuan (scientific knowledge)
yang dihasilkan melalui berbagai metodologi penelitiannya. Kelima, pengalaman yang sakral
bersifat mendukung, memberi kekuatan, menanamkan rasa hormat yang luhur serta
mendatangkan kewajiban etis bagi mereka yang mengalaminya.52

50
A. Ihsan, N.H., Mudin, M.I., Sahidin, “Implementation of Zuhd in the Islâh Movement of Shaykh Abdul Qadir
Al-Jilani ( D . 561 H ./ 1161 CE .)” 9, no. 2 (2017): 169–170,
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/madania/article/view/4340/pdf.
51
Yusuf Qardhawi, Karakteristik Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 12.
52
Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tas{awu>f, (Bandung: Mizan, 1996), h. 65.
17

Pengalaman yang sakral berada di dalam lingkup pengalaman manusia yang luar biasa
dan biasanya dialami terutama pada saat manusia sampai pada bataskemampuannya atau
suatu titi putus. Dalam keadaan di mana akal sehat dan ilmu pengetahuan sampai pada jalan
buntu. Pada saat manusia tidak mampu lagi memahami dan menjelaskan apa yang dialami,
terutama apabila manusia berhadapan dengan kekecewaan dan kematian. 53 Menurut Joachim
Wach ada dua cara untuk meneliti mengenai hakikat pengalaman keagamaan. Cara pertama
adalah dengan menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte atau aliran pemikiran keagamaan
itu sendiri. Cara kedua adalah dengan mengajukan pertanyaan di mana aku, yaitu lingkungan
potensial di mana pengalaman perseorangan berlangsung.54
Wach, yang juga dikutip Hendropuspito menjelaskan lima kriteria yang menjadikan
suatu pengalaman, dapat dikatakan sebagai suatu pengalaman sakral atau pengalaman
keagamaan. Pertama, pengalaman keagamaan merupakan suatu tanggapan terhadap
apa yang dihayati sebagai suatu realitas mutlak. Realitas tersebut mempunyai ciri
sebagai suatu pengikat dan menentukan segalanya, maka pengalaman yang terbatas
sifatnya tidaklah dapat dianggap sebagai suatu pengalaman keagamaan, mungkin
hanya pseudo agama. Kedua, pengalaman keagamaan menyangkut suatu penghayatan
yang didalamnya terdapat hubungan dinamis antara objek yang dihayati dengan orang
yang menghayatinya. Ketiga, kesinambungan pengalaman keagamaan, tanpa terputus.
Keempat, pengalaman keagamaan mempunyai intensitas tertentu, pengalaman tersebut
secara potensial adalah pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, berkesan, dan
mendalam yang sanggup dimiliki oleh manusia. Kelima, pengalaman keagamaan
diungkapkan di dalam perbuatan. Hal tersebut dapat dipandang sebagai motivasi dan
dorongan yang kuat untuk berbuat sesuatu.55

Secara sosiologis, tasawuf tidak hanya dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan
terhadap dunia adikodrati yang bersifat ilahi (belief system) yang bersifat pribadi, namun juga
berkaitan dengan nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, perilaku-perilaku, ritual-ritual
dan simbol-simbol yang bersifat sosial. Sampai tingkat tertentu, tasawuf berkaitan erat dengan
konstruksi sosial dan budaya yang merupakan refleksi dari tatanan kehidupan masyarakat
yang mendukungnya. Pemahaman semacam itu dianut oleh pendukung faham fenomenologis
seperti Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Dalam pandangan mereka semua realitas
sosial, termasuk agama, terbentuk sebagai hasil interaksi dialektis dari proses eksternalisasi-
objektivasi-internalisasi. Dalam The Social Construction of Reality, Berger dan Luckman
menyatakan, bahwa sebenarnya masyarakat adalah suatu gejala dialektis yang merupakan
produk manusia-manusia yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Baginya, tiada realitas
yang tidak terbentuk secara sosial dan tidak ada apapun yang tidak berdasar pada aktivitas dan
kesadaran manusia. Namun pada akhirnya manusia itu sendiri merupakan produk dari
53
Anwar Z, dalam Abdullah S, Ritual Pengikut Tarekat Teosofi-Volume 1 Nomor 2 Des. 2011, h. 7.
54
Huston S, Kebenaran yang Terlupakan.., Pent, Ridwan M (Yogya: IRCiSoD, 2001), h. 56.
55
Smith, ibid, h. 59.
18

masyarakatnya.56
Peter Berger mengatakan “… man not only produces a world, but also he produces
himself. More precisely, he produces himself in a world”. 57 Akibat dari proses tersebut,
lahirlah produk manusia yaitu culture. Agama, dalam pandangan Berger, suatu non-material
culture yang dihasilkan oleh manusia, dan disuci. Dalam perkembangan selanjutnya,
kebudayaan hasil ciptaan manusia itu, baik yang material maupun yang immaterial, berubah
menjadi suatu realitas yang berada di luar penguasaan penciptanya. Realitas tersebut
kemudian berubah menjadi suatu realitas objektif, yang berada di luar diri manusia. Proses
perubahan kebudayaan dari fakta subjektif menjadi fakta objektif disebut sebagai proses
objektivasi. Nicholson mengatakan, “…Religious legitimation purports to relate the humanly
defined reality to ultimate, universal and secred reality”. Sebagaimana kebudayaan umumnya
agama mempunyai fungsi sebagai rambu-rambu atau reminders bagi individu agar tidak
merusak keteraturan dan kesucian yang bersifat kosmis tadi. Legitimasi agama nampak sangat
jelas dan kuat terutama dalam situasi-situasi kritis, baik yang menimpa individu seperti
kematian, sakit, kemalangan, dan lain-lain, maupun yang menimpa kelompok seperti perang
dan malapetaka dan bencana alam.58
Menurut Dadang Kahmad setiap individu yang masuk menjadi penganut agama
tertentu akan berhadapan dengan suatu lembaga agama sebagai suatu realitas objektif. Ia
dituntut untuk berperilaku sesuai dengan nilai, norma, serta ritus agama yang bersangkutan…
Peran tersebut terwujud dalam tiga fungsi penting. Pertama, memberi perspektif transendental
terhadap pengalaman-pengalaman manusia. Kedua, menjadi rambu-rambu pengingat
(reminders) bagi setiap anggota masyarakat dalam menjaga keteraturan sosial (nomos).
Ketiga, menciptakan solidaritas sosial di antara individu-individu di dalam suatu
masyarakat.59
Weber dalam, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, menjelaskan etika
protestan ikut mendorong lahir dan berkembangnya ekonomi kapitalisme. Agama juga ikut
mempengaruhi pembangunan tatanan politik berbagai masyarakat di dunia seperti yang
dibahas oleh Donald Eugene Smith. Bahkan di berbagai masyarakat, agama sering
diidentikkan langsung dengan tatanan masyarakat sendiri itu sendiri, karena agama dianggap
sebagai refleksi dari masyarakat yang mendukungnya. Religiusitas merupakan “…interest
and participation in religious activities…”. kata religiusitas tersebut diartikan sebagai tingkat
56
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat…, Pent. Sigit J, (Yogyakarta: Pelajar, 2004), h. 91.
57
Reynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 108.
58
Nicholson, Mistik .., ibid, h. 110.
59
Dadang K dalam Abdullah S, Ritual Pengikut Tarekat Teosofi, vol. 1 No. 2 Des. 2011, h. 15.
19

partisipasi orang secara individual maupun kolektif dalam upacara-upacara keagamaan atau
dalam keseluruhan perilaku atau sikap yang menjadikan seseorang atau sekelompok orang
disebut saleh dan beragama.60
Tetapi menurunnya religiusitas dalam masyarakat modern, bukan suatu suatu yang
mustahil. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi serta rasionalitas masyarakt modern,
memberikan corak khas tersendiri bagi praktik keagamaan. Bagi kaum religius, menurunnya
tingkat religiusitas manusia modern tersebut, disebut sebagai proses sekularisasi, sebagai
suatu gejala yang negatif dan harus dihindari, karena pada dasarnya akan menciptakan suatu
masyarakat yang sekuler, yaitu: “…suatu masyarakat yang nilai-nilai primernya adalah
utilitarian dan rasional, dan masyarakat tersebut menerima bahkan menganjurkan perubahan
dan penemuan-penemuan. Sebagai kebalikan dari masyarakat suci, yang adikodrati, atau nilai-
nilai yang diasosiasikan dengan tradisionalisme”.61 Robert N. Bellah dalam, Beyond Belief,
menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat Amerika masyarakat yang biasanya diidentikkan
dengan masyarakat sekuler ternyata masih membutuhkan keyakinan akan Tuhan, agama atau
spiritualitas, meskipun interpretasi dari Tuhan dan agama ini sangat berbeda dari pengertian
Tuhan dan agama sebagaimana yang ada pada agama konvensional. Bellah mengistilahkan
spiritualitas seperti ini dengan agama civil (civil relegion), karena para penganutnya
memasukkan kesadaran spiritualitasnya ke dalam ruang yang lebih umum, konsep Tuhan
digeneralisir, dalam pengertian bahwa meskipun orang berbeda agama, akan tetapi mereka
dapat mempunyai konsep Tuhan yang sama.62
Peter Berger dalam, A Rumor of Angels menjelaskan pengertian sekularisasi. Pertama,
lunturnya kepercayaan dan perilaku umat Kristiani di dalam masyarakat modern. Kedua
pergeseran motivasi orang-orang yang melakukan suatu perilaku dan partisipasi keagamaan.
Selama agama dipandang sebagai suatu sikap terhadap dunia suci dan selama agama
dipandang sebagai sebuah institusi sosial yang mewadahi religiusitas manusia, termasuk
religiusitas manusia modern, selama itu pula agama dibutuhkan. Agama mengisi sisi spiritual
manusia yang tidak mungkin dipenuhi oleh rasionalitas dan ilmu pengetahuan. William
James, mengatakan agama akan selalu ada selagi manusia memiliki rasa cemas.
Dalam kacamata epistemologis, agama menolak paham absolutisme dan akan memilih
apa yang oleh Seyyed Hossein Nasr sebagai relatively absolute. Absolut dikarenakan agama
mempunyai klaim dan orientasi keilahian. Manusia mustahil hidup tanpa nilai spiritual.
60
Theodorson dalam Tosun Bayran al-Jerrahi, The Secret of Secrets, terj. Joko SK (Risalah Gusti), h. 87
dalam Abdullah S, Ritual Pengikut Tarekat, Teosofi-Volume 1 Nomor 2 Des. 2011, h. 16.
61
Theodorson, Sirr al-Asrâr, ibid, h. 17.
62
Harold H.T, Persoalan-Persoalan Filsafat, Pent. Rasidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 78.
20

Masyarakat dapat hidup dalam tatanan sistem baru, tetapi ruhiyahnya tetap kembali kepada
fitrah Ilahi. Peranan tasawuf sangat urgen membantu masyarakat modern dalam memenuhi
kebutuhan spiritualitasnya, sekaligus menghadirkan solusi dalam menghadapi persoalan yang
dihadapi masyarakat.
Perbedaan tentang pemahaman, keagamaan merupan sesuatu yang biasa dan banyak
terjadi, termasuk antara Muhammadiyah dan NU. Problem yang timbul sebagai akibat
perbedaan itu, untuk mencari titik temu. Dalam menyikapi persoalan tasawuf antara kedua
organisasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Muhammadiyah dan NU memiliki berbagai
beragam persamaan dalam permasalahan keagamaan antara lain:
Pertama, akomodaif terhadap nilai-nilai tasawuf. Baik Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah maupun Pengurus Wilayah NU Sumatera Selatan, sangat akomodatif
terhadap nilai-nilai spiritual seperti tasawuf, walaupun penamaan berbeda. Di kalangan
Muhammadiyah, bentuk spiritualitas disebut akhlak karimah, ihsan dan lain-lain. Sedangkan
dalam NU menggunakan terminologi tasawuf. Keduanya sepakat akan pentingnya
spiritualitas dan merupakan unsur esoteris dalam ajaran Islam, di samping aspek eksoteris.
Aspek tersebut harus berjalan seimbang dan sesuai dengan syariah.
Kedua, Muhammadiyah dan NU tergolong kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Mereka sama-sama berdasarkan al-Quran dan al-Hadis dalam menetukan suatu hukum,
walaupun Muhammadiyah mengambil hukum langsung kepada al-Quran, al-Sunnah
maqbulah, sedangkan NU mendahulukan kitab-kitab yang muktabar.
Ketiga, keduanya menggunakan metode ijtihad dan pendekatan dalam menentukan
masalah duniawiyah, yaitu metode ijtihad. a). Bayani, yaitu cara penggalian dan penetapan
hukum yang bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan. b). Qiyasi, metode menyelesaikan
kasus baru dengan cara menganalogikan dengan kasus hukum yang tersebut dalam al-Quran
dan al-Hadis. c). Istislahy, yaitu menyelesaikan kasus baru yang tidak terdapat dalam al-
Quran dan al-Hadis dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan
umat.63
Keempat, dalam bidang fiqh mereka mempunyai lembaga untuk mengkaji
permasalahan keagamaan. Muhammadiyah mempunyai satu lembaga yang khusus menaungi
persoalan-persoalan yang menyangkut ibadah dan mu'amalah. Lembaga tersebut bernama
Majelis Tarjih atau Lajnah Tarjih.64 Tarjih berasal dari kata-rojjaha-yurajjihu-tarjihan, yang
berarti mengambil atau memilih salah satu dalil lebih kuat dari dua dalil yang berlawanan
Muhammad, Azhar, Fiqh Peradaban, Cet. 1, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 108.
63

64
Majelis ini bertugas melakukan penelitian dalam bidang ilmu agama dan hukum Islam. (PP.
Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih, J. 2, h. 212-218 dan Jilid 3 h. 225-235).
21

setelah memperhatikan kedudukan substansi dari masing-masing dalil. Pada dasarnya tidak
ada pertentangan atas dalil-dalil syara’. Adanya pertentangan dalil itu sebenarnya berdasarkan
pandangan atau pemahaman para mujtahid.65 Dalam hubungan ini, konsep tarjih muncul bila
terjadi pertentangan dua dalil secara lahiriyah yang derajatnya sama dan tidak dapat
diselesaikan dengan al-Jumu’a wa al-Tanfiq.66 Dalam struktur organisasi, NU memiliki suatu
Lembaga Bahtsul Masail (LBM),67 berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama. Fiqih
merupakan tuntunan praktis dalam mempraktekkan agama dalam berbagai bidang kehidupan,
Kedudukan fiqih sebagai unsur penting dalam membentuk struktur nilai dan pranata sosial ini,
menempatkannya dalam posisi yang strategis bagi upaya perubahan. Kerja dari LBM, yaitu:
Pertama-tama semua masalah yang masuk ke lembaga diinventarisir, kemudian disebarkan ke
seluruh ulama, anggota syuriah dan para pengasuh pondok pesantren yang ada di bawah
naungan NU. Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap masalah itu dan
dicarikan rujukan dari pendapat-pendapat ulama mazhab melalui kitab klasik, kemudian
diadakan pertemuan dalam satu forum untuk saling beradu argumen dan dalil rujukan.

D. Kesimpulan
Secara umum hasil penelusuran pemahaman tasawuf dalam Muhammadiyah bersifat
substantive atau nilai-nilai tasawuf yang dijumpai dalam Muqaddimah ADM, Kepribadian
Muhammadiyah, Hakekat Muhammadiyah, MKCHM, Khittah Perjuangan Muhammadiyah,
PHIWM, Zhawa>hir al-Afka>r al-Muhammadi>yah dengan menggunakan terminologi
akhlak Adapun secara substansive persamaan kedua organisasi tersebut memandang nilai-
nilai tasawuf dalam rangka taqarrub ilallah, walaupin formula dan formasinya berbeda.
Pergumulan pemikiran tasawuf elite di kalangan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Sumatera Selatan secara umum terdapat tiga sikap yaitu: Pertama, secara implisit menolak
tasawuf, kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah pasti
dan tidak boleh mengada-ada. Kedua, terbuka terhadap keberadaan tasawuf. Kelompok ini
berpendapat bahwa konsep tasawuf secara formal tidak dikenal dalam Muhammadiyah.
Dzikir dalam Muhammadiyah tidak dipahami sebagai elemen tasawuf, dzikir diajarkan dalam
Islam dan dicontohkan oleh Rasulullah. Ketiga, akomodatif. Kelompok ini beranggapan

65
Abdul Karim Z, Al-Wajiz fi Ushul al-Figh, Cet. VI, (Bahdad: al-Dar al-Arabi, 1977), h. 397.
66
Romli SA, Ushul Fiqh 1…, Cet. 2, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2012), h. 257.
67
Bahsul Masa’il berasal dari bahasa Arab yang secara harfiyyah berarti “pembahasan berbagai
masalah-masalah.” Bahsul Masa’il ini dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah NU. Forum ini bertugas mengambil
keputusan tentang hukum-hukum Islam, baik yang berkaitan dengan masa’il fiqhiyyah maupun masalah
ketauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf, (Imdadun R, Kritik Nalar Fikih NU, Transformasi Paradigma
Bahsul Masail, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), h. xi).
22

tasawuf tidak ditemui dalam Muhammadiyah, yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk
kata tasawuf adalah spiritualitas karimah, spiritualisme, ihsan.
Adapun secara substansive organisasi Muhammadiyah memandang nilai-nilai tasawuf
dalam rangka taqarrub ilallah, walaupun formula dan formasinya berbeda. Pergumulan
pemikiran tasawuf elite di kalangan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan
secara umum terdapat tiga sikap yaitu: Pertama, secara implisit menolak tasawuf, kelompok
ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah pasti dan tidak boleh
mengada-ada. Kedua, terbuka terhadap keberadaan tasawuf. Kelompok ini berpendapat
bahwa konsep tasawuf secara formal tidak dikenal dalam Muhammadiyah. Dzikir dalam
Muhammadiyah tidak dipahami sebagai elemen tasawuf, dzikir diajarkan dalam Islam dan
dicontohkan oleh Rasulullah. Ketiga, akomodatif. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak
ditemui dalam Muhammadiyah, yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk kata tasawuf
adalah spiritualitas
Pemahaman terhadap tasawuf elite di lingkungan organisasi Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama dapat dibagi dalam beberapa dua kategori, antara lain: a. Pimpinan atau
pengurus yang mempunyai pemahaman dengan pengetahuan nilai-nilai tasawuf dalam
perilaku mengerjakan amalan dalam bentuk tasawuf substantive, b. Pimpinan atau pengurus
yang mengerjakan nilai-nilai tasawuf yang teraktualisasi dalam bentuk tarekat. Pemahaman
tentang nilai-nilai tasawuf yang berbeda-beda pada pimpinan akan menghasilkan pola
pengamalan yang berbeda-beda pula. Dari pola perilaku yang berbeda menghasilkan amal
yang berbeda-beda.
Adapun Faktor lain penyebab timbulnya persamaan dan perbedaan antara lain :
Pertama, berafiliasi dengan ideologi sunni. Kedua, kedua organisasi lebih mendahulukan self
correction, dengan prinsip ta´aruf, tafa>hum. ta´awun, takaful dan tazamun. Ketiga, dalam
masalah ibadah, perbedaan kedua organisasi keagamaan ini tidak masuk yang bersifat prinsip,
tetapi furu>´iyah. Keempat, Kepentingan bersama dalam membina masyarakat dengan
pendekatan kultural. Kelima, kedua organisasi ini menganut paham aswaja. Walaupun makna
aswaja bagi keduanya berbeda dalam menerapkan nilai-nilai Aswaja itu.

Daftar Pustaka
Abdul Munir Mulkhan, Moral Politik Santri, Jakarta: Erlangga, 2013
Abdullah, dalam Fajar Samson, Muhammadiyah Menuju 2010
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta: Raja Grafindo Peersada, 2016.
23

Ahmad Khatib, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, hari Senin 6
Dzulhijjah 1276 H/1860 M dan wafat di Mekah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334
H/1916 M.
Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tas{awu>f, Bandung: Mizan, 1996.
Amin A, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pelajar, 1995.
Amin A, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Cet. 1, Yogyakarta: Pelajar, 2009.
Anas Sujiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
Anwar Z, dalam Abdullah S, Ritual Pengikut Tarekat Teosofi-Volume 1 Nomor 2 Des. 2011,
B. Hubbard, Tiga Satu Tuhan: Sebuah Dialog, Pent. Santi I, Bandung: Mizan, 1998.
Balek Bennabi, Islam in History and society, (Kuala Lumpur: Berita publishing, 1988), h. 24
dalam Syamsul B, Jombang Kairo, Jombang Chichago, (Solo: Tiga Serangkai, Cet. I,
2004), h. 18. Azyumardi (edit), Toleransi Agama dalam Masyarakat Majemuk,
Jakarta: ICRP, 2009
Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat…, Pent. Sigit J, Yogyakarta: Pelajar, 2004.
Creswell, John W. Research Design: Qualitative, Quantitative, And Mixed Methods
Singapore: SagePublications Asia-Pacific Pte. Ltd. 2009.

Dadang K dalam Abdullah S, Ritual Pengikut Tarekat Teosofi, vol. 1 No. 2 Des. 2011
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 2011.
Harold H.T, Persoalan-Persoalan Filsafat, Pent. Rasidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Husien Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008.
Huston S, Kebenaran yang Terlupakan.., Pent, Ridwan M Yogya: IRCiSoD, 2001.
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial Kuantitatif dan Kualitatif Jakarta: GP
Press, 2008
Ihsan, N.H., Mudin, M.I., Sahidin, A. “Implementation of Zuhd in the Islâh Movement of
Shaykh Abdul Qadir Al-Jilani ( D . 561 H ./ 1161 CE .)” 9, no. 2 (2017): 169–170.
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/madania/article/view/4340/pdf.
Katkova, I. R. “Sufi Authority in ‘Post-Modern’ Muslim Societies.” KALAM, 2020.
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/KALAM/article/view/5908/4118.
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid, ibid, h. 134. Izzah Rahman Nahrowi
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok statistic I, Jakarta: Bumi Aksara, 2015.
Muhammad A, Tanwir al-Qulub, (Singapore: al-Haramain, tt, 2009
Musthafa, Muhammadiyah Sebagai Gerakan.., Yogyakarta: Pelajar, Cet. 3, 2003
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Selatan, Surat Keputusan PWM Sumsel
Nomor: 002/KEP/II.0/B/2011 Tanggal 07 Rabiul Awwal 1432 H/ 10 Februari 2011
M.
Reynold A. Nicholson, Mistik dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.
24

Saipul Annur, Metode Penelitian, Palembang: Grafindo Telindo Press, 2008.


Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D
(andung: Alfabeta, 2009.

-----------, MetodePenelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D Bandung: Alfabeta, 2010.


Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Theodorson dalam Tosun Bayran al-Jerrahi, The Secret of Secrets, terj. Joko SK (Risalah
Gusti), h. 87 dalam Abdullah S, Ritual Pengikut Tarekat, Teosofi-Volume 1 Nomor 2
Des. 2011.

Wawancara Rabu, 14 Januari 2015 pkl. 16.00-16. 30 di Ruang Rapat PWM Sumsel.
Wawancara, Jum’at 16 Jan. 2015 pkl. 12.45-13.30 di Masjid Muhammadiyah Talang Jawa.
Yusuf Qardhawi, Karakteristik Islam (urabaya: Risalah Gusti, 1996.
Zuriatul Khairi, Teologi Muhammadiyah dan NU, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2011.

Anda mungkin juga menyukai