Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PENEMUAN DAN PENGEMBANGAN

OBAT

OLEH:
NELLA NOVITA
2121012021

Dosen Pengampu : Prof. apt. Henny Lucida, Ph.D

PROGRAM MAGISTER FAKULTAS FARMASI


UNIVERSITAS ANDALAS
2021
RIFAMPISIN
Infeksi tuberkulosis (TB) masih menjadi ancaman di seluruh dunia, sejak dinyatakan oleh
WHO sebagai darurat kesehatan global dari 20 tahun yang lalu. Infeksi TB terjadi karena
inhalasi aerosol dari orang yang terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri yang
terhirup mencapai bagian alveolar paru-paru tempat terjadinya patogenesis TB dimulai. WHO
masih merekomendasikan kombinasi klasik obat anti-TB lini pertama dari rifampisin, isoniazid,
pirazinamid dan etambutol, yang diberikan secara oral untuk waktu rata-rata 6-9 bulan. Proses
yang lama ini memunculkan efek samping yang tidak diinginkan, yang dapat menyebabkan
kurangnya kepatuhan pasien dan akhirnya munculnya strain bakteri baru yang resisten terhadap
obat lini pertama ini.
Selain itu, pengobatan yang lama meningkatkan beban keuangan untuk kesehatan,
terutama di negara-negara dengan sumber daya terbatas seperti Indonesia di mana penyakit TB
bersifat endemik. Oleh karena itu, obat baru yang memiliki efek samping terbatas atau tidak ada
dan yang dapat mengurangi lama pengobatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepatuhan
pasien dan menurunkan biaya pengobatan serta mencegah terjadinya resistensi. Ada banyak
tantangan untuk mencapai pengobatan yang efektif untuk memberantas infeksi TB ini secara
global.
Rifampisin sendiri adalah antibiotik spektrum luas untuk mengobati tuberkulosis (TB).
Merupakan obat lini pertama dalam mengobati TB yang dikombinasikan dengan obat TB lainnya
yaitu isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Dan terbukti paling efektif untuk mengobati bentuk
tuberculosis paru dan nonparu termasuk meningitis tuberkulosis.

Gambar 1. Struktur Kimia Rifampsin


Rifampisin termasuk BCS kelas 2 [1] dimana kelarutan rendah tapi permeabilitas tinggi.
Kelarutannya dalam air yaitu 1400 mg/L pada suhu 25 0C [2]. Kelarutan ini akan sangat
berpengaruh pada laju disolusi dan bioavailabilitas obat rifampisin yang masuk ke dalam darah.
Disolusi merupakan tahap yang penting terutama untuk bentuk sediaan obat oral, karena
merupakan faktor yang menentukan pelepasan/penyerapan obat secara in vivo.
Obat yang laju disolusi dan kelarutan buruk akan kurang larut dalam cairan
gastrointestinal sehingga bioavailabilitas juga buruk. Disini dosis obat juga menjadi faktor
penting untuk memberikan efek terapeutik yang diinginkan. Dosis oral maksimum harian
Rifampisin yang dianjurkan untuk pengobatan TB adalah 600 mg. Ini ditetapkan setelah
pertimbangan biaya, keamanan dan efek terapi [3].
Apabila dihubungkan dengan laju disolusi, kelarutan dan bioavailabilitas maka dosis 600
mg bisa dikatakan kurang efektif/optimal. Karena mikrobakteri terlindung dalam lesi paru
sehingga mencegah obat yang diberikan secara oral dapat menembus lesi paru tersebut pada
kadar yang efektif yang pada akhirnya akan menyebabkan resistensi terhadap antibiotik
Rifampisin. Jika pemberian dosis terapi ini dinaikkan, maka akan terjadi efek hepatotoksik
karena Rifampisin dapat menginduksi sitokrom P450 di hati.
Untuk mengatasi hal ini, telah banyak dilakukan penelitian-penelitian untuk mencari
bentuk sediaan yang tepat sehingga meningkatkan kelarutan dan laju disolusi serta juga mencari
kemungkinan dosis-dosis yang lebih tinggi dari dosis harian 600 mg namun tidak memiliki efek
samping berarti. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Suciati, dkk [4] tentang formulasi
sistem penghantaran Rifampisin dengan cara lipid nanostruktur menggunakan pentarget Manosa.
Fungsi Manosa disini sebagai agen pentarget reseptor manosa sehingga meningkatkan efek
terapeutik Rifampisin yang dapat langsung masuk ke lesi paru dan membunuh mikrobakteri TB.
Penelitian lain dilakukan oleh Melo, dkk [1] yang memformulasikan Rifampisin dalam
bentuk nanokristal. Tujuan dibuat dalam bentuk nanokristal untuk memperbesar luas permukaan,
sehingga dapat meningkatkan laju disolusi dan bioavailabilitas dari Rifampisin. Dalam penelitian
ini, nanokristal dibuat dengan metode penggilingan manik-manik basah. Dari hasil penelitian
didapatkan laju disolusi yang meningkat 1,74 kali lipat dan aktifitas antimikroba Rifampisin
sama dengan bentuk sediaan tablet. Bentuk nanosuspensi ini juga dapat meningkatkan
konsentrasi Rifampisin dalam darah 2 kali lipat, dibanding dengan sediaan yang dipasarkan
sehingga dapat menurunkan dosis pemberian Rifampisin kepada pasien tanpa mengurango efek
terapi yang diperlukan. Dan ini akan meningkatkan kepatuhan pasien terutama anak-anak dan
lansia dalam masa pengobatan TB jangka panjang sehingga tidak menimbulkan resistensi lagi.
Berikutnya penelitian yang dilakukan oleh Surini, dkk [5] yang bertujuan untuk
mendapatkan formula optimum Rifampisin dry powder inhalasi dengan pembawa kitosan-
xanthan dengan metode spray drying menggunakan Response Surface Method (RSM). Dalam
sistem penghantaran obat untuk paru, dengan bentuk inhalasi serbuk kering memberikan
keunggulan dibandingkan dengan bentuk inhalasi dengan formulasi cair seperti larutan atau
suspense, karena stabilitas fisik dari sediaan dan juga tahan dari pertumbuhan mikroba [6].
Metode spray drying dipakai karena memberikan hasil terbaik yaitu bubuk bentuk bulat terbaik
dengan ukuran 1-5 μm. Formulasi Rifampisin dengan pembawa kitosan-xanthan dapat
meningkatkan penyerapan partikel pada makrofag paru.
Changsan, dkk [7] membuat formulasi inhalasi serbuk kering Rifampisin-Liposom.
Liposom berfungsi sebagai penghantar atau pengirim Rifampisin ke saluran pernapasan.
Rifampisin sebagai senyawa yang larut dalam lemak, dapat hilang dari lapisan ganda vesikel
melalui tumbukan dan fusi dengan permukaan liposom, terutama pada vesikel unilamellar yang
memiliki permukaan lebih luas. Dari hasil penelitian didapatkan bubuk kristal dengan
karakteristik aerosol yang baik yang dapat meningkatkan efikasi enkapsulasi yang tinggi yaitu
51% jika dibandingkan dengan bentuk sediaan tablet.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Khadka, dkk [8] yang melakukan studi klinis tentang
penggunaan Rifampisin secara inhalasi. Sediaan inhalasi ini memiliki potensi dalam mengobati
tuberkulosis (TB) terutama yang terlokalisasi di paru-paru. Karena kemampuan yang kurang
efektif dari Rifampisin untuk membunuh kuman dalam bentuk bakterisida akibat dari dosis
Rifampisin yang mencapai paru-paru sedikit. Sehingga penggunaan inhalasi baik sendiri atau
sebagai tambahan obat oral dosis standar diharapkan dapat mencapai paru-paru langsung dengan
dosis yang dapat ditekan namun tetap memberikan potensi yang sama dengan dosis maksimum
yang biasa digunakan dan juga dapat mengurangi resistensi terhadap penggunaan antibiotik
Rifampisin.
Dilajutkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Mistry, dkk [9] yang mensintesis nano
partikel seng oksida (ZnO NPs) dan mengevaluasi efeknya terhadap mikrobakteri sebagai control
dan mengkombinasikannya dengan obat lini pertama yaitu Rifampisin. Kombinasi ini
menghasilkan permeabilitas membran yang tinggi yang meningkatkan penyerapan Rifampisin ke
dalam sel sehingga meningkatkan efek bakterisidanya.
Rute pemberian obat ke paru semakin banyak diminati karena keuntungan yang dimiliki
diantaranya pemberian obat non-invasif, penetrasi langsung ke jaringan paru-paru, tidak adanya
metabolisme yang terjadi di hati, aktivitas enzimatik intaseluler dan ekstraseluler yang relatif
rendah untuk metabolism obat, onset kerja cepat dan bioavailabilitas obat yang tinggi dalam
darah [9]. Sediaan inhalasi obat TB dapat memberikan efek bakterisida local di dalam paru-paru,
yang akan efektif melawan bakteri di lesi paru. Pemberian Rifampisin inhalasi dapat menjadi
pendekatan yang ideal untuk pengobatan TB paru karena paru adalah tempat masuknya
mikrobakteri dan mendominasi lesi paru [10]. Hal ini juga dapat mengurangi dosis maksimum
yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi obat yang tinggi di lokasi target sehingga dosis
yang lebih rendah yang diberikan melalui rute inhalasi dapat memberikan efek terapeutik yang
serupa dengan yang diberikan dengan dosis tinggi secara oral. Oleh karena itu, Rifampisin
inhalasi dapat menjadi alternatif tanpa perlua adanya perubahan dalam rejimen anti TB oral saat
ini, sehingga tidak perlu penyesuaian terhadap pasokan obat TB secara global.
REFERENSI

[1] Melo, K.J.C., Henostroza, M.A.B., and Lobenberg, R. et al., Rifampicin nanocrystals:
Towards an innovative approach to treat tuberculosis, Materials Science & Engineering C
(2020), https://doi.org/10.1016/j.msec.2020.110895
[2] Yalkowsky, S.H., He, Yan., Handbook of Aqueous Solubility Data: An Extensive
Compilation of Aqueous Solubility Data for Organic Compounds Extracted from the AQUASOL
dATAbASE. CRC Press LLC, Boca Raton, FL. (2003)., p. 1261
[3] Van Ingen, J., Aarnoutse, R.E., Donald, P.R., Diacon, A.H., Dawson, R., Plemper van Balen,
G., Gillespie, S.H., Boeree, M.J. Why do we use 600 mg of rifampicin in tuberculosis treatment?
Clin. Infect Dis. 52, (2011), e194–199.
[4] Suciati, T., Istiqomah, N., Permana, B., Julianti, E., Yudistira, T., Wibowo, M.S., and
Triyani, Y. Formula Optimization of NLC with D-Mannose Targeting for Rifampicin Delivery
System. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol. 17, No. 2(2019), p. 189-198.
https://doi.org/10.1016/j.ijpharm.2018.07.011
[5] Surini, S., Providya, R., and Putri, K.S.S. Formula Optimization of Rifampicin Dry Powder
Inhalation with Chitosan-Xanthan Carrier Using Response Surface Methodology. Journal of
Applied Pharmaceutical Science, (2019), Vol. 9(01), pp 033-041. DOI:
10.7324/JAPS.2019.90106
[6] Zhou, Q., Leung, S.S.Y., Tang, P., Parumasivam, T., Loh, Z.H., and Chan, H.K. Inhaled
formulations and pulmonary drug delivery systems for respiratory infections. Advanced Drug
Delivery Reviews, (2014), p. 85; 83–99.
[7] Changsan, N., Chan, H.K., Separovic, F., and Srichana, T. Physicochemical Characterization
and Stability of Rifampicin Liposome Dry Powder Formulations for Inhalation. Journal Of
Pharmaceutical Sciences, Vol. 98, No. 2, February (2009).
[8] Khadka, P., Dummer, J., Hill, P. C., and Das, S. C. Considerations in preparing for clinical
studies of inhaled rifampicin to enhance tuberculosis treatment. International Journal of
Pharmaceutics 548 (2018), p. 244-254.
[9] Mistry, N., Bandyopadhyaya, R., and Mehra, S. ZnO Nanoparticles and Rifampicin
Synergistically Damage the Membrane of Mycobacteria. ACS Applied Nano Materials, (2020).
DOI: 10.1021/acsanm.9b02089
[10] Jaafar-Maalej, C., Elaissari, A., Fessi, H. Lipid-based carriers: manufacturing and
applications for pulmonary route. Expert Opin. Drug Deliv. 9, (2012), 1111–1127.
[11] Misra, A., Hickey, A.J., Rossi, C., Borchard, G., Terada, H., Makino, K., Fourie, P.B.,
Colombo, P. Inhaled drug therapy for treatment of tuberculosis. Tuberculosis (Edinb) 91, (2011),
71–81.

Anda mungkin juga menyukai