Anda di halaman 1dari 2

2.

Otentisitas Tasawuf dari Islam

Atas dasar ini, terdapatnya kesamaan antara tasawuf dengan berbagai bentuk
mistisisme asing tidak selalu berarti, bahwa gagasan tasawuf diambil dari sumber-sumber
lain. Hal yang lebih tepat ialah seperti telah dikemukakan sebelum ini, gagasan tasawuf
muncul dari kaum Muslimin sendiri. Sebab, pengetahuan mereka seperti yang dikatakannya,
muncul dari intuisi clan pemahaman mereka sendiri. Sebagian orientalis pun telah meninjau
kembali pendapat mereka clan menerima kebenaran pendapat di atas. Antara lain R.A.
Nicholson, yang akhirnya merujukkan tasawuf pada sumber Islam. Diamengatakan bahwa
"semua pikiran yang dipandang sebagai unsur-unsur luar yang merembes dalam kalangan
kaum Muslimin ataupun hasil kebudayaan asing yang non-Islam, sebenarnya muncul dari
asketisisme maupun tasawuf yang tumbuh dalam Islam sendiri, yang keduanya benar-benar
bercorak Islam".1

Dalam karyanya yang lain, The Legacy of Islam (Turats al-Islam), R.A. Nicholson bahkan
secara jujur mengakui keterpengaruhan dunia Barat-Kristen oleh tasawuf, ia mengatakan:
"Mengenai hal-hal yang berkenaan dengan mistisisme, ten tang aspek-aspek psikologis dan
teoretisnya, sampai saat ini Barat masih banyak belajar dari kaum Muslimin. Hanya sampai
sejauh mana Barat telah benar-benar belajar dari para pemikir dan sufi Islam pada abad-abad
pertengahan, ketika cahaya filsafat dan ilmu pengetahuan yang memancar dari pusat-pusat
kebudayaan di Spanyol menerangi seluruh Eropa Kristen. Inilah yang masih merupakan
masalah yang membutuhkan penelitian dan pengkajian terinci. Tapi yang pasti, hutang Barat
terhadap kaum Muslimin begitu besarnya. Bahkan adalah hal yang benar-benar aneh kalau
para tokoh seperti Santo Thomas Aquinas, Eckhart, dan Dante, dianggap tidak terkena
dampak dari sumber ini. Karena tasawuf ternyata merupakan medan yang dapat mempererat
kontak antara Kristen zaman pertengahan dengan Islam''.2

Menurut Kyai Achmad, belum dikenalnya istilah teknis tasawuf pada masa Rasulullah dan al-
Khulafa' ar-Rasyidun tidak berarti bahwa ajaran Islam tidak memuat tasawuf atau berarti
tasawuf itu tidak ada dalilnya dalam agama. Kyai Achmad meyakini bahwa Hadis 'Umar ibn
al-Khattab tentang kedatangan Jibril a.s. menyampaikan tentang al-iman, al-Islam, dan al-
ihsan yang merupakan totalitas ajaran Islam, dapat dijadikan argumen tentang keberadaan
tasawu£ Kalau kemudian al-iman dirumuskan menjadi akidah dan al-Islam menjadi syariat,
absah untuk menyatakan bahwa al-ihsan diidentikkan dengan tasawuf.3
1 1
At-Taftazani, Madkhal, hlm. 35
2
At-Taftazani, Madkal, hlm. 36
Jadi, jelaslah bahwa tasawuf, severity yang telah dikemukakan Kyai Achmad dan lainnya
pada awal pembentukan disiplinnya adalah moral keagamaan. Jelas, sumber pertamanya
adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf diambil dari Al-Quran clan Al-Sunnah, clan
amalan serta ucapan para sahabat.4 Amalan dan ucapan para sahabat itu tentu saja tidak
keluar dari ruang lingkup Al-Quran clan Al-Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama
tasawuf adalah Al-Quran clan Al-Sunnah itu sendiri. Dari Al-Quran clan Al-Sunnah itulah
parisufi pertama-tama, mendasarkan pendapat-pendapat mereka tentang moral dan tingkah
laku. Juga latihan-latihan ruhaniah mereka, yang mereka susun demi terealisasinya tujuan-
tujuan kehidupan mistis.5
2

3
2
Noeh, Menghidupan Rub, hlm.76.
4
Tidak sedikit contoh yang dilakukan para sahabat yang mencerminkan perilaku kesufian. Abu
Bakar misalnya, di-eritakan pernah menyumbangkan banyak unta kepada Nabi saw. untuk kegiatan perjuangan
Islam, sehingga ia tidak meninggalkan satu ekor pun unta untuk dirinya, akhirnya ia menjadi seorang miskin
yang kadang-kadang harus menderita kelaparan. Tatkala Nabi bertanya kepadanya, ''Apakah yang tinggal
padamu lagi, jika seluruh unta ini kau sumbangkan?" la menjawab: "Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya''. Lihat
Abu Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf {Solo: Ramadhani, 1984), him. 237-238. Tentang arti
takwa, yakin dan rendah hati, dapat dilihat dari ungkapannya: "Kami mendapat kedermawanan dalam takwa,
kecukupan dalam yakin dan kehormatan dalam rendah hati". Tentang ma'rifah ia katakan: "Barangsiapa
merasakan sesuatu dari pengenalan terhadap Allah secara murni, dia akan lupa segala sesuatu selain Allah, dan
menyendiri dari semua manusia''. Al-Junaid pernah berkomentar tentang Abu Bakar, ia katakan: "Ungkapan
terbaik dalam hal tauhid ialah ucapan Abu Bakar ash-Shiddiq: "Maha Suci Dzat yang tidak menciptakan jalan
bagi makhluk untuk mengenal-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenal-Nya." 'Umar ibn al-Khattab juga
sangat dekat dengan perilaku sufi. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah dia menjabat sebagai khalifah, dia
berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan. Dapat juga disaksikan makna ridha dan sabar
pada diri 'Umar, dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada Abu Musa alAsy' ari sebagai berikut: "Seluruh
kebajikan adalah dalam ridha. Kalau engkau mampu, hendaknya engkau ridha; dan kalau tidak mampu,
bersabarlah". Lihat At-Taftazani, Madkhal, him. 51. Di antara ucapan-ucapan 'Usman ibn 'Affan yang
menggambarkan ajaran tasawuf adalah: ''Aku dapatkan kebajikan terhimpun dalam empat hal. Pertama, cinta
kepada Allah. Kedua, sabar dalam melaksanakan hukum-hukum Allah. Ketiga, ridha dalam menerima takdir
(ketentuan) Allah. Keempat, malu terhadap pandangan Allah". Lihat Ibid, him. 53. Begitu juga, Khalifah
keempat, 'Ali ibn Abi Thalib juga tidak kalah hebatnya dengan khalifah-khalifah dalam hal kehidupan
keruhanian. Pekerjaan dan cita-citanya yang besar menyebabkan dia tidak peduli bahwa pakaiannya sobek yang
lantas dijahitnya sendiri. Lihat Hamka, Tasawuf Perkembangan, him. 34. Masih banyak lagi sahabat Nabi yang
tidak bisa disebutkan satu per satu di sini. Misalnya, Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah, Sa'id ibn 'Amr, Abdullah ibn
al-Mas'ud, Abu Dzar al-Ghifari, Salim Maula, Abu Hudzaifah, 'Abdullah ibn 'Umar, Miqdad ibn al-Aswad,
Salman al-Parisi, aan lain sebagainya.
5
Bandingkan dengan pendapat At-Taftazani, dalam Madkha!, him. 37-38; AllahBakhsh K. Brohi,
"The Spiritual Significance of The Quran", dalam Seyyed Hossein Nasr (Edt.), Islamic Spirituality Manifestations
I (London: SCM Press Ltd., 1989), him. 11.

Anda mungkin juga menyukai