Anda di halaman 1dari 8

 Manajemen Negara Jepan

Manajemen negara Jepang merupakan suatu sistem manajemen yang dianut oleh


bangsa Jepang dalam meraih kunci kesuksesan di bidang pembangunan ekonomi
pasca Perang Dunia II.[1] Sistem ini mencuri perhatian para cendekiawan bangsa lain
karena dalam waktu kurang dari 40 tahun, Jepang mampu bangkit dari keterpurukan
dan menjadi salah satu pemimpin dunia dalam bidang industrial, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Manajemen Jepang ini dianggap unik karena mengacu
pada tradisi Zen dan Samurai yang didominasi oleh ciri efektivitas, efisiensi dan
produktivitas tinggi. Manajemen gaya jepang yang dianut ini memiliki
empat elemen utama, yaitu:
1. Kebersamaan (Collectivism), dimana nilai kebersamaan mampu mempertahankan efektivitas
dan semangat kerja (morale) untuk menghasilkan konsensus (nemawashi) sebelum mengambil
keputusan.
2. Kesamaan (Homogeneity), dimana letak geografis Jepang yang menyendiri dan terisolasi laut
membuat masyarakat Jepang memiliki nilai kesamaan; saling pengertian dan percaya. "Ishin den
shin" (Paham tanpa perlu dibicarakan), istilah ini menggambarkan bahwa Jepang menjunjung tinggi
komunikasi vertikal maupun horizontal; struktur organisasi sederhana; dan uraian pekerjaan yang
tegas.
3. Falsafah Confusius, yang telah dikenalkan sejak abad ke-4 oleh Kaum Samurai. Falsafah ini
mengajarkan tentang arti setia dan patuh terhadap senior atau atasan; kewajiban atasan terhadap
bawahan; dan kerja keras.
4. Tingkat pendidikan tinggi, dimana 90% penduduknya telah menyelesaikan studi sekolah
menengah mampu menyukseskan Jepang dalam menyelesaikan Program Pengendalian Mutu (QCC).

Keempat elemen diatas mempengaruhi ciri utama manajemen Jepang yaitu


karyawan dianggap sebagai sumber daya utama dengan memberikan penghargaan
berupa:

1. "Shusin koyo" yang berarti mempekerjakan karyawan seumur hidup (lifetime employment),
dimana kesuksesan sistem ini tergantung dari sifat pribadi yang bersangkutan (seperti loyalitas).
2. "Nenko" yang berarti promosi dan gaji berdasarkan tingkat senioritas. Di Jepang, karyawan
dengan tingkat pendidikan; masa kerja; dan prestasi berbeda akan mendapat gaji yang sama. Mungkin
dipandang tidak adil, namun bagi mereka yang berbakat pasti disediakan tugas dan posisi khusus.
3. Pelatihan dan pengembangan, yang dilakukan terus-menerus sepanjang perjalanan karier.
Melalui hal ini, diharapkan tiap karyawan mampu mengerjakan semua pekerjaan perusahaan. Jepang
menerapkan sistem pelatihan in house (mengundang ahli-ahli universitas dan lembaga pendidikan
sebagai pembicara), sistem ini membuat program pengembangannya semakin terkenal seperti
Pengendalian Mutu Terpadu (Total Quality Control); Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle);
dan Just In Time (JIT).
4. Kerja sama kelompok, mampu mengubah mind-set masyarakatnya menganggap lingkungan
sebagai tempat bermasyarakat bukan hanya tempat mencari nafkah. Sikap ini mencerminkan rasa
kebanggaan dan keberhasilan terhadap perusahaan.
5. Konsensus dalam pengambilan keputusan atau disebut "Ringi" (pengambilan keputusan di
perusahaaan berdasarkan persetujuan yang berwenang).
6. "Bottom up approach", dengan menempatkan manajer senior sebagai fasilitator dan manajer
menengah sebagai pendorong.
7. Penilaian karya yang rumit dilakukan berdasarkan sifat kepribadian masing-masing
karyawan.
8. Jaminan sosial, berupa perumahan; tunjangan transportasi; asrama untuk yang belum
berkeluarga; beasiswa untuk anak karyawan dan pinjaman bunga rendah untuk perumahan. Hal ini
sesuai dengan istilah "Keluarga besar" bagi perusahaan di Jepang.

Daftar Pustaka

Lumbantoruan, Magdalena; Soewartoyo, B. (1992). Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis, dan


Manajemen. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. hlm. 378. ISBN - Periksa nilai: length |
isbn= (bantuan).
Gambaran negara jepan

Pemerintahan Jepang (日本国政府 Nihonkoku-seifu atau Nipponkoku-seifu) adalah


sebuah monarki konstitusional yang di dalamnya terdapat kuasa dari seorang Kaisar yang
masih dibatasi dan hanya diturunkan terutama ketika melakukan tugas resmi. Seperti
di negara-negara lainnya, Pemerintahan dipecah menjadi tiga
cabang: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.

Pemerintahan ini berjalan di bawah susunan yang telah ditetapkan oleh Konstitusi


Jepang sejak tahun 1947. Ini merupakan negara kesatuan, yang memuat empat puluh
tujuh pembagian administratif, dengan Kaisar sebagai kepala negara.[1] Perannya hanya
yang telah ditetapkan secara resmi dan tidak memiliki kuasa terkait hubungan
Pemerintah.[2] Sebagai gantinya, Kabinet, bersama dengan Menteri Negara dan Perdana
Menteri, adalah sebagai pengarah sekaligus pengendali Pemerintah. Kabinet adalah
sumber kekuasaan dari cabang Eksekutif, dan dibentuk oleh Perdana Menteri,
sebagai kepala pemerintahan.[3][4] Ia ditunjuk oleh Parlemen Jepang dan dinobatkan oleh
seorang Kaisar.[5][6]
Parlemen Jepang merupakan lembaga legislatif. Menggunakan sistem dua kamar, yang
terdiri dari dua majelis, yaitu Majelis Tinggi, dan Majelis Rendah. Anggotanya dipilih
langsung oleh rakyat, yang bersumber dari kedaulatan.[7] Mahkamah Agung dan
pengadilan rendah lainnya yang membentuk cabang Yudisial, mereka
sudah terlepas dari cabang eksekutif dan legislatif.[8]

Sebelum adanya Restorasi Meiji, Jepang dipimpin oleh shogun. Pada masa ini, kekuasaan
ampuh pemerintah menetap di dalam seorang Shogun, yang secara resmi memerintah
negara itu atas nama Kaisar.[9] Shoguns merupakan gubernur militer yang diangkat secara
turun-temurun, yang memiliki pangkat setara dengan generalissimo. Meskipun Kaisar adalah
penguasa penuh yang diangkat oleh Shogun, perannya hanya untuk seremonial dan ia tidak
ambil bagian dalam mengatur negara.[10] Hal ini sering dibandingkan dengan peran Kaisar
saat ini, yang berperan resmi untuk mengangkat seorang Perdana Menteri. [11]

Daftar Pustaka

1. Chaurasla, Radhey Shyam (2003). History of Japan. New Delhi: Atlantic Publishers and
Distributors. hlm. 10. ISBN 9788126902286.
2. ^ Koichi, Mori (December 1979). "The Emperor of Japan: A Historical Study in Religious
Symbolism". Japanese Journal of Religious Studies. 6/4: 535–540.
3. ^ Bob Tadashi, Wakabayashi (1991). "In Name Only: Imperial Sovereignty in Early Modern
Japan". Journal of Japanese Studies. 7 (1): 25–57.
4. ^ Artikel 4 Konstitusi Japan Bagian 1, Konstitusi Japan (1947; bahasa English). Diakses
tanggal 5 September 2015.

Kebijakan Pemerintah Jepan

Novel Nijuushi no Hitomi karya Sakae Tsuboi ini merupakan salahsatu

novel yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat Jepang pada masa

Perang Dunia II dan berisi protes terhadap militerisme dan tekanan pada orang-

orang biasa untuk diam. Melalui karya Sakae Tsuboi, bisa mengetahui kondisi

masyarakat pada waktu karya tersebut diterbitkan. Novel ini diterbitkan pada

tahun 1952 dan menjadi best seller di Jepang. Masyarakat Jepang pada masa

Perang Dunia II (1939-1945) ketika itu hidup dengan segala keterbatasan dan

penuh perjuangan. Peperangan yang berlangsung tersebut telah memporak-

porandakan Jepang dan berdampak buruk terhadap kondisi masyarakat Jepang

pada saat itu. Sehingga Pemerintah Jepang mengambil beberapa kebijakan selama

masa perang berlangsung, yaitu Pemerintah Jepang saat itu mengontrol ketat

perekonomiannya akibat tekanan ekonomi dari Amerika Serikat, selain itu seluruh

sumber daya barang dan perbekalan yang ada saat itu, hanya diperuntukkan untuk

memenuhi kebutuhan di medan perang. Pemerintah Jepang mengerahkan seluruh

kekuatan militer dan mewajibkan masyarakat Jepang untuk membantu usaha

perang negara baik dengan tenaga maupun materi. Selain itu juga pengawasan

pemerintah yang sangat ketat terhadap rakyatnya agar tidak berani untuk

memberontak.

Penulis akan membandingkan keadaan masyarakat Jepang yang

digambarkan dalam novel dengan kondisi masyarakat Jepang yang sebenarnya

terjadi selama masa Perang Dunia II. Penulis menggunakan pendekatan sosiologi

sastra dalam menganalisis novel Nijuushi no Hitomi ini. Teori ini menyebutkan

bahwa sastra merupakan cermin masyarakat karena karya sastra yang

dihasilkannya menampilkan kondisi masyarakatnya, sehingga dalam novel yang


akan penulis bahas itu mencerminkan keadaan masyarakat yang sebenarnya pada

masa itu.

Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dapat diketahui bahwa kebijakan

pemerintah yang diterapkan pada masa Perang Dunia II dalam novel Nijuushi no

Hitomi tidak jauh berbeda dari kenyataan yang terjadi pada saat Perang Dunia II

berlangsung di Jepang. Selain itu, kebijakan pemerintah Jepang tersebut

berpengaruh terhadap kondisi masyarakat Jepang selama masa perang

berlangsung, yaitu masyarakat Jepang menjadi kesulitan dalam memperoleh

barang yang dibutuhkan, masyarakat Jepang merasa tertekan dan dikorbankan

oleh negara karena harus terlibat dalam peperangan tersebut. Sehingga muncul

perasaan tidak puas dan tidak setuju dengan sikap kesewenang-wenangan

pemerintah dengan cara militerisme.

Daftar Pustaka

Maulida, Sarah. (2013). Analisis Kehidupan Masyarakat Jepang Pada Masa

Perang Dunia II Dalam Novel Japanese Rose Karya Kimura Rei. Skripsi,

tidak diterbitkan. Universitas Brawijaya Malang: Fakultas Ilmu Budaya.

Tadashi, Fukutake. (1988). Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: Gramedia.

Pendidikan Jepan

Pendidikan di Jepang mencakup pendidikan formal di sekolah, pendidikan moral di


rumah, dan pendidikan masyarakat (pendidikan seumur hidup). Wajib
belajar pendidikan dasar dan menengah berlaku untuk penduduk berusia 6 tahun
hingga 15 tahun. Penduduk terdaftar yang memiliki anak usia wajib belajar akan
menerima pemberitahuan untuk memasukkan anak ke sekolah. Sebagian besar
lulusan sekolah menengah pertama melanjutkan ke sekolah menengah atas.
Sekolah negeri atau sekolah umum (公立学校 kōritsu gakkō) diselenggarakan oleh
pemerintah prefektur atau pemerintah kota, dan kadang-kadang oleh pemerintah
pusat. Sebagian besar sekolah dasar negeri dan sekolah menengah pertama negeri
dikelola pemerintah kota. Sebagian besar sekolah menengah atas dikelola oleh
pemerintah prefektur, dan kadang-kadang oleh pemerintah kota. Sekolah swasta (市
立学校 shiritsu gakkō) diselenggarakan oleh badan hukum.
Struktur pendidikanSunting
Tahun ajaran dimulai bulan April. Kegiatan belajar mengajar berlangsung
dari Senin hingga Jumat (sekolah negeri). Satu tahun ajaran dibagi menjadi 3 caturwulan
yang dipisahkan oleh liburan singkat musim semi dan musim dingin, serta liburan musim
panas yang lebih panjang.[1] Lama liburan sekolah bergantung kepada iklim tempat sekolah
tersebut berada. Di Hokkaido dan tempat-tempat yang banyak turun salju, libur musim dingin
lebih panjang dan libur musim panas lebih pendek.

U
Ke
si Lembaga pendidikan
las
a

6 1

7 2

8 3
Sekolah dasar (小学校 shōgakkō)
9 4

10 5

11 6

12 7
Sekolah menengah pertama (中学
13 8
校 chūgakkō)
14 9

15 10 Sekolah menengah
atas (高等学校 kōtōg Sekolah
16 11
akkō) disingkat kōkō  teknik/politeknik (高
17 12 (高校) 等専門学校 kōtō
senmongakkō) disingka
18 Universitas (大学 dai t kōsen (高専)
gaku) (strata 1: 4
19
tahun)
20
Akademi (短期大
学 tanki
21
daigaku) (strata 1: 2
tahun)
Pendidikan anak usia dini memang tidak termasuk dalam pendidikan yang diwajibkan, tetapi
pemerintah menyediakan sekolah TK atau yg disebut dengan Youchien. Selain itu juga ada
Hoikuen (day care). Perbedaan antara Youchien dan Hoikuen hanya terletak pada jam
belajarnya. Youchien hanya dari pukul 8;50-13;30, sedangkan Hoikuen dimulai sejak pukul
07:00-19:00. Hoikuen memang diperuntukkan untuk anak-anak yang orang tuanya bekerja
dan tidak ada yang bisa menjaganya. Oleh karena itu, salah satu syarat mendaftarkan ke
sekolah ini adalah surat keterangan bahwa kedua orang tua bekerja.

Daftar Pustaka

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_di_Jepang#:~:text=Pendidikan%20di%20Jepang
%20mencakup%20pendidikan,6%20tahun%20hingga%2015%20tahun.&text=Sekolah%20swasta
%20(%E5%B8%82%E7%AB%8B%E5%AD%A6%E6%A0%A1%20shiritsu%20gakk%C5%8D)
%20diselenggarakan%20oleh%20badan%20hukum. Diakses Tanggal 26 September 2021.

Tiongkok

Republik Tiongkok (ROC) sendiri bermula di Tiongkok Daratan, setelah penggulingan pemerintahan
Dinasti Qing pada tahun 1912 menandakan berakhirnya 2.000 tahun masa pemerintahan kekaisaran.
Kemunculannya di Tiongkok Daratan adalah secara kemunculan panglima perang (war lords),
Pendudukan Jepang, dan perang saudara. Pemerintahannya di tanah besar tamat pada tahun 1949
saat Partai Komunis Tiongkok menggulingkan pemerintahan Partai Nasionalis Tiongkok (juga dikenal
sebagai Kuomintang). Lihat Republik Tiongkok (1912-1949)

Pemerintah Republik Tiongkok pindah ke Pulau Taiwan dan mendirikan ibu kota sementaranya di
Taipei di mana ia terus menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemerintah seluruh Tiongkok,
termasuk tanah daratan, yang sah. Pada masa yang sama, Komunis di tanah daratan (mainland)
menafikan kemunculan Republik Rakyat Tiongkok dan mendakwa menjadi negara pengganti
Republik Tiongkok di seluruh negara Tiongkok (termasuk Taiwan) dan pemerintahan nasionalis di
Taiwan tidak sah. Dari pendiriannya hingga pemindahannya ke pulau Taiwan, Republik Tiongkok
telah dikatakan sebagai satu produk Kuomintang (KMT)—sebuah partai politik yang muncul sebagai
hasil revolusi yang telah mendirikan Republik, sekalipun partai itu tidak lagi memerintah di Republik
Tiongkok.

Pemerintah Republik Tiongkok kini telah mengukuhkan kedudukannya di Taiwan dan


menjadi identik dengan Taiwan. Oleh sebab ini, ia tidak lagi menuntut hak pemerintahan di
Tiongkok Daratan dan Mongolia. Dewan Undangan Nasional (yang tidak ada lagi) juga
telah meluluskan perubahan konstitusi untuk memberikan penduduk Taiwan,
Pescadores, Quemoy, dan Matsu satu-satunya hak memerintah Republik melalui
pemilu, melantik presiden dan keseluruhan anggota legislatif serta bersama dalam
pemilu mengesahkan amendemen konstitusi Republik Tiongkok. Ini menandakan
bahwa pemerintah Republik mengakui bahwa hak pemerintahannya terbatas pada
kawasan taklukannya saja. Reformasi yang dimulai oleh Republik di Taiwan pada
tahun 1980-an dan tahun 1990-an telah mengubah Taiwan dari satu kediktatoran satu
partai ke suatu negara demokrasi.
Meskipun Perang Dingin telah tamat, status politik Taiwan terus menjadi suatu isu
hangat pada kedua belah selat Taiwan. Pemerintah Republik Tiongkok adalah salah
satu pendiri utama Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan pernah menjadi salah satu
anggota tetap Dewan Keamanan. Akan tetapi, pada tahun 1971, pemerintahan ini,
yang hanya berkuasa di Taiwan saja, secara resmi diikeluarkan dari PBB dan
digantikan oleh RRT. Meskipun begitu, pemerintah Republik Tiongkok tidak mau
mengembalikan status anggota tetap yang terpaksa dilepaskan pada masa itu.
Republik Tiongkok telah mencoba masuk kembali ke PBB dari masa ke masa akan
tetapi gagal karena tuntutan Republik Rakyat Tiongkok atas Kebijakan Satu
Tiongkok yang dipromosikan oleh pemerintah RRT di Tiongkok daratan di samping
tekanan ekonomi dan diplomatik negara itu. Kebanyakan negara dunia mengubah
kebijakan diplomatiknya ke pemerintah RRT di Tiongkok daratan pada tahun 1970-
an dan kini, Republik Tiongkok di Taiwan hanya diakui oleh 23 negara.

Manajemen Tiongkok

Manajemen gaya Tiongkok adalah pola manajemen yang diterapkan di negara-


negara Asia bagian Asia Timur dan Asia Tenggara.[1] Jumlah imigran Tiongkok dan
keturunannya diperkirakan kurang lebih 40 juta orang dan mereka disebut "Tionghoa
perantauan" (overseas Chinese). Lebih dari 50% Tiongkok Perantauan ini tinggal di negara-
negara yang mayoritas penduduknya Tiongkok, seperti Taiwan, Hongkong, dan Singapura.
Sisanya tersebar di negara-negara Asia lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina,
dan Indonesia. Tiongkok perantauan umumnya berasal dari Tiongkok Selatan. Mereka atau
nenek moyang mereka berimigrasi secara bergelombang sejak abad ke-17 dan gelombang
perantauan dari Tiongkok makin bertambah jumlahnya dalam abad ke-19 dan 20. Kegiatan
bisnis para Tiongkok perantauan pada umumnya pada umumnya terkonsentrasi pada
perdagangan, keuangan, dan jasa, yang sebagian besar modalnya berupa harta lancar dan
mudah dipindahkan.

Dalam praktik bisnis, Tiongkok perantauan atau pengusaha keturunan Tiongkok


berpegang pada falsafah Kong Hu Cu. Karena besarnya pengaruh ajaran Kong Hu Cu
(Kong Hu Cu) dalam praktik bisnis yang diterapkan golongan tersebut, gaya
manajemen ini sering disebut manajemen gaya Kong Hu Cu.
Dasar falsafah Kong Hu Cu mengutamakan hubungan antar-manusia yang terdiri
atas lima pola hubungan (Wu lun), yaitu (1) hubungan antara ayah dan anak harus
ada kasih sayang; (2) hubungan antarpenguasa dan rakyat harus didasarkan pada
kebenaran dan keadilan; (3) hubungan antara suami dan istri harus saling
memperhatikan peran masing-masing. Tanggung jawab suami adalah di luar rumah,
sedangkan istri bertanggung jawab mengatur rumah tangga; (4) hubungan antara
kakak dan adik harus ada ketertiban dan kedamaian; (5) Hubungan antara kerabat
dan teman-teman harus didasarkan pada kesetiaan.

Sebab itu penekanan ajaran Kong Hu Cu adalah pada wewenang ayah sebagai
kepala keluarga, dan ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga. Berbakti
terhadap orang tua dan setia kepada keluarga adalah suatu keharusan. Sejak kecil
orang Tiongkok diajarkan kepatuhan moral, perlunya berkompromi, menegndalikan
diri, memiliki rasa tanggung jawab, berterima kasih pada orang tua, serata
menghormati mereka yang lebih senior.

Di samping falsafah Kong Hu Cu, pengusaha Tiongkok juga mendasarkan praktik


bisnisnya pada 16 prinsip yang dikenal dengan "Prinsip-Prinsip praktik bisnis yang
baik". Ke-16 prinsip tersebut disusun Fan LI (yang menggunakan nama samaran T'ao
Chu Kung), seorang pengusaha kaya dan politikus ulung yang hidup dalam abad ke-
5. Fan Li adalah seorang menteri dalam pemerintahan Pangeran Goujian. Konon pada
puncak kariernya sebagai pejabat tinggi ia mengundurkan diri, dan menjadi seorang
usahawan yang amat sukses. Ia dipercayai sebagai jutawan Tiongkok pertama, dan
kemudian bahkan menjadi pelindung/orang suci bagi pengusaha-
pengusaha Tiongkok.

Setiap prinsip Fan Li dirumuskan dalam dua frasa yang berlawanan: positif dan
negatif. Penyajian gaya positif negatif ini melambangkan dasar falsafah
yang yang (positif/terang) dan yin (negatif/gelap). Prinsip-prinsip tersebut
dicantumkan pada kalender-kalender, hiasan-hiasan rumah, dan bahkan dalam buku-
buku agenda bisnis. Secara bebas ke-16 prinsip tersebut diterjemahkan sebagai
berikut:
1. Rajin dan tekun berusaha. Kemalasan berakibat petaka.
2. Hemat dalam pengeluaran. Ketidaksabaran menggerogoti modal.
3. Ramah kepada setiap orang. Ketidaksabaran mendatangkan kerugian.
4. Jangan menyia-nyiakan kesempatan. Penundaan menghilangkan peluang.
5. Lugas dalam transaksi. Keraguan membawa pertikaian.
6. Berhati-hati dalam memberi kredit. Kemurahan hati yang berlebihan memboroskan modal.
7. Periksa semua account dengan cermat. Kelalaian menghambat rezeki
8. Bedakan yang baik dari yang jahat. Ketidakpedulian melumpuhkan usaha.
9. Kendalikan sediaan dengan sistematis. Kecerobohan menciptakan kekacauan.

DAFTAR PUSTAKA

Lumbantoruan, Magdalena (1982). Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis, dan Manajemen. Jakarta:


PT Cipta Adi Pustaka. hlm. 376. ISBN - Periksa nilai: length |isbn= (bantuan).

Anda mungkin juga menyukai