Anda di halaman 1dari 8

Al-Wafi; Imam Nawawi; DR.

Musthafa Dieb al-Bugha

Abul Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi ra. berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan
berkata, “Wahai Rasulallah, tunjukkan padaku suatu amalan yang apabila kulakukan aku akan
dicintai Allah dan dicintai manusia.” Rasululullah saw. bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia,
pasti Allah mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang di tangan manusia, pasti manusia pun
mencintaimu.” (HR Ibnu Majah dan yang lain, hadits ini hasan)
URGENSI HADITS

Hadits ini berisikan dua pesan Nabi saw. yang sangat penting.
– Pertama: zuhud terhadap dunia dan bahwa zuhud merupakan faktor penyebab kecintaan Allah
terhadap hamba-Nya.
– Zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain. Ini merupakan penyebab untuk mendapatkan
kasih sayang dan penghormatan dari orang lain.

Tidak bisa dipungkiri bahwa seorang muslim tidak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat, kecuali jika ia mendapatkan cinta Allah dan kasih sayang sesama manusia. Cinta Allah
dapat diraih dengan mengutamakan kepentingan akhirat daripada kepentingan dunia. Sedangkan
kasih sayang sesama manusia dapat diraih dengan tidak serakah ingin memiliki harta dunia yang
dimiliki orang lain, dan lebih mengutamakan amal shalih. Karena amal shalih akan lebih
bermanfaat bagi akhiratnya.

Karena itulah, Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Hadits ini adalah satu dari empat hadits yang
menjadi siklus ajaran Islam.”
KANDUNGAN HADITS

1. Pengertian Zuhud
Ada banyak definisi yang diberikan oleh Shalafush shalih terhadap zuhud. Namun semuanya
bermaura kepada sebuah definisi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Abu Idris al-
Khaulani ra. berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan
membuang harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih meyakini keberadaan
yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Jika ditimpa musibah, maka
kita lebih berharap untuk mendapatkan pahala.”

Jadi pada dasarnya, zuhud bisa disimpulkan dalam tiga hal. Ketiganya adalah amalan hati.
Karena itulah, Abu Sulaiman ad-Darany berkata, “Janganlah kamu bersaksi bahwa seseorang itu
orang yang zuhud, karena zuhud tempatnya di hati.”
Tiga hal tersebut adalah:

a. Lebih meyakini keberadaan apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan. Sikap
seperti ini lahir dari keyakinan yang benar dan tertanam sangat kuat bahwa Allah swt. akan dan
selalu menjamin rizky hamba-Nya.
Firman Allah: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rizkynya.” (Huud: 6)
“Dan di langit terdapat [sebab-sebab] rezekinya.” (adz-Dzaariyaat: 22)

b. Jika seseorang mendapatkan musibah dalam urusan dunia, misalnya: hilangnya harta benda,
meninggalnya anak, maka ia lebih berharap akan mendapatkan pahala atas musibah tersebut,
daripada meraung-raung seraya meminta agar musibah tersebut tidak terjadi. Sikap seperti ini
hanya bisa ditumbuhkan oleh keimanan yang sempurna. Sikap ini menunjukkan betapa
seseorang menganggap dunia adalah sesuatu yang remeh.

Ibnu Umar ra. berkata, dalam doanya Rasulullah saw. menyebutkan, “Ya Allah, berikanlah
kepada kami, rasa takut kepada-Mu yang bisa menyampaikan kami kepada surga-Mu dan
keyakinan yang bisa menjadikan kami menganggap remeh berbagai musibah duniawi.”

c. Baik pujian maupun cercaan tidak mempengaruhinya dalam berpegang teguh pada kebenaran.
Ini adalah merupakan tanda sikap zuhud terhadap dunia. Ibnu Mas’ud berkata, “Yakin adalah
tidak mengharapkan keridlaan manusia dengan cara yang membuat Allah murka.”

Berikut beberapa ungkapan para ulama seputar zuhud:


Hasan al-Basri berkata, “Seorang yang zuhud adalah jika ia melihat orang lain ia berkata: ‘Ia
lebih baik dariku.’”
Wahb bin al-Ward berkata, “Zuhud adalah hendaknya kamu tidak sedik ketika kehilangan dunia
dan tidak bangga ketika mendapatkannya.”
Az-Zuhri berkata, ketika ditanya tentang zuhud, “Tidak tergoda oleh yang haram, dan tidak
tertipu oleh yang halal.”
Sufyan bin Uyainah berkata, “Seseorang yang zuhud adalah jika mendapat nikmat ia bersyukur,
dan jika ditimpa musibah ia sabar.”
Rabi’ah berkata, “Zuhud yang paling utama adalah mengumpulkan sesuatu yang benar dan
meletakkannya dengan benar.”
Suyan ats-Tsauri berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan. Bukan dengan memakan
makanan yang tidak enak dan mengenakan pakaian yang jelek.”
Imam Ahmad berkata, “Zuhud adalah pendek angan-angan dan tidak serakah terhadap harta
yang dimiliki orang lain.”

2. Macam-macam Zuhud.
Menurut sebagian salafush Shalih, zuhud ada tiga:
a. Zuhud terhadap kemusyrikan
b. Zuhud terhadap perkara-perkara yang dilarang
c. Zuhud terhadap perkara-perkara yang diperbolehkan.

Dua macam zuhud pertama adalah wajib, sedangkan yang ketiga bukanlah yang wajib.
Ibnul Mubarak berkata, bahwa Ma’la bin Abi Muthi’ berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:
a. Segala perbuatan atau ucapan hanya karena Allah, dan bukan untuk mendaptkan keuntungan
duniawi.
b. Hanya membatasi diri pada hal-hal yang bermanfaat.
c. Zuhud terhadap hal-hal yang halal. Ini hanya sebatas anjuran.

Ibrahim bin Adham berkata, “Zuhud ada tiga jenis: zuhud wajib, zuhud keutamaan, dan zuhud
keselamatan. Zuhud wajib adalah zuhud terhadap hal-hal yang dilarang. Zuhud keutamaan
adalah zuhud terhadap hal-hal yang dibolehkan. Sedangkan zuhud keselamatan adalah zuhud
terhadap hal-hal yang syubhat.”

Imam Ahmad Ahmad berkata, “Zuhud ada tiga bentuk:


a. Meninggalkan yang dilarang. Ini adalah zuhudnya orang-orang awam
b. Meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan akan tetapi melebihi kebutuhan. Ini adalah
zuhudnya khowash (orang-orang khusus)
c. Meninggalkan hal-hal yang memalingkan dari mengingat Allah. Ini adalah zuhudnya arifin
(orang-orang yang memahami ajaran Islam dengan sempurna)

3. Langkah-langkah untuk meraih sifat zuhud.


Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang muslim, untuk meraih sifat zuhud.
Diantaranya:

a. Memikirkan kehidupan akhirat dan hari perhitungan. Dengan begitu ia dapat mengalahkan
godaan syetan dan hawa nafsunya. Ia juga tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia yang sementara.
Diriwayatkan bahwa Haritsah ra. berkata kepada Rasulullah saw., “Pagi ini saya menjadi orang
mukmin yang sebenarnya.” Beliau berkata kepadanya: “Seorang mukmin yang benar itu
memiliki hakekat. Lantas apa hakekat dari keimananmu?” ia menjawab: “Saya jauhkan diriku
dari dunia, hingga di mataku batu dan permata tampak sama. Saya seakan-akan melihat
singgasana Tuhanku tampak nyata. Saya seakan-akan melihat penduduk surga bersenang-senang
di dalam surga, dan penduduk neraka disiksa di dalam neraka.” beliau berkata, “Hai Haritsah,
kamu telah mengetahuinya. Karena itu, tetaplah seperti itu.”

b. Menumbuhkan perasaan bahwa kenikmatan dunia dapat memalingkan hati dari dzikir kepada
Allah, dan dapat mengurangi derajat di sisi-Nya. Juga dapat memperlambat proses hisab, karena
akan ditanya tentang bagaimana ia mensyukuri nikmat tersebut. Firman Allah: “Kemudian kamu
pasti akan ditanya, pada hari itu, tentang kenikmatan [yang kamu megah-megahan di dunia].”
(at-Takaatsur: 8)
c. Memahami sepenuhnya bahwa dunia adalah perkara yang tidak ada harganya dan akan cepat
sirna jika dibanding dengan apa yang ada di sisi Allah. “Seandainya dunia ini, di sisi Allah,
sebanding dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum orang kafir, walau
seteguk air.”

d. Selalu menghadirkan perasaan bahwa dunia adalah terkutuk. Rasulullah bersabda, “Dunia
adalah terkutuk dan terkutuk juga apa-apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah
dan yang mengikutinya, orang yang berilmu, atau orang yang mencari ilmu.” (HR Ibnu Majah.
Sanad hadits ini hasan)

Riwayat lain menyebutkan: “Kecuali hal-hal yang dipergunakan untuk mencari ridla Allah.”
Artinya, dunia dan isinya hanya akan menjauhkan manusia dari Allah, kecualii ilmu yang
bermanfaat yang dapat membimbing manusia untuk mengenal, mendekat, dan mengingat Allah.

4. Dunia itu sepele, jangan sampai tertipu.


Orang-orang yang zuhud terhadap dunia, akan semakin bertambah kezuhudannya, manakala
membaca firman-firman Allah swt. dan hadits-hadits Rasulullah saw. Ia akan mendapatkan
bahwa dunia hanyalah sesuatu yang tidak berharga. Karenanya, ia tidak akan tertipu dengan
dunia.

Firman Allah, “tetapi kamu [orang-orang] kafir memilih kehidupan dunia. Sedang kehidupan
akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’laa: 16-17)
“Katakanlah: ‘Kesenangan dunia hanya sebentar. Sedangkan akhirat itu lebih baik bagi orang-
orang yang bertakwa.” (an-Nisaa’: 77)
“Maka janganlah sekali-sekali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan [pula] penipu
[setan] memperdayakanmu dalam [menaati] Allah.” (Lukman: 33)
“Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia ini [dibandingkan
dengan] akhirat, hanyalah kesenangan [yang sedikit].” (ar-Ra’d: 26)
Jabir bin Abdullah ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. lewat di sebuah pasar. Sementara orang-
orang sibuk dengan urusan dunia. Ketika melihat bangkai seekor anak kambing congek, beliau
mengambilnya dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang mau membeli ini satu dirham?”
Mereka menjawab: “Kami tidak mau. Kami apakan bangkai itu?” Beliau bertanya, “Bagaimana,
kalau ini kalian miliki secara gratis?” Mereka menjawab: “Demi Allah, seandainya ia masih
hidup, kami tidak tertarik karean kambing itu kambing congek. Apalagi sudah menjadi bangkai.”
Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia ini leibih rendah derajatnya daripada
bangkai ini, di sisi Allah.” (HR Muslim)

Al-Mustaurid al-Fihri berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah dunia, jika
dibandingkan dengan akhirat, melainkan semupama salah seorang di antara kamu memasukkan
ujung jarinya ke lautan, maka lihatlah air yang menempel di ujung jari.” (HR Muslim)

5. Cercaan terhadap dunia tidak ditujukan kepada waktu atau tempat. Cercaan itu disebutkan
dalam al-Qur’an maupun hadits, bukan tertuju pada masa, yaiti siang dan malam yang saling
bergantian hingga hari kiamat. Karena Allah menjadikan keduanya bergantian untuk memberi
kesempatan bagi orang yang mau mengambil pelajaran dan mau bersyukur.

Cercaan tersebut juga bukan tertuju pada tempat, yaitu bumi yang telah dijadikan Allah sebagai
tempat berpijak. Bukan pula pada tumbuhan dan makhluk-makhluk yang diciptakan Allah
sebagai nikmat bagi hamba-hamba-Nya. Bagaimanapun kenikmatan tersebut telah diberikan
Allah kepada kita, untuk dimanfaatkan. Bahkan segala kenikmatan yang ada adalah bukti bahwa
Allah itu ada dan Mahakuasa.

Akan tetapi cercaan tersebut pada dasarnya adalah cercaan terhadap sikap dan perilaku di dunia.
Karena sering kali manusia menyalahi ajaran para Rasul, dan melakukan hal-hal yang
menimbulkan mudlarat.
Firman Allah, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; kemudina tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning.” (al-Hadid: 20)

Ibnu Rajab al-Hambali membagi manusia dalam dua golongan:

1. Pertama, golongan yang mengingkari kehidupan setelah mati. Mereka tidak mempercayai
semua amalannya di dunia akan mendapatkan balasan. Mereka inilah yang disebut dalam al-
Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan
dengan Kami, merasa puas dengan kehidupan dunia, merasa tentaram dengan kehidupan ini, dan
orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Tempat mereka adalah neraka, sebagai balasan
atas apa yang mereka perbuat.” (Yunus: 7)

Mereka hanya mengejar kesenangan dunia, sebelum ajal menjemput mereka. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang [di dunia] dan makan seperti makannya
binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Di antara mereka, ada yang menyerukan untuk berlaku zuhud. Mereka berfikir, bahwa
banyaknya urusan dunia hanya akan menambah pusing, bahkan manakala hati semakin cinta
dunia maka ia akan semakin merasa pedih saat berpisah dengan dunia.

2. Kedua, golongan yang mempercayai adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa
semua perbuatan di dunia akan mendapatkan balasan. Mereka inilah pengikut para rasul.
Golongan ini terbagi menjadi tiga kelompok:
a. Dhalim terhadap dirinya
b. Pertengahan
c. Senantiasa berlomba dalam kebaikan.

Kelompok yang paling banyak adalah kelompk pertama. mereka ini terbuai dengan kesenangan
dunia. Bahkan dunia menjadi tujuan utamanya. Mereka tidak menyadari bahwa kenikmatan
dunia hanyalah menopang untuk mengumpulkan bekal menuju akhirat, meskipun mereka
mengklaim beriman terhadap akhirat.

Sedangkan kelompok kedua adalah orang-orang yang memahami hakekat kehidupan dunia,
namun masih terlampau berlebihan dalam mereguk kenikmatan yang dibolehkan. Meskipun
tindakan itu tidak berdosa, namun akan mengurangi derajatnya di sisi Allah swt.
Ibnu Umar ra. pernah berkata, “Setiap kali seseorang mendapatkan dunia, niscaya derajatnya di
sisi Allah berkurang, meskipun ia orang yang dermawan.”
Qatadah bin Nu’man ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika Allah mencintai seorang
hamba, Dia akan menjauhkan orang tersebut dari dunia, seperti kalian menjauhkan orang sakit
dari makanan dan minuman yang membahayakan. (HR Tirmidzi)

Abdullah bin Umar ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Dunia adalah penjara bagi orang
mukmin, dan surga bagi orang kafir.” (HR Muslim)

Adapun kelompok ketiga adalah kelompok yang paling sedikit. Mereka inilah yang betul-betul
memahami hakekat kehidupan dunia dan mengimplementasikan pemahaman mereka dalam
kehidupan nyata.
Mereka memahami bahwa dunia hanyalah ujian bagi manusia, agar dapat diketahui siapa yang
paling baik amalnya. Mereka juga memahami semua kenikmatan dunia tidaklah kekal.

Firman Allah, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan [pula] apa yang di
atasnya menjadi rata lagi tandus.” (al-Kahfi: 8)

Karena itu mereka mengambil segala kenikmatan dunia hanyalah sekedarnya. Atau diibaratkan
dalam sebuah hadits, seperti sekadar melepas lelah.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda, “Aku tidak ada urusan dengan dunia.
Perumpamaanku dengan dunia, ibarat seorang musafir yang bernaung di bawah pohon, setelah
itu ia melanjutkan perjalanan.”

Di antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekadar untuk menyambung
hidup. Gaya hidup seperti inilah yang sering ditempuh mereka yang juhud.
Di antara mereka ada yang mengambil kenikmatan dunia hanya sekedar yang mereka butuhkan,
agar kuat dalam melakukan ibadah kepada Allah.

Rasulullah bersabda, “Aku dikaruniai rasa suka kepada wanita dan wewangian.” (HR Ahmad
dan Nasa’i)

‘Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. sukan kepada wanita, wewangian dan makanan. Ia
mendapatkan wanita dan wewangian. Sedangkan makanan beliau tidak mendapatkannya.” (HR
Ahmad) beliau juga bersabda, “Dunia adalah sebaik-baik tempat bagi orang yang menjadikannya
bekal untuk akhirat demi mencari ridla Tuhannya. Dan dunia adalah seburuk-buruk tempat bagi
orang yang terlena dengannya sehingga tercampak di akhirat dan tidak mendapatkan ridla
Allah.” (al-Hakim)

6. Cara mendapatkan kecintaan Allah.

Kita bisa mendapatkan mahabbatullah [cinta Allah] dengan bersikap zuhud terhadap dunia,
karena Allah mencintai orang yang menaati-Nya. Dengan zuhud terhadap dunia, berarti kita
hanya mengisi ruang hati kita dengan kecintaan kita kepada Allah, maka Allah pun akan
mencintai kita. Lain halnya dengan orang yang mencintai dunia. Ruang hatinya akan terisi
kecintaan dunia, hingga tidak mungkin menyatu dengan kecintaan Allah.

Karena itu dalam riwayat Rasulullah saw. bersabda, “Cinta dunia adalah pangkal segala dosa.”
Allah adalah Dzat yang tiada sekutu bagi-Nya. Karenanya, Dia tidak suka jika ada yang
menempati hati hamba-Nya selain Dia.
Andaikan tetap dipaksakan maka orang tersebut telah menyekutukan Allah di dalam hatinya
dengan kecintaan terhadap dunia.
Cinta dunia yang dilarang adalah cinta dunia yang membuatnya lupa kepada Allah. Sedangkan
cinta dunia yang dimaksud untuk kebaikan dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah,
maka hal tersebut sangatlah baik. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik
harta yang baik adalah hartanya laki-laki yang baik [shalih]. Harta tersebut digunakan untuk
menyambung silaturahim dan untuk melakukan kebaikan.” (HR Ahmad)

7. Cara mendapatkan kasih sayang sesama manusia

Hadits di atas mengajarkan kepada kita bagaimana mendapatkan kasih sayang dari sesama
manusia. Yaitu dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ketika kita membiarkan
mereka dengan apa yang mereka senangi, maka mereka akan suka kepada kita. Sebaliknya, jika
kita menginginkan apa yang mereka senangi, mereka akan membenci kita.

Hasan al-Bashri berkata, “Seseorang akan tetap disenangi sesama manusia selama ia tidak tamak
terhadap apa-apa yang mereka miliki. Karena jika ia tamak, maka mereka akan membencinya.”

Seorang Badui bertanya kepada penduduk Bashrah, “Siapakah pemimpin kalian?” Mereka
menjawab, “Hasan al-Bashri.” Ia bertanya, “Dengan apa ia menjadi pemimpin kalian?” Mereka
menjawab, “Orang-orang membutuhkan ilmunya, sedangkan ia tidak memerlukan dunia yang
mereka miliki.” Ia berkata, “Alangkah baiknya orang ini.”

Etika seperti itu perlu sekali dimiliki oleh para pemimpin dan ulama. Ketika pemimpin bersikap
zuhud, rakyat akan menyukai dan mengikuti aturannya. Demikian juga ulama, jika mereka
zuhud, umat akan menghormati ucapannya dan akan mematuhi nasehatnya.

Ibnu Salam pernah bertanya kepada Ka’ab ra. di hadapan Umar ra., “Apa yang menjadikan ilmu
itu cepat hilang, padahal sebelumnya telah dihafal dan dijaga?” Ka’ab ra. menjawab, “Tamak,
perangai buruk, dan meminta-minta.” Ibnu Salam berkata, “Benar.”

8. Zuhudnya Rasulullah dan para shahabatnya

Jika kita ingin mengetahui contoh keteladanan dalam masalah zuhud, maka kita akan
mendapatkanya pada diri Rasulullah saw. baik ucapannya maupun perbuatannya. Bagaimanapun
ucapan dan perbuatan Rasulullah saw. adalah hasil didikan Allah swt.

Allah berfirman, “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu dari kepada mereka apa-apa yang
telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia
untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal.”
(ThaaHaa: 131)

Selama hidupnya, sebelum dan sesudah hijrah, dalam keadaan senang maupun susah, Rasulullah
saw. senantiasa bersikap zuhud terhadap segala kenikmatan dunia, mengejar kepentingan akhirat
dan bersungguh-sungguh dalam beribadah. Sikap ini kemudian ditiru oleh para shahabat ra.
Mereka kemudian menjadi orang-orang yang patut menjadi teladan bagi orang-orang yang
berusaha bersikap zuhud.

Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang yang bertanya, “Dimana orang-orang yang zuhud
terhadap dunia dan mencintai akhirat?” lalu Ibnu Umar menunjukkan Kuburan Rasulullah saw.,
Abu Bakar, dan Umar, seraya berkata, “Mereka yang kamu tanyakan?”

Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata kepada teman-temannya, “Shalat, puasa dan jihad kalian, lebih
banyak dari yang dilakukan oleh para shahabat ra. Akan tetapi kebaikan mereka lebih banyak
daripada kalian.” Mereka bertanya, “Bagaimana bisa terjadi?” Ia menjawab, “Mereka lebih
zuhud dari pada kalian. Mereka mendapatkan banyak harta dunia, akan tetapi harta itu mereka
belanjakan untuk perjuangan Islam.”

Abu Sulaiman pernah berkata, “Utsman ra. dan Abdurrahman bin Auf ra. adalah gudang harta.
Keduanya membelanjakan harta itu dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Semua
tingkah lakunya dilakukan sepenuh hati dan didasari pengetahuan yang luas.”

9. Zuhud yang tidak benar.

Zuhud yang benar adalah seperti yang telah dijelaskan di atas. Adapun zuhud yang tidak benar
adalah menolak semua jenis kenikmatan dunia dan tidak mau merasakannya sedikitpun. Zuhud
dengan pengertian seperti ini dianut oleh sebagian umat Islam pada masa pemerintahan Abasiyah
mulai melemah. Mereka mengenakan baju compang-camping dan tidak mau bekerja. Hidup
mereka adalah hanya menggantungkan dari shadaqah orang lain. Dengan kondisi seperti ini,
mereka mengklaim bahwa dirinya adalah orang yang zuhud. Padahal Islam sama sekali tidak
menghendaki perilaku hina yang membawa kehancuran tersebut.

Umat Islam dewasa ini telah bisa menjauhi pemikiran seperti ini, mereka berusaha dan
berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan dunia yang halal. Bahkan ada kekhawatiran,
berkibat lupa akan akhirat. Karenanya kita harus selalu berusaha mencari sarana yang dapat
mengingatkan kita kepada Allah, dan membawa kita kepada sikap zuhud, agar kita selamat dari
godaan setan dan tidak terlena dengan dunia.

Anda mungkin juga menyukai