Anda di halaman 1dari 46

ANALISIS KEEFEKTIVAN PEMBERIAN ASI EKLUSIF PADA BAYI

DENGAN BBLR DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL


YOGYAKARTA

KARYA TULIS AKHIR

DISUSUN OLEH

MARIA GIOVANI SA LONGA


NIM 24.20.1470

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bayi berat lahir rendah (BBLR) diartikan sebagai bayi


yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram
(WHO, 2017). Menurut WHO (2017) mengelompokkan
BBLR menjadi 3 macam, yaitu BBLR (1500–2499 gram),
BBLR (1000-1499 gram), BBLR (< 1000 gram). BBLR
berkontribusi sebesar 60%-80% terhadap kematian neonatal
(WHO, 2018). Menurut Data WHO, (2018) bahwa
prevalensi kejadian BBLR di dunia yaitu 20 juta (15.5%)
setiap tahunnya, dan negara berkembang menjadi kontributor
terbesar yaitu sekitar 96.5% Indonesia sebagai salah satu
negara berkembang masih berada pada posisi yang cukup
tinggi untuk kasus BBLR. Berdasarkan data SDKI, (2017)
angka kejadian BBLR di Indonesia pada tahun masih relatif
tinggi yaitu sebesar 7,1%. Provinsi Sulawesi Tengah
menduduki peringkat pertama kejadian BBLR yaitu 8,9%,
sedangkan provinsi yang memiliki persentase angka kejadian
BBLR paling rendah adalah Provinsi Jambi (2,6%) (Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Statistik,
Kesehatan, 2018).
Kasus kematian bayi di kabupaten Bantul tahun 2019
sejumlah 107 kasus, dan yang terjadi hampir disemua
wilayah kecamatan di kabupaten bantul. Kecamatan dengan
kematian bayi tertinggi yaitu diwlayah puskesmas
banguntapan I yaitu sebanyak 11 kasus. Penyebab kematian
bayi dengan kasus BBLR sejumlah 35 kasus. Bayi dengan
BBLR cenderung mengalami gangguan perkembangan
kognitif, retardasi mental, serta lebih mudah mengalami
infeksi yang dapat mengakibatkan kesakitan atau bahkan
kematian (De Onis et al., 2019).
Persentase angka kejadian bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) di daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun ke
tahun fluktuatif, dari tahun 2013 sampai tahun 2015 terjadi
kenaikan. Kemudian pada tahun 2015 sampai tahun 2017
cenderung menurun. Persentase BBLR pada tahun 2015
yaitu 6,4%, kemudian menurun menjadi 5,46% di tahun
2016, dan di tahun 2017 terjadi penurunan kembali menjadi
5,16%. Persentase BBLR ini didapatkan dari bayi yang lahir
dengan berat badan kurang dari 2500 gram dibandingkan
dengan bayi yang lahir hidup pada tahun tersebut (Dinas
Kesehatan Yogyakarta, 2019).
Kasus kematian bayi di kabupaten Bantul tahun 2019
sejumlah 107 kasus, dan yang terjadi hampir disemua
wilayah kecamatan di kabupaten Bantul. Kecamatan dengan
kematian bayi tertinggi yaitu diwilayah puskesmas
banguntapan I yaitu sebanyak 11 kasus. Penyebab kematian
bayi dengan kasus BBLR sejumlah 35 kasus. Bayi dengan
BBLR cenderung mengalami gangguan perkembangan
kognitif, retardasi mental, serta lebih mudah mengalami
infeksi yang dapat mengakibatkan kesakitan atau bahkan
kematian (De Onis et al., 2019).
BBLR merupakan kondisi yang bisa disebabkan oleh
beberapa faktor, beberapa diantaranya yaitu frekuensi ante
natal care (ANC) ibu selama kehamilan, pekerjaan, jumlah
paritas, pendidikan dan status gizi (Wijaya, 2019). BBLR
mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami morbiditas
dan mortalitas daripada bayi lahir yang memiliki berat badan
normal. Masa kehamilan yang kurang dari 37 minggu dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi pada bayi karena
pertumbuhan organ- organ yang berada dalam tubuhnya
kurang sempurna. Kemungkinan yang terjadi akan lebih
buruk bila berat bayi semakin rendah (Perwiraningtyas dkk,
2020).Semakin rendah berat badan bayi, maka semakin
penting untuk memantau perkembangannya di minggu-
minggu setelah kelahiran (Nussbaumer-Streit et al., 2020).
Jurnal penelitian Linda, (2017) menuliskan bayi dengan
BBLR mempunyai resiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan bayi dengan berat badan lahir normal,
terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna, dan bayi
BBLR mengalami pembentukan fungsi organ yang belum
sempurna dan lemah sehingga bayi mudah terkena penyakit
infeksi. Meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada bayi
yaitu dengan pemberian gizi yang sesuai.
Teori yang dituliskan oleh Yuliastati, (2016)
menjelaskan bahwa pada bayi dengan masalah BBLR
mengalami masalah kelemahan pada bagian reflek antara
lain reflek moro, reflek mengenggam, reflek rooting, dan
reflek menghisap. Akibat dari kelemahan serta ketidak
efektifan pada fungsi reflek pada bayi, menyebabkan
pemenuhan kebutuhan nutrisi pada bayi tidak terpenuhi
sehingga hal tersebut dapat menyebabkan masalah kesehatan
yang lebih berat pada bayi, Penatalaksanaan masalah pada
bayi dengan BBLR dalam mengatasi masalah pemenuhan
kebutuhan nutrisi yaitu dengan pemberian ASI ekslusif.
Teori yang dituliskan oleh Yuliastati, (2016) didukung jurnal
Hartiningrum & Fitriyah, (2018) menjelaskan bahwa BBLR
memiliki system imun yang kurang baik dibandingkan pada
bayi dengan berat normal sehingga lebih mudah mengalami
infeksi yang dapat mengakibatkan kesakitan atau bahkan
kematian.
Penatalaksanaan dalam mengatasi BBLR dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi yaitu dengan pemberian asuhan
keperawatan yang efektif pada bayi dan ibu, Perawat
merupakan anggota dari tim pemberi asuhan keperawatan
pada orang tua dan bayi. Perawat dapat berperan dalam
berbagai aspek dalam memberikan pelayanan kesehatan dan
bekerjasama dengan anggota tim lain dan keluarga dalam
upaya membantu memecahkan masalah yang berkaitan
dengan perawatan anak. Peran preventif perawat berperan
dalam memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua,
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membatu
orang tua memahami tentang perawatan pada anak serta,
mencegah masalah kesehatan yang dapat terjadi pada anak.
Peran kuratif perawat berperan memberikan pelayanan
kesehatan yang bertujuan untuk terlaksananya asuhan
keperawatan yang holistic dan komprehensif, dengan
berkolaborasi dan koordinasi bersama dengan anggota tim
kesehatan lain serta keluarga. Peran promotif, perawat
berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan
kesehatan pasien (Yuliastati, 2016).
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan diatas maka
peneliti bermaksud untuk menulis karya tulis akhir dengan
judul “Analisis Asuhan Keperawatan Dengan Berat Bayi
Lahir Rendah (BBLR) di RSUD panembahan senopati
Bantul Yogyakarta”.
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Menganalisis efektivitas pemberian ASI eklusif pada
bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) di RSUD
Penembahan Senopati Bantul Yogyakarta.
b. Tujuan Khusus
Untuk menganalisis penerapan asuhan keperawatan
(pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi) pada BBLR .
C. Ruang Lingkup
Asuhan keperawatan ASI eklusif pada bayi dengan masalah
berat bayi lahir rendah (BBLR), di RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta.
D. Manfaat penulisan
a. Manfaat bagi mahasiswa
1) Dapat digunakan sebagai acuan dalam menganalisis
penerapan asuhan keperawatan
b. Manfaat bagi lahan praktek (RSUD Panembahan
Senopati Bantul Yogyakarta)
1) Dapat diterapkan sebagai salah satu penatalaksanaan
masalah pada bayi dengan BBLR
c. Manfaat bagi institusi (STIKes Surya Global
Yogyakarta)
1) Dapat menjadi bahan pustakaan
2) Dapat digunakan sebagai bahan ajar

E. Keaslian Penelitian
1. Handayani, Kapota & Oktavianto (2019) penelitian ini
berjudul “ Hubungan Status ASI eksklusif Dengan
Kejadian Stunting Pada Batita Usia 24-36 Bulan Di
Desa Watugajah Kabupaten Gunungkidul”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan status
ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada batita usia
24-36 bulan. Metode penelitian ini adalah deskriptif
korelasioanal yang bersifat kuantitatif dengan
pendekatan cross sectional pengambilan sampel
menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah
44 responden. Instrumen penelitian ini menggunakan
kuesioner dan microtoise/pita meteran. Hasil penelitian
menunjukan ada hubungan pemberian ASI eksklusif
dengan kejadian stunting pada batita usia 24-36 bulan di
Desa Watugajah, Kabupaten Gunungkidul.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah intervensi yang diberikan
Perbedaan penelitiannya adalah metode penelitian,
jumlah populasi, tempat dan waktu penelitian,
pengambilan data, instrumen yang digunakan, metode
analisa data dan pengolahan data dan kriteria responden
yang akan diberikan intervensi.
2. Widiastuti, Rustina & Agustini (2019) penelitian ini
berjudul “Hubungan Dukungan Sosial Dengan Motivasi
Ibu Dalam Memberikan ASI Pada Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR)”. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
analisis menggunakan non probality sampling dengan
jenis purporsive sampling dengan jumlah sampel 43
responden. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan
dukungan sosial dengan motivasi ibu dalam memberikan
ASI pada BBLR (p<0,05).
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah desain penelitian
menggunakan studi kasus dan dengan pendekatan
deskriptif, intervensi yang diberikan dan kriteria
responden yang akan diberikan intervensi.
Perbedaan penelitiannya adalah metode penelitian,
jumlah populasi, tempat dan waktu penelitian, metode
analisa data dan pengolahan data.
3. Ayu Rosida Setiati, Sunarsig Rahayu (2017) penelitian
ini berjudul “Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian
BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) Di Ruang Perawatan
Intensif Neonatus RSUD DR Moewardi Di Surakarta”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor
faktor yang mempengaruhi kejadian berat lahir rendah
pada unit perawatan intensif neonatal. Desain penelitian
ini adalah pendekatan analitik deskriptif pada bayi
dengan berat badan lahir rendah, pengambilan sampel
menggunakan total sampling. Hasil penelitian
menunjukan ada hubungan antara usia, paritas,
pendarahan antepartum, eklampsia dan ruptur prematur.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti adalah kriteria responden yang
akan diberikan intervensi.
Perbedaan penelitiannya adalah metode penelitian,
jumlah populasi, tempat dan waktu penelitian,
pengambilan data, instrumen yang digunakan, metode
analisa data dan pengolahan data.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar BBLR


1. Pengertian
WHO, (2017) mendefinisikan terkait BBLR yaitu
sebagai bayi yang lahir dengan berat ≤ 2500 gr. WHO
mengelompokkan BBLR menjadi 3 macam, yaitu BBLR
(1500–2499 gram), BBLR (1000-1499 gram), BBLR (<
1000 gram). Menurut WHO, (2017) menjelaskan bahwa
sebesar 60–80% dari Angka Kematian Bayi (AKB) yang
terjadi, disebabkan karena BBLR. BBLR mempunyai
risiko lebih besar untuk mengalami morbiditas dan
mortalitas daripada bayi lahir yang memiliki berat badan
normal. Masa kehamilan yang kurang dari 37 minggu
dapat menyebabkan terjadinya komplikasi pada bayi
karena pertumbuhan organ-organ yang berada dalam
tubuhnya kurang sempurna.
Semakin rendah berat badan bayi, maka semakin
penting untuk memantau perkembangannya di minggu-
minggu setelah kelahiran. Ibu yang selalu menjaga
kesehatannya dengan mengkonsumsi makanan bergizi
dan menerapkan gaya hidup yang baik akan melahirkan
bayi yang sehat, sebaliknya ibu yang mengalami
defisiensi gizi memiliki risiko untuk melahirkan BBLR
(Nussbaumer-Streit et al., 2020).
2. Etiologi
Menurut Tonasih & Kumalasary, (2018) Faktor
penyebab terjadinya kejadian berat badan bayi lahir
rendah (BBLR) antara lain:
a. Faktor resiko ibu
1) Paritas

Kejadian BBLR lebih sering didapatkan pada ibu


dengan jumlah paritas 1 dan lebih dari 4 karena
terdapatnya jaringan parut akibat kehamilan dan
persalinan terdahulu.Jaringan parut tersebut
akibat persediaan darah ke plasenta tidak adekuat
sehingga perlekatan plasenta tidak sempurna
sehingga penyaluran nutrisi yang berasal dari ibu
ke janin terganggu dan kurang mencuk-upi
kebutuhan janin. Sedangkan kejadian BBLR pada
ibu dengan paritas pertama disebabkan oleh
masih minimnya pengalaman dan pengetahuan
ibu hamil dalam menangani kehamilannya.
2) Usia ibu
Usia ibu adalah waktu hidup ibu bersalin sejak
lahir sampai hamil. Saat terbaik untuk seorang
wanita hamil adalah saat usia 20-35 tahun, karena
pada usia itu seorang wanita sudah mengalami
kematangan organ-organ reproduksi dan secara
psikologi sudah dewasa.
3) Gizi hamil
Status gizi selama kehamilan adalah salah satu
faktor penting dalam menentukan pertumbuhan
janin. Status gizi ibu hamil akan berdampak pada
berat badan lahir, angka kematian perinatal,
keadaan kesehatan perinatal, dan pertumbuhan
bayi setelah kelahiran. Situasi status gizi ibu
hamil sering digambarkan melalui pravelensi
anemia dan Kurang Energi Kronis (KEK) pada
ibu hamil.
4) Pekerjaan
Pekerjaan ibu menjadi salah satu perhatian penu-
lis oleh karena aktivitas fisik berlebihan dari ibu
yang bekerja di luar rumah yang mungkin dialami
ibu yang sedang mengandung. Selain itu tingkat
stress yang dialami ibu yang bekerja kantoran
juga menurut penulis dapat mempengaruhi
kesehatan bayi yang dikandungnya.
5) Pendidikan
Pendidikan ibu mengambarkan pengetahuan
kesehatan. Seseorang yang memiliki pendidikan
tinggi mempunyai kemungkinan pengetahuan
tentang kesehatan juga tinggi, karena makin
mudah memperoleh informasi yang didapatkan
tentang kesehatan lebih banyak dibandingkan
dengan yang berpendidikan rendah. Semakin
tinggi pendidikan ibu akan semakin mampu
mengambil keputusan bahwa pelayanan
kesehatan selama hamil dapat mencegah
gangguan sedini mungkin bagi ibu dan janinnya.
Pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan
ting-kat pengetahuan ibu tentang perawatan
kehamilan dan gizi selama masa kehamilan.
6) Status Anemia
Kadar hemoglobin darah sangat penting untuk
kesehatan ibu dan bayi. Keadaan anemia akibat
kadar hemoglobin yang rendah dapat
menyebabkan distribusi oksigen ke jaringan akan
berkurang dan akan menurunkan metabolisme
jaringan sehingga pertumbuhan janin akan
terhambat, dan mengaki-batkan berat badan lahir
bayi rendah.

b. Faktor resiko bayi


1) Gemeli (Kehamilan ganda)
Kehamilan ganda yaitu kehamilan dimana jumlah
janin yang dikandung lebih dari satu. Kehamilan
ganda meningkatkan insidensi IUGR, kelainan
kongenital dan presentasi abnormal. Berat badan
janin pada kehamilan kembar lebih ringan dari
pada janin pada kehamilan tunggal pada umur
kehamilan yang sama. Berat badan janin pada
kehamilan kembar rata-rata 1000gr lebih ringan
dari pada janin kehamilan tunggal dan pada
umumnya memiliki berat kurang dari 2.500 gram.
2) Umur gestasi
Bayi yang lahir dalam keadaan prematur (umur
gestasi<35) meningkatkan kemungkinan lahir
dengan berat badan rendah. Oleh karena pertum-
buhan janin yang belum sempurna di ming- gu-
minggu akhir gestasi sehingga berat badan bayi
menjadi rendah saat lahir.
3. Patofisiologi
Berat badan lahir rendah dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu, faktor ibu, faktor janin, faktor
lingkungan. Faktor ibu meliputi penyakit ya ng diderita
ibu, usia ibu saat hamil kurang dari 16 tahun atau lebih
dari 35 tahun, keadaan sosial ekonomi. Faktor janin
meliputi hidramion, kehamilan ganda, kelainan
kromosom. Faktor lingkungan meliputi tempat tinggal,
radiasi, dan zat-zat beracun. Dimana faktor-faktor
tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam rahim sehingga mengalami
gangguan dan suplai makanan ke bayi jadi berkurang.
Hal tersebut dapat mengakibatkan bayi lahir prematur
atau dismatur degan berat badan kurang dari 2500 gram.
Jika hal tersebut terjadi maka bayi di tuntut untuk
beradaptasi pada kehidupan estrauterin sebelum organ
dalam tubuhnya secara optimal.

BBLR biasanya disebabkan juga oleh hamil dengan


hidramnion, hamil ganda, perdarahan, cacat bawaan,
infeksi dalam rahim. Hal ini akan menyebabkan bayi
lahir dengan berat 2500 gram dengan panjang kurang
dari 45 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm kepala lebih
besar, kulit tipis, transparan, rambut laguno banyak,
lemka kurang, otot hipotonik lemah, pernapasan tidak
teratur dapat terjadi apnea biasanya terjadi pada umur
kehamilan kurang dari 37 minggu.

Kemungkinan yang terjadi pada bayi dengan BBLR


adalah sindrom aspirasi mekonium, asfiksia neonatorum,
sindrom distres respirasi, penyakit membran hialin,
dismatur preterm terutama bila masa getasinya kurang
dari 35 minggu, hiperbilirubin, patent ductusarteriosus,
perdarahan ventrikel otak, hipotermia, hipoglikemia,
anemia, gangguan pembekuan darah dan infeksi
(Marsyah, 2019).
4. Manifestasi Klinis
Menurut Pantiawati dalam Marsyah (2019) tanda dan
gejala BBLR adalah:
a. Prematuriktas Murni
1) Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang
badan kurang dari 45 cm, lingkar kepala kurang
dari 33 cm, dan lingkar dada kurang dari 30 cm.
2) Masa getrasi kurang dari 37 minggu
3) Kulit tipis dan trasparan, tampak mengkilap dan
licin
4) Kepala lebih besar daripada badan
5) Lanugo banyak terupada pada dahi, pelipis,
telinga dan lengan
6) Lemak subkutan kurang
7) Ubun-ubun dan sutura lebar
8) Rambut tipis dan halus
9) Tulang rawan dan daun telonga ammature
10) Pembuluh darah kulit banyak terlihat, peristaltik
usus dapat terlihat
11) Reflek tonick neck lemah
12) Reflek menghisap dan menelan belum sempurna
13) Bayi masi lemah, otot masi hipotonik
14) Banyak tidur, tangis lemah, pernapasan belum
teratur dan sering mengalami serangan apnue.
b. Dismatur
1) Kulit pucat atau bernoda mekonium, kering
keriput, tipis
2) Verniks caseaosa tipis atau tidak ada
3) Jaringan lemak dibawah kulit tipis
4) Banyak tampak agresif, kuat dan aktif
5) Tali pusat berwarna kehijauan
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada bayi berat lahir
rendah (BBLR) menurut Julina, (2017) adalah:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia istilah medis dimana kadar gula
dalam darah menurun, organ otak pada tubuh bayi
dengan bayi berat lahir rendah (BBLR) masih imatur
dan jaringan lemak yang sangat tipis dapat
mengakibatkan bayi mengalami kekurangan energi
sehingga tidak dapat mengatur suplai kadar glukosa
sehingga mengakibatkan bayi mengalami
hipoglikemi. Penyelidikan kadar gula darah pada
12jam pertama menunjukkan bahwa hipoglikemia
dapat terjadi sebanyak 50% pada bayi matur. Glukosa
merupakan sumber utama energi selama masa janin.
Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung
dari kadar gula darah ibu karena terputusnya
hubungan plasenta dan janin menyebabkan
terhentinya pemberian glukosa. Bayi aterm dapat
mempertahankan kadar gula darah 50 sampai 60 mg/
dL selama 72 jam pertama, sedangkan bayi berat
badan lahir rendah dalam kadar 40 mg/dL. Hal ini
disebabkan cadangan glikogen yang belum
mencukupi. Tanda klinis hipoglikemia yaitu, gemetar
atau tremor, sianosis, apatis, kejang, apnea
intermiten, tangisan lemah atau melengking,
kelumpuhan atau letargi, kesulitan minum, terdapat
gerakan putar mata, keringat dingin, hipotermia,
gagal jantung dan henti jantung.
b. Hipotermia
Hipotermiaterjadi jika suhu tubuh dibawah 36,5
°C (suhu normal pada neonatus 37-37,5 °C ) pada
pengukuran suhu melalui ketiak. Bayi baru lahir
mudah sekali terkena hipotermi. Dalam kandungan,
bayi berada dalam suhu lingkungan yang normal dan
stabil (36ᴼC).

Segera setelah lahir, bayi dihadapkan pada suhu


lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan
suhu ini memberi pengaruh pada kehilangan panas
tubuh bayi. Selain itu, hipotermi dapat terjadi karena
kemampuan untuk mempertahankan panas dan
kesanggupan menambah produksi panas sangat
terbatas karena pertumbuhan otot- otot yang belum
cukup memadai, lemak subkutan yang sedikit, belum
matangnya sistem saraf pengatur suhu tubuh, luar
permukaan tubuh relatif lebih besar dibandingkan
dengan berat badan sehingga mudah kehilangan
panas.
c. Gangguan cairan dan elektrolit
Keadaan normal cairan tubuh dalam keadaan
seimbang. Bayi dengan BBLR memiliki permukaan
tubuh yang relatif luas, sehingga pengupan tubuh
dengan suhu luar sangat berlebihan, sehingga bayi
beresiko mengaami dehidrasi.
d. Hiperbilirubnemia
Bilirubin merupakan salah satu senyawa yang
terjadi karena hasil pemecahan dari sel darah merah
yang kemudian di keluarkan melaui plasenta yang
ada di dalam tubuh, bilirubin lebih dikenal dengan
istilah kuning pada bayi baru lahir.Peningkatan kadar
bilirubin serum akan menyebabkan bilirubin yang
belum dikonjugasi di hati karena pada organ bayi
dengan BBLR mengalami imaturitas sehingga
bilirubin masuk kedalam sel saraf.
6. Penatalaksanaan Medis
Tindakan yang dapat dilakukan pada bayi dengan BBLR
menurut Nike, (2014) adalah:
a. Fototherapi (terapi sinar)
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah
indirek lebih dari 10 mg%. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan fototerapi
profilaksis pada 24 jam pertama pada bayi resiko
tinggidan berat badan lahir rendah.
Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan
dekomposisi bilirubin sari suatu senyawaan tetrapirol
yang sulit larutdalam air menjadi senyawa dipirol
yang mudah larut dalam air sehingga dapat
dikeluarkan melalui urine dan feses. Disamping itu
pada terapi sinar ditemukan pula peninggian
konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu
duodenum dan menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga
peristaltic usus meningkat dan bilirubin keluar
bersama feses, dengan demikian kadar bilirubin akan
menurun.
b. Medikametosa
Pemberian Vit K1: dengan injeksi 1 mg dengan IM
yang diberikan pada saat lahir.
B. Konsep Dasar Nutrisi
1. Pengertian
Menurut Sudart & Afron dalam Panuluh, (2020)
Nutrisis adalah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh
untuk tumbuh dan berkembang. ASI adalah makanan
terbaik bagi bayi, begitupun bagi bayi BBLR. BBLR
biasanya belum mampu menghisap dengan baik karena
itu pemberian makanannya berupa ASI atau susu formula
khusus untuk BBLR.
a. Jenis jenis nutrisi yang dibutuhkan oleh BBLR
1) Energi

Kebutuhan energi yang dihitung berdasarkan


ekspenditor pertumbuhan/sintesis, cadangan dan
ekskresi diperkirakan sebesar 90-120
kkal/kgBB/hari. Adanya variasi individual,
anjuran asupan energi untuk nutrisi enteral
sebesar 105-130 kkal/kgBB/hari mampu untuk
BBLR mencapai pertumbuhan yang
memuaskan.
2) Protein
Masuknya protein sebesar 2,25-4,0 g/BB/hari
dinilai adekuat dan tidak toksik. Kebutuhan
yang diperkirakan berdasarkan untuk
penambahan berat badan janin adalah 3,5-4,0
g/BB/hari. Pada umumnya bayi yang mendapat
formula predominant whey menunjukan indeks
metabolic dan komposisi asam amino plasma
mendekati bayi yang mendapat ASI. Bayi
dengan asupan protein sebesar 2,8-3,1
g/kgBB/hari dengan 110-120 kkal/kgBB/hari
menunjukan pertumbuhan yang paling
menyerupai pertumbuhan janin.
3) Lemak
Lemak merupakan sumber energi terbesar (40-
50%) yang setara dengan masukan sebesar 5-7
g/kgBB/hari. Lemak ASI lebih mudah diserap
karena komposisi asam lemak serta asam
palmitat dalam posisi disamping adanya lipase
pada ASI.
4) Karbohidrat
Karbohidrat memasok energi sebesar 40-50%
dari betuhan perhari atau setara dengan 10-4-
g/kgBB/hari. Kemampuan BBLR untuk
mencerna laktosa pada beberapa waktu setelah
lahir rendah karena rendahnya aktivitas enzim
laktase; sehingga dapat terjadi keadaan
intoleransin laktosa.
2. Penyebab
a. Ketidakmampuan menelan makanan
b. Ketidakmampuan mencerna makanan
c. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
d. Peningkatan kebutuhan metabolisme
e. Faktor ekonomi (mis, finansial tidak mencukupi)
f. Faktor psikologis (misalnya stres, keengganan untuk
makan) SDKI, (2017).
3. Gejala dan tanda minor
Subjektif
a. Cepat kenyang setelah makan
b. Nafsu makan menurun
Objektif
a. Bising usus hiperaktif
b. Otot mengunyah lemah
c. Otot menelan lemah
d. Membran mukosa pucat
e. Sariawan
f. Serum albumin turun
g. Rambut rontok berlebihan
h. Diare
SDKI, (2017)
4. Kondisi klinik terkait
a. Stroke
b. Parkinson

c. Mobius syndrome

d. Cerebral palsy

e. Cleft lip

f. Cleft palate
g. Amyotropic lateral sclerosis
h. Kerusakan neuromuskular
i. Luka bakar
5. Penatalaksanaan
Berdarkan penelitian yang dilakukan oleh Sektiana
Sari, (2020) dengan judul penelitian pemberian ASI
eksklusif untuk menaikan berat badan pada bayi berat
badan lahir rendah. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan pada beberapa bayi yang diambil berdasarkan
beberapa kriteria antara lain, bayi dengan berat badan
<2500 gram, bayi BBLR usia 7-14 hari, dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh peneliti diperoleh hasil
bahwa penerapan pemberian ASI pada bayi dengan
BBLR dapat meningkatkan berat badan pada bayi. Hasil
penelitian juga diperoleh bahwa pemberian ASI eksklusif
pada bayi selain dari dapat meningkatkan berat badan
bayi pada BBLR, hasil penelitian juga diperoleh bahwa
rata-rata bayi yang diberikan ASI ekslusif dapat menjaga
kestabilan berat badan sehingga bayi tetap mengalami
pertumbuhan yang normal, dan bayi mempunyai resiko
lebih kecil terserang penyakit infeksi. Kesimpulan dari
hasil penelitian yang dituliskan oleh peneliti yaitu
pemberian ASI eklusif sangat baik diberikan pada bayi
untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan bayi.
Penelitian lain diperoleh bahwa BBLR dapat menjadi
salah satu penyebab terjadinya stunting pada bayi apabila
tidak segera diatasi. Jurnal penelitian yang dilakukan
oleh Siska, (2021) Prevalensi kejadian Stunting pada
balita di Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 36,4 %
balita. Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh
hasil terdapat hubungan riwayat BBLR dengan kejadian
Stunting pada balita dengan nilai p=0.00. Penelitian yang
serupa juga dilakukan oleh Suryati, (2021) dengan judul
deteksi dini resiko stunting sebagai upaya pencegahan
melalui riwayat pemberian ASI eklusif dan berat bayi
lahir rendah (BBLR), Hasil penelitian menunjukkan
pemberian ASI eksklusif dan berat badanlahir dapat
memprediksi risiko stunting. Terdapat hubungan yang
bermakna antara ASI Eksklusif dengan risiko stunting (p-
value 0,00 <0,05). Ada hubungan yang bermakna antara
BBLR dengan risiko stunting (p-value 0,004<0,005).
Pemberian ASI yang tidak optimal, seperti IMD yang
terlambat, pemberian ASI noneksklusif, dan penyapihan
dini memiliki risiko lebih besar mengalami stunting
dimana anak cenderung mengalami kekurangan nutrisi
yang dibutuhkan dalam proses tumbuh kembangnya.
Berat badan lahir rendah lebih rentan terhadap infeksi,
kesulitan bernapas, kematian, penyakit infeksi, berat
badan kurang dan stunting pada awal masa neonatal
hingga masa kanak-kanak yang berdampak pada
pertumbuhan, perkembangan dan tinggi badan anak.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian ASI tidak
eksklusif dan BBLR berpengaruh terhadap risiko
stunting
Berdasarkan beberapa jurnal penelitian yang
diperoleh dapat ditarik kesimpulan bahwa, pemenuhan
kebutuhan nutrisi pada bayi dengan BBLR sangat
penting untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan
yang dapat terjadi pada bayi dengan masalah BBLR
serta, salah satu penatalaksanaan dalam pemenuhan
kebutuhan nutrisi pada bayi yaitu dengan pemberian ASI
eklusif.
C. Konsep Asuhan Kerperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengumpulan data
1) Biodata
Biodata atau identitas pasien yang berisi nama
pasien, nama ibu, tanggal lahir, no RM, dan data
lainnya.
2) Riwayat maternatal
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat disebabkan
oleh bayi prematur maupun retardasi
pertumbuhan rahim/IUGR (intrauterine
growthrestriction). Usia kehamilan< dari 36bulan
dapat menyebabkan bayi BBLR, ibu yang
memiliki riwayat melahirkan berat bayi lahir
rendah (BBLR) mempunyai potensi tinggi untuk
melahirkan bayi berat badan lair rendah BBLR
kembali.
3) Umur ibu
4) Riwayat hari pertama haid terakhir
5) Riwayat persalinan sebelumnya
6) Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
7) Kenaikan berat badan selama hamil
8) Aktivitas
9) Penyakit yang diderita selama hamil
10) Obat-obatan yang diminum selama hamil
b. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan fisik ballard
Sistem penilaian skor ballard dikembangkan oleh
Dr. Jeanne L Ballard, MD untuk menentukan usia
gestasi bayi baru lahir melalui penilaian
neuromuskular dan fisik. Penilaian
neuromuskular meliputi postur, square window,
arm recoil, sudut popliteal, scarf sign dan heel to
ear maneuver. Penilaian fisik yang diamati adalah
kulit, lanugo, permukaan plantar, payudara,
mata/telinga, dan genitalia (Ballard dalam
Hartono, 2016).
a) Penilaian maturitas neuromuskular
(1) Postur
Tonus otot tubuh tercermin dalam postur
tubuh bayi saat istirahat dan adanya
tahanan saat otot diregangkan. Pada bayi
prematur tonus pasif ekstensor tidak
mendapat perlawanan, sedangkan pada
bayi yang mendekati matur menunjukkan
perlawanan tonus fleksi pasif yang
progresif.

Gambar 2.1 Postur Bayi

(2) Square window


Pemeriksa yang dilakukan dengan cara
meluruskan jari- jari bayi dan menekan
punggung tangan dekat dengan jari- jari
dengan lembut. Fleksibilitas pergelangan
tangan dan atau tahanan terhadap
peregangan ekstensor memberikan hasil
sudut fleksi pada pergelangan tangan.
Gambar 2.2 square window

(3) Arm recoil


Pemeriksaan yang dilakukan dengan
mengevaluasi bayi pada saat terlentang.
Pegang kedua tangan bayi, fleksikan
lengan bagian bawah sejauh mungkin
dalam 5 detik, lalu rentangkan kedua
lengan dan lepaskan. Amati reaksi bayi
saat lengan dilepaskan.
(a) Skor 0: tangan tetap terlentang
(b) Skor 1: fleksi parsial 140-180 derajat
(c) Skor 2: fleksi parsial 110-140 derajat
(d) Skor 3: fleksi parsial 90-100 derajat
(e) Skor 4: kembali ke fleksi penuh

Gambar 2.3 Arm recoil


(4) Popliteal angle
Pemeriksaan yang dilakukan dengan
posisi bayi berbaring terlentang, tanpa
popok, paha ditempatkan lembut di perut
bayi dengan lutut tertekuk penuh.
Setelah bayi rileks dalam posisi ini,
pemeriksa memegang kaki satu sisi
dengan lembut dengan satu tangan
sementara mendukung sisi paha dengan
tangan yang lain. Jangan memberikan
tekanan pada paha belakang. Kaki bayi
diekstensikan sampai terdapat resistensi
pasti terhadap ekstensi. Ukur sudut yang
terbentuk antara paha dan betis di daerah
popliteal. Pastikan pemeriksa harus
menunggu sampai bayi berhenti
menendang secara aktif sebelum
melakukan ekstensi kaki.

Ga
mbar 2.4 Popliteal Angle
(5) Scarf sign
Pemeriksaan Manuver dilakukan dengan
cara menguji tonus pasif fleksor gelang
bahu. Bayi berbaring terlentang,
pemeriksa mengarahkan kepala bayi ke
garis tengah tubuh dan mendorong
tangan bayi melalui dada bagian atas
dengan satu tangan dan ibu jari dari
tangan sisi lain pemeriksa diletakkan
pada siku bayi. Amati posisi siku pada
dada bayi.
(a) Skor -1: penuh pada tingkat leher
(b) Skor 0: garis aksila konralateral
(c) Skor 1: kontralateral baris putting
(d) Skor 2: prosesu xypohid
(e) Skor 3: garis putting ipsilateral
(f) Skor 4: garis aksila ipsilateral

Gambar 2.5 Scarf sign

(6) Heel to ear


Pemeriksaan Manuver dilakukan dengan menilai tonus
pasif otot fleksor pada gelang panggul. Posisi bayi
terlentang lalu pegang kaki bayi dengan ibu jari dan
telunjuk, tarik sedekat mungkin dengan kepala tanpa
memaksa, pertahankan panggul pada permukaan meja
periksa dan amati jarak antara kaki dan kepala serta
tingkat ekstensi lutut. Resistensi tumit ketika berada
pada atau dekat telinga (-1), hidung (0), dagu (1), puting
barus (2), daerah pusar (3), dan lipatan femoralis (4).

Gambar 2.6 Heel to Ear

b) Penilaian maturitas fisik


(1) Kulit
Usia menjelang akhir kehamilan
kondisi kulit menjadi lebih halus,
menebal dan menghasilkan pelumas,
yaitu vernix, yang menghilang
menjelang akhir kehamilan. Bayi dengan
keadaan matur dan pos matur, janin
dapat mengeluarkan mekonium dalam
cairan ketuban. Hal ini dapat
mempercepat proses pengeringan kulit,
menyebabkan mengelupas, pecah-pecah,
dehidrasi, sepeti sebuah perkamen.

(2) Lanugo
Lanugo mulai menipis dimulai dari
punggung bagian bawah. Daerah yang
tidak ditutupi lanugo meluas sejalan
dengan maturitasnya dan biasanya yang
paling luas terdapat di daerah
lumbosacral. Pada punggung bayi matur
biasanya sudah tidak ditutupi lanugo.
Variasi jumlah dan lokasi lanugo pada
masing-masing usia gestasi tergantung
pada genetic, kebangsaan, keadaan
hormonal, metabolic, serta pengaruh
gizi. Sebagai contoh bayi dari ibu dengan
diabetes mempunyai lanugo yang sangat
banyak. Melakukan skoring pemeriksa
hendaknya menilai pada daerah yang
mewakili jumlah relative lanugo bayi
yakni pada daerah atas dan bawah dari
punggung bayi.
Gambar 2.7 Lanugo

(3) Permukaan plantar


Bayi very premature dan extremely
immature tidak mempunyai garis pada
telapak kaki. Untuk membantu menilai

maturitas fisik bayi tersebut berdasarkan


permukaan plantar maka dipakai ukuran
panjang dari ujung jari hingga tumit.
Untuk jarak kurang dari 40 mm
diberikan skor -2, untuk jarak antara 40
hingga 50 mm diberikan skor -1. Hasil
pemeriksaan disesuaikan dengan skor.

Gambar 2.8 Permukaan Plantar

(4) Payudara
Areola mammae terdiri atas jaringan
mammae yang tumbuh akibat stimulasi
esterogen ibu dan jaringan lemak yang
tergantung dari nutrisi yang diterima
janin. Pemeriksa menilai ukuran areola
dan menilai ada atau tidaknya bintik-
bintik akibat pertumbuhan papila
Montgomery. Kemudian dilakukan
palpasi jaringan mammae di bawah
areola dengan ibu jari dan telunjuk untuk
mengukur diameternya dalam
millimeter.

Gambar 2.9 Payudara

(5) Telinga dan mata


Daun telinga pada fetus mengalami
penambahan kartilago seiring
perkembangannya menuju matur.
Pemeriksaan yang dilakukan terdiri atas
palpasi ketebalan kartilago kemudian
pemeriksa melipat daun telinga ke arah
wajah kemudian lepaskan dan pemeriksa
mengamati kecepatan kembalinya daun
telinga ketika dilepaskan ke posisi
semulanya. Pada bayi prematur daun
telinga biasanya akan tetap terlipat ketika
dilepaskan.

Gam
bar 2.10 Teinga Neonatus
(6) Mata
Pemeriksaan mata pada intinya menilai
kematangan berdasarkan perkembangan
palpebra. Pemeriksa berusaha membuka
dan memisahkan palpebra superior dan
inferior dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari. Pada bayi
extremely premature palpebara akan
menempel erat satu sama lain.
Bertambahnya maturitas palpebra
kemudian bisa dipisahkan walaupun
hanya satu sisi dan meningggalkan sisi
lainnya tetap pada posisinya. Hasil
pemeriksaan pemeriksa kemudian
disesuaikan dengan skor dalam tabel.
Perlu diingat bahwa banyak terdapat
variasi kematangan palpebra pada
individu dengan usia gestasi yang sama.
Hal ini dikarenakan terdapat faktor
seperti stres intrauterin dan faktor
humoral yang mempengaruhi
perkembangan kematangan palpebra.

Gam
bar 2.11 Palpebra Neonatus Prematur
(7) Genetalia (pria)
Testis pada fetus mulai turun dari
cavum peritoneum ke dalam scrotum
kurang lebih pada minggu ke 30 gestasi.
Testis kiri turun mendahului testis kanan
yakni pada sekitar minggu ke 32. Kedua
testis biasanya sudah dapat diraba di
canalis inguinalis bagian atas atau bawah
pada minggu ke 33 hingga 34 kehamilan.
Bersamaan dengan itu, kulit skrotum
menjadi lebih tebal dan membentuk
rugae.
Testis dikatakan telah turun secara
penuh apabila terdapat di dalam zona
berugae. Nenonatus dengan kondisi
dismatur scrotum datar, lembut, dan
kadang belum bisa dibedakan jenis
kelaminnya. Berbeda halnya pada
neonatus matur hingga posmatur,
scrotum biasanya seperti pendulum dan
dapat menyentuh kasur ketika berbaring.

Gambar 2.12 Genetalia (Pria)


(8) Genetalia (wanita)
Pemeriksaan genitalia neonatus
perempuan diposisikan telentang dengan
pinggul abduksi kurang lebih 45o dari
garis horisontal. Abduksi yang
berlebihan dapat menyebabkan labia
minora dan klitoris tampak lebih
menonjol sedangkan aduksi
menyebabkan keduanya tertutupi oleh
labia majora.
Neonatus extremely premature labia
datar dan klitoris sangat menonjol dan
menyerupai penis. Sejalan dengan
berkembangnya maturitas fisik, klitoris
menjadi tidak begitu menonjol dan labia
minora menjadi lebih menonjol.
Mendekati usia kehamilan matur labia
minora dan klitoris menyusut dan
cenderung tertutupi oleh labia majora
yang membesar. Nutrisi yang kurang
menyebabkan labia majora cenderung
kecil meskipun pada usia kehamilan
matur atau posmatur dan labia minora
serta klitoris cenderung lebih menonjol.

Gambar 2.13 Genetalia Neonatus Wanita

c) Interpretasi Hasil
Masing-masing hasil penilaian baik
maturitas neuromuscular maupun fisik
disesuaikan dengan skor di dalam dan
dijumlahkan hasilnya. Interpretasi hasil
dapat dilihat pada tabel skor.
Gambar 2.14 The New Ballard Score

Gambar 2.15 Neuromuskular Maturitas

2) Sistem saraf
Refleks pada bayi saat lahir diantaranya yaiti reflek moro,
reflex sucking, reflex menelan, refleks dan reflek rooting. Bayi
dengan masalah BBLR mengalami refleks yang ada menjadi
menjadi lemah yang disebabkan kerena beberapa otor bayi
yang memiliki berat lahir rendah belum aktif sehingga
berakibat pada sistem saraf bayi.
3) Sistem kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler denyut nadi bayi tidak teratur nadi
perifer lemah rata-rata nadi apikal 120-160x/menit dalam
kondisis tidur 70-100x/menit dan 180x/menit ketika menangis.
Bayi mudah terindikasi anemia karena sel darah merah yang
masih kurang dan bayi yang menderita BBLR
mudahmengalami sianosis, pucat, ikterik, warna bantalan kuku,
membran mukosa dan bibir pucat.
4) Aktivitas, istirahat dan tidur
Bayi dengan masalah BBLR bayi lebih banyak tertidur
daripada bangun, status sadarnya bayi semi koma, saat tidur
dalam meringis atau tersenyum adalah bukti tidurdengan
gerakan mata cepat (REM) tidur rata-rata 20jam/hari
Pernafasan bayi mungkin rendah cepat dan belum belum
teratur, sering terjadi apnea karena otot pernapasan masih
lemah, pola pernafasan diafragmatik dan abdominal dengan
gerakan sinkron dari dada dan abdomen. Auskultasi bunyi
pernapasan mungkin dangkal tidak teratur.
5) Sistem imun
Sistem imun akan mudah terjadi infeksi karena pembentukan
anti body yang tidak baik. Pergerakan otot kurang, tonus otot
belum sempurna disebabkan muskuler. Otot masih hipnotonik,
sehingga sikap selalu dalam keadaan kedua tungkai dalam
keadaan abduksi. Pernafasan dangkal, tidak teratur, dan
pernafasan diafragatik intermuten atau periodik (30-
60kali/menit) adanya pernafasan cuping hidung, retraksi
suprasternal atau substernal, adanya sianosis, adanya bunyi
ampela pada auskultasi menandakan sindrom distres
pernapasan (RDS).
6) Neurosensory
Sutura tengkorakdan fontanel tampak melebar, penonjlan
karena ketidakadekuatan pertumbuhan tulang mungkin terlihat,
kepala kecil dengan dahi menonjol, batang hidung cekung,
hidung pendek mencuat, bibir atas tipis dan dagu maju, tonus
otot dapat tampak kencang dengan fleksi ekstremitas bawah
dan serta keterbatasan gerak, pelebaran tampilan mata.
2. Diagnose keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan
yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan atau
risiko perubahan pola) dari individu atau kelompok,
dimana perawat secara akuntabilitas dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti
untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi,
mencegah, dan merubah. Diagnosa keperawatan adalah
keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga, atau
masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau
proses kehidupan yang aktual atau potensial. Diagnosa
keperawatan merupakan dasar dalam penyusunan
rencana tindakan asuhan keperawatan, sangat perlu untuk
didokumentasikan dengan baik (Yustiana & Ghofur,
2016).
a. Ketidakefektifan pola makan bayi berhubungan
dengan keterlambatan neurologis

b. Hipotermi berhubungan dengan bayi berat badan lahir


rendah (berat badan eksterm)

c. Pola nafas tidak efektif


d. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan
usia yang eksterm
3. Perencanaan keperawatan
Intervensi keperawatan adalah bagian dari alur keperawatan, proses
asuhan keperawatan yang berfokus pada pasien dan bersifat terus-
menerus, adapun intervensi pada pasien dengan BBLR antara lain:

Tabel 2.1 Intervensi keperawatan

No
Diagnose keperawatan Noc Nic

1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi (1100)


makn bayi berhubungan keperawatan diharapkan tidak  Timbang berat badan
dengan keterlambatan terjadi hi kebutuhan nutrisi pasien
neurologis pada bayi dapat terpenuhi  Monitor pertumbuhan
dengan kriteria hasil: dan perkembangan
Mempertahankan pemberian  Monitor
ASI (1002) kecenderungan
1. Pertumbuhan bayi dalam menurun dan
rentang normal kriteria 4 meningkatnya berat
(10201) badan
2. Perkembangan bayi  Dentifikasi perubahan
dalam rentang normal berat badan terakhir
kriteria 4 (10202)  Monitor turgor kulit
dan mobiliitas
 Identifikasi perubahan
nafsu makan
 Lakukan evaluasi
kemampuan menelan
 Tentukan
rekomendasi makanan
berdasarkan faktor
pasien, misalnya usia
 Tentukan faktor yang
mempengaruhi
asupan nutrisi
 Mulai tindakan atau
berikan rujukan sesuai
kebutuhan
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Airway management
berhubungan dengan keperawatan ketidakefektifan  Observasi tanda-tanda
imaturasi neurologis pola nafas dapat diatasi vital
dengan kriteria hasil:  Posisikan pasien
Status pernafasan (0415) untuk
1. Frekuensi pernafasan memaksimalkan
kriteria 4 (041501) ventilasi
2. Irama pernafasan kriteria  Identifikasi pasien
3 (041502) perlunya pemasagan
3. Kedalaman inspirasi 4 alat jalan nafas buatan
(041503)  Auskultasi suara
4. Saturasi oksigen kriteria nafas, catat adanya
3 (041508) suara tambahan
 Monitor respirasi dan
status O2
 Pertahankan jalan
nafas yang paten

3. Hipotermi berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pengaturan suhu (3900)


dengan berat badan keperawatan diharpkan tidak  Monitor suhu paling
lahir rendah (berat terjadinya hipotermi pada tidak setiap 2 jam
badan eksterm) bayi dengan kriteria hasil: sesuai kebutuhan
Termoregulasi baru lahir  Monitor suhu bayi
(0801) baru lahir sampai
1. Suhu tiddak stabil stabil
kriteria 4 (080116)  Berikan perawatan
2. Hipotermia kriteria 3 model kanguru
(080118)  Monitor nadi dan RR
3. Perubahan warna kulit  Monitor perubahan
kriteria 3 (080105) warna kulit
4. Dehidrasi kriteria 4  Tingkatkan intake
(080111) cairan dan nutrisi
 Monitor tanda-tanda
hipotermi
 Selimuti bayi untuk
mencegah hilangnya
kehangatan tubuh
 Diskusikan kepada
orang tua tentang
pengaturan suhu dan
bahaya hipotermi
pada bayi.
 Berikan penghangat
bertahap (berikan
pakaian, selimut
hangat) dan kanguru
mother care.

5. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan langkah dalam
tahap proses keperawatan dengan elasanaan berbagai strategi
keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah di
rencanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam
tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya
bahaya- bahaya fisik dan perlindungan pada anak, tenik
komunikasi kemampuan dalam prosedur tindakan,
melakukan rencana tindakan terhadap suatu jenis tindakan,
yaitu jenis tindakan mandiri dan tindakan kolaborasisebagai
profesi perawat mempunyai kewenangan dan tanggung
jawab dalam melakukan asuhan keperawatan dengan rencana
tindakan sesuai kondisi pasien (Rosyida, 2019).
6. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap kelima dari
proses keperawatan. Pada tahap ini perawat membandingkan
hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil
yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang
terjadi sudah teratasi seluruhnya, hanya sebagian atau bahkan
belum teratasi semuanya (Dwi, 2018).
Jenis-jenis evaluasi dalam asuhan keperawatan menurut
Adinda (2019) antara lain:
a. Evaluasi formatif (proses)
Evaluasi formatif (proses) adalah aktivitas dari
proses keperawatan dan hasil kualitas peayanan asuhan
keperawatan. Evaluasi proses harus dilaksanakan segera
setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan
untuk membantu menilai efektivitas intervensi tersebut.
Evaluasi proses harus terus menerus dilaksanakan hingga
tujuan yang telah ditentukan tercapai. Metode
pengumpulan data dalam evaluasi proses terdiri atas
analisis rencana asuhan keperawatan, pertemuan
kelompok, wawancara, observasi klien, dan
menggunakan form evaluasi.

b. Evaluasi sumatif (hasil)


Evaluasi Sumatif (hasil) Rekapitulasi dan
kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan
sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan
perkembangan. Fokus evaluasi hasil (sumatif) adalah
perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir
asuhan keperawatan. Hasil dari evaluasi dalam asuhan
keperawatan adalah tujuan tercapai/masalah teratasi jika
klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan. Tujuan tercapai sebagian/masalah
teratasi sebagian jika klien menunjukkan perubahan
sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
Tujuan tidak tercapai/masalah tidak teratasi jika klien
tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali
dan bahkan timbul masalah baru. Penentuan masalah
teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi adalah
dengan cara membandingkan antara SOAP dengan
tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan antara lain:
1) S (Subjektive)
Informasi berupa ungkapan yang didapat dari klien
setelah tindakan diberikan
2) O (Objective)
Informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat
setelah tindakan dilakukan
3) A (Analisis)
Membandingkan antara informasi subjektive dan
objektive dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian
diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi, teratasi
sebagian atau tidak teratasi.
4) P (Planning)
Rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Menurut (Sugiyono, 2018) Metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu
metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi ilmiah, Teknik
pengumpulan data dan dianalisis yang bersifat kualitatif lebih menekan pada
makna.
B. Subyek Penelitian
Menurut (Sugiyono, 2018) Teknik yang sering digunakan dalam
penelitian kualitatif adalah purposive sampling. Purposive sampling
merupakan pengambilan data dengan berdasarkan pertimbangan tertentu,
misalnya seseorang yang dianggap paling tahu situasi dan kondisi partisipan
untuk memudahkan peneliti dalam pengambilan data. Dalam penelitian ini
peneliti melibatkan 1 reponden, yakni pasien yang memiliki masalah
keperawatan BBLR di Instalasi Rawat Intensif.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Instalasi Rawat Intensif. Penelitian
dilakukan pada bulan Oktober 2021.
D. Fokus Studi Kasus
Menurut (Sugiyono, 2018) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
bersifat holistic (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), sehingga peneliti
kualitatif tidak akan menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan variable
penelitian, tetapi keseluruhan situasi social yang diteliti yang meliputi aspek
tempat (place), Pelaku (actor), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi
secara sinergis. Pada penelitian ini peneliti menetapkan fokus studi kasusnya
yaitu Analisis keefektifitan pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan BBLR
di Instalasi Rawat Intensif.

E. Batasan Istilah
Batasan istilah dibutuhkan untuk mengarahkan dan sebagai patokan
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun batasan
istilah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. ASI adalah
2. BBLR adalah
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk melakukan
kegiatan penelitian terutama sebagai pengukuran dan pengumpulan data
berupa angket, seprangkat soal tes, lembar observasi, dsb. Pernyataan tersebut
seperti halnya dengan pengertian instrument penelitian menurut (Sugiyono,
2018, hlm102) Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan
mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati.
Menurut Nasution (1988) dalam Sugiyono (2018:223) menyatakan:
Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan
masusia sebagai instrument penelitian utama. Alasannya ialah bahwa, segala
sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian,
prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan
itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala
sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu, dalam keadaan
yang serba tidak pasti dan tidak jelas, tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti
itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode pendekatan studi
kasus. Maka yang menjadi instrument penelitian atau alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah
G. Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rawat Intensif pada bulan Oktober
2021 dengan beberapa tahap pelaksanaan yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap Pra Persiapan
Tahap dimana melakukan pengajuan judul penelitian dengan dosen
pembimbing. Kemudian peneliti melakukan bimbingan dengan dosen
pembimbing dalam proses pembuatan proposal penelitian. Proses
penelitian dengan mencari informasi dan referensi dari literarure review
berupa jurnal-jurnal penelitian, Karya Tulis Ilmiah dan buku. Setelah
proposal penelitian jadi, dilanjutkan dengan seminar proposal.
2. Tahap Persiapan
Pada tahap ini peneliti melakukan perizinan pada pihak terkait
Rumah sakit pada Instalasi Rawat Intensif. Setelah itu peneliti
mendapatkan ijin penelitian langsung melakukan uji etik sebelum
melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan intervensi inovasi.
3. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dimana pada tahap ini peneliti melaksanakan
penelitian ditempat yang telah ditentukan yaitu Instalasi Rawat Intensif
pada bulan Oktober 2021. Peneliti melakukan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam dengan memberikan intervensi pemberian ASI untuk
meningkatkan berat badan bayi. Peneliti meminta salah satu pasien untuk
menjadi responden melalui lembar permohonan persetujuan menjadi
responden kemudian diberikan intervensi.
Sebelum terapi diberikan, peneliti menjelaskan secara detail terkait
prosedur pelaksanaan terapi pada ibu bayi dan perawat ruangan setelah
itu peneliti memberikan intervensi pemberian ASI, dimana ASI diperoleh
dari ibu bayi.
4. Tahap Penyelesaian
Setelah selesai melakukan asuhan keperawatan dengan
memberikan intervensi pemberian ASI kemudian peneliti menimbang
berat badan bayi apakah ada penambahan berat badan atau tidak selama
penerapan intervensi.
Selanjutnya peneliti membuat bab pembahasan dan bab
kesimpulan, penyusunan laporan dalam peneliti ini harus sesuai dengan
tujuan peneliti dan juga data yang diperoleh. Setelah itu, data ditampilkan
sebagai data secara keseluruhan. Data dokumen yang didapatkan peneliti
dibatasi aksesnya untuk dilakukan penelitian selanjutnya.

H. Analisis dan Penyajian Data

I. Etik Penelitian
Penelitian yang digunakan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
dalam etika penelitian dengan menggunakan subjek manusia menjadi isu
sentral yang berkembang saat ini. Penelitan ilmu keperawatan, hampir 90%
sujek yang dipergunakan adalah manusia, maka peneliti harus memahami
prinsip-prinsip etika penelitian (Nugroho, 2017). Prinsip etika dalam
penelitian/pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu
prinsip manfaat, menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan (Nugroho,
2017).
1. Prinsip Manfaat
a. Bebas dari penderitaan
Penelitian yang dilakukan tidak mengakibatkan penderitaan pada
subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.
b. Bebas dari eksploitasi
Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan
yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa
partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan,
tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek
dalam bentuk apapun
c. Risiko (Benefit ratio)
Penelitian harus mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang akan
berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.
2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)
a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)
subjek harus diperlakuakan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak
memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek atau tidak, tanpa
adanya sangsi apapun.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right
to full disclosure)
Peneliti harus memberikan penjelasan secara terperinci, dan
bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.
c. Informed concent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan
penelitian yang akan dilakukan, mempunyai hak untuk bebas
berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Informed concent
juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan
dipergunakan untuk pengambilan ilmu.
3. Prinsip Keadilan (right to justice)
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)
Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, dan
sesudah keikut sertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi
apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari
penelitian.
b. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)
Subjek mempunyai hak untuk meminta data yang diberikan harus
dirahasiakan, dan identitas harus responden harus dirahasiakan
(anonymity) dan rahasia (confidentiality).

Lampiran. Pathway

Faktor ibu Faktor bayi


- Parintas - Gemeli
- Status gizi - Umur gestasi
- Jarak kehamilan
- Pekerjaan
- Pendidikan
- Status anemia

BBLR

Maturasi organ

Paru-paru Otak Jaringan lemak Hati


Lebih tipis
Ketidakseimbangan reflek menelan konjungasi bilirubin
Pertukaran O2 belum baik
Kehilangan panas
Asfeksia gangguan nutrisi melalui kulit hiperbilirubin

Ketidakefektif Nutrisi kurang


an pola nafas dari kebutuhan Hipotermi Resiko ikterik
tubuh

Penurunan daya tahan tubuh

Resiko infeksi

Anda mungkin juga menyukai