Anda di halaman 1dari 19

aSimplisia merupakan

bahan alam yang


dipergunakan sebagai obat
yang belum mengalami
pengolahan apapun juga,
dan kecuali dinyatakan
lain, simplisia merupakan
bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia
dapat
berupa simplisia nabati,
simplisia hewani, dan
simplisia pelikan atau
mineral. Simplisia
nabati adalah simplisia
yang berupa tanaman
utuh,
bagian tanaman atau
eksudat tanaman. Yang
dimaksud eksudat tanaman
adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari
tanaman atau dengan cara
tertentu dikeluarkan dari
selnya, atau zat-zat nabati
lainnya yang dengan
cara tertentu dipisahkan
dari tanamannya. (Depkes
RI, 1989)
Suatu simplisia harus
memenuhi persyaratan
pemerian
(makroskopik dan
mikroskopik), penetapan
kadar abu, penetapan
kadar
abu yang tidak larut
asam, penetapan kadar
abu yang tidak larut
air,
penetapan kadar air,
penetapan susut
pengeringan, penetapan
kadar sari
yang larut dalam air,
penetapan kadar sari yang
larut dalam etanol, dan
penetapan bahan organik
asing (Depkes RI, 1989).
Penetapan persyaratan
simplisia menurut
(WHO,1998) meliputi
cara pengambilan sampel,
penetapan bahan organik
asing, pemeriksaan
makroskopik dan
mikroskopik, penetapan
bahan yang dapat
terekstraksi,
penetapan kadar abu total,
penetapan kadar abu yang
tidak larut asam,
penetapan kadar abu yang
larut air, dan penetapan
kadar air.
Simplisia merupakan
bahan alam yang
dipergunakan sebagai obat
yang belum mengalami
pengolahan apapun juga,
dan kecuali dinyatakan
lain, simplisia merupakan
bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia
dapat
berupa simplisia nabati,
simplisia hewani, dan
simplisia pelikan atau
mineral. Simplisia
nabati adalah simplisia
yang berupa tanaman
utuh,
bagian tanaman atau
eksudat tanaman. Yang
dimaksud eksudat tanaman
adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari
tanaman atau dengan cara
tertentu dikeluarkan dari
selnya, atau zat-zat nabati
lainnya yang dengan
cara tertentu dipisahkan
dari tanamannya. (Depkes
RI, 1989)
Suatu simplisia harus
memenuhi persyaratan
pemerian
(makroskopik dan
mikroskopik), penetapan
kadar abu, penetapan
kadar
abu yang tidak larut
asam, penetapan kadar
abu yang tidak larut
air,
penetapan kadar air,
penetapan susut
pengeringan, penetapan
kadar sari
yang larut dalam air,
penetapan kadar sari yang
larut dalam etanol, dan
penetapan bahan organik
asing (Depkes RI, 1989).
Penetapan persyaratan
simplisia menurut
(WHO,1998) meliputi
cara pengambilan sampel,
penetapan bahan organik
asing, pemeriksaan
makroskopik dan
mikroskopik, penetapan
bahan yang dapat
terekstraksi,
penetapan kadar abu total,
penetapan kadar abu yang
tidak larut asam,
penetapan kadar abu yang
larut air, dan penetapan
kadar air.
BAB II
DASAR TEORI
1.1 Dasar Teori
1.1.1 Pengertian pengeringan
Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam
jumlah yang relative kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Hasil
dari proses pengeringan adalah bahan kering yang mempunyai kadar air setara
dengan kadar air keseimbangan udara (atmosfir) normal atau setara dengan
nilai aktivitas air (aw) yang aman dari kerusakan mikrobiologis, enzimatis dan
kimiawi. (Rachmawan, 2001)
1.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeringan (Agoes, 2007)
Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan:
1. Luas Permukaan
Air menguap melalui permukaan bahan, sedangkan air yang ada di bagian
tengah akan merembes ke bagian permukaan dan kemudian menguap.
Untuk mempercepat pengeringan umumnya bahan pangan yang akan
dikeringkan dipotong-potong atau diirisiris terlebih dulu. Hal ini terjadi
karena:
(1) pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas permukaan
bahan dan permukaan yang luas dapat berhubungan dengan medium
pemanasan sehingga air mudah keluar,.
(2) potongan-potongan kecil atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana
panas harus bergerak sampai ke pusat bahan pangan. Potongan kecil juga akan
mengurangi jarak melalui massa air dari pusat bahan yang harus keluar ke
permukaan bahan dan kemudian keluar dari bahan tersebut
2. Ukuran dan ketebalan bahan
Bahan yang ukurannya tebal akan mengakibatkan waktu pengeringan lebih lama.
Penguapan terjadi pada permukaan bahan, sedangkan air yang berada dibagian
dalam padatan akan merembes atau naik ke permukaan padatan karena adanya
gaya penggerak. Semakin tebal bahan, waktu yang diperlukan air untuk
mencapai permukaan padatan akan semakin lama sehingga waktu
pengeringanpun akan lebih lama.
2. Suhu udara
Pengering Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan
pangan makin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin cepat
pula penghilangan air dari bahan. Air yang keluar dari bahan yang
dikeringkan akan menjenuhkan udara sehingga kemampuannya untuk
menyingkirkan air berkurang. Jadi dengan semakin tinggi suhu pengeringan maka
proses pengeringan akan semakin cepat. Akan tetapi bila tidak sesuai dengan
bahan yang dikeringkan, akibatnya akan terjadi suatu peristiwa yang
1.1.3 Pengertian susut pengeringan
Penetapan susut pengeringan merupakan suatu metode penetapan kadar
senyawa yang mudah menguap (seperti minyak atsiri) dan air yang terdapat di
dalam suatu simplisia. Adapun susut pengeringan adalah persentase senyawa yang
menghilang selama proses pemanasan (tidak hanya menggambarkan air yang
hilang, tetapi jugasenyawa menguap lain yang hilang). Pengukuran sisa zat
dilakukan dengan pengeringan pada temperatur 105°C selama 15 menit atau
sampai berat konstan dan dinyatakan dalam persen metode gravimetri. Oleh
karena itu, presentase susut pengeringan akan selalu lebih besar dibandingkan
dengan kadar air karena pada susut pengeringan senyawa yang mudah menguap
juga terhitung (Dirjen POM, 2010).
1.1.4 Metode atau cara susut pengeringan
Penetapan Susut Pengeringan yaitu dengan botol timbang disiapkan,
dipanaskan pada suhu 105°C selama 30 menit, lalu ditimbang. Hal tersebut
dilakukan sampai memperoleh bobot botol timbang yang konstan atau
perbedaan hasil antara 2 penimbangan tidak melebihi 0,005 g. Sebanyak 1 g
bahan uji ditimbang, dimasukkan ke dalam botol timbang. Bahan uji kemudian
dikeringkan pada suhu 105°C selama 5 jam dan ditimbang kembali. Proses
pengeringan dilanjutkan dan timbang kembali selama 1 jam hingga perbedaan
antara penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000).
1.1.5 Tujuan susut pengeringan
Tujuan dari susut pengeringan adalah untuk memberikan batas maksimal
(rentang) besarnya senyawa yang hilang selama proses pengeringan. Nilai atau
rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Agoes,
2007).
Parameter kadar air merupakan banyaknya hidrat yang terkandung dalam
bahan. Tujuan penetapan kadar air adalah untuk memberikan batasan maksimal
atau rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan. Nilai maksimal atau
rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi (Dirjen
POM, 2000).
Kadar air berhubungan dengan potensi tumbuhnya mikroorganisme yang
dapat menurunkan daya tahan bahan. Parameter ini juga dapat menggambarkan
besaran potensi degradasi senyawa akibat proses hidrolisis atau degradasi karena
mikroorganisme dengan air sebagai pendukungnya (Pramono, 2014).
1.1.6 Bentuk-bentuk Air
Menurut Sudarmadji dkk., (2006) air dalam suatu bahan terdapat dalam
tiga bentuk yaitu air bebas, air terikat secara lemah, dan air terikat kuat.
a) Air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antarsel dan inter granular dan pori-
pori yang terdapat dalam bahan.
b) Air yang terikat secara lemah karena (teradsorbsi) pada permukaan koloid
makromolekuler seperti protein, pectin, pati, sellulosa. Selain itu, air juga
terdispersi di antara koloid tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada dalam
sel. Air yang ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan
dapat dikristalkan pada proses pembekuan. Ikatan antara air dengan koloid
tersebut merupakan ikatan hidrogen.
c) Air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya bersifat
ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air yang terdapat dalam
bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan makanan
misalnya prosesmikrobiologis, kimiawi, enzimatik, bahkan oleh aktivitas
serangga perusak. Sedangkan air dalam bentuk lainnya tidak membantu terjadinya
proses kerusakan tersebut diatas. Oleh karenanya kadar air bukan merupakan
parameter absolut yang dapat dipakai untuk meramalkan kecepatan terjadinya
kerusakan bahan. Dalam hal ini digunakan pengertian Aw (Aktivitas air) untuk
menentukan kemampuan air dalam proses kerusakan bahan .
Penentuan karakteristik dari suatu simplisia penting dilakukan untuk
mengetahui kualitas atau mutu simplisia yang digunakan. Parameter yang bisa
ditentukan antara lain penetapan kadar abu total, abu tidak larut asam, dan abu
larut air, kadar sari larut air dan sari larut etanol, penetapan kadar air dan susut
pengeringan (Depkes RI, 2010).
2.1 Simplisia
Simplisia merupakan bahan alam yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga, dan kecuali dinyatakan lain, simplisia
merupakan bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati,
simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral. Simplisia nabati adalah
simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang
dimaksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman
atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang
dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. (Depkes RI, 1989).
Suatu simplisia harus memenuhi persyaratan pemerian (makroskopik dan
mikroskopik), penetapan kadar abu, penetapan kadar abu yang tidak larut asam,
penetapan kadar abu yang tidak larut air, penetapan kadar air, penetapan susut
pengeringan, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar sari yang
larut dalam etanol, dan penetapan bahan organik asing (Depkes RI, 1989).
Penetapan persyaratan simplisia menurut (WHO,1998) meliputi cara
pengambilan sampel, penetapan bahan organik asing, pemeriksaan makroskopik
dan mikroskopik, penetapan bahan yang dapat terekstraksi, penetapan kadar abu
total, penetapan kadar abu yang tidak larut asam, penetapan kadar abu yang larut
air, dan penetapan kadar air.
2.2 Tanaman Singkong (Manihot esculenta C.)
1. Klasifikasi Tanaman Singkong menurut Steenis et al., (2003),
Kingdom : Plantae
Divisi : Sphermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Gambar 2.2
Famili : Euphorbiaceae Singkong
Genus : Manihot (Manihot
esculenta (C)
Spesies : Manihot esculenta C.
2. Morfologi Singkong (Manihot esculenta C.)
Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman yang
tersebar luas di Indonesia dan sudah banyak dibudidayakan di berbagai negara di
dunia. Singkong merupakan tanaman berumur panjang yang tumbuh di daerah
tropika dengan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, tetapi
sensitif terhadap suhu rendah. Tanaman singkong mempunyai adaptasi yang luas.
Hal inilah yang menyebabkan singkong dapat ditanam dimana-mana setiap waktu
sepanjang tahun dengan resiko kegagalan kecil. Tanaman singkong memiliki
beberapa kelebihan diantara dapat tumbuh disegala tanah, tidak memerlukan tanah
yang subur asal cukup gembur, tetapi sebaliknya tidak tumbuh dengan baik pada
tanah yang terlalu banyak airnya.
Di Indonesia, singkong menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan
jagung. Manfaat daun singkong sebagai bahan sayuran memiliki protein cukup
tinggi, atau untuk keperluan yang lain seperti bahan obat-obatan. Kayunya bisa
digunakan sebagai pagar kebun atau dilingkungan pedesaan sering digunakan
sebagai kayu bakar untuk memasak. Seiring perkembangan teknologi, singkong
dijadikan bahan dasar pada industri makanan dan bahan baku industri pakan.
Selain itu digunakan pula pada industri obat-obatan (Prihatman, 2017).
3. Kandungan Senyawa Singkong (Manihot esculenta C)
Tanaman Singkong (Manihot esculenta) merupakan tanaman yang
memilki kandungan gizi yang cukup lengkap. Tingkat produksi serta sifat fisik
dan kimia singkong bervariasi berdasarkan tingkat kesuburan lokasi penanaman
singkong. Lokasi tanam dan umur panen yang berbeda menghasilkan sifat fisik
kimia yang berbeda. Secara umum kandungan zat dalam tanaman Singkong ialah
karbohidrat, fosfor, kalsium, vitamin C, protein, zat besi dan vitamin B1
(Rumayar et al, 2012).
Singkong mengandung komposisi kimia yang terdiri dari kadar air 60%,
pati 35%, serat kasar 2,5%, kadar lemak 0,5% dan kadar abu 1% (Barrett dan
Damardjati, 2015). Penelitian Winarno (1986), menyebutkan Kandungan pati
yang terdapat pada umbi singkong adalah sebesar 80%. Perbedaan kandungan pati
ini tergantung dari sudut pandang identifikasi penguraian dari struktur
perbandingan pati terhadap kandungan lainnya yang terdapat pada umbi singkong.
Umbi singkong yang telah dipanen tidak dapat bertahan lama karena adanya
senyawa HCN yang menyebabkan dagingnya berwarna kehitaman. Senyawa
glikosida sianogenik pada umbi singkong mengalami proses oksidasi oleh enzim
linamarase maka akan dihasilkan glukosa dan asam sianida (HCN) yang ditandai
dengan bercak warna biru, akan menjadi toxic (racun) bila dikonsumsi pada kadar
HCN lebih dari 50 ppm (Barrett dan Damardjati, 2015).
Singkong segar mengandung senyawa polifenol dan bila terjadi oksidasi
akan menyebabkan warna coklat (browning secara enzimatis) oleh enzim
fenolase, sehingga warna tepung kurang putih (Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian, 2011).
4. Khasiat Singkong (Manihot esculenta C)
Singkong dapat dimanfaatkan untuk keperluan pangan, pakan maupun
bahan dasar berbagai industri. Oleh karena itu pemilihan varietas singkong harus
disesuaikan untuk peruntukannya. Di daerah dimana singkong dikonsumsi secara
langsung untuk bahan pangan diperlukan varietas singkong yang rasanya enak dan
pulen dan kandungan HCN rendah. Berdasarkan kandungan HCN, singkong
dibedakan menjadi singkong manis/tidak pahit, dengan kandungan HCN < 40
mg/kg umbi segar, dan singkong pahit dengan kadar HCN ≥ 50 mg/kg umbi segar.
Kandungan HCN yang tinggi dapat menyebabkan keracunan bagi manusia
maupun hewan, sehingga tidak dianjurkan untuk konsumsi segar. Pada industri
pangan yang berbasis tepung atau pati singkong diperlukan singkong yang
umbinya berwarna putih dan mempunyai kadar bahan kering dan pati yang tinggi.
Untuk keperluan industri tepung tapioka, umbi dengan kadar HCN tinggi tidak
menjadi masalah karena bahan racun tersebut akan hilang selama pemrosesan
menjadi tepung dan pati, misalnya UJ-3, UJ-5, MLG-4, MLG-6 atau Adira-4.
Hingga tahun 2009, Departemen Pertanian secara resmi baru melepas 10 varietas
unggul dan empat di antaranya sesuai untuk pangan (Sundari, 2010).
5. Nama Daerah Singkong (Manihot esculenta C)
Ketela pohon / ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, yaitu ketela,
keutila, ubi kayee ( Aceh ), ubi parancih ( Minangkabau ), ubi singkung
( Jakarta ), batata kayu ( Manado ), bistungkel ( Ambon ), huwi dangdeur, huwi
jendral, kasapen, sampeu, ubikayu ( Sunda ), bolet, kasawe, kaspa, kaspe, katela
budin, katela jendral, katela kaspe, katela mantri, katela marikan, katela menyog,
katela poung, katela prasman, katela sabekong, 7 katela sarmunah, katela tapah,
katela cengkol, tela pohung ( Jawa ), blandong, manggala menyok, puhung,
pohong, sabhrang balandha, sawe, sawi, tela balandha, tengsag ( Madura ),
kesawi, ketela kayu, sabrang sawi ( Bali ), kasubi ( Gorontalo ), lame kayu
( Makasar ), lame aju ( Bugis ), kasibi (Ternate, Tidore ) (Purwono, 2009).
2.3 Uraian Bahan
2.3.1 Alkohol (Dirjen POM, 1995; Rowe et al.,2009)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol, Alkohol, Etil Alcohol, Etil
hidrosida, Methylcarbinol
Rumus Molekul : C2H6OH
Berat molekul : 46,07 g/mol
Rumus struktur :
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah
menguap dan mudah bergerak, bau khas,
rasa panas dan mudah terbakar
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam
klorofom P dan dalam eter P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
Cahaya, ditempat sejuk, dan jauh dari nyala
api
Khasiat : Antiseptik dan disinfektan
Kegunaan : Sebagai pembersih alat-alat agar steril
Agoes. G. 2007. Teknologi Bahan Alam, ITB Press Bandung.
Balai Besar Penelitian Pasca Panen Pertanian. 2011. Penanganan Pasca Panen
Padi. Balai Besar Penelitian Pasca Panen Pertanian. Jakarta

Barrett, D. M., dan Damardjati, D. S., 2015. Peningkatan Mutu Hasil Ubi Kayu di
Indonesia. Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi.
Depkes RI. 2010. Farmakope Herbal Indonesia. Suplemen I. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Hal. 64-67.
Depkes RI 1998. Pengembangan Program Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan
Dasar. Departemen Kesehatan RI: Jakarta
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 3-30.
Ditjen POM 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta
Kartikasari, D., Nurkhasanah, dan Suwijiyo Pramono. (2014). Karakterisasi
Simplisia dan Ekstrak Etanol Daun Bertoni (Stevia rebaudiana) dari
Tiga Tempat Tumbuh. SemarangUniversitas Wahid Hasyim.
Prihatman, K. 2017. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima Pohl). Teknologi
Tepat Guna Budidaya Pertanian. Sistem Informasi Manajemen
Pembangunan di Pedesaan, Proyek PEMD, BAPPENAS. Jakarta.
Purwono. 2009. Budidaya 8 Jenis Tanaman Unggul. Jakarta : Penebar Swadaya.
Rachmawan, O. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan Komoditas
pertanian. Buletin Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Rowe, R.C. et Al., 2009. Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed, The
Pharmaceutical Press, London.
Sudarmadji, S., Haryono,B., dan Suhardi. 2006. Prosedur Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. UGM-Press. Yogyakarta.
Sundari T. 2010. Petunjuk Teknis: Pengenalan Varietas Unggul dan Teknik
Budidaya Ubi Kayu (Materi Pelatihan Agribisnis Bagi KMPH). Malang:
Balai Penelitian Kacang dan Umbi-Umbian.

Winarno, F. G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai