Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Disusun Oleh:

KELOMPOK 5

1. Cici Meida Sari (1807111546)


2. Eka Novrian Saputra (1807113195)
3. Farah Adinda Trisna Putri (1807112914)
4. M. Afdil (1807111742)
5. Mirani Ramadian Saputri (1807111733)
6. Putri Elvira (1707113849)
7. Sherina Septiyani (1807113279)

Dosen Pengampu: Supriadi, M.Pd.

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA S-1


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaian makalah tentang “Pancasila
sebagai Sistem Etika”. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad Saw yang
telah menerangi dan membimbing umat manusia. Pada makalah, penulis akan
membahas mengenai pancasila sebagai sistem etika negara Indonesia, alasan
diperlukannya, sumber historis, sosiologis, politis, argumen tentang dinamika dan
tantangan, serta esensi dan urgensi pancasila sebagai sistem etika.
Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, penulis menerima kritik dan saran. Akhir kata, penulis ucapkan terima
kasih. Semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis dan pembaca. Amin.

Pekanbaru, 15 Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pancasila Sebagai Sistem Etika .....................................................3
2.1.1 Pengertian Etika ................................................................................3
2.1.2 Aliran-aliran Besar Etika ..................................................................5
2.1.3 Etika Pancasila ..................................................................................6
2.2 Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika ...................................7
2.2.1 Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika ..............................................7
2.2.2 Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika ...........................................9
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pancasila sebagai Sistem Etika Negara Indonesia ....................................11
3.1.1 Contoh Kasus yang Berkaitan dengan Etika ...................................11
3.1.2 Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Terhadap Sistem
Etika Negara.............................................................................................12
3.2 Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika ............................18
3.3 Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Pancasila sebagai
Sistem Etika ....................................................................................................20
3.3.1 Sumber Historis ..............................................................................21
3.3.2 Sumber Sosiologis ..........................................................................23
3.3.3 Sumber Politis .................................................................................24
3.4 Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila
sebagai Sistem Etika .......................................................................................26
3.4.1 Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika .........26
3.4.2 Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika ........26
3.4.3 Dinamika Pendidikan Pancasila .....................................................27

ii
3.4.4 Tantangan Pendidikan Pancasila.....................................................28
3.5 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika .....30
3.5.1 Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika ............................................30
3.5.2 Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika .........................................32
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ...............................................................................................33
4.2 Saran .........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila merupakan ideologi bangsa dan dasar negara Indonesia. Oleh karena itu,
segala sesuatu dari sikap atau hal-hal yang menyangkut perilaku harus berlandaskan oleh
Pancasila. Masyarakat Indonesia akan tumbuh kesadarannya ketika nilai-nilai pancasila
diyakini dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran juga akan berkembang
ketika nilai dan moral pancasila dapat dimuat ke dalam norma-norma yang berlaku di
Indonesia .
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu
nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum,
norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila
terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar,
rasional, sistematis, dan komprehensif “menyeluruh”. Sistem pemikiran ini
merupakan suatu nilai, sehingga suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung
menampilkan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau
aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat mendasar.
Etika merupakan cabang filsafah dari ilmu kemanusiaan (humaniora). Etika
sebagai cabang filsafah membahas sistem dan pemikiran mendasar tentang ajaran
dan moral. Pancasila dan etika memiliki keterkaitan antara satu sama lain.
Pancasila memegang peranan dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik
bagi masyarakat Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sila kedua Pancasila yang
berbunyi “Kemanuasiaan yang adil dan beradab”. Oleh karena itu, tidak dapat
dipungkiri bahwa Pancasila membangun sistem etika di Indonesia dengan peranan
yang besar.
Pancasila bukan sebuah pedoman yang berlangsung dengan sifat normatif
atau praksis. Akan tetapi, pancasila merupakan suatu sistem nilai-nilai etika dan
sumber hukum, meliputi norma moral maupun norma hukum. Norma
tersebutharus dijelaskan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral, maupun
norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep pancasila sebagai sistem etika negara Indonesia?
2. Apa alasan diperlukannya pancasila sebagai sistem etika?
3. Bagaimana menggali sumber historis, sosiologis, politis tentang pancasila
sebagai sistem etika?
4. Bagaimana membangun argumen tentang dinamika dan tantangan pancasila
sebagai sistem etika?
5. Bagaimana mendeskripsikan esensi dan urgensi pancasila sebagai sistem
etika?

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pancasila Sebagai Sistem Etika


Menurut Winarno (2016), Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada
hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran
norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaran lainnya. Di
samping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar,
rasional, sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat
adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi
manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai
tersebut dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan nyata
dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam norma-norma
yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi :

1. Norma Moral
Norma Moral berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari
sudut baik maupun buruk, sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila.
2. Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu
tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam
pengertian itulah Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber
hukum.

Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu


pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan
suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma.

2.1.1 Pengertian Etika


Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan
kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan
kesusilaan. Aristoteles juga memberikan istilah “ethica” yang meliputi dua
pengertian yaitu etika meliputi kesediaan dan kumpulan peraturan, yang mana

3
dalam bahasa Latin dikenal dengan kata “mores” yang berarti kesusilaan, tingkat
salah satu perbuatan (lahir, tingkah laku), kemudian perkataan mores tumbuh dan
berkembang menjadi moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan
kesusilaan. Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas
bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua
kelompok.
Menurut Syahrizal (2012), Etika adalah suatu ilmu yang membahass tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau
bagaimana kita harus menggambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan
dengan berbagai ajaran moral. Menurut Mudhofir (2009), Etika adalah ilmu yang
membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu
atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran
moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut:
1. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap
tindakan manusia.
2. Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam
hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai
individu (etika individual) maupun mahluk sosial (etika sosial)

Etika selalu terkait dengan masalah nilai sehingga perbincangan etika


tentang masalah nilai (baik atau buruk). Menurut Direktorat Jenderal dan
Kemahasiswaan (Kaelan, 2008) menjelaskan bahwa paling tidak ada enam
pengertian nilai dalam penggunaan secara umum yaitu :
1. Sesuatu yang fundamental yang dicari orang sepanjang hidupnya.
2. Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan, makna, atau
pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang.
3. Suatu kualitas atau tindakan sebagai pembentuk identitas seseorang,
pengevaluasian diri, penginterprestasian diri, dan pembentukan diri.
4. Suatu kriteria fundamental bagi seseorang untuk memilih seseuatu yang
baik diantara berbagai kemungkinan tindakan

4
5. Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika
bertingkah laku bagi dirinya dan orang lain.
6. Suatu “objek nilai” suatu hubungan yang tepat dengan sesuatu yang
sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas kepribadian
seseorang. Objek nilai mencangkup karya seni, teori ilmiah, teknologi,
objek yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu
sendiri.

Selain itu, menurut Setiadi (2005) pancasila memiliki kedudukan baik untuk
pribadi, kelompok, dan bernegara yaitu :
1. Etika sebagai ilmu, kumpulan tentang kebajikan, penilaian dari perbuatan
seseorang
2. Etika sebagai perbuatan, perbuatan kebajikan.
3. Etika sebagai filsafat, mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-
persoalan yang berhubungan dengan kesusilaan.

2.1.2 Aliran-Aliran Besar Etika


Menurut Keraf (2002), dalam kajian etika ada tiga aliran/teori besar yaitu :

1. Etika Deontologi (Immanuel Kant)


Etika ini memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan
apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban, aliran ini tidak
mempersoalkan dampak dari perbuatan tersebut baik atau buruk. Menurut
Immanuel Kant (1734 – 1804), kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan
apa yang sudah menjadi kewajibannya. Kant menolak akibat dari suatu tindakan
dijadikan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut, karena akibat tadi tidak
menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu
tindakan .

2. Etika Teleologi (Christian Wolff)


Menurut Christian Wolff, Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-
gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud,
kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu

5
proses perkembangan. Pandangan dalam etika teleologi yaitu bahwa suatu
tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi
membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada
situasi konkrit yakni ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang
bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi
bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun
harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain. Etika teleologi digolongkan
menjadi dua yaitu sebagai berikut:

a. Egoisme etis, memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang
berakibat baik untuk pelakunya.
b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung
akibatnya terhadap banyak orang. Dikatakan baik apabila mendatangkan
manfaat yang besar dan memberi manfaat bagi sebanyak mungkin orang.
Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap beragam
alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan
menguntungkan banyak orang.

3. Etika Keutamaan (Virtue)


Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga
mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral
universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap individu.
Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan – perbuatan baik
yang dilakukan oleh para tokoh besar.

2.1.3 Etika Pancasila


Menurut Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
(Kemenristekdikti, 2016) Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari
sila-sila Pancasila untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara di Indonesia. Oleh karena itu, dalam etika pancasila terkandung
nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima
nilai tersebut membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek

6
kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi moral berupa nilai
spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta, ketaatan
kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi
humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya
meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antarsesama. Sila persatuan
mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), cinta tanah air.
Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain,
mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak kepada orang
lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain,
kesediaan membantu kesulitan orang lain (Winarno, 2016).
Secara singkat etika pancasila dapat diartikan sebagai berikut yaitu:
1. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk
pada nilai-nilai Pancasila.
2. Suatu perbuatan dikatakan “Baik” bukan hanya apabila tidak bertentangan
dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai
Pancasila tersebut.
3. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup
dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa
Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal
dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.

2.2 Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


2.2.1 Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Pancasila merupakan satu kesatuan majemuk tunggal, dimana setiap sila
tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sila lainnya, serta diantara sila satu dan
lainnya tidak saling bertentangan. Pancasila memegang peranan dalam
perwujudan sebuah sistem etika yang baik di negara ini. Disetiap saat dan
dimanapun berada diwajibkan untuk memiliki etika yang baik. Seperti yang
tercantum dalam sila yang kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab” tidak
dapat dipungkiri bahwa kehadiran Pancasila dalam membangun etika bangsa ini
sangat berandil besar (Rakhmat, 2015).

7
Hakikat Pancasila sebagai sistem etika terletak pada hal-hal sebagai berikut:
a. Hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa
Tuhan sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Hal ini berarti segala hal
yang dilakukan oleh warga negara bersumber dari norma agama. Setiap
prinsip dan nilai-nilai moral yang berdasarkan pada norma agama,
merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh pengikut-pengikutnya
(Kemenristekdikti, 2016).
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki nilai-nilai dan hakikat yang
meliputi empat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara
yang didirikan merupakan pengejewantahan tujuan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, oleh karena itu segala hal
yang berkaitan dengan moral dan etika dalam suatu negara harus dijiwai
atas nilai-nilai dan norma agama yang dianutnya (Sulaiman, 2015).
b. Hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, merupakan tindakan
manusia yang mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang berbeda
dengan actus homini yaitu tindakan manusia yang biasa. Setiap tindakan
kemanusiaan yang memiliki implikasi moral yang dilakukan dengan cara
dan sikap yang baik dan beradab sehingga akan menghasilkan tata pergaulan
antar manusia dan antarmakhluk yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan
tertinggi yaitu kebajikan dan kearifan (Kemenristekdikti, 2016).
Dalam sila ini terdapat hal-hal yang berkaitan dengan prinsip asasi,
diantaranya kecintaan terhadap sesama manusia, kejujuran, kesamaderajatan
manusia, keadilan dan keadaban (Asmaroini, 2017).
c. Hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai
warga bangsa yang mementingkan masalah bangsa diantas kepentingan
individu atau kelompok. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat
kebersamaan, solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk
menghadapi penetrasi nilai yang bersifat memecah belah bangsa
(Kemenristekdikti, 2016).
d. Hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat.
Artinya, menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain

8
(Kemenristekdikti, 2016). Hakikat rakyat merupakan sekelompok manusia
sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, yang bersatu yang bertujuan
mewujudkan harkat dan martabat manusia dalam suatu wilayah negara.
Dalam menentukan pilihan pada pengambilan keputusan diharapkan untuk
menjunjung tinggi asa musyawarah sebagai moral kemanusiaan yang
beradab (Sulaiman, 2015).
e. Hakikat sila keadilan sosial nagi seluruh rakyat Indonesia merupakan
perwujudan dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban
semata (deontologis) atau menekankan pada tujuan belaka (teleologis),
tetapi lebih menonjolkan keuatamaan (virtue ethics) yang terkandung dalam
nilai keadilan itu sendiri (Kemenristekdikti, 2016).

Dalam sila kelima ini, terdapatnya beragam nilai dari empat sila
diantaranya, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta
demokrasi pemusyawaratan itu dapat diperoleh keadilan sosial. Disatu sisi
perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif etis keempat sila
lainnya. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani, juga
keseimbangan antara pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial
dan budaya (MPR RI, 2013).

2.2.2 Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


Hal-hal penting yang sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai
sistem etika meliputi hal-hal sebagai berikut (Kemenristekdikti, 2016):
a. Meletakkan sila-sila Pancasila sebagai sistem etika berarti menempatkan
Pancasila sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan
dan keputusan yang diambil setiap warga negara.
b. Pancasila sebagai sistem etika memberi guidance bagi setiap warga negara
sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan baik lokal,
nasional, regional, maupun internasional.

9
c. Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi dasar analisis bagi berbagai
kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara sehingga tidak keluar dari
semangat negara kebangsaan yang berjiwa Pancasilais.
d. Pancasila sebagai sistem etika dapat menjadi filter untuk menyaring
pluralitas nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai
dampak globalisasi yang memengaruhi pemikiran warga negara.

10
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pancasila Sebagai Sistem Etika Negara Indonesia


Pancasila memegang peranan besar dalam membentuk pola pikir bangsa
Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat dihargai sebagai salah satu bangsa
yang beradab di dunia. Kecenderungan menganggap acuh dan sepele akan
kehadiran pancasila diharapkan dapat ditinggalkan dan di tinggalkan, karena
pancasila wajib diamalkan oleh warga Negara Indonesia. Alasan lain karena
bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab. Pembentukan etika bukan hal
yang susah dan mudah untuk dilakukan, karena etika berasal dari tingkah laku,
perkataan, perbuatan, serta hati nurani kita masing-masing.
Etika sebagai cabang falsafah membahas sistem dan pemikiran mendasar
tentang ajaran dan pandangan moral. Etika sebagai cabang ilmu membahas
bagaimana dan mengapa seseorang harus mengikuti suatu ajaran moral tertentu.
Biasanya, suatu moral akan berhubungan dengan etika sosial dengan cabang etika
yang lebih khusus seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika
lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan
etika politik. Pancasila merupakan nilai dasar yang menjadi rambu-rambu bagi
politik dan hukum nasional.

3.1.1 Contoh Kasus yang Berkaitan dengan Etika


Dalam kajian sistem etika, telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa
redapat tiga aliran besar yang masing-masingnya menjelaskan tentang sebuah
etika baik atau buruk. Oleh karena itu, untuk memperjelas berikut merupakan
contoh dari aliran-aliran besar tersebut yaitu :
1. Contoh Kasus Etika Deontologi
Kasus 1 : Seorang mahasiswa mempunyai tugas.
Dikatakan baik : Jika mahasiswa tersebut mengerjakan tugas.
Dikatakan buruk : Jika mahasiswa tersebut tidak mengerjakan tugas.

11
Kasus 2 : Penggunaan media massa.
Dikatakan baik : Jika dalam menggunakan media massa melakukan
silaturahim dan memperbanyak teman.
Dikatakan buruk : Jika dalam menggunakan media massa melakukan
kejahatan. Seperti penculikan.
Keterangan : Bukan berdasarkan tujuannya melainkan niat dan prosesnya.

2. Contoh Kasus Etika Teleologi


Seseorang yang kurang mampu dalam hal ekonomi dan membutuhkan uang
untuk memenuhi kebutuhannya seperti makan kemudian dia mencuri.
Analisis dengan teori teleologi : Perbuatan tersebut benar karena tujuannya,
yaitu tujuan untuk kelangsungan hidupnya.

3. Contoh Kasus Etika Keutamaan


Kejujuran merupakan keutamaan yang membuat seseorang berkata sesuai
kenyataan. Kesopanan adalah keutamaan yang membuat seseorang
berperilaku ramah dan menghormati orang lain.

3.1.2 Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Terhadap Sistem Etika


Negara

Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan nafas


humanisme. Oleh karena itu, Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa
saja. Meskipun Pancasila mempunyai nilai universal tetapi tidak begitu saja
dengan mudah diterima oleh semua bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta
sejarah bahwa nilai Pancasila secara sadar dirangkai dan disahkan menjadi satu
kesatuan yang berfungsi sebagai basis perilaku politik dan sikap moral bangsa.
Adapun Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya memuat nilai-nilai
Pancasila mengandung empat pokok pikiran yang merupakan derivasi atau
penjabaran dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pokok pikiran pertama
menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi

12
segala paham golongan maupun perseorangan. Ketentuan dalam pembukaan UUD
1945 yaitu, ”…..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu
Undang- Undang Dasar Negara Indonesia” menunjukkan sebagai sumber hukum.
Nilai dasar yang fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan
yang kuat dan tidak dapat berubah mengingat pembukaan UUD 1945 sebagai cita-
cita negara (staatsidee) para pediri bangsa sekaligus perumus konstitusi (the
framers of the constitution).
Di samping itu, nilai- nilai Pancasila juga merupakan suatu landasan
moral etik dalam kehidupan kenegaraan yang ditegaskan dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsekuensinya dalam
penyelenggaraan kenegaraan antara lain operasional pemerintahan negara,
pembangunan negara, pertahanan-keamanan negara, politik negara serta
pelaksanaan demokrasi negara harus senantiasa berdasarkan pada moral
ketuhanan dan kemanusiaan.
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Republik Indonesia
merupakan nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing
silanya. Untuk lebih memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing
sila Pancasila, makadapat diuraikan sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


Meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai
bahwa negara yang didirikan adalah pengejawantahan tujuan manusia sebagai
mahluk Tuhan Yang Maha esa.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab


Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu mahluk yang berbudaya dengan
memiliki potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan
manusia pada tingkatan martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan
norma-norma. Kemanusiaan terutama berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia
sesuai dengan martabat.

13
3. Persatuan Indonesia
Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam- macam corak
yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila
ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya
dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami
seluruh wilayah Indonesia. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis
dalam kehidupan.

4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaaan dalam


Permusyawaratan/Perwakilan Kerakyatan
Rakyat merupakan sekelompok manusia yang berdiam dalam satu wilayah
negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem
demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan.

5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala
bidang kehidupan, baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti
untuk setiap orang yang menjadi rakyat Indonesia.

Adapun makna dan maksud istilah beradab pada sila kedua, “Kemanusiaan
yanga dil dan beradab” yaitu terlaksananya penjelmaan unsur-unsur hakikat
manusia, jiwa raga, akal, rasa, kehendak, serta sifat kodrat perseorangan dan
makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagai causa prima dalam kesatuan majemuk-
tunggal. Hal demikian dilaksnakan dalam upaya penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernagara yang bermartabat tinggi.
Pancasila sebagai sistem etika menjelaskan bagaimana seseorang harus
bertindak sesuai dengan nilai dan moral yang berlaku untuk menciptkan kondisi
yang aman dan damai. Maka dari itu, selain pancasila sebagai sistem etika untuk
pribadi, pancasila juga sebagai sistem etika dalam bermasyarakat serta berpolitik
dalam sebagai berikut:

14
1. Implementasi Etika Nilai dan Moral Kehidupan Bermasyarakat
Dalam kehidupan kita akan selalu berhadapan dengan istilah nilai dan
norma dan juga moral dalam kehidupan sehari-hari. Dapat kita ketahui bahwa
yang dimaksud dengan nilai sosial merupakan nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh
masyarakat. Sebagai contoh, orang mengangap menolong memiliki nilai baik,
sedangkan mencuri bernilai buruk. Demikian pula, guru yang melihat siswanya
gagal dalam ujian akan merasa gagal dalam mendidik anak tersebut.
Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam
segala tingkah laku dan perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan
tindakan dan pandangan hidup seseorang dalam masyarakat. Itu adalah yang
dimaksud dan juga contoh dari nilai. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
norma sosial adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Norma sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-
perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi sosialnya. Keberadaan
norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu kelompok agar
bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk.
Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam
masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Tingkat
norma dasar didalam masyarakat dibedakan menjadi 4 (empat) yaitu cara,
kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat. Misalnya orang yang melanggar
hukum adat akan dibuang dan diasingkan ke daerah lain.

2. Pancasila Sebagai Etika Politik dalam Pemilu


Pelaksanaan pemilu merupakan wujud dari negara yang berkedaulatan
rakyat (demokrasi). Pelaksanaan pemilu diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 Pasca
perubahan. Pelaksanaan pemilu, termasuk pemilu kepala daerah (pemilukada)
harus senantiasa didasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila, yaitu proses
demokrasi harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan
yang beradab sehingga terwujud keharmonisan dan pemerintahan negara yang
demokratis.

15
Selanjutnya, pencasila mengatur kehidupan berdemokrasi dalam batang
tubuh UUD 1945. Hal yang perlu diperhatikan agar pelaksanaan pemilihan umum
yang demokratis yaitu harus senantiasa memegang teguh prinsip
konstitusionalisme sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUD 1945, yaitu
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar”. Prinsip demikian merupakan wujud penguatan berdemokrasi dan
pembangunan sistem etika, terutama dalam pelaksanaan pemilu. Artinya, apabila
pelaksanaan pemilu telah menyimpang dari ketentuan sebagaimana diatur dalam
UUD 1945 maka pelaksanaan hasil pemilu perlu ditinjau ulang sehingga sesuai
dengan prinsip berdemokrasi yang dibangun dalam UUD 1945 sebagai
generalisasi dari Pancasila yang berkedudukan sebagai hukum tertinggi dalam
sistem hukum di Indonesia.
Upaya untuk mengatasi berbagai kecurangan dalam pemilu, UUD 1945
mengatur pelaksanaan pemilu demokratis, yaitu untuk menjaga konsistensi prinsip
konstitusionalisme agar pelaksanaan pemilu tetap berdasarkan pada koridor
hukum yang senantiasa menjunjung tinggi etika berpolitik, ditangani oleh
lembaga peradilan tata negara yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga
pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Implikasinya, pelaksanaan
pemilu mengarah pada prinsip sebagaimana diatur dalam UUD 1945 termasuk
Pancasila.
Dengan demikian, bila seluruh rakyat Indonesia mengkuti nilai-nilai yang
tertanam dalam pancasila, maka Indonesia mampu menjadi negarayang maju serta
beradab. Namun kenyataannya, masih banyak penyimpangan etika yang terjadi di
Negara Indonesia ini, bahkan tidak jarang dilakukan oleh para remaja yang
merupakan generasi emas bangsa Indonesia.

Berikut ini merupakan salah satu contoh penyimpangan etika:

Liputan6.com, Jakarta-Bayu Bahtiar, remaja 18 tahun, terpaksa menderita


luka bacok di tubuhnya saat dia menunggu angkutan umum atau angkot sepulang
sekolah, di Halte Jalan Raya Serang Kampung Balaraja-Kabupaten Tanggerang,
Banten. Penganiayaan itu bermula ketika pelajar SMK Kopri 2 Balaraja itu tengah

16
menunggu angkot bersama dua temannya. Tiba-tiba saja mereka dihampiri pelajar
dari sekolah lain yang berjumlah sekitar Sembilan orang dan mengendarai empat
sepeda motor. “Melihat kejadian tersebut, dua teman korban melarikan diri lebih
dulu. Sementara korban lari tertinggal paling belakang”, kata Kapolsek Balaraja
Kompol Wiwin Setiawan, Tanggerang, Banten, Selasa (10/1/2017).

Kemudian, pelaku berinisial KV turun dari sepeda motor sambil menenteng


celurit dan mengejar Bayu yang lari paling belakang. Saat mendekati Bayu,
pelajar itu langsung mengayunkan celurit berkali-kali ke tubuh Bayu hingga
tersungkur di aspal.

“Memastikan korbannya roboh, pelaku langsung kabur dan menghampiri


temannya yang sudah menunggu di motor, celurit langsung dibuang ke Sungai
Cimanceri sebagai upaya menghilangkan jejak”, tutur Wiwin.

Oleh warga dan teman-temannya, Bayu langsung dibawa ke rumah sakit


terdekat guna mendapat pertolongan. Sementara KV tertangkap beberapa jam usai
melakukan aksi premanisme tersebut.

KV terancam Pasal 351 penganiayaan, “Ini yang kami sesalkan, sebenarnya


Polsek Balaraja sudah melaksanakan langkah preventif atau pencegahan dengan
penyuluhan ke sekolah tentang kenakalan remaja dan narkoba”, tutur Wiwin.

Cara mengatasi penyimpangan etika di atas adalah sebagai berikut:

1. Bekali siswa dengan pengetahuan agama yang sesuai dengan pancasila yaitu
sila pertama dan menekankan nilai-nilai akhlak dan budi pekerti.
2. Perlunya pengawasan orang tua dengan menjalin komunikasi yang baik
dengan anak dan menjauhkan anak dari hal-hal yang negatif.
3. Mengikuti kegiatan tambahan di sekolah seperti pramuka dan kegiatan
social lainnya untuk menyalurkan energi berlebih pada siswa.
4. Ajarkan anak cara bermusyawarah agar tidak mudah terprovokasi dan tidak
mempercayai berita yang tidak sesuai dengan fakta.

17
5. Pengawasan sekolah, sekolah harus membuat aturan-aturan yang khusus
pada siswa-siswanya untuk meminimalisir ketegangan siswa antar sekolah.
6. Hindari kumpul-kumpul setelah pulang sekolah untuk menghindari
terjadinya pertikaian antar sekolah.
7. Jalin silaturahmi antar sekolah agar siswa mempunyai rasa persaudaraan
bukan permusuhan.

3.2 Alasan Diperlukannya Pancasila sebagai Sistem Etika


Pancasila sebagai sistem etika diperlukan dalam kehidupan politik untuk
mengatur sistem penyelenggaraan negara. Jika dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara tidak ada sistem etika yang menjadi guidance atau tuntunan bagi para
penyelenggara negara, niscaya negara akan hancur. Beberapa alasan pancasila
sebagai sistem etika itu diperlukan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara
di Indonesia, meliputi hal-hal sebagai berikut:

Pertama, dekadensi moral yang melanda kehidupan masyarakan, terutama


generasi muda sehingga membahayakan kelangsungan hidup bernegara. Generasi
muda yang tidak mendapatkan pendidikan karakter yang memadai dihadapkan
pada pluralitas nilai yang melanda Indonesia sebagai akibat globalisasi tidak
sejalan dengan nilai-nilai pancasila, tetapi justru nilai-nilai dari luar berlaku
dominan. Contoh-contoh dekadensi moral, antara lain: penyalahgunaan narkoba,
kebebasan tanpa batas, rendahnya rasa hormat kepada orang tua, menipisnya rasa
kejujuran, tawuran dikalangan para pelajar. Kesemuanya itu menunjukkan
lemahnya tatanan nilai moral dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
pancasila sebagai sistem etika diperlukan kehadirannya sejak dini, terutama dalam
bentuk pendidikan karakter di sekolah-sekolah.
Kedua, korupsi akan semakin bermunculan karena para penyelenggara
negara tidak memiliki rambu-rambu normatif dalam menjalankan tugasnya. Para
penyelenggara negara tidak dapat membedakan batasan yang boleh dan tidak,
pantas dan tidak, baik dan buruk. Pancasila sebagai sistem etika terkit dengan
pemahaan atas kriteria baik dan buruk. Archie Bahm dalam Axiology of Science,
menjelaskan bahwa baik dan buruk merupakan dua hal yang terpisah. Namun,

18
baik dan buruk itu eksis dalam kehidupan manusia, maksudnya godaan untuk
melakukan perbuatan selalu muncul. Ketika seseorang menjadi penjabat dan
mempunyai peluang untuk melakukan tindakan buruk (korupsi), maka hal tersebut
dapat terjadi pada siapa saja. Oleh karena itu, simpulan Archie J. Bahm,
“Memaksimalkan kebaikan, minimalkan keburukan” (Bahm, 1998)
Ketiga, kurangnya rasa perlu berkontribusi dalam pembangunan melalui
pembayaran pajak. Hal tersebut terlihat dari kepatuhan pajak yang masih rendah,
padahal peranan pajak dari tahun ke tahun semakin meningkat dalam APBN.
Pancasila sebagai sistem etika akan dapat mengarahkan wajib pajak untuk secara
sadar memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik. Dengan kesadaran pajak
yang tinggi maka program pembangunan yang tertuang dalam APBN akan dapat
dijalankan dengan sumber penerimaan dari sektor perpajakan. Pajak yang telah
dibayar oleh masyarakat salah satunya digunakan untuk membiayai pendidikan di
Indonesia, membangun gedung sekolah, mendanai Bantuan Operasional Sekolah,
maupun untuk membeli buku-buku pelajaran agar jutaan anak Indonesia dapat
terus bersekolah.
Keempat, pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bernegara di
Indonesia ditandai dengan melemahnya penghargaan seseorang terhadap hak
pihak lain. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan diberbagai media,
seperti penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga, penelantaran anak-anak
yatim oleh pihak-pihak yang seharusnya melindungi, kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), dan lain-lain. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kesadaran
masyarakat terhadap nilai-nilai pancasila sebagai sistem etika belum berjalan
maksimal. Oleh karena itu, di samping diperlukan sosisalisasi sistem etika
pancasila, diperlukan pula penjabaran sistem etika ke dalam peraturan perundang-
undangan tentang HAM (Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Kelima, kerusakan lingkungan yang berdampak terhadap berbagai aspek
kehidupan manusia, seperti kesehatan, kelancaran penerbangan, nasib generasi
yang akan datang, global warming, perubahan cuaca, dan lain sebagainya. Kasus-
kasus tersebut menunjukkan bahwa kesadaran terhadap nilai-nilai pancasila
sebagai sistem etika belum mendapat tempat yang tepat di hati masyarakat.

19
Masyarakat Indonesia dewasa ini cenderung memutuskan tindakan berdasarkan
sikap emosional, mau menang sendiri, keuntungan sesaat, tanpa memikirkan
dampak yang ditimbulkan dari perbuatannya. Contoh yang paling jelas adalah
pembakaran hutan di Riau sehingga menimbulkan kabut asap. Oleh karena itu,
pancasila sebagai sistem etika perlu diterapkan ke dalam peraturan perundang-
undangan yang menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, baik pribadi
maupun perusahaan yang terlibat. Selain itu, penggiat lingkungan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara juga perlu mendapat
penghargaan.

3.3 Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis Tentang Pancasila


Sebagai Sistem Etika
Pancasila adalah ideologi yang dianut oleh negara kesatuan republik
Indonesia. Dan salah satu fungsinya adalah sebagai sistem etika dimana etika itu
sendiri merupakan gabungan dari tiga unsur, yaitu nilai, norma, dan moral. Ketiga
unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain. Pada hakikatnya, pancasila
bukan merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun
praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan
sumber norma.
Namun demikian, pada kenyataannya sekarang sudah berubah. Tingkah
laku masyarakat Indonesia dalam prakteknya sekarang tidak lagi mewujudkan
bagaimana bentuk pancasila dan tidak lagi memperlihatkan nilai etika yang baik
itu sendiri. Akhir – akhir ini nilai pancasila sudah memudar, atau dalam kata lain
hanya sedikit masyarakat Indonesia yang menggunakan nilai pacasila bagi
kehidupannya. Jangankan untuk menggunakan nilai pancasila, masih banyak
bangsa Indonesia lupa atau tertukar dengan sila – sila pancasila. Hal ini
dikarenakan masyarakat yang jarang menyebutkan sila – sila pancasila.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah pancasila sebagai sumber
etika, berikut adalah sejarah pancasila sebagai sumber etika. Dalam
pandangannya, sumber etika dari pancasila dapat dilihat dari tiga sumber.
Sumber-sumber tersebut adalah sumber historis, sosiologis, dan politis.

20
3.3.1 Sumber historis
Pada zaman Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk
sebagai Philosofische Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai
Pancasila belum ditegaskan ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah
terdapat pandangan hidup masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah
mengenal nilai-nilai kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut
dengan istilah berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Pada zaman Orde Baru,
Pancasila sebagai sistem etika disosialisasikan melalui penataran P-4 dan
diinstitusionalkan dalam wadah BP-7.
Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila
sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7. Berikutr adalah butir butir pancasila
dan cara pengamalannya:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


a. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. Hormat menghormati dan bekerja sama antar para pemeluk agama dan
para penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina
kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama
dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban
asasi antar sesama manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

21
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia. Oleh karena itu, dikembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, keselamatan bangsa dan
bernegara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang
berbhineka tunggal ika.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawara-tan/ Perwakilan
a. Sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan,
hak, dan kewajiban yang sama dengan mengutamakan kepentingan
negara dan masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
e. Dengan itikad yang baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil putusan musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur.
g. Putusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dengan mengutamakan
persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.

22
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
a. Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
b. Bersikap adil.
c. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati hak-hak orang lain.
e. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
f. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
g. Tidak bersifat boros.
h. Tidak bergaya hidup mewah.
i. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
j. Suka bekerja keras.
k. Menghargai hasil karya orang lain.
l. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.

Pada era reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam


hirukpikuk perebutan kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika
politik. Salah satu bentuk pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik
oleh penyelenggara negara di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di
berbagai kalangan penyelenggara negara.
Anda dipersilakan untuk menggali sumber historis Pancasila sebagai sumber
etika pada zaman Orde Lama, Orde Baru, dan era reformasi. Membandingkan dan
menunjukkan kekhasan yang terdapat pada masing-masing zaman. Menunjukkan
dalam berbagai contoh bentuk pelanggaran etis yang dilakukan pada masing-
masing zaman. Kemudian, mendiskusikannya dalam kelompok Anda dan
melaporkannya secara tertulis.

3.3.2 Sumber Sosiologis


Sumber sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam
kehidupan masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau

23
dalam hal bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh, bulat kata
oleh mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan lokal yang bertebaran di bumi
Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang mendalam.
Anda diminta mencari dan menggali sumber sosiologis tentang berbagai
kearifan lokal di Indonesia yang terkait dengan sistem etika berdasarkan sila-sila
Pancasila. Kemudian, mendiskusikan dalam kelompok Anda berbagai bentuk
kearifan lokal (local wisdom) dan hambatan lokal (local constraint) dalam
kelompok etnis tertentu.

3.3.3 Sumber Politis


Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam norma-norma
dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan perundangan-
undangan di Indonesia. Hans Kelsen mengatakan bahwa teori hukum itu suatu
norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh
kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma,
akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya,
akan semakin konkrit norma tersebut (Kaelan, 2008).
Pancasila sebagai sistem etika merupakan norma tertinggi (Grundnorm)
yang sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan merupakan norma yang
ada di bawahnya bersifat konkrit. Etika politik mengatur masalah perilaku
politikus, berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas,
struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi, yaitu
tujuan, sarana, dan aksi politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan dalam
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan pada
kebebasan dan keadilan. Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang
meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik
penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-institusi sosial. Dimensi
aksi politik berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai pihak yang
menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas
tindakan dan keutamaan. Tindakan politik dinamakan rasional bila pelaku
mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan (Haryatmoko, 2003).

24
Selain itu, pancasila juga memiliki beberapa nilai yang berhubungan dengan
etika yang diantaranya adalah:

a. Nilai Ketuhanan (Realigiusitas)


Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu
dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan
mulia. Memahami Ketuhahan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan
masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang
memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap
perbuatan baik yang dilakukan.
b. Nilai Kemanusiaan (Moralitas)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran
tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, setiap manusia mempunyai potensi
untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab.
c. Nilai Persatuan (kebangsaan) Indonesia.
Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian, kehadiran
Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa
Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari
Sabang sampai Marauke.
d. Nilai Permusyawaratan dan Perwakilan
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan
dengan orang lain, dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling
menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama. Prinsip
kerakyatan yang menjadi cita-cita utama untuk membangkitkanbangsa Indonesia,
mengerahkan potensi mereka dalam dunia modern.
e. Nilai Keadilan Sosial
Nilai keadilan adalah nilai menjunjung norma berdasarkan ketidak
berpihakkan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan
berbangsa. bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara
organik, dimana mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan
berkembang serta belajar.

25
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagai bangsa yang besar sudah
sepantasnya seluruh masyarakat Indonesia untuk senantiasa menjujnjung etika dan
moral dalam segala kondisi. Hal ini karena etika sudah menjadi darah daging dan
sangat kental kaitannya dengan pancasila yang merupakan ideologi bangsa
Indonesia.

3.4 Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Pancasila


sebagai Sistem Etika
3.4.1 Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika
Beberapa argumen tentang dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pada zaman Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat


demokrasi yang diikuti banyak partai politik, tetapi dimenangkan empat
partai politik. Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan di zaman Orde
Lama mengikuti sistem etika Pancasila, bahkan ada tudingan dari pihak
Orde Baru bahwa pemilihan umum pada zaman Orde Lama dianggap terlalu
liberal karena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi
terpimpin, yang cenderung otoriter.
2. Pada zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk
penataran P-4. Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia
Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia yang berperilaku dan
berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
3. Sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia
demokrasi. Namun seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa
demokrasi tanpa dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada
penyalahgunaan kekuasaan, serta machiavelisme (menghalalkan segala cara
untuk mencapi tujuan).
3.4.2 Argumen tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika
Hal-hal berikut ini dapat menggambarkan beberapa bentuk tantangan
terhadap sistem etika Pancasila:

26
1. Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa
sikap otoriter dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam
penyelenggaraan negara yang menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal
tersebut tidak sesuai dengan sistem etika Pancasila yang lebih menonjolkan
semangat musyawarah untuk mufakat.
2. Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait
dengan masalah NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan
penyelenggaraan negara. Hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial
karena nepotisme, kolusi, dan korupsi hanya menguntungkan segelintir
orang atau kelompok tertentu.
3. Tantangan terhadap sistem etika Pancasila pada era Reformasi berupa eforia
kebebasan berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya,
munculnya anarkisme yang memaksakan kehendak dengan
mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi.

3.4.3 Dinamika Pendidikan Pancasila


Upaya pembudayaan atau pewarisan nilai-nilai Pancasila tersebut telah
secara konsisten dilakukan sejak awal kemerdekaam sampai dengan sekarang.
Pada masa kemerdekaan, nilai-nilai pancasila dilakukan dalam bentuk pidato-
pidato para tokoh bangsa dalam rapat-rapat yang disiarkan melalui radio dan surat
kabar. Pada tanggal 1 Juli 1947, diterbitkan sebuah buku yang berisi pidato Bung
Karno tentang lahirnya Pancasila. Buku tersebut diterbitkan dengan maksud
membentuk manusia Indonesia baru yang patriotik melalui pendidikan. Pada
tahun 1961 terbit pula buku yang berjudul penetapan Tujuh Bahan-Bahan Pokok
Indoktrinasi. Buku tersebut ditujukan kepada masyarakat umum dan aparatur
Negara.
Sejak lahirnya ketetapan MPR RI Nomor 11 / MPR / 1978, tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P-4), P-4 tersebut kemudian
menjadi salah satu sumber pokok materi pendidikan Pancasila. Diperkuat dengan
Tap MPR RI Nomor 11/ MPR/ 1988 tentang GBHN. Dirjen Dikti, dalam rangka
menyempurnakan kurikulum inti Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU)

27
menerbitkan Sk, Nomor 25/ DIKTI / KEP/ 1985. Dampak dari beberapa kebijakan
pemerintah tentang pelaksanaan penataran P-4, terdapat beberapa perguruan tinggi
terutama perguruan tinggi swasta yang tidak mampu menyelenggarakan penataran
P-4 pola 100 jam sehingga tetap menyelenggarakan mata kuliah pendidikan
pancasila tanpa penataran P-4 pola 45 jam. Dirjen Dikti mengeluarkan kebijakan
yang memperkokoh keberadaan dan menyempurnakan penyelenggaraan mata
kuliah pendidikan pancasila, yaitu :

1. Sk Dirjen Dikti, Nomor 232/ U/ 2000, tentang Pedoman Penyusunan


Kurikulum Pendidikan Tinggi.
2. Sk Dirjen Dikti, Nomor 265/ Dikti/ 2000, tentang Penyempurnaan
Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK).

3. Sk Dirjen Dikti, Nomor 38/ Dikti/ kep/ 2002, tentang Rambu-rambu


Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.

Ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003,


kembali mengurangi langkah pembudayaan Pancasila melalui pendidikan. Dalam
rangka membudayakan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus bangsa.
Penguat keberadaan mata kuliah Pancasila di perguruan tinggi ditegaskan dalam
Pasal 35, Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012.

1. Pasal 2, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi berdasarkan Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.
2. Pasal 35 Ayat (3) menentukan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib
memuat mata kuliah agama, pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa
Indonesia.

3.4.4 Tantangan Pendidikan Pancasila

Tantangan ialah menentukan bentuk dan format agar mata kuliah


Pendidikan Pancasila dapat diselenggarakan diberbagai program studi dengan
menarik dan efektif. Tantangan ini berasal dari perguruan tinggi, misalnya faktor

28
ketersediaan sumber daya. Adapun tantangan yang bersifat eksternal, untuk
memahami dinamika dan tantangan Pancasila pada era globalisasi. Dirjen Dikti
mengembangkan esensi materi pendidikan Pancasila yang meliputi :
1. Pengantar perkuliahan pendidikan Pancasila
2. Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia
3. Pancasila sebagai dasar Negara
4. Pancasila sebagai Ideologi Negara
5. Pancasila sebagai sistem Filsafat
6. Pancasila sebagai sistem etika
7. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu.

Pendekatan pembelajaran dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila adalah


pendekatan pembelajaran yang berpusat kepada mahasiswa untuk mengetahui dan
memahami nilai-nilai Pancasila, filsafat Negara, dan ideologi-ideologi bangsa.
Agar mahasiswa menjadi jiwa pancasila daam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Selain itu, urgensi pendidikan Pancasila adalah untuk membentengi
dan menjawab tantangan perubahan-perubahan dimasa yang akan datang.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 20 tahun 2003, pasal 3
menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan merupakan alternatif terbaik dalam
melakuakn sosial secara damai. Setiap warga Negara sesuai dengan kemampuan
dan tingkat pendidikannya memiliki pengetahuan, pemahaman, penghayatan,
penghargaan, dan pola pengamalan Pancasila. Contoh urgensi pendidikan
Pancasila bagi suatu program studi, misalnya yang terkait dengan tugas menyusun
atau membentuk peraturan perundang-undangan. Orang yang bertugas untuk
melaksanakan hal tersebut, harus mempunyai pengetahuam, pengertian,
pemahaman, penghayatan dan pola pengalaman yang lebih baik daripada warga
Negara yang lain karena merekalah yang menentukan kebujakan untuk negaranya.
Begitu pula dengan mahasiswa yang lulusan prodi perpajakan dituntut memiliki

29
berkomitmen dan bertujuan agar dapat memberikan kontribusi terhadap
pelaksanaan kewajiban perpajakan tempat kerja secara baik dan benar.
Demikian bahwa keberadaan pendidikan Pancasila merupakan suatu
program studi di perguruan tinggi. Oleh karena itu, menjadi keharusan Pancasila
disebarluaskan secara benar, antara lain melalui mata kuliah di perguruan tinggi.
Karena mahasiswa sebagai bentuk perubahan muda dimasa depan yang akan
menjadi pembangunan dan pemimpin bangsa dalam setiap tingkatan lembaga-
lembaga di Negara, lembaga daerah dan sebagainya. Dengan demikian,
pemahaman nilai-nilai Pancasila dikalangan mahasiswa amat penting, yang
berprofesi sebagai pengusaha, pegawai swasta, pegawai pemerintah, dan
sebagainya. Semua masyarakat mempunyai peran penting terhadap kejayaan
bangsa di masa depan.

3.5 Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika


3.5.1 Esensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Negara indonesia dikenal sebagai bangsa yang baik, rakyatnya yang ramah
tamah, menjunjung tinggi sopan santun dan hal baik lainnya. Pembentukan etika
bukanlah hal yang susah ataupun hal yang dianggap mudah, karena etika berasal
dari tingkah laku dan hati nurani. Pancasila memegang peranan penting dalam
membentu pola pikir bangsa ini sehingga bisa dikatakan sebagai bangsa yang
beradab dimata dunia Internasional.
Pada sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, terdapat hakikat
bahwasanya setiap tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia
berdasarkan pada aturan-aturan agama yang dianutnya. Berdasarkan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa manusia sudah pasti akan memiliki etika dan moral yang
beradab, tanpa harus membeda-bedakan agama yang dianut. Ketika bertindak
sesuai dengan norma-norma agama, maka bisa dipastikan bahwasanya perlahan-
lahan tindak kriminalitas akan berkurang, sehingg akan menghasilkan lingkungan
yang aman dan tentram.
Pada sila kedua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, terdapat
hakikat bahwa bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam

30
masyarakat. Manusia merupakan makhluk yang memiliki etika, yang mana setiap
manusia harus menampakkan dirinya sebagai makhluk yang mampu bersikap dan
bertindak dengan adil dan beradab. Kemanusiaan yang adil terletak pada titik
dimana tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sedangkan kemanusiaan yang
beradab terletak pada titik dimana mampu memberikan rasa solidaritas dan saling
tolong menolong sebagai sesama manusia tanpa harus membedakan-bedakan.
Pada sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia, terdapat hakikat bahwa setiap
tindakan dan tingkah laku betujuan untuk mencipkatan rasa persatuan dan
kesatuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika suatu
bangsa memiliki rasa persatuan dan solidaritas yang kuat, maka akan
menempatkan kepentingan bangsa diatas kepentingan individu ataupun kelompok.
Tidak hanya itu, budaya barat ataupun segala hal yang dapat memecah belah
bangsa dapat di hindari oleh rasa persatuan antar warga negara.
Pada sila keempat yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, terdapat hakikat
mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Saat melakukan pengambilan keputusan dalam suatu kelompok akan mensermin
etika yang baik dan sopan seperti, tidak memaksakan kehendak, menghormati dan
menghargai setiap pemikiran ataupun pendapat yang disampaikan orang lain.
Dilakukannya musyawarah bertujuan agar dapat memperoleh suara bulat atau
mufakat untuk menghindari adanya tindakan anarkis ataupun tindakan-tindakan
yang tidak dikehendaki lainnya.
Pada sila kelima yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
terdapat hakikat bahwa setiap tindakan yang dilakukan dalam menonjolkan nilai
keadilan sebagai perwujudan dalam sistem etika. Dengan adanya keadilan, maka
akan memberikan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran bagi setiap warga
negara. Seluruh kekayaan alam dapat dipergunakan sesuai dengan fungsinya dan
dapat dibagikan sesuai dengan potensi masing-masing. Dengan meningkatnya
kesejahteraan, maka tidak hanya hak untuk hidup saja, tetapi juga adanya
kesetaraan dalam hal pendidikan.

31
3.5.2 Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika
Pancasila sebagai sistem etika terdapat hal-hal penting atau urgent yang
terdapat dalam kelima sila yang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan,
yang meliputi hal-hal diantaranya: pertama, mampu dalam mengimplementasikan
nilai-nilai yang dimiliki Pancasila sebagai sistem etika. Menjadikan Pancasila
sebagai pedoman mengenai hal yang akan dilakukan dan apabila tidak maka dapat
mengetahui dampak dan akibat karenanya.
Kedua, Pancasila sebagai sistem etika dapat dijadikan sebagai
pengembangan dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga mampu
dalam menampilkan sikap yang bermoral, spiritual serta beretika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, mahasiswa dapat mengembangkan
karakter Pancasilais yang dapat diwujudkan dalam berbagai sikap, diantaranya
bersikap jujur, disiplin, bertanggung jawab dan sikap positif lainnya.
Ketiga, Pancasila sebagai sistem etika dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan oleh perwakilan lembaga negara.
Tidak hanya bagi perwakilan lembaga negara saja, Pancasila juga dapat dijadikan
pedoman oleh setiap warga negara. Setiap keputusan yang diambil harus bisa
mempertanggungjawabkannya baik itu sesuai dengan kaidah hukum ataupun
norma yang berlaku.
Keempat, semakin berkembangnya globalisasi Pancasila dapat dijadikan
sebagai penyaring akan budaya-budaya yang masuk ke dalam lingkungan
kehidupan masyarakat. Dengan memiliki jiwa Pancasila sebagai pedoman dalam
bertindak masyarakat dapat bertindak secara selektif dalam menerima budaya-
budaya luar yang masuk. Masyarakat dapat membedakan budaya dan kegiatan
yang dapat diadopsi ataupun yang seharusnya tidak diadopsi atau tidak dianutkan.

32
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pancasila sebagai sistem etika berfungsi mengatur pola kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.di dalam pancasila terdapat nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Hal tersebut
dapat membentuk perilaku masyarakat Indonesia dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Pancasila sebagai sistem etika dapat mengatur perilaku kehidupan
sehingga pelanggaran norma-norma kehidupan bernegara seperti korupsi,
(penyalah guunaan kekuasaan dapat di hapuskan).

4.2 Saran
1. Penerapan pancasila diharapkan dapat dilaksanakan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, sehingga pola kehidupan masyarakat teratur
dan manusiawi.
2. Diharapkan pembaca dapat memahami bahwasannya pancasila berperan
sebagai sistem etika kehidupan dan mengatur pola kehidupan masyarakat.

33
DAFTAR PUSTAKA

Asmaroini, A.P. 2017. Menjaga Eksistensi Pancasila dan Penerapannya Bagi


Masyarakat di Era Globalisasi. Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan 1
(2): 59.
Bahm, Archie J. 1998. Filsafat Perbandingan. Kanisius: Yogyakarta.
Haryatmoko. 2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Kompas: Jakarta.
Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Paradigma: Yogyakarta.
Kemenristekdikti. 2016. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi.
Direktorat Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan: Jakarta.
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Kompas: Jakarta.
MPR RI. 2013. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Sekretariat
Jendral MPR RI: Jakarta.
Mudhofir, Ali. 2009. Kamus Etika. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Rakhmat, Muhammad. 2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. CV.
Warta Bagja: Bandung.
Setiadi, Elly M. 2005. Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila untuk Perguruan
Tinggi. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Sulaiman, Asep. 2015. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Arfino
Raya: Bandung.
Syarbaini, Syahrizal. 2012. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. PT Ghalia
Indonesia: Bogor.
Winarno. 2016. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Bumi Aksara:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai