Anda di halaman 1dari 35

ASUHAN KEPERAWATAN PADA USILA

DENGAN MASALAH PENCERNAAN/PEMENUHAN


NUTRISI DAN  ELIMINASI (INKONTINENSIA)

Disusun oleh :

Ade asmasari (017.01.3374)


Alvin anugrah p. (017.01.3375)
Husnul aini (017.013387)
Widya wardani (018013616)

PROGRAM S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MATARAM
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT atas segalah rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas keperawatan gerontik
“Asuhan Keperawatan Pada Usila Dengan Gangguan Kebutuhan Nutrisi /Cairan Dan
Eliminasi (Inkontinensia)”askep ini disusun untuk memenuhi tugas keperawatan
gerontik.
Dalam pembutan askep ini penulis mengalami kusulitan .namun berkat
dorong,dukungan serta semangat dari orang terletak dan berbagai pihak sehingga penulis
mampu menyelesaikannya dengan baik.Oleh karena itu,pada kesempatan ini penulis
mengucapakan terimakasi.dengan segala kekurangan makalah ini penulisan sangat
membutuhkan saran dan kritikan.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat baik itu bagi penulis
pribadi,dunia keperawatan,dunia pendidikan dan masyarakat pada umumnya ,kurang
lebihnya mohon maaf wabillahitaufik walhidayah wa’alaikumussam warahmatullahi
wabarakatuh.

Mataram,21 Oktober 2020

Kelompok 1

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia merupakan suatu anugerah. Menjadi tua, dengan segenap

keterbatasannya, pasti akan dialami oleh seseorang bila ia panjang umur.

Pada usia lanjut, terjadi penurunan kondisi fisik/biologis, kondisi

psikologis, serta perubahan kondisi sosial.

Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang terjadi

pada lansia yang disebabkan karena faktor degeneratif, maupun lainnya,

yang mengenai setidaknya 14 % wanita berumur di atas 30 tahun. Selain

itu, masalah pada sistem pencernaan juga tak jarang ditemui pada lansia,

salah satunya adalah konstipasi. Menurut National Health Interview

Survey pada tahun 1991, konstipasi merupakan  keluhan saluran cerna

terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia

dan 30-40 % orang di atas 65 tahun mengeluhkan konstipasi.

Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah serius.

Definisi paling sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih nonvolunter,

ketika tekanan di dalam kandung kemih lebih besar dari resistansi uretra.

Sedangkan Konstipasi adalah kondisi sulit atau jarang untuk defekasi.

Konstipasi merupakan keluhan paling sering dalam praktik klinis.

3
Inkontinensia urin maupun konstipasi yang dialami oleh pasien dapat

menimbulkan dampak yang merugikan pada pasien, seperti gangguan

nyamanan akibat nyeri, kecemasan maupun menimbulkan rasa rendah diri

pada pasien.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Inkontinensia

eliminasi urine dan nutrisi ?

C. Tujuan penulisannya

1. Tujuan umum

Untuk menjelaskan Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan

Gangguan SistemPerkemihan dan Pencernaan.

2. Tujuan khusus

Menjelaskan konsep inkontinensia urin pada lansia.

D. Manfaat

1) Mahasiswa dapat memahami Asuhan Keperawatan pada Lansia


dengan Gangguan Sistem Perkemihan dan Pencernaan.
2) Mahasiswa dapat memahami konsep pada gangguan sistem
perkemihan dan pencernaan.
3) Mahasiswa dapat memahami konsep pada gangguan sistem
perkemihan dan pencernaan.
4) Mahasiswa dapat memahami konsep inkontinensia urin pada lansia.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Gerontik

A.Definisi Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada

kehidupan manusia. Sedangkan menurut Paal 1 ayat (2), (3), (4) UU

No. 13 tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjuut

adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun

(Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara. 2008)

Menurut UU No.4 tahun 1945, lansia adalah seseorang yang

mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk

keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain.

(Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008)

B.Klasifikasi Lansia

Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia (Maryam,

Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008):

1. Prelansia (prasenelis)

Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2. Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3. Lansia risiko tinggi

5
4. Seseorang yang berusia 70 yahun atau lebih / seseorang yang berusia 60 tahun

atau lebih dengan masalah kesehatan (Depkes. RI, 2003).

5. Lansia potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat

menghasilkan barang/jasa (Depkes. RI, 2003)

6. Lansia tidak potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada

bantuan orang lain.

C.Karakteristik Lansia

Menurut Budi Anna Keliat (1999) dalam kutipan Maryam, Ekasar, Risdawati,

Jubaedi, dan Batubara, 2008, lansia memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Berusiah lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13 tentang

Kesehatan)

2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dan rentang sehat sampai sakit, dari

kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga

kondidi maladaptif.

3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

D.Batasan Umur Lansia

Berikut adalah batasna-batasan umur yang mencakup batasan umur lansia dari

pendapat berbagai ahli yang dikutip dari Nugroho (2000) dalam Buku (Efendi, Ferry,

Makhfudli, 2009)

6
1. Menurut Undang-undang Nomor 13 1998 dalam Bab 1 Ayat 2 yang berbunyi

“Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 9enam puluh) tahun ke

ats”.

2. Menurut WHO (World health Organization)

a. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun

b. Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun

d. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun

3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI)

Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa.kedewasaan dapat dibagi

menjadi empat bagian sebagai berikut :

a. Pertama (fase iuventus) : 25-40 tahun

b. Kedua (fase virilitas) : 40-55 tahun

c. Ketiga (fase presenium) : 55-65 tahun

d. Keempat (fase senium) : 65 hingga tutup usia.

Birren dan Jenner (1877) mengusulkan untuk membedakan usia antara usia

biologis, psikologis, dan usia sosial. Usia biologis adalh usia yang merujuk pada

jangka waktu seseorang sejak lahirnya, berada dalam keadaan hidup, tidak mati. Usia

psikologis adalah usia yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan

penyesuaian-penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya. Sedangkan usia sosial

adalah usia yang merujuk kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan

masyarakat kepada seseorang sehubungan dengan usianya. (Efendi, Ferry,

Makhfudli, 2009).

7
E.Perubahan Sistem Tubuh Lansia

1. Perubahan Fisik

a. Sel

Pada lansia, jumlah selnya akan lebih sedikit dan ukurannya akan lebih besar.

Cairan tubuh dan cairan intraseluler akan berkurang, proporsi protein di otak,

ginjal, darah, dan hati juga ikut berkurang. Jumlah sel otak akan menurun,

mekanisme perbaikan sel akan terganggu, dan otak menjadi atrofi. (Efendi,

Ferry, Makhfudli, 2009)

b. Sistem persarafan

Rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 per detik,

hubungannya persarafan cepat menurun, lambat dalam merespons baik dari

gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf

pancaindera, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan (Efendi, Ferry,

Makhfudli, 2009).

c. Sistem pendengaran

Gangguan pada pendengaran (prsbiakusis), membran timpani mengalami

atrofi, terjadi pengumpulan dan pengerasan serumen karena penigkatan

keratin, pendengaran menurun pada lanjut usia yang mengalami ketegangan

jiwa atau stres (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

8
d. Sistem penglihatan

Timbul sklerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respons terhadap

sinar, kornea lebih berbentuk seperti bole (sferis), lensa lebih suram (keruh)

dapat menyebabkan katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar dan

daya adaptasi terhadap kegelapan menjadi lebih lambat dan sulit untuk

melihat dalam keadaan gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang

pandang, dan menurunnya daya untuk membedakan antara warna biru dengan

hijau pada skala pemeriksaan (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

e. Sistem kardiovaskuler

Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi

kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun

sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan

volumenya. Kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas

pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, sering terjadi postural hipotensim,

tekanan darah meningkat diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari

pembuluh darah perifer (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

f. Sistem pengatuhan suhu tubuh

Suhu tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis ± 35ºC, hal ini

menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya. Kehilangan elastisitas

pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk

oksigenasi, sering terjadi postural hipotensi, tekanan darah meningkat

diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh darah perifer

(Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

9
g. Sistem pernapasan

Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya

aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu

meningkat. Menarik napas leih berat, kapasitas pernapasan maksimum

menurun, dab kedalaman bernapas menurun. Ukuran alveoli melebar dari

normal dan jumlahnya berkurang, oksigen pada artei menurun menjadi 75

mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang, dan penurunan kekuaran otot

pernapasan (Efendi, Ferry, Makhfudli. 2009).

h. Sistem gastrointestinal

Kehilangan gigi, indera pengecapan mengalami penurunan, esofagus

melebar, sensitivitas akan rasa lapar menurun, produksi asam lambung dan

waktu pengosongan lambung menurun, pristaltik lemah dan biasanya timbul

konstipasi, fungsi absorbsi menurun, hati (liver) semakin mengecil dan

menurunnya tempat penyimpanan, serta berkurangnya suplay aliran darah

(Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

i. Sistem genitourinaria

Ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun

50 %, fungsi tubulus berkurang (berakibat pada penurunan kemampuan ginjal

untuk mengonsentrasikan urine, berat jenis urine menurun, proteinuria

biasanya +1), blood urea nitrogen (BUN) meningkat hingga 21 mg%m nilai

ambang ginjal terhadap lukosa meningkat. Otot-otot kandung kemih (vesica

urinaria) melemah, kapasitasnya sulit dikosongkan sehingga meningkatkan

retensi urine (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

10
j. Sistem endokrin

Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid, basal

metabolic rate (BMR), daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta

hormon kelamin seperti progesteron, esterogen, dan testosteron (Efendi,

Ferry, Makhfudli, 2009).

k. Sistem integumen

Kulit menjadi keruput akibat keilangan jaringan lemak, permukaan kasar

dan bersisik, mrnurunnya respons terhadap trauma, mekanisme proteksi kulit

menurun, kulit kepala dan rambut menipis serta berwarna kelabu, rambut

dakam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat

penurunan cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku

jari menjadi keras dan rapuh, kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti

tanduk, kelenjar keringat berkurang jumlahnya dan fungsinya, kuku menjadi

pudar dan kurang bercahaya (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

l. Sistem muskuloskeletal

Tulang kehilangan kepadatannya (density) san semakin rapuh, kifosis,

persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami

sklerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-otot

kram dan menjadi tremor (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

2. Perubahan Mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik,

kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan (hereditas), lingkungan, tingkat

kecerdasan (Efendi, Ferry, Makhfudli, 2009).

11
3. Perubahan Psikososial

Perubahan psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami pensiun.

Berikur ini adalah hal-hal yang akan terjadi pada masa pensiun (Efendi, Ferry,

Makhfudli, 2009):

a. Kehilangan sumber finansial atau pemasukan (income) berkurang.

b. Kehilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi,

lengkap dengan segala fasilitasnya.

c. Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.

d. Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awarness of mortality).

F.Proses Penuaan

Proses penuaan terdiri atas teori-teori tentang penuaan, aspek biologis pada proses

penuaan pada tingkat sel, proses penuaan menurut sistem tubuh, dan aspek psikologis

pada proses penuaan ( Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008).

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses meghilangnya secara perlahan lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan

fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki

kerusakan yang diderita (Contasntinides,1994) dalam kutipan Maryam, Ekasar,

Risdawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008.

G.Teori-teori tentang penuaan

Teori-teori tentang penuaan sudah banyak yang dikemukakan. Teori–teori itu

dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu termasuk kelompok teori biologis dan

teori psikososial. (Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008) :

1. Teori Biologis

12
a. Teori jam genetik

Menurut Hayflick (1965), teori ini didasarkan pada kenyataan bahwa

spesies-spesies tertentu memiliki harapan hidup (life span) yang tertentu pula.

b. Teori interaksi seluler

Vahwa sel-sel satu sama lain saling berinteraksi dan memengaruhi.

Keadaan tubuh akan baik-baik saja selama sel masih berfungsi dengan baik,

sebaliknnya bila terjadi kegagalan lambat laun akan mengalami degenerasi.

c. Teori mutagenesis somatik

Ketika terjadi pembelahan sel (mitosis), akan terjadi “mutasi spontan”

yang terus-menerus berlangsung dan akhirnya mengarah pada kematian sel.

d. Teori eror katastrop

Bahwa eror akan terjadi pada struktur DNA, RNA, dan sintesis protein.

Masing-masing eror akan saling menambah pada eror yang lainnya dan

berakumulasi dalam eor yang bersifat katastrop.

e. Teori pemakaian dan keausan

Teori biologis yang paling tua adalah teori pemakaian dan keausan (tear

and wear), di mana tahun demi tahun hal ini berlangsung dan lama-kelamaan

akan timbul deteriorasi.

2. Teori Psikososial

a. Disengagement theory

Kelompok teori ini dimulai dari Univercity of Chicago, yang menyatakan

bahwa individu dan masyarakat yang memasuki usia tua, individu mulai

menarik diri dari masyarakat, sehingga memungkinkan individu untuk

13
menyimpan lebih banyak aktivitas-aktiviitas yang berfokus pada dirinya

dalam memenuhi kestabilan pada stadium ini.

b. Teori aktivitas

Dasar teori ini adalah bahwa konsep diri seseorang bergantung pada

aktivitasnya dalam berbagai peran. Apabila hal ini hilang, maka akan

berdampak negatif terhadap kepuasan hidupnya.

c. Teori kontinuitas

Pentingnya hubungan antara kepribadian dengan kesuksesan hidup lansia.

Walaupun kepribadian sudah terbentuk sebelum masa lansia, akan tetapi

gambaran kepribadian bersifat dinamis dan berkembang secara kontinu.

d. Teori subkultur

Dalam teori ini, dikatakan bahwa lansia sebagai kelompok yang memiliki

norma, harapan, rasa percaya, dan adat kebiasaan tersendiri, sehingga dapat

digolongkan selalku suatu subkultur.

e. Teori stratifikasi usia

Teori ini yang dikemukakan oleh Riley (1972) yang menerangkan adanya

saling ketergantungan antara usia dengan struktur sosial. Lansia dan

mayoritas masyarakat sensntiasa saling memengaruhi dan selalu terjadi

perubahan kohor maupun perubahan dalam masyarakat.

f. Teori penyesuaian individu dengan lingkungan

Teori ini dikemukakan oleh Lawton (1982). Menurut teori ini, bahwa ada

ubungan antara kompetensi individu dengan lingkungannya. Orang yang

14
berfungsi pada level kompetensi yang rendah hanya mampu bertahan pada

level tekanan lingkungan yang rendah pula, dan sebaliknya.

H.Pembinaan Kesehatan Lansia

1. Tujuan

Meningkatkan derajat kesehatan dan mutu keidupan untuk mencapai masa tua

yang bahagia dan berguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai

dengan ekstensinya dalam masyarakat (Depkes RI, 2003) dalam kutipan

Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008.

2. Sasaran

a. Sasaran langsung (Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara,

2008).

1) Kelompok pralansia (45-59 tahun)

2) Kelompok lansia (60 tahun ke atas)

3) Kelompok lansia dengan risiko tinggi (70 tahun ke atas)

b. Sasaran tidak langsung (Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara,

2008).

1) Keluarga di mana usia lanjut berada.

2) Organisasi sosial yang bergerak dalam pembinaan usia lanjut.

3) Masyarakat.

3. Pedoman Pelaksanaan (Maryam, Ekasar, Risdawati, Jubaedi, dan Batubara,

2008).

a. Bagi petugas kesehatan

15
1) Upaya promotif, yaitu upaya untuk menggairahkan semangat hidup para

lansia agar merasa tertap dihargai dan berguna.

2) Upaya preventif, upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya

komplikasi dari penyakit yang diseban oleh proses penuaan.

3) Upaya kuratif, yaitu upaya pengobatan yang penanggulangannya perlu

melibatkan multidisiplin ilmu kedokteran.

4) Upaya rehabilitatif, yaitu upaya untuk memulihkan fungsi organ tubuh

yang telah menurun.

b. Bagi lansia itu sendiri

1) Untuk kelompok pralansia, membutuhkan informasi sebagai berikut :

a) Adanya proses penuaan.

b) Pentingnya pemeriksaan kesehatan secara berkala.

c) Pentingnya melakukan diet dengan menu seimbang.

d) Pentingnya meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat.

2) Untuk kelompok lansia

a) Pemeriksaan kesehatan sevara berkala.

b) Kegiatan olahraga.

c) Pola makan dengan menu seimbang.

d) Perlunya alat bantu sesuai dengan kebutuhan.

e) Pengembangan kegemaran sesuai dengan kemampuan.

3) Untuk kelompok lansia dengan risiko tinggi.

a) Pembinaan diri sendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan pribadi dan

melakukan aktivitas, baik di dalam maupun di luar rumah.

16
b) Pemeriksaan kesehatan berkala.

c) Latihan kesegaran jasmani.

d) Pemakaian alat bantu sesuai kebutuhan.

e) Perawatan fisioterapi.

c. Bagi keluarga dan lingkungannya

1. Membantu mewujudkan peran serta kebahagiaan dan kesejahteraan

lansia.

2. Usaha pencegahan dimulai dalam rumah tangga.

3. Membimbing dalam ketakwaan kepada Tuhan YME.

4. Menghargai dan kasih sayang terhadap lansia.

I. Konsep Gangguan Inkontinensia Urine Pada Lansia

A.Definisi

Inkontinensia urine pada populasi lansia merupakan masalah serius. Definisi

paling sederhana inkontinensia urine yaitu berkemih nonvolunter, ketika tekanan di

dalam kandung kemih lebih besar dari resistansi uretra. Agency for Health Care

Policy and Research (AHCPR) Guidline mendefinisikan inkontinensia urine sebagai

“pengeluaran urine involunter yang cukup menimbulkan masalah” (Mass, L,

Meridean, 2001).

Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan

sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan

higiene serta secara objektif tampak nyata. Inkontinensia urin dapat merupakan

suatu gejala, tanda ataupun suatu kondisi. Kondisi ini bukan merupakan bagian yang

17
normal dari proses penuaan, walaupun prevalensinya meningkat sejalan dengan

peningkatan usia.

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat

sementara atau menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna.

Merembesnya urine dapat berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan

Perry, 2005).

Menurut Hidayat (2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot

sfingter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara

umum penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar

prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang

merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,

risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan

rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga

akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006

Keadaan dimana seseorang mengalami


pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih.
Inkontinensia dorongan ditandai dengan
1. Inkontine seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam
nsia sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,
Dorongan 2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan
ini disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.
2. Inkontine Keadaan dimana seseorang mengalami

18
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
inkontinensia total antara lain: disfungsi
nsia Total neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
Stres Inkontinensia Urin (SUI) didefinisikan
oleh Internasional Continence Society (ICS)
adalah keluarnya urin tanpa disadari pada saat
aktifitas atau saat bersin atau saat batuk.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
3. Inkontine
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya
nsia Stress
urin yang disebabkan meningkatnya tekanan di
abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan tekanan
abdomen dapat terjadi sewaktu batuk, bersin,
mengangkat benda yang berat, maupun
tertawa.(Mass, L, Meridean, dkk. (2001)
Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
Inkontinensia tipe ini kemungkinan
disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis
4. Inkontine
(lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks
nsia Reflex
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur
keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan
5. Inkontine tidak dapat diperkirakan. Keadaan
nsia inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
Fungsional dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, kontraksi kandung
kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin. 
B.Epidemiologi

Inkontinensia urin merupakan salah satu kondisi umum yang mengenai

setidaknya 14 % wanita berumur di atas 30 tahun. Studi epidemiologi pun telah

dilakukan untuk mengukur besarnya populasi wanita dengan inkontinensia, dan

untuk mendapatkan faktor risiko spesifik dari para penderita inkontinensia (B,

Pribakti, 2011).

19
Meskipun inkontinensia dianggap merupakan konsekuensi normal dari proses

penuaan dan persalinan, namun banyak faktor predisposisi lain yang penting.

Hubungan antara prolaps genital dan inkontinensia urine juga perlu diingat, seperti

juga perbedaan antara inkontiensi jaringan dan wanita yang inkonten (B, Pribakti,

2011).

Inkontinensia urin adalah tahap akhir dari banyak proses patologik, dan

penelitian akhir-akhir ini memfokuskan pada dua hal : diagnosis yang akurat dan

penanganan selanjutnya. Acuan dari semua panelitian ini adalah klasifikasi umum

dari disfungsi saluran kemmih bagian bawah yang distandarisasi oleh Komite

International Continence Society (ICS) (B, Pribakti, 2011).

C.Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan

fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan

berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan

seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)

abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi

sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. (Darmojo, 2009). Penyebab utama

Inkontinensia urin dapat terdaftar sebagai berikut :

1. GSI (Genuine stress incontinence)

GSI adalah diagnosis yang dibuat oleh penilaian urodinamik. GSI

didefinisikan sebagai pengeluaran urin yang tidak disadari ketika tekanan intra

vesikalis melebihi tekanan penutupan uretra maksimal, dan tidak ada aktivitas

20
detrusor. Hal ini terjadi karena tidak kompeten yang dapat disebabkan oleh

kelemahan komponen mekanisme sfingter uretra (B, Pribakti, 2011).

2. Ketidakstabilan Detrusor

Detrusor (lapisan muskuler) yang tidak stabil adalah salah satu yang

ditampilkan objektif untuk berkontraksi, secara spontan atau provokasi, selama

fase pengisian sistrometri sementara pasien berusaha menahan berkemih.

Kontransi ini dapat mengakibatkan kebocoran urin. Insiden ini meningkat dengan

usia, dan DI adalah penyebab paling umum inkontinensia urin pada orang tua (B,

Pribakti, 2011).

Kontraksi detrusor dapat berupa phasic atau sistolik, dimana mereka meniru

refleks berkemih normal, atau kandung kemih bisa menunjukkan tingkat

pengosongan lambat. (B, Pribakti. 2011)

Patofisiologi DI masih kurang dipahami, dan penyebab yang mendasari

kondisi ini jarang ditemukan. Pada kebanyakan kasus digunakan istilah DI

idiopati. Ketidakstabilan detrusor dan inkompetensi sfingter uretra (GSI) dapat

terjadi bersama-sama, dan DI apat timbul kembali setelah operasi untuk

inkontinensia stres (B, Pribakti, 2011).

3. Overflow Inkontinensia

Inkontinensia overflow adalah kondisi ekstrim yang mengakibatkan kesulitan

untuk menahan keinginan berkemih, dan setiap kondisi yang dapat menyebabkan

aliran yang jelak dan pengosongan kandung kemih inkomplit, tanpa terjadinya

inkontinensia (B, Pribakti, 2011).

21
Ini suatu kondisi dimana kandung kemih menjadi lembek dengan aktivitas

detrusor sedikit atau tidak ada. Kadang terdapat obstruksi kronis kandung kemih

menjadi kecil karena fibrosis, namun tetap hanya sedikit atau tidak ada aktivitas

detrusor. Wanita itu gagal untuk mengosongkan dan kansung kemih bocor setiap

kali penuh. Selain itu karena kapasitas kandung kemih fungsional sangat kecil,

frekwensi berkemih meningkat dan infeksi saluran kemih berulang (B, Pribakti,

2011).

Kandung kemih perempuan sangat sensitif terhadap overdistensi bahkan satu

episode retensi urin akut bisa mengakibatkan atoni kronis kandung kemih dan

seringkali membutuhkan kateterisasi jangka panjang. Diagnosis inkontinensia

overflow dibuat bila sisa urin lebih dari 50% dari kapasitas kandung kemih (B,

Pribakti, 2011).

4. Infeksi

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi

infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila

vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen

topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi.

Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan

makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu

penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin

berlebih karena berbagai sebab (Darmojo, 2009).

5. Kehamilan

22
Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan

melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Faktor

risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan

lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang

semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi

perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

D.Tanda dan Gejala

1. Inkontinensia Stres

Merupakan gejala paling umum pada perempuan yang memeriksakan diri ke

dokter kandungan, pengeluaran urine yang tidak disadari selama aktivitas fisik.

2. Inkontinensia Urgensi

Merupakan pengeluaran urin yang tidak disadari dengan kenginan yang kuat

untuk buang air.

3. Inkontinensia tak sadar

Merupakan pengeluaran urin yang tidak disadari tanpa danya urgensi

4. Enuresis

Merupakan semua pengeluaran urin yang tidak disadari, meskipun biasanya

digunakan untuk menggambarkan inkontinensia selama tidur (Enuresis

Noctural).

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut Uliyah

(2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis

2. Distensi vesika urinaria

23
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih.

E.Faktor Predisposisi atau Faktor Pencetus

1. Usia

Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi

juga berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum

mampu untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem

neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga

akan mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan

tonus otot, sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan

kesulitan dalam pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut

berisiko mengalami konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi

penurunan kontrol otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).

Inkontinensia urine lebih umum di perempuan dibandingkan dengan laki-

laki, dan prevalensi meningkat dengan membahayakan usia. Banyak wanita tua

sebenarnya menganggap gejala berkemih mereka merupakan bagian normal dari

proses penuaan dari pada manifestasi penyakit (B, Pribakti, 2011).

Fungsi kandung kemih menjadi kurang efisien seiring bertambahnya umur

dan Malone Lee telah menunjukkan bahwa perempuan tua memiliki penurunan

tingkat aliran urine, peningkatan risidu urine, kapasitas kandung kemih

berkurang, dan telakan maksimum yang legih rendah.

Gangguan fisik pada lansia menyebabkan gejala tambahan dari

inkontinensia, yang jarang pada wanita muda, sebagai berikut:

a. Dimensia

24
b. Infeksi saluran kemih

c. Penurunan mobilitas

d. Masalah ginjal

e. Obat-obatan (misalnya diuretik, hipnotik)

2. Diet

Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya

jengkol, dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi

karena kandungan pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang

banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan

menyumbat saluran kemih sehingga pengeluaran utine menjadi terganggu

(Asmadi, 2008).

3. Cairan

Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal

untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih

pekat (Asmadi, 2008).

4. Hormon Sex

Memburuknya fungsi ovarium yang berhubungan menopause dimana terjadi

penurunan produksi estrogen endogen dan peningkatan insidensi gejala urin,

termasuk disuria, nokturia dan inkontinensia. Selain itu, infeksi saluran kemih

(UTI) menjadi lebih umum (B, Pribakti, 2011).

5. Temperatur

Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan

tubuh karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan

25
tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi

dan pengeluaran urine menjadi sedikit. Selain itu, demam juga dapat

memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi anoreksia, kelemahan otot, dan

penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).

6. Obat-obatan

Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik

(atropin), antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat

beta adrenergik (inderal) (Potter & Perry,2006).

F.Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis

juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat

yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat

berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung

kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).

Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih

melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih

yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot

dasar panggul (Potter & Perry, 2006).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang

menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih

berkurang. Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang

timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan

karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan

26
kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan  relaksasi

uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan

inkontinensia (Potter & Perry, 2006).

G.Penatalaksanaan

1. Non-Farmakologi

Penatalaksanaan pada inkontinensia urin secara non farmakologis bisa

dilakukan dengan latihan otot dasar panggul atau latihan Kegel, agar otot dasar

panggul menjadi lebih kuat dan uretra dapat tertutup dengan baik (Setiati, 2001).

Latihan dasar panggul melibatkan kontraksi berulang otot pubokoksigeus, otot

yang membentuk struktur penyokong panggung dan mengelilingi pintu panggul

pada vagina, uretra, dan rektum. Manfaat dari latihan Kegel ini adalah :

a. Menghentika aliran urine ketika berkemih, dengan tujuan menguatkan pintu

keluar kandung kemih.

b. Meningkatkan tonus otot dasar panggul dan meningkatkan ambang

berkemih, yang mengakibatkan urgensi.

c. Mampu meningkatkan kapasitas kandung kemih dan menunda episode

inkontinensia.

2. Farmakologis

Secara farmakologis yaitu menggunakan obat-obatan untuk merelaksasikan

kandung kemih. Ini biasanya dilakukan bila terapi non farmakologis tidak dapat

menyelesaikan masalah inkontinensia urin (Setiati,2001). Obat tersebut

meliputi :

a. Propantelin (Pro-Banthine): Mengurangi kontraksi kandung kemih.

27
b. Efredin (Sudafed) : Menguatkan pintu kandung kemih.

c. Estrogen (Premarin) : Meningkatkan jaringan penopangan di sekitar uretra.

2 Pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi,

bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe

overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan

retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia

prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita) (Setiati,2001).

3 Modalitas lain

Selain farmakologis dan non farmakologis yang menyangkut penyebab

inkontinensia urin karena sumbatan atau keadaan patologik dilakukan dengan

pembedahan. Sambil melakukan terapi dan masalah medik yang menyebabkan

inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu yang digunakan

oleh lansia yang mengalami inkontinensia urin seperti kateter, pampers, dan

komod (Setiati,2001).

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang

menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi

lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter,

dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan (Setiati,2001).

Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Inkontinensia Urine

1.Pengkajian

1. Identitas klien

28
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia

(usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup

kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang

b. Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat

ini.

c. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului

inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan,

usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan

waktu miksi.

d. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi

inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.

e. Riwayat kesehatan masa lalu.

Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa

sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi

trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan

apakah dirawat dirumah sakit.

f. Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa

dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit

ginjal bawaan/bukan bawaan.

b. Pemeriksaan fisik

29
1) Keadaan umum

Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon

dari terjadinya inkontinensia

2) Pemeriksaan Sistem

a. B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena

suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada

perkusi.

b. B2 (blood)

Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah

c. B3 (brain)

Kesadaran biasanya sadar penuh

d. B4 (bladder)

Inspeksi: Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat

karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung

kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,

pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing

dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah

klien terpasang kateter sebelumnya.

Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti

rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu

kencing.

e. B5 (bowel)

30
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan

abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan

palpasi pada ginjal.

c. B6 (bone)

Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas

yang lain, adakah nyeri pada persendian.

3) Pengkajian Fungsi Sosial

a) Hubungan Lansia dengankeluarga sebagaiperan sentral

b) Meliputi APGAR Keluarga (Adaptation, Partnership, Growth,

Affection, Resolve) yaitu Alat skrining singkat untuk mengkaji

fungsisosial lanjut usia.

2.Diagnosa & Rencana Asuhan keperawatan.

Rencana tindakan
Diagnosa
No
keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional

1. Inkontinensia Diharapkan 1. Pantau dan catat 1. Deteksi


Stres setelah dilakukan masukan dan haluaran masalah
berhubungan tindakan karakteristik urine kaji Untuk dapat
dengan keperawatan kehilangan tonus otot mengetahui
kurang klien dapat karena : apa penyebab
pengetahuan pegetahui tentang a.  Melahirkan inkontinensia
tentang latihan dasar b.  Kegemukan
latihan dasar pelvis dengan c.  Proses penuaan
pelvis kriteria : 2. Minta perwat
1. Mela atau bidan untuk 2. Melatih
porkan latihan lebih efektif kekuatan
pengurangan kandung
inkontinensia 3. Ajarkan untuk kemih
2. Mam mengidentifikasiotot –
pu mengukapkan otot dasar pelvis dan 3. Latihan kegel
penyebab kekuatan saat adalah untuk
inkontinensia dan melakukan latihan menguatkan
alasan untuk kegel dan

31
perawatan mempertahank
an tonus otot
pubokogsigeal
yang
menyangga
organ-organ
pelvis.
2. Inkontinensia Diharapkan 1. Latih kelayan 1. Melatih
refleks setelah dilakukan mengoongkan kelayan untuk
berhubungan tindakan kandung kemih miksi
dengan lesi keperawatan 2. Lakukan perawatan 2. Memberik
medula spinalis klien dapat kulit dan pakaian an rasa nyaman
diatas arkus mencapai pada Klien pada kelayan
refleks penerapan seperti 3. awasi bila ada tanda
ditunjukan oleh gejala infeksi saluran 3.Infeksi saluran
hal- hal berikut : kemih. kemih dapat
1. Mengekspresi memperburuk
kan keinginan keadaan klien
untuk mencoba
tehnik manual
berkemih
2. Proses berkemih
bisa terkontrol

3. Inkontinensia Diharapkan 1. Berikan 1. Me


fungsional setelah dilakukan keempatan pada mberikan
berhubungan tindakan keleyan untuk miksi. kenyamanan
dengan keperawatan pada kelayan.
penurunan klien dapat 2. Modifikas
tonus kandung pegetahuan i linkungan tempat 2. Menjaga
kemih tentang faktor berkemih . privasi dan
penyebab kenyamanan
penurunan tonus kelayan.
kandung kemih
dengan kriteria : 3. Kolaborasi pemberian 3. Untuk
1.   meminimalkan obat dengan dokter merelaksasi
atau mengura kandung
ngi episode kemih.
inkontinensia
2.   mengambarkan

32
faktor penyebab
  inkontinensia

4. Inkontinensia Diharapkan
urgensi setelah dilakukan 1. kolaborasi 1. Un
berhubungan tindakan pemberian obat dengan tuk merelakasi
dengan keperawatan dokter kandung kemih
penurunan klien dapat
fungsi pegetahui cara 2. Ajarkan 2. Me
persarafan mengoftimalkan kelayan bladder training latih kelayan
kandung kemih kandung kemih mengembalikan
dengan kriteria : kontrol miki
1. Klien mampu
mengungkapkan 3. Minta
miksi kalau mau Klien untuk menunda 3. Ag
berkemih waktu ke toilet ar dapat
2. Mengetahi menehan miksi
faktor penyebab dalam waktu
inkontinensia yang lebih lama
  urgensi
5. Inkontinenia Diharapkan setelah
overflow dilakukan tindakan
berhubungan keperawatan klien 1. Kaji obstruksi pada
dengan dapat pegetahui kandung kemih
obtruksi pada penyebab obstruksi 1. Mengetahui
kandung kemih kandung kemih, penyebab
dengan kriteria : 2. Lakukan pembedahan obstruksi
1. Klien jika terjadi
mau berkerja pembesaran prostat. 2. Melancarkan
sama dalam 3. Lakukan proses
proses kateterisasi,bila perlu berkemih
pengobatan secara intermiten,dan 3. Memberikan
kalau tidak mungkin rasa nyaman
2. Inkontinensia secara menetap pada klien
bisa di atasi

3.Implementasi

Tahap pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan dan

merupakan tahapan dimana perawat merealisasikan rencana keperawatan ke dalam tindakan

keperawatan nyata, langsung pada klien.Tindakan keperawatan itu sendiri merupakan

33
pelaksanaan dari rencana tindakan yang telah diktentukan dengan maksud agar kebutuhan

klien terpenuhi secara optimal (Mass, L, Meridean, 2001).

4.Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang

menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan sudah

berhasil di capai. Melalui evaluasi memungkinkan perawat memonitor “kealpaan“ yang

terjadi selama tahap pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan (Mass, L,

Meridean, 2001).

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.

B, Pribakti. (2011). Dasar-dasar Uroginekologi.Jakarta : Sagung Seto.

Corwin, Elizabeth, J. (2009). Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta : ECG.

Darmojo B. 2009. Geriatri Ilmu Kesehatan Usia Lanjut.Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

34
Doengoes, E Marilynn, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Efendi, Ferry, Makhfudli. (2009).Keperawatan Kesehatan Komunitas : teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Hidayat, Aziz, A.(2006). Pengantar Kebutuhan Dasar manusia: Aplikasi konsep dan proses
keperawatan.Jakarta : Salemba Medika.

Maryam, Siti, R, dkk. (2008).Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta : Salemba
Medik

Mass, L, Meridean, dkk. (2001). Asuhan Keperawatan Geriatrik : Diagnosis NANDA, Kriteria
Hasil NIC NOC, dan Intervensi NIC. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Nugroho, Wahjudi.2000. Keperawatan Gerontik.Jakarta : EGC

Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan praktik. Ed. 4.
Jakarta: EGC

Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba Medika

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

35

Anda mungkin juga menyukai