Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Bab ini menguraikan hasil penelitian mengenai Hubungan Dukungan

Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Pada

Penderita TB Paru di RSUD Buleleng. Data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini adalah data primer yang diambil secara langsung dari pasien TB

Paru menggunakan kuesioner untuk mengukur dukungan keluarga dengan

kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita TB Paru.

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

RSUD Kabupaten Buleleng terletak di Kota Singaraja di belahan

utara Pulau Bali, dimana wilayah Kabupaten Buleleng mempunyai Luas,

136.588 hektar atau 24,25 % dari luas Propinsi Bali. Jumlah Penduduk

Kabupaten Buleleng tahun 2020 sebanyak 649.200 jiwa dengan sex ratio

99,26. Wilayah Kabupaten Buleleng terdiri dalam 9 kecamatan dengan 129

desa, 19 kelurahan, 557 dusun dan 63 lingkungan, dengan batas wilayah

sebagai berikut:

a. Sebelah Utara Kabupaten Buleleng Laut Jawa/Bali

b. Sebelah Selatan Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung dan Bangli

c. Sebelah Barat Kabupaten Jembrana

d. Sebelah Timur Kabupaten Karangasem.

RSUD Kabupaten Buleleng telah berdiri sejak tahun 1955, awal

berdiri RSUD Kabupaten Buleleng berada di jalan Veteran No. 1

46
47

Singaraja, rumah sakit ini digunakan sebagai Rumah Sakit Umum dan

Rumah Sakit Tentara. Pada tahun 1959 RSUD Kabupaten Buleleng

berpindah tempat ke jalan Ngurah Rai no. 30 Singaraja dan sekaligus

menjadi Rumah Sakit kelas C milik Depkes RI. Tahun 1997 RSUD

Kabupaten Buleleng ditetapkan sebagai RS type B Non Pendidikan

(berdasarkan SK MenKes RI No 476 tanggal 20 Mei 1997) dan pada

tahun 2017 RSUD Kabupaten Buleleng ditetapkan sebagai Rumah Sakit

Pendidikan Satelit Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (sesuai

dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: HK.02.02/I0566/2017

tentang Penetapan RSUD Kabupaten Buleleng sebagai Rumah Sakit

Pendidikan Satelit Fakultas Kedokteran Universitas Udayana).

2. Gambaran Subjek Penelitian

a. Karakteristik Respondent Berdasarkan Umur

Tabel 4.1 Karakteristik Respondent Berdasarkan umur

Variabel N Mean Median SD Min Max

Usia 34 37.38 36.50 15,964 16 78

Berdasarkan Tabel 4.1, diketahui rata – rata usia respondent yaitu 37

tahun dengan usia tertinggi respondent adalah 78 tahun dan usia

terendah adalah 16 tahun.

b. Karakteristik Respondent Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Kelamain

Tabale 4.2 Karakteristik Respondent Berdasarkan Pendidikan dan

jenis klamin
48

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Presentase (%)

Laki – Laki 21 61,8 %

Perempuan 13 38,2 %

Total 34 100 %

Tingkat Pendidikan

Tidak Sekolah 2 5,9 %

SD 9 26,5 %

SMP 7 20,6 %

SMA / SMK 12 35,3 %

Perguruan 4 11,8 %

Tinggi/TNI/Polri

Total 34 100 %

Tabel 4.2 menunjukan distribusi frekuensi respondent berdasarkan

jenis kelamin, mayoritas respondent berjenis kelamin laki – laki yaitu

sebanyak 21 respondent (61,8 %) dan berjenis kelamin perempuan

sebanyak 13 respondent (38,2 %). Berdasarkan tingkat pendidikan,

mayoritas respondent memiliki riwayat pendidikan SMA/SMK yaitu


49

sebanyak 12 respondent ( 35,3 %) dan minoritas memiliki riwayat

tingkat pendidikan Tidak sekolah yaitu sebanyak 2 respondent (5,9 %).

3. Hasil Pengamatan Pada Respondent

Identifikasi Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Pada Penderita TB Paru di RSUD

Buleleng.

a. Karakteristik Dukungan Keluarga Respondent penderita TB Paru di

RSUD Buleleng

Tabel 4.3 Karakteristik Dukungan Keluarga Respondent penderita TB

Paru di RSUD Buleleng

Dukungan Keluarga Frekuensi (n) Presentase (%)

Kurang 1 2,9 %

Cukup 2 5,9 %

Baik 31 91,2 %

Total 34 100 %

Tabel 4.3 menunjukan bahwa penderita dukungan keluarga yang

memiliki dukungan keluarga baik sebanyak 31 respondent (91,2 %)

dengan kualitas dukungan keluarga kurang sebanyak 1 respondent

(2,9%).
50

b. Karakteristik Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Respondent penderita TB Paru di RSUD Buleleng

Tabel 4.4 Karakteristik Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) Respondent penderita TB Paru di RSUD Buleleng

Kepatuhan Minum Frekuensi (n) Presentase (%)

Obat OAT

Tidak Patuh 1 2,9 %

Sedang 3 8,8 %

Patuh 30 88,2 %

Total 34 100 %

Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukan bahwa dari 34 respondent distribusi

frekuensi kepatuhan minum obat OAT setelelah di berikian kuesioner,

sebagaian besar respondent (88,2 %) memiliki kepatuhan yang tinggi

dan (2,9 %) respondent memiliki kepatuhan yang rendah atau tidak

patuh

c. Identifikasi Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Pada Penderita TB Paru di RSUD

Buleleng

Tabel 4.5 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) Pada Penderita TB Paru di RSUD

Buleleng
51

Uji Korelasi Rank Spearman

Kepatuhan Minum

Obat OAT

Dukungan CorrelationCoefficient 862

Keluarga
Sig. 000

N 34

Berdasarkan tabel 4.5 melihat tingkat kekuatan (keeratan) hubungan

variabel dukungang keluarga dengan kepatuhan minum obat anti

tuberkulosis (OAT) diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 862.

Artinya, tingkat kekuatan hubungan antara variabel dukungang keluarga

dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) adalah sebesar

862 atau sangat kuat.

Melihat arah hubungan variabel variabel dukungang keluarga

dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT), angka koefisien

korelasi pada hasil diatas, bernilai positif, yaitu 862, sehingga hubungan

kedua variabel tersebut bersifat searah ( jenis hubungan searah ), dengan

demikian dapat diartikan bahwa dukungan keluarga semakin di

tingkatkan kualitas kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) juga

akan meningkat.
52

Jadi dari pembahasan diatas, maka kesimpulan dalam penelitian ini

adalah ada hubungan signifikan yang sangat kuat dan searah antara

variabel dukungang keluarga dengan kepatuhan minum obat anti

tuberkulosis (OAT).

B. Pembahasan Hasil Penelitian

a. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Buleleng didapatkan

hasil, berdasarkan Tabel 4.1 diatas sebagai besar responden berada

dikelompok usia 37 – 38 tahun. Menurut asumsi peneliti dimana umur

produktif paling banyak mengindap TB Paru, Berdasarkan survey

Riskesdas 2018, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi.

Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama

dibandingkan kelompok umur di bawahnya.(Kementerian Kesehatan RI,

2018)

Menurur penelitian yang dilakukan (Humaidi & Ratna Anggarini,

2020) Sebagian besar terjadi pada usia 45 kebawah karena dihubungkan

dengan tingkat aktivitas, mobilitas serta pekerjaan sebagai tenaga kerja

sehingga memungkinkan untuk mudah tertular dengan kuman TB setiap

saat dari penderita, khususnya penderita BTA positif.

b. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Klamin

Karakteristik responden berdasarkan dari jenis kelamin didapatkan

bahwa sebagian besar TB Paru berjenis laki – laki berjumlah 21


53

responden 61,8% dan sebagian kecil responden berjenis kelamin

perempuan berjumlah 13 responden 38,2 %.

Menurut (Nasution & Tambunan, 2020) Berdasarkan jenis kelamin

penderita TB lebih banyak pada laki-laki yaitu sebesar 39 responden dan

perempuan sebesar 23 responden. Penelitian menjelaskan bawah laki-laki

sangat rentan terkena TB Paru di karenakan pola hidup yang tidak sehat

seperti merokok.

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan didapatkan bahwa

yang tidak sekolah sebanyak 2 responden sebagaian besar responden

berpendidikan sekolah menengah (SD/SMP/SMA/SMK) sebanyak 28

responden dan sebagaian kecil responden berpendidikan tinggi sebanyak

4 responden. Menurut pendapat peneliti, gambaran ini jelas

memperlihatkan bahwa sebagaian besar responden mempunyai

pendidikan yang lebih mungkin mempunyai keterbatasan wawasan

berfikir dan penerimaan informasi tentang TB Paru dan mencegah

penularannya, sehingga menyebabkan angka penularan TB Paru terjadi

pada kelompok ini.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian (Tukayo et al., 2020)

dimana hasil yang responden yang didapatkan dalam penelitian ini

sebagian besar berpendidikan SLTA/SMA sebanyak sebanyak 48,5 %

responden. Sedangkan responden yang paling sedikit berpendidikan SD

yaitu sebanyak 3,0 % responden.


54

Menurut (Nasution & Tambunan, 2020) Berdasarkan hasil

penelitian, bahwa karakteristik responden sangat erat kaitannya dengan

mendapatkan dukungan yang baik dari keluarga dengan kepatuhan

minum obat pada penderita TB Paru. Kepatuhan berhubungan dengan

tingkat pendidikan, dimana tingkat SMA sebanyak 33 orang (53,2%). Hal

ini sangat berpengaruh dalam kemampuan responden untuk menerima

informasi tentang TB Paru dan pentingnya mengkonsumsi obat dengan

benar/tepat.

c. Karateristik Dukungan Keluarga Responden TB Paru Di Wilayah Kerja

RSUD Buleleng

Berdasarkan karakteristik dukungan keluarga responden TB Paru

Di Wilayah Kerja RSUD Buleleng didapatkan hasil yang menunjukan

bahwa, responden dengan kategori dukungan keluarga kurang sebanyak 1

orang (2,9%), responden dengan kategori dukungan keluarga cukup

sebanyak 2 orang (5,9%) dan responden dengan kategori dukungan

keluarga baik sebanyak 31 orang (91,2%). Dukungan keluarga memiliki

peranan yang besar dalam hal memberikan dorongan berobat kepada

pasien. Keluarga yang pertama tahu tentang kondisi sebenarnya dan

paling dekat/berkomunikasi setiap hari dengan penderita. Dorongan

anggota keluarga untuk berobat secara teratur, adanya dukungan keluarga

yang menjalin hubungan yang harmonis dengan penderita dan membantu

penderita patuh dalam minum obatnya. Dukungan keluarga juga sangat

berpengaruh pada kepatuhan minum obat pada pasien TB dalam


55

pengobatan di fase intensif dan fase lanjutan. Hal ini disebabkan

Kecenderungan penderita untuk bosan dan putus berobat saat pengobatan

karena sudah memakan waktu yang lama (Sufatmi, 2014 dalam (Nasution

& Tambunan, 2020)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Nasution & Tambunan,

2020) menyatakan dukungan keluarga dapat menurunkan efek kecemasan

dengan meningkatkan kesehatan mental individu secara langsung.

Dukungan keluarga merupakan salah satu strategi koping keluarga yang

sangat penting, karena dukungan keluarga merupakan dukungan yang

dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diperoleh

keluarga untuk mengatasi masalahnya. Melalui dukungan keluarga

seseorang merasakan kenyamanan, perhatian, penghargaan dan bisa

menerima kondisinya. Semakin keluarga memberi dukungan informasi,

dorongan dan motivasi terhadap penderita TB Paru maka kepatuhan

minum obat semakin patuh.

Kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) diwilayah kerja

RSUD Buleleng didapatkan hasil, responden yang memiliki tingkat

kepatuhan tidak patuh sebanyak 1 orang (2,9%), responden yang memilki

tingkat kepatuhan sedang sebanyak 3 orang (8,8%) dan responden yang

memiliki tingkat kepatuhan patuh sebanyak 30 orang (88,2%). Kepatuhan

merupakan suatu tindakan yang sesuai dengan petunjuk, perintah ataupun

arahan dari tenaga kesehatan baik dalam bentuk terapi, diet atau anjuran

kepada klien.
56

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh (Sri

Wahyuni, 2020) berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan secara

langsung pada pasien TB Paru, kepatuhan pasien terhadap pengobatan TB

paru dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, antara lain keinginan pasien

untuk sembuh, cara berfikir pasien, dan pengetahuan pasien tentang

penyakit TB paru. Faktor-faktor tersebut akan mengubah pasien untuk

meminum obat TB paru secara teratur.

d. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Anti

Tuberkulosi (OAT) Pada Penderita TB Paru di RSUD Buleleng

Menurut (Kusumoningrum et al., 2020) dukungan keluarga adalah

sikap keluarga yang dapat memberikan penerimaan dukungan antar

sesama keluarga. Dukungan keluarga membuat penderita merasa lebih

bersemangat lagi untuk melakukan pengobatan, karena keluarga

memberikan support, memberikan motivasi, memberikan pengetahuan

kepada penderita, memberikan kekuatan bahwa apa yang dia rasakan

harus diobati demi kehidupan selanjutnya.

Dukungan keluarga sangat diperlukan terutama pada penderita TB

yang juga merupakan penyakit TB Paru dan mengharuskan penderita

menjalanai terapi dalam waktu yang lama. Keluarga merupakan lini

pertama bagi penderita apabila mendapatkan masalah kesehatan.

Merupakan salah satu fungsi keluarga untuk mendukung anggota

keluarga yang sakit dengan berbagai cara, yaitu memberi dukungan

dalam mengkonsumsi obat (Trilianto, 2020).


57

Menurut (Prayogo, 2013 dalam (Tukayo et al., 2020). kepatuhan

minum obat anti tuberkulosis adalah ketaatan dalam mengkonsumsi obat-

obatan sesuai yang diresepkan oleh dokter. Tentunya, pengobatan akan

berjalan efektif jika penderita patuh dalam mengkonsumsinya.

Ketidakpatuhan merupakan salah satu penyebab gagalnya penyembuhan

dari penderita TB. Selain itu masalah lainnya ada pada waktu pengobatan

yang panjang yaitu sekitar 6-8 bulan.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan

pada penderita dengan penyakit TB Paru ialah adanya dukungan keluarga

yang baik. Kepatuhan dalam pengobatan dapat mencerminkan perilaku

pasien dapat menaati semua nasihat dan petunjuk yang diberikan oleh

kalangan tenaga medis seperti dokter dan apoteker mengenai segala

sesuatu yang harus dilakukan untuk mencapai pengobatan yang optimal.

Salah satu diantaranya adalah kepatuhan minum OAT. Hal ini merupakan

syarat utama tercadinya keberhasilan pengobatan yang dilakukan

(Humaidi & Ratna Anggarini, 2020)

Berdasarkan tingkat kekuatan (keeratan) hubungan variabel

dukungang keluarga dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis

(OAT) diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 862. Artinya, tingkat

kekuatan hubungan antara variabel dukungang keluarga dengan

kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) adalah sebesar 862 atau

sangat kuat.
58

Melihat arah hubungan variabel variabel dukungan keluarga

dengan kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT), angka koefisien

korelasi pada hasil diatas, bernilai positif, yaitu 862, sehingga hubungan

kedua variabel tersebut bersifat searah ( jenis hubungan searah ), dengan

demikian dapat diartikan bahwa dukungan keluarga semakin di

tingkatkan kualitas kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT) juga

akan meningkat.

Melihat signifikasi hubungan kedua variabel berdasarkan tabel

diatas, diketahui nilai signofikasi atau sig. (2-tailend) 000 < lebih kecil

dari 0,05 atau 000 maka artinya ada hubungan yang signifikan antara

variabel dukungang keluarga dengan kepatuhan minum obat anti

tuberkulosis (OAT). Jadi dari pembahasan diatas, maka kesimpulan

dalam penelitian ini adalah ada hubungan signifikan yang sangat kuat dan

searah antara variabel dukungang keluarga dengan kepatuhan minum obat

anti tuberkulosis (OAT).

Penelitian sejalan yang dilakukan oleh (Kusumoningrum et al.,

2020) yang berjudul Hubungan Dukungan Keluarga dan Kepatuhan

Minum Obat terhadap Kesembuhan Penderita Tuberkulosis (TB) di

Kabupaten Bantul, dengan 39 orang bahwa ada hubungan dukungan

informasional dan kepatuhan minum obat dengan nilai p = 0,008, ada

hubungan antara dukungan penghargaan dan kepatuhan minum obat

dengan p = 0,006, ada hubungan antara dukungan instrumental dan

kepatuhan minum obat dengan p = 0,000, ada hubungan antara dukungan


59

emosional dan kepatuhan minum obat dengan nilai p = 0,004 dan tidak

ada hubungan antara kepatuhan minum obat dan kesembuhan pada

penderita TB dengan nilai p = 0,154.

Didukung juga oleh penelitian (Nasution & Tambunan, 2020) yang

berjudul Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat

Pada Penderita TB Paru Di Puskesmas Padang Bulan Medan, dengan

sampel 163 orang terdapat 45 orang (72,6%) menunjukkan mayoritas

keluarga yang mendukung dan penderita yang patuh minum obat

sebanyak 38 orang (61,3%). Hasil uji chi-square di peroleh nilai p. value

= 0,002 (α<0,005), menunjukkan bahwa Ada Hubungan Dukungan

Keluarga dengan Kepatuhan Minum Obat Pada Penderita TB Paru.

C. Keterbatasan Peneliti

Dalam melakukan penelitian, terdapat beberapa keterbatasan baik pada

saat melakukan observasi secara langsung maupun wawancara yang mungkin

dapat mempengaruhi hasil penelitian ini, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Beberapa data yang dibutuhkan dalam penelitian belum tersedia sehingga

peneliti harus melakukan pencatatan sendiri berdasarkan observasi dan

wawancara langsung. Peneliti mengalami sedikit kesulitan untuk mecatat

waktu secara lengkap dengan waktu yang terbatas karena hanya dilakukan

seorang diri.

2. Penelitian dilakukan di tengah masa pandemi covid-19. Jadi untuk proses

observasi dan wawancara tidak bisa dilakukan dengan maksimal terkait

kebijakan rumah sakit dan penerapan social distancing.


60

3. Kondisi pelayanan rawat jalan belum berjalan normal dikarenakan masa

pandemi, sehingga pasien yang datang juga tidak seperti hari-hari biasanya

(pasien berkurang >50% per hari).

Anda mungkin juga menyukai