Anda di halaman 1dari 12

KONSEP TEORI COVID 19

A. PENGERTIAN
Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit infeksi
saluran pernapasan yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrome
virus corona 2 (SARS-CoV-2), atau sering disebut virus Corona. Virus ini
merupakan patogen zoonotik yang memiliki tingkat mutasi tinggi, dan dapat
menetap pada manusia dan binatang dengan presentasi klinis beragam, mulai
dari asimptomatik, gejala ringan sampai berat, sampai kematian.
Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran pernapasan
yang disebabkan oleh coronavirus yang baru muncul yang pertama dikenali
muncul di Wuhan, Tiongkok, pada bulan Desember 2019. Pengurutan
genetika virus ini mengindikasikan bahwa virus ini berjenis betacoronavirus
yang terkait erat dengan virus SARS. (World Health Organization 2020).
Menurut (Garcés Villalá et al. 2020), COVID-19 adalah penyakit infeksi
sistemik akut menular yang mempengaruhi sistem pernafasan yang
disebabkan oleh virus SARS-CoV-2.

B. KLASIFIKASI
1. Tanpa Gejala
Kategori tanpa gejala adalah kondisi pasien yang hasil laboratoriumnya
menunjukkan positif terinfeksi atau ada virus SARS-CoV-2 penyebab
Covid-19 dalam tubuh. Akan tetapi, pasien tidak memiliki keluhan atau
gejala sama sekali secara fisik.
2. Kasus Ringan (unclompicated illness)
Tingkat kasus pasien Covid-19 ringan adalah kondisi pasien yang
memiliki gejala tetapi tidak spesifik. Gejala yang dialami bisa berupa
demam, batuk, nyeri tenggorokan, kongesti hidung, malaise, sakit kepada
dan nyeri otot.
3. Kasus Sedang
Pasien terkonfirmasi psotif Covid-19 yang dimasukkan dalam kategori ini
adalah mereka yang memiliki gejala pneumonia ringan, tetapi tanpa sesak
napas.
4. Kasus Berat
Dikategorikan termasuk kasus berat adalah ketika pasien Covid-19
memiliki pneumonia, yang disertai dengan sesak napas atau napas berat.
Tanda sesak napas atau napas berat yang dimaksukan yaitu dengan
frekuensi napas lebih dari 30 kali per menit, dan saturasi kurang dari 93
persen, serta rasio PaO2/FiO2 kurang 300.
5. Kasus Kritis
Pasien konfirmasi positif Covid-19 yang dimasukkan dalam kategori kritis
adalah mereka yang memiliki keluhan-keluhan sebagai berikut.
- Pneumonia disertai gagal napas
- Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS) atau sindrom gangguan
pernapasan akut
- Syok sepsi - Dan/atau multiple organ failure (penurunan fungsi berbagai
organ)
pada pasien penyakit akut Berdasarkan severity atau tingkat keparahan
kasus di atas, penangaann yang diterima oleh pasien bisa berbeda-beda.

C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi COVID-19 diawali dengan interaksi protein spike virus
dengan sel manusia. Setelah memasuki sel, encoding genome akan terjadi dan
memfasilitasi ekspresi gen yang membantu adaptasi virus SARS-CoV-
2 (severe acute respiratory syndrome virus corona 2) pada inang.
Rekombinasi, pertukaran gen, insersi gen, atau delesi, akan menyebabkan
perubahan genom yang menyebabkan outbreak di kemudian hari.
- Peran Reseptor ACE2
SARS-CoV-2 menggunakan reseptor angiotensin converting enzyme 2
(ACE2) yang ditemukan pada traktus respiratorius bawah manusia dan
enterosit usus kecil sebagai reseptor masuk. Glikoprotein spike (S) virus
melekat pada reseptor ACE2 pada permukaan sel manusia. Subunit S1
memiliki fungsi sebagai pengatur receptor binding domain (RBD).
Sedangkan subunit S2 memiliki fungsi dalam fusi membran antara sel
virus dan sel inang.
- Replikasi virus dalam sel
Setelah terjadi fusi membran, RNA virus akan dikeluarkan dalam
sitoplasma sel inang. RNA virus akan mentranslasikan poliprotein pp1a
dan pp1ab dan membentuk replication/transcription complex (RTC).
Selanjutnya, RTC akan mereplikasi dan menyintesis subgenomik RNA
yang mengodekan pembentukan protein struktural dan tambahan.
Gabungan retikulum endoplasma, badan golgi, genomik RNA, protein
nukleokapsid, dan glikoprotein envelope akan membentuk badan partikel
virus. Virion kemudian akan berfusi ke membran plasma dan dikeluarkan
dari sel-sel yang terinfeksi melalui eksositosis.
- Penyebaran virus ke seluruh organ
Virus-virus yang dikeluarkan kemudian akan menginfeksi sel ginjal, hati,
intestinal, dan limfosit T, dan traktus respiratorius bawah, yang kemudian
menyebabkan gejala pada pasien. Gejala dan tanda COVID-19 terutama
berupa infeksi saluran napas, tetapi dapat juga menyebabkan di saluran
pencernaan seperti diare, mual, dan muntah, jantung seperti
miokarditis, saraf seperti anosmia bahkan stroke, serta mata dan kulit.

D. ETIOLOGI
Etiologi COVID-19 adalah infeksi virus family coronaviridae, dengan
nama spesies SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome virus corona
2). Transmisi virus antar manusia melalui droplet yang disebarkan baik secara
langsung maupun tidak langsung dari permukaan benda yang terkontaminasi.
- Virologi SARS-CoV-2
SARS-CoV-2 merupakan virus yang mengandung genom single-
stranded RNA yang positif. Morfologi virus corona mempunyai proyeksi
permukaan (spikes) glikoprotein yang menunjukkan gambaran seperti
menggunakan mahkota dan berukuran 80-160 nM dengan polaritas positif
27-32 kb. Struktur protein utama SARS-CoV-2 adalah protein
nukleokapsid (N), protein matriks (M), glikoprotein spike (S),
protein envelope (E) selubung, dan protein aksesoris lainnya.
SARS-CoV-2 termasuk dalam betaCoV dan 96,2% sekuens genom
SARS-CoV-2 identikal dengan bat CoV RaTG13. Oleh sebab itu,
kelelawar dicurigai merupakan inang asal dari virus SARS-CoV-2. Virus
ini memiliki diameter sebesar 60-140 nm dan dapat secara efektif
diinaktivasi dengan larutan lipid, seperti ether (75%), ethanol, desinfektan
yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan kloroform.
SARS-CoV-2 juga ditemukan dapat hidup pada aerosol selama 3 jam.
Pada permukaan solid, SARS-CoV-2 ditemukan lebih stabil dan dapat
hidup pada plastik dan besi stainless selama 72 jam, pada tembaga selama
48 jam, dan pada karton selama 24 jam
- Varian virus SARS-CoV-2
Pada bulan Juli 2021 telah ditemukan banyak varian virus SARS-Cov-
2. WHO memasukan varian baru ke dalam variant of interest (VOI)
dan variant of concern (VOC). Kriteria VOI adalah varian yang telah
teridentifikasi menyebabkan transmisi dalam lingkup komunitas atau
terdeteksi pada beberapa negara, seperti varian Zeta (P.2), Eta (B.1.525),
Kappa (B.1.617.1), dan Lambda (C.37).
Sedangkan kriteria VOC adalah kriteria VOI ditambah terbukti
menyebabkan perubahan pada kemampuan transmisi, virulensi, dan
gejala. VOC juga terbukti mengubah efektifitas dari upaya pengendalian
penyakit, termasuk pemeriksaan diagnostik dan tata laksana. Saat ini yang
masuk dalam VOC adalah varian alfa (B.1.1.7), beta (B.1.351), dan delta
(B.1.617.2). Status VOI dan VOC akan terus berubah sesuai hasil
penelitian dan pengamatan virus.
- Transmisi virus SARS-CoV-2
Kasus COVID-19 pertama kali ditemukan di pasar basah di Kota
Wuhan Cina yang menjual binatang hidup eksotis. Oleh sebab itu,
transmisi binatang ke manusia merupakan mekanisme yang paling
memungkinkan. Berdasarkan hasil genom SARS-CoV-2, kelelawar
dipercayai menjadi inang asal. Akan tetapi, inang perantara karier dari
virus ini masih belum diketahui secara pasti.
1. Transmisi droplet
Transmisi antar manusia melalui droplet dapat terjadi secara
langsung, yaitu saat pasien batuk atau bersin mengenai individu
sehat pada jarak hampir 2 meter  atau 6 kaki. Droplet yang masuk
mulut atau hidung dapat terinhalasi ke paru-paru dan menyebabkan
infeksi.
Atau secara tidak langsung, yaitu saat individu sehat menyentuh
permukaan barang yang sudah terkontaminasi droplet pasien COVID-
19 kemudian menyentuh wajah, mata, hidung, atau mulut
tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.  Penyebaran tidak langsung ini
bukan transmisi utama virus.
2. Transmisi vertical ibu hamil
Sampai saat ini, transmisi vertikal COVID-19 dari ibu hamil ke
janin belum dapat dibuktikan. Ada 2 studi yang melaporkan penemuan
antibodi IgM SARS-CoV-2 pada serum neonatus melalui
pemeriksaan immunoassay. Namun, kedua laporan tersebut belum
dapat menyingkirkan kemungkinan adanya reaksi silang yang
menyebabkan hasil positif palsu.
Pada studi lain, bayi yang lahir dari 32 ibu hamil yang terinfeksi
COVID-19 ditemukan dalam kondisi yang baik dan tidak ada
transmisi neonatal.
- Faktor Resiko
Faktor risiko utama yang telah diketahui dari penyakit COVID-19 adalah:
 Riwayat bepergian ke area yang terjangkit COVID-19
 Kontak langsung dengan pasien probable atau terkonfirmasi COVID-
19
Sedangkan beberapa faktor risiko yang dipercaya dapat meningkatkan
mortalitas pasien COVID-19, antara lain:
 Usia >50 tahun
 Obesitas (BMI ≥ 40)
 Wanita hamil
 Pasien imunodefisiensi, misalnya HIV atau penggunaan obat-obatan
yang dapat mengganggu sistem imun seperti kortikosteroid
 Hipertensi, diabetes mellitus
 Penyakit keganasan, seperti kanker paru
 Penyakit kardiovaskular, seperti gagal jantung
 Penyakit paru-paru, seperti penyakit paru obstruktif kronis
 Penyakit hepar terutama dengan kondisi disfungsi koagulasi
 Gangguan saraf, seperti penyakit Parkinson dan palsi serebral
 Sedang menjalankan kemoterapi, radioterapi intens, atau terapi target
lainnya yang dapat yang mengganggu imunitas
 Riwayat transplantasi organ, termasuk transplantasi sumsum tulang
atau sel punca
 Disfungsi organ dengan skor sequential organ failure
assessment (SOFA) tinggi
 Neutrofilia, D-dimer >1 µg/L 

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran
napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue, batuk
(dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan, kongesti
nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen.
Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah.
Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam,
ditambah salah satu dari gejala frekuensi pernapasan >30x/menit, distres
pernapasan berat, atau saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada
pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal. Sebagian besar
pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan gejalagejala pada sistem
pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.
Berdasarkan data 55.924 kasus, gejala tersering adalah demam, batuk
kering, dan fatigue. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif,
sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil,
mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti
konjungtiva. Lebih dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu
puncak antara 38,1-39°C, sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari
39C. Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya
sekitar 3-14 hari (median 5 hari).
Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan
pasien tidak bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar
melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE-
2 seperti paruparu, saluran cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya
ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala
awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru
memburuk, limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai
terjadi hiperkoagulasi. Jika tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak
terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), sepsis, dan komplikasi lainnya menunjukkan
perjalanan penyakit pada pasien COVID-19 yang berat dan onset terjadinya
gejala dari beberapa laporan.(Susilo et al. 2020)

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan sensitivitas Real-Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
dan CT-Chest
Penelitian (He et al., 2020) di China menemukan dari 34 pasien saat
pemeriksaan awal RT-PCR sebanyak 27 orang COVID-19 dan hasil CT-
chest COVID-19 26 pasien. Sehingga sensitivitas PCR (79%) dan CT-
Chest (77%), Spesifitas PCR (100%) dan CT-Chest (96%), dan akurasi
PCR (92%) dan CT-Chest (88%). Penelitian lainnya (Fang et al., 2020)
di China mendapatkan perbedaan hasil positif COVID-19 pada awal
pemeriksaan dimana CT- Chest 50 orang dan RT-PCR 36 orang.
Penggunaan CT-Chest lebih sensitive dibandingkan RT-PCR. Penelitian
(Long et al., 2020) di China menemukan dari 36 kasus COVID-19
dengan pneumonia CT- Chest menemukan 35 pasien memiliki CT
abnormal sedangkan hasil RT-PCR mendapatkan 30 pasien positif.
Sensitivitas pemeriksaan CT-Chest (97,2%) dan RT-PCR (84,6%).
Pemeriksaan CT-Chest sensitive dalam mendeteksi virus sedangkan RT-
PCR menghasilkan negatif palsu. Penelitian (Ai et al., 2020) di China
dari 1014 pasien meliputi 601 orang positif RT-PCR dan 580 dari 601 CT-
Chest positif, 413 negatif RT-PCR dan 308 dari 413 positif CT- Chest.
CT-Chest memiliki sensitivitas tinggi untuk diagnosis COVID-19.

2. Pemeriksaan CT-Chest
Penelitian (K. Wang et al., 2020) di China terkait CT-Chest
mengungkapkan bayangan paru abnormal pada 110 pasien COVID-19.
Spiral CT adalah metode pemeriksaan sensitif, yang dapat diterapkan untuk
membuat diagnosis dini dan untuk evaluasi perkembangan, dengan
sensitivitas dan akurasi diagnostik yang lebih baik daripada deteksi asam
nukleat.
Penelitian lainnya (Ding, Xu, Zhou, & Long, 2020) di China
menemukan dari sampel sebanyak 112 pasien diperiksa CT-Chest sesuai
dengan waktu setelah timbulnya gejala awal didapatkan frekuensi crazy-
paving pattern, konsolidasi dan opasitas linear memuncak pada tahap-3
(62,7%), tahap-4 (75,0%) dan tahap-5 (83,1%), dan menurun setelahnya.
CT dapat memberikan analisis semi-kuantitatif keparahan kerusakan paru-
paru. Penyakit ini berubah dengan cepat pada tahap awal, kemudian
cenderung stabil dan bertahan lama.
Penelitian (Zhao, Zhong, Xie, Yu, & Liu, 2020) di China dari 101
kasus pneumonia COVID-19 sebagian besar pasien memiliki fitur pencitraan
yang khas, seperti ground-glass opacities(GGO) 87 pasien (86,1%) atau
GGO campuran dan konsolidasi 65 pasien (64,4%), pembesaran vaskular
pada lesi 72 pasien (71,3 %), dan traksi bronkiektasis 53 pasien (52,5%).
Lesi yang ada pada gambar CT lebih cenderung memiliki distribusi perifer
88 pasien (87,1%) dan keterlibatan bilateral 83 pasien (82,2%) dan menjadi
dominan paru-paru yang lebih rendah 55 pasien (54,5%) dan multifokal 55
pasien (54,5%). CT involvement score dapat membantu dalam evaluasi tingkat
keparahan dan luasnya penyakit.
Penelitian (Dai et al., 2020) menemukan bahwa CT-Chest
menunjukkan abnormal attenuation pada beberapa lobus paru bilateral,
didistribusikan di bagian bawah dan/atau pinggiran paru-paru (94,98%),
dengan berbagai bentuk.
G. PENATALAKSANAAN
1. Tanpa Gejala
a) Isolasi dan pemantauan
Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen
terdiagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di
fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah
b) Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP)
c) Kontrol di FKTP terdekat selama 10 hari Karantina untuk pemantauan
Klinis
2. Non Farmakologis
Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk
dibawa kerumah):
a) Pasien
1. Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat
berinteraksi dengan anggota keluarga
2. Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer
sesering mungkin
3. Jaga jarak dengan keluarga (Physical Distancing)
4. Upayakan kamar tidur sendiri/terpisah
5. Menerapkan etika batuk (diajarkan oleh tenaga medis)
6. Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
7. Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya
(sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore)
8. Pakaian yang telah terpakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong
plastik/wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor
keluargayang lainnya sebelum dicuci segera masukkan ke mesin
cuci
9. Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)
10. Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga
jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38°C
b) Lingkungan Sekitar
1. Perhatikan ventilasi, cahaya, dan udara
2. Membuka jendela kamar secara berkala
3. Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan kamar
(setidaknya masker, dan bila memungkinkan sarung tangan dan
google)
4. Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau Hand Sanitizer
sesering mungkin
5. Bersihkan kamar setiap hari, bisa dengan air sabun atau bahan
desinfektan lainnya.
c) Keluarga
1. Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien
sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit
2. Anggota keluarga senantiasa pakai masker
3. Jaga Jarak minimal 1 meter dari pasien
4. Senantiasa mencuci tangan
5. Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih
6. Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara
tertukar
7. Bersihkan sesering mungkin daerah yang mungkin tersentuh
pasien misalnya gagang pintu dll.

H. KOMPLIKASI
1. Pneumonia
Saat kamu terpapar virus corona, maka virus ini dapat berkembang
pada saluran pernapasan. Bukan itu saja, virus ini dapat menyebar hingga
ke paru-paru. Pada paru-paru yang sehat, oksigen akan masuk melalui
aliran darah ke dalam alveoli. Virus corona yang masuk ke dalam paru-
paru nyatanya dapat merusak alveoli. 
Saat ada virus masuk ke dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh akan
berusaha melawan dan menyebabkan peradangan pada paru-paru.
Peradangan dapat menyebabkan cairan dan sel mati dalam paru
menumpuk, sehingga mengakibatkan penyakit pneumonia. Kondisi ini
menimbulkan gejala batuk dan sesak napas pada pengidap COVID-19.
2. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Pneumonia yang disebabkan oleh COVID-19 juga dapat memicu acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Kondisi ini merupakan jenis
kegagalan pernapasan progresif yang terjadi ketika kantung udara pada
paru-paru terisi cairan. Jika mengalami kondisi ini, pengidap COVID-19
membutuhkan ventilator atau alat bantu napas untuk proses pernapasan.
Dengan begitu, gejala pneumonia dapat diredakan.
3. Gangguan Hati
Melansir dari Journal of Hepatology, laporan terbaru menunjukkan
sekitar 2–11 persen pasien dengan COVID-19 sudah memiliki penyakit
hati kronis sebelumnya. Dalam masa pandemi, disfungsi hati terlihat
meningkat 14–53 persen pada pengidap COVID-19. Peningkatan
gangguan hati berkaitan langsung dengan kasus kematian pengidap
COVID-19. Gangguan hati dalam COVID-19 bisa dikaitkan dengan efek
sitopatik langsung dari virus, reaksi kekebalan yang tidak terkontrol,
kondisi sepsis, hingga efek dari penggunaan obat-obatan untuk meredakan
gejala COVID-19.
4. Gagal Ginjal AKut
Bukan hanya menyerang paru-paru, gejala COVID-19 yang cukup
parah nyatanya mampu menyebabkan gangguan pada ginjal. Meskipun
jarang terjadi, tetapi COVID-19 mampu meningkatkan risiko gagal ginjal
akut pada pengidap COVID-19. Kondisi ini tentunya cukup berbahaya dan
membuat pengidap COVID-19 membutuhkan penanganan yang lebih
serius. Melansir The Pediatric Infectious Disease Journal, sekitar 25
persen orang dewasa pengidap COVID-19 bisa berisiko mengalami
komplikasi ini. Namun, saat ini belum ditemukan penyakit ini sebagai
komplikasi pada pengidap COVID-19 yang masih berusia anak-anak.
5. Gangguan Neorologis
Pada pengidap COVID-19 yang mengalami gangguan neurologis,
umumnya kondisi ini memang telah dimiliki sebelumnya. Paparan virus
corona yang tidak segera diatasi dapat memperburuk kondisi ini. Namun,
penyakit COVID-19 dengan gejala yang cukup parah dapat berisiko
menyebabkan sepsis dan kegagalan organ yang memicu kondisi gangguan
neurologis. Gangguan neurologis juga dapat dialami oleh pengidap
COVID-19 akibat efek samping dari pengobatan yang dilakukan.
Meskipun begitu, komplikasi gangguan neurologis pada pengidap
COVID-19 masih harus terus dilakukan penelitian lebih mendalam.
6. Gangguan Jantung
Bukan hanya paru-paru, gangguan jantung juga kerap dialami oleh
pengidap COVID-19 sebagai komplikasi yang cukup umum terjadi.
Biasanya, virus corona menyebabkan gangguan irama jantung atau
aritmia. Selain itu, melansir jurnal American Heart Association, 22 persen
pasien COVID-19 dengan gejala berat mengalami cedera miokard akibat
infeksi. Namun, penelitian mengenai kasus ini masih akan dilakukan
secara lebih mendalam.

I. PENCEGAHAN
1. Menggunakan Masker
Cara pencegahan COVID-19 yang paling efektif untuk dilakukan adalah
dengan menggunakan masker. Alat ini harus digunakan terutama saat
berada di tempat umum atau berinteraksi dengan orang lain. Penutupan
pada mulut dan hidung ampuh untuk menurunkan risiko penyebaran virus
corona dengan memblokir tetesan air liur, agar tidak masuk ke tubuh.
Sebaran dari udara juga dapat terjadi, sehingga perlu digunakan saat kamu
berada di dalam ruangan, terutama yang ber-AC.
2. Mencuci Tangan Secara Rutin
Kamu juga dapat mencegah risiko terserang COVID-19 dengan mencuci
tangan secara rutin. Cobalah untuk lebih sering mencuci tangan dengan
sabun dan air selama 20 detik setelah melakukan beberapa aktivitas,
seperti menyentuh suatu benda, memegang bagian depan masker, hingga
menyentuh hewan. Kamu juga perlu mencuci tangan sebelum makan dan
juga menyentuh wajah. Jika air dan sabun tidak
memungkinkan, gunakan hand sanitizer dengan kandungan minimal 60
persen alkohol.
3. Menjaga Jarak
5M lainnya yang harus dilakukan untuk pencegahan COVID-19, yaitu
menjaga jarak. Saat berada di luar rumah, pastikan untuk menjauhkan diri
sekitar 1–2 meter. Pastikan untuk selalu ingat jika beberapa orang tidak
memiliki gejala, meski telah terserang virus corona. Selain itu, hindari
juga ruangan tertutup dan lebih banyak aktivitas di ruangan terbuka yang
menyediakan udara segar
4. Menjauhi Kerumunan
Saat berada di keramaian atau kerumunan, risiko untuk tertular COVID-19
menjadi lebih tinggi. Jika ingin melakukan interaksi dengan beberapa
orang, pastikan berada di luar ruangan, menggunakan masker, dan tidak
lebih dari 5 orang. Intensitas dan jumlah orang sangat berpengaruh
terhadap tingkat risiko yang dapat terjadi.
5. Mengurangi Mobilitas
Setiap orang harus benar-benar menanamkan pemahaman jika
keperluannya tidak terlalu mendesak, ada baiknya untuk tetap di rumah.
Meskipun merasa sehat, belum tentu saat berada di rumah tetap dalam
keadaan yang sama atau menyebarkan virusnya pada keluarga di rumah.
Tingkatkan perhatian terlebih lagi jika terdapat orang tua atau anak-anak
di rumah yang masih rentan terhadap COVID-19.

Anda mungkin juga menyukai