Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ALIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN DI BARAT


PROGRESIVISME DAN ESSESSIALISME

Disusun untuk melengkapi Tugas


Mata Kuliah Filsafat Penddikan

DOSEN PEMBIMBING : Dr.Sumirah.M.Pd

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK 7:
Firdaus
Nurul Sakinah

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang atas rahmat-Nya, maka
saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah mata kuliah Filsafat pendidikan
yang berjudul, “aliran dalam filsafat pendidikan di barat,progressivisme dan
essessialisme”

”Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk mata kuliah
filsafat pendidikan. Dalam Penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak
kekurangan, baik dalam materi maupun cara penulisan. Untuk itu kritik dan saran
dari semua pihak sangat kami harapkan demi menyempurnakan isi makalah ini.

kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada


pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung atas sumber-
sumber materi sebagai bahan referensi yang membantu dalam penyusunan makalah
ini.

Akhirnya kami berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal


pada mereka yang telah memberikan bantuan. Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Jambi, 1 November 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... I
DAFTAR ISI................................................................................................................ II
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... III
A.    Latar Belakang......................................................................................................... 3.1
B.     Rumusan Masalah................................................................................................... 3.2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ IV
A.   Aliran progressivisme............................................................................................... 4.1
B. Aliran essessialisme................................................................................................. 4.2

BAB III PENUTUP...................................................................................................... V


a. Simpulan.................................................................................................................... 5.1
b. Saran.......................................................................................................................... 5.2

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... VI
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah


Pendidikan dan kehidupan manusia merupakan dua hal identik yang tak bisa
dipisahkan satu sama lain. Cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan
secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini
dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha
mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan
pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar)
penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni,
menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek.
Nilai suatu benda pada dasarnya inherent (suatu yang sudah melekat) dalam dirinya,
atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat
preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat. Filsafat
analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian
dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-
istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab
dalam sistem berfikir.
Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya: idealisme, materialisme,
realisme dan pragmatisme. Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian
menghasilkan filsafat pendidikan, yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat
pendidikan akan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan
konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan kebijakan
pendidikan.
Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori
pendidikan yang akan dijelaskan dalam pembahasan makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
1.    Apa Macam-Macam Aliran Filsafat Pendidikan Barat?
2.    Siapakah Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan Barat?
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Aliran progresifisme
1.    Sejarah Munculnya Aliran Progresifisme
Aliran progresivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang memandang
bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan
masalah. Aliran Progressivisme ini adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang
berkembang dengan pesat pada permulaan abad ke XX dan sangat berpengaruh dalam
pembaharuan pendidikan yang didorong oleh terutama aliran naturalisme dan
experimentalisme, instrumentalisme, evironmentalisme dan pragmatisme sehingga
penyebutan nama progressivisme sering disebut salah satu dari nama-nama aliran tadi.
Progressivisme dalam pandangannya selalu berhubungan dengan pengertian "the liberal road
to cultural" yakni liberal dimaksudkan sebagai fleksibel (lentur dan tidak kaku), toleran dan
bersikap terbuka, serta ingin mengetahuidan menyelidiki demi pengembangan pengalaman.
Progressivisme disebut sebagai naturalisme yang mempunyai pandangan bahwa kenyataan
yang sebenarnya adalah alam semesta ini (bukan kenyataan spiritual dari supernatural).[41]
Naturalisme dapat menjadi materialisme karena memandang jiwa manusia dapat
menurun kedudukannya menjadi dan mempunyai hakikat seperti unsur-unsur materi. Dan
progressivisme identik dengan experimentalisme berarti aliran ini menyadari dan
memperaktekkan bahwa experiment (percobaan ilmiah) adalah alat utama untuk menguji
kebenaran suatu teori dan suatu ilmu pengetahuan. Disebut juga dengan instrumentalisme
karena aliran ini menganggap bahwa potensi intelegensi manusia (merupakan alat,
instrument) sebagai kekuatan utama untuk menghadapi dan memecahkan problem kehidupan
manusia.
Dengan sebutan lain yakni environtalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup sebagai medan tempat untuk berjuang menghadapi tantangan dalam hidup baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Manusia diuji sejauh mana berinteraksi dengan
lingkungan, menghadapi realita dan perubahan. Sedangkan disebut sebajai aliran
pragmatisme dan dianggap aliran ini pelaksana terbesar dari progressivisme dan merupakan
petunjuk bahwa pelaksanaan pendidikan lebih maju dari sebelumnya. Dari pemikiran yang
demikian ini maka tidaklah heran kalau pendidikan progressivisme selalu menekankan akan
tumbuh dan  berkembangnya pemikiran dan sikap mental, baik dalam pemecahan masalah
maupun kepercayaan kepada diri sendiri bagi peserta didik. Progres atau kemajuan
menimbulkan perubahan dan perubahan menghasilkan pembaharuan. Juga kemajuan adalah
di dalamnya mengandung nilai dapat mendorong untuk mencapai tujuan. Kemajuan nampak
kalau tujuan telah tercapai. Dan nilai dari suatu tujuan tertentu itu dapat menjadi alat jika
ingin dipakai untuk mencapai tujuan lain lagi. misalnya faedah kesehatan yang baik akan
mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
2.    Ciri-ciri Utama
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan
bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi
dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu
sendiri. Berhubung dengan itu progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang
bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mem punyai kesulitan untuk
mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat
semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Padahal
semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami
kemajuan atau progres.
Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi inti perhatian progresivisme, maka
beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh
progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan. Kelompok ini meliputi:
Ilmu hayat, Antropologi, Psikologi dan Ilmu Alam.
3.    Pandangan-pandangan Aliran Progresivisme
a.       Pandangan progresivisme tentang pendidikan
Istilah progresivisme dalam bagian ini akan dipakai dalam hubungannya dengan
pendidikan, dan menunjukkan sekelompok keyakinan-keyakinan yang tersusun secara
harmonis dan sistematis dalam hal mendidik.Keyakinan¬keyakinan yang didasarkan pada
sekelompok keyakinan filsafat yang lazim disebut orang pragmatism, instrumentalisme, dan
eksperimentalisme.
Progresivisme sebagai filsafat dan progresifisme sebagai pendidikan erat sekali
hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari John Dewey dalam lapangan
pendidikan. Hal ini dapat dilihat dalam bukunya Democracy And Aducation. Disini Dewey
memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan wawasanya tentang pendidikan, serta
mempraktekkannya disekolah-sekolah yang ia dirikan Menurut Dewey tujuan umum
pendidikan ialah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikanya lebih mengutamakan
bidang studi yang berguna atau langsung bisa dirasakan oleh masyarakat seperti IPA, Sejarah,
dan keterampilan.
Progresivisme tidak menghendaki adanya mats pelajaran yang diberikan secara
terpisah, melainkan hams diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena suatu perubahan selalu
terjadi maka diperlukan fleksibilitas dalam pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku, tidak
menghindar, dari perubahan, tidak terikat le suatu dokrin tertentu, bersifat ingin tabu, toleran,
berpandangan luas serfs terbuka.
b.      Pandangan Mengenai Kurikulum
Dewey menyatakan bahwa "thr good school is cocerned with every kind of learning
that helps student, young and old, to grow" (2: 124). "sekolah yang baik ialah yang
memperhatikan dengan sunguh-sungguh semua jenis belajar (dan bahannya) yang membantu
murid, pemuda dan orang dewasa, untuk berkembang."[44]
Sikap progresivisme, yang memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas,
dinamika dan sifat-sifat lain yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai
kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan
susunan yang teratur. Landasan pikiran ini akan diuraikan serba singkat. Yang dimaksud
dengan pengalaman yang edukatif adalah peng alaman apa saja yang serasi tujuan menurut
prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, yang setiap proses belajar yang ada
membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Oleh karena tiada standar yang
universal, maka terhadap kurikulum haruslah terbuka kemungkinan akan adanya peninjauan
dan penyempurnaan. Fleksibilitas ini dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk
memperhatikan tiap anak didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain
ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena
sifat kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah
kurikulum yang "berpusat pada pengalaman".
Selain jenis ini, menurut progresivisme, yang dapat dipandang maju adalah tipe yang
disebut "Core Curriculum", ialah sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum.
Core curriculum maupun kurikulum yang bersendikan peng alaman perlu disusun
dengan teratur dan terencana. Kualifikasi semacam ini diperlukan agar pendidikan dapat
mempunyai proses sesuai dengan tujuan, tidak mudah terkait pada hal-hal yang insidental dan
tidak penting. Maka, jelaslah bahwa lingkungan dan penga laman yang diperlukan dan yang
dapat menunjang pendidikan ialah yang dapat diciptakan dan ditujukan ke arah yang telah
ditentukan. Kurikulum yang memenuhi tuntutan ini di antaranya adalah yang di susun atas
dasar teori dan metode proyek, yang telah diciptakan oleh William Heard Kilpatrick.[45]
c.       Pandangan Progressivisme Terhadap Budaya
Kebudayaan sebagai hasil budi manusia, dalam berbagai bentuk dan menifestasinya,
dikenal sepanjang sejarah sebagai milik manusia yang tidak kaku, melainkan selalu
berkembang dan berubah. Filsafat progressivisme menganggap bahwa pendidikan telah
mampu merubah dan membina manusia untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-
perubahan kultural dan tantangan zaman, sekaligus menolong manusia menghadapi transisi
antara zaman tradisional untuk memasuki zaman modern (progresif).
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk
mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis manusia terus
berevolusi meningkatkan kuilitas hidup yang semakin terus maju. Kenyataan menunjukkan
bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di pohon-pohon atau gua-gua. Hidupnya hanya
bergantung dengan alam. Alamlah yang mengendalikan manusia. De ngan sifatnya yang
tidak iddle curiousity (rasa keingintahuan yang terus berkembang) makin lama daya rasa,
cipta dan karsanya telah dapat mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna.
4.    Perkembangan Aliran Progressivisme
Meskipun pragmatisme-progressivisme sebagai aliran pikiran baru muncul dengan
jelas pada pertengahan abad ke 19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh ke
belakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Heraclitus (± 544 - ± 484), Socrates
(469 - 399), Protagoras (480 - 410), dan Aristoteles mengemukakan pendapat yang dapat
dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan terjadinya sikap jiwa yang disebut
prag matisme-progressivisme. Heraclitus mengemukakan, bahwa sifat yang terutama dari
realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap di dunia ini, semuanya berubah-ubah,
kecuali asas perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epistemologi dengan
axiologi. la mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat
dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi
manusia untuk melakukan kebajikan (perbuatan yang baik). la percaya bahwa manusia
sanggup melakukan yang baik.
Dalam asas modern - sejak abad ke-16 - Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant
dan Hegel dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang pikiran dalam proses terjadinya
aliran pragmatisme-progressivisme. Francis Bacon memberikan sumbang an dengan
usahanya untuk memperbaiki dan memperhalus motode experimentil (metode ilmiah dalam
pengetahuan alam). Locke dengan ajarannya kebebasan politik. Rousseau dengan
keyakinannya bahwa kebaikan berada di dalam manusia melulu karena kodrat yang baik dari
para manusia. Menurut Rousseau manusia lahir sebagai makhluk yang baik. Kant
memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi martabat
manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan, bahwa alam dan masyarakat
bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan gerak, dalam proses perubahan dm
penyesuaian yang tak ada hentinya.
Dalam abad ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh pragmatisme terutama terdapat di
Amerika Serikat. Tkinas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada
pragmatisme karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang
dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemuka kan teori tentang pikiran dan
hal berpikir: pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia apabila pikiran itu "bekerja",
yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya. Fungsi berpikir tidak lain dari pada
membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah
manifestasi-manifestasi yang khas dari aktivitas manusia dan kedua hal itu tak dapat di
pisahkan dari kegiatan intelek (berpikir).
B.      Aliran Essensialisme
Kata esensialisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat dua kata, yaitu
“esensi” yang berarti “hakikat, inti, dasar” dan ditambahkan menjadi “esensial” yang berarti
“sangat perinsip, sangat berpengaruh, sangat perlu”.
Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat
pendidikan. Esensialisme berusaha mencari dan mempertahankan hal-hal yang esensial, yaitu
sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan
keberadaan sesuatu. Menurut Esensialisme, yang esensial tersebut harus diwariskan kepada
generasi muda agar dapat bertahan dari waktu ke waktu karenaitu Esensialisme tergolong
tradisionalisme.
1.    Sejarah Lahirnya Aliran Essensialisme
Essensialisme adalah aliran filsafat pendidikan yang memandang bahwa pendidikan
harus didasarkan kepada nilai-nilai, kebudayaan yang telah ada sejak peradaban umat
manusia, yang mempunyai kejelasan dan tahan lama sehingga memberikan kestabilan dan
arah yang jelas.
Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang
berbeda dengan progresivisme, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad 11, 12, 13
dan ke 14 Masehi. Pada zaman Renaissance itu telah berkembang dengan megahnya usaha-
usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan
purbakala, terutama dizaman Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka
reaksi terhadapa tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan
bertindak dalam semua cabang dari aktivitas manusia.
Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930 dengan beberapa orang pelopornya
seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell. Pada tahun
1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut dengan “the essensialist committee for
the advancement of American Education” sementara Bagley sebagai pelopor esensialsme
adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Colombia University. Bagley yakin
bahwa fungsi utama sekolah adalah mentransmiskan warisan budaya dan sejarah kepada
generasi muda.[5]
Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan
sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat
bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral anak muda.
Setelah perang dunia ke-2, kritik terhadap pendidikan progresiv telah tersebar luas dan
tampak merujuk pada kesimpulan : sekolah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan
warisan-warisan intelektual dan sosial. Esensialisme, yang memiliki beberapa kesamaan
dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan
umum yang harus diberikan sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang
sistematis dan berdisiplin. Aliran ini populer pada tahun 1930 an dengan populernya Wiliam
Bagley (1874-1946).[6]
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan
yang berbeda dengan progresivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika
progresivisme menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk
perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah
dan berkembang, maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu
pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya
pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta
kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan
kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan
terseleksi. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat
yang korelatif, selama empat abad belakangan ini, dengan perhitungan zaman Renaisans,
sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan Esensialistis awal. Puncak refleksi dari
gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan belas.[7]
Dengan demikian Renaissans adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikiran
esensialisme. Aliran esensialisme muncul sebagai reaksi terhadap pandangan progressivisme
yang materialistik, yang serba bebas.
2.    Teori Pendidikan Esensialisme
Esensialisme mengharapkan agar pendidikan dan landasan-landasannya mengacu pada
nilai-nilai yang esensial.[8] Dalam hal ini menurut esensialisme pendidikan harus mengacu
pada nilai-nilai yang sudah teruji oleh waktu, bersifat menuntun, dan telah berlaku secara
turun-temurun dari zaman ke zaman.
Adapun beberapa pandangan esensialisme yang berkaitan dengan pendidikan yaitu
sebagai berikut:
a.    Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan esensialisme adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah
melalui suatu inti pengetahuan yang telah terakumulasi, serta telah bertahan sepanjang waktu
untuk diketahui oleh semua orang.[9] Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap dan
nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur pendidikan yang inti (esensial),
pendidikan diarahkan mencapai suatu tujuan yang mempunyai standart akademik yang tinggi,
serta pengembangan intelek atau kecerdasan.
b.    Kurikulum
Menurut aliran esensialisme kurikulum pendidikan lebih diarahkan pada fakta-fakta
(nilai-nilai), kurikulum pendidikan esensialisme berpusat pada mata pelajaran.[10] Dalam hal
ini ditingkat sekolah dasar misalnya, kurikulum lebih ditekankan pada beberapa kemampuan
dasar, diantaranya yaitu kemampuan menulis, membaca dan berhitung. Sementara itu
dijenjang sekolah menengah penekanannya sudah lebih diperluas, misalnya sudah mencakup
sains, bahasa, sastra dan sebagainya.
Dalam hal ini menurut pandangan esensialisme kurikulum yang diterapkan dalam
sebuah proses belajar menganjar lebih menekankan pada penguasaan berbagai fakta dan
pengetahuan dasar merupakan sesuatu yang sangat esensial bagi kelanjutan suatu proses
pembelajaran dan dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum. Dengan kata
lain penguasaan fakta dan konsep dasar disiplin yang esensial merupakan suatu keharusan. 
c.    Metode pendidikan
Dalam pandangan esensialisme, metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar
lebih tergantung pada inisiatif dan kreatifitas pengajar (guru), sehingga dalam hal ini sangat
tergantung pada penguasaan guru terhadap berbagai metode pendidikan dan juga kemampuan
guru dalam menyesuaikan antara berbagai pertimbangan dalam menerapkan suatu
metode  sehingga bisa berjalan secara efektif.
Pendidikan berpusat pada guru (teacher centered), umumnya diyakini bahwa pelajar
tidak betul-betul mengetahui apa yang diinginkan dan mereka harus dipaksa belajar. Metode
utama adalah latihan mental, misalnya melalui diskusi dan pemberian tugas, penguasaan
pengetahuan, misalnya melalui penyampaian informasi dan membaca.
d.   Pelajar
Dalam pandangan esensialisme sekolah bertanggung jawab untuk memberikan
pengajaran yang logis atau terpercaya kepada peserta didik, sekolah berwenang untuk
mengevaluasi belajar siswa.[11] Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa siswa adalah
mahluk rasional dalam kekuasaan (pengaruh) fakta dan keterampilan-keterampilan pokok
yang diasah melakukan latihan-latihan intelek atau berfikir, siswa kesekolah adalah untuk
belajar bukan untuk mengatur pelajaran sesuai dengan keinginannya. Dalam hal ini sangat
jelas dalam pandangan esensialisme bahwa pelajar harus diarahkan sesuai dengan nilai-nilai
yang sudah dakui dan tercantum dalam kurikulum, bukan didasarkan pada keinginannya.
e.    Pengajar
Menurut pandangan aliran filsafat esensialisme, dalam proses belajar mengajar posisi
guru adalah sebagai berikut:
1)   Peranan guru kuat dalam mempengaruhi dan menguasai kegiatan-kegiatan di kelas.
2)   Guru berperan sebagai sebuah contoh dalam pengawasan nilai-nilai dan penguasaan
pengetahuan atau gagasan yang hendak ditanamkan kepada peserta didik.
Dengan kata lain dalam pandangan esensialisme dalam proses belajar menganjar
pengajar (guru) mempunyai peranan yang sangat dominan dibanding dengan peran siswa, hal
ini tidak terlepas dari pandangan mereka tentang kurikulum dan juga tentang siswa dimana
siswa harus diarahkan sesuai dengan kurikulum yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah
teruji dan tahan lama, sehingga guru mempunyai peranan yang begitu dominan dalam
jalannya proses belajar menganjar.
Aliran esensialisme, dengan bercokol dari filsafat-filsafat sebelumnya, dapat memenuhi
nilai-nilai yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang korelatif sejak empat abad
ke  belakang, sejak zaman Renaisance sebagai pangkal timbulnya pandangan esensialisme
awal. Sedangkan puncak dari gagasan ini adalah pada pertengahan abad ke-19,[12]dengan
munculnya tokoh-tokoh utama yang berperan menyebarkan aliran esensialisme.
BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Aliran progresivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang
memandangbahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan
masalah.Aliran progesivisme memiliki dua sifat yaitu sifat positif dan negatif. Aliran
progesivismememiliki cirri-ciri umum seperti:

1.Pendidikan dalam kebudayaan liberal

2.Menjadi pelopor pembaharuan ide-ide lama menuju asas-asas baru


menyongsongkebudayaan dan zaman baru

3.Pearalihan menuju kebudayaan baru.

Aliran Perenealisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau


prosesmengembalaikan keadaan sekarang.perenealisme memberikan sumbangan yang
berpengaruhbaik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.

B.SARAN
Demikian makalah ini kami susun dengan segala kemampuan dan
keterbatasarikami.Maka dari itu, kritik dan saran akan selalu kami tunggu demi perbaikan.
Dan semogamakalah ini mudah difahami dan bermanfaat di masa yang akan dating.
DAFTAR PUSTAKA

https://123dok.com/document/y9go1edq-makalah-filsafat-pendidikan-aliran-
progresivisme-dan-aliran-perenealisme.html,
http://menzour.blogspot.com/2018/05/makalah-macam-macam-aliran-filsafat_73.html

Anda mungkin juga menyukai