SMA
NEGERI 4 PRAYA
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Membangun Magligai Rumah Tangga (Manahakat)” dengan
baik tanpa ada halangan yang berarti.
Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih
kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian
makalah ini.
Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan
kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati , saya selaku
penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................. i
Daftar Isi............................................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................... 1
1.3 Tujuan........................................................................................................................................ 2
BAB II Pembahasan
2.1 Tujuan Menikah…………………………………………………………………………........................................... 3
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................................. 14
3.2 Hikmah.................................................................................................................................... 14
3.3 Saran....................................................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Latar Belakang
Apabila kita berbicara tentang pernikahan maka dapatlah kita memandangnya dari dua buah
sisi. Dimana pernikahan merupakan sebuah perintah agama. Sedangkan di sisi lain adalah satu-
satunya jalan penyaluran seks yang disahkan oleh agama. Berdasarkan sudut pandang ini, maka
ketika orang melakukan pernikahan pada saat yang bersamaan mereka bukan saja memiliki
keinginan untuk melakukan perintah agama, namun juga memiliki keinginan memenuhi kebutuhan
biologisnya yang secara kodrat memang harus disalurkan.
Sebagaimana kebutuhan lainnya dalam kehidupan ini, kebutuhan biologis sebenarnya juga
harus dipenuhi. Agama islam telah menetapkan bahwa satu-satunya jalan untuk memenuhi
kebutuhan biologis manusia adalah hanya dengan pernikahan, pernikahan merupakan satu hal yang
sangat menarik jika kita lebih mencermati kandungan makna tentang masalah pernikahan ini. Di
dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa pernikahan ternyata juga dapat membawa kedamaian dalam
hidup seseorang (litaskunu ilaiha). Ini berarti pernikahan sesungguhnya bukan hanya sekedar
sebagai sarana penyaluran kebutuhan seks namun lebih dari itu pernikahan juga menjanjikan
perdamaian hidup bagi manusia dimana setiap manusia dapat membangun surge dunia di dalamnya.
Semua hal itu akan terjadi apabila pernikahan tersebut benar-benar dilaksanakan dengan cara yang
sesuai serta jalur yang telah ditetapkan islam.
1.5 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas timbul permasalahan yang perlu di dibahas sedikit tentang:
1.2.3 Siapa saja orang yang tidak boleh dinikahi dalam hukum Islam?
1.6 Tujuan
1.3.3 Untuk mengetahui siapa saja orang yang tidak boleh dinikahi dalam Islam.
Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad
nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara
orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain
sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi
martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat
manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif
untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah,
karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya”.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami
istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat
berikut :
“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
dhalim.”
Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah
lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam
surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :
“Artinya : “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk
kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “ .
Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah
tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah wajib.
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama
manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan
amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun
termasuk ibadah (sedekah).
“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda
Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang
memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa
sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain
istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi :
“Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan
memperoleh pahala !” .
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah
berfirman :
“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari
istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”.
Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha
mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa
kepada Allah.Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan
Islam yang benar.
Hukum pernikahan bersifat kondisional, artinya berubah menurut situasi dan kondisi seseorang
dan lingkunganya.
2.2.1 Wajib
Bagi yang sudah mampu kawin, nafsunyan telah mendesak dan takut terjerumus dalam
perzinahan.Karena menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib, sedang untuk itu tidak dapat
dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin. Dari ibnu mas’ud : Rasulullah saw bersabda:
“Hai, golongan pemuda! Jika di antara kamu ada yang mampu kawin hendaklah ia kawin, karena
nanti matanya akan lebih terjaga dan kemaluannya akan lebih terpelihara, dan bilamana ia belum
mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri.( HR. Jama’ah )
2.2.2 Sunnah
Bagi orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih bisa menahan
dirinya dari berbuat zina. Dari Abu Umamah: Rasulullah saw bersabda: “kawinlah kalian, karena aku
akan membanggakan banyaknya jumlah kalian pada umat-umat lain. Dan janganlah kalian seperti
pendeta-pendeta Nasrani” HR. Baihaqi. Ibnu Abbas berkata:”Ibadah seseorang belum sempurna,
sebelum ia kawin.”
2.2.3 Haram:
Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta
nafsunya pun tidak mendesak.Qurthuby berkata: “ Bila seseorang laki-laki sadar tidak mampu
membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak istrinya, maka ia tidak dapat
kawin, sebelum jujur menjelaskan kondisi sebenarnya. Begitu pula kalau itu karena sesuatu hal
menjadi lemah, tak mampu menggauli istrinya, maka wajiblah ia menjelaskan dengan jujur agar
perempuannya tidak tertipu olehnya.Juga tidak bisa langsung ia menipunya dengan menyebut
keturunan, harta dan pekerjaannya secara tidak semestinya. Begitu juga sebaliknya bagi
perempuan.Termasuk tidak menyembunyikan cacat tubuh, kelainan pada alat kelamin atau hal-hal
penyimpangan kejiwaan. Bila ternyata salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia
berhak untuk membatalkan, jika yang aib itu perempuannya, maka suaminya bisa membatalkannya
dan dapat mengambil kembali maharnya. Diriwayatkan bahwa Nabi mengawini seorang perempuan
Bani Bayadhah yang kemudian diketahui lambungnya burik, lalu ia batalkan, seraya bersabda: Kalian
semua (orang-orang Bani Bayadhah) telah menipu saya.”
2.2.4 Makruh:
Bagi seseorang yang lemah syahwat dan tidak mampu member belanja istrinya, walaupun
tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak memiliki keinginan syahwat yang kuat.
2.2.5 Mubah:
Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau
karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin.
Kenapa ada istilah mahram dalam islam, ternyata setelah diteliti pernikahan dengan mahram
itu terkadang bisa menyebabkan hasil keturunan yang tidak normal.
Begitulah islam mengetahui tentang apa-apa sebelum adanya laboratorium gen, sebelum
adanya mikroskop,sebelum adanya sesuatu yang canggih untuk melakukan penelitian. Islam sudah
melarang hal-hal dilarang yang pastinya akan menimbulkan bahaya.
Maka dalam islam, hal pertama yang dilakukan seseorang adalah meyakininya terlebih dahulu
hal tersebut baru kemudian membuktikannya dengan sebuah penelitian.
Bagaimana bisa orang itu bisa membenarkan kebenaran islam tanpa dia meyakininya terlebih
dahulu.
Mahram adalah seorang yang haram di nilahi. Dari pihak laki-laki ada tiga yaitu :
c. Saudara
d. Saudara bapak
e. Saudara ibu
a. Ibunya istri
b. Anaknya istri
c. Itrinya anak
2.4.1 Rukun nikah
Wali
Islam
Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah dijadikan isteri
Islam
c. Syarat wali
Islam, bukan kafir dan murtad
Baligh
Tidak fasik
Merdeka
* Sebaiknya bakal isteri perlulah memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Sekiranya syarat wali
bercanggah seperti di atas maka tidak sahlah sebuah pernikahan itu. Sebagai seorang mukmin yang
sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yang wajib seperti ini. Jika tidak di ambil kira, kita
akan hidup di lembah zina selamanya.
d. Syarat-syarat saksi
Islam
Berakal
Baligh
Lelaki
Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil)
Merdeka
e. Syarat ijab
* Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami:"Aku nikahkan/kahwinkan engkau
dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM 3000
tunai".
f. Syarat qabul
* Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikah/perkahwinanku dengan
Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai"
ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai isteriku".
BAB III
KESIMPULAN
3.4 Kesimpulan
1. Pernikahan yaitu ikatan dua orang hamba berbeda jenis dengan suatu ikatan akad
3. Diantaranya rukun-rukun nikah adalah mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang
saksi, sighat.
4. Tujuan adanya pernikahanan ternyata sangat banyak ditinjau dari berbagai sisi
3.5 Hikmah
1. Pernikahan yang sah menjadikan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan
muhrim menjadi halal.
3.6 Saran
Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu di
dalam menyelesaikan makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari mahasiswa serta dosen
pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi kebaikan kita bersama terutama bagi
pemakalah.