Osteoporosis Fix
Osteoporosis Fix
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah usia lanjut dan osteoporosis semakin menjadi perhatian dunia hal ini dilator
belakangi oleh meningkatnya usia harapan hidup. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
penyakit menua yang menyertainya diantaranya osteoporosis. Masalah osteoporosis di
Indonesia dihubungkan dengan masalah hormonal pada menopause. Menopause lebih cepat
dicapai wanita Indonesia pada usia 48 tahun dibandingkan wanita barat usia 60 tahun. Mulai
berkurangnya paparan terhadap sinar matahari, kurangnya asupan kalsium, perubahan gaya
hidup seperti merokok, alcohol dan berkurangnya latihan fisik,penggunaan obat steroid
jangka panjang serta risiko osteoporosis tanpa gejala klinis.
Osteoporosis sebenarnya dapat dicegah sejak dini atau paling sedikit ditunda
kejadiannya dengan membudayakan perilaku hidup sehat yang intinya mengkonsumsi
makanan dengan gizi seimbang yang memenuhi kebutuhan nutrisi dengan unsure kaya serat,
rendah lemak dan kaya kalsium (1000-1200 mg kalsium per hari), berolahraga secara
teratur, tidak merokok,dan tidak mengkonsumsi alkohol karena rokok dan alcohol
meningkatkan risiko osteoporosis dua kali lipat, namun kurangnya pengetahuan masyarakat
yang memadai tentang osteoporosis dan pencegahannya sejak dini cenderung meningkat
angka kejadian osteoporosis (Depkes, 2004).
Dari penjelasan diatas kelompok kami membuat asuhan keperawatan pada pasien
dengan aritmia sesuai dengan manifestasi yang ditimbulkan sehingga pasien mendapatkan
perawatan yang tepat dan sesuai.
1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan
dalam paper ini adalah sebagai berikut :
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut.
D. Manfaat
1. Dapat menambah wawasan pembaca mengenai hal-hal apa saja yang perlu dipahami
mengenai osteoporosis dari konsep dasar sampai asuhan keperawatan yang dapat dilakukan
pada penderita.
2. Mampu menerapkan asuhan keperawatan yang berhubungan dengan osteoporosis
2
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO
adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan
perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas
tulang dan meningkatnya kerentanan terhadap patah tulang. Osteoporosis adalah kelainan
dimana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012).
Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai dngan rendahnya massa
tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang
sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Keadaan tersebut tidak memberikan
keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur. Pada osteoporosis, terjadi penurunan
kualitas tulang dan kuantitas kepadatan tulang, padahal keduanya sangat menentukan
kekuatan tulang sehingga penderita Osteoporosis mudah mengalami patah tulang atau
fraktur (Helmi, 2012).
Osteoporosis (pengeroposan tulang) merupakan gangguan metabolic tulang dengan
meningkatkan kecepatan resorpsi tulang tetapi kecepatan pembentukannya berjalan lambat
sehingga terjadi kehilangan massa tulang. Tulang yang terkena gangguan ini akan
kehilangan garam-garan kalsium serta fosfat dan menjadi porous, rapuh serta secara
abnormal rentan terhadap fraktur (Kowalak, 2011).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.
Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang lebih
besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa tulang total.
Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah; tulang menjadi mudah
fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal (Brunner
& Suddarth, 2000).
Remodeling tulang adalah pergantian jaringan tulang tua dengan jaringan
tulang muda. Kondisi ini sebagian besar terjadi pada kerangka hewan dewasa
untuk mempertahankan massa tulang. Proses ini mencakup pembentukan dan
resorpsi tulang secara bersamaan (berpasangan). Remodeling merupakan sebuah
3
proses yang dinamis termasuk penggantian dan pengisian kembali baik tulang
kompak maupun trabekular. Proses ini terus-menerus terjadi untuk
mempertahankan massa tulang serta integritas dan fungsi kerangka. Proses ini
kompleks dan dikendalikan oleh susunan syaraf pusat melalui hormon dan oleh
tekanan mekanis. Proses ini bergantung pada keterpaduan aksi dari osteoblas,
osteosit, dan osteoklas. Secara bersamaan, ketiga sel ini membentuk BMU (Basic
Multicellular Unit) atau unit remodeling tulang yang berperan dalam proses
remodeling pada hewan dewasa (Mills 2007).
Proses remodeling tulang terjadi dalam beberapa fase (Gambar 1), yaitu:
1. Aktivasi
pre-osteoklas terstimulasi menjadi
osteoklas dewasa yang aktif.
2. Resorpsi
osteoklas mencerna matriks tulang tua.
3. Pembalikan
akhir dari proses resorpsi, saat osteoklas
digantikan oleh osteoblas.
4. Pembentukan
osteoblas menghasilkan matriks tulang
yang baru.
5. Fase pasif
osteoblas selesai menghasilkan matriks dan
terbenam di dalamnya. Beberapa osteoblas
membentuk sederet sel yang berjejer di
4
Menurut Farida Mulyaningsih (2008), osteoporosis diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Osteoporosis Postmenopausal
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita),
yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang
pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di
antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun
lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk
menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan
daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita
kulit hitam.
2. Osteoporosis Senilis
Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan
dengan usia dan ketidakseimbangan diantara kecepatan
hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis
berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini
biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis
dan postmenopausal.
3. Osteoporosis Sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang
disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.
Penyakit osteoporosis bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan
kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan adrenal) dan
obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, anti-kejang dan
hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang
berlebihan dan merokok bisa memperburuk keadaan osteoporosis.
4. Osteoporosis Juvenil Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum diketahui.
Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki
5
kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal
dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang
(Mulyaningsih, 2008).
B. Etiologi
Osteoporosis postmenopause terjadi karena kekurangan estrogen
(hormone utama pada wanita), yang membantu mengatur pengankutan
kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita
yang berusia dintara 53 – 73 tahun, tetapi bisa muncul lebih cepat ataupun
lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki risiko yang sama untuk
menderita osteoporosis postmenopause, pada wanita kulit putih dan daerah
timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada kulit hitam.
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari
kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan
tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan massa tulang yang
hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasnya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih
sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis
postmenopause dan senilis.
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga menngalami
osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau
oleh obat-obatan. Penyakit ini bisa diakibatkan oleh gagal ginjal kronik
dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) dan obat-
obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturate, antikejang, dan hormone
tiroid yang berlebihan). Pemakaian alcohol yang berlebihan dan kebiasaan
merokok bisa memperburuk keadaan ini.
Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis
yang tidak diketahui penyebabnya. Hal ini terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormone yang normal,
6
kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari
rapuhnya tulang (Lukman dan Nurna Ningsih, 2012).
Faktor resiko terjadinya osteoporosis:
1. Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini disebabkan
pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam
tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita pun mengalami
menopause yang dapat terjadi pada usia 45 tahun.
2. Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun.
Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan
pria dalam mengalami kehilangan tulang trabekular karena proses
penuaan, penyerapan kalsium menurun dan fungsi hormon paratiroid
meningkat.
3. Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan
asia memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum
konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu alasannya adalah
sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk dari
hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko
yang signifikan meskipun rendah.
4. Keturunan Penderita Osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-
hatilah. Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang
tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu
artinya dalam garis keluarga pasti punya struktur genetik tulang yang
sama.
5. Gaya Hidup Kurang Baik
a. Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya
mengandung fosfor yang merangsang pembentukan horman
7
parathyroid, penyebab pelepasan kalsium dari dalam darah.
b. Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat
menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas
oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari creighton
University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang
menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan
keroposnya tulang. Hasilnya adalah bahwa air seni peminum kafein
lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium itu berasal dari
proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat
toksin yang menghambat proses pembentukan massa tulang
(osteoblas).
c. Malas Olahraga
Mereka yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses
osteoblasnya (proses pembentukan massa tulang). Selain itu
kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak gerak
dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk
massa.
d. Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis.
Perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di
dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan
tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen
dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak
kuat dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok
juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit
jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau
darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit
terjadi. Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara
8
langsung tidak langsung. Saat masih berusia muda, efek nikotin
pada tulang memang tidak akan terasa karena proses pembentuk
tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek
rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan
pada umur tersebut sudah berhenti.
e. Kurang Kalsium
Jika kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan hormon
yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang
ada di tulang.
6. Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti peradangan
pada penyakit asma dan alergi ternyata menyebabkan risiko penyakit
osteoporosis. Jika sering dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan
mengurangi massa tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses
osteoblas. Selain itu, obat heparin dan anti kejang juga menyebabkan
penyakit osteoporosis. Konsultasikan ke dokter sebelum
mengkonsumsi obat jenis ini agar dosisnya tepat dan tidak merugikan
tulang.
Tulang adalah jaringan dinamis yang diatur oleh faktor endokrin,
nutrisi, dan aktivitas fisik. Biasanya penanganan gangguan tulang
terutama osteoporosis hanya fokus pada masalah hormon dan
kalsium, jarang dikaitkan dengan olahraga. Padahal, Wolff sejak 1892
menyarankan bahwa olahraga sangatlah penting.
Osteoporosis (kekeroposan tulang) adalah proses degenerasi pada
tulang. Mereka yang sudah terkena perlu berolahraga atau beraktivitas
fisik sebagai bagian dari pengobatan. Olahraga teratur dan cukup
takarannya tidak hanya membentuk otot, melainkan juga
memelihara dan meningkatkan kekuatan tulang. Dengan demikian,
latihan olahraga dapat mengurangi risiko jatuh yang dapat memicu
fraktur (patah tulang) (Mulyaningsih, 2008).
9
.
10
D. Pohon Masalah
11
E. Patofisiologi
Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses
perbaharuan. Tulang memiliki2 sel, yaitu osteoklas (bekerja
untukmenyerap danmenghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas
(sel yang bekerja untuk membentuk tulang). (Compston, 2002).
Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan, akan
dibentuk kembali. Tulang yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi
oleh sel osteosit (sel osteoblas menyatu dengan matriks tulang).
(Cosman, 2009) Kemudian terjadi penyerapan kembali yang dilakukan
oleh sel osteoklas dan nantinya akan menghancurkan kolagen dan
mengeluarkan asam. (Tandra, 2009) Dengan demikian, tulang yang
sudah diserap osteoklas akan dibentuk bagian tulang yang baru yang
dilakukan oleh osteoblas yang berasal dari sel prekursor di sumsum
tulang belakang setelah sel osteoklas hilang. (Cosman, 2009) Proses
remodelling tulang tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
14
Setelah usia 30 tahun, resorpsi tulang secara perlahan
dimulai akhirnya akan lebih dominan dibandingkan dengan
pembentukan tulang. Kehilanga massa tulang menjadi cepat pada
beberapa tahun pertama setelah menopause dan akan menetap pada
beberapa tahun kemudian pada masa postmenopause. Proses ini
terus berlangsung pada akhirnya secara perlahan tapi pasti terjadi
osteoporosis. Percepat osteoporosis tergantung dari hsil pembentukan
tulang sampai tercapainya massa tulang puncak.
Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang awal kehidupan
sampai dewasa muda. Selama ini, tulang tidak hanya tumbuh tetapi
juga menjdai solid. Pada usia rata-rata 25 tahun tulang mencapai
pembentuk massa tulang puncak. Walaupun demikian massa puncak
tulang ini secara individual sangat bervariasi dan pada umumnya
pada laki-laki lebih tinggi dibanding pada wanita. Massa puncak
tulang ini sangatlah penting, yang akan menjadi ukuran seseorang
menjadi risiko terjadinya fraktur pada kehidupannya. Apabila
massa puncak tulang ini rendah maka akan mudah terjadi fraktur kan
saja, tetapi apabila tinggi makan akan terlindung dari ancaman fraktur.
Faktor faktor yang menentukan tidak tercapainya massa tulang
puncak sampai saai ini belum dapat dimengerti sepenuhnya tetapi
diduga terdapat beberapa faktor yang berperan, yaitu genetik,
asupan kalsium, aktifitas fisik, dan hormon seks. Untuk
memelihara dan mempertahan massa puncak tulang adalah dengan
diet, aktifitas fisik, status reproduktif, rokok, kelebiham konsumsi
alkohol, dan beberapa obat (Permana, 2009).
15
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Densitometri DXA (dual-energy x-ray absorptiometry)
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang paling tepat dan
mahal.Orang yang melakukan pemeriksaan ini tidak akan
merasakan nyeri dan hanya dilakukan sekitar 5 - 15 menit. Menurut
Putri, DXA dapat digunakan pada wanita yang mempunyai
peluang untuk mengalami osteoporosis, seseorang yang memiliki
ketidakpastian dalam diagnosa, dan penderita yang memerlukan
keakuratan dalam hasil pengobatan osteoporosis. (Putri, 2009).
Keuntungan yang didapatkan jika melakukan pemeriksaan ini
yaitu dapat menentukan kepadatan tulang dengan baik (memprediksi
resiko patah tulang pinggul) dan mempunyai paparan radiasi yang
sangat rendah. Akan tetapi alat ini memiliki kelemahan yaitu
membutuhkan koreksi berdasarkan volume tulang (secara
bersamaan hanya menghitung 2 dimensi yaitu tinggi dan lebar) dan
jika pada saat seseorang melakukan pengukuran dalam posisi yang
tidak benar, maka akan mempengaruhi hasil pemeriksaan tersebut.
(Cosman, 2009)
Hasil dari DXA dapat dinyatakan dengan T-score, yang dinilai
dengan melihat perbedaan BMD dari hasil pengukuran dengan nilai
rata-rata BMD puncak. (Tandra, 2009) Hasil dari pemeriksaan
BMD dapat dilihat pada gambar 2.3.
16
Gambar 7: Hasil Pemeriksaan Osteoporosis Berdasarkan BMD
Menurut WHO, kriteria T-score dibagi menjadi 3, yaitu T-
score > -1 SD
yang menunjukkan bahwa seseorang masih dalam kategori normal.
T-score <-1 sampai -2,5 dikategorikan osteopenia, dan < - 2,5
termasuk dalam kategori osteoporosis, apabila disertai fraktur,
maka orang tersebut termasuk dalam osteoporosis berat. (WHO,
1994)
2. Densitometri US (ultrasound)
Kerusakan yang terjadi pada tulang dapat didiagnosis dengan
pengukuran ultrsound, yaitu dengan mengunakan alat quantitative
ultrasound (QUS). Hasil pemeriksaan ini ditentukan dengan
gelombang suara, karena cepat atau tidaknya gelombang suara yang
bergerak pada tulang dapat terdeteksi dengan alat QUS. Jika suara
terasa lambat, berarti tulang yang dimiliki padat. Akan tetapi, jika
suara cepat, maka tulang kortikal luar dan trabekular interior tipis.
Pada beberapa penelitian,menyatakan bahwa dengan QUS dapat
mengetahui kualitas tulang, akan tetapi QUS dan DXA sama-sama
dapat memperkirakan patah tulang . (Lane, 2003)
Dengan alat ini, seseorang tidak akan terpapar radiasi
karena tidak menggunakan sinar X. Kelemahan alat ini, yaitu
tidak memiliki ketelitian yang baik (saat dilakukan pengukuran
ulang sering terjadi kesalahan), tidak baik dalam mengawasi
pengobatan (perubahan massa tulang) (Cosman, 2009).
3. Pemeriksaan CT (computed tomography)
Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan dengan memeriksa biokimia CTx
(C-Telopeptide). Dengan pemeriksaan ini dapat menilai kecepatan
pada proses pengeroposan tulang dan pengobatan antiesorpsi oral pun
dapat dipantau. (Putri, 2009) Kelebihan yang didapatkan jika
17
menggunakan alat ini yaitu kepadatan tulang belakang dan tempat
biasanya terjadi patah tulang dapat diukur dengan akurat. Akan
tetapi pada tulang yang lain sulit diukur kepadatannya dan
ketelitian yang dimiliki tidak baik serta tingginya paparan radiasi.
(Cosman, 2009) (Agustin, 2009).
Penilaian langsung densitas tulang untuk memngetahui ada
tidaknya osteoporosis dapat dilakukan secara:
1. Radiologic
2. Radioisotope
3. QCT (Quantitative Computerized Tomography)
4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
5. Densitometer (X-ray absorpmetry)
Penilaian osteoporosis secara laboratorik dilakukan dengan
melihat patanda biokomia untuk osteoblas, yaitu osteokalsin,
prokolagen I peptide dan alkali fosfatase total serum. Petanda kimia
untuk osteoklas; dioksipiridinolin (D-pyr), piridinolin (Pyr) Tartate
Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalisium urin, hidroksisiprolin
dan hidroksi glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang
dilakukan secara histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas
dan osteoklas secara langsung. Namun pemeriksaan diatas biayanya
masih mahal.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan osteoporosis di fokus kan kepada memperlambat atau
menghentikan kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan tulang, dan
mengontrol nyeri sesuai dengan penyakitnya. tujuan dari pengobatan ini
adalah mencegah terjadinya fraktur (patah tulang).
Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat
kerja osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini
18
obat-obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang
termasuk obat antiresorpsi misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat.
Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak mempunyai efek antiresorpsi
maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi
meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel osteoblas.
1. Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai antiresorpsi, mempengaruhi
aktivitas sel osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas.
Pemberian terapi estrogen dalam pencegahan dan pengobatan
osteoporosis dikenal sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen
sangat baik diabsorbsi melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran
cerna. Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia),
retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboembolisme, dan pada
pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker
payudara. Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah: kanker
payudara, kanker endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan
uterus disfungsional, hipertensi, penyakit tromboembolik, karsinoma
ovarium, dan penyakit hait yang berat Beberapa preparat estrogen
yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti resorpsi, adalah estrogen
terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17-estradiol oral 1 Ð 2mg/ hari, 17-
estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17-estradiol subkutan 25 Ð 50 mg
setiap 6 bulan.46 Kombinasi estrogen dengan progesteron akan
menurunkan risiko kanker endometrium dan harus diberikan pada
setiap wanita yang mendapatkan TSH, kecuali yang telah menjalani
histerektomi.
Saat ini pemakaian fitoestrogen (isoflavon) sebagai suplemen
mulai digalakkan pemakaiannya sebagai TSH. Beberapa penelitian
menyatakan memberikan hasil yang baik untuk keluhan defisiensi
estrogen, atau mencegah osteoporosis.34 Fitoestrogen terdapat banyak
dalam kacang kedelai, daun semanggi.
19
Ada golongan preparat yang mempunyai efek seperti estrogen
yaitu golongan Raloksifen yang disebut juga Selective Estrogen
Receptor Modulators (SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor
estrogen-b sehingga tidak menyebabkan perdarahan dan kejadian
keganasan payudara. Mekanisme kerja Raloksifen terhadap tulang
diduga melibatkan TGF yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi
menghambat diferensiasi sel osteoklas.
2. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis. Bifosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari
2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon.
Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas
dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat
kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim
lisosomal di bawah osteoklas. Pemberian bisfosfonat secara oral akan
diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk (kurang dari 55
dari dosis yang diminum). Absorpsi juga akan terhambat bila
diberikan bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya, dan
berbagai minuman lain kecuali air. Idealnya diminum pada pagi hari
dalam keadaan perut kosong. Setelah itu penderita tidak
diperkenankan makan apapun minimal selama 30 menit, dan selama
itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak boleh berbaring. Sekitar
20 Ð 50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan
tulang setelah 12 Ð 24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan
beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada di dalam
tulang selama berbulan-bulan bahkan bertahuntahun, tetapi tidak aktif
lagi. Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan
mengalami metabolism di dalam tubuh dan akan diekresikan dalam
bentuk utuh melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya
pada penderita gagal ginjal..
20
Generasi Bisfosfonat adalah sebagai berikut:
a. Generasi I : Etidronat, Klodronat
b. Generasi II: Tiludronat, Pamidronat, Alendronat
c. Generasi III: Risedronat, Ibandronat, Zoledronat
Hormon lain: hormon-hormon ini akan membatu meregulasi
kalsium dan fosfat dalam tubuh dan mencegah kehilangan jarungan
tulang.
a. Kalsitonin
b. Teriparatide
Kalsium: kalsium dan vtamin D diperlukan untuk meningkatkan
kepadatan tulang.
a. Konsumsi perhari sebanyak 1200-1500 mg (melalui makanan dan
suplemen).
b. Konsumsi vitamin D sebanyak 600-800 IU diperlukan untuk
meningkatkan kepadatan tulang.
3. Latihan pembebanan (olahraga)
Olahraga merupakan bagian yang sangat penting pada
pencegahan maupun pengobatan osteoporosis. Program olahraga bagi
penderita osteoporosis sangat berbeda dengan olahraga untuk
pencegahan osteoporosis. Gerakan-gerakan tertentu yang dapat
meningkatkan risiko patah tulang harus dihindari.48 Jenis olahraga
yang baik adalah dengan pembebanan dan ditambah latihanlatihan
kekuatan otot yang disesuaikan dengan usia dan keadaan individu
masing-masing. Dosis olahraga harus tepat karena terlalu ringan
kurang bermanfaat, sedangkan terlalu berat pada wanita dapat
menimbulkan gangguan pola haid yang justru akan menurunkan
densitas tulang. Jadi olahraga sebagai bagian dari pola hidup sehat
dapat menghambat kehilangan mineral tulang, membantu
mempertahankan postur tubuh dan meningkatkan kebugaran secara
21
umum untuk mengurangi risiko jatuh. Monoklonal antibodi RANK-
Ligand.
Seperti diketahu terjadinya osteoporosis akibat dari jumlah
dan aktivitas sel osteoklas menyerap tulang. Dalam hal ini secara
biomolekuler RANK-L sangat berperan. RANK-L akan bereaksi
dengan reseptor RANK pada osteoklas dan membentuk RANK-
RANKL kompleks, yang lebih lanjut akan mengakibatkan
meningkatnya deferensiasi dan aktivitas osteoklas. Untuk mencegah
terjadinya reaksi tersebut digunakanlah monoklonal antibodi (MAbs)
dari RANK-L yang dikenal dengan: denosumab. Besarnya dosis yang
digunakan adalah 60 mg dalam 3 atau 6 bulan (Kawiyana, 2009).
22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien b. Penanggung Jawab
Nama : Nama :
Umur : Umur :
Agama : Agama :
Jenis Kelamin : Jenis Kelamin :
Alamat : Alamat :
Suku Bangsa : Suku Bangsa :
Pekerjaan : Pekerjaan :
Pendidikan : Pendidikan :
Status : Status :
Hub. dengan px :
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien mengeluh ngilu dirasakan pada lutut, nyeri tulang
punggung dan pinggang, biasanya penyakit diderita pasien
sebelum diagnosis osteoporosis muncul seperti reumatik,
Diabetes Mellitus, hipertiroid, hiperparatiroid.
b. Riwayat Kesehatan Dulu
Biasanya pasien tidak pernah mengalami osteoporosis
sebelumnya.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya keluarga pasien ada yang mengalami penyakit yang
sama seperti pasien.
23
3. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan Wajah : ada sianosis
b. Mata : Sklera biasanya tidak ikterik,
konjungtiva tidak anemis
c. Leher : Biasanya JVP dalam normal
d. Abdomen (Perut)
i. Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan, tidak ada
tonjolan, tidak ada kelainan umbilikus dan adanya
pergerakan didindng abdomen.
Normal: simetris kika, warna dengan warna kulit lain, tidak
ikterik tidak terdapat ostomy, distensi, tonjolan, pelebaran
vena, kelainan umbilicus.
ii. Auskultasi : biasanya suara peristaltik (bising usus) di semua
kuadran (bagian diafragma dari stetoskop)
e. Thoraks (dada)
Inspeksi : Biasanya ditemukan ketidaksimetrisan rongga dada
dan tulang belakang
Palpasi : Taktil fremitus seimbang kanan dan kiri
Perkusi : Cuaca resonan pada seluruh lapang paru
Auskultasi: Pada kasus lanjut usia, biasanya didapatkan suara
ronki
f. Kesadaran
Kesadaran biasanya kompos mentis. Pada kasus yang lebih
parah, klien dapat mengeluh pusing dan gelisah.
g. Ekstermitas
Pada inspeksi dan palpasi daerah kolumna vertebralis. Klien
osteoporosis sering menunjukan kifosis atau gibbus (dowager’s
hump) dan penurunan tinggi badan dan berat badan. Ada
perubahan gaya berjalan, deformitas tulang, leg-length
24
inequality dan nyeri spinal. Lokasi fraktur yang sering terjadi
adalah antara vertebra torakalis 8 dan lumbalis 3.
4. Pengkajian Bio-Psiko-Sosio-Spiritual
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
1) Biasanya pasien tidak menengetahui tentang penyakit.
2) Biasanya pasien kebiasaan minum alkohol, kafein.
3) Biasanya riwayat keluarga dengan osteoporosis
25
B. Diagnosa Keperawatan
26
C. RENCANA KEPERAWATAN
27
pengurangan (nyeri) tanpa optimal
analgetik Pilih rute intravena daripada rute inramuskular, utnuk
Menggunakan analgetik yang injeksi pengobatan nyeri yang sering, jika memungkinkan
direkomendasikan Tinggalkan narkotik dan oabta-obat lain yang dibatasi,
Melaporkan perubahan gejala sesuai dengan aturan tumah sakit
nyeri pada professional Monitor tanda vital sabelum dan setelah memberikan
kesehatan analgetik narkotik pada pemberian dosis pertama kali atau
Melaporkan gelaja yang tidak jika ditemukan tanda –tanda yang tidak biasanya
terkontrol pada professional Berikan kebutuhan kenyamanan dan aktivitas lain yang
kesehatan dapat membantu relaksasi untuk memfasilitasi penurunan
Menggunakan sumber daya nyeri
yang tersedia Berikan analgetik sesuai waktu paruhnya, terutama pada
Mengenali apa yang terkait nyeri yang berat
dengan gejala nyeri Susun harapan yang positif mengenai keefektifan
Melaporkan nyeri yang analgetik untuk mengoptimalkan respon pasien
terkontrol Berikan analgetik tambahan dan/atau pengobatan jika
Tingkt Nyeri diperlukan untuk digabungkan dengan opoid bolus, untuk
Nyeri yang dilaporkan mempertahan level serum
28
Panjangnya episode nyeri Jalankan tindakan keselamatan pada pasien yang
Menggososk area yang menerima analgetik narkotika, sesuai dengan kebutuhan
terkena dampak Mintakan pengobatan nyeri PRN sebelum nyeri menjadi
Mengerang dan menangis parah
Ekspresi nyeri wajah Informasikan pasien yang mendapatkan narkotika bahwa
Tidak bisa beristirahat rasa mengantuk kadang terjadi selama 2-3 hari pertama
29
Denyut nadi radial yang menerima opoid
Tekanan darah Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek
samping analgesic (misalnya, kosntipasi dan iritasi
lambung)
koalborasikan dengan kokter apakah obat, dosis, rute
pemberian, atau erubahan interval dibutuhkan, buat
rekomenadi khusus berdarsarkan prinsip analgetik
Ajarkan tentang penggunaan analgeti, strategi untuk
menurunkan efek samping. Dan diharapkan terkait dengan
keterlibataan dalam keputusan pengurangan nyeri
Managemen Nyeri
Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi
lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas atau beratnya nyeri dan factor pencetus
Pastikan perwatan analgesic bagi pasien dilakukan dengan
pemantauan yang ketat
Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri dan sampaikan penerimaan pasien
30
terhadap nyeri
Gali bersama pasien dan keluarga mengenai factor-faktor
yang dapat menurunkan atau memperberat nyeri
Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi
dari ketidaknyamanan akibat prosedur
Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan (mis., suhu
ruangan,pencahayaan dan suara bising)
Kurangi atau eliminasifaktor-faktor yang dapat mencetus
atau meningkatkan nyeri (mis., ketakutan, kelelahan,
keadaan monoton, dan kurang pengetahuan)
Pilih dan implementasikan tindakan yang beragam (mis.,
farmakologi, nonfarmakologi, interpersonal) untuk
memfasilitasi penurunan nyeri sesuai kebutuhan
Dorong pasien untuk memonitor nyeri dan menangani
nyerinya dengan tepat
Ajarkan penggunaan teknik non farmaklogi
31
(seperti,biofeedback,TENS,
hypnosiss,relaksasi,bimbingan antisipasi, terapi musik,
terapi bermain, terapi aktivitas, akupressur, aplikasi
panas/dingin dan pijatan, sebelum, sesudah dan jika
memungkinkan ketika melakukan aktivitas yang
menimbulkan nyeri sebelum nyeri terjadi atau meningkat,
dan bersamaan dengan tindakan penurun rasa nyeri
lainnya)
Kolaborasi dengan pasien keluarga dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan mengimplementasikan
tindakan penurun nyeri nonfarmakologi sesuai kebutuhan
Berikan individu penurun nyeri yang optimal dengan
peresepan analgesic
Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
32
rata aktivitas mengalami konstipasi dengan konsentrasi, bentuk, volume, dan warna, dengan cara yang
fisik kurang kriteria hasil : tepat
dari yang Eliminasi Usus : Monitor bising usus
dianjurkan Pola eliminasi Lapor peningkatan Frekuensi dan/atau bising usus
menurut usia Kontrol gerakan usus bernada tinggi
dan jenis Warna feses Lapor berkurangnya bising usus
kelamin. Jumlah fese untuk diet Monitor adanya tadna dan gejala diare, konstipasi, dan
Feses lembut dan berbentuk impaksi
Kemudahan BAB Evaluasi inkontinensia fekal seperlunya
Tekanan sfringter Catat masalah BAB yang sudah ada sebelumnya, BAB
33
Mendorong penurunan asupan makanan pembentuk gas,
yang sesuai
Instruksikan pasien mengenai makanan tinggi sert, dengan
cara yang tepat
Berikan cairan hangat setelah makan, dengan cara yang
tepat
Evauluasi profil medikasi terkait dengan efek smping-efek
samping gastrointensinal
Dapatkan guaiac untuk (melancarkan) feses, dengan cara
yang tepat
Tahan diri dari melakukan pemeriksaan vaginal/rektal jika
kondisi medis menghawatirkan
Managemen konstipasi/inpaksi
Monitor tanda dan gejala konstipasi
Monitor tanda dan gejala inpaksi
Monitor )hasi produksi) pergerakan usus (feses), meliputi
Frekuensi, bentuk, volume, dan warna, dengan cara yang
tepat
34
Monitor bising usus
Konsultasikan dengan dokter mengenai
penurunan/peningkatan Frekuensi bising usus
Monitor tanda dan gejala terjadinya rupture usus dan/atau
peritonitis
Jelaskan penyebab dari masalah dan rasionalitas tindakan
pada pasien
Identifikasi factor-faktor (misalnya, pengobatan, torah
barng, dan diet) yang menyebabkan atau berkontibusi
pada terjadinya konstipasi
Buatlah jadwal untuk BAB, dengan cara yang tepat
Dukung peningkatan asupan cairan, jika todak ada
kontraindikasi
Evaluasi jenis pengobatan yang memiliki efek samping
pada gastrointestinal
Instruksikan pesien/keluarga untuk mencatat earna,
volume, Frekuensi, dan konsentrasi dari feses
Ajarkan pasien/keluarga untuk tetap memiliki diari terkait
35
dengan makanan
Instruksikan pada pasien/keluarga akan penggunaan
laksatif yang tepat
Instruksikan pasien/keluarga mengenai hubungan antara
diet, latihan dan asupan cairan terhadap kejadian
konstiopasi.impaksi
Evaluasi catatan asupan untuk apa saja nutrisi (yang telah
dikonsumsi)
Berikan oetunjuk aoda oasien utnuk dapat berkonsultasi
dengan dokter jika konstipasi atau impaksi masih tetap
terjadi
Sarankan penggunaan laktasif/pelembut feses, dengan
cara yang tepat
Informasikan pada pasien mengenai prosedur unyuk
mengeluarkan feses secara manual, jika diperlukan
Hilangkan impaksi feses secara manual, jika diperlukan
Lakukan enema atau irigasi, dengan tepat
Timbang berat badan pasien secara setarur
36
Ajarkan pasien atau keluarga mengenai proses pencernaan
normal
Ajarkan pasien/keluarga mengenai kurun waktu dalam
menyelesaikan terjadinya kosntipasi
37
Tidak terjun saat turun Bantu pasien saat melakukan perpindahan ke
tangga lingkungan yang lebih aman
Tidak jatuh saat ke kamar Edukasi individu dan kelompok yang berisiko tinggi
mandi terhadap bahan yang berbahaya di lingkungan
Tidak jatuh saat Pencegahan jatuh
membungkuk Identifikasi kekurangan baik fisik atau kognitif dari
Keparahan cedera fisik pasien yang mungkin meningkatkan potensi jatuh pada
Tidak lecet pada kulit lingkungan tertentu
Tidak ada memar Identifikasi prilaku dan factor yang mempengaruhi
Tidak ada luka gores risiko jatuh
Tidak ada luka bakar Identifikasi karakteristik dari lingkungan yang mungkin
Tidak ada fraktur pada Dukung pasien untuk menggunakan tongkat atau
38
Tidak ada fraktur pada pelfis Instruksikan pasien mengenai penggunaan tongkat atau
Tidak ada fraktur pada walker dengan tepat
panggul Letakkan benda benda dalam jangkauan yang mudah
Tidak ada fraktur pada bagi pasien
tulang punggung Instruksikan pasien untuk memanggil bantuan terkait
Tidak ada fraktur tulang pergerakan dengan tepat
tengkorak
Tidak ada fraktur pada muka
Tidak ada cedera pada gigi
Tidak ada cedera pada
kepala terbuka
Tidak ada cedera pada
kepala tertutup
Tidak ada gangguan
imobilitas
Tidak mengalami kerusakan
kognisi
39
Tidak mengalami penurunan
tingkat kesadaran
Tidak ada trauma pada liver
Tidak ada perdarahan
Tidak ada trauma perut
40
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai dngan
rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan
tulang, menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko
terjadinya fraktur. Keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis,
kecuali apabila telah terjadi fraktur. Pada osteoporosis, terjadi penurunan
kualitas tulang dan kuantitas kepadatan tulang, padahal keduanya sangat
menentukan kekuatan tulang sehingga penderita Osteoporosis mudah
mengalami patah tulang atau fraktur (Helmi, 2012).
Adapun factor –faktor risiko terkena osteoporosis adalah jenis
kelamin, usia, ras/suku, keturunan penderita osteophorosis, gaya hidup
yang tidak sehat, minuman berkafein, malas berolahraga dan lain-lain.
Pengobatan osteoporosis di fokus kan kepada memperlambat
atau menghentikan kehilangan mineral, meningkatkan kepadatan tulang,
dan mengontrol nyeri sesuai dengan penyakitnya. tujuan dari pengobatan
ini adalah mencegah terjadinya fraktur (patah tulang).Pengobatannya
bisa dengan pemberian estrogen, bisfosfonat, latihan pembebanan
(olahraga).
B. Saran
Makalah ini jauhlah dari kesempurnaan, maka dari itu penulis berharap
pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun agar demi
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Penulis juga
menyarankan pembaca untuk mencari sumber literature lain untuk
memperdalam pengetahuan mengenai laporan pendahuluan dan asuhan
keperawatan khususnya tentang osteophorosis
41
DAFTAR PUSTAKA
42
Permana, Hikmat. 2009. Patogenesis dan Metabolisme Osteoporosis pada
Manula. Diakses dari
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/patogenesis_dan
_metabolisme_osteoporosis_pada_manula.pdf Tanggal 2 September
2017 Pukul 14.30 WITA
Prasetyo, Yudik. tt. Latihan Beban Bagi Penderita Osteoporosis. Diakses dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132308484/yudik_medikora_LA
TIHAN_BEBAN_BAGI_PENDERITA_OSTEOPOROSIS.pdf
Tanggal 2 September 2017 Pukul 13.20 WITA
Sudoyo, Aru dkk. 2009. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi 5. Jakarta :
Internal Publishing.
Suryati, A, Nuraini, S. 2006. Faktor Spesifik Penyebab Penyakit
Osteoporosis Pada Sekelompok Osteoporosis Di RSIJ, 2005. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan, Vol.2, No.2, Juli 2006:107-126.
Tandra, Hans, 2009. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang
Osteoporosisi Mengenal, Mengatasi, Dan Mencegah Tulang Keropos.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wahyuningtyas, Riska. 2010. Komplikasi Osteoporosis dan Fraktur
Osteoporosis. Diakses dari
http://www.scribd.com/doc/45879603/Komplikasi-Osteoporosis.
Tanggal 2 September 2017 Pukul 14. 20 WITA
Widianti, Tri 2009. Senam Kesehatan. Jakarta: Muha Medika
43