Anda di halaman 1dari 11

Tugas Mata

Welhelmina Bendelina Lobo

112019080

1. Dakriosistitis dan dakrioadenitis

• DAKRIOSISTITIS
Dakriosistitis merupakan keadaan karena terjadinya keradangan pada sakus lakrimalis
karena adanya suatu sumbatan (obstruksi) pada duktus nasolakrimal. Obstruksi ini pada usia
dini biasanya karena tidak terbukanya membran nasolakrimal. Sedangkan pada usia dewasa
biasanya muncul karena adanya penekanan pada duktus nasolakrimal, seperti efek karena
munculnya polip di area nasal.
Dakriosistitis ini memiliki 2 bentuk, yaitu dakriosistitis akut dan kronis. Bentuk kronis
merupakan bentuk yang sering ditemui. Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak atau
orang dewasa di atas 40 tahun dengan jenis kelamin perempuan. Dakriosistitis ini jarang
ditemukan pada orang dewasa kecuali jika didahului dengan infeksi jamur.
Patofisiologi dakriosistitis adalah adanya sumbatan pada sakus lakrimal atau duktus
nasolakrimal sehingga menyebabkan bendungan air mata pada sakus tersebut dan biasanya
diikuti oleh infeksi sekunder. Faktor risiko yang terbesar terjadinya dakriosistitis adalah
obstruksi duktus nasolakrimalis. Faktor risiko lain seperti umur, wanita, ras (kulit hitam lebih
sering dikarenakan ostium nasolakrimal lebih besar, sedangkan kanal lakrimal lebih pendek
dan lurus), abnormal nasal seperti deviasi septum, rhinitis, hipertrofi inferior turbinate pada
bagian yang infeksi. Walaupun prognosis dakriosistitis adalah baik, namun sering terjadi
resistansi terhadap antibiotika sehingga masih berpotensi terjadi kekambuhan jika obstruksi
duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat, sehingga prognosisnya adalah buruk.
Pada dakriosistitis akut biasanya terjadi setelah adanya obstruksi total maupun
sebagian duktus nasolakrimal. Pada penderita bayi angka kejadiannya 1 dari 100 bayi baru
lahir, obstruksi ini terjadi pada bayi yang lahir prematur. Obstruksi tersebut 90% disebabkan
oleh sisa-sisa epitel yang tertinggal di dalam duktus dan sisanya karena epitel tidak membuka
secara sempurna dan karena kelainan pembentukan tulang hidung.
Kejadian dakriosistitis akut pada anak-anak dan dewasa biasanya timbul segera setelah
obstruksi yang didapat pada duktus nasolakrimal atau eksaserbasi akut dari dakriosistitis kronis.
Penyebab obstruksi yang didapat ini antara lain oleh: trauma, infeksi sinus, tuberkolusis, atau
tumor hidung. Infeksi yang terjadi ratarata karena kuman pneumokokus, streptokokus viridans,
basillus influenza, dan stafilokokus.
Sedangkan dakriosistitis kronis rata-rata penyebab oleh:
a) oklusi kongenital dari duktus nasolakrimal;
b) oklusi yang didapat dari duktus nasolakrimal dengan penyebab yang belum
diketahui;
c) infeksi jamur, biasanya disebabkan oleh aspergillus dan candida;
d) tumor jinak atau ganas;
e) kelainan intra/paranasal, seperti: polip sakus, infeksi kronis dari hidung
ataupun sinus paranasal; dan
f) dakriosistitis akut yang menahun.

Bendungan air mata pada sakus biasanya terkontaminasi oleh kuman-kuman


konjungtiva, seperti: pneumokokus, streptokokus, stafilokokus, tuberkolusis, dan candida.

Gejala klinis dakriosistitis akut pada bayi di antaranya: munculnya eksudat purulen
pada konjungtiva bulbi bagian medial dan pembengkakan pada medial palpebra inferior yang
kemerahan. Jika tidak ada terapi maka proses keradangan akan memasuki fase kronis. Pada
anak-anak dan dewasa biasanya muncul gejala epifora yang diikuti oleh adanya
pembengkakan yang berwarna merah, indurasi, dengan konsistensi lunak, serta rasa nyeri di
daerah atas sakus lakrimal. Konjungtiva kemerahan di area bawah dan kadang tertutup oleh
sekret yang purulen.

Gejala klinis Dakriosistitis kronis berupa epifora. Gejala ini akan meningkat pada
keadaan dingin, paparan debu, dan kebiasaan merokok. Apabila sakus ditekan maka cairan pus
yang keluar bersifat mukoid, encer, berwarna kehijauan atau kekuningan. Jika keadaan ini tidak
diterapi maka akan terjadi atrofi pada mukus membran yang khas dengan ditandai oleh adanya
peregangan dinding sakus karena dinding tersebut menjadi atonik. Sekret yang menumpuk akan
menjadi lebih cair dan kadang telah terkontaminasi oleh mikroba. Isi dari sakus ini tidak pernah
kosong dan inilah yang disebut dengan mukokel. Mukokel ini jika menetap dapat berkembang
menjadi abses lakrimal yang kadang menjadi fistula.

Untuk menegakkan diagnosis dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang yang teliti dan baik. Diagnosis klinis pada dakriosistitis akut secara
fisik dapat dilakukan dengan penekanan pada daerah sakus lakrimal dan penderita akan
mengeluh nyeri disertai keluarnya cairan di pungtum lakrimal. Pada dakriosistitis kronis dengan
keluhan utama epifora.

Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi serta pada duktus nasolakrimal adalah dye disappearance test, fluorescence clearance
test, dan Jones dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna fluoresin 2% sebagai
indikatornya. Untuk memeriksa letak obstruksinya menggunakan probing test dan anel test.

Pengujian dye disappearance test ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluoresin
2% pada kedua mata sebanyak 1 tetes dan dilihat menggunakan slit lamp. Jika terdapat
obstruksi atau epifora pada salah satu atau kedua mata maka zat warna tersebut akan bertahan
di kantong konjungtiva setelah 3 menit, sebaliknya jika tidak terdapat obstruksi maka zat warna
tersebut akan menghilang.

Fluorescence clearance test dilakukan untuk melihat fungsi saluran ekskresi lakrimal.
Uji ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluoresin 2% pada mata yang dicurigai
mengalami obstruksi duktus lakrimalis. Kemudian pasien diminta berkedip beberapa kali dan
diminta untuk bersin/beringus pada tisu. Jika pada tisu tersebut terdapat zat warna, maka duktus
nasolakrimal tidak mengalami obstruksi.

Selain itu uji Jones dye test dapat dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran
ekskresi lakrimal. Jones dye test ini terbagi menjadi dua, yaitu Jones dye test I dan Jones dye
test II. Jones dye test I berfungsi untuk mengetahui kelainan fungsi ekskresi sistem lakrimal
dan merupakan satu-satunya pemeriksaan yang dapat membuktikan epifora yang disebabkan
oleh hipersekresi kelenjar lakrimal. Dalam keadaan normal fluoresin pada konjungtiva fornik
sampai di hidung dalam waktu 2 menit. Bila setelah 3 menit muncul zat warna pada tisu, maka
tes ini menunjukkan hasil positif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penyumbatan pada
duktus lakrimal dan epifora disebabkan karena hipersekresi kelenjar lakrimal.

Sedangkan Jones dye test II bertujuan untuk mengetahui kelainan fungsi ekskresi
sistem lakrimal. Zat warna fluoresin diteteskan pada konjungtiva dan dilihat hasil ekskresi pada
tisu yang diletakkan pada hidung. Bila fungsi sistem ekskresi normal maka terdapat zat warna
setelah 2 menit. Tes ini juga menunjukkan obstruksi lakrimal bersifat parsial atau total. Bila
keluarnya zat warna tersebut sedikit pada hidung dan lebih dari 5 menit maka kemungkinan ada
obstruksi parsial. Bila tidak terdapat zat warna yang keluar di hidung dan cenderung
hiperlakrimasi di konjungtiva maka kemungkinan terjadi obstruksi total atau complete
obstruction.

• DAKRIOADENITIS
Keradangan pada kelenjar lakrimal merupakan penyakit yang jarang ditemukan dan
dapat bersifat unilateral atau bilateral. Dakrioadenitis ialah suatu proses inflamasi pada kelenjar
air mata pars sekretorik. Dakrioadenitis terbagi menjadi dakrioadenitis akut dan kronik, yang
keduanya dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi atau pun dari penyakit sistemik lainnya.
Penyakit ini langka terjadi, tetapi paling sering terlihat pada anak sebagai komplikasi parotitis,
infeksi virus Epstein-Barr, campak, atau influenza. Pada dewasa berhubungan dengan gonore.
Patofisiologinya penyakit ini masih belum jelas, namun diyakini bahwa proses infeksi
ini dapat terjadi melalui penyebaran kuman yang berawal dari konjungtiva yang menuju ke
duktus lakrimalis kemudian ke kelenjar lakrimalis. Penyebab dakrioadenitis diklasifikasikan
menjadi beberapa penyebab, di antaranya: infeksius, idiopatik, autoimun, dan limfoproliferatif.
Sedangkan beberapa penyebab utama atau etiologi secara infeksius terbagi menjadi 5.
a) Infeksi virus: parotitis, herpes zoster, virus ECHO, dan virus stiomegalo. Pada
anak dapat terlihat sebagai komplikasi infeksi kelenjar air liur, campak, dan
influenza.
b) Infeksi bakteri: staphylococcus aureous, streptokokus, gonokokus, retrograde
konjungtivitis.
c) Infeksi jamur: histoplasmosis, aktinomises, blastomikosis, nokardiosis, dan
sporotrikosis.
d) Sarkoid dan idiopati.
e) Penyakit Hodgkin, tuberkulosis, mononucleosis infeksiosa, leukemia limfatik,
dan limfosarkoma.

Sedangkan dakrioadenitis idiopatik adalah jenis dakrioadenitis nonspesifik dan


merupakan diagnosis yang paling sering dibuat dari lesi kelenjar lakrimal. Penyakit jenis ini
disebabkan oleh inflamasi dan fibrosis dari kelenjar. Akan tetapi agen penyebabnya tidak
diketahui.

Manifestasi klinis dakrioadenitis akut di antaranya adalah kelopak mata atas dan
lateral bengkak, nyeri hebat di daerah glandula lakrimal (bagian temporal atas rongga orbita),
mata merah dan pembengkakan pada konjungtiva, muncul discharge mukopurulen,
pembengkakan pada nodus limfa submandibula, dan kesulitan pada pergerakan mata.

Sedangkan pada dakrioadenitis kronis, beberapa gejala yang muncul di antaranya


terdapat pembesaran kelenjar lakrimal dan muncul gejala mata kering (dry eye) ringan hingga
berat.

Diagnosis klinis: penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang dilakukan:
a) bila kelopak mata dibalik, tampak pembengkakan dan pelebaran pembuluh
darah pada sisi temporal palpebra superior;
b) pembesaran kelenjar preaurikel;
c) bila bengkak cukup besar, bola mata terdorong ke bawah nasal tetapi jarang
terjadi proptosis. Pemeriksaan penunjang: biopsi kelenjar lakrimal (bedakan
dengan selulitis orbita).

2. Tatalaksana Trauma Kimia; asam dan basa.

Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata.
merupakan kasus gawat darurat mata. Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola
mata akibat terpapar bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola
mata tersebut.

• TRAUMA ASAM

Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata yang disebabkan zat kimia
bersifat asam dengan p. H < 7. Kurang berbahaya. Kerusakan jaringan terlokalisir. PH<2, 5
proteksi kornea kerusakan kecil. Kecuali : Asam hidroflorida dan Asam berisi metal berat.
Etiologi Bahan kimia asam:
o asam sulfur
o asam hidroklorida (HCl)
o asam nitrat
o asam asetat (CH3COOH)
o asam kromat (Cr2O3)
o asam hidroflorida.
o Baterai mobil. Mengandung asam sulfat H2SO4
o Asam Hidroflorida dapat ditemukan dirumah pada cairan penghilang karat,
pengkilap aluminum, dan cairan pembersih yang kuat.
o Pada Industri (pembersih dinding, glass etching (pengukiran pada kaca dengan
cairan kimia), electro polishing, dan penyamakan kulit. , fermentasi pada
pengolahan bir).
Patofisiologi Bahan kimia asam:

o Asam cenderung berikatan dengan protein, menyebabkan koagulasi protein


plasma. Koagulasi protein ini, sebagai barrier yang membatasi penetrasi dan
kerusakan lebih lanjut. Luka hanya terbatas pada permukaan luar saja.
Pengecualian terjadi pada asam hidroflorida. Bahan ini merupakan suatu asam
lemah yang dengan cepat menembus membran sel.

Tatalaksana Bahan kimia asam:

o Periksa PH dengan kertas lakmus.


o Irigasi jaringan yang terkena secepat-cepatnya, selama mungkin untuk
menghilangkan dan melarutkan bahan yang mengakibatkan trauma. Irigasi
dapat dilakukan dengan garam fisiologi atau air bersih lainnya paling sedikit
15 -30 menit.
o Bersihkan sisa zat kimia di fornik konjungtiva dengan kapas lidi.
o Anestesi topikal (blefarospasme berat)
o Antibiotik bila perlu
o Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali, sehingga tajam
penglihatan tidak banyak terganggu.

• TRAUMA BASA (ALKALI)

Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada
mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan, dan sampai pada jaringan
retina. Lebih destruktif. Merusak kornea & lensa SAPONIFIKASI ( reaksi penyabunan ). Berat
kerusakan tergantung : volume dan konsentrasi.

Etiologi

o Semen
o Soda kuat
o Amonia
o NaOH
o Cairan pembersih dalam rumah tangga

Patofisiologi trauma basa

o Bahan kimia alkali → pecah atau rusaknya sel jaringan dan rx persabunan
disertai disosiasi asam lemak membran sel → penetrasi lebih lanjut→
Mukopolisakarida jaringan menghilang & terjadi penggumpalan sel kornea→
Serat kolagen kornea akan membengkak & kornea akan mati→ Edema→
terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma, cenderung disertai
masuknya pemb. darah (Neovaskularisasi)→ Dilepaskan plasminogen
aktivator & kolagenase (merusak kolagen kornea→ Terjadi gangguan
penyembuhan epitel→ Berkelanjutan menjadi ulkus kornea atau perforasi ke
lapisan yang lebih dalam.

Klasifikasi Hughes

o Derajat I :Prognosis baik. Terdapat erosi epitel kornea. Tidak ada iskemia dan
nekrosis kornea ataupun konjungtiva.

o Derajat II :Prognosa baik Pada kornea terdapat kekeruhan yang ringan. Iskemia
< 1/3 limbus.
o Derajat III :Prognosis baik. Kekeruhan kornea sehingga sulit melihat iris &
pupil secara jelas. Terdapat iskemia 1/3 sampai ½ limbus & nekrosis ringan
kornea dan konjungtiva.

o Derajat IV :Prognosis buruk. Kekeruhan kornea pupil tidak dapat dilihat.


Konjungtiva dan sclera pucat. Iskemia > ½ limbus.

Penatalaksanaan:

1. Pemeriksaan kertas lakmus.


2. Irigasi dengan garam fisiologik selama mungkin (2000 ml selama ± 30 menit)
3. Bila penyebab CaOH diberi EDTA (bereaksi dengan basa pada jaringan)
4. Antibiotik mencegah infeksi.
5. Siklopegi mengistirahatkan iris, mengatasi iritis.
6. Anti glaukoma mencegah glaukoma sekunder
7. Steroid (7 hari pertama) anti inflmasi.
8. Kolagenase inhibitor (sistein, 1 minggu)menghilangi efek kolagenase.
9. Vitamin C membentuk jaringan kolagen.
10. Bebat (perban) pada mata, lensa kontak lembek dan tetes air mata buatan.
11. Operasi keratoplasti bila kekeruhan kornea sangat mengganggu penglihatan.

4 tujuan utama dalam mengatasi trauma pada mata :

1. Memperbaiki penglihatan.
2. Mencegah terjadinya infeksi.
3. Mempertahankan arsitektur mata.
4. Mencegah sekuele jangka panjang.
• PENATALAKSANAAN UMUM TRAUMAKIMIA PADA MATA
1. Irigasi (30 menit) & periksa PH dengan kertas lakmus
2. Diberi pembilas : idealnya dengan larutan steril dengan osmolaritas tinggi seperti larutan
amphoter (Diphoterine) ataularutan buffer (BSS atau Ringer Laktat). Larutan garam isotonis
3. Irigasi sampai 30 menit atau PH normal. Bila bahan mengandung CaOH berikan EDTA.
4. Pemeriksaan oftalmologi menyeluruh.
5. Cederanya ringan, pasien dapat dipulangkan dengan diberikanantibiotik tetes mata, analgesic
oral, dan perban mata
6. diberi siklopegi
7. Steroid topikal untuk mencegah infiltrasi sel radang
8. Vitamin C oral.

3. Retinopati Hipertensi

Retinopati hipertensi merupakan tanda mikrovaskular retina yang berkembang sebagai respon
terhadap kenaikan tekanan darah.

Klasifikasi.

• Stadium 1: penyempitan setempat pembuluh arterial.


• Stadium 2:penyempitan arterial dengan irregularise fokal disertai perubahanrefleks cahaya
• Stadium 3: stadium disertaicopper wiring, terbentuk eksudat dan perdarahanretina akibat
tekanan darah diastole di atas 120 mmHg , kadangkadang muncul keluhan penglihatan
berkurang
• Stadium 4: stadium 3 disertai silver wiring dan papiloedema, Pada stadium initerdapat keluhan
penglihatan menurun dan tekanan darah diastole umumnya lebih dari 150 mmHg.
Patogenesis
Patogenesis yang mensadari retinopati hipertensi dapat dibagi menjadi beberapa tahap, antara
lain:
1. Stadium vasokonstiktif, respon awal dari sirkulasi retina terhadap peningkatan tekanan
darah adalah vasomotor yang bermanifestasi klinis sebagai penyempitan arteriolar
retina general.
2. Stadium sklerotik. Peningkatan tekanan darah secara persisten menyebabkan
perubahan sklerotik kronik berupa penebalan intima pembuluh darah, hyperplasia
dinding bagian media dan degenerasi hialin. Pada tahap ini terjadi penyempitan
arteriolar difus atau fokal yang lebih parah, penekanan venula oleh arteriolar yang
disebut persilangan arteri-vena (arteriovenous opacification/copper wiring)
3. Stadium eksudatif, Tekanan darah yang lebih tinggi menyebabkan nekrosis otot polos
dan sel endotel sehingga barier darah-retina rusak kemudian terjadi eksudasi darah
hemoragik, eksudat lipid dan iskemia lebih lanjut dari lapisan serabut saraf (cotton-
wool spots), serta terjadi mikroanurisma. Proses ini terjadi menunjukkan kegagalan
mekanisme auto-regulasi dan jarang terjadi tekanan darah mencapai 110 mmHg.
Cotton- wool spotsterjadi 24-48 jam setelah peningkatan tekanan darah.
4. Pada tekanan darah yang tinggi yang parah (malignant hypertension) dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dan iskemia nervus optikus sehingga terjadi
pembengkakan dsikus optikus(papilloedema)

Tatalaksana

Pengobatan untuk retinopati hipertensi adalah untuk memperbaiki kondisi dengan


menormalkan tekanan darah. Hal ini menyebabkan resolusi kelainan fundus selama periode
minggu ke bulan di mata dengan kelas 3 dan 4 perubahan, tetapi sering tidak mempengaruhi
perubahan terlihat dengan nilai 1 dan 2 retinopati hipertensi. Pengobatan retinopati hipertensi
akan difokuskan pada upaya penurunan dan pengendalian tekanan darah hingga di bawah
140/90 mmHg. Metode pengobatan mencakup perubahan gaya hidup dan terapi obat-obatan.
Pengobatan hipertensi ganas retinopati choroidopati dan optik neuropati terdiri dari
menurunkan tekanan darah secara terkendali. Jika penurunan terlalu cepat, auto regulasi turun,
maka ini dapat menyebabkan iskemia kepala saraf optik.

Anda mungkin juga menyukai