112019080
• DAKRIOSISTITIS
Dakriosistitis merupakan keadaan karena terjadinya keradangan pada sakus lakrimalis
karena adanya suatu sumbatan (obstruksi) pada duktus nasolakrimal. Obstruksi ini pada usia
dini biasanya karena tidak terbukanya membran nasolakrimal. Sedangkan pada usia dewasa
biasanya muncul karena adanya penekanan pada duktus nasolakrimal, seperti efek karena
munculnya polip di area nasal.
Dakriosistitis ini memiliki 2 bentuk, yaitu dakriosistitis akut dan kronis. Bentuk kronis
merupakan bentuk yang sering ditemui. Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak atau
orang dewasa di atas 40 tahun dengan jenis kelamin perempuan. Dakriosistitis ini jarang
ditemukan pada orang dewasa kecuali jika didahului dengan infeksi jamur.
Patofisiologi dakriosistitis adalah adanya sumbatan pada sakus lakrimal atau duktus
nasolakrimal sehingga menyebabkan bendungan air mata pada sakus tersebut dan biasanya
diikuti oleh infeksi sekunder. Faktor risiko yang terbesar terjadinya dakriosistitis adalah
obstruksi duktus nasolakrimalis. Faktor risiko lain seperti umur, wanita, ras (kulit hitam lebih
sering dikarenakan ostium nasolakrimal lebih besar, sedangkan kanal lakrimal lebih pendek
dan lurus), abnormal nasal seperti deviasi septum, rhinitis, hipertrofi inferior turbinate pada
bagian yang infeksi. Walaupun prognosis dakriosistitis adalah baik, namun sering terjadi
resistansi terhadap antibiotika sehingga masih berpotensi terjadi kekambuhan jika obstruksi
duktus nasolakrimalis tidak ditangani secara tepat, sehingga prognosisnya adalah buruk.
Pada dakriosistitis akut biasanya terjadi setelah adanya obstruksi total maupun
sebagian duktus nasolakrimal. Pada penderita bayi angka kejadiannya 1 dari 100 bayi baru
lahir, obstruksi ini terjadi pada bayi yang lahir prematur. Obstruksi tersebut 90% disebabkan
oleh sisa-sisa epitel yang tertinggal di dalam duktus dan sisanya karena epitel tidak membuka
secara sempurna dan karena kelainan pembentukan tulang hidung.
Kejadian dakriosistitis akut pada anak-anak dan dewasa biasanya timbul segera setelah
obstruksi yang didapat pada duktus nasolakrimal atau eksaserbasi akut dari dakriosistitis kronis.
Penyebab obstruksi yang didapat ini antara lain oleh: trauma, infeksi sinus, tuberkolusis, atau
tumor hidung. Infeksi yang terjadi ratarata karena kuman pneumokokus, streptokokus viridans,
basillus influenza, dan stafilokokus.
Sedangkan dakriosistitis kronis rata-rata penyebab oleh:
a) oklusi kongenital dari duktus nasolakrimal;
b) oklusi yang didapat dari duktus nasolakrimal dengan penyebab yang belum
diketahui;
c) infeksi jamur, biasanya disebabkan oleh aspergillus dan candida;
d) tumor jinak atau ganas;
e) kelainan intra/paranasal, seperti: polip sakus, infeksi kronis dari hidung
ataupun sinus paranasal; dan
f) dakriosistitis akut yang menahun.
Gejala klinis dakriosistitis akut pada bayi di antaranya: munculnya eksudat purulen
pada konjungtiva bulbi bagian medial dan pembengkakan pada medial palpebra inferior yang
kemerahan. Jika tidak ada terapi maka proses keradangan akan memasuki fase kronis. Pada
anak-anak dan dewasa biasanya muncul gejala epifora yang diikuti oleh adanya
pembengkakan yang berwarna merah, indurasi, dengan konsistensi lunak, serta rasa nyeri di
daerah atas sakus lakrimal. Konjungtiva kemerahan di area bawah dan kadang tertutup oleh
sekret yang purulen.
Gejala klinis Dakriosistitis kronis berupa epifora. Gejala ini akan meningkat pada
keadaan dingin, paparan debu, dan kebiasaan merokok. Apabila sakus ditekan maka cairan pus
yang keluar bersifat mukoid, encer, berwarna kehijauan atau kekuningan. Jika keadaan ini tidak
diterapi maka akan terjadi atrofi pada mukus membran yang khas dengan ditandai oleh adanya
peregangan dinding sakus karena dinding tersebut menjadi atonik. Sekret yang menumpuk akan
menjadi lebih cair dan kadang telah terkontaminasi oleh mikroba. Isi dari sakus ini tidak pernah
kosong dan inilah yang disebut dengan mukokel. Mukokel ini jika menetap dapat berkembang
menjadi abses lakrimal yang kadang menjadi fistula.
Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi serta pada duktus nasolakrimal adalah dye disappearance test, fluorescence clearance
test, dan Jones dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna fluoresin 2% sebagai
indikatornya. Untuk memeriksa letak obstruksinya menggunakan probing test dan anel test.
Pengujian dye disappearance test ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluoresin
2% pada kedua mata sebanyak 1 tetes dan dilihat menggunakan slit lamp. Jika terdapat
obstruksi atau epifora pada salah satu atau kedua mata maka zat warna tersebut akan bertahan
di kantong konjungtiva setelah 3 menit, sebaliknya jika tidak terdapat obstruksi maka zat warna
tersebut akan menghilang.
Fluorescence clearance test dilakukan untuk melihat fungsi saluran ekskresi lakrimal.
Uji ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluoresin 2% pada mata yang dicurigai
mengalami obstruksi duktus lakrimalis. Kemudian pasien diminta berkedip beberapa kali dan
diminta untuk bersin/beringus pada tisu. Jika pada tisu tersebut terdapat zat warna, maka duktus
nasolakrimal tidak mengalami obstruksi.
Selain itu uji Jones dye test dapat dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran
ekskresi lakrimal. Jones dye test ini terbagi menjadi dua, yaitu Jones dye test I dan Jones dye
test II. Jones dye test I berfungsi untuk mengetahui kelainan fungsi ekskresi sistem lakrimal
dan merupakan satu-satunya pemeriksaan yang dapat membuktikan epifora yang disebabkan
oleh hipersekresi kelenjar lakrimal. Dalam keadaan normal fluoresin pada konjungtiva fornik
sampai di hidung dalam waktu 2 menit. Bila setelah 3 menit muncul zat warna pada tisu, maka
tes ini menunjukkan hasil positif. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat penyumbatan pada
duktus lakrimal dan epifora disebabkan karena hipersekresi kelenjar lakrimal.
Sedangkan Jones dye test II bertujuan untuk mengetahui kelainan fungsi ekskresi
sistem lakrimal. Zat warna fluoresin diteteskan pada konjungtiva dan dilihat hasil ekskresi pada
tisu yang diletakkan pada hidung. Bila fungsi sistem ekskresi normal maka terdapat zat warna
setelah 2 menit. Tes ini juga menunjukkan obstruksi lakrimal bersifat parsial atau total. Bila
keluarnya zat warna tersebut sedikit pada hidung dan lebih dari 5 menit maka kemungkinan ada
obstruksi parsial. Bila tidak terdapat zat warna yang keluar di hidung dan cenderung
hiperlakrimasi di konjungtiva maka kemungkinan terjadi obstruksi total atau complete
obstruction.
• DAKRIOADENITIS
Keradangan pada kelenjar lakrimal merupakan penyakit yang jarang ditemukan dan
dapat bersifat unilateral atau bilateral. Dakrioadenitis ialah suatu proses inflamasi pada kelenjar
air mata pars sekretorik. Dakrioadenitis terbagi menjadi dakrioadenitis akut dan kronik, yang
keduanya dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi atau pun dari penyakit sistemik lainnya.
Penyakit ini langka terjadi, tetapi paling sering terlihat pada anak sebagai komplikasi parotitis,
infeksi virus Epstein-Barr, campak, atau influenza. Pada dewasa berhubungan dengan gonore.
Patofisiologinya penyakit ini masih belum jelas, namun diyakini bahwa proses infeksi
ini dapat terjadi melalui penyebaran kuman yang berawal dari konjungtiva yang menuju ke
duktus lakrimalis kemudian ke kelenjar lakrimalis. Penyebab dakrioadenitis diklasifikasikan
menjadi beberapa penyebab, di antaranya: infeksius, idiopatik, autoimun, dan limfoproliferatif.
Sedangkan beberapa penyebab utama atau etiologi secara infeksius terbagi menjadi 5.
a) Infeksi virus: parotitis, herpes zoster, virus ECHO, dan virus stiomegalo. Pada
anak dapat terlihat sebagai komplikasi infeksi kelenjar air liur, campak, dan
influenza.
b) Infeksi bakteri: staphylococcus aureous, streptokokus, gonokokus, retrograde
konjungtivitis.
c) Infeksi jamur: histoplasmosis, aktinomises, blastomikosis, nokardiosis, dan
sporotrikosis.
d) Sarkoid dan idiopati.
e) Penyakit Hodgkin, tuberkulosis, mononucleosis infeksiosa, leukemia limfatik,
dan limfosarkoma.
Manifestasi klinis dakrioadenitis akut di antaranya adalah kelopak mata atas dan
lateral bengkak, nyeri hebat di daerah glandula lakrimal (bagian temporal atas rongga orbita),
mata merah dan pembengkakan pada konjungtiva, muncul discharge mukopurulen,
pembengkakan pada nodus limfa submandibula, dan kesulitan pada pergerakan mata.
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata.
merupakan kasus gawat darurat mata. Trauma kimia pada mata merupakan trauma yang mengenai bola
mata akibat terpapar bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur bola
mata tersebut.
• TRAUMA ASAM
Trauma asam merupakan salah satu jenis trauma kimia mata yang disebabkan zat kimia
bersifat asam dengan p. H < 7. Kurang berbahaya. Kerusakan jaringan terlokalisir. PH<2, 5
proteksi kornea kerusakan kecil. Kecuali : Asam hidroflorida dan Asam berisi metal berat.
Etiologi Bahan kimia asam:
o asam sulfur
o asam hidroklorida (HCl)
o asam nitrat
o asam asetat (CH3COOH)
o asam kromat (Cr2O3)
o asam hidroflorida.
o Baterai mobil. Mengandung asam sulfat H2SO4
o Asam Hidroflorida dapat ditemukan dirumah pada cairan penghilang karat,
pengkilap aluminum, dan cairan pembersih yang kuat.
o Pada Industri (pembersih dinding, glass etching (pengukiran pada kaca dengan
cairan kimia), electro polishing, dan penyamakan kulit. , fermentasi pada
pengolahan bir).
Patofisiologi Bahan kimia asam:
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada
mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan, dan sampai pada jaringan
retina. Lebih destruktif. Merusak kornea & lensa SAPONIFIKASI ( reaksi penyabunan ). Berat
kerusakan tergantung : volume dan konsentrasi.
Etiologi
o Semen
o Soda kuat
o Amonia
o NaOH
o Cairan pembersih dalam rumah tangga
o Bahan kimia alkali → pecah atau rusaknya sel jaringan dan rx persabunan
disertai disosiasi asam lemak membran sel → penetrasi lebih lanjut→
Mukopolisakarida jaringan menghilang & terjadi penggumpalan sel kornea→
Serat kolagen kornea akan membengkak & kornea akan mati→ Edema→
terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma, cenderung disertai
masuknya pemb. darah (Neovaskularisasi)→ Dilepaskan plasminogen
aktivator & kolagenase (merusak kolagen kornea→ Terjadi gangguan
penyembuhan epitel→ Berkelanjutan menjadi ulkus kornea atau perforasi ke
lapisan yang lebih dalam.
Klasifikasi Hughes
o Derajat I :Prognosis baik. Terdapat erosi epitel kornea. Tidak ada iskemia dan
nekrosis kornea ataupun konjungtiva.
o Derajat II :Prognosa baik Pada kornea terdapat kekeruhan yang ringan. Iskemia
< 1/3 limbus.
o Derajat III :Prognosis baik. Kekeruhan kornea sehingga sulit melihat iris &
pupil secara jelas. Terdapat iskemia 1/3 sampai ½ limbus & nekrosis ringan
kornea dan konjungtiva.
Penatalaksanaan:
1. Memperbaiki penglihatan.
2. Mencegah terjadinya infeksi.
3. Mempertahankan arsitektur mata.
4. Mencegah sekuele jangka panjang.
• PENATALAKSANAAN UMUM TRAUMAKIMIA PADA MATA
1. Irigasi (30 menit) & periksa PH dengan kertas lakmus
2. Diberi pembilas : idealnya dengan larutan steril dengan osmolaritas tinggi seperti larutan
amphoter (Diphoterine) ataularutan buffer (BSS atau Ringer Laktat). Larutan garam isotonis
3. Irigasi sampai 30 menit atau PH normal. Bila bahan mengandung CaOH berikan EDTA.
4. Pemeriksaan oftalmologi menyeluruh.
5. Cederanya ringan, pasien dapat dipulangkan dengan diberikanantibiotik tetes mata, analgesic
oral, dan perban mata
6. diberi siklopegi
7. Steroid topikal untuk mencegah infiltrasi sel radang
8. Vitamin C oral.
3. Retinopati Hipertensi
Retinopati hipertensi merupakan tanda mikrovaskular retina yang berkembang sebagai respon
terhadap kenaikan tekanan darah.
Klasifikasi.
Tatalaksana