Anda di halaman 1dari 7

NATURA/KENIKMATAN TIDAK BOLEH DIKURANGKAN (NON-DEDUCTIBLE) DARI

PENGHASILAN BRUTO) DAN BUKAN OBJEK PPH 21 (PASAL 9 ayat (1) HURUF e UU No. 36
TAHUN 2008)

Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WPDN dan BUT tidak boleh dikurangkan dengan
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

PEMBERIAN NATURA/KENIKMATAN YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN


BRUTO PEMBERI KERJA DAN BUKAN OBJEK PPH PASAL 21 BAGI PEGAWAI YANG
MENERIMANYA

o Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi Pegawai yang menerimanya adalah : (Pasal 2
PMK 83/PMK.03/2009)         

1. Pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh


Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.  
 Pegawai adalah seluruh pegawai termasuk dewan direksi dan komisaris
(PMK 83/PMK.03/2009 pasal 1)
 Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh
pegawai termasuk dewan direksi dan komisaris meliputi: (Pasal 3
PMK 83/PMK.03/2009)         
1. pemberian makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh pemberi
kerja di tempat kerja, atau  
2. pemberian kupon makanan dan/atau minuman bagi Pegawai yang karena
sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian makan di
tempat kerja, meliputi Pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi,
dan dinas luar lainnya.
 Nilai kupon makanan dan/atau minuman yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto pemberi kerja adalah yang sesuai dengan
nilai kupon wajar. (pasal 2 ayat (1) PER-51/PJ./2009) 
 Nilai kupon dapat dianggap wajar apabila nilai kupon
tersebut tidak melebihi pengeluaran penyediaan makanan
dan/atau minuman per Pegawai yang disediakan oleh
pemberi kerja di tempat kerja (pasal 2 ayat (2) PER-
51/PJ./2009)  
2. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan
berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka
menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah
tersebut.
 Daerah tertentu adalah daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis
mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana
ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi
umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah
potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam
modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang
relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih
dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
(Pasal 4 ayat (2) PMK 83/PMK.03/2009)
 Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan berkenaan
pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu yaitu berupa sarana dan fasilitas di
lokasi kerja untuk : (sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia,
sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri) (Pasal 4 ayat (1)
PMK 83/PMK.03/2009)

1. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan


keluarganya;                
2. pelayanan kesehatan;                
3. pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;                
4. peribadatan;                
5. pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;                
6. olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, power
boating, pacuan kuda, dan terbang layang,   

      

 Pengeluaran untuk pembangunan sarana dan fasilitas yang mempunyai masa


manfaat lebih dari 1 tahun disusutkan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU
PPh. (Pasal 4 ayat (3) PMK 83/PMK.03/2009)

 Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di daerah tertentu dapat


mengajukan permohonan penetapan daerah tertentu kepada Kepala Kantor
Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar, dengan menggunakan formulir Lampiran IPER-51/PJ./2009)(pasal
4 PER-51/PJ./2009) 

 Penetapan daerah tertentu diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun,


yang berlaku sejak tahun pajak dierbitkannya keputusan dan dapat diperpanjang
1 (satu) kali dengan jangka waktu perpanjangan adalah 5 tahun. (pasal 3 PER-
51/PJ./2009) 

3. Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam


pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskannya. Yang meliputi pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), sarana antar jemput
Pegawai, serta penginapan untuk awak kapal, dan yang sejenisnya.  Pengertian
keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan keamanan atau keselamatan
pekerja yang diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau
pemerintah daerah setempat(pasal 10 PER-51/PJ./2009)                
KETENTUAN TERKAIT

1. Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Nomor 36 TAHUN 2008 tentang perubahan keempat atas UU
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
2. PMK-83/PMK.03/2009 tentang penyediaan makanan/minuman bagi seluruh pegawai serta
natura/kenikmatan di daerah tertentu
3. PER-51/PJ./2009 tentang tata cara pemberian/penetapan besaran kupon makanan/minuman
bagi pegawai,  kriteria dan tata cara penetapan daerah tertentu, serta batasan sarana dan fasilitas
di lokasi kerja
Natura dan/atau Kenikmatan di PPh 21

Naturan Dan/Atau Kenikmatan Berdasarkan Aturan


1.    Berdasarkan Pasal 5 ayat 2 PER-16/PJ/2016, Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal
26 adalah :

 “Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)  termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan
nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh:

a.    Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau

b.    Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus
(deemed profit).”

2.    Berdasarkan Pasal 7 ayat 2 PER-16/PJ/2016 :

“Penghitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 atas penghasilan berupa penerimaan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
didasarkan pada harga pasar atas barang yang diberikan atau nilai wajar atas pemberian
natura dan/atau kenikmatan yang diberikan.”

3.    Berdasarkan Pasal 8 ayat 1 huruf b PER-16/PJ/2016, Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang
dipotong PPh Pasal 21 adalah:

 “penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan
oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2);”

 (Note: ringkasan aturan diatas saya sadur dari sharing forum Ortax)

Naturan Dan/Atau Kenikmatan (“celah pajak”)

By : Elli Arifah
Ada beberapa perusahaan yang tidak termasuk dalam WP dengan pajak final maupun dengan norma
perhitungan khusus yang memperhitungkan natura dan/atau kenikmatan di payroll/perhitungan gaji mereka
sebagai tunjangan. Perhitungan ini menjadikan tunjangan (natura dan/atau kenikmatan) sebagai komponen
bruto yang kemudian atas tunjangan (natura dan/atau kenikmatan) di deduct (dikurangkan) kembali pada
perhitungan gaji tersebut. Tujuan perhitungan atas tunjangan ini hanya untuk memperoleh pajak terutang (atas
tunjgangan tsb) dan perusahaan yang menanggung pajaknya (gross up atas natura/kenikmatan tsb).

Nature transaksi disini, pegawai tidak menerima secara langsung berupa cash dan WP tidak memenuhi PER
16 Pasal 5 (Ayat 2). Dengan statement ini jelas bahwa seharusnya natura dan/atau kenikmatan tidak boleh di
biayakan ketika SPT Tahunan. Namun demikian, untuk ukuran perusahaan multinasional yang memiliki
transaksi natura dan/atau kenikmatan yang cukup besar tentu hal ini merugikan perusahaan, karena koreksi
atas biaya natura dan/atau kenikmatan akan berdapak pada meningkatnya penghasilan kena pajak. Sedangkan
natura dan/atau kenikmatan yang diberikan perusahaan ke karyawan merupakan penunjang operasional
yang significant. Berawal dari kondisi inilah natura/kenikmatan tersebut “seolah” dianggap sebagai
tunjangan.

Atas “tunjangan” ini, di perhitungan PPh 21 (1721 A1) akan masuk pada komponen “Tunjangan lainnya, uang
lembur, dan sebagainya”.

Sampai tulisan ini saya buat, tanggal 26 Jan 2021 belum ada alasan yang mampu “meyakinkan” saya untuk
melarang praktik ini, meskipun area ini masih abu-abu dan bisa di perdebatkan. Perdebatan bisa saja muncul
dari pihak konservatif yang berpegang pada PER 16 2016 Psl 5 (ayat 2), dan pihak “pencari celah” yang
memanfaatkan “tunjangan” sebagai counter pajak terutang.

Pada akhirnya, ketika suatu perusahaan menjadikan natura dan/atau kenikmatan sebagai tunjangan dalam
perhitungan gaji pegawai (pajak atas natura dan/atau kenikmatan tersebut juga dibayarkan oleh pemberi kerja)
dan atas tunjangan tersebut tidak dikoreksi fiskal, pemerintah dalam hal ini DJP telah “mendapatkan” setoran
pajak atas tunjangan tsb.

Demikian pula, ketika natura dan/atau kenikmatan ini dikoreksi fiskal (tidak di perhitungkan sebagai
tunjangan dalam gaji pegawai), penghasilan kena pajak (PKP) perusahaan akan meningkat yang kemudian
dikenakan pajak perusahaan sebesar 22% (tarif efektif saat tulisan ini dibuat).

Jika kita perbandingkan dengan perhitungan natura dan/atau kenikmatan yang diperhitungkan sebagai
tunjangan dengan tanpa tunjangan, tentu hasilnya akan relatif tergantung seberapa besar penghasilan pegawai
dan berapa tarif progresif untuk karyawan tersebut. Disini, tidak menutup kemungkinan karyawan yang
mendapatkan tunjangan (atas natura dan/atau kenikmatan) telah mencapai tarif progressif 30% (tarif tertinggi),
yang artinya pajak yang terbayar lebih tinggi dari tarif pajak perusahaan ketika natura dan/atau kenikmatan
tersebut dibiayakan dan kemudian dikoreksi fiskal di ahir tahun. Pun demikian, chance atas tarif progressif
atas PPh 21 tunjangan bisa saja disekitar 5% / 15% / 25%.

Ketika perusahaan memutuskan untuk menggunakan approach “tunjangan” atas natura dan/atau kenikmatan,


bukan berarti perusahaan rugi sepenuhnya ketika tarif progressif mencapai tarif tertinggi (30%), karena
perusahaan dalam case ini bisa membiayakan pajak terutang atas tunjangan (natura dan/atau kenikmatan)
dengan perhitungan PPh 21 gross up (tunjangan pajak diperhitungkan di gross income). Sehingga beban atas
tunjangan (natura dan/atau kenikmatan) bisa di akui dan tunjangan atas pajak (natura/kenikmatan) juga bisa
diakui.

Saya akan sangat senang jika ada teman-teman yang mau berdiskusi secara terbuka terkait dengan kasus ini,
karena banyak sekali praktik-praktik penghindaran pajak di area abu-abu, dan banyak sekali pandangan,
pendapat, ataupun masukan yang meng-influence bagaimana sebuah perusahaan (atau Wajib Pajak)
mengambil keputusan dalam perpajakan.

Contoh Menghitung PPh 21 Natura/ Kenikmatan

Contoh Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Atas Penerimaan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Yang
Diberikan Oleh Wajib Pajak Yang Pengenaan Pajak Penghasilannya Bersifat Final Atau Berdasarkan Norma Penghitungan

Khusus (Deemed Profit)


       
        Satu contoh menghitung Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21) atas Penerimaan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan

Yang Diberikan Oleh Wajib Pajak Yang Pengenaan Pajak Penghasilannya Bersifat Final Atau Berdasarkan Norma Penghitungan K

Jupri adalah warga negara RI yang bekerja pada suatu perwakilan dagang asing yang pengenaan pajaknya menggunakan

norma penghitungan khusus (deemed profit). Pada bulan Agustus 20xx, Jupri memperoleh gaji sebesar Rp7.500.000,00

sebulan beserta beras 50 kg dan gula 10 kg. Jupri berstatus menikah dengan 1 orang anak. Nilai uang dari beras dan gula

dihitung berdasarkan harga pasar yaitu : Harga beras Rp 10.000,00 per kg. Harga gula Rp 8.000,00 per kg. PPh 21 Jupri

dapat dihitung seperti dalam pembahasan penghitungan PPh Pasal 21 berikut.

Gaji sebulan Rp 7.500.000,00


Beras : 50 x Rp 10.000,00 Rp    500.000,00
Gula : 10 x Rp 8.000,00 Rp      80.000,00(+)
Penghasilan bruto sebulan Rp 8.080.000,00

Pengurang
Biaya Jabatan5% x Rp8.080.000,00 Rp    404.000,00(-)

Penghasilan neto sebulan Rp 7.676.000,00

Penghasilan neto setahun  12 x Rp7.676.000,00 Rp92.112.000,00

PTKP (K1)*
- untuk WP sendiri Rp54.000.000,00
- tambahan karena menikah Rp 4.500.000,00
- tambahan untuk 1 orang anak Rp 4.500.000,00(+)
Rp63.000.000,00*(-)  *PMK no.101 th 2016
Penghasilan Kena Pajak Rp29.112.000,00

PPh Pasal 21 setahun adalah 5% x Rp29.112.000,00 = Rp 1.455.600,00


PPh Pasal 21 bulan Agustus : Rp338.100,00 : 12 = Rp 121.300,00

Anda mungkin juga menyukai