Anda di halaman 1dari 121

TESIS

PERAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN


PERTANAHAN NASIONAL KOTA MAKASSAR DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI MEDIASI
BERDASARKAN PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA
RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR 11 TAHUN 2016

THE ROLE OF THE MINISTRY OF AGRARIAN AND SPACE/NATIONAL


LANDING AGENCY OF MAKASSAR CITY IN RESOLVING THE LAND
DISPUTES THROUGH MEDIATION BASED ON REGULATION OF THE
MINISTER OF AGRARIA AND SPATIAL HEAD OF NATIONAL
LANDING AGENCY NUMBER 11 YEAR 2016

ANDI SITTI SAIDAH NURFARADIBA


P3600215034

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN JUDUL

PERAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN


PERTANAHAN NASIONAL KOTA MAKASSAR DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI MEDIASI
BERDASARKAN PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA
RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR 11 TAHUN 2016

THE ROLE OF THE MINISTRY OF AGRARIAN AND SPACE/NATIONAL


LANDING AGENCY OF MAKASSAR CITY IN RESOLVING THE LAND
DISPUTES THROUGH MEDIATION BASED ON REGULATION OF THE
MINISTER OF AGRARIA AND SPATIAL HEAD OF NATIONAL
LANDING AGENCY NUMBER 11 YEAR 2016

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Mencapai Gelar Magister
Program Studi Magister Kenotariatan

Disusun dan diajukan oleh :

ANDI SITTI SAIDAH NURFARADIBA


P3600215034

Kepada:

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
HALAMAN PERSETUJUAN

PERAN KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL DALAM


MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI MEDIASI
BERDASARKAN PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA
RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR 11 TAHUN 2016

Disusun dan Diajukan Oleh :

ANDI SITTI SAIDAH NURFARADIBA


P3600215034
Untuk Tahap Ujian Akhir
Pada Tanggal :..... ......................
Menyetujui
Komisi Penasehat :

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H. Dr. Andi Tenrifamauri, S.H.,M.H
NIP. 19630419 198903 1 003 NIP. 19730508 200312 2 001

Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si


NIP. 19600621 198601 2 001
PERNYATAAN KEASLIAN

Nama : ANDI SITTI SAIDAH NURFARADIBA


NIM : P3600215034
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan tesis yang berjudul


”PERAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/BADAN
PERTANAHAN NASIONAL KOTA MAKASSAR DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI MEDIASI
BERDASARKAN PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA
RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 11
TAHUN 2016”, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan
merupakan karya saya, dalam penulisan tesis ini diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku.

Makassar, 30 Agustus 2017


Yang membuat pernyataan,

(ANDI SITTI SAIDAH NURFARADIBA)


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alaamiin puji syukur penulis panjatkan kepada

Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini. Tak lupa pula shalawat serta salam terhatur

kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan dalam

perjuangan menegakkan kebenaran dan kejujuran di muka bumi ini.

Adapun judul tesis ini adalah “PERAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN

TATA RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA MAKASSAR

DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERTANAHAN MELALUI

MEDIASI BERDASARKAN PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN

TATA RUANG/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR

11 TAHUN 2016” dalam penelitian tesis ini, penulis menyadari terdapat

kekurangan, untuk itu besar harapan semoga tesis ini memenuhi kriteria

sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada

Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya

Ayahanda tercinta Drs. H. Fatahuddin, M.H. yang telah mendidik serta

memberikan motivasi, semangat serta dorongan kepada penulis untuk

terus belajar dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dan

Ibunda tercinta Dra. Hj. A. Arni Marjani, M.Pd. yang tak kenal lelah untuk

terus memberikan motivasi dan support kepada penulis selama menjalani

masa studi.
Penelitian tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari para

pembimbing, dosen-dosen serta berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan

ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor

Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.

2. Ibu Prof Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya.

3. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si, selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan, Bapak dan Ibu dosen Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,

yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang

dimilikinya selama masa perkuliahan berlangsung.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H,. M.H. dan Ibu Dr. Andi Tenri

famauri, S.H.,M.H selaku pembimbing yang senantiasa secara tulus

dan ihklas bersedia meluangkan waktunya untuk memeriksa serta

memberikan arahan, masukan, dan saran guna membantu penulis

menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya.

5. Bapak Prof. Dr. Aminuddin Salle, S.H., M.H., Ibu Prof. Dr. A.

Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.H. dan Ibu Dr. Sri Susyanti Nur,

S.H.,M.H, selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan

dan arahan dalam penyusunan tesis ini.


6. Kepala Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi-Selatan

dan Kepala Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional Kota Makassar terkhusus Bapak Gunawan

Hamid, Apt, MH, Bapak Muhammad Nurfajar Infansya, SH, Bapak

Muhallis Menca, S.Sit, MH, Bapak Hardi, SH, menerima dan

bersedia membantu penulis saat melakukan penelitian.

7. Saudara penulis, Andi Sitti Naima Nurqhaila, S.Farm, Andi Sitti

Safira Nuramalia, S,Kg dan Andi Muh. Fahrul yang juga selalu

memberikan support kepada penulis.

8. Puang Nenek Musbihang, Puang Nenek Haji Matto, Puang Nenek

Haji Jauleng, Puang Tuty, Puang Syarifuddin, Puang Arra, Puang

Mima, Puang Arifuddin, Puang Andi Dahlia, Tante Neneng, Fiah,

yang selama ini memberikan banyak dukungan kepada penulis

selama masa perkuliahan.

9. Seluruh Staf dan Karyawan Akademik Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin. Terkhusus Staf Program Studi Kenotariatan Ibu Eppy

dan Pak Aksa yang telah banyak membantu selama masa

perkuliahaan.

10. Teman–teman Mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin (KOMPAR15I) khususnya teman-teman

Notarich Familia.
11. Sahabat-sahabat penulis: Ririn, Marina, Farah, Ahmad, Agung,

Hilman, Ikbal, Annisa, yang telah menjadi bagian dari keluarga

penulis selama masa perkuliahan di Kenotariatan.

12. Keponakan-keponakan penulis: Athan, Omar, Osman, Syifa yang

telah menemani hari-hari penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

13. Reza Abrianto yang telah meluangkan waktunya dan mensupport

penulis, serta tetap sabar dalam menghadapi keluh kesah penulis.

14. Serta kepada semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu-

persatu, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah

membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang

Kenotariatan serta berguna bagi masyarakat yang bernilai jariyah. Aamiin

Yaa Rabbal’alaamiin. Terima kasih.

Makassar, 18 Januari 2018

ANDI SITTI SAIDAH NURFARADIBA


ABSTRAK

Andi Sitti Saidah Nurfaradiba, Peran Kantor Badan Pertanahan


Nasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi
Sesuai Dengan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016. (dibimbing oleh Abrar
Saleng dan Andi Tenrifamauri).

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui peran Kantor Badan


Pertanahan Nasional dalam menyelesaian Sengketa Pertanahan melalui
Mediasi berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian
Kasus Pertanahan.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris, yaitu suatu
penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada
penerapannya atau praktek di lapangan. Teknik analisis data yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul
kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis,
selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah,
kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat
umum menuju hal yang bersifat khusus.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Sebagai mediator,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Kota
Makassar mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami
pandangan masing-masing dan membantu mencari hal-hal yang dianggap
penting bagi mereka. Mediasi di lingkungan instansi pertanahan dalam hal
ini Kantor Pertanahan Kota Makassar sebenarnya juga secara tidak di
sadari telah di jalankan olah aparat pelaksana secara sporadis dengan
mengandalkan kreatifitas dan seni di dalam gaya kepemimpinan masing-
masing pejabat, tetapi baru pada saat sekarang ini upaya mediasi telah
memiliki dasar hukumnya di lengkapi pedoman serta petunjuk teknis yang
memadai sehingga tidak ada keraguan lagi bagi aparat pelaksana untuk
menjalankannya.

Kata Kunci: Kantor Pertanahan, Mediasi, Penyelesaian Sengketa.


ABSTRACT

Andi Sitti Saidah Nurfaradiba, The Role Of The Ministry Of Agrarian And
Space/National Landing Agency Of Makassar City In Resolving The Land
Disputes Through Mediation Based On Regulation Of The Minister Of
Agraria And Spatial Head Of National Landing Agency Number 11 Year
2016. (Supervised by Abrar Saleng dan Andi Tenrifamauri)

The purpose of this research is to know the Role Of The Land


Agency Office In Resolving Land Disputes Through Mediation In
Accordance With The Regulations Of The Agrarian Minister And
Spatial/Head Of The National Land Agency Number 11 Of 2016 about
settlement of land case.
The method used is normative empirical, which is a study in
addition to see the positive legal aspects also look at its application or
practice in the field. Data analysis technique used is descriptive qualitative,
that is after the data collected and then poured in the form of logical and
systematic description, then analyzed to obtain clarity of problem solving,
then deductively deductive conclusion, that is from general to special
thing.
The results of this research indicated that As mediator, The City
Land Office Makassar has a role to assist the parties in understanding
their respective views and helping to find things that are considered
important to them. The mediation in the land agency in this case the city
Land Office of Makassar is also not in the realization of having executed
sporadically by executing officials by relying on creativity and art in the
leadership style of each official, but only now the mediation has its legal
basis in complete guidance as well as adequate technical guidance so that
there is no doubt for the executing officers to run it.

Keywords: Dispute Settlement, Land Office, Mediation.


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................................ i

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN .............................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ v

ABSTRAK ............................................................................................................................. viii

ABSTRACT ............................................................................................................................ ix

DAFTAR ISI............................................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 11

C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 11

D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 12

E. Keaslian Penelitian ............................................................................................... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 15

A. Konsepsi Hukum Tanah Nasional .................................................................. 15

B. Tinjauan tentang Sengketa ............................................................................... 22

1. Pengertian Sengketa .................................................................................... 22

2. Sebab-sebab timbulnya Sengketa .......................................................... 25

C. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa .............................................. 29

1. Penyelesaian Sengketa melalui Litigasi ............................................... 29

2. Penyelesaian Sengketa melalui Non-Litigasi ..................................... 31


3. Tinjauan tentang Mediasi ............................................................................ 36

D. Landasan Teori ..............................................................................40

1. Teori Efektivitas Hukum .............................................................................. 40

2. Teori Kewenangan ....................................................................44

3. Teori Keadilan...........................................................................49

E. Kerangka Pikir ........................................................................................................ 52

F. Definisi Operasional ............................................................................................. 53

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................... 55

A. Lokasi Penelitian .................................................................................................. 55

B. Tipe Penelitian ...................................................................................................... 55

C. Jenis dan Sumber Data ...................................................................................... 56

D. Populasi dan Teknik Penentuan Sampel .................................................... 59

E. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................................ 59

F. Teknik Analisis Bahan Hukum ......................................................................... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................61

A. Peran Kantor Badan Pertanahan Nasional dalam Menyelesaiakan

Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi Berdasarkan Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan ....................................................................................61

B. Analisis Proses Penyelesaian Sengketa yang dilakukan oleh kantor

Badan Pertanahan Nasional terhadap Sengketa Pertanahan ........82

1. Prosedur penyelesaian sengketa tanah dilakukan berdasarkan


(Pasal 4 Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016) .....................87

2. Pengumpulan Data dan Analisis .............................................. 90

3. Penyelesaian Sengketa dan Konflik Yang Merupakan

Kewenangan Kementerian ....................................................... 92

4. Penyelesaian Sengketa dan Konflik Yang Bukan

Merupakan Kewenangan Kementerian .................................... 94

BAB V PENUTUP ................................................................................... 100

A. Kesimpulan .................................................................................. 100

B. Saran ........................................................................................... 101

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 103

DAFTAR TABEL.................................................................................................................. 96

DAFTAR BAGAN ................................................................................................................ 81


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting

untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan

tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah

memberikan sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Bagi

bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia

dengan tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola secara cermat

pada masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang

paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi

sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut

dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan

hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa uang

semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.

Secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada

perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti menjual

miliknya, yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan menjaga

tanah selama itu dikuasainya.1

1
Soedharyo Soimin, 1993, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 82
Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalam bahwa tanah di

samping mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang

berarti hak atas tanah tidak mutlak. Namun demikian negara harus

menjamin dan menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah

kepada warga negaranya yang dijamin oleh undang-undang.

Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut Undang-

Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA) diatur tentang hak-hak atas

tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya berupa yang paling

utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak

Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak untuk Memungut Hasil Hutan dan hak-

hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas akan

ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

Permasalahan tanah yang muncul akhir-akhir ini, semakin

kompleks. Pemicunya, tak sebatas aspek ekonomi saja, melainkan sosial

dan budaya bahkan juga agama.

Pada hakekatnya kepentingan individu atas tanah memang tidak

boleh diabaikan begitu saja karena masing-masing individu mempunyai

hak untuk dihormati dan dilindungi kepentingannya. Hak-hak atas tanah

yang individual dan bersifat pribadi tersebut dalam konsepsi Hukum Tanah

Nasional mengandung dalam dirinya unsur kebersamaan. Unsur

kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas
tanah, karena setiap hak atas tanah secara langsung maupun tidak

langsung bersumber pada hak bangsa, adanya Hak bangsa inilah maka

kepentingan umum untuk kemajuan bangsa haruslah lebih didahulukan

daripada kepentingan individu.

Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap sengketa dan

konflik pertanahan dihadapkan pada dilematisasi antara berbagai

kepentingan yang sama-sama penting. Penanganan konflik pertanahan

yang terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak mudah. Karena itu

dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, faktor pendukung dan

faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya.

Dengan usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa dan

konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus

menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan

keadilan.

Penyelesaian sengketa pertanahan berdasarkan hukum yang

berlaku tersebut dilandasi oleh konstitusi yang menegaskan bahwa

Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum. Hal ini dengan tegas

dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

Negara hukum pada prinsipnya memiliki syarat-syarat esensial, antara lain

harus terdapat kondisi minimum dari suatu sistem hukum dimana hak

asasi manusia dan human dignity dihormati. Pengaturan dan pengelolaan

terhadap bidang pertanahan/keagrariaan ini melalui kehadiran peraturan

perundang-undangan yang ada, khususnya dalam UUPA, diyakini dapat


menyelesaikan masalah/sengketa tanah baik yang sudah ada maupun

yang akan ada.

Khusus terhadap kewenangan kepada instansi pertanahan dalam

menyelesaikan sengketa pertanahan, maka permasalahan yang sering

muncul adalah apakah ada dasar hukum yang mengatur bahwa lembaga

pemerintah yang diwakili oleh instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN),

selanjutnya ditulis Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) diberi

kewenangan untuk melakukan penyelesaian sengketa pertanahan.

Pertanyaan tersebut memang tidak memperoleh jawaban dari

ketentuan pasal-pasal yang diatur dalam UUPA, namun jika ditelusuri dari

aturan pelaksanaannya terutama yang menyangkut mengenai peraturan

pembentukan BPN mulai dari Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988

hingga Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan

Pertanahan Nasional, telah ada organ yang diberi tugas dan fungsi untuk

menyelesaikan sengketa di bidang pertanahan.

Konkritnya, sejauh mana kewenangan Pemerintah dalam hal ini

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk

kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah

bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan

sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Bagi bangsa

Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan

kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan


tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada

masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

Adapun untuk melaksanakan kewenangan tersebut telah ditetapkan

mengenai aturan yang menjadi mekanismenya yakni dengan ATR/BPN

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan. Untuk mengetahui secara jelas mengenai kewenangan

dalam menyelesaikan sengketa pertanahan itulah penelitian ini dilakukan.

Hal itu penting karena apabila ada landasan hukum yang jelas disertai

contoh implementasi yang sudah dilaksanakan, maka diharapkan

sengketa pertanahan yang terus bertambah mendapatkan cara yang tepat

dan cepat untuk penyelesaiannya secara tuntas. Hal tersebut menjadi

urgensi dari penelitian yang akan dilakukan, sehingga pada akhirnya

dapat menyelesaikan dan mengurangi secara kuantitatif jumlah sengketa

pertanahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-

Undang. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe

voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik,

lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang

membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang

dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta


distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-

undangan.2

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang

Badan Pertanahan Nasional (BPN), bahwa BPN sebagai lembaga

Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung

jawab kepada Presiden mempunyai tugas melaksanakan tugas

pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut,

Badan Pertanahan Nasional dikoordinasikan oleh menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang.

Salah satu kegiatan dalam program strategis BPN adalah percepatan

penyelesaian kasus pertanahan.

Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang

perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas

secara sosio-politis. Suatu peristiwa dapat disebut sebagai sengketa

pertanahan tentunya haruslah memenuhi beberapa unsur-unsur dari

sengketa tersebut. Dalam memahami apa yang dimaksud dengan

sengketa pertanahan, terkadang dibingungkan dengan permasalahan

tanah yang pada umumnya dinamakan dengan istilah sengketa.

Sejalan dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat di

bidang pertanahan, dalam menyelesaikan sengketa pertanahan yang

sangat kompleks, masyarakat menaruh kepercayaan terhadap BPN untuk

2
Ateng Syafruddin, 2000, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Di Daerah, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 22
mendapatkan kepastian hukum atas produk hukum yang dikeluarkan oleh

badan pemerintah tersebut.

Penyelesaian sengketa pertanahan, dibedakan menjadi 2, yaitu

melalui jalur diluar peradilan/non litigasi (Perundingan/musyawarah atau

negotiation, Konsiliasi/conciliation, Mediasi/Mediation, Arbitrase/arbitran)

dan jalur peradilan/litigasi. Apabila usaha musyawarah tidak menemukan

kesepakatan maka yang bersangkutan/pihak yang bersengketa dapat

mengajukan masalahnya ke Pengadilan (Pengadilan Negeri atau

Pengadilan Tata Usaha Negara).

Terhadap temuan dan aduan tersebut dilakukan analisa secara

mendalam untuk mengukur dan mengetahui apakah kasus pertanahan itu

menjadi kewenangan kementerian. Pasal 11 ayat (3) Permen Agraria

Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan sengketa atau konflik yang menjadi

kewenangan kementerian, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata

Ruang. Sengketa atau konflik itu antara lain, kesalahan prosedur dalam

proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas, kesalahan

prosedur dalam proses pendaftaran dan/atau pengakuan hak atas tanah

bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau

pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses penetapan

tanah terlantar, tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang

salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan.

Selanjutnya, kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data

pendaftaran tanah, kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat


pengganti, kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan,

kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin, Penyalahgunaan

pemanfaatan ruang, serta kesalahan lain dalam penerapan peraturan

perundang-undangan. Selain sengketa atau konflik tersebut, Kementerian

Agraria dan Tata Ruang tidak berwenang menangani kasus pertanahan.

Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dapat mengambil

inisiatif untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa atau konflik melalui

jalur mediasi. Jalur mediasi dalam aturan ini ditempuh juga untuk jenis

sengketa atau konflik, baik yang menjadi kewenangan kementerian atau

yang bukan menjadi kewenangan kementerian.

Beberapa permasalahan tanah, bisa diselesaikan dengan baik oleh

kantor Pertanahan melalui ”mediasi”. Mediasi adalah salah satu bagian

dari alternatif penyelesaian sengketa (APS), di samping negosiasi,

arbitrase, dan pengadilan. Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan

masalah di mana pihak ketiga yang tidak memihak bekerja sama dengan

para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan

memuaskan.

Penyelesaian melalui jalur mediasi dapat ditempuh apabila para

pihak sepakat melakukan perundingan dengan prinsip musyawarah untuk

mufakat bagi kebaikan semua pihak. Jika salah satu pihak saja menolak,

maka penyelesaiannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan. Teknisnya, mediasi dilakukan paling lama 30 hari dimana

untuk mediatornya berasal dari kementerian, Kantor Wilayah Badan


Pertanahan Nasional atau Kantor Pertanahan.3 Dalam hal mediasi

ditemukan kesepakatan, maka selanjutnya dibuat perjanjian perdamaian

berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak. Setelah itu,

perjanjian perdamaian itu didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan

Negeri setempat untuk memperolah kekuatan hukum mengikat. Yang

perlu dicatat, mediasi dianggap batal apabila setelah diundang tiga kali

secara patut, para pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak hadir.

Sehingga, para pihak dipersilahkan menyelesaikan sengketa atau konflik

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Badan Pertanahan Nasional dalam perannya menyelesaikan

sengketa pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Pertanyaan tersebut memang tidak memperoleh jawaban dari

ketentuan pasal-pasal yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA), namun jika ditelusuri dari aturan pelaksanaannya terutama yang

menyangkut mengenai peraturan pembentukan Badan Pertanahan

Nasional mulai dari Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 hingga

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan

Nasional, telah ada organ yang diberi tugas dan fungsi untuk

menyelesaikan sengketa di bidang pertanahan.

Begitu pentingnya makna tanah bagi kehidupan manusia, Urip

Santoso dalam bukunya Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah

mengemukan bahwa: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan landasan

3
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan
konstitusional bagi pembentukan politik dan Hukum Agraria Nasional,

yang berisi perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan yang

terkandung di dalamnya yang letak dalam penguasaan negara itu

digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh

rakyat indonesia serta untuk menjamin kepastian hukum dari kepemilikan

hak atas tanah.

Terjadinya sengketa pertanahan secara objektif disebabkan oleh

tingginya peningkatan jumlah penduduk, terbatas luasnya tanah yang

tersedia, ketidakseimbangan kepentingan antara berbagai pihak dalam

kehidupan sosial masyarakat, dan kurangnya kesadaran hukum

masyarakat dalam bidang pertanahan, serta kurang sempurnanya

administrasi dan manajemen pertanahan sehingga sering menjadi pemicu

terjadinya sengketa tanah. Selain akan tercapainya tujuan hukum,

penyelesaian sengketa pertanahan oleh Badan Pertanahan Nasional

(BPN) juga diharapkan dapat menjadi alternatif oleh masyarakat pencari

keadilan ditengah minimnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga

peradilan. Dengan demikian asas pemeriksaan yang sederhana, cepat

dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang selama ini dianggap tidak berjalan

sebagaimana mestinya dapat diadopsi oleh Badan Pertanahan Nasional

melalui mekanisme penyelesaian sengketa sesuai ketentuan Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional


(BPN) Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian

Kasus Pertanahan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Peran Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional Kota Makassar dalam Menyelesaikan

Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi Berdasarkan Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan?

2. Bagaimanakah Analisis Proses Penyelesaian Sengketa yang

dilakukan oleh Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional Kota Makassar terhadap Sengketa Pertanahan

serta upaya untuk mengatasinya?

C. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui peran Kantor Badan Pertanahan Nasional dalam

menyelesaian Sengketa Pertanahan melalui Mediasi sesuai dengan

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian

Kasus Pertanahan.

2. Untuk menganalisis proses penyelesaian yang dilakukan oleh Kantor

Badan Pertanahan Nasional terhadap Sengketa Pertanahan serta

upaya untuk mengatasinya.


D. Manfaat Penelitian

1) Secara Teoritis.

a. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data referensi penting

mengenai kebijakan dan pelaksanaan hukum dalam hal

penyelesaian sengketa pertanahan yang tidak berlarut-larut dalam

proses penyelesaiannya.

b. Sebagai sumbangan pemikiran yang bersifat konstruktif terhadap

penyelesaian sengketa pertanahan yang sangat kompleks ditengah

masyarakat.

c. Sebagai sumbangan pemikiran bersifat dekontstruktif terhadap

bentuk-bentuk penyelesaian sengketa pertanahan.

2) Secara Praktis

Diharapkan karya tulis ini dapat bermanfaat bagi instansi terkait,

khususnya bagi instansi terkait dalam rangka meningkatkan

profesionalisme dan kredibilitas dalam melaksanakan tugas dan tanggung

jawabnya.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian ini memuat uraian sistematis mengenai hasil-

hasil karya ilmiah lainnya yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu

atau hampir sama namun obyeknya berbeda. Untuk memetakan

penelitian atau pemikiran yang sudah ada, literatur yang berkaitan dengan

penyusunan tesis ini, adalah


1. Tesis “Peran Badan Pertanahan Nasional dalam Menangani

Konflik, Sengketa dan Perkara Pertanahan di Kota Semarang” oleh

Jimmy Suryo Pamungkas, yakni Tesis pada Universitas Diponegoro

tahun 2015. Penelitian tersebut membahas mengenai peran badan

pertanahan nasional dalam menangani konflik, sengketa dan

perkara pertanahan, hal yang membedakan penelitian penulis

dengan penelitian sebelumnya adalah hanya mengkaji tentang

peran badan pertanahan nasional dalam menangani konflik dan

sengketa pertanahan sedangkan dalam penelitian yang dilakukan

oleh penulis mengkaji tentang Peran Badan Pertanahan Nasional

Dalam Menyelesaikan Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi

Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016.

2. Peran Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung Dalam

Menangani Sengketa Pertanahan oleh Krisnawan Vigarmasta,

yakni pada Univesitas Udayana, tahun 2015. Penelitian tersebut

mengetahui dan menganalisis peran badan pertanahan nasional

dalam menanganai sengketa pertanahan pada Badan Pertanahan

Nasional Kantor Kabupaten Badung. Hal yang membedakan

penulis dengan penelitian sebelumnya adalah perbedaan study

kasus penelitian diatas adalah pada badan pertanahan nasional

kantor kabupaten badung sedangkan yang diteliti oleh penulis

adalah penyelesaikan Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi


Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016. Badan

Pertanahan Nasional Kota Makassar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsepsi Hukum Tanah Nasional

Konsideran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Hukum Tanah

Nasional yang akan dibangun didasarkan pada hukum adat dalam

pengertian hukum adat yang telah di-"seneer", maka harus diartikan

bahwa normanorma hukum adat yang telah dibersihkan dari unsur-unsur

pengaruh asing dan norma hukum adat itu dalam kenyataannya masih

hidup dan mengikat masyarakat.4

Selanjutnya konsiderans tersebut menunjukkan, bahwa hukum adat

merupakari sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional.

Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan konsiderans undang-undang.5

Komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah

secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi

sekaligus mengandung kebersamaan.

Sifat komunalistik religius yang bersumber dari hukum adat sebagai

salah satu ciri yang tertuang dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional juga

ditunjukkan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa:

Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam


yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

4
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia – Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, hal. 224
5
Ibid. hal. 225
Tanah ulayat sebagai salah satu wujud hak yang bersumber dari

hukum adat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum

adat yang kemudian dalam konsepsi hukum tanah nasional

dikembangkan bahwa semua tanah dalam wilayah negara menjadi tanah

bersama seluruh rakyat Indonesia yang bersatu menjadi bangsa

Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (1) UUPA.

Pernyataan rumusan tersebut menunjukkan, sifat komunalistik

konsepsi hukum tanah nasional, sedangkan unsur religius konsepsi ini

ditunjukkan dalam pernyataan rumusan bahwa bumi, air, dan ruang

angkasa Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa

Indonesia.

Dalam konsepsi hukum adat, sifat keagamaan hak ulayat masih

belum jelas benar, dikarenakan rumusan norma tanah ulayat sebagai

tanah bersama adalah "peninggalan nenek moyang" atau sebagai

"karunia sesuatu kekuatan yang gaib", namun apabila konsepsi hukum

tanah nasional dengan adanya keterkaitan dengan sila "Ketuhanan Yang

Maha Esa" (Sila Kesatu Pancasila), maka tanah yang merupakan tanah

bersama bangsa Indonesia secara tegas dinyatakan sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian sifat religiusnya menjadi jelas

benar.

Penyelesaian sengketa di Sulawesi Selatan, tidak hanya seorang

kepala masyarakat hukum atau kepala desa saja yang berperan untuk
menyelesaikan sengketa, tetapi ia dapat juga bertindak sebagai mediator

atau wasit. Dalam perkembangannya, terdapat pula lembaga-lembaga lain

seperti rapat koordinasi suatu instansi pemerintah, lembaga-lembaga

pada pemerintahan kelurahan/desa, seperti Lembaga Ketahanan

Masyarakat Desa (LKMD), ketua kelompok tani, perseorangan, keluarga,

teman sejawat, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut dengan kepala

desa sebagai mediator atau wasit. Tempat penyelesaiannya tidak

ditentukan, mungkin di Balai Desa, di kantor LKMD, di ruang sidang suatu

Kantor Pemerintahan, di salah satu rumah pribadi yang bersengketa, di

rumah pihak ketiga, atau di tempat lain yang disepakati pihak-pihak yang

bersengketa. Cara penyelesaian sengketanya tidak seperti di pengadilan,

tetapi lebih banyak ditempuh melalui perundingan, musyawarah dan

mufakat antara para pihak yang bersengketa sendiri maupun melalui

mediator atau wasit. Hukum yang dijadikan pedoman dalam

menyelesaikan sengketa pada umumnya hukum yang disepakati oleh

para pihak yang bersengketa, yaitu hukum ada setempat, hukum antar

adat, hukum adat campuran atau campuran hukum adat dan hukum

agama (Islam).6

Sifat religius hukum tanah nasional juga tampak dengan apa yang

tersurat dalam konsiderans dan rumusan Pasal 5 UUPA, yang memuat

kandungan suatu pesan atau peringatan kepada pembuat undang-undang

agar dalam membangun hukum tanah nasional tidak mengabaikan,


6
Aminuddin Salle dan M.G. Ohorella, 1995, Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase pada
Masyarakat di Pedesaan di Sulawesi Selatan, Ghalia Indonesia: dalam Seri Dasar-dasar Ekonomi
2: Arbitrase di Indonesia, Jakarta, hal. 108-109.
melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum

agama.

Konsepsi hukum tanah nasional dengan mengacu untuk

mengembangkan pengertian yang bersumber dari hak ulayat

sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat (2), serta memerhatikan rumusan Pasal

1 Ayat (1) UUPA mengakui dan menempatkan hak bangsa sebagai hak

penguasaan atas tanah yang tertinggi atas seluruh wilayah Indonesia

sebagai kesatuan tanah air terhadap seluruh rakyat Indonesia yang telah

bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa hak-hak

penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak

individual atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan umum

secara langsung atau pun tidak langsung semuanya bersumber pada hak

bangsa.

Pengertian hak bangsa tersebut, meliputi semua tanah dalam

rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUPA, artinya dengan kata "seluruh" berarti

seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya di wilayah Republik Indonesia menunjukkan

bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di negara Republik Indonesia yang

merupakan tanah yang tidak bertuan (res nullius).7

Hak bangsa tersebut bersifat abadi, yang berarti bahwa hubungan

yang akan berlangsung tidak terputus-putus selama-lamanya. Pernyataan

tersebut sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (3) UUPA bahwa

7
Ibid. hal. 127
hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa

termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

Rumusan tersebut dipertegas dalam pernyataan penjelasan umum II

disertai penjelasan sebagai berikut.

Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air, dan ruang angkasa

Indonesia adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini berarti bahwa selama

rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan

selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia masih ada pula dalam

keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat

memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

Hak bangsa yang meliputi semua tanah dalam wilayah Negara

Republik Indonesia, di samping mengandung unsur hukum publik juga

mengandung unsur privat. Dalam pengertian unsur hukum publik bahwa

sumber-sumber alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa

sebagai salah satu unsur pendukung utama bagi kelangsungan hidup dan

peningkatan kemakmuran bangsa sepanjang masa dan potensi sumber-

sumber alam tersebut dianggap sebagai modal dasar pembangunan

nasional.

Pemberian karunia Tuhan Yang Maha Esa harus diartikan pula

mengandung "amanat" berupa beban tugas untuk mengelolanya dengan

baik, bukan saja untuk generasi sekarang, melainkan juga untuk generasi-

generasi yang akan datang. Tugas mengelola berupa mengatur dan,


memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut menurut

sifatnva termasuk bidang hukum publik.

Unsur privat mengandung makna bahwa tanah bersama "kekayaan

nasional", menunjukkan arti keperdataan yaitu hubungan "kepunyaan"

antara bangsa Indonesia dan tanah bersama tersebut. Hubungan

kepunyaan menurut artinya yang asli memberi wewenang untuk

menguasai sesuatu sebagai "empunya", artinya sebagai tuannya bisa

dalam hubungan kepemilikan.

Tugas kewajiban pengelolaan tanah dalam bidang hukum publik

tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia, maka

penyelenggaraannya oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan

pengemban amanat tersebut pada tingkatan yang tertinggi

dikuasakankepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 Ayat (1) UUPA). Pemberian kuasa

tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 oleh wakil-wakil

bangsa Indonesia pada waktu dibentuknya Negara Republik Indonesia

pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan kata-kata: "Bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Dalam lingkup hak bangsa juga dimungkinkan para warga Negara

Indonesia sebagai pihak yang mempunyai hak bersama atas tanah

bersama tersebut, masing-masing menguasai dan menggunakan


sebagian dari tanah bersama itu secara individual dengan hak-hak yang

bersifat pribadi.

Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti

bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan, dan

tidak ada keharusan untuk menguasainya bersama-sama orang lain

secara kolektif, namun dibalik ketentuan/peraturan menguasai dan

menggunakan tanah secara kolektif bersama terbuka kemungkinan untuk

diperbolehkan. Hal ini diatur dalam Pasa1 4 Ayat (1) yang menyatakan

bahwa: "Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan

bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh

orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta

badan-badan hukum".

Dalam konsepsi hukum tanah nasional, di samping diakui hak

perorangan atas tanah bersifat pribadi hak-hak individual juga diakui unsur

kebersamaan atas hak-hak atas tanah. Sifat pribadi hak-hak individual

dimaksudkan menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk

menggunakan tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan dalam

memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 9 Ayat (2) UUPA menyatakan bahwa:

Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita


mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Rumusan kata untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri

sendiri maupun keluarganya menunjukkan sifat pribadi hak-hak atas tanah

dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional. Oleh karena itu, konsepsi Hukum

Tanah Nasional, hak-hak atas tanah yang individual berunsur pribadi juga

mengandung norma unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan yang

bersifat kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas tanah, karena

semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung

bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama.

Sifat pribadi hak-hak atas tanah yang sekaligus mengandung unsur

kebersamaan atau kemasyarakatan tersebut dalam Pasal 6 UUPA

dirumuskan dengan dalil hukum bahwa "semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial". Dengan demikian konsep hukum tanah

nasional yang dikembangkan tetap mer.gacu pada prinsip dan ketentuan

dalam UUPA yang bersumber dan berdasarkan pada hukum adat, dengan

harapan bahwa apabila mengacu pada prinsip dan norma-norma dari

UUPA dapat menjadi solusi yang terbaik dalam upaya membangun

konsep hukum tanah nasional sebagai salah satu upaya dalam menata

dan mengatasi penyelesaian konflik pertanahan yang sangat kompleks.

B. Tinjauan tentang Sengketa

1. Pengertian Sengketa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala

sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau


perbantahan.8 Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik, sedangkan

konflik itu sendiri adalah suatu perselisihan antara dua pihak, tetapi

perselisihan itu hanya dipendam dan tidak diperlihatkan dan apabila

perselisihan itu diberitahukan kepada pihak lain maka akan menjadi

sengketa.9

Konflik atau sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan

perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara

dalam pengadilan.10

Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan

persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan yang

dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki

seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun

sosial.11 Sebuah konflik berkembang menjadi sengketa bila pihak yang

merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya,

baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab

kerugian atau pihak lain.

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa

dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan

kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan

perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu

8
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai
Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 643
9
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya
Bhakti, Bandung, hal. 1
10
Sudarsono, 2002, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta, hal. 433
11
Ibid. hal. 103
dengan yang lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat

bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam

lingkup lokal, nasional maupun internasional.

Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa

dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan

ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan

perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan

sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang

dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para

pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah

dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan.

Dengan kata lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah

satu pihak.12

Sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak

dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah

satu pihak dalam perjanjian.13

Konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana

orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun

perselisihan-perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja. Dengan

demikian, yang dimaksud dengan sengketa ialah suatu perselisihan yang

terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling mempertahankan

persepsinya masing masing,di mana perselisihan tersebut dapat terjadi


12
Amriani, Nurnaningsih. 2011. MEDIASI:Alternatif Penyelesaian Sengketa. Perdata di Pengadilan,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
13
Ibid. hal. 13
karena adanya suatu tindakan wanprestasi dari pihak-pihak atau salah

satu pihak dalam perjanjian maupun status kepemilikan hak.14

2. Sebab-sebab Timbulnya Sengketa

Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari

pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi

keberatankeberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status

tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat

memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan

peraturan yang berlaku.15

Pengertian sengketa pertanahan termuat secara jelas dalam

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang

berbunyi “Sengketa Pertanahan yang selanjutnya disingkat dengan

sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan,

badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-

politis”.16

Sengketa biasanya bermula dari situasi dimana ada pihak yang

merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas

yang bersifat subjektif dan tertutup yang dapat dialami oleh perorangan

maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan

apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan

menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak

14
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya
Bhakti, Bandung, hal. 1
15
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, Alumni, Jakarta, hal. 22
16
Pasal 1 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan
kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka

selesailah konflik tersebut. Tetapi apabila reaksi dari pihak kedua

menunjukan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda,

terjadilah apa yang dinamakan sengketa. Proses sengketa terjadi karena

tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa dan secara

potensial dua pihak tersebut mempunyai pendirian atau pendapat yang

berbeda dapat beranjak ke situasi sengketa.17

Berikut ini beberapa teori tentang sebab-sebab timbulnya sengketa,

antara lain :

a. Teori hubungan masyarakat

Teori hubungan masyarakat, menitikberatkan adanya

ketidakpercayaan dan rivalisasi kelompok dalam masyarakat.

Para penganut teori ini memberikan solusi-solusi terhadap

konflik-konflik yang timbul dengan cara peningkatan komunikasi

dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang

mengalami konflik, serta pengembangan toleransi agar

masyarakat lebih bisa saling menerima keberagaman dalam

masyarakat.18

b. Teori negosiasi prinsip

Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi

karena adanya perbedaan-perbedaan diantara para pihak. Para

17
Suyud Margono, 2004, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase : proses pelembagaan
dan Aspek Hukum cet ke 2, Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 34
18
Takdir Rahmadi, 2011. Mediasi: Penyelesaian sengketa melalui pendekatan mufakat. PT
RajaGrafindo Persada Jakarta, hal. 8
penganjur teori ini berpendapat bahwa agar sebuah konflik

dapat diselesaikan, maka pelaku harus mampu memisahkan

perasaan pribadinya dengan masalah-masalah dan mampu

melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan dan bukan pada

posisi yang sudah tetap.19

c. Teori identitas

Teori ini menjelaskan bahwa konflik terjadi karena

sekelompok orang merasa identitasnya terancam oleh pihak

lain. Penganut teori identitas mengusulkan penyelesaian konflik

karena identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi

lokakarya dan dialog antara wakil-wakil kelompok yang

mengalami konflik dengan tujuan mengidentifikasikan ancaman-

ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan serta

membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah

pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas

pokok semua pihak.20

d. Teori kesalahpahaman antar budaya

Teori kesalahpahaman antar budaya menjelaskan bahwa

konflik terjadi karena ketidakcocokan dalam berkomunikasi

diantara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.

Untuk itu, diperlukan dialog antara orang-orang yang mengalami

konflik guna mengenal dan memahami budaya masyarakat

19
Ibid. hal. 19
20
Ibid. hal. 9
lainnya, mengurangi stereotipe yang mereka miliki terhadap

pihak lain.21

e. Teori transformasi

Teori ini menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena

adanya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan

serta kesenjangan yang terwujud dalam berbagai aspek

kehidupan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun politik.

Penganut teori ini berpendapat bahwa penyelesaian konflik

dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti perubahan

struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan

ketidaksetaraan, peningkatan hubungan, dan sikap jangka

panjang para pihak yang mengalami konflik, serta

pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujudkan

pemberdayaan, keadilan, rekonsiliasi dan pengakuan

keberadaan masing-masing.22

f. Teori kebutuhan atau kepentingan manusia

Pada intinya, teori ini mengungkapkan bahwa konflik dapat

terjadi karena kebutuhan atau kepentingan manusia tidak dapat

terpenuhi/ terhalangi atau merasa dihalangi oleh orang/ pihak

lain.

Kebutuhan dan kepentingan manusia dapat dibedakan menjadi tiga

jenis yaitu substantif, prosedural, dan psikologis. Kepentingan substantif

21
Ibid. hal. 9
22
Ibid. hal. 9
(substantive) berkaitan dengan kebutuhan manusia yang yang

berhubungan dengan kebendaan seperti uang. sandang, pangan,

papan/rumah, dan kekayaan. Kepentingan prosedural (procedural)

berkaitan dengan tata dalam pergaulan masyarakat, sedangkan

kepentingan psikologis (psychological) berhubungan dengan non-materiil

atau bukan kebendaan seperti penghargaan dan empati.23

C. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa

1. Penyelesaian Sengketa melalui Litigasi

Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui

pengadilan atau yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu

penyelesaian sengketa yang dilaksanakan dengan proses beracara di

pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya

dilaksanakan oleh hakim.

Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di

mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain

untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari

suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang

menyatakan win-lose solution.24

Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis,

menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung

menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,

membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan


23
Ibid. hal. 10
24
Amriani, Nurnaningsih. 2011. MEDIASI:Alternatif Penyelesaian Sengketa. Perdata di Pengadilan,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 35
permusuhan diantara para pihak yang bersengketa. Kondisi ini

menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian

sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar

proses peradilan formal ini lah yang disebut dengan “Alternative Dispute

Resolution” atau ADR.25

Apabila telah dilakukan usaha untuk mencapai mufakat bagi para

pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa, namun tidak ditemukan suatu

kesepakatan diantara kedua belah pihak maka para pihak yang

bersangkutan dapat mengajukan masalahnya ke Pengadilan dengan

mengajukan gugatan kepada pihak lawan.

Penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan merupakan

bentuk penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup hukum perdata,

dimana pada intinya berisi tentang perbuatan melanggar hukum, dan ganti

rugi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi diatur dalam Pasal 1365 yang

bebunyi bahwa, “ Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa

kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam

hubungannya dengan penyelesaian ganti kerugian sebagai konsekuensi

tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum, maka ketentuan Pasal

1365 ini erat terkait dengan Pasal 1243 yang menyatakan bahwa,

“Penggantian biaya ganti rugi dan bunga karena terpenuhinya suatu

25
M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Cet. 8, Sinar Grafika, Jakarta, hal.234
perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah

dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau

jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan

atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Sedangkan kaitannya dalam pembuktian perlu di kemukakan Pasal 1865

BW yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia

mempunyai sesuatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun

membantah sesuatu hak orang, menunjuk pada suatu peristiwa diwajibkan

membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Pengertian pada Pasal ketiga tersebut dapat disimpulkan seorang

penggugat baru akan memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil

membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Kesalahan

disini merupakan unsur yang menentukan pertanggungjawaban yang

berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan, tidak ada kewajiban ganti

kerugian.

2. Penyelesaian Sengketa melalui Non-Litigasi

Indonesia merupakan salah satu Negara yang sering terjadi

sengketa pertanahan, yang penyelesaiannya banyak dilakukan melalui

lembaga pengadilan. Namun dengan lamanya proses pengadilan serta

mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak, mendorong

masyarakat untuk mencari jalan lain yang lebih efektif dan efisien dalam

menyelesaikan sengketa pertanahan di luar pengadilan.


Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah

mengenal adanya penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative

Dispute Resolution (ADR), yang dalam perspektif Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah suatu pranata penyelesaian

sengketa di luar pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan

mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.

Dalam proses penyelesaian sengketa, para pihak berhak memilih

proses penyelesaian yang mana akan dijalani. Ketika yang yang dihadapi

dan dijalani oleh para pihak tanpa dibantu oleh pihak-pihak lain yang tidak

mempunyai kepentingan akan berlanjut pada sengketa yang ada.

Sehingga diperlukan adanya kontrol hubungan sosial dari masyarakat itu

sendiri yang artinya bahwa pada dasarnya masyarakat itu sendiri aktif

menemukan, memilih, dan menentukan hukum sendiri.26 Namun

adakalanya diselesaikan oleh pihak lain diluar sengketa secara damai, jika

tidak teratasi melalui proses diluar pengadilan maka baru dapat dilakukan

melalui proses litigasi di dalam pengadilan atau sengketa tersebut dibawa

ke “meja hijau”.

Akhir-akhir ini pembahasan mengenai alternatif dalam

penyelesaian sengketa semakin ramai dibicarakan, bahkan perlu

26
Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Grasindo,
Jakarta, hal. 5
dikembangkan untuk mengatasi kemacetan dan penumpukan perkara di

pengadilan maupun di Mahkamah Agung.27

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan pada dasarnya dilakukan

untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk yang dipilih untuk dijadikan

forum penyelesaian, dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan

tertentu dengan tujuan untuk menjamin tidak akan terjadinya atau

terulangnya dampak negatif dari sengketa pertanahan tersebut.

Alternatif dalam penyelesaian sengketa jumlahnya banyak

diantaranya:

a. Arbitrase
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

menjelaskan bahwa arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian

suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan

pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para

pihak yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi

perselisihan yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami

perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara

negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk

menghindari penyelesaian sengketa melalui Badan Peradilan yang

selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.

27
Buku Tanya Jawab PERMA No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, 2008:1
b. Negosiasi
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang

untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki

berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. 28 Hal ini

selaras bahwa negosiasi ialah proses tawar menawar untuk

mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses interaksi,

komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk mendapatkan

penyelesaian atau jalan keluar dari permasalahan yang sedang

dihadapi oleh kedua belah pihak.29

c. Mediasi
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan

pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi

yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk

mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih efektif

dalam proses tawar menawar.30 Mediasi juga dapat diartikan

sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan

kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan

tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi

menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak

dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk

tercapainya mufakat.31

28
Nurnaningsih Amriani, Op.Cit. 2012, hal. 23
29
Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa, Prenada, Jakarta,
hal. 21
30
Nurnaningsih Amriani, Op.Cit. 2012, hal. 28
31
Susanti Adi Nugroho, Op.Cit. 2009, hal. 21
d. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator

berubah fungsi menjadi konsiliator. Dalam hal ini konsiliator

menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak.

Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator

akan menjadi resolution.

Kesepakatan yang terjadi bersifat final dan mengikat para

pihak. Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan

suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan

keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi.32

e. Penilaian ahli
Penilaian ahli merupakan cara penyelesaian sengketa oleh

para pihak dengan meminta pendapat atau penilaian ahli terhadap

perselisihan yang sedang terjadi.33

f. Pencari fakta (fact finding)


Pencari fakta adalah sebuah cara penyelesaian sengketa

oleh para pihak dengan meminta bantuan sebuah tim yang

biasanya terdiri atas para ahli dengan jumlah ganjil yang

menjalankan fungsi penyelidikan atau penemuan fakta-fakta yang

diharapkan memperjelas duduk persoalan dan dapat mengakhiri

sengketa.34

32
Nurnaningsih Amriani, Op.Cit. 2012, hal. 34
33
Takdir Rahmadi, Op.Cit. 2011, hal. 19
34
Ibid. hal. 17
3. Tinjauan tentang Mediasi

a) Pengertian Mediasi

Secara etimologi (bahasa), mediasi berasal dari bahasa latin

mediare yang berarti “berada di tengah” karena seorang yang melakukan

mediasi (mediator) harus berada di tengah orang yang berikai. Dari segi

terminologi (istilah) terdapat banyak pendapat yang memberikan

penekanan yang berbeda tentang mediasi.

Keberhasilan mediasi bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti

kualitas mediator (training dan profesionalitas), usaha-usaha yang

dilakukan oleh kedua pihak yang sedang bertikai, serta kepercayaan dari

kedua pihak terhadap proses mediasi, kepercayaan terhadap mediator,

kepercayaan terhadap masing-masing pihak. Seorang mediator yang baik

dalam melakukan tugasnya akan merasa sangat senang untuk membantu

orang lain mengatasi masalah mereka sendiri, ia akan berindak netral

seperti seorang ayah yang penuh kasih, meningkatkan kualitas

pengambilan keputusan, mempunyai metode yang harmonis, mempunyai

kemampuan dan sikap, memiliki integritas dalam menjalankan proses

mediasi serta dapat dipercaya dan berorientasi pada pelayanan.

Merupakan salah satu bentuk penyelesaian persengketaan yang

diselenggarakan di luar pengadilan, dimana pihak-pihak yang bersengketa

meminta atau menggunakan bantuan dari pihak ketiga yang netral untuk

membantu menyelesaikan pertikaian di antara mereka.


Dalam proses penyelesaiannya, para pihak yang bersengketa

mengizinkan pihak ketiga untuk terlibat kedalam sengketa tersebut dan

membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian. Namun hal ini tidak

memaksakan para pihak untuk selalu berkehendak menerima sepenuhnya

apa yang dikemukakan oleh pihak ketiga.35

Penyelesaian dapat dicapai atau dihasilkan jika semua pihak yang

bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Namun, ada kalanya

karena berbagai faktor, para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian

sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu (deadlock, stalemate).

Situasi ini yang membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir

dengan sebuah penyelesaian hukum, berupa putusan hakim, meskipun

penyelesaian hukum belum tentu mengakhiri sebuah sengketa karena

ketegangan diantara para pihak masih berlangsung dan pihak yang kalah

selalu tidak puas.36

Mediator yang netral mengandung pengertian bahwa mediator tidak

berpihak (impartial), tidak memiliki kepentingan dengan perselisihan yang

sedang terjadi, serta tidak diuntungkan atau dirugikan jika sengketa dapat

diselesaikan atau jika mediasi menemui jalan buntu. Bantuan mediator

yang bersifat prosedural antara lain mencakup tugas-tugas memimpin,

memandu, dan merancang sesi-sesi pertemuan atau perundingan,

35
Indonesian Institute for Conflict Transformation, 2006.
36
Takdir Rahmadi, Op.Cit. 2011, hal. 13
sedangkan bantuan substansial berupa pemberian saran-saran kepada

pihak yang bersengketa tentang penyelesaian pokok sengketa.37

Peran mediator dapat bersifat aktif maupun pasif dalam membantu

para pihak. Peran aktif harus dilakukan bila para pihak yang bersengketa

tidak mampu melaksanakan perundingan yang konstruktif. Sebaliknya

mediator memainkan peran pasif jika para pihak sendiri mampu

melaksanakan perundingan yang konstruktif dalam arti para pihak sendiri

mampu mengusulkan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah

dan membahas usulan pemecahan masalah itu guna mengakhiri

sengketa. Dengan demikian, tingkatan peran mediator dalam membantu

para pihak menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka sangat

situasional, yaitu tergantung pada kemampuan para pihak dalam

melaksanakan perundingan.38

b) Tujuan Mediasi

Tujuan penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah untuk

menghasilkan suatu rencana atau kesepakatan kedepan yang dapat

diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa.39

Sebagaimana dalam prosesnya dibantu oleh pihak ketiga yang disebut

sebagai mediator yang bertugas untuk membantu para pihak dalam

menyelesaikan sengketa. Para pihak disini menerima konsekuensi dari

putusan yang mereka buat dengan mengurangi rasa khawatir dan dampak

37
Ibid. hal. 14
38
Ibid.
39
Abbas Syahrizal, 2009, Mediasi Dalam Presfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, hal. 24
negatif lainnya dari suatu konflik, karena pihak yang bersangkutan telah

dibentuk untuk mencapai konsesus melalui mediasi.

c) Prinsip Mediasi

Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofi dari

diselenggarakannya kegiatan mediasi. Bahwa mediasi merupakan suatu

alternatif penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh dalam mengatasi

persoalan-persoalan didalam masyarakat.40

Prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi

tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat

kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada

kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan

demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau

pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak bisa

dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang menginginkannya.

d) Keunggulan Mediasi

Adapun beberapa keunggulan dalam penyelesaian sengketa

melalui mediasi diantaranya sebagai berikut :

1) Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain;

2) Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk

menerima dan adanya rasa memiliki keputusan mediasi;

3) Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk

menegosiasi sendiri sengketanya dikemudian hari;

40
Ibid, hal. 28
4) Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah yang

merupakan dasar dari suatu sengketa;

5) Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara


pihak yang bersengketa sehingga dapat dihindari rasa

bermusuhan dan dendam.41

D. Landasan Teori

1. Teori Efektivitas Hukum

Teori efektivitas hukum adalah taraf sejauh mana suatu kelompok

dapat mencapai tujuannya. 42 Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat

dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya

dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi

perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum,

pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal

namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun

merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan

sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya

dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum.

Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja

hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat

terhadap hukum. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang

mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya.

41
Munir Fuady, 2003, Arbitrase Nasional, Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 50
42
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja Karya,
Bandung, hal. 80
Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan yang

berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau

peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga masyarakat

berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh atau

peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang

dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundang-undangan

tersebut telah dicapai.

Efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor,

yaitu:43

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).


2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
Ukuran efektivitas pada elemen pertama adalah:44

a. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu

sudah cukup sistematis.

43
Ibid. 2008, hal. 8
44
Ibid. 1983, hal. 80
b. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu

sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada

pertentangan.

c. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang

mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.

d. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan

persyaratan yuridis yang ada.

Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja

hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini

dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat

melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini

adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang

baik.

Masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis

ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut:45

a. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang

ada.

b. Sampai mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan.

c. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas

kepada masyarakat.

45
Ibid. hal. 82
d. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan

yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas

yang tegas pada wewenangnya.

Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana

dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya.

Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas

yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum.

Sehubungan dengan sarana dan prasarana yang dikatakan dengan istilah

fasilitas ini, Soerjono Soekanto memprediksi patokan efektivitas elemen-

elemen tertentu dari prasarana. Prasarana tersebut harus secara jelas

memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran

tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya.

Adapun elemen-elemen tersebut adalah:

1. Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik

prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan

memperhitungkan angka waktu pengadaannya.

2. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.

3. Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.

4. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.

5. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan

lagi fungsinya.
Ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari

kondisi masyarakat, yaitu:

1. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun

peraturan yang baik.

2. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun

peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.

3. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik,

petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.

2. Teori Kewenangan

Berbicara masalah kewenangan tentu saja adalah bahasan yang

sangat luas, karena berkembang dari hari ke hari, dan begitu banyak teori

yang menggambarkan dan merefleksikan tetntang teori kewenangan.

Dalam ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara,

istilah “kekuasaan” dan “wewenang” terkait erat dengan pelaksanaan

fungsi pemerintah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata wewenang memiliki


arti :
1. Hak dan kekuasaan bertindak;

2. Kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan

tanggung jawab kepada orang lain;

3. Fungsi yang boleh tidak dilaksanakan.

Sedangkan kewenangan memiliki arti:

1. Hak wewenang;

2. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.


Kewenangan merupakan salah satu konsep inti dalam Hukum

Administrasi Negara. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan

formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan oleh

UU) atau dari kekuasaan eksekutif administrasi.

Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang

adalah kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik,

misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari

seorang pejabat atas nama menteri, sedangkan kewenangan tetap berada

di tangan menteri.

Berbicara tentang teori kewenangan, ada banyak ahli memberikan

tentang itu. Pada kamus besar bahasa Indonesia kata kewenangan

disamakan dengan kata wewenang, yang diartikan sebagai hak dan

kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah

dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama

dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya memngambarkan hak untuk

berbuat dan tidak berbuat. Dalam hukum wewenang berarti hak dan

kewajiban.46

Istilah kewenangan berasal dari kata wewenang. Beliau

menguraikan pengertian kewewenang dengan membedakan tugas

(functie) adalah satuan urusan pemerintah yang dibebankan kepada

46
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 99-100
organ tertentu untuk dilaksanakan, dan wewenang adalah pelaksanaan

tekhnik urusan yang dimaksud.47

Beda antara kekuasaan dan wewenang adalah bahwa setiap

kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dinamakan kekuasaan,

sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau

sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau memndapat

pengakuan dari masyarakat.48

Wewenang dalam bahasa inggris disebut authority. Wewenang

adalah otoritas yang dimiliki suatu lembaga untuk melakukan sesuatu atau

tidak melakukan sesuatu. Wewenang adalah institutionalized power

(kekuasaan yang dilembagakan).49 Sementara itu wewenang adalah

kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian

rupa, sehingga tingkah laku terakhir sesuai degan keinginan dari pelaku

yang mempunyai kekuasaan.50

Terkait dengan sumber kekuasaan atau kewenangan, Aristoteles

menyebutkan hukum sebagai sumber kekuasaan. Dalam pemerintahan

yang berkonstitusi hukum haruslah menjadi sumber kekuasaan bagi para

penguasa agar pemerintah terarah untuk kepentingan, kebaikan dan

kesejahteraaan umum. Dengan meletakan hukum sebagai sumber

kekuasaan, para penguasa harus menaklukan di dalam hukum.

Pandangan ini berbeda dengan pandangan pendahulunya yang

47
Muhammad Yamin Lubis, Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal. 56
48
Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, hal. 30
49
https://id.wikipedia.org/wiki/Internet diakses pada tanggal 15-01-2-18
50
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 11
meletakan pengetahuan sebagai sumber kekuasaan, karena menurut

Plato, pengetahuan dapat membimbing dan menuntun manusia

kepengenalan yang benar. 51

Karena itu, jika dilihat dari sifatnya, Marbun berpendapat bahwa

wewenang pemerintah dapat dibedakan atas exprerssimlied dan vrij

bestuur. Wewenang pemerintah yang bersifat exprerssilimed adalah

wewenang yang jelas maksud dan tujuannya, terkait pada waktu tertentu

dan tunduk pada batasan- batasan hukum tertulis dan tidak tertulis, isinya

dapat bersifat umum dan dapat pula ber5sifat individual konkrit.

wewenang pemerintah yang bersifat vrij bestuur adalah wewenang yang

peraturan dasarnya memberikan ruanglingkup yang longgar kepada

pejabat tata usaha negara untuk mempergunakan wewenang yang

dimilikinya.

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu (1) atribusi

yakni pemberian wewenangan pemerintah oleh pembuat undang-undang

kepada organ pemerintahan, (2) delegasi yakni pelimpahan wewenang

pemerintahan dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemrintahan

yang lain dan, (3) mandat yakni kewenangan yang terjadi ketika organ

pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain. 52

Dalam kajian Hukum administrasi Negara, mengetahui sumber dan

cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting karena

51
Ibid. hal. 13
52
Ridwan HR, Op.Cit. 2006, hal. 108
berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan

wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam Negara

hukum; “geen beveegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no

authority without responsibility“ (tidak ada kewenangan tanpa

pertanggungjawaban).

Berdasarkan keterangan tersebut diatas, tampak bahwa wewenang

yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan

perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh

kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dari suatu

peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima

kewenangan dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas

wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern

pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada

penerima wewenang. Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang,

namun hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada

pejabat yang lain. Tanggungjawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi

delegasi, tetapi beralih kepada penerima delegasi. Sementara itu pada

mandat, penerima mandat hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi

mandat, tanggungjawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap

berada pada pemberi mandat. Hal ini karena pada dasarnya, penerima

mandat ini bukan pihak dari mandat.

Kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap

segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang secara bulat.


Sedangkan wewenang hanya mengikuti bidang tertentu saja. Dengan

demikian kewenangan berarti kumpulan dari wewenang-wewenang,

menunrut Mabrun wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu

tindakan publik atau kemampuan bertindak yang diberikan noleh undang-

undang untuk melakukan hubungan hukum.53

Secara garis besar, istilah kewenangan tidak bisa disamakan

dengan istilah urusan pemerintahan, karena kewenangan dapat diartikan

sebagai hak atau kewajiban untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi

manajemen (pengaturan, perencanaan, pengorganisasian , pengurusan,

pengawasan) atas suatu objek tertentu yang ditangani oleh pemerintah.

Lahirnya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah adalah era baru bagi keberlangsungan pemerintah

di daerah. Dalam UU tersebut terkandung makna distribusi kekuasaaan

(distribution of power), daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur serta

mengurus pemerintahannya sendiri.

3. Teori Keadilan

Keadilan merupakan suatu tujuan dari adanya kepastian hukum,

dalam hal tersebut untuk menjamin sebuah kepastian hukum, hal tidak

boleh terlepas ialah terkait keadilan. Dalam hal tersebut dapat dilihat

apakah sebuah hukum telah dirasakan adil atau belum.

Secara analitis keadilan dapat dibagi dalam komponen prosedural

dan substantif atau keadilan formil dan keadilan materil. Komponen

53
Marbun, S. F. 2001, Dimensi-dimensi pemikiran hukum administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, hal. 41
prosedural atau keadilan formil berhubungan dengan gaya suatu sistem

hukum seperti rule of law dan negara hukum (rechtsstaat), sedangkan

komponen substantif atau keadilan materil menyangkut hak-hak sosial

yang menandai penataan politik, ekonomi di dalam masyarakat.54

Prosedural justice atau keadilan formil atau keadilan prosedural,

diekspresikan dalam penerapan prosedur penyelesaian sengketa atau

prosedur pengambilan keputusan. Tolak ukurnya jelas ketaatan kepada

hukum beracara.55 Artinya keadilan prosedural merupakan keadilan yang

terjadi apabila seseorang melaksanakan perbuatan sesuai dengan tata

cara yang diharapkan.56

Menurut Prof. Subekti bahwa hukum mengabdi pada tujuan negara

yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan

bagi rakyatnya. Tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan

keadilan dan ketertiban, syarat-syarat yang pokok untuk mendatangkan

kemakmuran dan kebahagiaan. Artinya, bahwa keadilan dapat

digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa

ketentraman dalam hati seseorang, dan jika diusik atau dilanggar akan

menimbulkan kegelisahan atau kegoncangan. Dengan demikian maka

dapat kita lihat bahwa hukum tidak saja harus mencari keseimbangan

antara pelbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, untuk

54
Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, Refika Aditama: cet. ke-1, Bandung, hal. 22
55
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan Historis, Press: cet. ke-1, Jawa
Timur Setara, hal. 76.
56
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macamkeadilan.html,akses
pada 18 Januari 2018.
mendapatkan keadilan tetapi pada pokoknya harus juga mendapatkan

keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan tuntutan

ketertiban atau kepastian hukum.57 Hal tersebut juga bersesuaian dengan

pendapat Prof. Mr J. van Kan yang menyatakan bahwa hukum bertujuan

untuk menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-

kepentingan itu tidak dapat diganggu. Jelas disini, bahwa hukum memiliki

tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.58

Sedangkan dalam teori utilitarianisme menyatakan bahwa tujuan

hukum adalah untuk menciptakan ketertiban masyarakat, disisi yang lain

untuk memberikan keadilan dan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada

masyarakat.59 Hal ini berarti bahwa hukum merupakan pencerminan dari

keadilan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi

masyarakat

57
C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Balai Pustaka, Jakarta,
hal. 41
58
Ibid., hal. 44-45.
59
Sukarno, Aburaera, dkk, 2013, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Kencana: cet. ke-1, Jakarta, hal.
111.
E. Kerangka Pikir

Peran Kantor Badan Pertanahan Nasional Dalam Menyelesaikan


Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi Sesuai Dengan Peraturan
Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 11 Tahun 2016

Peran BPN Dalam Menyelesaikan Proses Penyelesaian Yang


Sengketa Pertanahan Dilakukan Oleh BPN Terhadap
Sengketa Pertanahan Serta
1. Peraturan Menteri Agraria dan Upaya Untuk Mengatasinya
Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1. Substansi Hukum Dalam
11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian Kasus 2. Proses Penyelesaian
Pertanahan.
3. Dampak Dari Hasil Akhir
2. Upaya mediasi telah memiliki
dasar hukumnya yang Proses Penyelesaian
dilengkapi dengan pedoman Sengketa Yang Dilakukan
serta petunjuk teknis yang Oleh BPN
memadai.

Terwujudnya Tujuan Proses Penyelesaian Sengketa Yang Dilakukan


Oleh BPN Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan Yang Sesuai
Dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 2016
F. Definisi Operasional

1. Peran adalah seberapa penting Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional kota Makassar dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya.

2. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

adalah Lembaga Pemerintah Nonkementerian di Indonesia yang

mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan dibidang

pertanahan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.

3. Sengketa Pertanahan adalah merupakan perkara antara dua orang

atau lebih yang sama mempunyai kepentingan atas status hak

objek tanah antara satu atau beberapa objek tanah yang dapat

mengakibatkan akibat hukum tertentu bagi para pihak.

4. Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan

pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan

mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang

bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh

kedua belah pihak.

5. Peraturan Menteri adalah pengaturan (regeling), mengikat umum,

norma perundang-undangannya selalu bersifat umum, abstrak, dan

berlaku terus-menerus.

6. Penerapan Hukum adalah bentuk pelaksanaan norma hukum

beserta sanksi dari peraturan hukum.


7. Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang saling terkait

yang bersama-sama mengubah masukan menjadi keluaran.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Makassar, lokasi

penelitiannya di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional Kantor Kota Makassar dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional. Dipilihnya lokasi penelitian tersebut dengan pertimbangan

Peraturannya masih baru, dan juga apakah Peraturan tersebut telah

efektif dilaksanakan oleh Kantor pertanahan Kota Makassar, sehingga

penulis ingin mencari penyebab dan kendala apabila Peraturan Menteri

Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11

Tahun 2016 belum efektif dilaksanakan terhadap kewajiban Kantor

Pertanahan menyelesaikan kasus sengketa melalui mediasi berdasarkan

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian empiris.

Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum

tertulis dari aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktrur dan

komposisi, lingkup dan materi, penjelasan umum dari pasal demi pasal,

formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang tetapi tidak


mengikat aspek terapan atau implementasinya.60 Penelitian empiris

adalah penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota

anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat.61

Penelitian yang dilakukan dengan data primer menggali kebenaran

dengan cara mengumpulkan data serta informasi melalui wawancara dan

pengamatan langsung dilapangan terhadap permasalahan yang terjadi

untuk menjawab permasalahan pada penelitian tesis ini, kemudian

dilakukan pengujian terhadap permasalahan.

C. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan jenis sumber data primer yang

didukung dengan data sekunder, yaitu: data yang mendukung keterangan

atau menunjang kelengkapan Data Primer yang diperoleh dari

perpustakaan dan koleksi pustaka pribadi penulis yang dilakukan dengan

cara studi pustaka atau studi literat.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis

menggunakan sumber dan jenis data sebagai berikut :

a. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara

wawancara terhadap narasumber. Wawancara, yaitu cara memperoleh

informasi dengan bertanya langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai

terutama orangorang yang berwenang, mengetahui dan terkait dengan

peran Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa tanah


60
Abdulkadir Muhamad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.101
61
Ibid. hal. 155
secara mediasi di Kantor Pertanahan kota Makassar. Sistem wawancara

yang dipergunakan adalah wawancara bebas terpimpin, artinya terlebih

dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih

dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi

pada saat wawancara dilakukan.62 Dalam hal ini diadakan beberapa

pertanyaan untuk mendapatkan keterangan lebih akurat sehingga dapat

diperoleh jawaban yang valid.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang mendukung keterangan atau

menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dari perpustakaan

dan koleksi pustaka pribadi penulis, yang dilakukan dengan cara studi

pustaka atau literatur. Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan-bahan hukum primer, meliputi:

a. Peraturan perundang-undangan, yaitu:

(1) Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945;

(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria;

(3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman;

(4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

62
Soetrisno Hadi, 1985, Metodologi Reseacrh Jilid II, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM,
Yogyakarta, hal. 26
b. Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 2015 tentang Badan
Pertanahan Nasional.
c. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016
tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
d. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan
Pertanahan Nasional.
e. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penanganan dan Penyelesaian Permasalahan Pertanahan.
2) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisa dan memahami bahan hukum primer, meliputi:

(a) Buku-buku mengenai Pendaftaran Tanah, Hukum Agraria

Indonesia Sejarah dan Perkembangannya, buku tentang

Penyelesaian sengketa Pertanahan, buku tentang Metodologi

Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah. Selain itu, dalam

penulisan tesis ini juga digunakan Kamus Besar Bahasa

Indonesia.

(b) Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum

primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami

bahan hukum primer, data yang diperoleh dari studi dokumen

yang dihimpun dari kantor Pertanahan kota Makassar, data

kepustaaan yang relevan berupa buku, surat kabar, berita online

internet serta peraturan perundang-undangan, yang materinya

dapat dipergunakan sebagai bahan acuan penulisan tesis ini.


D. Populasi dan Teknik Penentuan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pihak yang terkait

dengan peran Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa

tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan Kota Makassar. Oleh karena

itu dengan menggunakan populasi tersebut akan diperoleh data yang

akurat dan tepat dalam penulisan tesis ini.

b. Teknik Penentuan Sampel

Penarikan sampel merupakan suatu proses dalam memilih suatu

bagian dari suatu populasi yang berguna untuk menentukan bagian-

bagian dari obyek yang akan diteliti. Untuk itu, untuk memilih sampel yang

representatif diperlukan teknik sampling.

Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang dipergunakan

oleh penulis adalah teknik purposive-non random sampling maksud

digunakan teknik ini agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai

dengan tujuan penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan pada

penulisan ini dilakukan dengan studi kepustakaan (library research). Studi

kepustakaan adalah kegiatan untuk menghimpun informasi yang relevan

dengan topik atau masalah yang menjadi obyek penelitian. Informasi

tersebut dapat diperoleh dari buku-buku, karya ilmiah, tesis, disertasi,

internet, dan sumber-sumber lain. Dengan melakukan studi kepustakaan,


peneliti dapat memanfaatkan semua informasi dan pemikiran-pemikiran

yang relevan dengan penelitiannya. Dan untuk melengkapi data yang

dibutuhkan maka akan dilakukan wawancara terhadap para informan yang

dipilih berdasarkan kapasitas dan otoritas yang dijalankan oleh para

informan terkait dengan penulisan ini.

F. Teknik Analisis Bahan Hukum

Data yang diperoleh baik data primer dan data sekunder akan

dianalisis secara deskriptif kulitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu

metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang

diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya,

kemudian dihubungkan dengan teori-teori dan kaidah-kaidah hukum yang

diperoleh dari studi lapangan sehingga diperoleh jawaban atas

permasalahan yang dirumuskan.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peran Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan

Nasional Kota Makassar dalam Menyelesaikan Sengketa

Pertanahan Melalui Mediasi Berdasarkan Peraturan Menteri

Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

kota Makassar merupakan lembaga pemerintahan yang bertugas untuk

melaksanakan dan mengembangkan administrasi pertanahan. Dalam

melaksanakan tugas tersebut, penyelesaian masalah pertanahan

merupakan salah satu fungsi yang menjadi kewenangan Kantor

Pertanahan.

Penyelesaian sengketa pertanahan dapat diselesaikan melalui

Lembaga Kantor Pertanahan/Non Litigasi dan melalui pengadilan

(Peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara).

Penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi oleh BPN perlu

dilandasi dengan kewenangan-kewenangan yang sah berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Hal ini penting sebagai landasan BPN

untuk mediator didalam penyelesaian sengketa pertanahan, karena

pertanahan dikuasai oleh aspek hukum publik dan hukum privat maka

tidak semua sengketa pertanahan dapat diselesaikan melalui lembaga

mediasi, hanya sengketa pertanahan yang dalam kewenangan


sepenuhnya dari pemegang hak saja yang dapat diselesaikan melalui

lembaga mediasi. Oleh karena itu kesepakatan dalam rangka

penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan pembatasan-

pembatasan hal ini dimaksudkan agar putusan mediasi tersebut tidak

melanggar hukum serta dapat dilaksanakan secara efektif dilapangan.

Sengketa tanah yang selalu menjadi permasalahan besar dan

penting pada Negara berkembang, terutama di Indonesia yang dikenal

dengan wilayahnya yang luas dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya. Hal tersebut bukan suatu hal yang mustahil, terbuka

kemungkinan timbulnya perselisihan atau sengketa tanah tanah baik

materiil maupun secara formal.

Tanah merupakan suatu kebutuhan dan wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan di kelola secara nasional

maka untuk menjaga kehidupan berbangsa, untuk kehidupan bernegara

yang aman.maka perlu Pengelolaan tanah yang baik dalam hal ini

termasuk juga untuk menyelesaikan masalah, sengketa, dan konflik

pertanahan yang timbul.

Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, mengenai hak

menguasai Negara atas Tanah telah menentukan kewenangan Negara

untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;


2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan bumi, air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi,

air dan ruang angkasa.

Kewenangan tersebut yang telah diatur secara tegas, akan tetapi

masyarakat yang sulit untuk diatur maka sering terjadi konflik dan

sengketa yang sering terjadi di negeri ini, maka untuk memberikan

sesuatu hak atas tanah adalah kewenangan Pemerintah yang dalam hal

ini Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan hal tersebut maka

kewenang pemberian hak tersebut dilakukan oleh Badan Pertanahan

Nasional, sehingga setiap perselisihan maupun persengketaan hak atas

tanah merupakan pula sebagian dari tugas pemerintah di dalam fungsi

administrasi.63

Penyelesaian sengketa tanah mencakup baik penanganan masalah

pertanahan oleh BPN sendiri maupun penanganan tindak lanjut

penyelesaian masalah oleh lembaga lain. Berkait dengan masalah

pertanahan yang diajukan, BPN mempunyai kewenangan atas

prakarsanya sendiri untuk menyelesaikan permasalahan yang dimaksud.

Dalam rangka penyelesaian masalah sengketa tersebut untuk

memberikan perlakuan yang seimbang kepada para pihak diberikan

kesempatan secara transparan untuk mengajukan pendapatnya mengenai

63
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah, Alumni, Jakarta, hal. 14
permasalahan tersebut. Di samping itu, dalam kasus-kasus tertentu

kepada mereka dapat diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri

rumusan penyelesaian masalahnya. Dalam hal ini BPN hanya

menindaklanjuti pelaksanaan putusan secara administratif sebagai

rumusan penyelesaian masalah yang telah mereka sepakati.

Kepala bagian Seksi Sengketa dan Konflik Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional, Muhammad Nurfajar Infansya menjelaskan bahwa

Berdasarkan kewenangan penyelesaian masalah dengan cara mediasi itu

dapat memberikan pengaruh terhadap putusan penyelesaian masalah

sehingga disamping dapat mewujudkan keadilan dan kemanfaatan,

sekaligus juga dalam rangka kepastian dan perlindungan hukum, dengan

demikian mediasi oleh BPN bersifat autoritatif.64

Berdasarkan wawancara, Menurut Muhammad Nurfajar Infansya

hal tersebut tegas disebut bahwa Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dalam hal Peran Kantor

Pertanahan dalam menyelesaikan kasus pertanahan secara mediasi

sudah efektif. Karena Kantor Pertanahan sebagai mediator sudah

memfasilitasi, memadai, mengarahkan para pihak untuk menyelesaikan

kasus tersebut secara musyawarah. Lebih lanjutnya tujuan mediasi adalah

supaya kasus-kasus pertanahan tidak semuanya lanjut menjadi perkara

dipengadilan. Sebagai contoh, para pihak yang akan berargumen di

pengadilan tapi setelah dimediasikan, mereka sudah ada kesepakatan

64
Kepala Bagian seksi sengketa dan konflik, Wawancara dilakukan pada tanggal 30 November
2017
bersama melalui akta damai, maka tidak perlu lanjut ke tahap

pengadilan.65

Muhammad Nurfajar Infansya menambahkan, agar tidak

menumpuknya kasus-kasus di pengadilan dan ujungnya bertumpuk juga

di Mahkamah Agung maka untuk mengatasinya itu mencari solusi dengan

cara jalur musyawarah atau mediasi. 66

Menurut penulis bahwa penyelesaian sengketa ini belum bisa

dikatakan efektif jika masih banyak pihak-pihak yang bersengketa dan

menempuh jalur hukum atau pengadilan dalam menyelesaikan kasus

tersebut. Pertanahan pada hakikatnya mempunyai kedudukan yang

sangat strategis dalam hidup dan kehidupan manusia secara pribadi,

dalam pergaulan masyarakat maupun bagi Negara. Dalam kehidupannya

secara pribadi, hidup dan kehidupan manusia tidak terpisahkan dengan

tanah. Sepanjang hidupnya manusia selalu berhubungan dengan tanah

dan diatas tanahlah manusia melakukan kegiatan maupun mencari

penghidupan. Oleh karena itu, hubungan manusia dengan tanah sangat

erat. Tanah merupakan sumber kemakmuran dan kebahagiaan, baik

secara lahiriah maupun batiniah.

Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya diyakini

bahwa tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh

rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan merupakan

kekayaan nasional. Oleh karena itu, hak penguasaan yang tertinggi atas

65
Ibid.
66
Ibid.
tanah diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

hak Bangsa Indonesia. Implikasinya dalam penggunaan dan pemanfaatan

tanah secara pribadi harus memperhatikan kepentingan bangsa atau

kepentingan yang lebih besar dalam masyarakat. Hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dimengerti bahwa pengelolaan

pertanahan dapat dilihat dari aspek publik dan aspek privat. Dari aspek

publik, tanah dikuasai oleh Negara untuk dipergunakan bagi sebesar-

besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan hal ini Negara mempunyai

kewenangan mengatur bidang pertanahan. Dari aspek privat, hak-hak

tanah mengandung kewenangan bagi pemegang hak untuk menggunakan

tanah tersebut dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Jadi,

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah oleh

pemegang hak dibatasi dengan peraturan perundang-undangan.

Kepentingan masyarakat maupun kepentingan Negara inilah yang

menyebabkan sengketa dibidang pertanahan tidak dapat sepenuhnya

diselesaikan dengan melalui lembaga mediasi secara murni. Dalam

sengketa yang dihadapi oleh para pihak, penyelesaian sengketa tidaklah

selalu harus dilakukan di pengadilan akan tetapi bisa dilakukan sendiri

diantara mereka menurut dasar musyawarah dan mufakat, serta yang

terpenting adalah adanya rasa kekeluargaan, karena cara ini tidak

merusak hubungan kekerabatan diantaranya. Akan tetapi apabila didalam

musyawarah untuk mencapai mufakat tersebut mengalami kegagalan,


maka biasanya mereka membawa persoalan tersebut kekelurahan atau

kekantor pertanahan, dalam hal ini kepala desa atau Kepala Kantor

Pertanahan yang membantu penyelesaian, dalam hal ini mereka hanya

berperan sebagai penengah atau sering disebut dengan seorang

mediator.

Putusan mediasi harus ditandatangani oleh para pihak, mediator

dan saksi-saksi. Penandatanganan hendaknya dilakukan pada hari dan

tanggal saat diambilnya putusan tersebut secara bersamaan dan tidak

diperkenankan dilakukan secara terpisah. Salah satu ciri dari

penyelesaian masalah dengan mediasi adalah putusannya merupakan

kehendak yang dirumuskan secara bebas oleh para pihak. Mereka boleh

menentukan pilihan penyelesaian masalahnya karena itu putusan

penyelesaian masalah dirumuskan dalam bentuk suatu kesepakatan

(agreement). Akibat untung-rugi yang timbul dari putusan tersebut

merupakan resiko sepenuhnya dari para pihak.

Setiap lembaga penyelesaian sengketa mengandung keuntungan

dan kekurangannya masing-masing, karena pendekatan penyelesaian

yang dipergunakan berbeda-beda. Proses mediasi dalam rangka

penyelesaian sengketa menggunakan pendekatan yang memberikan

perhatian utama pada kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan

persoalan yang diajukan oleh para pihak (interest based).

Ini artinya bahwa mediasi memberikan penekanan pada

kemanfaatannya bagi para pihak dalam penyelesaian sengketa yang


dihadapi. Dengan penekanan pada interest tersebut, berbagai

kepentingan para pihak yang saling bersengketa dapat diakomodasi

secara maksimal. Hal ini akan berpengaruh pada kepuasan pihak-pihak

yang bersangkutan atas penyelesaian sengketa yang diputus sehingga

mereka secara sukarela melaksanakan putusan penyelesaian sengketa

tersebut. Inilah keuntungan substanstif dari penyelesaian sengketa melalui

mediasi. Disamping itu, masih terdapat keuntungan-keuntungan lain yang

tidak bersifat substansial. Dari segi prosedural, mediasi dirasakan lebih

sederhana dibandingkan dengan penyelesaian sengketa lain misalnya

melalui lembaga peradilan. Hal ini disebabkan para pihak tidak semata-

mata “berlindung” dengan pembuktian-pembuktian melainkan juga

mencari pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempertemukan

perbedaan-perbedaan pendapat, sehingga dapat digali akar

permasalahan yang sebenarnya.

Bukan tidak mungkin dalam suatu sengketa yang tampaknya

sangat besar, sebenarnya itu bersumber dari persoalan-persoalan yang

sangat sederhana, misalnya timbulnya sengketa batas tanah antar

tetangga yang tampaknya sedemikian rumit, padahal sebenarnya berawal

dari perasaan ketersinggungan salah satu pihak saja. Hal seperti ini tidak

mungkin ditemukan dalam penyelesaian sengketa di depan pengadilan

karena disana putusan penyelesaian sengketa didasarkan pengkajian

atas kebenaran bukti-bukti yang seringkali hanya dilihat dari segi formal

dan segi waktu penyelesaian sengketa serta bukan kebenaran materiil


Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan memerlukan waktu

yang sangat lama.

Hal ini disebabkan adanya upaya-upaya hukum yang disediakan

bagi pihak-pihak yang tidak puas terhadap penyelesaian sengketa yang

telah diputus. Bahkan proses peradilan dapat diulang-ulang dengan

menggunakan lembaga peradilan yang berbeda maupun dalam perkara

yang berbeda. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap pun,

pelaksanaan eksekusinya juga sering tidak sederhana.

Secara umum mediasi memang memerlukan biaya, namun tidak

sebesar yang diperlukan untuk proses diperadilan. Khusus mediasi di

bidang pertanahan yang dilakukan oleh BPN tidak dikenakan biaya.

Meskipun dari berbagai hal mediasi mengandung banyak keunggulan,

bukan berarti tidak terdapat kelemahan. Kelemahan mediasi terletak pada

“kekuatan mengikatnya“ putusan mediasi.

Pada sengketa yang murni beraspek keperdataan, putusan

penyelesaian sengketa diserahkan sepenuhnya pada para pihak.

Sebagaimana terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) BW. Di samping itu

kelemahan dari putusan mediasi juga dapat terjadi pada tindak lanjut

pelaksanaan putusan tersebut. Apakah putusan mediasi dapat dipaksakan

pelaksanaannya atau tidak bergantung pada konsistensi mereka untuk

secara sukarela menerima atau melaksanakan putusan yang telah

disepakati. Hal ini berbeda dengan putusan arbitrase, yang


pelaksanaannya dapat dipaksakan setelah memperoleh fiat eksekusi dari

pengadilan.

Walaupun demikian, dalam menentukan kesepakatannya tidak

boleh melanggar norma-norma yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar

terdapat kepastian hukum dan perlindungan hukum oleh Negara,

sebagaimana telah dikemukakan bahwa tidak semua sengketa dapat

diselesaikan melalui lembaga penyelesaian sengketa alternatif (mediasi).

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana

pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak

yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan

perjanjian dengan memuaskan.67

Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai

wewenang untuk memutuskan sengketa antara para pihak. Namun, dalam

hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu

mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Asumsinya

bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial

hubungan konflik dengan cara mempengamhi kepercayaan dan tingkah

laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau informasi,

atau dengan menggunakan proses negosiasi yang !ebih efektif, dan

dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan

persoalan-persoalan yang dipersengketakan.

67
Gary Goodpaster, 1993, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian
Sengketa Melalui Negosiasi, ELIPS Project, Jakarta, 201
Secara mendasar seorang mediator berperan sebagai penengah

yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang

dihadapinya. Seorang mediator juga akan membantu para pihak untuk

membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu

dihadapi secara bersama. Selain itu, juga guna menghasilkan

kesepakatan, sekaligus seorang mediator harus membantu para pihak

yang bersengketa untuk merumuskan berbagai pilihan penyelesaian

sengketanya. Tentu saja pilihan penyelesaian sengketanya harus dapat

diterima dan memuaskan kedua belah pihak. Setidaknya peran utama

yang mesti dijalankan seorang mediator adalah mempertemukan

kepentingan-kepentingan yang saling berbeda, agar mencapai titik temu

yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak pemecahan masalahnya.

Sebagai mediator, Kantor Pertanahan Kota Makassar mempunyai

peran membantu para pihak dalam memahami pandangan masing-masing

dan membantu mencari hal-hal yang dianggap penting bagi mereka.

Mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi

mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran

terhadap situasi dan persoalan-persoalan dan mengatur pengungkapan

emosi.

Mediator membantu para pihak memprioritaskan persoalan-

persoalan dan menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan

kepentingan umum. Mediator akan sering bertemu dengan para pihak

secara pribadi. Sebagai wadah informasi antara para pihak, mediator akan
mempunyai lebih banyak informasi mengenai sengketa dan persoalan-

persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu menentukan apakah

terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu kesepakatan.68

Mediator juga memberikan informasi baru atau sebaliknya

membantu para pihak dalam menemukan cara-cara yang dapat diterima

oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara. Mereka dapat

menawarkan penilaian yang netral dari posisi masing-masing pihak.

Mereka juga dapat mengajarkan para pihak bagaimana terlibat dalam

negosiasi pemecahan masalah secara efektif, menilai alternatif-alternatif

dan menemukan pemecahan yang kreatif terhadap konflik mereka,

dengan demikian, seorang mediator tidak hanya bertindak sebagai

penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan

pemimpin diskusi saja, tetapi juga harus membantu para pihak untuk

mendesain penyelesaian sengketanya, sehingga dapat menghasilkan

kesepakatan bersama.

Seorang mediator juga harus memiliki kemampuan mengumpulkan

sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai

bahan untuk menyusun dan mengusulkan berbagai pilihan penyelesaian

masalah yang disengketakan. Kemudian, mediator juga akan membantu

para pihak dalam menganalisis sengketa atau pilihan penyelesaiannya,

sehingga akhirnya dapat dicapai rumusan kesepakatan bersama sebagai

solusi penyelesaian masalah.

68
Ibid. hal. 16
Kalau mengenai efektifitas penyelesaian sengketa melalui mediasi,

menurut Muhammad Nurfajri Infansya mengatakan sudah efektif. Karena

apa yang menjadi keputusan bersama dimediasi bisa dimintakan banding

jika sudah ada kesepakatan antar para pihak maka dibuatlah suatu akta

perdamaian dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri. Setelah dibuatnya

klausul yang disepakati para pihak kemudian hasilnya didaftar ke

pengadilan negeri, jika disuatu hari salah satu pihak tidak mengindahkan

hasil kesepakatan tersebut maka bisa dijadikan bahan untuk banding di

pengadilan. Mediasi ini menjadi bersifat eksekutorial untuk dilaksanakan

karena tidak harus masuk ke pengadilan, tetapi para pihak harus mentaati

apa yang sudah mereka sepakati, jadi tidak perlu lagi menempuh jalur

pengadilan.69

Selanjutnya, Muhammad Nurfajri Infansya menambahkan jika

dikemudian hari salah satu pihak tidak mengindahkan kesepakatan

tersebut maka bisa jadi masuk menjadi bahan di pengadilan. Kalau salah

satu pihak yang merasa dirugikan atau dibohongi atau merasa dicurangi

atau salah satu pihak wanprestasi maka hal tersebut bisa diajukan ke

pengadilan sebagai bantahan atau sanggahan.70

Peran mediator menganalisis dan mendiagnosis suatu sengketa

tertentu dan kemudian mendesain serta mengendalikan proses serta

intervensi lain dengan tujuan menuntun para pihak untuk mencapai suatu

69
Kepala Bagian seksi sengketa dan konflik, Wawancara dilakukan pada tanggal 30 November
2017
70
Ibid.
mufakat sehat.71 Diagnosis sengketa penting untuk membantu para pihak

mencapai mufakat. Peran penting mediator itu:

a Melakukan diagnosis konflik;

b Identifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis;

c Menyusun agenda;

d Memperlancar dan mengendalikan komunikasi;

e Mengajar para pihak dalam proses keterampilan tawar menawar;

f Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting;

g Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan;

h Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.

Disamping tersedianya mediator sebagai penengah yang berupaya

membantu menyelesaikan sengketa yang dihadapi, perkembangan

pemberdayaan mediasi sebagai solusi praktis, juga disebabkan karena

adanya perubahan di kancah sosial dan ekonomi yang mengakibatkan

perubahan dibidang hukum. Keadaan tersebut di atas merupakan ekses

dari globalisasi, karena globalisasi, adalah karakteristik hubungan antara

penduduk dunia yang melampaui batas-batas konvensional, seperti

bangsa dan negara.

Berdasarkan perkembangan hukum tersebut, timbul kebutuhan

untuk mengoptimalkan sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan,

71
Gary Goodpaster, Op.Cit. 1977, hal. 253
yaitu lembaga penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute

resolution.72

Kecenderungan masyarakat di dunia untuk mendayagunakan

Alternative Dispute Resolution dilandasi oleh berbagai faktor bahwa

memiliki berbagai keunggulan seperti halnya:73

1. Faktor Ekonomis - Alternative Dispute Resolution memiliki

kemampuan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang lebih

ekonomis. baik dan sudut pandang biaya maupun waktu;

2. Faktor luasnya ruang lingkup permasalahan yang dapat dibahas

Alternative Dispute Resolution memiliki kemampuan untuk

membahas ruang lingkup atau agenda permasalahan secara luas

dan komprehensif. Hal ini dapat terjadi karena aturan permainan

dikembangkan serta ditentukan oleh para pihak sesuai dengan

kepentingan dan kebutuhan para pihak yang berselisih;

3. Faktor pembinaan hubungan baik para pihak - Alternative Dispute

Resolution yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang

kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya

pembinaan hubungan baik antar manusia, baik yang sedang

berlangsung maupun yang akan datang;

4. Faktor Proses - Proses Alternative Dispute Resolution yang lebih

fleksibel dibandingkan dengan beracara di pengadilan lebih

72
Satjipto Rahardjo, 2000, Pembangunan Hukum di Indonesia Dalam Konteks Situasi Global,
dikutip dari Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama,
Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 3
73
Achmad Santosa, 1995, Pendayagunakan Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa d
Bidang Lingkungan di Indonesia, Jakarta, hal. 1-2
memiliki kemampuan untuk menghasilkan kesepakatan yang

mencerminkan kepentingan dan kebutuhan para pihak (pareto

optimal atau win-win solution ).

Alternative Dispute Resolution sangatlah relevan dan perlu bagi

pengembangan peran serta masyarakat yang genuine. Kecenderungan

kebijakan-kebijakan global dan nasional mengarah pada peningkatan

keterlibatan masyarakat di tingkat pengambil keputusan (influence

participation). Sebagai konsekuensi keterlibatan masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan, maka perlu adanya suatu wadah untuk

mengelola berbagai perbedaan (konflik) yang timbul akibat keterlibatan

masyarakat tersebut, karena ketidakadaan mekanisme penyelesaian

konflik akan berakibat pada tidak efektifnya pelaksanaan peran serta

masyarakat. Secara singkat, Alternative Dispute Resolution adalah

wahana peran serta masyarakat yang efektif.

Di Indonesia, peran serta masyarakat telah secara normatif diakui

dalam berbagai kebijakan tertulis dan peraturan perundang-undangan di

dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup peran serta masyarakat

merupakan hal yang sangat penting dan oleh karenanya mendapat tempat

penting dalam peraturan perundang-undangan nasional.

Apabila kasus belum sampai ke lembaga peradilan, maka kasus

tersebut adalah sengketa tanah yang dapat diselesaikan dengan cara

mengadu kepada Kepala Kantor Pertanahan secara tertulis, melalui loket

pengaduan, kotak surat atau website Kementerian.


Penyelesaian sengketa pertanahan termasuk melalui mediasi oleh

Badan Pertanahan Nasional perlu dilandasi dengan kewenangan-

kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Hal

ini penting sebagai landasan BPN untuk menjadi mediator di dalam

penyelesaian sengketa pertanahan, oleh karena pertanahan dikuasai

aspek hukum publik dan hukum privat, tidak semua sengketa pertanahan

dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi.

Hanya sengketa pertanahan yang dalam kewenangan sepenuhnya

dari pemegang hak yang dapat diselesaikan melalui lembaga mediasi.

Oleh karena itu, kesepakatan dalam rangka penyelesaian sengketa

melalui mediasi dilakukan pembatasan-pembatasan. Hal ini dimaksudkan

agar putusan mediasi tersebut tidak melanggar hukum serta dapat

dilaksanakan secara efektif di lapangan.

Apabila adanya penyelesaian pasti dengan sendirinya ada

permasalahan yang harus diselesaikan, kasus tersebut bersumber pada

sengketa perdata yang berhubungan dengan masalah tanah, dan dalam

sengketa tersebut menyangkut pihak-pihak yaitu pihak penggugat dan

pihak tergugat.

Menurut Gunawan Hamid, dalam masalah sengketa tanah seperti

halnya dengan masalah sengketa perdata lainnya, umumnya terdapat

seorang individu yang merasa haknya di rugikan atau dilanggar oleh

seorang individu lainnya. Pada umumnya prosedur penyelesaian sengketa

tanah melalui lembaga mediasi ini dilakukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa yaitu dengan jalan menunjuk BPN sebagai seorang mediator

dan disaksikan oleh saksi-saksi.74

Penyelesaian sengketa melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa,

dengan berjalannya waktu secara implisit dimuat dalam Peraturan

Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Struktur organisasi Badan Pertanahan Nasional dibentuk satu kedeputian

yakni:

Pasal 21 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006

tentang Badan Pertanahan Nasional:

“Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan sengketa dan Konflik


Pertanahan sebagai unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi
Badan Pertanahan Nasional di bidang pengkajian dan penanganan
sengketa dan konflik pertanahan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Badan.”

Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan

Pertanahan Nasional:

“Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan sengketa dan Konflik


Pertanahan mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan
kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan
konflik pertanahan.”

74
Kepala Bagian seksi Perkara, Kanwil BPN, Wawancara dilakukan pada tanggal 2 Desember 2017
Pasal 23 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

22, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan

Konflik Pertanahan menyelenggarakan fungsi:

1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan

penanganansengketa dan konflik pertanahan;

2. Pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai

masalah, sengketa,dan konflik pertanahan;

3. Penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan

secara hukum dan non hukum;

4. Penanganan perkara pertanahan;

5. Pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan

konflikpertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan

lainnya;

6. Pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang

berkaitan dengan pertanahan;

7. Penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum

antara orang,dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.”

Pembentukan kedeputian tersebut menyiratkan dua hal. Pertama

bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah

merupakan hal yang mendesak sehingga diupayakan membentuk


kedeputian untuk penanganannya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa

tidak semua sengketa harus diselesikan melalui pengadilan.75

Badan Pertanahan Nasional selain itu pula telah menerbitkan

Petunjuk Teknis Penanganan masalah Pertanahan melalui Keputusan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun

2007,76 yang mengatur mengenai Mekanisme Pelaksanaan Mediasi,

sebagai pedoman bagi mediator yang ditunjuk oleh Kantor Pertanahan,

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia dalam menangani proses mediasi. Petunjuk teknis ini

bertujuan agar terdapat keseragaman, kesatuan pemahaman dan ataupun

standarisasi bagi mediator yang ditunjuk dalam proses mediasi.

Penyelesaian sengketa hukum yang merupakan sebagian dari

tugas-tugas yang harus dipikul Badan Pertanahan Nasional, kedeputian

bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan

dan bukan hanya sekedar kewajiban melainkan sudah merupakan

kebutuhan teknis bagi aparatnya yang memerlukan penanganan secara

sungguh-sungguh melalui cara-cara, prosedur dan pola yang konsisten.

75
Maria SW Sumardjono, 2008, Mediasi Sengketa Tanah, cet. 2, Kompas, Jakarta, hal. 7
76
Ibid.
Bagan prosedur penyelesaian Kasus Pertanahan dalam
Peraturan Menteri Agrariadan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional No.11/2016

Inisiatif dari Kementerian Pengaduan dari Masyarakat

Pengumpulan data & Analisis

Kewenangan Kementerian Bukan Kewenangan


Kementerian

Pengkajian, Pemeriksaan Mediasi (maksmal 30 hari)


Lapangan & Paparan

Sukses batal/gagal

Keputusan Perjanjian Diselesaikan


perdamaian dipengadilan
B. Analisis Proses Penyelesaian Sengketa yang dilakukan oleh

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/kantor Badan Pertanahan

Nasional terhadap Sengketa Pertanahan

Prosedur penyelesaian Sengketa tanah oleh Kantor Pertanahan

Kota Makassar menurut Muhallis Menca terdapat dalam Permen


77
ATR/BPN No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.

Dalam aturan ini dibedakan penanganan penyelesaian sengketa dan

konflik berdasarkan datangnya laporan. Pada Pasal 4 Permen Nomor 11

Tahun 2016 membedakan jenis laporan berdasarkan dua jalan, yakni

inisiatif dari kementerian dan pengaduan masyarakat. Dimana, terhadap

dua mekanisme laporan itu dibedakan masing-masing proses administrasi

dan pencatatan penanganan aduan yang masuk. Namun, mekanisme

selanjutnya tidak terdapat perbedaan setelah temuan dan aduan di-

register.

kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau

perkara pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh

Badan Pertanahan Nasional, secara garis besar dikelompokkan menjadi:78

1. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau

pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah

tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun

yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.

77
Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Kota Makassar, wawancara
Tanggal 11 Desember 2017
78
http://www.bpn.go.id/Layanan-Publik/Program/Penanganan-Kasus-Pertanahan diakses 2
desember 2017
2. Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan

mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu

pihak yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia maupun yang masih dalam proses penetapan

batas.

3. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu

yang berasal dari warisan.

4. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu

yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.

5. Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki

sertipikat hak atas tanah lebih dari satu.

6. Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai suatu bidangtanah tertentu yang telah

diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti.

7. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya

Akta Jual Beli palsu.

8. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai

kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang

diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan


Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang

salah.

9. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan

mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu

pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan

tanahnya.

10. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat,

kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan

dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur

penerbitan hak atas tanah tertentu.

Berdasarkan pengaduan tersebut, pejabat yang bertanggungjawab

dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara pada Kantor Pertanahan

melakukan kegiatan pengumpulan data, kemudian melakukan analisa

untuk mengetahui apakah pengaduan tersebut merupakan kewenangan

Kementerian atau bukan.

Jika memang masalah yang hadapi termasuk dalam kewenangan

Kementerian, maka akan dilakukan proses berikutnya yaitu penyelesaian

sengketa. Hasil dari proses penyelesaian sengketa tersebut adalah

keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri.

Terhadap suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau

diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, Prosedur

penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: 79

79
Ibid.
1. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus

a. Pengaduan disampaikan melalui Loket pengaduan.

b. Dilakukan Register terhadap pengaduan yang diterima.

c. Penyampaian informasi, digolongkan menjadi:

d. Informasi rahasia : Perlu ijin Kepala BPN RI atau Pejabat yang

ditunjuk.

e. Informasi Terbatas : Diberikan pada pihak yang memenuhi

syarat.

f. Informasi Terbuka untuk umum : Diberikan pada pihak yang

membutuhkan.

2. Pengkajian Kasus

a. Untuk mengetahui faktor penyebab.

b. Menganalisis data yang ada.

c. Menyusun suatu rekomendasi penyelesaian kasus.

3. Penanganan Kasus

a. Penanganan suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau

diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional RI

dilakukan dengan tahapan:

b. Pengolahan data pengaduan, penelitian lapangan/koordinasi

/investigasi.

c. Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita acara.

d. Analisis/Penyusunan Risalah Pengolahan Data/surat keputusan.

e. Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan kasus.


Untuk suatu kasus pertanahan tertentu yang dianggap strategis,

dilaksanakan pembentukan tim penanganan kasus potensi konflik

strategis.

4. Penyelesaian Kasus

Penyelesaian suatu kasus pertanahan dikelompokkan menjadi 2

yaitu:

a. Penyelesaian melalui jalur hukum/pengadilan.

b. Penyelesaian melalui proses mediasi.

Adapun prosedur penyelesaian sengketa pertanahan melalui

mekanisme mediasi oleh BPN dimulai adanya Pihak penggugat

melaporkan gugatannya dikantor BPN. Terhadap laporan tersebut Seksi

bagian tata usaha lalu membuat surat rekomendasi yang di tujukan

kepada seksi sengketa, konflik dan perkara guna di tanganinya

permasalahan. Kemudian Seksi sengketa, konflik dan perkara membuat

surat pemanggilan kepada para pihak yang bersengketa guna

diadakannya negosiasi. negosiasi untuk mencapai titik temu kesepakatan.

Setelah adanya kesepakatan dari para pihak untuk dilaksanakannya

penyelesaian masalah melalui lembaga mediasi maka seksi sengketa,

konflik dan perkara membuat suatu berita acara guna dilaksanakan

mediasi. Setelah dibuatnya Berita Acara maka pihak mediator dalam hal

ini adalah BPN akan mengadakan mediasi dengan kedua belah pihak

yang sedang bersengketa guna mendapatkan putusan yang saling

menguntungkan dari kedua belahpihak. Apabila kedua belah pihak yang


bersengketa sepakat dengan putusan yang diberikan oleh seorang

mediator, maka putusan tersebut akan ditindaklanjuti. Adapun

penindaklanjutan putusan tersebut dengan perbuatan-perbuatan

administrasi yaitu penyelesaian sengketa itu sendiri. Adapun fungsi dari

perjanjian perdamaian, berita acara, notulis maupun laporan tersebut

merupakan dokumen tertulis sebagai dasar pertimbangan kepala BPN

untuk merumuskan putusan penyelesaian sengketa yang diterima BPN,

sedangkan realisasi fisik maupun administrasinya yaitu perubahan data

sebagai akibat dari penyelesaian sengketa tersebut dilakukan oleh BPN.

Terhadap Putusan mediasi harus ditandatangani oleh para pihak,

mediator dan saksi-saksi.80

1. Prosedur penyelesaian sengketa tanah dilakukan berdasarkan

(Pasal 4 Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016):

a) Inisiatif dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional, atau

b) Pengaduan masyarakat.

a.1. Inisiatif Dari Kementerian

Kementerian, melalui Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah),

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil

BPN), atau Direktorat Jenderal (Ditjen), melaksanakan

pemantauan untuk mengetahui Sengketa dan Konflik yang

terjadi dalam suatu wilayah tertentu terhadap pengaduan atau

80
Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Kota Makassar, wawancara
Tanggal 11 Desember 2017
pemberitaan pada surat kabar. Selanjutnya, Kakantah

melaporkan hasil pemantauan kepada Kakanwil BPN setiap 4

(empat) bulan sekali dan ditembuskan kepada Menteri. Apabila

hasil pemantauan perlu ditindaklanjuti, Menteri atau Kakanwil

BPN memerintahkan Kakantah untuk melakukan kegiatan

penyelesaian Sengketa dan Konflik.

b.1. Pengaduan Dari Masyarakat

Dalam melaksanakan penyelesaian Sengketa atau Konflik

berdasarkan Pengaduan masyarakat, Kementerian menerima

Pengaduan terkait Sengketa dan Konflik dari masyarakat.

Pengaduan disampaikan kepada Kakantah secara tertulis

melalui loket pengaduan, kotak surat atau website Kementerian.

Dalam pengaduan disampaikan kepada Kakanwil BPN dan/atau

Kementerian, selanjutnya berkas pengaduan diteruskan kepada

Kakantah. Pengaduan paling sedikit memuat identitas pengadu

dan uraian singkat kasus. Pengaduan harus dilampiri dengan

fotokopi identitas pengadu, fotokopi identitas penerima kuasa

dan surat kuasa apabila dikuasakan, serta data pendukung atau

bukti-bukti yang terkait dengan pengaduan dan pengaduan

dibuat sesuai dengan format.

Setelah pengaduan diterima, petugas yang bertanggung

jawab dalam menangani pengaduan melakukan pemeriksaan

berkas pengaduan. Jika berkas pengaduan telah memenuhi


syarat, petugas menyampaikan berkas pengaduan kepada

pejabat yang bertanggung jawab dalam menangani sengketa,

konflik dan perkara pada kantor pertanahan. Pengaduan yang

memenuhi syarat diterima langsung melalui loket pengaduan

kepada pihak pengadu diberikan surat tanda terima pengaduan.

Dalam hal berkas tidak memenuhi syarat, maka petugas

mengembalikan berkas tersebut kepada pihak pengadu dengan

memberitahukan kekurangan berkas pengaduan secara tertulis.

Pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa,

Konflik dan Perkara pada Kantor Pertanahan,

mengadministrasikan pengaduan dimaksud ke dalam Register

Penerimaan Pengaduan. Setiap perkembangan penyelesaian

Sengketa, Konflik dan Perkara dicatat dalam Register

Penyelesaian Sengketa, Konflik dan Perkara dengan

melampirkan bukti perkembangan dimaksud dan/atau dilakukan

pengadministrasian data melalui sistem informasi Sengketa,

Konflik dan Perkara. Perkembangan penyelesaian Sengketa,

Konflik dan Perkara dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah

BPN setiap 4 (empat) bulan sekali dan ditembuskan kepada

Menteri. Sistem informasi terintegrasi antara Kementerian,

Kantor Wilayah BPN dan Kantor Pertanahan.


2. Pengumpulan Data dan Analisis

Setelah petugas menerima pengaduan, pejabat yang

bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara pada

Kantor Pertanahan melakukan kegiatan pengumpulan datadan data yang

dikumpulkan dapat berupa:

1) Data fisik dan data yuridis;

2) Putusan peradilan, berita acara pemeriksaan dari Kepolisian

Negara RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi atau

dokumen lainnya yang dikeluarkan oleh lembaga/instansi penegak

hukum;

3) Data yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pejabat yang

berwenang;

4) Data lainnya yang terkait dan dapat mempengaruhi serta

memperjelas duduk persoalan Sengketa dan Konflik; dan/atau

5) Keterangan saksi.

Tahap selanjutnya, petugas melakukan analisis. Analisis dilakukan

untuk mengetahui pengaduan tersebut merupakan kewenangan

Kementerian atau bukan kewenangan Kementerian. Apabila petugas

menemukan bahwa Sengketa atau Konflik tersebut merupakan

kewenangan Kementerian, maka petugas memberikan laporan hasil

pengumpulan data dan analisis kepada Kakantah. Sengketa dan Konflik

pertanahan yang merupakan kewenangan Kementerian meliputi:


a Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau

perhitungan luas;

b Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan

dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;

c Kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran

hak tanah;

d Kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar;

e Tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu

alas haknya jelas terdapat kesalahan;

f Kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran

tanah;

g Kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti;

h Kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan;

i Kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin;

j Penyalahgunaan pemanfaatan ruang; atau

k Kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan

Selain sengketa dan konflik tersebut, maka bukan merupakan

kewenangan Kementerian dan menjadi kewenangan instansi lain. Dalam

hal sengketa dan konflik yang merupakan kewenangan Kementrian,

pejabat yang bertanggung jawab dalam menangani sengketa, konflik, dan

perkara melaporkan hasil pengumpulan data dan hasil analisis kepada

Kepala Kantor Pertanahan. Selanjutnya, dalam hal sengketa dan konflik

yang bukan merupakan kewenangan Kementerian, maka pejabat yang


bertanggung jawab dalam menangani sengketa, konflik dan perkara

menyampaikan penjelasan secara tertulis kepada pihak pengadu.

3. Penyelesaian Sengketa dan Konflik Yang Merupakan Kewenangan

Kementerian

Pada Pasal 17 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Jika

memang sengketa tersebut termasuk dalam kewenangan Kementerian,

maka akan dilakukan proses berikutnya yaitu penyelesaian sengketa.

Dalam menangani sengketa ini, akan dilakukan pengkajian terhadap:

1 Kronologi Sengketa atau Konflik dan;

2 Data yuridis, data fisik, dan data pendukung lainnya.

Dalam melaksanakan pengkajian, dilakukan pemeriksaan

lapangan, Kegiatan pemeriksaan lapangan tersebut meliputi:

a Penelitian atas kesesuaian data dengan kondisi lapangan;

b Pencarian keterangan dari saksi-saksi dan/atau pihak-pihak yang

terkait;

c Penelitian batas bidang tanah, gambar ukur, peta bidang tanah,

gambar situasi/surat ukur, peta rencana tata ruang; dan/atau

d Kegiatan lainnya yang diperlukan

Berikutnya, Pejabat yang bertanggung jawab dalam menangani

Penyelesaian Sengketa dan Konflik membuat Laporan Penyelesaian

Kasus Pertanahan. Laporan Penyelesaian Kasus Pertanahan merupakan

satu kesatuan dengan Berkas Penyelesaian Sengketa dan Konflik yang


dimulai dari Pengaduan, Pengumpulan data, Analisis, Pengkajian,

Pemeriksaan Lapangan, dan Paparan.

Setelah menerima Laporan Penyelesaian Sengketa dan Konflik,

Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri menyelesaikan Sengketa dan

Konflik dengan menerbitkan:

a. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah; (Pasal 24 ayat (2));

b. Keputusan Pembatalan Sertifikat; (Pasal 24 ayat (3));

c. Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku

Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya; (Pasal 24 ayat (4) atau;

d. Surat Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi.

Pada Pasal 24 ayat (7) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016,

menjelaskan dalam hal di atas satu bidang tanah terdapat tumpang tindih

sertifikat hak atas tanah, Menteri atau Kepala Kantor Wilayah BPN sesuai

kewenangannya menerbitkan Keputusan pembatalan sertifikat yang

tumpang tindih, sehingga di atas bidang tanah tersebut hanya ada 1 (satu)

sertifikat hak atas tanah yang sah. Dalam hal penyelesaian Sengketa dan

Konflik berupa penerbitan Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah atau

Keputusan Pembatalan Sertifikat, pelaksanaannya dilakukan sesuai

dengan kewenangan pembatalan.

Perlu diketahui dalam Pasal 26 ayat (3) Permen ATR/BPN No.11

Tahun 2016, menerangkan bahwa penerbitan keputusan pembatalan hak

atas tanah maupun sertifikat tidak berarti menghilangkan/menimbulkan

hak atas tanah atau hak keperdataan lainnya kepada para pihak.
Setelah pemberitahuan atau pengumuman, Kepala Kantor

Pertanahan memerintahkan pejabat yang berwenang menindak lanjuti

keputusan sebagai berikut (Pasal 29) :

1) Dalam hal Keputusan berupa pembatalan hak atas tanah: pejabat

yang berwenang melakukan pencatatan mengenai hapusnya

keputusan pemberian hak, sertifikat, surat ukur, buku tanah dan

Daftar Umum lainnya, pada Sertifikat hak atas tanah, Buku Tanah

dan Daftar Umum lainnya.

2) Dalam hal Keputusan berupa pembatalan sertifikat: pejabat yang

berwenang melakukan pencatatan mengenai hapusnya hak pada

Sertifikat, Buku Tanah dan Daftar Umum lainnya.

3) Dalam hal Keputusan berupa perubahan data: pejabat yang

berwenang melakukan perbaikan pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku

Tanah atau Daftar Umum lainnya. Setelah dilakukan perbaikan,

sertifikat diberikan kembali kepada pemegang hak atau diterbitkan

sertifikat pengganti.

4. Penyelesaian Sengketa dan Konflik Yang Bukan Merupakan

Kewenangan Kementerian

Pada Pasal 37 ayat (1) Permen ATR/BPN No. 11 Tahun 2016, Jika

ternyata sengketa tanah yang terjadi termasuk sengketa yang merupakan

kewenangan Kementerian, penyelesaian sengketa dapat dilakukan

melalui mediasi.
Apabila salah satu pihak menolak untuk dilakukan Mediasi maka

penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Hardy menjelaskan bahwa masalah sengketa selesai atau tidak

selesainya tergantung kepada para pihak yang bersengketa, apakah mau

diselesaikan dengan bantuan BPN untuk mengajukan permohonan

mediasi yang selanjutnya bantuan tersebut akan ditindak lanjuti oleh

Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar, apabila mediasi tidak

mencapai kata sepakat maka Kantor BPN akan merekomendasikan

kejalur hukum. Perjanjian Perdamaian hasil dari mediasi melalui BPN

selaku Mediator tidak serta merta bisa menjadi seperti mediator

dipengadilan, putusan dipengadilan ini merupakan putusan yang inkrah

dan mengikat para pihak, dalam Pasal 41 yang intinya menjelaskan

bahwa dalam hal mediasi menemukan kesepakatan, dibuat Perjanjian

Perdamaian yang didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri

setempat sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan di

BPN sendiri tidak demikian akan tetapi sifatnya tetap perjanjian, yang

mana perjanjian penyelesian sengketa tersebut telah dibuat maka

sepanjangnya tidak muncul masalah lagi. 81

Perjanjian penyelesaian sengketa tanah yang diselesaikan oleh

Kantor Badan Pertanahan Nasional dibuat dengan isi konsep Perjanjian

penyelesaian sengketa tanah yang diselesaikan oleh Kantor Badan

81
Staf bagian Seksi Sengketa Konflik dan Perkara Kantor Pertanahan Kota Makassar, wawancara
Tanggal 11 Desember 2017
Pertanahan Nasional dibuat dengan isi konsep perjanjiannya tergantung

kepada para pihak yang bersengketa ingin seperti apa, setelah dibuat

maka oleh BPN akan dituangkan ke dalam perjanjian penyelesaian

sengketa dan apabila kedua belah pihak telah setuju dengan

perjanjiannya, selanjutnya para pihak menandatangani perjanjian yang

dibuat untuk menyelesaikan sengketa.

Menurut data yang diperoleh di Kantor Pertanahan Kota Makassar,

kebanyakkan para pihak khususnya pihak teradu tidak bersedia dimediasi

sehingga BPN Kota Makassar merekomendasikan menempuh jalur

hukum.

Tabel

Laporan penanganan sengketa dan konflik


Kantor Pertanahan kota Makassar tahun 2017

Tahun Sengketa Perkara

JLH Proses Selesai JLH PDT TUN SLSI BDG Kasasi

2016 38 31 7 67 45 13 0 4 5

2017 26 15 11 24 14 16 0 3 1

Sumber: Data Primer

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa kasus sengketa dan perkara

pertanahan di kota Makassar, peneliti mengelompokkan jawaban dan

membuat dalam bentuk tabulasi, hasil dari informan tersebut dapat

diketahui bahwa kasus pertanahan ditahun 2016 dengan jumlah sengketa

sebanyak 38 (tiga puluh delapan) kasus, dimana yang masih berproses

sebanyak 31 (tiga puluh satu) dan selesai sebanyak 7 (tujuh) sedangkan


jumlah perkara 67 (enam puluh tujuh), kasus yang masuk ke perdata

sebanyak 45 (empat puluh lima), untuk TUN sebanyak 13 (tiga belas),

banding sebanyak 4 (empat) dan upaya kasasi berjumlah 5 (lima).

Selanjutnya, untuk tahun 2017 menunjukkan bahwa kasus pertanahan di

kota Makassar dengan jumlah sengketa 26 (dua puluh enam), dimana

yang masih berproses sebanyak 15 (lima belas) dan selesai sebanyak 11

(sebelas). Untuk gelar perkara sendiri mempunyai jumlah sebanyak 24

(dua puluh empat) kasus pertanahan, dimana yang masuk ke perdata

sebanyak 14 (empat belas) kasus, ke TUN sebanyak 16 (enam belas),

yang melakukan banding sebanyak 3 (tiga) kasus dan kasasi hanya 1

(satu). Dilihat dari tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk kasus

perkara pertanahan tidak ada yang sampai ke proses selesai, semuanya

masih berproses di Pengadilan.

Salah satu penanganan sengketa dan konflik kasus tanah melalui

mediasi adalah pada 10 Februari 2016 pihak pelapor adalah Djamaluddin,

pihatk terlapor adalah PT. ASINDO INDAH GRIYATAMA, Tbk. Dalam

SHGB No.2394 tercatat atas nama PT. GRIYATAMA ASINDOINDAH

terletak di Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakkukang Kota Makassar.

Dalam kasus ini, menindaklanjuti surat Djamaluddin Tanggal 10 Februari

perihal permohonan mediasi dengan PT. ASINDOH INDAHGRIYATAMA

yang mengajukan keberatan atas penguasaan dan kepemilikan. Atas

inisiatif dari pihak Kantor Pertanahan kota Makassar, maka penyelesaian


sengketa tersebut diselesaikan melalui jalur mediasi dengan Kantor

Pertanahan kota Makassar selaku mediator.

Berdasarkan hasil penelitian, terhadap penguasaan dan

kepemilikan hak atas tanah, Kepala Kantor Pertanahan meneliti

kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik serta memeriksa

kelayakan permohonan tersebut sebelum proses lebih lanjut sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, penyelesaian sengketa dan konflik pada tahap BPN

tidak dapat melanjutkan ke tahap mediasi maka dilakukan dengan cara

menempuh jalur hukum. Yang mana pada tanggal 14 november 2017

para pihak yang menjadi pelapor adalah Drs. R. Bambang Soewarjo dan

pihak terlapor adalah Drs. H. A. Amran S. dalam sertipikat HGB

No.1/Tamalanrea dan sertipikat HGB No.2/Tamalanrea, keluarahan

Tamalanrea, kecamatan tamalanrea kota Makassar, masing-masing

tercatat atas nama Yayasan Karya (Jaya). Dalam kasus ini

menindaklanjuti permohonan pembaruan hak yang dimohon oleh saudara

Drs. R. Bambang Soewarjo selaku pendiri/penguru Yayasan Karya

Makassar pada tanggal 14 November 2017 terhadap masing-masing

sertipikat HGB No.1/ Tamalanrea dan sertipikat HGB No.2/Tamalanrea,

masing-masing tercatat atas nama Yayasan Karya (Jaya). Dalam

sengketa yang dihadapi oleh para pihak, penyelesaian sengketa tidaklah

selalu harus dilakukan di pengadilan akan tetapi bisa dilakukan sendiri

diantara mereka menurut dasar musyawarah dan mufakat, serta yang


terpenting adalah adanya rasa kekeluargaan, karena cara ini tidak

merusak hubungan kekerabatan diantaranya. Akan tetapi apabila didalam

musyawarah untuk mencapai mufakat tersebut mengalami kegagalan,

maka biasanya mereka membawa persoalan tersebut kekelurahan atau

kekantor pertanahan, dalam hal ini kepala desa atau Kepala Kantor

Pertanahan yang membantu penyelesaian, dalam hal ini mereka hanya

berperan sebagai penengah atau sering disebut dengan seorang

mediator.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Peran Kantor Badan Pertanahan Nasioanl dalam Menyelesaiakan

Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi sesuai dengan Peraturan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan di Kota Makassar masih belum efektif karena masih

banyaknya kasus-kasus pertanahan yang belum diselesaikan

secara mediasi dikantor Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/Badan Pertanahan Nasional khususnya di kota Makassar.

2. Analisis Proses Penyelesaian Sengketa yang dilakukan oleh kantor

Badan Pertanahan Nasional terhadap Sengketa Pertanahan

Prosedur penyelesaian Sengketa tanah oleh Kantor Pertanahan

Kota Makassar semuanya sudah dijelaskan dalam Permen

ATR/BPN No.11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus

Pertanahan. Dalam aturan ini dibedakan penanganan penyelesaian

sengketa dan konflik berdasarkan datangnya laporan. Jenis laporan

berdasarkan dua jalan, yakni inisiatif dari kementerian dan

pengaduan masyarakat. Dimana, terhadap dua mekanisme laporan

itu dibedakan masing-masing proses administrasi dan pencatatan

penanganan aduan yang masuk. Namun, mekanisme selanjutnya

tidak terdapat perbedaan setelah temuan dan aduan di-register.


B. Saran

1. Secara prinsip bentuk penyelesaian sengketa dengan

menggunakan lembaga mediasi adalah merupakan terjemahan dari

Karakter budaya bangsa Indonesia yang selalu mengedepankan

semangat kooperatif. Semangat Kooperatif sudah mengakar

sehingga nuansa musyawarah selalu dihadirkan dalam setiap

upaya menyelesaikan setiap sengketa dalam masyarakat melalui

upaya musyawarah untuk mencapai mufakat. Adapun saran yang

dapat diberikan adalah:

a. Sebagai seorang mediator, BPN tentunya mempunyai peran

yang penting dalam memaksimalkan lembaga mediasi sebagai

tempat penyelesaian sengketa;

b. Bertindak sebagai seorang Mediator atau penengah dalam

penyelesaian masalah hendaknya dapat berperan dengan baik

dan tidak memihak salah satu pihak;

c. Memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat agar

dapat melaksanakan mediasi dengan baik

2. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar sebagai

pelaksana untuk penyelesaian sengketa tanah harus lebih

memperkenalkan adanya proses penyelesaian sengketa tanah

melalui mediasi dilingkungan masyarakat karena semangat

berbudaya dan kebangsaan sudah mengakar didalam sifat kita

sehingga nuansa musyawarah selalu dihadirkan dalam setiap


upaya untuk menyelesaikansetiap sengketa apapun dalam

masyarakat melalui upaya musyawarah untuk mencapai kata

mufakat dan untuk Kasubsi sengketa dan konflik di BPN Kota

Makassar sebagai mediator harus lebih meningkatkan kinerjanya

sebagai mediator yang adil serta tidak memihak.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abbas, Syahrizal. 2009. Mediasi Dalam Presfektif Hukum Syariah, Hukum


Adat, dan Hukum Nasional. Kencana, Jakarta.

Abdurrahman, 1996, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah,


Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.

Abdulkadir Muhamad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Ade Saptomo, 2010, Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat
Nusantara, Grasindo, Jakarta.

Achmad Santosa, 1995, Pendayagunakan Mekanisme Alternatif


Penyelesaian Sengketa d Bidang Lingkungan di Indonesia, Jakarta.

Alfian, 1978, Pemikiaran dan Perubahan Politik Indonesia, Gramedia,


Jakarta.

Aminuddin Salle dan M.G. Ohorella, 1995, Penyelesaian Sengketa Melalui


Arbitrase pada Masyarakat di Pedesaan di Sulawesi Selatan,
Ghalia Indonesia: dalam Seri Dasar-dasar Ekonomi 2: Arbitrase di
Indonesia, Jakarta.

Amriani, Nurnaningsih. 2011. Mediasi Altenatif Penyelesaian Sengketa


Perdata di Pengadilan. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Ateng Syafruddin, 2000, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Di Daerah,


Citra Aditya Bakti, Bandung.

C.S.T. Kansil, 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia
Balai Pustaka, Jakarta.

Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan


Pelaksanaannya, Alumni, Bandung.

Bambang Waluyo. 1996. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika,


Jakarta.
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia – Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid 1,
Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.

Chomzah, Ali Achmad, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian


Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV
Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, Prestasi Pustaka, Jakarta.

Gary Goodpaster, 1995, Tinjauan terhadap penyelesaian Sengketa dalam


Seri Dasar-dasar Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia, Ghalia
Indonesia, Jakarta.

______________, 1993, Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman


Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, ELIPS
Project, Jakarta.

Halim HS, Erlies Septiana Nurbani, 2014 Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Hanitijo Soemitro, 1988, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia


Indonesia, Jakarta.

I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis dan


Historis, Press: cet. ke-1, Jawa Timur Setara.

Jamil Anshari, 2003, Mengungkap Permasalahan Pertanahan di Propinsi


Sumatera Utara, Makalah pada Kuliah Bedah Kasus Hukum pada
Fakultas Hukum UNPAB, Medan.

Joko Subagyo, 2006, Metode penelitian Dalam Teori dan Praktek¸


Cetakan Kelima, Rineka Cipta, Jakarta.

John.M. Echlos dan Hasan Shadily, 1996, Kamus Inggris Indonesia dan
Indonesia Inggris, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1982, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan,


Gramedia, Jakarta.

M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Cet. 8, Sinar Grafika,


Jakarta.

Maidin Gultom, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem


Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama: cet. ke-1,
Bandung.
Maria SW Sumardjono, 2008, Mediasi Sengketa Tanah, cet. 2, Kompas,
Jakarta.

Marbun, S. F. 2001, Dimensi-dimensi pemikiran hukum administrasi


Negara, UII Press, Yogyakarta.

Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta

Muhammad Yamin Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, CV Mandar


Maju, Bandung.

____________________, 2003, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum


Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan.

Munir Fuady, 2003, Arbitrase Nasional, Alternative Penyelesaian


Sengketa Bisnis, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar


Pengadilan, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum atas Tanah,


Alumni, Jakarta.

_____________, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah,


Mandar Maju, Jakarta.

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Rajagrafindo


Persada, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 2000, Pembangunan Hukum di Indonesia Dalam


Konteks Situasi Global, dikutip dari Problema Globalisasi
Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama,
Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Sukarno Aburaera, dkk, 2013, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Kencana:
cet. ke-1, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

____________,1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV.


Ramadja Karya, Bandung.
_____________, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.
_____________, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung.
Soetrisno Hadi, 1985, Metodologi Reseacrh Jilid II, Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.

Soedharyo Soimin, 1993, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar


Grafika, Jakarta.

Sudarsono, 2002, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, Penerbit Rineka Cipta.


Jakarta.

Susanti Adi Nugroho, 2009, Mediasi sebagai alternatif penyelesaian


sengketa, Prenada, Jakarta.

Suyud Margono, 2004, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase :


proses pelembagaan dan Aspek Hukum cet ke 2, Ghalia
Indonesia, Bogor.

Sri Hajati, Agus Sekarmadji, Sri Winarsi, 2013, Jurnal, Model


Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Mediasi Dalam
Mewujudkan Penyelesaian yang Efisien dan Berkepastian Hukum,
Universitas Airlangga, Surabaya.

Takdir Rahmadi, 2011. Mediasi: Penye lesaian sengketa melalui


pendekatan mufakat. PT RajaGrafindo Persada Jakarta.

Wantjik Saleh, K., 1985, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta.

b. Peraturan Perundang-Undangan

Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan


Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang


Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan


Nasional.
Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 2015 tentang Badan Pertanahan
Nasional.

c. Website

Asas Pertanahan. (2017, 1). Diambil kembali dari


http://dikyaprianto0.blogspot.co.id/2015/10/asas-pertanahan-fungsi-
sosial-dan.html.

Badan Pertanahan Nasional. (2016, 12). Diambil kembali dari


Http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Peraturan-
Menteri-ATR-Kepala-BPN/peraturan-menteri-agraria-dan-tata-
ruangkepala-badan-pertanahan-nasional-nomor-7-Tahun-2016-
62039.

Data Sekunder dan Data Primer. (2016, 12). Diambil kembali dari
Https://nagabiru86.wordpress.com/2009/06/12/data-sekunder-dan-
data-primer/ .

David Spencer, Michael Brogan, 2006:3.sebagaimana dikutip oleh Muslih


MZ dalam Mediasi : Pengantar Teori Dan Praktek,
www.hukumonline.com, online internet tanggal 5 Desember 2009.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1990.

Penanganan Kasus Pertanahan. (2017, 3). Diambil kembali dari


http://www.bpn.go.id/Layanan-Publik/Program/Penanganan-Kasus-
Pertanahan.

Pendaftaran dan Peralihan hak atas tanah. (2017, 2). Diambil kembali dari
http://roufibnumuthi.blogspot.co.id/2012/09/pendaftaran-dan-
peralihan-hak-atas-tanah.html.

Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. (2016, 12). Diambil kembali dari


Https://readwansyah.wordpress.com/2010/10/09/penelitian-
kuantitatif-dan-kualitatif/ .

Penyelesaian Sengketa Tanah. (2016, 12). Diambil kembali dari


http://thesis-hukum.blogspot.co.id/2015/02/penyelesaian-sengketa-
tanah-dan.html.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, Jakarta.

http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam
keadilan.html, akses pada 18 Januari 2018.

https://id.wikipedia.org/wiki/Internet diakses pada tanggal 15-01-2-18

Anda mungkin juga menyukai