Anda di halaman 1dari 6

Nama: Eunike Vonike Laure

Tingkat: III B
SP Etika Profesi dan Hukum Kesehatan.

Masing-masing mahasiswa mencari 3 gambar di Media Cetak, Media Sosial dan Media Internet
tentang pelanggaran Etik yang dilakukan oleh tenaga Terapis Gigi dan Mulut:
1. Cari permasalahan etik pada kasus tersebut
2. Lakukan analisis tentang permasalahan tersebut
3. Memberikan solusi untuk menyelesiakan permasalah etik, menurut pendapat masing-
masing mahasiswa

Jawab:

1. Kasus Pencabutan Gigi yang Dilakukan Tanpa Persetujuan

NOVI, 9 tahun, berangsur-angsur sembuh. Mulutnya yang mencong mulai kembali ke posisi

semula. Kelopak matanya yang terbuka sedikit ketika tidur sudah bisa mengatup. Sebelumnya

membelalak terus. Tapi Machfud, orangtua Novi, tetap mengajukan tuntutan. Kasus ini pekan

lalu dilaporkan ke Polres Cianjur, Jawa Barat. Menurut ayahnya yang pegawai PLN Cianjur itu,

Novi mengalami gangguan saraf setelah giginya dicabut. Peristiwanya terjadi November tahun

silam. Ketika itu 27 dokter gigi yang baru lulus dari Universitas Trisakti, Jakarta, mengadakan

aksi sosial di Cianjur. Seminggu mereka buka praktek memeriksa gigi cuma-cuma di Balai Desa

Cibeber. Termasuk anak yang terpikat memeriksakan giginya adalah Novi, pelajar SD Negeri

Hanjawar, Cibeber. Atas inisiatifnya sendiri, hari itu Novi datang tidak bersama orangtuanya —

dan inilah yang kemudian menimbulkan masalah. Menurut Ida Sofiah, Kepala SD Hanjawar,

Novi bukan satu satunya pelajar yang tertarik. “Mereka mau memeriksakan giginya karena
dijanjikan ada hadiah, pasta dan sikat gigi. Namanya juga anak-anak, mereka tertarik pada

hadiah gratis itu,” kata Ida.

Dalam pemeriksaan, para dokter gigi muda itu menemukan, pada rahang bawah, salah satu gigi

susu Novi sudah goyah. Selain membersihkan giginya yang kebanyakan keropos, mereka

sekaligus mencabut gigi yang goyang tadi. Sesudah itu, tidak ada peristiwa luar biasa. Dua hari

setelah pencabutan giginya, muncullah keluhan Novi. Dan yang mengejutkan orangtuanya,

bibirnya kemudian mencong. Bahkan kelopak matanya tak bisa ditutup walaupun ketika tidur.

Lalu Novi dibawa berobat pada dr. Arief di poliklinik PLN. Setelah memeriksanya, dokter ini

menganjurkan agar Novi dibawa ke RS Hasan Sadikin Bandung untuk menjalani fisioterapi.

Anak itu, menurut Arief, mengalami kontraksi otot. Dalam perawatan di RS Hasan Sadikin, tiga

kali seminggu Novi mendapat pengurutan dan latihan fisioterapi. Kata dokter yang tak mau

disebut namanya yang merawatnya di sana, Novi mengalami trauma. Cuma tak ada keterangan

rinci jenis trauma apa, bahkan apakah itu berasal dari gigi yang dicabut. Perawatan sampai dua

bulan.

Bulan ketiga ayah Novi menghentikan perawatan anaknya. “Kami kehabisan dana. Perawatan

sudah menghabiskan Rp 750 ribu,” kata Machfud. Dan muncul pula penyesalannya: mengapa

pihak Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Trisakti lepas tangan. “Jangankan memberi

bantuan, menengok anak saya pun tidak,” katanya. Menurut Machfud, pada 22 Februari ia hanya

menerima surat dari drg. Hamilah D. Koesoemahardja, Dekan FKG Trisakti. Dalam surat itu,

Hamilah menolak perkiraan bahwa gangguan saraf yang diderita Novi berpangkal dari

pencabutan giginya. “Kesimpulan kami ini tidak terdapat kaitan antara pencabutan gigi susu itu

dan kelainan pada mulut dan mata Novi,” tulis Hamilah. Juga dijelaskan oleh Hamilah, pada
Februari telah diadakan pertemuan untuk membahas kasus Novi. Pertemuan dihadiri aparat

Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, dr. Arief, serta pihak FKG Trisakti. Dalam pertemuan

tersebut dr. Arief mengutarakan hasil pemeriksaannya, yang menunjukkan pada bekas gigi yang

dicabut itu telah tumbuh gigi baru. Dan di bagian itu juga tak terdapat pembengkakan. Karena

itu, Hamilah menyimpulkan, pencabutan gigi tidak menimbulkan kelainan. Sewaktu dihubungi

wartawan TEMPO, pihak FKG Trisakti menampik memberi keterangan resmi. Mereka, kata

seorang pejabat di sana, memilih bersikap diam. “Baik secara teknis maupun medis, kami tidak

melakukan kesalahan,” kata seorang pengajar yang menolak namanya disebut. “Dan para dokter

yang melakukan aksi sosial itu bisa dipertanggungjawabkan kemampuan profesionalnya. Mereka

bukan mahasiswa.” Dari keterangan yang digali, kemudian terungkap, sebelum dan sesudah

pertemuan FKG Trisakti dengan aparat Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, sebenarnya pihak

FKG Trisakti sudah berusaha mendatangi keluarga Machfud. Ikhtiar ini dicegah oleh aparat

Pemda Cianjur, yang mengatakan “akan membereskan” persoalan tersebut. “Karena itu, kami

merasa sudah tidak ada masalah lagi,” ujar sebuah sumber. Ada masalah atau tidak, sering

terdengar bahwa pencabutan gigi bisa menimbulkan gangguan saraf dan kerusakannya permanen

— seperti mulut mencong. “Dalam literatur memang ada,” kata drg. Ayu Astuti, ahli bedah

rahang RS Hasan Sadikin. Akibatnya juga bisa berlangsung lama. Hanya, peristiwa semacam ini

jarang terjadi. “Selama berpraktek, saya belum pernah menemukan kasus semacam itu,” ujar

Astuti. Kemungkinan penyebab terjadinya gangguan saraf, tambah Astuti, adalah kesalahan

menyuntik ketika melakukan pengebalan. Atau saat pencabutan dilakukan ada saraf yang

terkena. Dan gangguan ini lazim terjadi langsung setelah penyuntikan atau pencabutan. Dari segi

medis, memang banyak yang masih harus diperdebatkan. Sedangkan menurut Machfud,

“Masalahnya bukan cuma itu saja.” Tuntutannya juga didasarkan karena gigi anaknya dicabut
tanpa meminta izin padanya. “Izin itu memang diperlukan,” kata dr. Budi Sayuto, wakil direktur

pelayanan medik RS Hasan Sadikin. Karena pencabutan itu termasuk tindakan invasif, orangtua

Novi perlu mendapat penjelasan tentang akibatnya. Setelah menerima penjelasan, orangtuanya

harus memberikan persetujuan dengan menandatangani surat pernyataan. Ini prosedur resminya.

“Tapi kalau pencabutan gigi tidak diperlukan izin tertulis,” kata Budi Sayuto.

2. Malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan profesinya sesuai

dengan standar profesi tertinggi.

Gas Medik yang Tertukar

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya,

sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter

anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).

Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan

setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak

sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan

mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum

dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.

Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi

(N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2.

Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu

mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat

terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan

sederhana namun berakibat fatal.


Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di

rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di

mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana

caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan

bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas,

dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani.

Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan.

Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.

Dalam kasus ini jelas terjadi melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditinjau

dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI), tindakan tersebut juga

dapat menjadi bentuk malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan profesinya

sesuai dengan standar profesi tertinggi.

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya

melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang

dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai

dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan

bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.

Artinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan

kebahagiaan manusia.

3. Pelanggaran Etika Kedokteran Gigi

Seorang ibu membawa anaknya berusia 2 tahun dengan keluhan kedua gigi insicivus mandibula

patah dan mengalami perdarahan yang tak kunjung henti. Karena tidak sabar melihat pasien yang
tak kunjung berhenti menganis, drg. Rina akhirnya memberikan surat rujukan rontgen fhoto

dengan alasan pasien belum bisa ditangani. Ibu pasien akhirnya merasa kecewa.

Fraktur pada gigi anak di defenisikan sebagai suatu kejadian yang tidak terduga atau suatu

penyebab sakit karena kontak yang keras dengan suatu benda. Tingkah laku psikis anak yang

sangat aktif dapat menyebabkan fraktur pada gigi terutama pada gigi anterior. Fraktur pada gigi

anak sering terjadi karena sensor motorik anak sedang bertumbuh pesat sehingga sering

melakukan gerakan yang tidak terduga.

Tindakan preventif yang harus dilakukan adalah tetap membersihkan gigi tersebut dengan

perlahan-lahan, walaupun anak pasti akan mengeluh sakit. Hal ini dilakukan untuk

meminimalkan infeksi. Jika anak terlihat bersedia atau menerima perawatan dokter gigi

selanjutnya, maka dokter gigi akan melakukan perawatan dengan melakukan devitalisasi pada

gigi tersebut (membuat gigi tersebut mati) sehingga kemungkinan infeksi dan keluhan sakit akan

sangat berkurang. Sisa gigi tersebut kemungkinan besar akan tetap digantikan oleh gigi

permanen, selama gigi permanen tidak mengalami trauma akibat rusaknya gigi desidui.

Namun, dalam kasus ini dokter gigi di anggap telah lalai dan melanggar etika kedokteran gigi

karena tidak memberikan perawatan maupun pengobatan pada anak melainkan memberikan surat

rujukan untuk dilakukan rontgen fhoto. Para dokter gigi mutlak harus mengutamakan

kepentingan masyarakat yang membutuhkan pertolongan, terutama saat mereka menghadapi

persoalan gigi ataupun rongga mulut.

Anda mungkin juga menyukai