Anda di halaman 1dari 23

NAMA : MUHAMMAD AZIS

NIM : 43219010090
QUIZ 7 SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN

A. Gambaran Umum Objek Penelitian

1. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Tahun 2008,


2011, 2015 dan 2017
Populasi dalam penelitian ini adalah laporan keuangan pemerintah
daerah tahun anggaran 2008, 2011, 2015 dan 2017 yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berdasarkan Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2004 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa
Neraca Daerah, Laporan Realisasin Anggaran, Laporan Arus Kas serta
Catatan atas Laporan Keuangan yang telah disusun oleh pemerintah
daerah sebagai bentuk pertanggung jawaban Pemerintah Daerah selama
satu tahun anggaran sebagimana diamanatkan dalam Undang-undang
Nomor 33 Tahun2004.
Hasil pemeriksaan keuangan BPK disajikan dalam tiga kategori
yaitu opini, SPI, dan pelanggaran terhadap kepatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan. Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam LHP
(Laporan Hasil Pemeriksaan) dan dinyatakan dalam sejumlah temuan.
Setiap temuan dapat terdiri atas satu atau lebih permasalahan kelemahan
SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang
mengakibatkan kerugian negara/ daerah, potensi kerugian negara/daerah,
kekurangan penerimaan, penyimpangan administrasi, ketidakhematan,
dan ketidakefektifan. Setiap permasalahan merupakan bagian dari
temuan dan di dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) ini
disebut dengan istilah “kasus”. Namun, istilah kasus di sini tidak selalu
berimplikasi hukum atau berdampak finansial.
Untuk mewujudkan syarat penyusunan Laporan Keuangan
Pemerintah yang baik dan mematuhi prinsip transparansi dan
akuntabilitas, maka Pemerintah telah melakukan berbagai pembaharuan
dan regulasi dibidang keuangan yang secara Nasional telah diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) pasal 4 ayat (1) Pemerintah
menerapkan SAP Berbasis Akrual, lebih lanjut diatur dalam Pasal 7 ayat
(1) penerapan SAP berbasis akrual. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal

4 ayat (1) dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP


berbasis kas menuju akrual menjadi penerapan SAP berbasis akrual.
Penelitian ini menggunakan data selama empat tahun pada tahun
anggaran 2008, 2010, 2015 dan 2017. Penggunaan periode tersebut
karena memberikan data yang tersedia dan dapat memberikan gambaran
pelksanaan secara bertahap dari peraturan pemerintah Nomor 17 tahun
2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang dilaksanakan
secara bertahap dari penerapan SAP berbasis kas menuju akrual menjadi
penerapan SAP berbasis akrual.
Tabel 4.1 menjadikan tahapan seleksi sampel berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan
Tabel 4.1
Tahapan Seleksi Sampel dengan Kriteria

Jumlah Kabupaten
Proses Pengambilan Sampel
dan Kota
Jumlah Pemda tingkat kabupaten/kota di
495
Indonesia
Kota dan kabupaten yang memiliki Indeks
50
Persepsi Korupsi
Sampel kabupaten dan kota di Indonesia yang
memiliki IPK selama tahun 2008 – 2017, serta 11
data tersedia lengkap dari BPK dan BPS
Jumlah pengamatan (tahun) 4
Jumlah sampel yang di observasi 44
Sumber: data diolah, 2018

Jumlah Pemda tingkat kabupaten/kota yang ada di Indonesia selama


periode penelitian berjumlah 495 Pemda. Dari 495 Pemda tersebut
terdapat XX LKPD yang tidak memuat selama periode penelitian.
Sehingga Pemda yang dijadikan sampel adalah sebanyak xxx Pemda.
Sedangkan total yang dijadikan sampel penelitian adalah 11 Pemda
dikalikan 4 tahun pengamatan, sehingga sampel penelitian berjumlah 44.

2. Data Korupsi Kabupaten Kota

Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002


tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi
amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif,
dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat
independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas
dari kekuasaan manapun.
Tabel 4.2
Nilai Indeks Persepsi Korupsi 11 Kabupaten/Kota tahun 2008,
2010, 2015 dan 2017

Tahun
No Kota
2008 2010 2015 2017
1 BANJARMASIN 51 52 68 64
2 SURABAYA 43 51 65 61
3 SEMARANG 46 50 60 59
4 PONTIANAK 38 45 58 67
5 MEDAN 38 42 57 37
6 JAKARTA 41 44 57 74
7 MANADO 40 54 55 63
8 PADANG 46 50 50 63
9 MAKASSAR 47 40 48 53
10 PEKANBARU 36 36 42 66
11 BANDUNG 37 50 39 58
Sumber: data diolah, 2018

3. Statistik Deskriptif

Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif diperoleh sebanyak 44 data


observasi yang berasal dari perkalian periode penelitian 4 tahun (2008,
2011, 2015 dan 2017) dengan jumlah kabupaten/kota (11 kabupaten
kota).

Tabel 4.3
Statistik Deskriptif

IPK PE IPM RKD RBO RBM SPI UUD BPK


Mean 50.93 6.59 77.94 0.49 0.78 0.33 15.68 18.68 0.34
Median 50.00 6.23 77.61 0.30 0.78 0.23 13.00 15.00 0
Maximum 74 10.93 82.01 2.31 0.88 0.83 69.00 98.00 1
Minimum 36 3.85 72.08 0.10 0.64 0.12 3.00 4.00 0.00
Std. Dev. 10.17 1.42 2.20 0.49 0.06 0.23 12.72 17.41 0.47
Observations 44 44 44 44 44 44 44 44 44
Sumber : data diolah, 2018

Berdasarkan Tabel 4.2, hasil analisis dengan menggunakan statistik


deskriptif dijelaskan sebagai berikut
a) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap indeks persepsi korupsi
menunjukan nilai minimum sebesar 36 yang diperoleh Kota
Pekanbaru (2008 dan 2010) dan maksimum sebesar 74 yang
diperoleh kota Jakarta (2017). Nilai rata-rata sebesar 50.93 dengan
standar deviasi 10.17 yang menunjukan kabupatan/kota yang rata-
rata 50 persen kota yang tidak banyak melakukan korupsi sedangkan
kota-kota lainya masih banyak melakukan korupsi
b) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap pertumbuhan ekonomi
menunjukan nilai minimum sebesar 3.85 yang diperoleh Kota
Semarang (2008) dan nilai maksimum sebesar 10.93 yang diperoleh
Kota Manado. Nilai rata-rata sebesar 6.59 dengan standar deviasi
1.42 yang menunjukan bahwa rta-rata rasio pertumbuhan adalah
sebesar 6.59 persen atau kemampuan daerah dalam mempertahankan
dan meningkatkan keberhasilan keuangan yang telah dicapai dari
periode ke periode berikutnya cenderung tinggi.
c) Hasil analisis statistik deskriptif indeks pembangunan manusia
menunjukan nilai minimum sebesar 72.08 yang diperoleh Kota
Pontianak (2008) dan nilai maksimum sebesar 82.01 yang diperoleh
Kota Semarang (2017). Nilai rata-rata sebesar 77.94 dengan standar
deviasi 2.20 yang menunjukan indeks pembangiunan manusia di
beberapa kota sudah menunjukan hasil yang baik.
d) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap rasio kemandirian daerah
menunjukan nilai minimum sebesar 0.11 yang diperoleh Kota
Banjarmasin (2008 dan 2011) dan nilai maksium sebesar 2.31 yang
diperoleh Kota Jakarta (2017). Nilai rata-rata sebesar 0.49 dengan
standar deviasi sebesar 0.49 menunjukan bahwa rata-rata rasio
kemandirian pemda kabupaten/kota adalah 50 persen atau kriteria
kemampuan pemda cukup dalam membiyai sendirin kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang
telah membayar pajak dan restribusi sebagai sumber keuangan yang
diperlukan daerah.
e) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap rasio belanja operasi
menunjukan nilai minimum 0.65 sebesar yang diperoleh Kota
Makasar (2017) nilai maksimum sebesar 0.88 yang diperoleh Kota
Semarang (2015 dan 2017). Nilai rata-rata sebesar 0.77 dengan
standar deviasi 0.06 yang menunjukan bahwa rata-rata rasio aktivitas
belanja operasional pemda kabupaten/kota adalah sebesar atau
tingginya persentase dana yang dialokasikan untuk belanja
operasional daerah.
f) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap rasio belanja modal
menunjukan nilai minimum sebesar 0.12 yang diperoleh Kota
Semarang (2008 dan 2010) dan Kota Padang (2010) nilai maksimum
sebesar 0.83 yang diperoleh Kota Bandung (2017) dan Kota
Banjarmasin (2017). Nilai rata-rata sebesar 0.334 dengan standar
deviasi 0.239 yang menunjukan bahwa rata-rata kemandirian adalah
33.4 persen atau persentase belanja modal yang digunakan untuk
menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cenderung
kecil
g) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap Sistem Pengendalian
Internal menunjukan nilai minimum sebesar 3 yang diperoleh Kota
Manado (2008) dan nilai maksimum sebesar 69 diperoleh Kota
Jakarta (2017). Nilai rata-rata sebesar 16.06 dan standar deviasi
12.84. menunjukan bahwa rata-rata kelemahan SPI adalah 16.06
kasus atau sekitar 16 kasus kelemagan SPI yang terdapat disetiap
pemda kabupaten/kota
h) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap kepatuhan terhadap
perundang-undangan menunjukan nilai minimum 4 sebesar yang
diperoleh Kota Banjarmasin (2015) dan nilai maksimum sebesar 98
yang diperoleh Kota Jakarta (2008). Nilai rata-rata sebesar 18.68
dengan standar deviasi 17.41 menunjukan bahwa rata-rata
ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan adalah 18.68 atau
sekitar 19 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang terdapat disetiap pemda kabupaten/kota
i) Hasil analisis statistik deskriptif terhadap opini BPK menunjukan
nilai minimum sebesar 0 dan maksimum sebesar 1, dengan rata-rata
sebesar 0.34. Nilai rata-rata sebesar 0.34 menunjukan
kabupatan/kota yang mendapat opnini audit WTP dan WTP-DPP
dengan kode 1 sebanyak 4 pemda kabupaten/kota. Sedangkan 7
pemda kabupaten/kota mendapat opini selain WTP dan WTP-DPP

B. Hasil Analisis Data Penelitian

1. Uji Normalitas Data

Langkah awal dalam melakukan uji regresi Model Tobit adalah


menguji kenormalan data. Dengan hipotesia H0 berdistribusi normal dan
H1 tidak berdistribusi normal, dengan daerah penolakan p-value < 
menolak H0. Hasil uji normalitas data adalah sebagai berikut:
Gambar 4.1
Histogram
Data

12 Series: Residuals
Sample 1 44
Observations 44

Mean -0.162646
10 Median -0.382151
Maximum 9.732686
Minimum -6.550437
Std. Dev. 3.701172
Skewness 0.545739
Kurtosis 2.977811
8
Jarque-Bera 2.184995
Probability 0.335378

0
-6 -4 -2 2 4 8 10
0 6

Sumber : data diolah 2018

Berdasarkan gambar 4.1 nilai probability adalah 0.805230, yang


artinya p-value > , menerima H0. Sehingga data berdistribusi normal..
2. Hasil Estimasi Regresi Tobit

a. Pengujian Model

Telah dijelaskan pada Bab 3 bahwa pemelihan regresi Model


Tobil yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini
didasar dengan pertimbangan bahwa variabel dependen (Y)
mempunyai sifat kualitatif, yaitu skor berupa Indeks Persepsi
Korupsi dari hasil survei yang berada dalam range skor antara 0
sampai dengan 10. Berdasarkan batasan dari variabel dependen ini
maka akan lebih tepat apabila digunkana regeresi Model Tobil
dibandingkan menggunakan regresi OLS. Sebagai alat untuk analisis
regresi Model Tobil digunaka EViews 9 yang menunjukan hasil
estimasi model sebagai berikut
Tabel 4.4
Hasil Analisis Regresi Model Tobit

Dependent Variable: IPK


Method: ML - Censored Normal (TOBIT) (Newton-Raphson /
Marquardt
steps)
Date: 02/08/19 Time: 15:52
Sample: 2008 2017
Included observations: 44
Left censoring (value) at zero
Convergence achieved after 5 iterations
Coefficient covariance computed using observed Hessian
Variable Coefficient Std. Error z-Statistic Prob.
PE -1.128966 0.767130 -1.471675 0.1411
IPM -0.787291 0.661952 -1.189348 0.2343
RKD 3.777540 3.788730 0.997047 0.3187
RBM 10.78590 5.111622 2.110074 0.0349
RBO 7.727865 20.92410 0.369328 0.7119
SPI 0.305648 0.146596 2.084972 0.0371
UUD -0.235144 0.092500 -2.542100 0.0110
BPK 7.640047 2.563426 2.980405 0.0029
C 105.2357 46.12353 2.281606 0.0225
Error Distribution
SCALE:C(10) 6.626868 0.706426 9.380832 0.0000
Mean dependent var 50.93182 S.D. dependent var 10.17612
S.E. of regression 7.538678 Akaike info criterion 7.074687
Sum squared resid 1932.277 Schwarz criterion 7.480185
Log likelihood -145.6431 Hannan-Quinn criter. 7.225065
Avg. log likelihood -3.310071
Left censored obs 0 Right censored obs 0
Uncensored obs 44 Total obs 44

Sumber : data diolah 2018


dimana :
IPK = Indeks Persepsi Korupsi
PE = Pertumbuhan Ekonomi
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
RKD = Rasio Kemandirian Daerah
RBO = Rasio Belanja Operasi
RBM = Rasio Belanja Modal

SPI = Sistem Pengendalian Intern

UUD = Kepatuhan terhadap Perundang-undangan


BPK = Opini Badan Pemeriksa Keuangan
e = Random error

Hasil pengujian terhadap koefisien regresi menghasilkan model


sebagai berikut :
1) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PE) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Variabel PE memberikan hasil koefisien regresi negatif sebesar

– 1,128 menunjukan bahwa hubungan antara Pertumbuhan


Ekonomi dengan indeks korupsi negatif. Kenaikan pada tingkat
pertumbuhan ekonomi menyebabkan probabilitas korupsi
meningkat (nilai indeks mendekati angka 0)
2) Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel IPM memberikan hasil koefisien regresi negatif sebesar

–0,787 yang menunjukan hubungan antara Indeks Pembangunan


Manusia dengan indeks korupsi adalah negatif. Kenaikan pada
indeks pembangunan manusia akan menyebabkan probabilitas
korupsi di pemerintahan daerah akan meningkat (nilai indeks
korupsi akan mendekati 0)
3) Pengaruh Rasio Kemadirian Daerah (RKD) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel RKD memberikan hasil koefiesien regresi positif
sebesar 3.777 yang menunjukan hubungan antara Rasio
Kemandirian Daerah dengan indeks korupsi positif. Peningkatan
rasio kemandirian daerah akan meningkatkan indeks korupsi
atau probabilitas korupsi akan menurun.
4) Pengaruh Rasio Belanja Operasi (RBO) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel RBO memberikan hasil koefiesien regresi positif
sebesar 7.727 yang menunjukan hubungan antara Rasio Belanja
Operasi dengan indeks korupsi positif. Peningkatan rasio belanja
operasi akan mengakibatkan indeks korupsi meningkat atau
probabilitas korupsi akan menurun.
5) Pengaruh Rasio Belanja Modal (RBM) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Variabel RBM memberikan hasil koefiesien regresi positif
sebesar 10,789 yang menunjukan hubungan antara Rasio
Belanja Modal dengan indeks korupsi positif. Peningkatan rasio
belanja modal akan mengakibatkan indeks korupsi meningkat
atau probabilitas korupsi akan menurun.
6) Pengaruh Sisten Pengendali Intern (SPI) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel SPI memberikan hasil koefiesien regresi positif sebesar

0.305 yang menunjukan hubungan antara Sistem pengendalian


Internal dengan indeks korupsi positif. perbaikan sistem
pengendalian internal akan mengakibatkan indeks korupsi
meningkat atau probabilitas korupsi akan menurun.
7) Pengaruh Kepatuhan terhadap Perundang-undangan (UUD)
terhadap Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel UUD memberikan hasil koefisien regresi negatif
sebesar –0.235 yang menunjukan hubungan antara Kepatuah
terhadap perundang-undangan dengan indeks korupsi adalah
negatif. Kenaikan pada kepatuhan terhadap perarturan
perundang-undangan akan menyebabkan probabilitas korupsi di
pemerintahan daerah akan meningkat (nilai indeks korupsi akan
mendekati 0)
8) Pengaruh Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Variabel BPK memberikan hasil koefiesien regresi positif
sebesar 7.640 yang menunjukan hubungan antara Opini BPK
dengan indeks korupsi positif. Peningkatan opini BPK akan
meningkatkan indeks korupsi atau probabilitas korupsi akan
menurun
b. Uji Parsial (Uji Wald)

Dalam penelitian menggunakan regresi Model Tobit, dilakukan


pengujian pengaruh masing-masing variabel bebas secara parsial dengan
menggunakan Uji Wald. Berdasarkan tabel 4.5, nilai p-value yang kurang
dari  = 0,05 dapat disimpulkan sebagai variabel yang signifikan.
Tabel 4.5
Uji Parsial (Uji Wald)

Variabel Estimasi Wald p-value Keputusan


PE -1.128966 0,1503 0.1411 Ha ditolak
IPM -0.787291 0.2425 0.2343 Ha ditolak
RKD 3.777540 0.3258 0.3187 Ha ditolak
RBM 10.78590 0.0423 0.0349 Ha diterima
RBO 7.727865 0.7142 0.7119 Ha ditolak
SPI 0.305648 0.0447 0.0371 Ha diterima
UUD -0.235144 0.0157 0.0110 Ha diterima
BPK 7.640047 0.0053 0.0029 Ha diterima
Sumber : data diolah 2018
Berdasarkan Uji Wald diperoleh hasil sebagai berikut

1) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PE) terhadap Indeks Persepsi


Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel PE sebesar 0.1503 dengan nilai p-value
0.1411 lebih besar dari pada 0.05 dan hipotesis H a1 ditolak maka
variabel Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan secara
parsial dengan Indeks Persepsi Korupsi.
2) Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel IPM sebesar 0.2425 dengan nilai p-value
0.2343 lebih besar dari pada 0.05 dan hipotesis H a2 ditolak maka
variabel Indeks Pembangunan Manusia tidak berpengaruh signifikan
secara parsial dengan Indeks Persepsi Korupsi
3) Pengaruh Rasio Kemadirian Daerah (RKD) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel PE sebesar 0.3258 dengan nilai p-value
0.3187 lebih besar dari pada 0.05 dan dan hipotesis Ha3 ditolak maka
variabel pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan secara
parsial dengan Indeks Persepsi Korupsi
4) Pengaruh Rasio Belanja Modal (RBM) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel RBM sebesar 0.0423 dengan nilai p-value
0.0349 lebih kecil dari pada 0.05 hipotesis H a4 diterima maka variabel
Rasio Belanja Modal berpengaruh signifikan secara parsial dengan
Indeks Persepsi Korupsi
5) Pengaruh Rasio Belanja Operasional (RBO) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel RBO sebesar 0.7142 dengan nilai p-value
0.7119 lebih besar dari pada 0.05 hipotesis Ha5 ditolak maka variabel
Rasio Belanja Operasional tidak berpengaruh signifikan secara parsial
dengan Indeks Persepsi Korupsi.
6) Pengaruh Sistem Pengendali Intern (SPI) terhadap Indeks Persepsi
Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel SPI sebesar 0.0447 dengan nilai p-value
0.0371 lebih kecil dari pada 0.05 hipotesis H a6 diterima maka variabel
Sistem Pengendali Intern berpengaruh signifikan secara parsial
dengan Indeks Persepsi Korupsi.
7) Pengaruh Kepatuhan terhadap Perundang-undangan (UUD) terhadap
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel UUD sebesar 0.0157 dengan nilai p-value
0.0110 lebih kecil dari pada 0.05 hipotesis H a7 diterima maka variabel
kepatuhan terhadap Peraturan Perundangan-undangan berpengaruh
signifikan secara parsial dengan Indeks Persepsi Korupsi
8) Pengaruh Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Indeks
Persepsi Korupsi (IPK)
Hasil Uji Wald variabel BPK sebesar 0.0053 dengan nilai p-value
0.0029 lebih kecil dari pada 0.05 hipotesis H a8 diterima maka variabel
Opini BPK berpengaruh signifikan secara parsial dengan Indeks
Persepsi Korupsi

c. Uji Signifikansi (Likelihood Ratio)

Untuk melihat kebaikan model (Goodness of Fit) secara bersama-


sama digunakan Likelihood Ratio (LR). Likelihood Ratio (LR) ini mirip
dengan uji F pada analisis OLS. Hasil Uji Signifikansi dapat dilihat pada
Tabel 4.7.
Tabel 4.6
Uji Signifikansi (Likelihood Ratio)

Redundant Variables Test


Null hypothesis: PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK are
jointly insignificant
Equation: UNTITLED
Specification: IPK PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK C
Redundant Variables: PE IPM RKD RBM RBO SPI UUD BPK

Value df Probability
Likelihood ratio 36.73266 8 0.0000

LR test summary:
Value df
Restricted LogL -164.0094 42
Unrestricted LogL -145.6431 34

Sumber: data diolah 2018

Hasil Uji LR diperoleh sebesar 36.73266 dengan nilai probability


0.0000 yang lebih kecil dari 0.05. Maka dapat dikatakan variabel-
variabel Pertumbuhan Ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia, Rasio
Kemandirian Daerah, Rasio Belanja Operasi, Rasio Belanja Modal,
Sistem Pengendali Internal, Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-
undangan, dan Opini Audit BPK berpengaruh secara simultan terhadap
Indeks Persepsi Korupsi pada pemerintahan daerah di Indonesia.

C. Pembahasan

1. Pengaruh Variabel Pertumbuhan Ekonomi terhadap Indeks Persepsi


Korupsi
Dari hasil pengujian model, dapat diketahui bahwa indikator
ekonomi makro berupa PDRB per kapita sebahai proxy secara statitik
tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks persepsi korupsi. Hal
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heriningsih dan
Marita (2013) yang dapat diuraikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi. Namun berbeda dengan hasil yang
diperoleh Mahmet Ugur dan Nandini Desgupta (2011) yang menyatakan
pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat korupsi.
Tingkat korupsi pemerintah daerah semakin menunjukan
kecanderungan meningkat dari tahun ketahun, terlebih semenjak
terjadinya perubahan peta politik di era otonomi daerah yang
memberikan keleluasaan bagi daerah dalam mengelola sumber daya
lokal. Berdasarkan rilis KPK, kasus-ksus korupsi melibatkan individu
yang mapan secara ekonomi yaitu para pejabat papan atas di daerah. Hal
ini menunjukan bahwa tingkat kesejahteraab nasyarakat tidak secara
signifikan mempengaruhi korupsi. Pendapatan per kapita yang membaik
sehingga meningkatkan kesejahteraan ekonomi juga semakin tinggi di
suatu daerah tidak menjamin seseorang untuk tidak melakukan korupsi.
Pemerintah daerah dan DPRD yang seharusnya bertugas melayani
masyarakat justru banhyak memanfaatkan posisi dan jabatan tersebut
untuk melakukan penyimpangan seperti penyalahgunaan wewenang,
kesempatan atau sarana yang ada padaranya karena jabatan atau
kedudukan yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
2. Pengaruh Variabel Indeks Pembangunan Manusia terhadap Indeks
Persepsi Korupsi
Uji empiris penelitian ini dengan menggunakan Model Tobit
menunjukan hasil bahwa Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel
sosio-ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan dalam mempengaruhi
tingkat korupsi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pembangunan
manusia tidak akan mempengaruhi angka Indeks Persepsi Korupsi, atau
korupsi belum hilang. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ageng Rian Ardianto (206) yang meneliti keterkaitan antara
Corruption Prec berhasil menemukan korelasi positif antara kenaikan
HDI terhadap kenaikan CPI (yang artinya tingkat korupsi semakin
rendah)
Hal tersebut secara faktual dapat dibuktikan dengan melihat daerah
di Indonesia yang mempunyai angka IPM yang tinggi seperti juga
memiliki skor IPK yang rendah, atau angka korupsi yang juga tinggi.
Jadi, kualitas pendidikan yang semakin baik dan tingkat kesejahteraan
yang tinggi di masyarakat belum mampu menumbuhkan kesadaran bagi
individu untuk tidak melakukan korupsi.
3. Pengaruh Variabel Rasio Kemandirian Daerah terhadap Indeks Persepsi
Korupsi
Indikator desentralisasi fiskal dalam penelitian ini adalah proxy
kemandirian keuangan daerah yang dinyatakan dengan angka rasio
berupa indkes kemandirian keuangan yang didapatkan dari hasil bagi
total Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total pemdapatan dan total
belanja. Hasil uji regresi dengan Model Tobit memperoleh hasil
kemandirian keuangan daerah tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap Indeks Persepsi Korupsi. Hasl ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Heriningsing dan Marita (2013) dan Ageng Rian Ardianto
(2016) yang menyatakan bahwa kinerja keuangan daerah yang salah
satunya dinyatakn dalam rasio kemandirian tidak berpengaruh terhadap
tingkat korupsi di Indonesia. Namun tidak sesuai dengan hasil yang
diperoleh Rita Wulandari (2015) yang menyatakan
Dengan demikian, hipotesis penelitian yang menyatakan tingkat
kemdirian keuangan daerah akan mampu mengurangi korupsi tidak
terbukti. Otonomi daerah yang membawa perbaikan pada tingkat
kemandirian kleuangan daerah ternyata belum mampu mempengaruhi
tingkat korupsi. Artinya, meskipun suatu daerah mampu mandiri secara
kemampuan keuangan yang tinggi masih belum mampu menjadi jaminan
bahwa daerah tersebut terbebas dari praktek korupsi.
4. Pengaruh Variabel Rasio Belanja Operasional terhadap Indeks Persepsi
Korupsi
Berdasarkan hasil uji regresi Tobit menunjukan rasio belanja
operasi tidak berpengaruh terhadap indeks persepsi korupsi. Hal ini
sesuai dengan hasil yang diperoleh Heriningsih dan Marita (2013), Rita
Wulandari (2015) dan Ageng Rian Andrianto (2016) yang menyatakan
bahwa rasio belanja operasi tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks
persepsi korupsi.
Kecenderungan pejabat publik penyedia barang/jasa untuk
melakukan korupsi pada pos belanja operasi menyebabkan naiknya nilai
belanja. Sementara dalam proses pengurusan proyek tersebut, diperlukan
biaya-biaya pendamping sejak proses perizinan hingga proyek tersebut
terselesaikan. Biaya-biaya pendamping bisa berupa biaya
penyelenggaraan administrasi kegiatan (belanja bahan berupa alat tulis
kantor, pengadaan dokumen, dan jamuan rapat), honorarium bagi pejabat
pengadaan (pegawai negeri yang diangkat PA/KPA untuk melaksanakan
pemilihan penyedia barang/jasa), serta biaya transportasi lokal dalam
rangka koordinasi dengan pihak terkait.
Di samping itu, pemerintah perlu mengeluarkan biaya/belanja jasa
konsultan untuk membantu Tim Pelaksana kegiatan dalam melakukan
sebagian pekerjaan berupa kajian/pengumpulan dan analisis
data/pengembangan sistem database atau sejenisnya, serta untuk
kebutuhan pelaksanaan pekerjaan. Untuk mendukung terlaksananya
teknis kegiatan, pemerintah juga perlu mengeluarkan belanja jasa lainya,
berupa pengadaan tenaga adminstrasi, operator komputer untjk
mendukung terlaksananya kegiatan.
5. Pengaruh Variabel Radio Belanja Modal terhadap Indeks Persepsi
Korupsi
Berdasarkan hasil uji regresi Tobit menunjukan rasio aktivitas
belanja modal secara statistik berpengaruh positif dan signifikan
terhadap indeks persepsi korupsi. Hal ini berbeda dengan hasil yang
diperoleh Heriningsih dan Marita (2013), Rita Wulandari (2015) dan
Ageng Rian Andrianto (2016) yang menyatakan bahwa rasio belanja
modal tidak berpengaruh terhadap tingkat korupsi.
Hasil penelitin tersebut dapat menjelaskan bahwa data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah berupa nominal dalam realisasi
APBD. Munculnya perbedaan hasil diduga karena terdapat faktor-faktor
lain di luar angka belanja modal dalam APBD yang mempengaruhi
korupsi.
6. Pengaruh Variabel Sistem Pengendalian Internal terhadap Indeks
Persepsi Korupsi
Uji empiris penelitian ini dengan menggunakan Model Tobit
menunjukan hasil bahwa Sistem Pengendali Intern sebagai salah satu
variabel akuntabilitas laporan keuangan berpengaruh positif signifikan
terhadap Indeks Persepsi Korupsi pada pemerintah daerah di Indonesia.
Hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh Wahyu Setiawan (2013) dan
Rita Wulandari (2015) yang menyatakan sistem pengendalian intern
tidak berpengaruh terhadap indeks persepsi korupsi.
Hasil pemeriksaan BPK atas sistem pengendali intern
mengungkapkan tentang kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan
pelaporan, kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja, kelemahan struktur pengendalian intern. Model
korupsi yang disusun Klitgaard (2001) sistem pengendalian intern
menunjukan akuntabilitas laporan keuangan yang berpengaruh pada
korupsi.
Menurut Anwar (2006) untuk meningkatkan pengelolaan keuangan
negara yang mengurangi korupsi, pemerintah melakukan koreksi secara
menyeluruh sehingga memperbaiki akuntabilitas pelaporan keuangan,
salah satunya dengan sistem pengendalian intern.
7. Pengaruh Variabel Kepatuhan terhadap Perundang-undangan terhadap
Indeks Persepsi Korupsi
Hasil kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan sbagai
salah satu variabel akuntanilitas laoran keuangan menunjukan pengaruh
yang signifikan terhdap indeks persepsi korupsi. Hal ini berbeda dengan
hasil yang diperoleh Wahyu Setiawan (2013) dan Rita Wulandari (2015)
yang menyatakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
tidak berpengaruh terhadap indeks persepsi korupsi.
Kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dilaporkan BPK menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan.
Berdasarkan model Korupsi yang disusun oleh Klitgaard (2001)
Kepatuhan terhadap perundang- undangan menunjukkan akuntabilitas
laporan keuangan yang berpengaruh pada korupsi. Semakin banyak
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
menunjukkan informasi keuangan yang disajikan dalam laporan
keuangan dapat diandalkan (BPK, 2013). Artinya semakin banyak
ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
menunjukkan tingkat akuntabilitas laporan keuangan rendah.
Menurut Widjajabrata dan Zacchea (2004) Jika tingkat
akuntabilitas laporan keuangan yang tinggi dapat mengurangi tindak
korupsi, Artinya akuntabilitas yang lemah diyakini berpengaruh pada
meningkatnya korupsi. menurut Rampengan (2013) Hasil LHP yang
salah satunya menguji kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan dapat dijadikan kasus tindak pidana korupsi, jika
suatu instansi pemerintah atau pejabat pemerintah dikatakan telah
melakukan penyelewengan dana yang mengakibatkan kerugian keuangan
Negara
8. Pengaruh Variabel Opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Indeks
Persepsi Korupsi
Hasil uji regresi Tobit dari Opini BPK menunjukan pengaruh
positif yang signifikan terhadap indeks persepsi korupsi. Hal ini sesuai
dengan hasil yang diperoleh Ageng Rian Ardianto (2016) namun berbeda
dengan hasil yang diperoleh Heriningsih dan marita (2013), Wahyu
Setiawan (2013) dan Rita Wulandari (2015) yang menyatakan kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan tidak berpengaruh terhadap
indeks persepsi korupsi.
Pemeriksaan keuangan tidak menilai benar atau salahnya suatu
laporan, tetapi wajar tidaknya penyusunan laporan keuangan. Jadi,
sepanjang disajikan secara wajar sesuai standar akuntansi, laporan
keuangan bisa saja mendapat opini WTP meskipun sebenarnya
mengandung korupsi (Prakasa, 2012). Menurut Poernomo (2013)
WTP tidak menjamin pemda bebas korupsi, karena WTP hanya tata
kelola keuangannya baik, dimana baik bukan berarti benar. Menurut
Prakarsa (2012) jika BPK menemukan kejanggalan dalam
memeriksa keuangan negara, BPK dapat mengusut kasus korupsi
dan melakukan pemeriksaan tertentu. Dimana nantinya Laporan
Hasil Pemeriksaan tersebut dilaporkan ke Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) akan dijadikan sebagai tindakan penyelewengan
dana yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara (Rampengan,
2013)

Anda mungkin juga menyukai