Di susun Oleh :
MARET , 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah senantiasa memberkati dalam
menyelesaikan Makalah Laporan ini , adapun tugas ini dikerjakan untuk memenuhi salah satu
tugas KKNI dari mata kuliah Apresiasi Kritik Sastra . Saya juga mengucapkan TerimaKasih
kepada:
-Ibu Dosen (Atika Wasilah, S.Pd., M.Pd.) selaku dosen pengampu mata kuliah Apresiasi
Kritik Sastra
-Orang Tua (Almh.Ibu) yang saya sayangi serta sangat ingin saya banggakan dan Tante saya
yang selalu mendukung segala kegiatan Pendidikan saya .
-Serta teman-teman senasib seperjuangan yang memberi dukungan secara langsung atau tidak
langsung.
Saya telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya tetapi mungkin masih ada
kekurangan-kekurangan untuk mencapai kesempurnaan. Saya menerima berbagai kritik yang
sifatnya membangun agar makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Selanjutnya, Saya berharap semoga makalah ini bisa memberikan manfaat serta menambah
wawasan bagi para pembaca. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapa pun yang
membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kata-kata yang
kurang berkenan.
Penulis
Puisi Karawang Bekasi
karya : Chairil Anwar:
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Pendekatan Objektif :
Puisi “Karawang-Bekasi” memiliki tema perjuangan. Disini Chairil Anwar lebih
menekankan semangat melanjutkan perjuangan meskipun tidak dalam bentuk perang
ataupun harus mati, tetapi lebih kepada memajukan Negara dan tetap mengenang jasa-
jasa Pahlawan yang telah tiada seperti tergambar dalam larik
Rima akhir
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Rima awal
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Pendekatan Ekspresif :
Dalam ”Krawang-Bekasi” gaya bahasa yang muncul adalah hiperbola, Terlihat dalam
larik Belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa dan pada larik Kami
cuma tulang-tulang berserakan. Hal ini jelas hiperbola tersebut merupakan
penonjolan pribadi Chairil Anwar, ia mencoba untuk nyata berada di dalan dunianya.
Pendekatan Mimetik :
Pada kenyataannya penyair legendaris Chairil Anwar ini, memang hidup dizaman masa
penjajahan. Jadi menurut saya puisinya cenderung bernafaskan keinginan kemerdekaan.
Berdasarkan pendekatan mimetic maka contoh Seperti puisi diatas adalah kejadian
pembantaian pejuang Indonesia yang dilakukan Belanda. Chairil Anwar mengetahuinya saat
perjalanannya dari Karawang menuju Bekasi. Disitu telah tinggal ratusan mayat pejuang
indonesia yang ia tuangkan dalam puisi ini. Sebagai bentuk perjuangan, semangat
kemerdekaan.
Lebih jelasnya Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung
Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di
antara Karawang danBekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu
melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian
ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang.
Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan
jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara
Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede
dibunuh tanpa alasan jelas.
Seperti pada bait pertama puisi tersebut
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di
bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah setiap
rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka kemudian memaksa
seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang.
Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang
keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat
persembunyian para pejuang tersebut.
Pendekatan Pragmatik :
Para pejuang Karawang-Bekasi selalu berharap agar keberadaan mereka tetap dikenang
sebagai sosok yang tiada pernah berhenti berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Semangat
kepahlawanan mereka tidak pernah padam. Meskipun mereka telah terbaring dalam
pemakaman sepanjang jarak antara Karawang-Bekasi, tetapi mereka tetap memberikan
semangat perjuangan yang tidak ada habisnya.
Inilah pengharapan tak berbatas yang sepertinya ingin mereka katakan. Walaupun
sebenarnya, mereka telah menjadi tulang belulang yang berserakan antara Karawang-Bekasi.
Semenjak itu pada kenyataannya untuk mengenang peristiwa tersebut saat ini, di lokasi
terjadinya pembantaian penduduk Rawagede, berdiri sebuah monumen peringatan. Monumen
ini berada di pinggir jalan sebelah utara, Dusun Rawagede, Desa Rawagede, Kecamatan
Rawamerta.