Anda di halaman 1dari 13

STIKES HUTAMA ABDI HUSADA TULUNGAGUNG

PRODI NERS

PRAKTEK KLINIK KEPERAWATAN

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASEIEN


DENGAN KASUS HIPERTENSI

DI RUANG URJ RUMAH SAKIT PUTRA WASPADA TULUNGAGUNG

Mahasiswa :

PUSPITA WNDY APRIANTI

NIM: A3R21040

PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING RUANGAN

(Anis Muniarti, S.Kep., Ns., M. Biomed) ( )


NIDN. 88-8442-0016
LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dengan tekanan sistolik di atas
140 mmHg dan tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg. Populasi manula, hipertensi
didefinisikan sebagai tekanan sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 90 mmHg (Aspiani,
2016 : 211).

Sedangkan menurut Kushariyadi (2008) menyatakan bahwa hipertensi adalah suatu


keadaan ketika seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang
mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas).
Menurut WHO, batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg,
sedangkan tekanan darah ≥ 160/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Batasan WHO tersebut
tidak membedakan usia dan jenis kelamin (Udjianti, 2010 : 101). Kaplan memberikan batasan
hipertensi dengan memperhatikan usia dan jenis kelamin (Udjianti, 2010 : 101- 102).

a. Pria berusia < 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darah pada waktu berbaring ≥
130/90 mmHg.
b. Pria berusia > 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya > 145/95 mmHg.
c. Wanita, hipertensi bila tekanan darah ≥ 160/95 mmHg.

Perjalanan penyakit hipertensi sangat perlahan dan mungkin klien tidak menunjukkan gejala
selama bertahun-tahun sampai terjadi kerusakan organ yang bermakna (silent killer). Hipertensi
merupakan penyakit akibat gangguan sirkulasi darah yang masih menjadi masalah dalam
kesehatan di masyarakat. Semakin tinggi tekanan darah semakin besar resikonya (Price &
Wilson, 2006). Bila klien kurang atau bahkan belum mendapatkan penatalaksanaan yang tepat
dalam mengontrol tekanan darah, maka angka mordibitas dan mortalitas akan semakin
meningkat dan masalah kesehatan dalam masyarakat semakin sulit untuk diperbaiki
(Suwardianto, 2011).

B. ETIOLOGI
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar, yaitu :
a. Hipertensi Essensial atau Hipertensi Primer
Menurut Ardiansyah (2012) hipertensi primer yaitu hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya. Hipertensi primer terdapat pada lebih dari 90% klien dengan hipertensi.
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data
penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya
hipertensi, antara lain :
1) Faktor keturunan atau genetik; individu yang mempunyai riwayat keluarga
dengan hipertensi, beresiko lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit ini
ketimbang mereka yang tidak.
2) Jenis kelamin dan usia; laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca
menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi.
3) Diet; konsumsi diet tinggi garam atau kandungan lemak, secara langsung
berkaitan dengan berkembangnya penyakit hipertensi.
4) Berat badan atau obesitas (>25% di atas BB ideal) juga sering dikaitkan
dengan berkembangnya hipertensi.
5) Gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan
darah (bila gaya hidup yang tidak sehat tersebut tetap diterapkan).

b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. Sekitar 5-
10% dari klien yang mengalami hipertensi sekunder. Beberapa gejala atau penyakit
yang menyebabkan hipertensi jenis ini antara lain :
1) Coarctation aorta, yaitu penyempitan aorta congenital yang (mungkin) terjadi
pada beberapa tingkat aorta torasik atau aorta abdominal. Penyempitan ini
menghambat aliran darah melalui lengkung aorta dan mengakibatkan
peningkatan tekanan darah di atas area konstriksi
2) Penyakit parenkim dan vascular ginjal. Penyakit ini merupakan penyebab
utama hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskular berhubungan dengan
penyempitan satu atau lebih arteri besar, yang secara langsung membawa
darah ke ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada klien dengan hipertensi
disebabkan oleh arterosklerosis atau fibrous dysplasia (pertumbuhan abnormal
jaringan fibrous). Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi,
serta perubahan struktur serta fungsi ginjal.
3) Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen). Oral kontrasepsi yang berisi
estrogen dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme rennin-aldosteron-
mediate volume expansion. Dengan penghentian oral kontrasepsi, tekanan
darah kembali normal setelah beberapa bulan (Udjianti, 2010 : 107).
4) Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat
menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediate hypertension disebabkan
kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan katekolamin. Kelebihan aldosteron
pada aldosteron primer menyebabkan hipertensi dan hipokalemia.
Aldosteonisme primer biasanya timbul dari adenoma korteks adrenal yang
benign (jinak). Pheochromocytomas pada medulla adrenal yang paling umum
dan meningkatkan sekresi katekolamin yang berlebihan (Ardiansyah, 2012 :
61).
5) Kegemukan (obesitas) dan gaya hidup yang tidak aktif (malas berolahraga).
6) Stress yang cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara
waktu. Jika stress telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali
normal.
7) Kehamilan Hipertensi akibat kehamilan atau hipertensi gestasional adalah
peningkatan tekanan darah (≥ 140 mmHg pada sistolik; > 90 mmHg pada
diastolik) terjadi setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita non-
hipertensi dan membaik dalam 12 minggu pascapartum (Aspiani, 2016 : 213).
8) Peningkatan volume intravascular
9) Merokok. Nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan katekolamin.
Peningkatan katekolamin ini mengakibatkan iritabilitas miokardial,
peningkatan denyut jantung, serta menyebabkan vasokonstriksi yang
kemudian meningkatkan tekanan darah (Ardiansyah, 2012 : 61-62).
C. MANIFESTASI KLINIS
Ardiansyah (2012 : 66-67) menyebutkan bahwa sebagian manifestasi klinis timbul setelah
klien mengalami hipertensi selama bertahun-tahun. Gejalanya berupa :
1. Nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan
tekanan darah intrakranium
2. Penglihatan kabur karena terjadi kerusakan pada retina sebagai dampak dari
hipertensi;
3. Ayunan langkah yang tidak mantap karena terjadi kerusakan susunan saraf pusat;
4. Nokturia (sering berkemih di malam hari) karena adanya peningkatan aliran darah
ginjal dan filtrasi glomerulus; dan
5. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.

Gejala yang dialami klien dengan kasus hipertensi berat antara lain sakit kepala (rasa berat di
tengkuk), palpitasi, kelelahan, nausea, muntahmuntah, kegugupan, keringat berlebihan,
tremor otot, pandangan kabur atau ganda, tinnitus (telinga mendenging), serta kesulitan tidur.
Sementara menurut Kurniadi & Nurrahmani (2014) banyak klien dengan hipertensi tidak
mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan tekanan darah meninggi dan hanya akan
terdeteksi pada saat pemeriksaan fisik. Sakit kepala di tengkuk merupakan ciri yang sering
terjadi pada hipertensi berat. Gejala lainnya adalah pusing, palpitasi (berdebar-debar), dan
mudah lelah. Namun, gejala-gejala tersebut kadang tidak muncul pada beberapa klien,
bahkan pada beberapa kasus klien dengan tekanan darah tinggi biasanya tidak merasakan
apa-apa. Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila
demikian, gejala baru akan muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau
jantung.

D. KOMPLIKASI
Hipertensi dapat berpotensi menjadi komplikasi berbagai penyakit. Menurut buku
Penyakit Kardiovaskular karya Edward K. Chung, komplikasi hipertensi di antaranya adalah
stroke hemorragik, penyakit 21 jantung hipertensi, penyakit arteri koronaria, aneurisma,
gagal ginjal, dan ensefalopati hipertensi (Shanty, 2011).
Hampir 70% kasus stroke hemorragik terjadi pada klien hipertensi. Hal ini dikarenakan
hipertensi dapat menyebabkan tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh darah
sehingga dinding pembuluh darah menjadi lemah dan pembuluh darah akan mudah pecah.
Pecahnya pembuluh darah di otak dapat menyebabkan sel-sel otak yang seharusnya
mendapatkan asupan oksigen dan nutrisi yang dibawa melalui pembuluh darah tersebut
kekurangan nutrisi dan akhirnya mati. Darah yang keluar dari pembuluh darah yang pecah
juga dapat merusak sel-sel otak yang berada di sekitarnya (Shanty, 2011).
E. PATHWAY

umur Jenis kelamin Gaya hidup Obesitas

Elastisitas menurun ,
arteriosklerosi

hipertensi

Kerusakan vaskuler pembuluh darah

Perubahan struktur

Penyumbatan pembuluh darah

vasokonstriksi

Gangguan sirkulasi

Otak Pembuluh darah Hilang nafsu makan

sistemik koroner anoreksia


Resistensi
pembuluh
darah ke otak vasokonstriksi Iskemik Defisit nutrisi
meningkat miokard
Afterload
meningkat
Nyeri kepala Nyeri dada

Penurunan
curah jantung
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Aspiani (2016 : 217-218) pemeriksaan penunjang pada klien hipertensi antara lain :
a. Laboratorium
1. Albuminuria pada hipertensi karena kelainan parenkim ginjal
2. Kreatinin serum dan BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat pada hipertensi karena
parenkim ginjal dengan gagal ginjal akut 17
3. Darah perifer lengkap
4. Kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah puasa)
b. EKG
1. Hipertrofi ventrikel kiri
2. Iskemia atau infark miokard
3. Peninggian gelombang P
4. Gangguan konduksi
c. Foto Rontgen
1. Bentuk dan besar jantung
2. Pembendungan, lebarnya paru
3. Hipertrofi parenkim ginjal
4. Hipertrofi vascular ginjal

Sedangkan menurut Udjianti (2010 : 109-110), studi diagnostik yang dilakukan kepada klien
dengan hipertensi adalah sebagai berikut :

a. Hitung darah lengkap (Complete Blood cells Count) meliputi pemeriksaan hemoglobin,
hematokrit untuk menilai viskositas dan indicator faktor risiko seperti
hiperkoagulabilitas, anemia.
b. Kimia darah
1. BUN (Blood Urea Nitrogen), kreatinin : peningkatan kadar menandakan penurunan
perfusi atau faal renal.
2. Serum glukosa : hiperglisemia (diabetes melitus adalah presipitator hipertensi) akibat
dari peningkatan kadar katekolamin. 18
3. Kadar kolesterol atau trigliserida : peningkatan kadar mengindikasikan predisposisi
pembentukan plaque atheromatus.
4. Kadar serum aldosteron : menilai adanya aldosteronisme primer.
5. Studi tiroid (T3 dan T4) : menilai adanya hipertiroidisme yang berkontribusi terhadap
vasokonstriksi dan hipertensi.
6. Asam urat : hiperuricemia merupakan implikasi faktor risiko hipertensi.
c. Elektrolit
1. Serum potassium atau kalium (hipokalemia mengindikasikan adanya aldosteronisme
atau efek samping terapi diuretik).
2. Serum kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap hipertensi.
d. Urine
1. Analisis urine adanya darah, protein, glukosa dalam urine mengindikasikan disfungsi
renal atau diabetes.
2. Urine VMA (Vanillylmandelic acid) : peningkatan kadar mengindikasikan adanya
pheochromacytoma.
3. Steroid urine : peningkatan kadar mengindikasikan hiperadrenalisme,
pheochromacytoma, atau disfungsi pituitary, Sindrom Cushing’s; kadar rennin juga
meningkat.
e. Radiologi
1. Intra Venous Pyelografi (IVP) : mengidentifikasi penyebab hipertensi seperti renal
pharenchymal disease, urolithiasis, Benign Prostate Hyperplasia (BPH).
2. Rontgen toraks : menilai adanya klasifikasi obstruktif katup jantung, deposit kalsium
pada aorta, dan pembesaran jantung.
f. EKG (Elektrokardiogram) : menilai adanya hipertrofi miokard, pola strain, gangguan
konduksi atau disritmia.
G. PENATALAKSANAAN

Menurut Padila (2013 : 363), tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan
darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar klien
bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup klien.
Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi (Joint National
Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure, USA, 1988)
menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat
ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan klien
dan penyakit lain yang ada pada klien. Menurut Ardiansyah (2012 : 68-69), langkah awal
secara nonfarmakologis biasanya adalah dengan mengubah pola hidup klien, yakni dengan
cara :

a. Menurunkan berat badan sampai batas ideal


b. Mengubah pola makan pada klien dengan diabetes, kegemukan, atau kadar kolesterol
darah tinggi
c. Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium atau 6 gram
natrium klorida setiap harinya (disertai dengan asupan kalsium, magnesium, dan
kalium yang cukup),
d. Mengurangi konsumsi alkohol
e. Berhenti merokok, dan
f. Olahraga aerobik yang tidak terlalu berat (klien dengan hipertensi essensial tidak
perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali).
Pengaturan menu bagi klien dengan hipertensi selama ini dilakukan dengan empat cara,
yakni diet rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas, diet tinggi serat, dan
diet rendah energi (bagi yang kegemukan). Kini, bertambah satu cara diet pada klien
hipertensi yang disebut dengan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension). Prinsip
utama dari diet DASH adalah menyajikan menu makanan dengan gizi seimbang yang
terdiri atas buah-buahan, sayuran, produk-produk susu tanpa atau sedikit lemak, ikan,
daging unggas, biji-bijian, dan kacangkacangan (Puspitorini, 2009 : 55).
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
2. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
3. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung
I. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA SLKI SIKI


1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN NYERI (I. 08238)
dengan agen pencedera keperawatan diharapkan 3x
24 jam diharapkan keluhan 1. Observasi
fisiologis (penyakit
nyeri menurun dengan
struktur uretra) kriteria hasil :  lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas
 Keluhan nyeri nyeri
menurun  Identifikasi skala nyeri
 Meringisi menurun  Identifikasi respon nyeri non
 Sulit tidur menurun verbal
 Pola nafas memnaik  Identifikasi faktor yang
 Tekanan darah memperberat dan memperingan
membaik nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik

2. Terapeutik

 Berikan teknik nonfarmakologis


untuk mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aroma
terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
 Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

3. Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan
nyeri
 Anjurkan memonitor nyri secara
mandiri
 Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri

4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
analgetik, jika
2 Defisit nutri b.d Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan, diharapkan :
kesulitan menelan - Identifikasi status nutrisi
- Porsi makan yang
makanan dihabiskan - Identifikasi alergi dan intoleransi
meningkat
- Perasaan cepat makanan
kenyang menurun - Identifikasi makanan yang disukai
- Serum albumin
meningkat - Identifikasi kebutuhan kalori dan
- Kekuatan otot
jenis nutrient
menelan meningkat
- Identifikasi perlunya penggunaan
selang nasogastrik
- Monitor asupan makanan

- Monitor berat badan

- Monitor hasil pemeriksaan


laboratorium
Terapeutik
- Lakukan oral hygiene sebelum
makan, jika perlu
- Fasilitasi menentukan pedoman diet
(mis. Piramida makanan)
- Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
- Berikan makan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
- Berikan suplemen makanan, jika
perlu
- Hentikan pemberian makan melalui
selang nasigastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu

- Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

3 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan PERAWATAN JANTUNG (I.02075)


jantung b.d perubahan keperawatan 3 x 24jam
1. Observasi
irama jantung Kriteria hasil :
 Identifikasi tanda/gejala
 Palpitasi menurun
primer Penurunan curah
 Bradikardi menurun
jantung (meliputi dispenea,
 takikardia menurun
kelelahan, adema ortopnea
 dispnea menurun
paroxysmal nocturnal
dyspenea, peningkatan CPV)
 Identifikasi tanda /gejala
sekunder penurunan curah
jantung (meliputi peningkatan
berat badan, hepatomegali
ditensi vena jugularis,
palpitasi, ronkhi basah,
oliguria, batuk, kulit pucat)
 Monitor tekanan darah
(termasuk tekanan darah
ortostatik, jika perlu)
 Monitor intake dan
output cairan
 Monitor berat badan
setiap hari pada waktu yang
sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri
dada (mis. Intensitas, lokasi,
radiasi, durasi, presivitasi yang
mengurangi nyeri)
 Monitor EKG 12
sadapoan
 Monitor aritmia
(kelainan irama dan
frekwensi)
 Monitor nilai
laboratorium jantung (mis.
Elektrolit, enzim jantung,
BNP, Ntpro-BNP)
 Monitor fungsi alat pacu
jantung
 Periksa tekanan darah
dan frekwensi nadisebelum
dan sesudah aktifitas
 Periksa tekanan darah
dan frekwensi nadi sebelum
pemberian obat (mis.
Betablocker, ACEinhibitor,
calcium channel blocker,
digoksin)
2. Terapeutik
 Posisikan pasien semi-
fowler atau fowler dengan
kaki kebawah atau posisi
nyaman
 Berikan diet jantung
yang sesuai (mis. Batasi
asupan kafein, natrium,
kolestrol, dan makanan tinggi
lemak)
 Gunakan stocking elastis
atau pneumatik intermiten,
sesuai indikasi
 Fasilitasi pasien dan
keluarga untuk modifikasi
hidup sehat
 Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stres, jika
perlu
 Berikan dukungan
emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk
memepertahankan saturasi
oksigen >94%
3. Edukasi
 Anjurkan beraktivitas
fisik sesuai toleransi
 Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti
merokok
 Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur berat
badan harian
 Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur intake dan
output cairan harian
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
 Rujuk ke program
rehabilitasi jantung
DAFTAR PUSTAKA

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds). (2014). NANDA international Nursing Diagnoses:


Definitions & classification, 2015-2017. Oxford : Wiley Blackwell.

Lewis, SL., Dirksen, SR., Heitkemper, MM, and Bucher, L.(2014).Medical surgical Nursing.
Mosby: ELSIVER

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),  Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),  Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indone sia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),  Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai